REPRESENTASI TEMA SUBKULTUR INDONESIA DALAM KARYA SENIMAN BANDUNG PERIODE 2010-2015 (Studi Kasus Karya Seni Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda) Mardiyyan Nur Zaenudin Program Studi S1 Seni Rupa Murni, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Telkom e-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengupas konten subkultur Indonesia dalam karya seni Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda sebagai model seniman Bandung yang fokus dalam pengkaryaan bertemakan subkultur Indonesia. Masing-masing karya telah dikaji melalui pendekatan teori semiotika Roland Barthes yang meliputi makna denotatif, konotatif, dan mitos (simbol). Terdapat konten-konten simbol yang ditemukan secara dominan dalam karya para seniman antara lain: simbol agama, simbol pluralisme, simbol punk, simbol identitas personal, dan simbol mistisisme. Penggabungan berbagai simbol yang digunakan kelima seniman dalam karya-karyanya menunjukkan corak khas yang berbeda-beda. Dari kelima seniman studi kasus, semuanya menunjukkan penggabungan ideologi subkultur tertentu dengan kultur lain. Hasil penelitian membuktikan bahwa konten subkultur direpresentasikan dalam karya para seniman studi kasus di antaranya (1) subkultur agama islam dari karya-karya Adhya Ranadireksa; (2) subkultur pecinan dari karya-karya Henrycus Napit Sunargo; (3) subkultur punk dari karya-karya Mufti Priyanka; (4) subkultur tato dari karya-karya Panca Dwinandhika Zen; dan (5) subkultur otaku dari karya-karya Radi Arwinda. Kata kunci: representasi, subkultur Indonesia, karya seni seniman Bandung, semiotika.
ABSTRACT The purpose of this research was to examine the representation of Indonesian subcultures in artworks of Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, and Radi Arwinda as role models of Bandung artists who were consistent in exploring Indonesian subcultures themes in their artworks. Each work was studied using Rolland Barthes’s semiotics theory including denotatives, connotatives, and myths (symbols). Main symbols found in the artworks were: religion symbols, pluralism symbols, punk symbols, personal identity symbols, and mistisism symbols. The combination of symbols used by the artists in their artworks showed various distinctive patterns. All the artworks showed the assimilation of ideologies from different subcultures and cultures. The result of this research proved that subcultures are represented in the artworks, which are (1) Islamic subculture from Adhya Ranadhireksa’s artworks; (2) chinatown subculture from Henrycus Napit Sunargo’s artworks; (3) punk subculture from Mufti Priyanka’s artworks; (4) tattoos subculture from Panca Dwinandhika Zen’s artworks; (5) otaku subculture from Radi Arwinda’s artworks. Keywords: representation, Indonesian subcultures, Bandung artists’s artworks, semiotics.
1. Pendahuluan Karya seni adalah perwujudan dari apa yang disebut dengan zeitgeist. Karya seni pada dasarnya merefleksikan kebudayaan dari suatu zaman ketika karya seni itu diciptakan. Seni dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena seniman dibentuk oleh kebudyaan di zamannya sehingga dalam penciptaan karya, mereka pun menyajikan kebudayaan tersebut melalui karya seni yang mereka ciptakan. Dalam hal ini karya seni merupakan sebuah representasi dari kebudayaan. Sebagai suatu representasi dari kebudayaan, karya seni menyajikan berbagai tema sosial yang merangkum segala aspek kebudayaan manusia di suatu zaman, misalnya adat-istiadat, keyakinan, keadaan politik, atau keadaan kelompok-kelompok sosial tertentu. Di era postmodern, bentuk representasi budaya yang ditampilkan dalam karya seni mengalami perubahan dibandingkan dengan era sebelumnya. Budaya postmodernisme lebih bersifat heterogen, plural, kontekstual, partikular, dan menghargai narasi kecil dibandingkan narasi besar yang bersifat universal. Salah satu gerakan yang lahir di era postmodern sebagai bentuk perjuangan bagi eksistensi narasi kecil tersebut yaitu gerakan subkultur. Secara sederhana, subkultur diartikan sebagai suatu kelompok orang yang memiliki cara hidup sendiri namun secara demografis mereka tinggal dalam kebudayaan induk. Representasi subkultur dalam karya seni dapat ditemukan pada karya-karya seniman postmodern yang berpengaruh bagi perkembangan seni dunia. Hal ini dapat dilihat pada karya seni milik Andy Warhol yang banyak menyoroti subkultur selebritis sebagai ikon populer. Karya seni yang bertema subkultur punk dan musik independen terlihat dari karya seniman Amerika Frank Kozik dan Raymond Pettibon. Di Jepang ada Takashi Murakami yang menghadirkan visualisasi karya yang terinspirasi dari subkultur otaku (subkultur penggila komik dan film animasi Jepang). Ragam karya bertema subkultur lainnya dapat dilihat dalam karya seni Sarah Lucas, seniman asal Inggris yang konsisten menyajikan tema subkultur feminis dalam setiap karyanya. Di Indonesia sendiri kelahiran karya bertemakan subkultur dapat ditelusuri sejak peristiwa pernyataan Desember Hitam di tahun 1974 yang mendorong serangkaian gerakan revolusi estetis, seperti Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRBI) dan Kelompok Kepribadian Apa (PIPA). Peristiwa pernyataan Desember Hitam adalah tonggak awal perubahan cara pandang seniman Indonesia dalam berkarya. Dalam hal ini, karya seni Indonesia pasca Desember Hitam amatlah berbeda dari era sebelumnya yang berkutat dengan corak karya seni yang bermuatan politik (potret perjuangan rakyat dan realisme sosial), corak seni dekoratif (bentang alam dan potret wanita molek), corak seni modern barat (abstrak dan kubisme). Beberapa seniman pada era ini yang patut dijadikan patron dalam perkembangan tema karya subkultur di Indonesia adalah: Arahmaiani, FX Harsono, Jim Supangkat, Mella Jaarsma, Semsar Siahaan, dan Titarubi. Pengaruh teknologi, arus informasi serta kondisi politik yang mencair pada awal milenium ketiga mendorong perkembangan yang signifikan dalam tema karya di Indonesia. Subkultur menjadi salah satu tema yang banyak direspon seniman terutama seniman yang baru mengawali karirnya di dunia seni Indonesia. Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta adalah kota yang paling aktif melahirkan karya-karya seni di Indonesia. Masing-masing kota besar tersebut memberikan sumbangsih yang besar dalam menghasilkan karya seni, termasuk kerya seni bertemakan subkultur Indonesia. Peneliti melakukan observasi awal untuk menemukan gambaran umum mengenai tema subkultur pada ketiga kota besar tersebut. Dalam observasi awal ini peneliti menggunakan metode pencarian arsip (archival research), yaitu mencari foto karya seniman Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta yang pernah berpameran di galeri seni dengan karya bertemakan subkultur. Observasi awal ini dibatasi periode waktu, yaitu karya dari tahun 2000 hingga tahun 2015. Berdasarkan observasi awal tersebut, ditemukan bahwa karya seni bertema subkultur di Yogyakarta mengangkat subkultur feminis, subkultur Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT), subkultur Front Pembela Islam (FPI), dan subkultur ikon populer (film populer dan selebritis). Tema femins adalah tema paling dominan dalam karya sampel, terutama dalam karya seniman wanita. Hanya beberapa seniman yang konsisten mengangkat tema subkultur dalam setiap karyanya. Media karya didominasi oleh media lukis, fotografi, video, performans, dan instalasi. Beberapa karya yang berasal dari Yogyakarta antara lain karya seniman Agan Harahap, Arahmaiani, Arya Pandjalu, Ferial Afif, Indieguerillas, Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, dan Titarubi. Karya seni bertema subkultur di Jakarta terbagi menjadi subkultur otaku, subkultur pecinan (china town), subkultur musik independen, subkultur grafiti, dan subkultur LGBT. Media karya didominasi oleh media lukis, gambar, fotografi, dan instalasi. Hampir semua seniman dalam sampel karya konsisten mengangkat tema
subkultur. Subkultur musik independen menjadi tema dominan dalam karya sampel. Beberapa karya seni yang berasal dari Jakarta antara lain karya seniman Amalia Kartika Sari, FX Harsono, Jimmi Multazam, Kelvin Atmadibrata, Satria Nb, Sir Dandy, dan The Popo. Berbeda dengan dua kota besar lainnya, observasi awal menunjukkan bahwa sampel karya seni di Bandung lebih menunjukkan keberagaman kelompok subkultur yang merepresentasikan subkultur di Indonesia. Karya seni bertema subkultur di Bandung terbagi menjadi beberapa kelompok, seperti: subkultur agama Islam (FPI, hijab, jihad, madrasah, dan poligami), subkultur pecinan, subkultur punk, subkultur musik independen, subkultur grafiti, subkultur ikon populer (film populer, seniman, dan selebritis), subkultur otaku, subkultur pornografi Jepang, subkultur pengguna narkotika (junkie), dan subkultur tato. Media karya didominasi oleh media lukis, patung, gambar, fotografi, dan instalasi. Tema subkultur agama Islam mendominasi sampel karya. Hampir semua seniman dalam sampel karya konsisten mengangkat tema subkultur. Beberapa karya yang berasal dari kota ini adalah karya seniman Adhya Ranadireksa, Ahdiyat Nur Hartarta, Arman Jamparing, Budi Adi Nugroho, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, Radi Arwinda, Tandya Bambang Permadi, dan Wastuwidyawan. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan, peneliti tertarik untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana karya-karya seni yang berasal dari seniman Bandung dapat merepresentasikan subkultur Indonesia, khususnya seniman yang mulai mengaktualisasikan diri di medan sosial seni. Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam hal ini mengacu pada progress of the artist from artist to stardom dari Iain Robertson. Menurut Robertson, seorang seniman memulai karirnya setelah ia lepas dari dunia akademik dan selanjutnya melakukan suatu pameran di galeri seni yang berkredibilitas dan dikuratori oleh kurator seni yang kompeten di medan sosial seni. Untuk memfokuskan pada konsistensi karya subkultur, peneliti hanya memilih karya-karya yang pernah diikutsertakan dalam suatu pameran tunggal. Dari sampel observasi awal untuk karya seniman Bandung, terdapat beberapa sampel yang tidak memenuhi standar parameter penelitian. Seperti karya dari seniman Ahdiyat Nur Hartarta, Arman Jamparing, Tandya Bambang Permadi, dan Wastuwidyawan yang tidak pernah diikut sertakan dalam suatu pameran tunggal. Selain itu, peneliti mengidentifikasi karya yang memiliki kedekatan corak visual seperti dalam karya Adhya Ranadireksa dan Budi Adi Nugroho yang sama-sama mengangkat ikon tintin dalam karyanya. Beberapa karya yang kemudian dipilih peneliti untuk menjadi studi kasus penelitian ini adalah karya seni Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda. Masing-masing karya seni tersebut akan mewakili kelompok subkultur yang signifikan, yaitu: subkultur agama Islam (FPI, jihad, dan poligami), subkultur pecinan, subkultur tato, subkultur punk, dan subkultur otaku. Stuart Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifying Practices mengungkapkan terdapat tiga komponen penting pembangun suatu representasi dalam karya seni visual, yaitu: tanda visual, simbol, dan percampuran ideologi budaya. Untuk membedah tiga komponen tersebut digunakan pendekatan teori representasi konstruksionis (semiotika) milik Roland Barthes yang membaca tanda visual hingga tahap ideologinya. Komponen-komponen representasi itulah yang kemudian akan menunjukan bagaimana subkultur Indonesia direpresentasikan dalam karya seni seniman Bandung yang menjadi studi kasus penelitian ini. 2. Metode Penelitian Penelitian ini mempergunakan pendekatan metode campuran antara kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif untuk data yang memerlukan perhitungan angka secara pasti dan kualitatif deskriptif untuk data yang memerlukan deskripsi yang detil dan mendalam. Teori yang akan digunakan dalam penelitian berpijak pada pendekatan teori representasi visual milik Stuart Hall dan teori semiotika milik Roland Barthes.
1.
2.
Sampel data dalam penelitian ini diperoleh lewat beberapa cara berikut: Archival research atau pencarian data arsip, yaitu mencari foto karya, biografi, katalog pameran yang bersangkutan dengan Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda. Studi pustaka, yaitu melalui buku utama: Representation: Cultural Representations and Signifying Practices oleh Stuart Hall (2003), Pengantar Antropologi oleh Koentjaraningrat (2003), The Subcultures Reader oleh Sarah Thornton (1997), The Interpretation of Cultures oleh Clifford Geertz (1973), Mythologies oleh Roland Barthes (1957), dan Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
3.
batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2010). Serta buku-buku lainnya yang mengulas teori representasi visual, kajian subkultur, dan semiotika. Studi kepustakaan termasuk di dalamnya adalah buku cetak, buku digital, jurnal ilmiah, dan sumber online yang kompeten dan relevan. Wawancara kepada seniman studi kasus untuk informasi data karya juga informasi biodata personal seniman. Selain itu wawancara dilakukan kepada Ibu Dr. Irma Damajanti, M.Sn., sebagai seorang narasumber ahli di ranah teori budaya visual dan semiotika.
3. Pembahasan Hasil Analisa Penelitian Hasil analisa yang disajikan dalam bagian ini bertujuan menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan. Sesuai dengan tujuan tersebut, hasil analisa akan diuraikan melalui beberapa bagian dimulai dari hasil analisa tanda visual dalam setiap karya. Penyajian analisa tanda dilakukan pada setiap karya dengan menyajikan jenis karya, denotatif, konotatif, mitos dan corak khas. Teori semiotika milik Roland Barthes digunakan sebagai model analisa untuk menemukan mitos—simbol dan ideologi—serta menemukan corak khas yang terdapat di dalam setiap karya. Setelah uraian tentang analisa tanda, pada bagian berikutnya disajikan gambaran umum tentang simbolisasi apa saja yang terdapat pada karya seniman Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda dalam merepresentasikan tema subkultur di Indonesia. Kemudian, bagian selanjutnya akan menyajikan gambaran tentang bagaimana corak khas yang terdapat pada karya masing-masing seniman. Pada bagian akhir, diuraikan pembahasan tentang bagaimana representasi subkultur Indonesia dalam karya para seniman. 3.1 Analisa Tanda Visual Karya Seniman Studi Kasus a.
Analisa Tanda Visual Karya Seni Adhya Ranadireksa
Jenis Karya Denotatif
Konotatif Mitos Corak Khas
Gambar 1. Front Pembela Tintin. (Sumber: Katalog pameran Si Tintin Positif) Fotografi. Warna hitam putih (monkrom). Terdapat dua figur pria berkumis mengenakan penutup kepala dan membawa senjata kapak juga satu figur pria berjambang mengenakan pakaian kasual dengan posisi tersungkur menghadap pada salah satu figur. Gambar latar yaitu batu bata dengan lantai tanah. Kekerasan dan keterancaman. Simbolisasi tindakan anarkisme yang kerap dilakukan oleh beberapa oknum yang membawa paham ideologi agama Islam. Karya ini menggabungkan tanda visual dari komik dan film animasi Tintin sebagai simbol dari kebudayaan populer dengan sosok yang mengenakan atribut anggota Front Pembela Islam sebagai simbol subkultur agama Islam. Tabel 1. Analisa tanda visual Front Pembela Tintin
b.
Analisa Tanda Visual Karya Seni Henrycus Napit Sunargo
Gambar 2. Homeland, Beliefs, Personal God(s) #21 (Sumber: Katalog pameran Homeland, Beliefs, Personal God(s)) Fotografi. Jenis Karya Objek tunggal bangunan bernuansa warna merah dengan ornamen swastika di Denotatif samping pintu berbentuk rolling door serta terdapat kubah di atap bangunan. Kesakralan dan keagungan (adiluhung). Konotatif Simbolisasi ideologi prularisme, yaitu sebuah ideologi yang menghargai Mitos perbedaan ras dan kepercayaan manusia. Di Indonesia konsep prularisme tercantum dalam butir Pancasila. Karya ini menggabungkan tanda-tanda visual dari kubah sebagai simbol tempat Corak Khas ibadah agama Islam dengan swastika dan warna merah sebagai simbol subkultur keagamaan ras tionghoa (Buddha dan Konghucu). Tabel 2. Analisa tanda visual Homeland, Beliefs, Personal God(s) #21 c.
Analisa Tanda Visual Karya Seni Mufti Priyanka
Jenis Karya Denotatif
Konotatif Mitos Corak Khas
Gambar 3. Untitled (Sumber: Katalog pameran Reimagine The Drawing) Mural di atas tembok. Warna monokromatik. Figur pria tunggal memegang telepon genggam dan menatap ke layar telepon genggam sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum girang. Terdapat objek yang terbakar yaitu sebuah mobil bertuliskan ―polisi‖. Gambar latar gambar putih polos. Kegiatan vandal (perbuatan ilegal yang bertujuan merusak dan mengubah nilai atau makna sebuah benda). Simbolisasi dari ideologi anarchy, sebuah ideologi kaum punk yang menentang segala sistem pemerintahan. Karya ini menggabungkan tanda-tanda visual dari sosok dengan atribut punk yang melakukan kegiatan vandalisme sebagai simbol subkultur punk dengan objek mobil polisi yang terbakar sebagai simbol dari penegak hukum Indonesia. Tabel 3. Analisa tanda Untitled
d.
Analisa Tanda Visual Karya Seni Panca Dwinandhika Zen
Jenis Karya Denotatif
Konotatif Mitos Corak Khas
e.
Gambar 4. Nindya’s Name (Sumber: Katalog pameran Maker's Mark) Media campur di atas fotografi. Warna didominasi merah, hijau, jingga, dan monokrom. Figur tunggal, sosok wanita berambut plontos dengan tato dewi Lakshmi di tangan kirinya sedang duduk bersila menghadap samping. Terdapat dua gambar tangan, yang satu memang benda seperti bola kecil, satu lainnya memegang setangkai bunga. Gambar bunga menghiasi figur dan mengisi latar gambar. Potret ketenangan dan ketentraman. Ideologi tato modern sebagai simbol dari identitas personal. Karya ini menggabungkan tanda visual dari figur bertato yang merupakan simbol dari subkultur tato dengan gambar tato dewi Lakshmi, bunga lotus, dan dua tangan sebagai simbol kesabaran dan ketentraman dalam agama Hindu. Tabel 4. Analisa tanda Nindya’s Name
Analisa Tanda Visual Karya Seni Radi Arwinda
Gambar 5. Manekipetpet (Sumber: Katalog pameran Sugih) Jenis Karya Denotatif
Konotatif Mitos Corak Khas
Lukisan. Warna didominasi emas, merah, dan biru. Figur pria tunggal dengan penggambaran tubuh chibi (terstilasi). Figur mengenakan kacamata merah dengan kostum babi berwarna emas. Figur bergestur menyosoki kucing yang mengangkat tangan kirinya ke atas. Latar gambar berisi ornamen beberbentuk awan berwarna biru dan terdapat benda beberbentuk koin berwarna emas. Kesejahteraan. Simbolisasi ideologi maneki neko Jepang yang memiliki makna kesejahteraan. Karya ini menggabungkan tanda visual dari gestur kucing maneki neko dan gaya gambar chibi sebagai simbol dari subkultur otaku Jepang. Awan motif mega mendung dan kostum babi celeng sebagai simbol dari budaya tradisi Jawa. Tabel 5. Analisa tanda Manekipetpet
3.2 Simbol yang terdapat dalam karya Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda Grafik di bawah ini merupakan grafik yang dibuat berdasarkan analisa tanda yang telah dibuat sebelumnya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa analisa tanda digunakan untuk membedah secara mendalam tanda-tanda visual dan menemukan makna tanda, termasuk di dalamnya simbol-simbol yang merupakan pemaknaan tanda yang berhubungan dengan ideologi dari budaya tertentu. Simbol dalam Karya Seniman Studi Kasus 10
9 8
7 6 5 4 3 2 1 0 Simbol agama
Simbol terorisme
Adhya Ranadireksa Total
6
1
Simbol pluralisme
Simbol rasisme
Simbol agama
Henrycus Napit Sunargo 6
1
Simbol punk
Simbol mistisisme
Simbol Simbol Simbol konsumeris mistisisme seksisme me
Panca Dwinandika
Mufti Priyanka 2
Simbol identitas personal
7
1
Simbol budaya populer
Radi Arwinda
9
6
1
1
2
3.3 Corak khas yang terdapat dalam karya Adhya Ranadireksa, Henrycus Napit Sunargo, Mufti Priyanka, Panca Dwinandhika Zen, dan Radi Arwinda Pada pembahasan kali ini akan difokuskan pada corak khas karya. Maksud dari pemberian istilah corak khas adalah untuk menerangkan nilai keunikan dan nilai distingtif dari masing-masing karya seniman studi kasus. Lebih lanjut lagi, corak khas akan menerangkan budaya apa saja yang muncul dari pembacaan sebuah simbol. Budaya ini masing-masing mewakili kekhasan seniman dalam memadu madankan tanda yang berangkat dari isu-isu sosial ataupun sebuah realita sosial dari kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing pembahasan seniman akan menerangkan percampuran subkultur dengan budaya induk ataupun dengan subkultur lainnya berdasarkan grafik di bawah ini yang merupakan hasil dari analisa tanda pada bagian pembahasan sebelumnya.
HNS
AR
Corak Khas dalam Karya Seniman Studi Kasus
7
Subkultur agama dan kultur populer
6
Subkultur pecinan dan kultur agama Subkultur pecinan dan kultur induk
1 2
Subkultur punk dan kultur agama
4
MP
Subkultur punk dan kultur induk Subkultur punk dan kultur kapitalisme
1 2
Subkultur punk dan kultur populer Subkultur punk dan subkultur koboi
1 2
Subkultur tato dan kultur agama
3
Subkultur tato dan kultur induk
PD
Subkultur tato dan kultur populer Subkultur tato dan kultur Tionghoa Subkultur tato dan subkultur medan seni
RA
Subkultur tato dan subkultur punk Subkultur otaku dan kultur induk
1 1 1 1
Keterangan AR HNS MP PD RA
: Adhya Ranadireksa : Henrycus Napit Sunargo : Mufti Priyanka : Panca Dwinandhika : Radi Arwinda
10
3.4 Representasi Tema Subkultur dalam Karya Seniman Studi Kasus
Judul karya Diudag Anjing Front Pembela Tintin Jaminan Surga Man Robbuka Me and My Wives Siksa Neraka #1 Ultimatum Sia We Dagaaang...!!!! The Imperialpet Palepet Leng-Leng Loro Blonyo Maneki Jul-Jul Manekipetpet Muja (Shrine of Devotion) Sajen Sugih Apet#1 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #10 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #14 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #21 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #22 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #23 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #12 Homeland, Beliefs, Personal God(s) #8 Live Taubat Sembah Sujudku Can’t Get Enough Annoying Kebarokahan Akan Kasih Sayang Mamah Neurotik Djiwo Lohjinawi Untitled Punxxrock Berdikari dalam Sanubari Kemerdekaan The Bastards of Young Aqyu Ingin Protest Riot R.I Punx Coboy from Lembang Nindya’s Name Protect Me from What I Want Jerry’s Knife Rahung Naga Zanun’s Symbols Sandy's Flower Ginan’s Naga Kencrink’s Punx Anis Life Cubes
Seniman
Adhya
Simbol
Agama
Subkultur
Kultur lain
Agama Islam
Populer
Otaku
Induk
Terorisme budaya popular Konsumerisme Radi Mistisisme
Seksisme
Pluralism Henrycus
Pecinan
Agama
Rasisme Pluralism
Induk
Agama
Agama
Punk
Induk
Mufti
Punk Punk
Kapitalisme
Mistisisme Punk Punk
Populer Koboi
identitas personal
Agama
identitas personal Panca
Induk Tato
identitas personal identitas personal identitas personal identitas personal
Populer Tionghoa Punk medan seni
4. Kesimpulan Dari hasil pembahasan terhadap seluruh karya seniman studi kasus, maka peneliti menyusun kesimpulankesimpulan sebagai berikut:
1. Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta adalah tiga kota penghasil karya seni bertema subkultur di Indonesia. Bandung memiliki seniman yang paling banyak berkarya dengan tema subkultur dan memiliki keragaman tema subkultur dibandingkan dua kota lainnya.
2. Terdapat konten-konten subkultur yang ditemukan secara dominan dalam karya seniman studi kasus di antaranya (1) subkultur agama Islam dari karya-karya Adhya Ranadireksa; (2) subkultur pecinan dari karyakarya Henrycus Napit Sunargo; (3) subkultur punk dari karya-karya Mufti Priyanka; (4) subkultur tato dari karya-karya Panca Dwinandhika Zen; dan (5) subkultur otaku dari karya-karya Radi Arwinda.
3. Terdapat konten-konten simbol yang ditemukan secara dominan dalam karya seniman dalam merepresentasikan subkultur Indonesia antara lain (1) simbol agama Islam dalam karya Adhya Ranadireksa yang merepresentasikan subkultur agama Islam; (2) simbol pluralisme dalam karya Henrycus Napit Sunargo yang merepresentasikan subkultur pecinan; (3) simbol punk dalam karya Mufti Priyanka yang merepresentasikan subkultur punk; (4) simbol identitas personal dalam karya Panca Dwinandhika Zen yang merepresentasikan subkultur tato; (5) simbol mistisisme dalam karya Radi Arwinda yang merepresentasikan subkultur otaku.
4. Penggabungan berbagai simbol yang digunakan kelima seniman dalam karya-karyanya menunjukan corak khas yang berbeda-beda. Dari kelima seniman studi kasus, semuanya menunjukkan penggabungan ideologi subkultur tertentu dengan kultur lain dalam merepresentasikan subkultur Indonesia. (1) Dalam karya-karya Adhya ditemukan penggabungan ideologi subkultur agama Islam dengan ideologi kultur populer; (2) dalam karya-karya Henrycus Napit Sunargo ditemukan penggabungan ideologi subkultur pecinan dengan ideologi kultur agama; (3) dalam karya-karya Mufti Prianka ditemukan ideologi subkultur punk dengan ideoligi kultur induk; (4) dalam karya-karya Panca Dwinandhika Zen ditemukan ideologi subkultur tato dengan ideologi kultur agama; (5) dalam karya-karya Radi Arwinda ditemukan ideologi subkultur otaku dengan ideologi kultur induk.
5. Panca Dwinandhika Zen adalah seniman yang paling konsisten dalam mempergunakan simbol dibandingkan empat seniman studi kasus lainnya. Dalam karya-karyanya, Panca hanya menggunakan simbol identitas personal dalam merepresentasikan subkultur tato di Indonesia.
6. Radi Arwinda adalah seniman yang paling banyak mempergunakan simbol dibanding empat seniman studi kasus lainnya. Dalam karya-karyanya Radi menggunakan simbol budaya populer, simbol konsumerisme, simbol mistisisme, dan simbol seksisme untuk merepresentasikan subkultur otaku di Indonesia.
7. Panca Dwinandhika Zen adalah seniman yang paling banyak mencampur ideologi budaya dalam karyanya dibanding empat seniman studi kasus lainnya. Panca mencampurkan ideologi budaya subkultur tato dengan kultur agama, kultur induk, kultur populer, kultur Tionghoa, subkultur punk, dan subkultur medan seni.
8. Adhya Ranadireksa dan Radi Arwinda adalah seniman yang paling konsisten dalam menggabungkan ideologi budaya. Adhya Ranadireksa menggabungkan ideologi subkultur agama Islam dengan kultur populer dan Radi Arwinda menggabungkan ideologi subkultur otaku dengan kultur induk.
9. Dalam karya Adhya Ranadireksa, Mufti Priyanka, dan Radi Arwinda bahasa visual yang terepresentasikan dalam karya merupakan lahan permainan tanda—di mana tanda visual yang digunakan bukan berasal dari representasi budaya yang nyata atau hanya sebuah rekayasa tanda semata.
10. Dalam karya Adhya Ranadireksa, Mufti Priyanka, dan Radi Arwinda karya berperan sebagai ―budaya ideal‖ hasil dari representasi mental atau gagasan sang seniman. ―Budaya ideal‖ ini adalah bentuk kritik terhadap representasi budaya di dunia nyata.
11. Dalam karya Henrycus Napit Sunargo dan Panca Dwinandhika Zen bahasa visual merupakan representasi murni dari subkultur yang secara khas terjadi di masyarakat Indonesia.
12. Dalam karya Henrycus Napit Sunargo dan Panca Dwinandhika Zen karya berperan sebagai representasi budaya yang menyajikan berbagai macam fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia.
13. Seniman-seniman studi kasus penelitian ini bila dilihat dari sudut pandang budaya telah berperan sebagai agen kebudayaan yang bertugas merepresentasikan budaya lewat karya seni.
14. Representasi subkultur dalam karya seni seniman studi kasus mengindikasikan kekhasan subkultur Indonesia sebagai hasil dari percampuran budaya.
15. Representasi subkultur dalam karya seni seniman studi kasus yang membaur dengan budaya induk mengindikasikan bertahannya budaya induk terhadap gempuran budaya luar dan mengindikasikan bagaimana subkultur dimaknai sebagai ―budaya baru‖ yang tetap bisa membaur dan saling melengkapi dengan budaya induk.
16. Representasi subkultur dalam karya seni seniman studi kasus yang menggunakan simbol-simbol dari sebuah ideologi budaya yang kontras dan bertentangan satu sama lainnya mengindikasikan bahwa terdapat sebuah ketimpangan budaya yang bersifat hibrida di Indonesia.
17. Representasi subkultur dalam karya seni seniman studi kasus mengindikasikan identitas budaya Indonesia yang belum bisa disebut ―mapan‖, berarti masih terbuka terhadap invasi budaya luar termasuk di dalamnya adalah keberaneka ragaman subkultur. Daftar Pustaka: Burton, A. M., Jenkins, R., & Schweinberger, R. (2011). Mental Representations of Familiar Faces. British Journal of Psychology , 102 (4), 943-958. Barthes, R. (1972). Mythologies. (A. Lavers, Trans.) London: Paladin. Cassirer, E. (1944). An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. New York: Double Day & Company. inc. Cohen, P. (1972). Sub-cultural Conflict and Working Class Community. Birmingham: University of Birmingham. Danesi, M. (2001). Light Permits Knowing: Three Metaphorological Principles for the Study of Abstract Concept-Formation. Semiotica (136), 31. (1974). Abdurrahman Wahid, "Pesantren sebagai Subkultur". In R. Dawam, & D. Rahardo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan (p. 43). Jakarta: LP3ES. During, S. (1999). The Cultural Studies Reader. London: Routledge. Fiske, J. (1990). Introduction to communication studies.—2nd ed— (Studies in culture and communication) . London, New York: Routledge. Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Hall, S. (2003). ―The Work of Representation.‖ Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. (S. Hall, Ed.) London: Sage Publication. Handoko, C. (2010). Perkembangan motif, makna, dan fungsi tato di kalangan narapidana dan tahanan di Yogyakarta. Makara, Sosial Humaniora , 14 (2), 107-116. Hazlehurst, K. M., & Hazlehurst, C. (1998). Gangs and Youth Subcultures: International Explorations. New Burnswick, London: Transaction Publishing. Hebdige, D. (1979 ). Subculture: The Meaning of Style. London: Routledge. Kinsella, S. (1998). "Japanese Subculture in the 1990s: Otaku and the Amateur Manga Movement". Journal of Japanese Studies (The Society for Japanese Studies) , 24 (2), 289–316. Koentjaraningrat. (2003). Pengantar Antropologi –Jilid 1, cetakan kedua, . Jakarta: Rineka Cipta. Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Indonesia Tera. M.Cagle, V. (1995). Reconstructing Pop/Subculture: Art, Rock, and Andy Warhol. Thousand Oaks, CA: Sage Publication. Magee, G. A. (2011). The Hegel Dictionary. London; New York: Continuum International Publishing Group. O’Sullivan, D. (1974). The Youth Culture. London: Methuen Educational. Olong, H. A. (2006). Tato. Yogyakarta: LKIS. Pilliang, Y. A. Dunia Yang Dilipat. Bandung: Penerbit Matahari. Prihastuti, N. (2014). Interaksi Simbolik Penggemar Jepang (Otaku). Universitas Negeri Surabaya, Fakultas Ilmu Sosial. Surabaya: Program Studi Sosiologi S-1 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya. Rika Wijayanti. (2012). Aktivitas Politik Golongan Tionghoa di Semarang Tahun 1917-1942. Universitas Diponegoro , Program Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana. Semarang: Program Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Robertson, I. (2005). Understanding International Art Markets and Management. London, New York: Routledge. Saifuddin, A. F. (2005). Antropologoi Kontemporer: ―Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma‖. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Siregar, A. T. (2013). Katalog Pameran Seeing Paintings: Conversations Before The End History. Yogyakarta: Sangkring Art Space.
Sobur, A. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soelaeman, M. (2007). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama. Supangkat, J. (1983). Sekitar-Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. In E. S. Damono (Ed.), Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai (pp. 25-41). Jakarta: Gramedia. Thornton, S., & Gelder, K. (1997). The Subcultures Reader. London; New York: Routledge. White, L. A. (1940). The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of Science , 7 (4), 451463.
Lampiran