Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID)
RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Inflasi Bulan November 2016 Didorong Harga Pangan INFLASI IHK
Mtm : 0,47% Yoy : 3,58% Ytd : 2,59% Avg yoy : 3,58%
Wilayah Inflasi Tertinggi Sumatra = 0,75% Kota Inflasi Tertinggi Manado = 2,86%
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat 0,47% (mtm) di bulan November.1 Inflasi di bulan November tahun ini lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya yang mencapai 0,14%(mtm), sesuai dengan pola historis menjelang akhir tahun. Namun jika dibandingkan dengan rata – rata historisnya, inflasi bulan November 2016 lebih tinggi (Tabel 1).2 Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK secara kumulatif (Januari sampai dengan November) mencapai 2,59 % (ytd) dan secara tahunan mencapai 3,58% (yoy). Inflasi di bulan November terutama bersumber dari kenaikan harga sejumlah komoditas pada komponen volatile food (VF) (Grafik 1). Secara bulanan, tekanan inflasi yang lebih tinggi dibanding bulan lalu terjadi di seluruh wilayah. Inflasi Sumatera merupakan yang tertinggi dibandingkan wilayah lainnya, yaitu sebesar 0,75%. Inflasi tertinggi berikutnya adalah wilayah KTI (Kalimantan, Sulampua, Balnusra) yaitu sebesar 0,41% setelah sebelumnya mengalami deflasi 0,12%. Adapun inflasi di Jawa naik dari 0,10% menjadi 0,41%. Tingginya tekanan inflasi di Sumatera tercermin dari tingkat inflasi tinggi yang terjadi di Riau (1,3%) dan Sumatera Barat (1,1%) dan inflasi moderat yang terjadi di sebagian besar daerah a.l. Provinsi Kepulauan Riau (0,86%), Sumatera Utara (0,76%), Kepulauan Bangka Belitung (0,61%), Sumatera Selatan (0,56%), Jambi (0,51%). Adapun sejumlah daerah yang berkontribusi pada peningkatan inflasi KTI, yaitu Sulawesi Utara (2,9%), NTT (0,79%), dan Gorontalo (0,61%). Inflasi moderat berlangsung di sebagian besar Jawa, yakni Jawa Tengah (0,56%), Jawa Barat (0,55%), dan Banten (0,52%) (Gambar 1). Secara tahunan, inflasi di berbagai provinsi di Indonesia masih dalam kisaran sasaran 4±1%, kecuali di 5 provinsi di wilayah Sumatera, yaitu
1
Angka tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan SPH Minggu ke-IV sebesar 0,40% (mtm) dan lebih tinggi dari proyeksi DKEM sebesar 0,36% (mtm).
2
Rata–rata tahun 2010 s.d 2012 dan 2015.
Hal 1 dari 9
Sumatera Utara (7,65%), Sumatera Barat (6,77%), Bangka Belitung (6,61%), Bengkulu (5,68%) dan Jambi (5,08%). Tingginya inflasi di provinsi tersebut lebih dipengaruhi oleh tekanan harga kelompok bahan makanan, khususnya cabai merah (Gambar 2). Ke depan, inflasi diperkirakan berkisar antara 3,0% - 3,2% atau berada di kisaran bawah sasaran inflasi 2016, yaitu 4%±1% (yoy). Koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi akan terus dilakukan. Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjamin pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok seiring peningkatan permintaan menjelang akhir tahun, dan menjaga ekspektasi inflasi. Tabel 1. Disagregasi Inflasi November 2016
INFLASI INTI Mtm Yoy Ytd Avg yoy
: 0,15% : 3,07% : 2,84% : 3,38% mtm (%)
= -0,58% = -1,26% = -0,78% = 1,10% = 0,17%
= 0,18%
Inflasi kelompok inti pada bulan November 2016 sedikit meningkat dibandingkan bulan lalu, yaitu dari 0,10%(mtm) menjadi 0,15% (mtm) atau 3,07% (yoy). Peningkatan inflasi inti sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah (2,28%). Namun demikian, permintaan domestik masih lemah dan ekspektasi inflasi relatif tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Dibandingkan rata – rata historisnya, tekanan inflasi kelompok inti bulan November 2016 terpantau lebih rendah (Tabel 1). Secara tahunan, perlambatan inflasi inti di bulan November bersumber dari kelompok inti traded, sementara inflasi kelompok inti non traded stabil di level 3,13% (yoy) (Grafik 2). Inflasi inti traded pada bulan ini terus melambat dari 3,02% (yoy) menjadi 2,98% (yoy). Melambatnya inflasi inti traded bulan ini disumbang oleh turunnya harga komoditas emas perhiasan, gula pasir, dan semen yang masing – masing turun sebesar 0,58%, 1,26%, dan 0,78% (mtm) (Grafik 3). Turunnya harga emas perhiasan dan gula pasir domestik searah dengan turunnya harga emas dan gula internasional yang masing-masing turun sebesar 1,47% (mtm) dan 8,34% (mtm). Secara spasial, deflasi emas perhiasan terdalam terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah (-2,87%, mtm), Nusa Tenggara Barat (-2,24%, mtm), dan Sulawesi Utara (-2,09%, mtm).
Hal 2 dari 9
= 0,44%
Sementara deflasi gula pasir terdalam di Provinsi Papua (-3,94%, mtm), Bali (-3,19%, mtm), dan Maluku Utara (-2,81%, mtm). Inflasi inti non traded bulan ini bersumber terutama dari naiknya tarif pulsa ponsel (1,10%, mtm), dan sewa rumah, kontrak rumah, upah pembantu RT serta nasi dengan lauk yang masing – masing menyumbang inflasi 0,01% (Tabel 2). Secara spasial, inflasi tarif pulsa ponsel tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Tengah (3,02%, mtm), DI Yogyakarta (1,83%, mtm), dan Jawa Timur (1,69%, mtm). Sementara inflasi sewa rumah tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu (1,70%, mtm), Riau (1,18%, mtm), dan Nusa Tenggara Timur (1,02%, mtm). Untuk inflasi kontrak rumah, kenaikan tertinggi terjadi di Provinsi Riau (3,36%, mtm), Jambi (1,81%, mtm), dan Bengkulu (0,70%, mtm). Masih rendahnya inflasi inti di bulan November tercermin dari melambatnya pertumbuhan M2 dari 7,74% (yoy) di bulan Agustus menjadi 5,08% (yoy) di bulan September 2016 dan rendahnya pertumbuhan kredit konsumsi yaitu sekitar 8% (yoy) di bulan Oktober 2016 (Grafik 4). Selain itu, lemahnya permintaan domestik tercermin dari menurunnya Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik 5). Ekspektasi inflasi tercatat stabil. Hasil survey inflasi 2016 dari Consensus Forecast (CF) yang mempresentasikan ekspektasi inflasi kalangan pelaku pasar keuangan stabil di level 3,60% (average, yoy) di bulan November 2016 (Grafik 6). Di sektor riil, ekspektasi inflasi pedagang dan konsumen dalam tren yang menurun (Grafik 7 dan Grafik 8). Tabel 2. Komoditas Penyumbang Inflasi Kelompok Inti
Hal 3 dari 9
INFLASI VOLATILE FOOD Mtm : 1,84% Yoy : 9,14% Ytd : 5,42% Avg yoy : 7,78%
mtm(%) = 20,86% = 15,07% = 28,69% = 24,59%
= -2,51% = -1,10% = -0,22% = -5,50%
Kelompok volatile food (VF) mengalami inflasi 1,84% (mtm) atau secara tahunan mengalami inflasi 9,14% (yoy). Inflasi kelompok VF di bulan November tahun ini lebih tinggi dibandingkan dengan historis kenaikan harga di bulan November (0,77%, mtm) (Tabel 1). Inflasi kelompok ini terutama disebabkan karena keterbatasan pasokan dari beberapa komoditas terutama cabai merah, bawang merah, cabai rawit, dan tomat sayur (Tabel 3). Di sisi lain, beberapa komoditas VF mengalami deflasi, yaitu telur ayam ras, daging ayam ras, ikan segar, dan kentang (Tabel 3). Kenaikan harga cabai merah terus berlanjut sejak bulan Juli 2016 yang disebabkan virus kuning (Gemini) yang menyerang dan merusak tanaman cabai di sentra produksi cabai merah di Sumatra. Harga cabai merah naik 20,86% (mtm) ke level Rp75.770/kg, jauh di atas level harga acuan, yaitu Rp32.000/kg.3 Secara spasial, kenaikan harga cabai merah tertinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah (43,44%, mtm), Nusa Tenggara Timur (38,98%, mtm), dan Bangka Belitung (36,16%, mtm). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, harga cabai merah secara ratarata meningkat sebesar 40,79% (Grafik 9). Harga cabai rawit naik 28,69% (mtm) didorong oleh permasalahan cuaca. Secara spasial, kenaikan tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Timur (80,85%, mtm), Sulawesi Selatan (63,79%, mtm), dan Bangka Belitung (53,63%, mtm). Harga bawang merah mengalami inflasi 15,07% (mtm) ke level Rp43.006/kg dikarenakan berkurangnya pasokan seiring dengan masuknya musim tanam.4 Secara spasial, kenaikan harga bawang merah tertinggi terjadi di Provinsi DI Yogyakarta (27,55%), Jawa Tengah (26,39%), dan Jawa Timur (25,04%). Secara tahunan, harga bawang merah secara rata-rata meningkat sebesar 53,50%. Komoditas tomat sayur juga mengalami kenaikan, yaitu sebesar 24,59% (mtm) dengan kenaikan tertingi terjadi di Provinsi Sulawesi Utara (222,23%, mtm), Maluku Utara (62,91%, mtm), dan Gorontalo (62,01%, mtm). Komoditas VF lain yang mengalami inflasi dan memberikan sumbangan signifikan ke inflasi IHK adalah beras dan bayam. Harga
3 4
Berdasarkan PERMENDAG NO. 63/2016 Laporan Perkembangan Inflasi Daerah Provinsi Jawa Tengah Periode Oktober 2016 Hal 4 dari 9
komoditas beras dan bayam naik masing – masing 0,21% (mtm) dan 6,10%(mtm) (Tabel 3). Sementara itu, harga daging ayam ras turun 1,10% (mtm) ke level Rp30.808/kg. Untuk komoditas daging ayam ras, deflasi terdalam terjadi di Provinsi Sulawesi Barat (-7,19%, mtm), Jambi (-6,45%, mtm), dan Sumatera Selatan (-5,51%, mtm). Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya harga rata – rata daging ayam lebih mahal 5,96%. Harga telur ayam ras juga mengalami penurunan 2,51%(mtm) ke level Rp19.334/kg. Deflasi telur ayam ras terdalam terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (-8,67%, mtm), Maluku Utara (-8,19%, mtm), dan Kalimantan Selatan (-6,82%, mtm). Turunnya harga komoditas telur ayam ras didorong oleh surplus pada neraca komoditas telur ayam ras secara nasional. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya harga rata – rata telur ayam ras lebih mahal 4,77% (Grafik 10). Selain telur ayam ras dan daging ayam ras, komoditas VF yang mengalami deflasi adalah ikan segar dan kentang. Harga kedua komoditas tersebut turun masing – masing sebesar 0,22%(mtm) dan 5,50%(mtm) (Tabel 3). Tabel 3. Komoditas Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok Volatile Food
INFLASI ADMINISTERED PRICES Mtm : 0,13% Yoy : 0,09% Ytd : -0,76% Avg yoy: 0,55%
Kelompok administered prices (AP) bulan November mencatat inflasi sebesar 0,13% (mtm) atau 0,09% (yoy). Inflasi AP di bulan November tahun ini searah dengan historis inflasi AP November (0,14%, mtm) (Tabel 1). Inflasi kelompok AP bulan ini terutama bersumber dari kenaikan harga rokok kretek filter, rokok kretek, dan bensin (Tabel 4). Inflasi rokok kretek filter dan rokok kretek masing – masing mencapai 0,63% (mtm) dan 0,56% (mtm). Inflasi pada komoditas rokok ini
Hal 5 dari 9
didorong oleh kenaikan cukai rokok sebesar 11,19% per tahun.5 Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas bensin. Harga bensin bulan November 2016 naik 0,22%(mtm) didorong oleh kenaikan harga bahan bakar khusus (BBK), yaitu Pertamax dan Pertamax Plus yang berkisar antara Rp50 sampai dengan Rp250 per liter (Tabel 4). Kenaikan bensin tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta (0,40%, mtm), Jawa Barat (0,37%, mtm), dan Banten (0,26%, mtm). Tabel 4. Kenaikan Harga Pertamax dan Pertamax Plus
Sementara itu, angkutan udara pada bulan November 2016 mengalami deflasi sebesar 1,47%(mtm) didorong oleh rendahnya permintaan. Deflasi angkutan udara terdalam terjadi di Provinsi Sulawesi Utara (8,11%, mtm), Papua Barat (-7,91%, mtm), dan Riau (-7,14%, mtm). Tabel 5. Komoditas Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok AP
5
Cukai rokok rerata naik sebesar 11,19% pada tahun 2016. Pengusaha menaikkan harga secara gradual setiap bulan. Hal 6 dari 9
LAMPIRAN GAMBAR DAN GRAFIK Inflasi Nasional: 0,47% (mtm)
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1. Peta Inflasi IHK Regional Bulanan, November 2016 (% mtm)
Inflasi Nasional: 3,58 % (yoy)
Gambar 2. Peta Inflasi IHK Regional Tahunan, November 2016 (% yoy)
Hal 7 dari 9
Grafik 1. Disagregasi Inflasi
Grafik 2. Disagregasi Inflasi Core %,yoy
Kredit Konsumsi
M2
Inflasi Inti- RHS
35
6.0
30
5.5
25
5.0
20
4.5 15 4.0
10
3.5
5 0
3.0 1234567891011212345678910112123456789101121234567891011212345678910112123456789101121234567891011 2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Grafik 3. Pergerakan Harga Emas Internasional dan Domestik
Grafik 4. M2, Kredit Konsumsi dan Inflasi Inti
Grafik 5. Penjualan Riil dan Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 6. Ekspektasi Inflasi Consensus Forecast
Grafik 7. Ekspektasi Inflasi Pedagang Eceran
Grafik 8. Ekspektasi Inflasi Konsumen
Hal 8 dari 9
Grafik 9. Inflasi dan Harga Cabai Merah
Grafik 10. Inflasi dan Harga Telur Ayam Ras
Grafik 11. Perbandingan Inflasi November per Wilayah (% mtm)
Grafik 12. Perbandingan Inflasi November per Wilayah (% yoy)
Jakarta, 1 Desember 2016
Hal 9 dari 9