REKONSEPTUALISASI MAKNA SYUKUR SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Aenudin1 NIM: 10.3.00.1.03.01.0028
A. PENDAHULUAN Makna syukur atau “syukuran” yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya adalah sebagai kegiatan seremonial yang diadakan oleh seseorang atau kelompok dengan cara mengundang orang lain, berkumpul bersama dalam suatu tempat untuk membaca ayat-ayat al-Qur‟an, do„a-do„a, shalawat, dan diakhiri dengan pembagian makanan, minuman dan lain-lain. Kegiatan “syukuran” tersebut tidak salah seluruhnya, tetap ada sisi benarnya. Namun sesungguhnya makna “syukur” tidak hanya sekedar ritualitas belaka, tanpa tindakan nyata dalam kehidupan. Dalam kegiatan tersebut menunjukkan pemaknaan “syukur” menjadi tidak utuh, tidak sesuai dengan konsep syukur yang telah dirumuskan para ulama berdasarkan al-Qur‟an dan alSunnah. Misalnya, menurut Muhammad Abduh bahwa yang dinamakan syukur itu adalah menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya, yaitu Allah SWT. 2 Senada dengan pendapat Abduh tersebut, Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim
merumuskan
konsep syukur sebagai pemanfaatan nikmat Allah sesuai dengan fungsinya, sesuai dengan tempat dan situasinya, dan secara optimal. Tindakan bersyukur pasti akan menyebabkan nikmat Allah itu akan bertambah, tindakan bersyukur itu pasti menimbulkan “nilai tambah” atau “added value”. Kita belumlah bersyukur jika tindakan kita yang biasa kita namakan “syukuran” itu tidak menimbulkan nilai tambah dalam bentuk apapun.
3
Yang menjadi indikator ketercapaian dan
1
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Saat ini men jabat sebagai Ketua dan Dosen Filsafat Ilmu pada STIES GASANTARA Sukabumi. 2 Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 16. 3
Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 37-38.
1
keberhasilan dari tindakan bersyukur adalah “nilai tambah” sebagai akibat dari usaha orang yang melakukan tindakan bersyukur itu. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.4 Yang harus disyukuri oleh manusia itu adalah nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada manusia yang jumlahnya banyak sekali, manusia tak akan mampu menghitung-hitungnya. Di antara nikmat-nikmat anugerah Allah itu adalah berbagai potensi (fit} rah) yang dimiliki manusia, antara lain potensi jasmani dan ruhani, serta alat-alat potensial lainnya, yaitu pendengaran, penglihatan, hati, dan akal.5 Pendidikan Islam merupakan konsep sistematis yang mempunyai peran penting dan strategis dalam usaha pengembangan segenap potensi yang dimiliki manusia, antara lain potensi jasmani dan ruhani, serta alat-alat potensial lainnya, sehingga mereka mampu menjalankan fungsi dan peranannya di dunia ini, baik sebagai hamba Allah (‘Abdulla>h)6 maupun sebagai Khali>fah-Nya.7 Memperhatikan uraian di atas, merupakan hal yang urgen untuk melakukan perubahan besar dan mendasar, yaitu perubahan paradigma dengan mengubah mind set masyarakat tentang hakikat makna “syukur” itu secara komprehensif dan mendalam sesuai dengan yang dirumuskan oleh para ulama dengan mengacu kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah. Hal ini sebagaimana pendapat filosof Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, tentu segala usaha yang dijalankan akan menemui kegagalan. 4
8
Selanjutnya,
Q.S. Ibra>h i>m [14]: 7.
5
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an, antara lain:“Allah SWT telah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan Allah SWT telah memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Nahl [16]: 78) dan lihat juga Q.S. al-Hajj [22]: 46. 6
Q.S. al-Dhariya>t [51]: 56
7
Q.S. al-Baqarah [2]: 30; Q.S. Hu>d [11]: 61, dan sebagainya.
8
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1998), 245. Yang d imaksud dengan paradigma dalam makalah ini
2
konsep syukur tersebut dapat dikonstruksi sebagai paradigma pendidikan dalam kerangka wacana humanisasi pendidikan dalam perspektif Islam. Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah konsep syukur dalam Islam ?. Bagaimanakah konsep syukur dikonstruksi sebagai paradigma pendidikan Islam ?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan membahasnya dengan merujuk pada berbagai literatur yang otoritatif di bidangnya.
B. PEMBAHASAN DAN ANALISIS 1. Konsep Syukur dalam Islam Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya). Pengertian kebahasaan
ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal
kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan al-Quran atau istilah keagamaan.9 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam al-Quran kata "syukur" dengan
berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat
kali.
Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqa>yis al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu,
adalah seperti yang dipahami o leh Thomas Khun bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksikan oleh mode of thought atau mode inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing (cara mengetahui) tertentu pula. Paradig ma s ebagai contoh yang diterima tentang praktik ilmiah sebenarnya, termasuk huku m, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Tho mas S. Khun, (1962), penerjemah : Tjun Surjaman, The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 10. Immanuel Kant sebagai dikutip oleh Kuntowijoyo misalnya, menganggap cara mengetahui itu sendiri sebagai skema konseptual. Mark menamakannya sebagai ideologi; dan Witgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), 327. 9
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Ta fsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2006), 215.
3
a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat shakara>t al-shajara>t. c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit). d. Pernikahan, atau alat kelamin.
10
Makna- makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan "siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur."11 Al-Raghi>b al-Isfaha>ni salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa al-Qur‟an menulis dalam al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n, bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan." Kata ini --tulis Al-Raghi>b-- menurut sementara ulama berasal dari kata "shakara " yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara " (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya. Makna
12
yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan
beberapa ayat al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain: “Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.”13
10
Agaknya kedua makna terakh ir in i dapat d ikembalikan dasar pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama yang menggambarkan kepuasan dengan yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat melahirkan banyak anak. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan Umat , 215. 11
M. Quraish Sh ihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan
Umat, 216. 12
M. Quraish Sh ihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan
Umat, 216. 13
Q.S. lbra>h im [14]: 7
4
Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan al-Quran: “Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur”. 14 M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa hakikat
syukur
adalah
"menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lisan:“Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut” (Q.S. al-D{uh{a> [93]: ll). Nabi Muhammad Saw. pun bersabda :“Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Tirmidhi). Dengan demikian menurut M. Quraish Shihab bahwa syukur mencakup tiga sisi: (1) Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah; (2) Syukur dengan lisan, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya; (3) Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan
anugerah
penganugerahannya.
yang
diperoleh
sesuai
dengan
tujuan
15
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa syukur (shuku>r)
ialah sikap
penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas se gala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah. Karena itu sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap bersyukur kepada diri sendiri, 16 karena manfaat besar kejiwaannya yang akan kembali kepada yang bersangkutan. 17
14
Q.S. al-Naml [27]: 40)
15
M. Quraish Sh ihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan Umat, 216-217. 16
Q.S. Luqma>n [31]:12.
17
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2000), 99-100.
5
Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim 18 mengemukakan bahwa bersyukur mengandung dua macam aktivitas, yaitu dengan perkataan dan perbuatan. Bersyukur kepada Allah SWT dengan lisan ialah mengucapkan “alh} amdulilla>h ”. Jika ucapan ini keluar dari hati yang ikhlas tentu diiringi pula oleh perbuatan. Oleh karena itulah maka diwajibkan kepada setiap Muslim menyesuaikan tingkah lakunya denga ucapannya, jika tidak maka ia akan digolongkan kedalam kelompok muna>fiqi>n. Kemurkaan Allah sangat dahsyat bagi mereka yang tak dapat menyesuaikan perbuatan atau tingkah lakunya dengan ucapannya. FirmanNya: “Sangat besar dosanya di sisi Allah jika kamu mengatakan sesuatu tetapi tidak kamu lakukan.” 19 Adapun bersyukur dalam bentuk perbuatan ialah memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan fungsinya serta sesuai pula dengan tempat dan situasinya, dan secara optimal. Tindakan bersyukur pasti akan menyebabkan nikmat Allah itu akan bertambah, tindakan bersyukur itu pasti menimbulkan “nilai tambah” atau “added value”. Jadi kita belumlah bersyukur jika tindakan kita yang biasa kita namakan “syukuran” itu tidak menimbulkan nilai tambah dalam bentuk apapun. 20 Berdasarkan pada makna syukur di atas, menurut Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim bahwa bersyukur memerlukan pengetahuan, karena ia mengandung tidak kurang dari empat aspek yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: (1). Untuk dapat memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan fungsi nikmat itu, sangat perlulah bagi yang akan bersyukur untuk mengetahui apa dan untuk apa nikmat itu dapat bermanfaat baginya. Umpamanya manusia dianugerahi akal oleh Allah SWT. Apakah fungsi akal itu ? tiada lain melainkan untuk berfikir tentang kejadian langit dan bumi, serta untuk menganalisa setiap masalah yang dihadapi dan memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Nikmat yang lain, umpamanya 18
Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 37. 19
Q.S. Al-S}a>f [61]:3.
20
Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, 37-38.
6
mata, yaitu
berfungsi untuk melihat serta memperhatikan; telinga untuk
mendengarkan dan menyimak. Jadi pengetahuan yang tepat akan fungsi setiap nikmat Allah ini sangat penting, sebelum manusia dapat bersyukur sebagaimana mestinya. (2). Memanfaatkan nikmat sesuai dengan tempat dan ruang juga menghendaki pengetahuan, jika tidak akan sia-sialah nikmat itu. (3). Dalam situasi apa dan bagaimana serta di mana nikmat itu bisa dimanfaatkan ? hal ini pun sangat memerlukan pengetahuan. Jika tidak manusia tidak akan mungkin bersyukur dengan sesungguhnya. (4). Pemanfaatan nikmat itu mestilah dengan tidak melupakan faktor efektivitas, agar tidak terjadi kerugian atau pembrorosan yang tidak perlu. Jadi mesti memperhitungkan efisiensi, agar tidak mubadhir, karena mubadhir itu pun dikutuk Allah SWT. Pengetahuan tentang ini dikenal orang sebagai ilmu optimalisasi. Jika seorang Muslim ingin melaksanakan tugasnya mensyukuri nikmat Allah dengan tepat, maka wajiblah ia mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh pula.
2. Potensi-potensi Dasar yang Dimiliki Manusia Dari proses kejadiannya manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu (1) substansi materi (jismiyah/jasad), yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan patuh pada sunnatulla>h (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta); (2) substansi immateri ( nonjasadi), yaitu penghembusan atau peniupan ruh (ciptaan-Nya) ke dalam diri manusia sehingga manusia merupakan benda organik
yang mempunyai hakikat
kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah (fit}r ah). 21 Menurut al-Farabi bahwa manusia terdiri atas dua unsur, yaitu: (1) satu unsur
21
Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 12.
7
berasal dari ‘a> lam al-Khalq; dan (2) satu unsur berasal dari ‘a> lam al-amr (ruh dari perintah Tuhan).22 Dari kedua substansi tersebut maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Manusia memang terdiri atas jasad dan ruh, tetapi yang hakikat dari kedua substansi itu adalah ruh. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya di alam barzakh. Manusia yang terdiri atas dua substansi itu telah dilengkapi dengan alatalat potensial dan potensi-potensi dasar atau disebut fitrah (fit}r ah). Berkaitan dengan fitrah manusia, Abdul Fattah Jalal 23 telah mengkaji ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan alat-alat potensial yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia untuk meraih ilmu pengetahuan. Masing- masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut adalah sebagai berikut: (a). Al-Lams dan al-Shum, yaitu alat peraba dan alat penciuman/pembau. 24 (b). Al-Sam‘u, yaitu alat pendengaran. Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan qalb, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan. 25 (c). Al-Abs}a>r,
yaitu alat penglihatan. Banyak ayat al-Qur‟an yang menyeru
manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakikatnya.26 (d). Al-‘aql, yaitu akal atau daya berpikir. Al-Qur‟an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berpikir. 27 Al-Qur‟an menjelaskan
22
Al-Farabi, “Fusuh al-Hikam” dalam Rasa>‘il al-Farabi, Hyderabad: t.p. 1926), 37.
23
‘Abdul Fatta>h Jala>l, Min al-Us}u >l al-Tarbawiyah fi> al-Isla>m (Mesi r: Dar al-Kutub, 1977), 103-110. 24
Lihat Q.S. al-An‘a>m [6]: 7; dan Q.S. Yu>suf [12]: 94.
25
Lihat Q.S. al-Isra> (17]: 36; Q.S. al-Mu’minu>n (23]: 78; Q.S. al -Sajdah [32]: 9; Q.S. al-Mulk [67]: 27; al-Nah}l [16]:78; dan sebagainya. 26
Lihat Q.S. al-A‘ra>f [7]: 185; Q.S. Yu>n us [10]: 101; al-Sajdah [32]: 27, dan sebagainya.
27
Lihat Q.S. A>lu ‘Imra>n [3]: 191.
8
bahwa Islam tegak di atas pemikiran. 28 Dalam al-Qur‟an dinyatakan bahwa penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat ( dhikir) dan memikirkan
atau
merenungkan
ciptaan-Nya.
29
Penggunaan
akal
memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda (kebesaran/keagunan) Allah serta mengambil pelajaran daripadanya. Dalam beberapa ayat, kata al-Nuha> digunakan sebagai makna al-‘Uqul.
30
(e). Al-Qalb, yaitu hati. Hal ini termasuk alat ma„rifah yang digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu. 31 Qalbu ini mempunyai kedudukan khusus dalam
ma‘rifah ila>hiyah, dengan qalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu serta ma„rifah yang diserap dari sumber Ilahi. Wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam qalbu Nabi Muhammad SAW.32 3. Implikasi Potensi Dasar Manusia terhadap Pendidikan Manusia yang terdiri atas dua substansi, yaitu jasad dan ruh, yang juga telah dilengkapi dengan potensi-potensi dasar tersebut harus diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak di akhirat. Pendidikan dalam Islam, antara lain berusaha untuk mengembangkan alatalat-alat potensial dari manusia tersebut seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah- masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah SWT.
28
Lihat Q.S. al-An‘a>m [6]: 50.
29
Lihat Q.S. al-Ra‘d [13]: 19.
30
Lihat Q.S. T>}a>h a> [20]: 53-54 dan sebagainya.
31
Lihat Q.S. al-Hajj [22]: 46; Q.S. Muhammad [47]: 24 dan sebagainya.
32
Lihat Q.S al-shu‘ar‘a> [26]: 192-194.
9
4. Hakikat Pendidikan Islam Dalam Islam dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan “pendidikan”, yaitu: al-Tarbiyah, al-Ta‘li>m, al-Ta‘di>b, dan al-Riya>dah.
a. al-Tarbiyah Al-Raghi>b al-Isfaha>ni salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa al-Quran menulis dalam al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n, bahwa “makna asal al-
Rabb adalah al-Tarbiyah, yaitu memelihara sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna”. Imam al-Baid}awi (wafat 685 H) mengemukakan bahwa “makna asal
al-Rabb adalah al-Tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit. Abdurrahman al-Bani (wafat 502 H) menjelaskan bahwa tarbiyah terdiri atas empat unsur, yaitu: (1) menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam- macam; (3) mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya; (4) proses ini dilaksanakan secara bertahap. 33 Must}afa> al-Mara>ghi membagi kegiatan al-Tarbiyah dengan dua macam. (1) tarbiyah khalqiyah, yaitu penciptaan, pembinaan, dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan jiwanya; (2)
tarbiyah
di>niyah
tahzi>biyyah,
yaitu
pembinaan
jiwa
manusia
dan
kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu ilahi. Berdasarkan pembagian tersebut, maka ruang lingkup al- tarbiyah mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik jasmani dan rohani, kebutuhan dunia dan akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan.34 Al-Abra>shi
memberikan
pengertian
bahwa
tarbiyah
adalah
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur
33
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat (Bandung: Diponegoro, 1992), 31-32. 34
Must}afa> al-Mara>g hi, Tafsi>r al-Mara>g hi (Beirut: Da>r Fikr, tt.) juz ke-I, 27.
10
pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerrjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.35 b. Ta‘li>m Menurut Rashid Rid}a> ta‘li>m adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pemaknaan ini didasarkan atas Q.S. al-Baqarah ayat 31 tentang pengajaran (‘allama) Tuhan kepada Adam A.S. 36 Kemudian menurut al-Maraghi pengajaran dilaksanakan bertahap,
sebagaimana terhadap
Adam A.S.
mempelajari,
menyaksikan dan menganalisa asma-asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya.37 c. al-Ta‘di>b Menurut al-Naqib al-Attas, al-Ta‘di>b adalah pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu yang di dalamnya tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. 38 Pengertian ini didasarkan atas sabda Nabi Muhammad SAW:
ﺍﺪﺒﻨﻲﺮﺒﻲﻔﺄﺤﺴﻦﺘﺄﺪﻴﺒﻲ Artinya: “Tuhan telah mendidikku, sehingga menjadi baik pendidikanku”. d. al-Riya>dah Al-Ghazali yang menawarkan istilah al-Riya>d}ah adalah proses pelatihan individu pada masa kanak-kanak. 39 Berdasarkan pengertian tersebut, al-Ghazali
35
Muh}ammad ‘Atiyah al-Abra> shi, al-Tarbiyah al-Islamiyah (Beirut: Dar fikr al-Arabi,
36
Rashid Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), Juz I, 262.
37
Must}afa> al-Mara>g hi, Tafsi>r al-Mara>g hi, 82.
38
Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan,
tt.), 100.
1988), 66. 39
Hussein Bahreis, Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Ghazali (Surabaya: al-Ikhlash, 1981),
74.
11
hanya mengkhususkan penggunaan al-Riya>d}ah untuk fase kanak-kanak, sedang fase yang lain tidak tercakup di dalamnya.40 Pandangan filosofis yang menjadi wacana publik para ahli pendidikan adalah bahwa pendidikan adalah proses humanisasi atau pemanusiaan. 41 Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisikbiologis maupun ruhaniah-psikologis.
42
Dengan kata lain pendidikan harus
dimulai dari refleksi filosofis tentang hakikat manusia. Karena titik sentral dalam pendidikan adalah manusia. Menurut Murtadha Muthahhari bahwa pandangan kaum humanis belum sepenuhnya memuaskan. Memang pada diri manusia terdapat sifat-sifat yang baik dan yang buruk, tetapi karakteristik khas dari kemanusiaannya adalah iman dan ilmu (sain). Jadi yang paling penting dan mendasar yang membedakan antara manusia dan makhluk- makhluk lainnya terletak pada iman dan ilmu (sain) yang merupakan kriteria kemanusiaannya.43 Abdullah M. Khauj mengatakan bahwa aktualisasi eksistensi kemanusiaan harus mencakup dua aspek, yaitu: aspek material dan aspek spiritual. Aspek spiritual merupakan bukti hubungan manusia dengan Penciptanya. Hubungan ini sifatnya sangat instrinsik. Dan inilah yang membedakan antara manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia dengan ciptaan Tuhan yang lain. 44 Pendidikan harus dikembangkan sebagai pengayaan nilai- nilai spiritual dan
religiusitas
40
tanpa
harus
melupakan
pengembangan
kemampuan
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), 17.
41
Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humansistik (Yogyakarta: Al-Ru zz Med ia Group, 2007), 19. Lihat juga H. A.R.Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 171. 42
Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 181.
43 Murtadha Muthahhari, Perspektif Qur‟an tentang manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1997), 30. 44
Abdullah M. Khauj, Humanistic Psycology and Islamic Religion: A Critical Analysis (Boston University School of Education, 1980), 62 dan 70.
12
profesionalnya menyelesaikan masalah- masalah. 45 Prinsip yang digunakan dalam belajar harus mengajarkan peserta didik bagaimana belajar dan menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya. Malik Fadjar mengemukakan bahwa pandangan filosofi klasik yang menjadi wacana publik para ahli pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan proses
humanisasi atau pemanusiaan
mengimplikasikan
proses
manusia.
kependidikan
Suatu pandangan
dengan
berorientasi
yang kepada
pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan “penuaan.“ Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis
manusia
melalui
pendidikan
dicoba
“didewasakan,“
disadarkan, dan “di-insa>n ka>mil-kan.“ Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai dua elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berkebudayaan dan berkeadaban. 46 Nurcholish Madjid menyatakan bahwa pendidikan berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa> (takwa) kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. 47 Dengan demikian, bahwa pendidikan
seharusnya
menumbuhkan
nilai- nilai
kemanusiaan
universal
(personality development) seperti masyarakat madani, civil, civilized atau berperadaban. Pada akhirnya, akan muncul penghargaan terhadap sesama manusia, egaliterianisme, toleran dan nondiskriminatif.48
45
Najmuddin Ramly, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), 192. 46
Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
181. 47 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat ( Jakarta: Paramadina, 2000), 96. 48
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia (Yogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 69.
13
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa eksistensi manusia sebagai makhluk yang termulia di antara makhluk- makhluk yang lain49 dan ia dijadikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya bentuk, baik fisik maupun psikisnya 50 serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-potensi dasar (fit}rah). Potensi-potensi tersebut perlu dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran penting dan strategis dalam mengembangkan potensi positif tersebut secara optimal dan seimbang. Di samping itu, harus disadari pula bahwa manusia juga mempunyai sifat-sifat negatif.
51
Maka pendidikan juga bertugas untuk
membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya, sebaliknya harus mengaktualisasikan sifatsifat positifnya yang tercermin dalam kepribadiannya.
52
Hasan Langgulung menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi dan pengembangan potensipotensi yang terpendam dan tersembunyi. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.53 Pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat, yang berbudaya kini dan masa depan. 49
Q.S. al-Isra>’:70.
50
Q.S. al-T}i>n :4
54
51
Di antara segi-segi negatif manusia itu adalah amat zhalim dan amat bodoh (QS. alAh}za>b : 72); manusia adalah makhlu k yang lemah (al-Nisa>’ : 28, al-Kahfi>:39); manusia adalah makhlu k yang banyak membantah dan menentang ajaran Allah (Q.S. al -Kahfi> : 54); manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. al-Isra> ’: 11); Manusia mudah lupa dan banyak salah; manusia sering mengingkari n ikmat (QS. al-H}ajj: 66) dan mengingkari kebenaran ajaran Allah (QS. al-Isra>’ : 89); manusia itu mudah gelisah, dan banyak keluh kesah serta sangat kikir (Q.S. al-Ma’a> rij: 19-21, alIsra>’: 100). 52
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 27. 53 Hasan Langgulung menyatakan bahwa nilai-nilai itu bermacam-macam, ada yang bersifat intelektual, seni, polit ik, ekonomi, dan la in-lain. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), 1-2. 54
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta:Rineka Cipta, 2004), 40.
14
Pendidikan sebagai proses hominisasi dimaksudkan pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk manusia harus dibesarkan agar dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kehidupan biologis yang membutuhkan makanan bergizi, kebutuhan seks, kehidupan ekonomis, termasuk mempunyai lapangan kerja sendiri. Pendidikan sebagai proses humanisasi berarti manusia itu bukan hanya sekadar dapat hidup dan makan, tetapi juga dia bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh sebab itu dia harus belajar untuk bertanggung jawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai- nilai moral (knowing is doing).55 Ah}mad Fu’ad al-Ahwa>ni>, mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah perpaduan yang menyatu antara pendidikan jiwa, membersihkan ruh, mencerdaskan akal, dan menguatkan jasmani. 56 Di sini yang menjadi bidikan dan fokus pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Fu‟ad adalah soal keterpaduan. Hal tersebut bisa dimengerti karena keterbelahan atau disintegrasi tidak menjadi watak dari Islam. ’Umar Muh}a mmad al-Toumy al-Shaiba>ni> mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan adalah untuk memproses manusia yang siap untuk berbuat dan memakai fasilitas dunia ini guna beribadah kepada Allah, bukan manusia yang siap pakai dalam arti siap dipakai oleh lembaga, pabrik atau yang lainnya. Jika yang terakhir ini yang dijadikan tujuan dan orientasi pendidikan, maka pendidikan hanya ditujukan sebagai alat produksi tenaga kerja dan memperlakukan manusia bagaikan mesin dan robot. Pendidikan seperti ini tidak akan mampu mencetak manusia terampil dan kreatif yang memiliki kebebasan dan kehormatan.57
55
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:Remaja Rosda Karya, 2002), 171. 56
Ah}mad Fu’ad al-Ahwa>n i>, al-Tarbiyah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1968), 9.
57
‘Umar Muhammad al-Toumy al-Syaiba>n >, Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>>miyyah (Tripoli: Al-Syirkah al-‘A>mmah li al-Nashr wa Tauzi>’i al-l’la>n , tt.), 292.
15
’Ali Khali>l Abu> al-’Ainaini menyatakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah perpaduan antara pendidikan jasmani, akal, akidah, akhlak, perasaan, keindahan, dan kemasyarakatan.
58
Muh}ammad Qut}ub menyatakan bahwa
pendidikan Islam adalah menumbuhkan dan mengembangkan (fit} rah) manusia secara utuh dan menyeluruh dengan tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun;
dari aspek jasmani, akal, dan ruhaninya, kehidupan materiil dan
imateriil, dan pada seluruh aktivitas hidupnya di muka bumi. 59 Ma>jid ’Arsa>n al-Ki>la>ni> menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam perilaku individ u dan membiasakannya dalam kehidupan masyarakat, yaitu individu yang mempunyai karakter atau berkepribadian intelek dan berbudaya tinggi. Karakter tersebut menjadi basis karakter masyarakat yang berperadaban tinggi. 60 Paulo
Freire
mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan
untuk
membangkitkan kesadaran manusia bahwa manusia itu mempunyai martabat dan kebebasan dan tidak menyerah kepada berbagai jenis penindasan. Pendidikan adalah proses pembebasan.61 Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidikan perlu membangun konsep pendidikan yang dapat mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas yang dilandasi dengan nilai-nilai Ketuhanan (ila>hiyyah ), kemanusiaan, masyarakat (insa>niyyah), lingkungan (‘a>l amiyyah), dan berbudaya. Dari kerangka
58
‘Ali Khali>l Abu> al-’Ainaini, Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah (Kairo : Da> r al-Fikr al‘Arabi, 1980), 167-193. 59
Muhammad Qut}u b, Manha>j al-Tarbiyah al-Isla>miyyah (Mesir:Da>r al-Qalam,tt.), 17.
ﻄﺮﻴﻘﺔ ﺍﻹﺴﻼﻡﻔﻰﺍﻟﺘﺮﺒﻴﺔ ﻫﻲ ﻤﻌﺎﻠﺠﺔﺍﻠﻜﺎﺌﻦﺍﻠﺒﺷﺮﻯ ﻜﻠﻪ ﻤﻌﺎﻠﺠﺔ ﺷﺎﻤﻠﺔ ﻻﺘﺘﺮﻚ ﺷﻴﺌﺎﻭﻻﺘﻐﻔﻞﻋﻦﺷﻴﺊ .ﺠﺴﻤﻪ ﻮﻋﻘﻟﻪ ﻮﺮﻮﺤﻪ ﺤﻴﺎﺘﻪﺍﻟﻤﺎﺩﻳﺔ ﻮﺍﻟﻤﻌﻨﻮﻴﺔ ﻮﻜﻝ ﻨﺸﺎﻁﻪ ﻋﻟﻰﺍﻷﺮﺾ 60
Ma>jid ’Arsa>n al-Ki>la>n i>, Ahda>f al-Tarbiyah al-Isla> miyyah (Beirut, Libanon: Mu’assah alRiyya>n , 1998 M/1419 H.), 13. 61
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (1968), h. 19. Pedagogik Freire dikenal sebagai pedagogik pembebasan yaitu belajar menghayati kontradiksi sosial, polit ik dan ekono mi dan mengambil langkah-langkah mengatasi elemen-elemen penindas. Dalam pemikiran serta usaha memperjuangkan perwujudan konsepnya tentang pedagogik pembebasan, Freire mengaju kan kebulatan tekad berupa harapan (“hope”) akan keberhasilan. Lihat Paulo Freire, Pedagogy of Hope (1998) serta bukunya yang terakhir, Pedagogy of Freedom (1998). Paulo Freire wafat 1997.
16
ini, maka pendidikan Islam harus mengembangkan pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatis, dan berakar pada budaya. 62 Konsep pendidikan integralistik, secara utuh berorientasi pada nilai- nilai Ketuhanan (rabba>niyyah-ila>hiyyah), kemanusiaan (insa>niyyah), dan lingkungan alam ( ‘a>l amiyyah) pada umumnya sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan rahmatan li al-’a> lami>n. Konsep pendidikan humanistik, pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia dengan menghargai hak-hak
asasi manusia,
hak
untuk
menyuarakan pendapat,
mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilainilai luhur kemanusiaan. Konsep pendidikan pragmatis, memandang manusia sebagai makhluk fungsional yang perlu melangsungkan, mempertahankan, mengembangkan hidupnya baik secara jasmani maupun rohani serta mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan memiliki kepekaan terhadap masalah- masalah kemanusiaan. Konsep pendidikan berakar pada budaya, dapat mewujudkan manusia yang memahami eksistensinya dengan memiliki kepribadian yang unggul, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri yang didasarkan pada nilai- nilai
ila>hiyyah.63 Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi mengemukakan bahwa proses pendidikan Islam banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi dan pembebasan memberikan kontribusi penting bagi pencapaian tujuan pendidikan Islam. Karena prinsip utama pendidikan adalah mengembangkan berpikir bebas dan mandiri secara demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individual, baik aspek kecerdasan akal maupun bakatnya. Kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengacu ke arah pengembangan aspek spiritual, apek moral, dan aspek intelektual serta aspek profesional.
64
62
Imam Barnadib, (Kata Pengantar), dalam Hujair A H. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), xi. 63
Imam Barnadib, (Kata Pengantar), dalam Hujair A H. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, xi-xii. 64
Muh}ammad ‘At}iyah Al-Abrashi>, al-Tarbiyyah al-Isla>miyyah wa Fala>safatuha> (Mesir: Isa al-Ba>b i> al-Halabi>, tt.), 5.
17
Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa pendidikan humanistik berakar dari keunikan personalitas manusia, dan humanisasi pendidikan dapat dijalankan dengan bentuk demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan menjadi syarat mutlak bagi terbentuknya suasana dialogis dan humanis. 65 Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, Dede Rosyada menyatakan bahwa model pembelajaran humanis hanya dapat terwadahi dalam model sekolah demokratis. Lebih lanjut diungkapkan bahwa model sekolah demokratis memiliki ciri-ciri: pertama, akuntabilitas, yaitu kebijakan-kebijakan sekolah-sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik; kedua, pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada peserta didik, guru akan memberikan pelayanan secara individual, berbagai kesulitan peserta didik akan menjadi perhatian guru; dan ketiga, keterlibatan masyarakat dalam sekolah, yaitu sistem pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah.66
5. Analisis Relevansi dan Kompatibilitas Makna Syukur dengan Pendidikan Islam Tindakan bersyukur pasti akan menyebabkan nikmat Allah itu akan bertambah, tindakan bersyukur itu pasti menimbulkan “nilai tambah” atau “added value”. Kita belumlah bersyukur jika tindakan kita yang biasa kita namakan “syukuran” itu tidak menimbulkan nilai tambah dalam bentuk apapun. 67 Hal ini ditegaskan dalam al-Qur‟an: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.68 65
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 86. 66
Dede Rosayada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), 20. Lihat Jerry Aldridge and Ren ita Goldman, Current Issues and Trend in Education (Boston:Allyn and Bacon, 2002), 103. 67
Muhammad „Imaduddin „Abdulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, 37-38.
68
Q.S. Ibra>h i>m [14]: 7.
18
“Allah SWT telah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan Dia telah memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”.69 Potensi jasmani dan ruhani, serta alat-alat potensial dengan berbagai daya dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Karena itu dalam beberapa ayat yang disebutkan di atas diakhiri dengan kalimat ( ﻠﻌﻠﻜﻢﺘﺸﻜﺮﻭﻦsupaya kamu bersyukur) atau ( ﻘﻠﻴﻼﻤﺎﺘﺸﻜﺮﻭﻦamat sedikitlah kamu bersyukur). Menurut Muhammad Abduh bahwa yang dinamakan syukur itu adalah menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya, yaitu Allah SWT. 70 Sementara pendidikan Islam merupakan konsep sistematis yang berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia, sehingga manusia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah (‘abdulla>h ) dan khalifah-Nya di bumi. Hal ini sebagai dinyatakan Muh}ammad Qut}ub bahwa pendidikan Islam adalah menumbuhkan dan mengembangkan (fit} rah) manusia secara utuh dan menyeluruh dengan tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun;
dari aspek jasmani, akal, dan ruhaninya, kehidupan materiil dan
imateriil, dan pada seluruh aktivitas hidupnya di muka bumi. 71 Dengan memperhatikan potensi yang dimiliki manusia, yaitu jasmani, akal, dan ruh. Semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh, maka implikasinya dalam pendidikan Islam ialah ketiga potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang. Konsekuensinya, pendidikan diarahkan untuk membina semua potensi tersebut. Berkaitan dengan hal ini M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pembinaan jasmaninya akan menghasilkan keterampilan, pembinaan akalnya akan menghasilkan ilmu, dan pembinaan ruhaninya akan menghasilkan kesucian dan etika.
Dengan penggabungan 69
unsur-unsur tersebut,
terciptalah
makhluk
Q.S. al-Nahl [16]: 78.
70
Muhaimin, et.al., Paradigma pendodikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 16. 71
Muhammad Qut}u b, Manha>j al-Tarbiyah al-Isla>miyyah , 17.
19
dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah ada>b al-Di>n dan ada>b al-
Dunya>.72 Dengan demikian terdapat korelasi antara “upaya pengembangan potensi diri” dengan “peningkatan kualitas kepribadian.” Dengan mengembangkan potensi jasmani akan menghasilkan keterampilan. Dengan mengembangkan potensi akal („aql) akan menghasilkan ilmu, dengan mengembangkan potensi hati (qalb atau fu‘a>d) akan menghasilkan etika dan moral atau akhlak. “Pendidikan” yang disebut tarbiyah dalam Islam mempunyai makna “menumbuhkan” dan “mengembangkan” segenap potensi manusia ke arah peningkatan kualitas kepribadian. Sementara “syukur” mempunyai makna “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan” sebagaimana pendapat al-Raghi>b al-Isfaha>ni. Selain
itu,
“syukur” juga
mempunyai makna “membuka” sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara " (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
73
Sebagai akibat dari tindakan bersyukur adalah terjadinya
pertambahan (al-Ziya>dah ), perkembangan, menjadi banyak, lebat, dan subur. Makna- makna tersebut merupakan nilai tambah (added value) yang diperoleh dari tindakan bersyukur. Dalam konteks pendidikan, sebagai konsekuensi dari tindakan syukur terhadap segenap potensi diri manusia adalah terjadinya peningkatan kualitas kepribadian sebagai nilai tambah (added value) atau al-
Ziya>dah dalam istilah al-Qur‟an. Kualitas kepribadian itu dapat berupa pribadi yang jasmaninya sehat, kuat dan berketerampilan, akalnya cerdas dan pandai (berilmu), hatinya penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta berakhlak mulia. Sedangkan makna “kafara” dalam konteks pendidikan adalah manusia yang menutup-nutupi terhadap potensi-potensi yang ada pada dirinya dibiarkan
72 M. Quraish Sh ihab, Membumikan al-Qur;an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2004), 173. 73
M. Quraish Sh ihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan
Umat, 216.
20
tidak berkembang. Misalnya malas berolah raga, malas berlatih, malas belajar, etos membaca dan meneliti rendah, tidak bersosialisasi, dan sebagainya. Sebagai akibat dari tindakan “kufur” terhadap potensi-potensi tersebut adalah terjadinya “kepribadian yang lemah” berupa fisiknya lemah, gampang sakit, perasaan minder, pesimis, tidak memiliki keterampilan, berwawasan sempit, kebodohan dan keterbelakangan. Hal ini disebut sebagai “Inna ‘adhabi> lashadi>d ” dalam istilah al-Qur‟an. Itulah relevansinya antara konsep syukur dengan konsep pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan konsep sistematis yang berfungsi
sebagai
instrumentasi
bersyukur
kepada
Allah
yang
telah
menganugerahkan berbagai nikmat potensi itu kepada manusia. Dengan demikian, maka konsep syukur dapat dikonstruksi sebagai paradigma pendidikan Islam.
C. PENUTUP Hakikat syukur dalam Islam merupakan sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan itu diwujudkan dalam bentuk aktualisasi berbagai nikmat Allah itu secara optimal sesuai dengan fungsi dan tujuan penciptaannya. Untuk itu, tindakan syukur memerlukan pengetahuan dan perenungan yang mendalam tentang fungsi dan tujuan penciptaan nikmat- nikmat Allah itu. Dalam konteks pendidikan, syukur merupakan aktualisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia secara optimal dalam kehidupan nyata, sesuai dengan fungsi dan tujuan penciptaan potensi-potensi itu untuk manusia. Sehingga menghasilkan nilai tambah (al-Ziya>dah ) atau added value, nilai manfaat, dan nilai guna (use value) bagi pelaku tindakan bersyukur tersebut. Jadi terdapat korelasi antara pengembangan diri dengan peningkatan kualitas kepribadian dan kemanfaatan diri bagi diri sendiri dan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan cara mengkomparasikan antara konsep syukur dengan konsep pendidikan Islam sebagaimana telah dikemukakan di atas, secara teoritis terdapat
21
relevansi dan kompatibilitas antara keduanya. Maka konsep syukur dapat dikonstruksi sebagai paradigma pendidikan Islam. Walla>hu A‘lam bi al-S}awa>b.
DAFTAR PUSTAKA Abra>shi, Muh}ammad ‘Atiyah. al-Tarbiyah al-Islamiyah. Beirut: Da>r Fikr al‘Arabi, t.t. Ahwa>ni, Ah}mad Fu’a>d. al-Tarbiyah fi> al-Isla>m. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1968. „Abdulrahim, Muhammad „Imaduddin. Islam Sistem Nilai Terpadu. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. ‟Ainaini, ‘Ali Khali>l Abu>. Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1980. Aldridge, Jerry and Renita Goldman. Current Issues and Trend in Education. Boston:Allyn and Bacon, 2002. Attas, Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, 1988. Baharudin dan Moh. Makin. Pendidikan Humansistik. Yogyakarta: Al-Ruzz Media Group, 2007. Bahreis, Hussein. Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Ghazali. Surabaya: al- Ikhlash, 1981. Malik, Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 181. Farabi. “Fusuh al-Hikam” dalam Rasa>‘il al-Farabi . Hyderabad: t.p. 1926. Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed (1968), Freire, Paulo. Pedagogy of Hope (1998) serta bukunya yang terakhir, Pedagogy of Freedom (1998). Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia. Yogjakarta: Logung Pustaka, 2004. Jala>l, ‘Abdul Fatta>h. Min al-Us}u> l al-Tarbawiyah fi> al-Isla>m. Mesir: Dar al-Kutub, 1977. Khauj, Abdullah M. Humanistic Psycology and Islamic Religion: A Critical Analysis. Boston University School of Education, 1980. Khun, Thomas S. (1962), penerjemah: Tjun Surjaman. The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Ki>la>ni Ma>jid ’Arsa>n. Ahda>f al-Tarbiyah al-Isla> miyyah. Beirut, Libanon: Mu’assah al-Riyya>n, 1998 M/1419 H. 22
Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 1991. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003. Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2000. Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Mulkhan, Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Muthahhari, Murtadha. Perspektif Qur‟an tentang manusia dan Agama. Bandung: Mizan, 1997. Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro, 1992. Qut}ub, Muhammad. Manha>j al-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Mesir:Da>r al-Qalam,tt. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2008. Ramly, Najmuddin. Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005. Rid}a>, Rashi>d. Tafsi>r al-Mana>r. Mesir: Dar al-Manar, 1373 H. Rosayada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004. Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003. Shaiba>ni> ‘Umar Muhammad al-Toumy. Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>> miyyah. Tripoli: al-Shyirkah al-‘A>mmah li al-Nas}r wa Tauzi>’i al-l’la>n, tt.), 292. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu„i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2006), 215. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur;an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.Bandung: Mizan, 2004. Tilaar. H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia, 1998. Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:Rineka Cipta, 2004.
23