Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi> Dalam Tantangan Isu Gender Kontempoter
Husnul Haq Dosen STAIN Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konsep hak ijba>r dalam fiqh, dan menyelidiki relevansinya dengan isu-isu gender saat ini. Penelitian ini dimulai dengan menjelaskan wali dan kepercayaan, makna hak ijba>r, opini ulama ‘tentang hak ijba>r, dan relevansi hak ijba>r terhadap isu-isu gender. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptifkualitatif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menjelaskan hak ijba>r di fiqh dilihat dari perspektif gender. Dengan menggunakan metode penelitian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak ijba>r tidak berlaku untuk gadis-gadis yang matang dan kompeten tentang hukum. Ini berarti hak untuk memilih calon pendamping hidup adalah milik anak. Peran wali adalah sebagai pertimbangan pemberi dan masukan saja. Perubahan sosial yang sangat signifikan membuat wanita lebih mudah untuk berinteraksi dengan laki-laki, dan memungkinkan mereka untuk mengetahui sifat dan karakter mereka. Kata kunci: fiqh, hak ijba>r, wali
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
197
Husnul Haq
ABSTRACT This research aims to describe the concept of ijba>r rights in fiqh, and investigate its relevance to gender issues at this time. The study begins by explaining the trustee and the trust, the meaning of ijba>r rights, scholars’ opinion about ijba>r rights, and the relevance of ijba>r rights to gender issues. The approach used in this research is descriptivequalitative approach, because this study is intended to reveal and describe the ijba>r rights in fiqh seen from a gender perspective. By using research methods outlined above, it can be concluded that the ijba>r right does not apply to the girls who are mature and law competent. It means the right to nominate a life companion belongs to the child. The role of a guardian is as a giver consideration and input only. Especially the very significant social change makes women easier to interact with men, and enables them to know their nature and character. Keywords: Fiqh, Ijba>r Right, Trustee.
A. Pendahuluan Mendambakan pasangan merupakan fitrah manusia sebagai mahluk sosial, mahluk yang membawa sifat ketergantungan dengan pihak lain. Memang sewaktu-waktu manusia bisa merasa senang dalam kesendiriannya, tetapi tidak untuk selamanya. Manusia telah menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain terutama dengan lawan jenisnya akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Agama Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita dan diarahkannya pertemuan itu sedemikian rupa melalui pintu pernikahan, agar hubungan antara dua anak manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Dengan dua kalimat yang sederhana ijab dan qabul terjadilah perubahan besar. Yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan 198
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang. Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Ikatan tersebut dinamai Allah “mitsaqan ghalidza” atau perjanjian yang amat kukuh (QS An-Nisa 4:21). Perjanjian yang demikian hanya ditemui tiga kali dalam Al-Qur’an. Pertama yang disebut di atas, yakni menyangkut perjanjian antara suami-istri, dan dua sisanya menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7) dan perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154). Hal ini menunjukkan betapa luhur sebuah pernikahan karena Allah menyebut perjanjian atas dasar ikatan pernikahan sama dengan perjanjian Allah swt dengan para nabi untuk mengemban Risalah-Nya. Agar tujuan sebuah pernikahan tercapai yaitu untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan penuh rahmah, diperlukan strategi jitu dan usaha maksimal, salah satunya adalah dalam memilih calon pendamping hidup. Di sinilah kebebasan memilih calon pendamping hidup, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun, diperlukan agar seseorang bisa memilih calon pendampingnya sesuai hati nurani dan kriteria yang telah ia tetapkan. Hanya saja, kebebasan dalam memilih calon pendamping hidup sering kali berbenturan dengan hak ijba>r1 yang dimiliki oleh wali. Inilah yang kemudian menjadi sorotan, bahwa dalam Islam hak perempuan dalam menentukan pasangan merupakan hak prerogatif orang tuanya. Hak ijba>r pun dalam konteks kekinian semakin menjadi perdebatan. Di tengah santernya isu gender dan perjuangan penguatan hak-hak perempuan, konsep ijba>r dinilai bertentangan dengan kesetaraan dan keadilan yang menjadi fokus dari perjuangan ini. Melalui hak ijba>r, seorang wali dapat menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya tanpa persetujuan dari yang PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
199
Husnul Haq
bersangkutan atau yang lebih dikenal dengan istilah “Kawin Paksa”. Lalu di manakah letak keadilan bagi perempuan ? Tulisan ini mencoba mengkaji secara mendalam tentang konsep perwalian secara umum dan hak ijba>r (wilayah al-ijba>r) secara khusus, dalam disiplin ilmu fikih, dan relevansinya dengan isu gender masa kini. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan hak ijba>r wali dalam pandangan fikih yang dilihat dari perspektif gender. Agar penelitian lebih komprehensif, penulis menggunakan metode komparatif (muqaranah, perbandingan), baik perbandingan antara satu mazhab dengan mazhab lain maupun perbandingan antara konsep fikih dengan konsep undang-undang.
B. Pembahasan 1. Wali dan Perwalian Perwalian (wilayah/walayah) secara etimologi berarti cinta dan pertolongan, atau berarti kekuasaan dan kemampuan. Secara terminologi, perwalian adalah kemampuan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (tasharuf) tanpa adanya izin dari orang lain. (al-Zuhaili, 2003: 6690). Sedangkan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam pernikahan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah
2. Syarat-syarat Wali Seseorang berhak menjadi wali jika memenuhi syaratsyarat ini: Pertama, Islam. Tidak sah orang non muslim menjadi wali nikah untuk perempuan muslimah. Kedua, adil. Adil berarti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil, serta tetap memelihara sopan 200
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
santun (muru’ah). Ketiga, laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi wali. Ulama mazhab Hanafi mempunyai pendapat yang berbeda dalam persyaratan ini. Menurut mereka, perempuan yang sudah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain. Keterangan lebih lanjut ada di pembahasan selanjutnya. Keempat, telah dewasa dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Kelima, tidak berada dalam pengampuan (mahjur alaih), sebab orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya, padahal kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum. Keenam, tidak sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji. Dalam hal ini, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa wali yang sedang ihram boleh menikahkan pasangan yang sedang ihram. Ketujuh, berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaan misalnya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam pernikahan tersebut (al-Khin, 2005: 59-60). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan balig. Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab atau wali yang yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa (Syarifudin, 2006:75). Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara kandung, anak lakilaki saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
201
Husnul Haq
keluarga yang mendapatkan bagian ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim (Al-Khin, 2005:59). Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia juga menerangkan orang-orang yang berhak menjadi wali dengan sangat detail pada pasal 20 ayat 2 tentang macam-macam wali nikah, pasal 21 ayat 1 tentang pengelompokan wali nasab, pasal 22, dan pasal 23 ayat 1 dan 2 tentang wali hakim. Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut. Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama sepakat dalam mendudukkanya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan. Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya dan oleh karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya (Syarifudin, 2006: 69). Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (balig) baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya ( Ibnu Rusy, 1996: 9), sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain. Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan yang sudah balig dan cakap hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain berpedoman kepada Hadis Nabi Saw (al Kasani, 1982: 241-247). 202
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
ٍ َع ِن ا ْب ِن َع َّب «األَ ِّي ُم َأ َح ُّق بِنَ ْف ِس َها ِم ْن:اس َأ َّن النَّبِ َّى صلى الله عليه وسلم َق َال .»َولِ ِّي َها َوا ْلبِك ُْر ت ُْست َْأ َذ ُن فِى َن ْف ِس َها َوإِ ْذن َُها ُص َمات َُها
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda: “Seorang yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim).
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali perempuan berpedoman kepada hadisNabi saw dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibn Majah:
ُ َق َال َر ُس:َع ْن َأبِى ُه َر ْي َر َة َق َال «الَ ت َُز ِّو ُج ا ْل َم ْر َأ ُة:ول ال َّل ِه صلى الله عليه وسلم .»الزانِ َي َة ِه َى ا َّلتِى ت َُز ِّو ُج َن ْف َس َها َّ ا ْل َم ْر َأ َة َوالَ ت َُز ِّو ُج ا ْل َم ْر َأ ُة َن ْف َس َها َفإِ َّن
Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: “Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah).
Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, penulis merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Di samping itu, di dalam ayat al-Qur’an yang dijadikan pedoman ulama mazhab Hanafi tidak ditemukan keterangan yang secara eksplisit menjelaskan kebolehan perempuan menjadi wali nikah. Sedangkan hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya daripada walinya”, bermaksud perempuan lebih berhak untuk menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan (menjadi wali) dirinya (Annur, 1420: 579). PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
203
Husnul Haq
Namun jika pernikahan ini (pernikahan dengan wali perempuan) terjadi, dan dianggap sah oleh hakim atau pengadilan maka termasuk pernikahan yang sah dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19 wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikah-kannya. Ketentuan ini sama dengan pendapat jumhur ulama, khususnya mazhab Syafi’i. Adanya perwalian dalam pernikahan tidak berarti mendiskreditkan perempuan. Sebaliknya, banyak hikmah yang dapat dipetik dari adanya perwalian, di antaranya: 1). Menjaga kehormatan kaum hawa dari kesan terlalu bernafsu atau agresif terhadap laki-laki, hal yang bertentangan dengan fitrah perempuan yang notabene pemalu. 2). Laki-laki lebih punya kapabilitas dalam meneliti dan menilai kondisi lakilaki yang melamar dibanding perempuan. Jika perempuan dibiarkan meneliti sendiri tanpa bantuan keluarganya, bisa jadi penelitianya kurang komprehensif dan kurang valid. 3). Adanya perwalian membantu penyiaran akad nikah kepada masyarakat. 4). Pernikahan, selain menghubungkan suami dengan istri, juga menghubungkan suami dengan keluarga istri dan sebaliknya. Karenanya, adanya perwalian membantu kelanggengan hubungan tersebut (Sulaiman, 1997: 119).
3. Hak Ijba>r dalam Pernikahan Perempuan Di atas telah dijelaskan bahwa perwalian merupakan kemampuan (hak) seseorang untuk melakukan suatu perbuatan (tasharuf) tanpa adanya izin dari orang lain ( alZuhaili, tt: 6690). Perwalian ada tiga macam, yaitu: Perwalian atas jiwa (Wilayah ala al-nafs), perwalian atas harta (Wilayah ala al-mal), dan perwalian atas jiwa dan harta (Wilayah ala al-nafs wa al-mal). Perwalian atas jiwa adalah pengawasan dan bimbingan terhadap orang yang punya kepribadian 204
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
lemah, seperti menikahkan, mendidik, atau mengobatkannya. Perwalian ini dimiliki oleh ayah, kakek, dan wali-wali yang lain. Perwalian atas harta berarti hak mengatur sirkulasi harta seseorang yang punya keterbelakangan dalam mengelola harta berupa menginvestasikan, membelanjakan, menjaga, dan menginfakkanya. Hak ini dimiliki oleh ayah, kakek, orang yang diberi wasiat oleh keduanya, dan orang yang diberi wasiat oleh hakim. Sedangkan perwalian atas jiwa dan harta diperuntukkan bagi orang yang punya keterbelakangan kepribadian dan harta. Perwalian ini hanya dimiliki oleh ayah dan kakek saja. Perwalian atas jiwa terbagi menjadi dua, yaitu: wilayah ijba>r dan wilayah ikhtiyar atau wilayah hatm wa ijab dan wilayah nadb wa istihbab. Wilayah ijba>r adalah hak yang dimiliki wali untuk menikahkan orang yang ada di bawah perwaliannya tanpa harus terlebih dahulu meminta persetujuan darinya, dan pernikahan itu dianggap sah, sehingga tidak boleh ditentang oleh siapa pun. Orang yang memiliki hak ini disebut wali mujbir. Semua ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa hak ini berlaku bagi anak kecil, baik laki-laki atau perempuan dan orang gila, baik laki-laki atau perempuan. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang anak perempuan yang masih perawan, dewasa, dan berakal, di mana ulama mazhab Hanafi tidak memberlakukan hak ijba>r atasnya, sementara jumhur ulama memberlakukan hak ijba>r atasnya, sebagaimana memberlakukan hak ijba>r atas perempuan yang belum dewasa (al-Zuhaili, tt: 6690). Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan mengenai illat (alasan) adanya hak ijba>r. Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Atha’, Sya’bi, dan An Nakha’i menyatakan bahwa illat hak ijba>r adalah keperawanan (al-bakarah), karenanya hak ijba>r berlaku bagi anak perempuan yang masih perawan, baik sudah dewasa atau belum. Sementara PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
205
Husnul Haq
ulama mazhab Hanafi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim menegaskan, illat hak ijba>r adalah belum dewasa (shigar), sehingga hak ijba>r hanya berlaku bagi anak perempuan yang belum dewasa, dan tidak berlaku bagi perempuan yang sudah dewasa (balig). Adapun wilayah ikhtiyar adalah hak yang dimiliki wali untuk menikahkan orang yang ada di bawah perwaliannya tetapi harus ada persetujuan dari orang tersebut. Hak ini – menurut kesepakatan ulama - berlaku bagi janda, karenanya tidak ada satu pun wali berhak memaksanya menikah tanpa adanya persetujuan darinya, sebab janda faham akan maksud pernikahan dan sudah pengalaman dalam hal itu, maka tidak boleh dipaksa menikah. Rasulullah saw pun menegaskan ketentuan ini dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, “Seorang yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya daripada walinya.”2(Umar Sulaiman, 1997: 143).Sedangkan bagi perempuan selain janda, para ulama berbeda pendapat. Secara umum bisa dikatakan, perempuan yang tidak masuk dalam kategori hak ijba>r, masuk dalam kategori hak ikhtiyar. Wali pemilik hak ikhtiyar disebut “wali mukhayyir”. Mereka adalah seluruh ashabah selain ayah dan kakek, yaitu: saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak lakilaki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim. Ulama berbeda pendapat tentang perempuan yang terkena hak ijba>r dan wali yang berhak mendapatkan hak ijba>r sebagai berikut: 1) Mazhab Hanafi Ulama mazhab Hanafi berpendapat, hak ijba>r wali berlaku bagi perempuan yang tidak punya kecakapan hukum, yaitu perempuan belum dewasa (shagirah) dan 206
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
perempuan gila (majnunah) untuk menjaga kemaslahatan mereka dengan menikahkanya dengan laki-laki pilihan walinya, sebab kesempatan untuk mendapatkan laki-laki seperti itu belum tentu ada di masa mendatang. Menurut mazhab Hanafi, hak ijba>r hanya milik ayah dan kakek. 2) Mazhab Maliki Dalam mazhab Maliki, hak ijba>r berlaku bagi perempuan yang belum dewasa; baik perawan atau janda, dan perawan yang sudah dewasa. Menurut mereka, hak ijba>r merupakan hak prerogatif ayah semata.3 3) Mazhab Syafi’i Ulama mazhab Syafi’i berpendapat, hak ijba>r berlaku bagi anak perempuan yang masih perawan (bikr), baik sudah dewasa (balighah) maupun belum (shagirah), berakal maupun gila. Hanya saja mereka mensyaratkan tiga hal, yaitu: Tidak ada permusuhan nyata antara wali dan anak, calon suami harus sederajat dengan anak, dan calon suami mampu membayar mahar. Menurut mazhab Syafi’i, hak ijba>r menjadi milik ayah dan kakek. 4) Mazhab Hambali Dalam mazhab Hambali, hak ijba>r berlaku bagi anak perempuan belum dewasa serta masih perawan dengan syarat laki-laki yang akan menikahinya sederajat dengannya. Sedangkan bagi perempuan dewasa serta masih perawan, ulama mazhab Hambali berbeda pendapat; sebagian besar ulama memberlakukan hak ijba>r baginya, sementara sebagian lain tidak. Tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang memberlakukan hak ijba>r baginya. Dalam mazhab Hambali, hak ijba>r hanya milik ayah semata Dari pemaparan di atas bisa kita tarik garis kesimpulan: Pertama, ulama sepakat bahwa hak ijba>r tidak berlaku bagi janda (al-Tsayyib). Kedua, ulama juga sepakat bahwa hak PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
207
Husnul Haq
ijba>r berlaku bagi perempuan yang belum dewasa (shagirah) dan perempuan yang gila (majnunah). Ketiga, mereka berbeda pendapat tentang hak ijba>r bagi perempuan yang masih perawan, dewasa lagi berakal (al-bikr al-balighah al-aqilah). Jumhur ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menetapkan hak ijba>r atasnya, sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak menetapkannya. Artinya, menurut mazhab Hanafi seorang wali tidak boleh memaksa perempuan yang perawan, sudah dewasa dan berakal untuk menikah dengan laki-laki tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan darinya. Jumhur ulama berpegangan pada: 1) Hadis nabi Muhammad saw:
ٍ َع ِن ا ْب ِن َع َّب «األَ ِّي ُم َأ َح ُّق بِنَ ْف ِس َها ِم ْن:اس َأ َّن النَّبِ َّى صلى الله عليه وسلم َق َال .»َولِ ِّي َها َوا ْلبِك ُْر ت ُْست َْأ َذ ُن فِى َن ْف ِس َها َوإِ ْذن َُها ُص َمات َُها
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim).
Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari hadis ini adalah bahwa seorang wali lebih berhak atas diri seorang gadis daripada sang gadis itu sendiri. Karenanya, perintah agar wali meminta izin kepada anak gadisnya terlebih dahulu lebih bersifat anjuran dan etika. 2) Wali lebih tahu akan kemaslahatan anak dibanding anak itu sendiri, dan wali dipersonifikasikan sebagai orang yang punya kasih sayang kepada anak sehingga dia tidak mungkin memilihkan bagi sang anak kecuali laki-laki yang baik dan membawa kemaslahatan baginya. Sedangkan ulama mazhab Hanafi berpedoman pada: 1) Nash-nash yang mensyaratkan adanya izin perempuan, seperti hadis-hadis di bawah ini: 208
dari
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
.َوا ْلبِك ُْر ت ُْست َْأ َذ ُن فِى َن ْف ِس َها َوإِ ْذن َُها ُص َمات َُها
“Sedangkan seorang gadis dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)
َ َحدَّ َثنَا َأ ُبو ُه َر ْي َر َة َأ َّن َر ُس َق َال « الَ ُتنْك َُح األَ ِّي ُم-ول ال َّل ِه –صلى الله عليه وسلم َ َقا ُلوا َيا َر ُس.» َحتَّى ت ُْست َْأ َم َر َوالَ ُتنْك َُح ا ْلبِك ُْر َحتَّى ت ُْست َْأ َذ َن ف إِ ْذن َُها َ ول ال َّل ِه َو َك ْي .» ُت َ َق َال « َأ ْن ت َْسك
Telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai ijinnya”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya ?”. Beliaumenjawab: “Diamnya” (HR. Muslim)
Dalam kitab Sahih Bukhari, imam Bukhari meletakkan satu bab berjudul, “Bab la yankihu al-abu wa ghairuhu al-bikra wa al-tsayyiba illa bi ridhahuma” artinya “Bab tentang ayah dan selainnya tidak boleh menikahkan gadis dan janda kecuali dengan ridhanya Imam Ibnu Hajar mengomentari peletakan bab tersebut, “Itu menunjukkan harus adanya kerelaan perempuan; perawan atau janda, kecil atau dewasa, sebagaimana makna dzahir dari hadis di atas, dan dikecualikan perempuan yang masih kecil 2) Nash-nash yang menjelaskan penolakan Rasul saw terhadap pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pengantin perempuan:
-صلى الله عليه وسلم- ت َفتَا ٌة إِ َلى النَّبِ ِّى ْ َع ِن ا ْب ِن ُب َر ْيدَ َة َع ْن َأبِ ِيه َق َال َجا َء ِ ِ ِ ِ ِ . َق َال َف َج َع َل األَ ْم َر إِ َل ْي َها.يس َت ُه َ َف َقا َل ْت إِ َّن َأبِى َز َّو َجنى ا ْب َن َأخيه ل َي ْر َف َع بِى َخس ِ َف َقا َلت َقدْ َأجزت ما صنَع َأبِى و َل ِكن َأردت َأ ْن َتع َلم النِّساء َأ ْن َليس إِ َلى اآلب اء ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ َْ ُ َ َ ْ .ِم َن األَ ْم ِر َش ْى ٌء
“Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
209
Husnul Haq
saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini.” (HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i).
ِ اس َأ َّن َج ٍ َع ْن ا ْب ِن َع َّب ت َأ َّن ْ َت النَّبِ َّي َص َّلى ال َّل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َف َذك ََر ْ ار َي ًة بِك ًْرا َأت ِ اها َز َّو َج َها َو ِه َي ك َار َه ٌة َف َخ َّي َر َها النَّبِ ُّي َص َّلى ال َّل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َ َأ َب
“Dari Ibnu ‘Abbas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” (HR. Abu Dawud).”
3) Menikahkan perempuan dengan orang yang tidak dia ridhai bertentangan dengan kaedah agama dan akal manusia. Allah SWT tidak memperbolehkan seorang wali memaksa anaknya untuk jual beli atau sewa menyewa barang tanpa persetujuan darinya, atau memaksa makan, minum, atau mengenakan pakaian yang tidak dia inginkan, lalu bagaimana jika wali itu memaksa anaknya untuk menikah dengan orang yang ia benci !!.
4. Hak Ijba>r Dengan Isu Gender Masa Kini Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah banyak membawa dampak perubahan bagi kehidupan sosial masyarakat terutama kaum hawa. Jika dahulu peran perempuan terbatas hanya di dapur, sumur, dan kasur, serta budaya patriarki atau budaya yang menganggap bahwa kaum pria lebih superior dibanding kaum perempuan telah mengakar kuat di masyarakat, kini seiring dengan perubahan zaman dan semakin berkembang pesatnya alat komunikasi dan jendela informasi, perempuan sudah banyak ke luar rumah untuk belajar, bekerja, berorganisasi, berkarir, dan menunjukkan eksistensinya di dunia nyata. Tidak jarang pos-pos penting 210
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
kemasyarakatan dan jabatan strategis dalam pemerintahan di tempati oleh kaum hawa. Akibatnya, mereka bertemu, berkenalan, dan berinteraksi dengan kaum laki-laki. Dari intensitas pertemuan itu, seringkali muncul benih-benih cinta yang dapat bersemi jika dipupuk dan disirami, serta sangat sulit untuk dibendung maupun dihindari. Cinta adalah sesuatu yang alami serta tidak bisa dipaksakan. Jika cinta dipaksakan maka biasanya tidak akan bertahan lama dan tidak berakhir bahagia. Di sisi lain, adanya hak ijba>r yang dimiliki wali seringkali disalahgunakan untuk mengkandaskan jalinan asmara putrinya dengan laki-laki pujaan hatinya, lalu menikahkannya dengan laki-laki pilihan sang wali. Sang anak pun dengan segala keterpaksaan mengikuti apa yang menjadi sabda sang wali, sekalipun hal itu mencabik-cabik hatinya. Dari sini, hak ijba>r menjadi semacam kuasa tersendiri bagi seorang wali di mana perempuan menjadi obyek dalam pernikahan, bukan sebagai subyek hukum. Praktik semacam ini dengan segala kemungkinan mudharat yang ditimbulkan layaknya menjadi “rapor merah” atas hak ijba>r yang sudah langgeng sekian lama, lebih-lebih jika hak itu kemudian melahirkan apa yang disebut “kawin paksa”. Pernikahan yang dijalani dengan keterpaksaan dapat berakibat buruk terhadap perempuan, terutama rentanya mereka mengalami kekerasan. Padahal tujuan dari pernikahan itu sendiri ialah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmah. Maka bisa jadi adanya hak ijba>r wali pada hakekatnya justru menjauhkan dari tujuan pernikahan. Alihalih bukan kebahagiaan yang didapat, justru yang didapat ialah rentetan penderitaan. Ini akan jauh berbeda saat perempuan berhak memilih pasangan hidupnya. Tentang hak ijba>r, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab Hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya kecuali atas PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
211
Husnul Haq
izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya, sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijba>r bagi perempuan dewasa dan cakap hukum karena alasan sebagai berikut: a) Adanya nash-nash yang mensyaratkan izin dari perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasul saw terhadap pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat imam Muslim di atas secara tegas mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan, sedangkan hadis riwayat Ibnu Majah dan An-Nasa’i serta hadis Abu Dawud secara jelas menerangkan penolakan Rasul saw terhadap pernikahan yang dilaksanakan tanpa seizin anak perempuan. b) Hak ijba>r bertentangan dengan kemaslahatan. Kawin paksa yang timbul karena adanya hak ijba>r telah terbukti membawa dampak negatif bagi rumah tangga mulai dari adanya ketidak harmonisan, pertengkaran, bahkan tidak jarang berujung perceraian. Tentu saja hal ini bertentangan dengan maksud utama (maqashid) dari pernikahan, yaitu untuk mendapatkan keturunan melalui keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmah, dan bertentangan dengan prinsip kemaslahatan yang merupakan ciri khas Syariat Islam Di bawah ini rekap jumlah kasus perceraian akibat kawin paksa di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 2012 dan tahun 2013 (Januari – Agustus).
212
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
Tabel 1. Rekap Jumlah Kasus Perceraian Akibat Kawin Paksa Di Wilayah Jawa Timur NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
PENGADILAN AGAMA Bangil Bangkalan Banyuwangi Bawean Blitar Bojonegoro Bondowoso Gresik Jember Jombang Kabupaten Kediri Kabupaten Madiun Kabupaten Malang Kangean Kodya Kediri Kodya Madiun Kodya Malang Kraksaan Lamongan Lumajang Magetan Mojokerto Nganjuk Ngawi Pacitan Pamekasan Pasuruan Ponorogo Probolinggo Sampang Sidoarjo
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
JUMLAH KASUS 2012 2013 1 kasus 11 kasus 7 kasus 5 kasus 141 kasus 5 kasus 16 kasus 1 kasus 12 kasus 2 kasus 104 kasus 76 kasus 2 kasus 7 kasus 2 kasus 26 kasus 86 kasus 1 kasus 12 kasus 3 kasus
3 kasus 14 kasus 18 kasus 50 kasus 22 kasus 84 kasus 89 kasus 1 kasus 9 kasus 6 kasus 2 kasus 4 kasus 1 kasus 17 kasus 54 kasus 39 kasus 34 kasus 1 kasus 1 kasus 22 kasus 35 kasus 1 kasus 28 kasus 6 kasus
213
Husnul Haq
32 33 34 35 36 37
Situbondo Sumenep Surabaya Trenggalek Tuban Tulungagung Total
1 kasus 10 kasus 5 kasus 536 kasus
4 kasus 17 kasus 7 kasus 10 kasus 69 kasus 2 kasus 650 kasus
Tabel 2. Rekap Jumlah Kasus Perceraian Akibat Kawin Paksa Di Wilayah Jawa Tengah NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
214
PENGADILAN AGAMA Ambarawa Banjarnegara Banyumas Batang Blora Boyolali Brebes Cilacap Demak Jepara Karanganyar Kebumen Kendal Klaten Kudus Magelang Mungkid Pati Pekalongan Pemalang Purbalingga Purwodadi Purwokerto Purworejo
JUMLAH KASUS 2012 2013 3 kasus 10 kasus 8 kasus 2 kasus 2 kasus 7 kasus 34 kasus 18 kasus 3 kasus 4 kasus 10 kasus 5 kasus 20 kasus 32 kasus 27 kasus 23 kasus 1 kasus 29 kasus 9 kasus 4 kasus 1 kasus 4 kasus 5 kasus 2 kasus 27 kasus 4 kasus 5 kasus 1 kasus 1 kasus 2 kasus 63 kasus 55 kasus -
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Rembang Salatiga Semarang Slawi Sragen Sukoharjo Surakarta Tegal Temanggung Wonogiri Wonosobo Kajen Total
10 kasus 15 kasus 1 kasus 1 kasus 13 kasus 226 kasus
1 kasus 17 kasus 9 kasus 1 kasus 2 kasus 1 kasus 2 kasus 14 kasus 282 kasus
c) Adanya perubahan sosial yang sangat signifikan. Peran perempuan pada masa lalu hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Bahkan, ada ungkapan yang menyatakan peran kaum perempuan seperti adagium: yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek (kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut). Artinya, jika siang hari berperan sebagai pembantu, sedangkan pada malam hari sebagai “penghangat” tubuh suami. Dengan kata lain, peran kaum perempuan tak lebih sekadar kanca wingking yang harus manut, taat, sendika dhawuh, dan rela diperlakukan sesuai kehendak suami; tanpa argumentasi. Seiring dengan perkembangan peradaban dan perubahan sosial yang terus bergerak pada ranah global dan mondial, peran kaum perempuan semacam itu agaknya sudah jauh mengalami pergeseran. Asumsi ini diperkuat dengan gencarnya perjuangan kaum perempuan dalam upaya melakukan pembebasan “mitos” lama, emansipasi wanita, dan kesetaraan gender. Saat ini perempuan telah terlibat aktif dalam membangun bangsa dan negara melalui dunia politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, bahkan keamanan. Kini wilayah-wilayah tersebut tidak hanya didominasi oleh kaum pria, wanita pun turut andil di dalamnya. Bahkan kadang kaum wanita bisa tampil lebih mandiri, dinamis, kreatif, PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
215
Husnul Haq
penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya tersebut. Berbagai fenomena ini jarang atau belum tentu ada pada saat para imam mujtahid menetapkan hak ijba>r bagi perempuan yang sudah dewasa dan berakal. Karenanya, wajar jika para ulama kontemporer seperti Yusuf Qaradhawi tidak sepakat dengan hak ijba>r dan menganggap bahwa hak itu merupakan produk tradisi yang perlu diubah jika tradisi itu berubah, sesuai dengan kaedah “Perubahan fatwa karena adanya perubahan zaman, tempat, kondisi, dan tradisi”. Perubahan fatwa atau hukum karena adanya perubahan zaman, tempat, kondisi, dan tradisi bukanlah sesuatu yang negatif. Para imam mazhab dahulu seringkali merubah fatwanya. Imam Syafi’i merubah pendapatnya yang lama (qaul qadim) ke pendapatnya yang baru (qaul jadid). Imam Ahmad bin Hambal kadang menghukumi satu permasalahan dengan hukum berbeda-beda. Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang notabene pengikut mazhab Hanafi seringkali berbeda pendapat dengan Imam Abu Hanifah yang merupakan pendiri mazhab itu, seperti dalam masalah “kesaksian orang yang tidak diketahui kondisinya” di mana Abu Hanifah membolehkannya sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan menolaknya. Para pengikut mazhab Hanafi pun mengomentari perbedaan murid dan imamnya tersebut dengan mengatakan “Itu disebabkan perbedaan zaman, bukan perbedaan dalil.” d) Hak ijba>r bertentangan dengan sistem hukum nasional maupun internasional. Undang-undang perkawinan di Indonesia tidak mengenal adanya hak ijba>r, karena dalam UU perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai. Sehingga apabila kedua calon mempelai tidak setuju dengan perkawinan tersebut maka akad nikah tidak dapat dilaksanakan.5 216
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
Sementara akad nikah yang dilaksanakan dengan paksa maka dapat dibatalkan Sementara Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (LCD) mendefinisikan perkawinan sebagai “akad yang sangat kuat yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Sedangkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 mengkategorikan perkawinan paksa sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang harus diakhiri. Yakni dengan menyebutkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, memilih suami/pasangan secara bebas. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasal 26 tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua telah ditegaskan bahwa, “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. b). Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. c). Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak” Pasal ini jelas mengamanatkan, orang tua wajib mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak, apalagi dalam konteks pernikahan yang dipaksakan. Sementara dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 menyebutkan bahwa “Perkawinan hanya dilakukan dengan persetujuan bebas sepenuhnya dari para calon mempelai.
5. Fatwa-Fatwa Kontemporer Tentang Kawin Paksa 1) Al-Majlis al-Urubi li al-Ifta’ wa al-Buhus (European Council For Fatwa And Research). http://www.e-cfr. org/ar/index.php?ArticleID=282, Setelah diadakan konferensi ke -14 di Dublin, Irlandia pada 23 - 27 PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
217
Husnul Haq
Februari 2005 dan diadakan kajian mendalam, maka Al-Majlis al-Urubi li al-Ifta’ wa al-Buhus menetapkan resolusi nomer 4/14 tentang hukum kawin paksa: “Bahwa wajib bagi para bapak atau para wali untuk bermusyawarah dengan anak perempuan dalam pernikahannya, jika ia setuju maka sah pernikahannya, jika tidak maka tidak sah.” 2) Majma’ al-Fiqh al-Islami di India. http://ifa-india.org/ arabic.php?do=home&pageid=arabic_seminar13,. Majma’ al-Fiqh al-Islami di India telah mengadakan seminar tentang fikih pada 13 - 16 April 2001, dan menetapkan Resolusi No: 55 (4/13) tentang kawin paksa berbunyi: Peserta seminar memutuskan beberapa hal di bawah ini: Pertama: Syariah Islam memberikan kepada orang dewasa laki-laki dan perempuan hak untuk bertindak dalam urusan pribadi mereka dan hak untuk memilih calon pendamping hidup dalam pernikahannya. Kebebasan pribadi ini merupakan salah satu fitur dari hukum Islam. Banyak negara di Timur dan Barat yang melindungi hak-hak perempuan, sebagaimana ajaran Islam. Kedua: Tidak diperbolehkan bagi para wali memaksa anaknya baik perempuan atau laki-laki yang sudah dewasa untuk menikah tanpa memperhatikan keinginan dan kerelaannya. Pemaksaan para wali akan pendapat mereka dan upaya mengintimidasi sang anak agar mengikuti pendapat mereka dalam pernikahan merupakan langkah yang salah. Ketiga: Sebaiknya anak laki-laki dan perempuan mengikuti pandangan para wali mereka dalam memilih pasangan, sebab para wali lebih berpengalaman dan senantiasa berkomitmen untuk menciptakan kemaslahatan bagi anak, serta mereka dititipi sifat belas kasihan dan kasih sayang oleh Allah SWT.
218
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
Keempat: Sahnya akad nikah tergantung adanya kerelaan pada waktu akad. Jika anak laki-laki atau perempuan dewasa terlihat rela ketika akad, maka akad itu dinyatakan sah. Kelima: Jika menurut hakim dan pejabat di pengadilan terbukti bahwa para wali memaksa anak perempuanya yang sudah dewasa untuk menikah, dan memaksanya untuk menyatakan kerelaan ketika akad nikah, sedangkan ia tidak rela dengan kelanjutan pernikahan ini, dan menuntut fasakh, tetapi suaminya tidak bersedia mencerainya maka hakim berhak membatalkan pernikahan ini untuk menangkal kezaliman. 3) Dr. Yusuf Qaradhawi Yusuf Qaradhawi menegaskan bahwa seorang ayah tidak berhak memaksa anak perempuanya yang balig dan tidak cacat hukum untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. Sebab, adanya perubahan sosial yang sedemikian rupa menyebabkan perempuan banyak berinteraksi dengan lawan jenisnya melalui pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini memungkinkan perempuan untuk bisa memilih laki-laki calon pendamping hidup sesuai hati nuraninya. Lebih jauh, Yusuf Qaradhawi mengomentari pendapat imam Syafi’i yang melegalkan hak ijba>r wali: “Imam syafi’i berpandangan seperti itu karena dia hidup di Mesir yang notabene perempuan masih jarang keluar rumah sehingga mereka kurang berinteraksi dengan kaum laki-laki. Akibatnya, mereka kurang mengenal dan memahami karakter kaum lakilaki. Barangkali jika imam Syafi’i hidup di zaman sekarang dan melihat perubahan sosial yang sangat signifikan di mana perempuan sudah banyak keluar rumah untuk belajar, bekerja, berinteraksi sosial dengan lawan jenis, bisa jadi dia akan merubah pendapatnya, sebagaimana ia merubah pendapatnya yang lama (qaul qadim) ke pendapat baru (qaul jadid). PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
219
Husnul Haq
4) Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad (Mufti Mesir).6http:// www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=401 Pertanyaan: Apakah hukum pernikahan seorang gadis berakal umurnya 18 tahun dengan seorang laki-laki yang punya keterbelakangan akal karena ada paksaan dari keluarga perempuan ? Jawaban: Perwalian merupakan hak yang diberikan oleh Syariat Islam kepada orang tertentu dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemadharatan. Di antara bentuk perwalian adalah wilayat alijba>r yang menurut ulama mazhab Hanafi hanya berlaku bagi anak perempuan kecil, tidak berlaku bagi anak perempuan yang dewasa dan cakap hukum. Sedangkan ulama mazhab Maliki dan Syafi’i memberlakukan wilayat al-ijba>r bagi anak perawan baik yang dewasa atau belum. Menurutku, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih layak untuk dipilih. Adapun kaitanya dengan pertanyaan di atas, tidak boleh menikahkan gadis berusia 18 tahun tanpa seizinnya baik dengan laki-laki yang sederajat dengannya atau tidak. Apalagi laki-laki yang akan dinikahkan denganya punya keterbelakangan akal. 5) Syaikh Nizar bin Shaleh al-Syu’aibi. http://www.onislam. net/arabic/ask-the-scholar/8255/8335/53511-2004-0801%2017-37-04.html, 2007,. Pernikahan merupakan hak prerogatif seseorang, karenanya seorang ibu atau ayah tidak berhak memaksa anak putra atau putrinya untuk menikah dengan seseorang yang tidak mereka inginkan, terutama jika motif paksaan ini adalah keserakahan terhadap dunia dan perhiasannya yang akan usang. Tindakan pemaksaan ini dilarang dalam Islam, karena merupakan ketidakadilan dan pelanggaran terhadap hak orang lain. Mayoritas ulama menegaskan bahwa haram bagi ayah memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki 220
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
yang tidak dia sukai, jika sang putri sudah balig dan berakal. Namun dianjurkan mentaati orang tua dalam memilih suami atau istri selama tidak ada hal-hal yang dilarang dalam Islam.
C. Simpulan Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mazhab empat terletak pada hak ijba>r wali terhadap gadis yang sudah dewasa lagi cakap hukum, di mana ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali menetapkan hak ijba>r atasnya, sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak menetapkannya. Kemudian mereka sepakat untuk memberlakukan hak ijba>r wali bagi perempuan yang belum dewasa dan perempuan yang sudah dewasa tapi tidak cakap hukum, sebagaimana mereka sepakat untuk tidak memberlakukan hak ijba>r bagi janda. Tentang hak ijba>r wali atas gadis yang sudah dewasa lagi cakap hukum, penulis cenderung kepada pendapat mazhab Hanafi yang tidak menetapkan hak ijba>r atasnya. Artinya, seorang wali tidak boleh memaksanya menikah tanpa terlebih dahulu menanyakan persetujuan darinya. Adanya hak ijba>r atasnya berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap rumah tangga yang akan dia bangun berupa ketidakharmonisan yang kadang berujung pada perceraian. Selain itu, hadis-hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud menegaskan kewajiban adanya persetujuan dari perempuan, sebagaimana sistem UU Perkawinan di Indonesia tidak mengakui konsep hak ijba>r. Wallahu A’lam.
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
221
Husnul Haq
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, I. H., t.th., Fath al-Bari, Vol. 9. Kairo: AlMaktabah al-Salafiyah. Al-Asyqar, U. S., 1997, Ahkam al-Zawaj fi Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah, Jordania: Dar al-Nafa’is, Al-Kasani, A. B.,1982, Bada’i al-Shana’i, Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar. Al-Khin, M., dkk., 2005, Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi alImam al-Syafi’i, Vol. 2. Damaskus: Dar al-Qalam. Anwar, H. M., t.th., Wilayat al-Mar’ah fi al-Fiqh al-Islamy, Riyadh: Dar Balansiyah. Ibnu Qayyim, M., 1420, I’lam al-Muwaqqi’in, Vol. 4. dalam Al-Maktabah al-Syamilah. Ibnu Qudamah, A., t.th., Al-Mughni, Vol. 7. dalam AlMaktabah al-Syamilah. Ibnu Rusyd, M., 1966, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar. Izzati, A. R., 2011, “Kuasa Hak Ijba>r terhadap Anak Perempuan Perspektif Fiqh dan HAM”, dalam AlMawarid, Vol. XI, No. 2. Mulia, S. M., 2008, Perempuan dan Hukum. Jakarta: YOI. Qaradhawi, Y., 1996, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Qalam. Qaradhawi, Y., 2002, Awamil al-Sa’ah wa al-Muru’ah fi alSyari’ah al-Islamiyah, Kuwait: Al-Majlis al-Watani li alTsaqafah wa al-Funun. Syarifuddin, A., 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana. 222
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
Reformulasi Hak Ijba>R Fiqhi...
UU No. 1 Tahun 1974. UU No. 7 Tahun 1984 Wasil, N. F., dkk., 2003, Al-Ah}wal al-Syakhsyiyyah li alMuslimi>n, Kairo: Al-Azhar Press. Zuhaili, W., 2001, Al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu, Vol. 9. Damaskus: Dar al-Fikr.
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015
223
Husnul Haq
halaman ini bukan sengaja dikosongkan
224
PALASTREN, Vol. 8, No. 1, Juni 2015