REALITAS SOSIAL DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Iklan Media Cetak Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi Versi: Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Komunikasi
disusun oleh HUSNUL FUADI NIM. 05730047
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2010
iii
iv
MOTTO
Bhineka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu (Semboyan Negara Republik Indonesia, wikipedia)
v
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk almamater saya: PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI ADVERTISING FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
vi
KATA PENGANTAR
ﺍﻠﺤﻣﺪﷲ ﺮﺐﺍﻠﻌﺍﻠﻣﻴﻥ ﺃﺸﻬﺪ ﺃﻦﻻﺍﻠﻪﺍﻻﺍﷲ ﻮﺣﺪﻩ ﻻﺸﺮﻳﻙ ﻠﻪ ﻮﺃﺸﻬﺪ ﺃﻦ ﻣﺣﻣﺪﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻮﺮﺳﻮﻟﻪ . ﺍﻟﻟﻬﻡ ﻓﺼﻞ ﻮﺳﻠﻡ ﻋﻟﻳﻪ ﻮﻋﻟﯽ ﺃﻠﻪ ﻮﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻣﻌﻳﻦ ﺃﻤﺎ ﺒﻌﺩ Puji Allah Tuhan Semesta Alam, yang telah melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rosululloh, sahabat beliau, dan umat beliau yang masih hanif sampai hari akhir. Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penyusun mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1.
Dra. Hj. Susilaningsih, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.
Drs. Oman Faturochman, M.Ag, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3.
Dra. Marfuah Sri Sanityastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
4.
Drs. Abdul Rozak, M.Pd, selaku Pembimbing Akademik yang telah sabar membimbing selama masa perkuliahan.
5.
Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag, M.Si., selaku pembimbing skripsi, yang telah memberikan bimbingan yang sangat berguna dalam penyusunan skripsi ini.
6.
Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7.
Bapak dan Ibu serta saudara tercinta di rumah, yang terus mendukung dan menyemangati setiap langkah penulis.
vii
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
i
PERNYATAAN KEASLIAN
ii
HAL NOTA DINAS PEMBIMBING
iii
PENGESAHAN
iv
MOTTO
v
PERSEMBAHAN
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
ix
ABSTRAK
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8 D. Telaah Pustaka................................................................................. 9 E. Landasan Teori ................................................................................ 14 F. Metodologi Penelitian ...................................................................... 27 BAB II GAMBARAN UMUM A. Iklan Rokok dalam Perspektif Historis ............................................. 35 B. Iklan Rokok pada Sampoerna A Mild .............................................. 42 C. Profil Iklan Media Cetak Sampoerna A Mild versi “Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” ............................... 56 BAB
III
REALITAS
SOSIAL
PADA
IKLAN
MEDIA
CETAK
SAMPOERNA A MILD VERSI MAKIN BANYAK PILIHANNYA MAKIN BINGUNG MILIHNYA A. Kode dalam Iklan Sampoerna A Mild versi “Makin Banyak Pilihannya Makin Bingung Milihnya” ........................................... 60
ix
B. Makna dalam Iklan Sampoerna A Mild versi “Makin Banyak Pilihannya Makin Bingung Milihnya” ........................................... 63 C. Representasi Realitas Sosial Politik dalam Iklan Sampoerna A Mild versi “Makin Banyak Pilihannya Makin Bingung Milihnya” .......... 78
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 82 B. Saran .............................................................................................. 85 C. Pengembangan Penelitian ............................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 88 LAMPIRAN
x
Abstract Sampoerna A Mild is a tobacco products with low tar and low nicotine. One interesting thing from Sampoerna A Mild is the appearance of their ads appearing most enchanting audiences. Impressions their ads more than a mere interlude. Advertisements Sampoerna A Mild is no longer rigid in hawking wares products. It may be caused by regulations that restrict cigarette ads, so ads Sampoerna A Mild able to appear more intelligent, rich in ideas, and broadcast through various approaches that are very creative. One of ads Sampoerna A Mild is quite interesting to study the ad Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi version of "makin banyak pilihannya, makin bingung milihnya" which was released before the 2009 elections. Which, on the eve of the election came a socio-political phenomenon in society, which is the number of political parties who will participate in the Indonesian democratic party which is held every 5 years. Sampoerna A Mild making such phenomena as the idea to advertise their tobacco products. Through this paper, the author tries to uncover the hidden meanings and messages in the ad Sampoerna A Mild. By using the theory of signs (semiotics) and the theory of the expression of the relationship between media texts with reality (representation), the author tries to analyze the signs contained in advertisements Sampoerna A Mild no strings attached version of "makin banyak pilihannya, makin bingung milihnya". Author of more focused research on print media advertising, and semiotic analysis method developed by Roland Barthes. From the analysis, the authors concluded that the ad Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi version of “makin banyak pilihannya, makin bingung milihnya”, seeks to represent the social realities that occur in society facing the implementation of the 2009 election. Social reality that happens it is a confused society. Confusion that struck the community caused by the many choices of political parties in Election 2009. Key words: Advertising Sampoerna A Mild, semiotics, representation, social reality.
xi
BAB I PENDAHULUAN Secara massive, masyarakat lebih menekankan emosi daripada rasio, media daripada isi, tanda daripada makna, kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada keseriusan, dan kemajemukan daripada kemanunggalan. ~ Rachmad Ibrahim~
A. LATAR BELAKANG MASALAH Rokok sebagai salah satu produk komersial telah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat. Bahkan industri rokok pada saat ini telah menjadi sebuah industri besar yang mendatangkan keuntungan cukup besar, tidak hanya bagi produsen rokok itu sendiri tapi industri rokok ikut menyumbang pemasukan yang tidak sedikit bagi negara. Hal ini menjadi dilema, karena di satu sisi rokok memberikan keuntungan yaitu dari segi ekonomis, tapi di sisi lain rokok juga merugikan, yaitu dari segi medis atau kesehatan karena rokok tersebut membahayakan bagi kesehatan manusia, baik bagi perokok aktif maupun bagi perokok pasif. Namun, walaupun memunculkan hal yang dilematis industri rokok tetap saja tumbuh dengan pesat. Kemajuan-kemajuan
di
beberapa
bidang,
terutama
teknologi
komunikasi menyebabkan terjadinya persaingan yang semakin ketat antara produsen barang atau jasa, dalam hal ini adalah produk rokok. Berbagai media pun dimanfaatkan sebagai alat komunikasi, mulai dari media cetak sampai media elektronik. Persaingan yang semakin ketat tersebut dapat terlihat dari strategi masing-masing produsen rokok dalam mengkomunikasikan pesanpesan yang akan mereka sampaikan kepada komunikan/calon konsumen yang
tujuan akhirnya adalah agar komunikan tertarik untuk mengkonsumsi produk mereka. Strategi komunikasi tersebut salah satunya mereka terapkan dalam beriklan. Pada era teknologi informasi ini hampir semua produsen industri modern memanfaatkan iklan sebagai media promosi produk mereka. Tidak hanya sekedar pada penggunaan jasa iklan, bahkan iklan telah membuka peluang untuk dijadikan mata pencaharian yang menjanjikan seiring dengan jumlah belanja iklan yang meningkat setiap tahunnya. Jumlah belanja iklan yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu mengindikasikan pentingnya peran iklan dalam dunia usaha. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh The Nielsen Company bahwa belanja iklan di Indonesia tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 16 persen dari Rp 41,708 triliun di tahun 2008 menjadi Rp 48,573 triliun (harian Sinar Harapan online, diunduh tanggal 01 Maret 2010, pukul 20.30 WIB). Indonesia menjadi negara ketiga di Asia Pasifik yang mengalami kenaikan belanja iklan tertinggi pada tahun 2009 ini, setelah China dan India. Data tersebut juga merupakan hasil survei dari lembaga riset pasar The Nielsen Company. Karena iklan merupakan salah satu elemen mekanisme ekonomi yang paling kasat indera, maka keberadaannya paling menarik berbagai penilaian ambivalen. Di satu sisi (kelompok pengusaha) iklan dianggap salah satu metode pemasaran yang ampuh guna mendukung kesuksesan bisnis. Iklan pada saat sekarang ini tidak hanya menjadi produk jasa maupun media, bahkan sudah menjadi komoditas profesi, komoditas bisnis, dan industri potensial. Di
2
sisi lain (kelompok konsumen) iklan tidak selalu dianggap positif. Iklan, diakui atau tidak, sering digemari, bahkan sangat digemari sebagai salah satu bentuk hiburan maupun sumber informasi yang ditawarkan di pasar, namun iklan juga sering dicurigai bahkan dibenci (Tinarbuko, 2009: 2). Hal seperti itu juga yang terjadi pada iklan produk rokok. Melihat iklan-iklan rokok yang ditayangkan, mungkin kita akan berdecak kagum melihat betapa kreatifnya iklan-iklan rokok yang ditampilkan, baik yang tayang di media elektronik maupun di media cetak. Bahkan tidak sedikit iklan-iklan produk rokok yang menang award di ajang penghargaan bidang kreatif iklan karena begitu kreatifnya iklan mereka. Kreatifitas iklan rokok berawal dari adanya pembatasan pada iklan rokok dalam hal penayangan iklannya. Iklan rokok dilarang menampilkan adegan merokok, produk rokok, bahkan bungkus rokok. Berangkat dari hal tersebut mungkin memunculkan daya kreatif sang pembuat iklan. Ide mereka dapat melanglang buana dengan hanya mengambil salah satu atribut dari brand tersebut yang dianggap paling pantas untuk menjadi landasan kreatifnya. Kreativitas sebuah iklan kadangkadang muncul justru ketika produk dihadapkan pada posisi yang sulit seperti itu. Oleh karena itu, kreator iklan rokok harus berpikir multiaspek dan multidimensi. Penyajian iklan pada hakikatnya adalah aktifitas menjual pesan dengan menggunakan keterampilan kreatif seperti copywriting, layout, ilustrasi, tipografi, scriptwriting, dan pembuatan film. Penyajian iklan bahkan diyakini dapat digunakan dalam rangka mengubah gaya dan kebiasaan hidup. Hal ini
3
terkait dengan bagaimana iklan menyentuh perasaan tanpa kita sadari dengan berbagai tampilan yang menarik, kata-kata manis yang persuasif serta gambar dan ilustrasi yang memikat. Hampir sebagian besar iklan sukses melakukan penyihiran terhadap khalayak dalam setiap kampanyenya. Meski tidak berhasil membujuk untuk membeli, setidaknya produk atau brand yang diiklankan bisa tertanam di benak masyarakat. Agar iklan bisa menarik perhatian konsumen diperlukan tampilan yang unik, mencolok, dan menggugah perasaan ingin tahu khalayak. Minimal iklan bisa menarik khalayak untuk sekedar menyentuh aspek alam bawah sadar mereka, tanpa harus mengubah keinginan konsumen untuk membeli atau memiliki produk yang diiklankan tersebut. Tentunya hal tersebut terkait dengan bentuk tampilan iklan. Individu cenderung tertarik pada hal-hal yang berbeda, menarik, dan unik. Sudah bisa dipastikan iklan dengan tampilan yang berbeda lebih berkesan dan lebih familiar di benak khalayak. Periklanan modern cenderung menonjolkan cara-cara komunikasi melalui citra, simbol, dan ikon, yang bekerja tidak melalui aturan literal dan logis, tapi lebih melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti, dan analogi (Noviani, 2002:30). Diperlukan desain dan retorika iklan yang bagus untuk bisa menanamkan image produk di benak konsumen. Desain dan retorika dalam iklan tidak harus menonjolkan keunggulan produk iklan tersebut. Iklan jenis ini sudah mulai banyak di Indonesia. Contohnya iklan-iklan rokok, seperti iklan rokok Sampoerna A Mild yang lebih menonjolkan kata-kata, gambar, serta audio visual yang lebih unik dalam tampilan lainnya. Dengan kata lain, iklan
4
memberi perhatian lebih pada simbol-simbol produk dan maknanya bagi konsumen. Untuk
membangkitkan
citra
produk
yang
diiklankan,
maka
digunakanlah simbol-simbol untuk membangun citra, makna serta kesadaran terhadap sebuah realitas sosial. Simbol-simbol yang dimaksud adalah simbolsimbol kelas, simbol-simbol budaya popular, seperti; kemewahan, kualitas, efektifitas, kenikmatan dan cita rasa, kemudahan, aktualisasi serta simbol lainnya. Timbul anggapan bahwa simbolisasi produk dalam iklan sebetulnya merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam iklan yang menggunakan pencitraan atau simbolisasi makna, maka simbol atau citra tersebut akan berhubungan dengan konteks sosial budaya masyarakat dimana iklan tersebut ditayangkan. Iklan sebagai salah satu bagian dari bauran promosi tentu tujuannya adalah untuk menjual atau bersifat komersial. Namun melihat iklan-iklan yang banyak ditayangkan sekarang, khususnya iklan rokok, maka dapat disimpulkan bahwa selain berorientasi komersial, iklan juga berorientasi sosial, politik, aspiratif, dan mengkritik fenomena-fenomena yang ada. Iklan rokok Sampoerna A Mild yang menjadi obyek penelitian disini juga demikian. Disamping berorientasi komersial, sekilas terlihat dari tayangan iklan-iklannya bahwa iklan tersebut juga mengkritisi fenomena-fenomena atau realitas sosial yang ada dan sedang berkembang di masyarakat. Bahasa iklan rokok Sampoerna A Mild dikenal dengan bahasa iklan yang unik. Hal tersebut terkait
5
dengan bahasa iklan yang tidak mengarah pada iklan produk rokok secara langsung. Bahasa iklan rokok Sampoerna A Mild banyak mengarah pada sebuah situasi atau realitas sosial yang ada. Dalam konteks penelitian ini, iklan dipahami sebagai teks, dan teks adalah tanda. Maka teks iklan tersebut dapat diinterpretasikan dengan menggunakan metode semiotika (Heru Nugroho, dalam Noviani, 2002: vii). Berdasarkan metode semiotika strukturalis, iklan berakar pada realitas konkret. Suatu hal bisa diangkat menjadi iklan dengan berdasarkan pada suatu referensi sosial, karena khalayak dianggap tidak mampu memahami iklan jika tidak memiliki referensi sosial. Iklan yang tidak memiliki rujukan sosial dapat ditinggalkan oleh khalayak. Apalagi jika iklan tersebut tidak dikemas secara apik dan menarik. Namun apabila sebuah iklan menemukan konteksnya di kehidupan sosial sehari-hari dan pengemasan iklannya juga menarik, maka hampir bisa dipastikan iklan tersebut akan melekat di benak khalayak, minimal orang tahu dan gampang untuk mengingat iklan tersebut. Salah satu iklan simbolik yang menarik untuk dicermati adalah iklan simbolik yang terdapat pada media cetak. Pada dasarnya masing-masing media memiliki kekuatan yang berbeda. Pada media cetak hanya ada gambar yang tidak bergerak dan kata, hal ini berbeda dengan media televisi, dimana orang bisa melihat gambar bergerak sekaligus suara. Komposisi iklan cetak terbagi menjadi dua elemen penting, yaitu naskah iklan (copywrite) dan ilustrasi. Jika kedua elemen tersebut dapat menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling melengkapi dalam hal pemberian makna, maka akan menghasilkan iklan yang
6
menarik sekaligus mampu memberikan keuntungan secara komersil (Riyanto, 2000: 20-24). Pada saat ini, dimana persaingan antara produsen yang semakin ketat dan iklan yang bermunculan pun semakin beragam, maka naskah iklan pada iklan cetak harus memiliki ide yang kuat dengan headline, bodycopy, dan visual yang saling mendukung. Iklan cetak dituntut mampu membuat orang berhenti dan memperhatikan iklan tersebut (eye cathcing). Letak kekuatan iklan media cetak ada pada kata-kata, atau yang terkenal dengan istilah “the power of words”. Iklan rokok Sampoerna A Mild yang akan menjadi objek dalam penelitian ini adalah iklan rokok Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi versi: “Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”. Iklan tersebut diluncurkan menjelang Pemilihan Umum 2009. Karena iklan ini ditayangkan pada masa seputar Pemilihan Umum, maka sekilas dapat kita ketahui bahwa iklan ini menghadirkan kembali realitas sosial yang ada dalam masyarakat melalui sebuah media yang bernama iklan produk rokok, bahkan iklan ini bisa dikatakan mengkritisi fenomena banyaknya partai politik
yang ikut
berpartisipasi meramaikan Pemilihan Umum 2009. Sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa dengan banyaknya partai peserta Pemilihan Umum 2009 (sistem multi partai) akan menyebabkan kebingungan masyarakat dalam menentukan pilihan.
7
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan
latar
belakang
diatas,
maka
akan
dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah makna dan pesan yang terdapat dalam iklan rokok Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi versi: “Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”? 2. Apa realitas sosial politik yang terkandung di balik iklan rokok Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi versi: “Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan: Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: 1. Menjelaskan mengenai makna semiotik/simbolik yang terdapat pada iklan Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi “Makin Banyak Pilihannya Makin Bingung Milihnya” versi cetak. 2. Memperoleh penjelasan mengenai hubungan antara makna simbolik yang terdapat pada iklan tersebut dengan realitas sosial masyarakat. Manfaat: Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis
8
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori komunikasi, khususnya penerapan dari analisis semiotika sebagai salah satu teknik mengartikan media. 2. Manfaat praktis a. Penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk mengetahui makna simbolik atau semiotik yang terdapat pada iklan Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi “Makin Banyak Pilihannya Makin Bingung Milihnya” versi media cetak dan hubungan makna tersebut dengan realitas sosial politik masyarakat. b. Bagi masyarakat periklanan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan
atau
referensi
mengenai
interpretasi
iklan
dengan
menggunakan analisis semiotika.
D. TELAAH PUSTAKA Penelitian tentang iklan adalah penelitian yang cukup menarik dan sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan praktisi periklanan itu sendiri. Mereka pun melakukan penelitian dengan menggunakan metode analisis yang berbeda-beda pula. Dari sekian banyak penelitian iklan, yang berkaitan dengan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dyah Dwirashinta Sukma Devi (2003) yang melakukan analisis semiotika terhadap iklan rokok
9
Sampoerna A Mild versi cetak. Dari hasil penelitiannya, bahwa iklan-iklan Sampoerna A Mild yang diteliti mampu menyampaikan pesan realitas sosial lewat teks-teks pada iklannya, baik teks verbal maupun visual. Tema-tema sosial
yang diangkat
dalam
iklan
Sampoerna A
Mild kebanyakan
menggambarkan perkembangan kondisi sosial masyarakat Indonesia, mulai dari awal reformasi sampai setelah beberapa tahun reformasi berjalan. Rangkaian iklan Sampoerna A Mild yang diteliti tersebut dapat menjadi contoh dari penggunaan simbol dan lambang pada teks iklan. Oleh karena itu, melalui penelitian ini peneliti melihat peluang digunakannya tanda dan lambang dapat lebih efektif untuk menyampaikan maksud tertentu. Beda penelitian oleh Dyah Dwirashinta Sukma Devi ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan nanti terletak pada iklan yang diteliti, yang mana peneliti hanya fokus pada satu iklan Sampoerna A Mild, sedangkan Dyah Dwirashinta Sukma Devi melakukan penelitian terhadap rangkaian iklan Sampoerna A Mild dalam periode waktu tertentu. Kedua, Analisis Iklan Rokok Clas Mild melalui Media Cetak (Studi Semiotik Iklan Rokok Clas Mild), Santi Lestariningsih, 2005, yang meneliti iklan Clas Mild dengan menggunakan metode semiotika dan berkesimpulan bahwa keunggulan utama dari iklan rokok tersebut dibandingkan dengan iklan rokok lainnya adalah kemudahan konsumen dalam menangkap fenomena sosial yang digambarkan. Dalam iklan tersebut fenomena sosial digambarkan secara lengkap dan jelas tanpa menggunakan simbol ataupun kiasan yang sulit dipahami.
Keunggulan lainnya adalah kemampuan iklan
10
Clas Mild
mengangkat tema modern dan kemewahan, meskipun dari segi kreativitas, tema iklan yang diangkat kurang kreatif dari iklan rokok lainnya. Beda penelitian ini adalah bahwa penelitian Santi Lestariningsih menggunakan metode semiotika untuk mencari keunggulan iklan Clas Mild dibandingkan dengan iklan produk rokok lainnya, sedangkan peneliti sendiri nantinya hanya akan mencari apa makna dan pesan dibalik iklan serta hubungan iklan dengan realitas sosial yang ada. Ketiga, dalam penelitian Freddy H. Istanto yang berjudul: “Rajutan Semiotika Untuk Sebuah Iklan, Studi Kasus Iklan Long Beach” (2000), yang menganalisa iklan rokok Long Beach dengan menggunakan pisau bedah semiotika. Saat ini iklan tidak lagi hanya berkata : “Belilah !”, tetapi telah jauh bahkan sampai ke gaya hidup dan sebagainya. Iklan rokok Long Beach telah menawarkan suatu kondisi “bersantailah sejenak dan bermimpilah hanya dengan merokok”. Komunikasi periklanan tidak lagi menawarkan produk secara gamblang dan kaku, tetapi melalui eksekusi iklan yang kreatif dan menarik Dari sudut pandang semiotika komunikasi, terlihat bahwa iklan tidak hanya memberikan informasi tentang suatu produk atau jasa saja, tidak juga hanya berusaha secara persuasif saja, tetapi telah melebar pada pengkondisian situasi dan kondisi tertentu pada sekelompok masyarakat. Istanto berpendapat bahwa dalam strategi komunikasinya, perancang iklan Long-beach menyiapkan brand-essence yang solid dan mengaplikasikannya ke dalam suatu ekseskusi yang kreatif. Merokok dapat diamati sebagai suatu kondisi dimana penikmatnya ingin merasakan suatu “pelarian” disaat yang membosankan dari
11
rutinitas keseharian. Brand-essence dari Longbeach adalah “Sets Me Free”. Merokok merupakan suatu aktifitas dimana penikmatnya ingin merasakan suatu “pelarian” disaat yang membosankan dari rutinitas keseharian. Pelarian sesaat inilah yang menghantar “set me free” menjadi acuan (referent) untuk diterjemahkan dalam eksekusi iklan ini. Untuk “bebas sejenak” dari rutinitas, maka pilihan lokasi yang tepat adalah pantai. Sebuah signifier (pantai) untuk menggambarkan kebebasan (signified) tadi. Dengan demikian dalam penelitian Istanto ini, dia mengkaji iklan Long Beach dengan menggunakan metode analisis semiotika Pierce untuk menjelaskan kaitan-kaitan pemikiran sebuah ide yang melatarbelakangi munculnya iklan tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini sendiri nantinya akan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes untuk menjelaskan makna denotasi dan konotasi dari iklan yang diteliti. Keempat, dalam penelitian lain yang berjudul “Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan A Mild” (1999), Istanto mendiskusikan wacana postmodern yang terdapat dalam iklan, dalam hal ini adalah iklan rokok A Mild. Didalam situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang tidak menentu di Indonesia saat ini, hadir fenomena baru yakni munculnya ribuan iklan rokok A-Mild; yang dalam penampilannya mengundang beragam pertanyaan. Sajian iklan yang dihadirkan, tidak memperlihatkan adanya hubungan antara pesanpesan yang disampaikan dengan produk yang dipasarkan, sesuatu yang terlihat janggal dalam dunia iklan pada umumnya. Tampilan iklan A-Mild, dalam kertas kerja ini dikaji dengan pendekatan linguistik, yaitu teori semiotik, suatu
12
teori yang berasal dari teori kebahasaan. Pesan dalam iklan (baik teks maupun gambar) dapat dibaca sebagai tanda atau sekumpulan tanda. Antara penanda (bentuk) dan petanda (makna) dalam tampilan iklan A-Mild tidak terlihat hubungan yang ideologis dan mapan, namun justru ironis dan terlihat semaunya. Tampilan iklan A-Mild tampak memadukan pula aspek-aspek kehidupan yang berkembang di saat itu, sehingga teks (karya post-modern) bukan lagi karya yang menghasilkan makna yang tunggal, melainkan sebuah ruang yang multidimensional yang didalamnya memang tercampur-aduk dan berinteraksi berbagai macam persoalan. Iklan ini mengindikasikan pula penggunaan salah satu bahasa estetika postmodern yaitu parodi. Dalam penelitian ini Istanto juga mengutip pendapat Yasraf A. Piliang yang menguraikan tentang bahasa estetik postmodernisme. Salah satu bahasa tersebut adalah parodi, menurutnya parodi adalah sebuah komposisi dalam karya sastra, seni atau arsitektur yang didalamnya kecenderungan pemikiran dan ungkapan khas dalam diri seorang pengarang, seniman, arsitektur atau gaya tertentu yang diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atau absurd. Parodi adalah penggunaan kembali karya masa lalu yang dimuati dengan ruang kritik, yang menekankan pada kritik, sindiran, dan kecaman sebagai ungkapan rasa tidak puas atau sekedar atau sekedar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius. Dari tinjauan pustaka diatas dapat diketahui bahwa semiotika merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menginterpretasikan sebuah iklan. Dan metode semiotika itu juga yang akan dipakai nantinya dalam
13
penelitian ini. Pada intinya penelitian ini adalah sama dengan penelitian yang sudah ada diatas, cuma yang berbeda adalah objek atau iklan yang diteliti. Selain itu yang lebih penting adalah bahwa beberapa penelitian di atas rata-rata menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce dengan lebih menekankan hubungan antara penanda (signifier) dengan petanda (signified), sedangkan dalam penelitian ini peneliti akan lebih fokus kepada model analisis semiotika yang diperkenalkan oleh Roland Barthes yang menggunakan konsep konotasi dan denotasi untuk mendapatkan dan/atau mengungkap sebuah mitos.
E. LANDASAN TEORI 1. Realitas Sosial Berger dan Luckman memandang realitas sosial terbentuk sebagai proses tiga tahap, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik yang ditandai oleh hubungan antar manusia dengan lingkungan dan dengan dirinya sendiri. Melalui eksternalisasi
manusia
menemukan dirinya dengan cara
membangun dan membentuk dunia sekelilingnya. Objektivasi adalah suatu proses dimana obyek yang memiliki makna umum sebelum seorang indvidu lahir di dunia. Hasil objektivasi ini kemudian dikenal dengan nama pengetahuan. Sebagian dari pengetahuan ini dianggap sesuai dengan realitas yang ada, sebagian lagi hanya dianggap sesuai dengan realitas
14
tertentu saja. Melalui proses objektivasi, masyarakat menjadi sebuah realitas yang alami dan diterima apa adanya. Objektivasi merupakan hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Sedangkan proses internalisasi adalah proses dimana individu terlahir tidak langsung menjadi anggota masyarakat. Hanya saja ia dilahirkan dengan kecenderungan ke arah kemasyarakatan. Proses awal keterlibatan individu untuk menjadi anggota
masyarakat
disebut
internalisasi, artinya pengertian atau interpretasi dari peristiwa objektivasi sebagai pengekspresian makna, yaitu sebagai kesatuan dari proses-proses subjektif lainnya yang menjadi makna subjektif dalam diri individu. Melalui internalisasi itulah manusia menjadi produk masyarakat. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat (Bungin, 2001: 15). Berger
dan
Luckman
menganggap
proses
dimana
orang
menciptakan realitas kehidupan sehari-hari sebagai konstruksi realitas simbolik. Menurut mereka, dunia sosial adalah produk manusia, dan bukan sesuatu yang given. Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama pada obyek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama dengan orang lain dalam
15
pola yang taken for granted. Dan generasi yang lebih muda akan mempelajari realitas ini melalui proses sosialisasi, seperti mereka mempelajari hal-hal lain yang membangun dunia, yang mereka temui sehari-hari(Noviani, 2002:52). 2. Realitas Sosial Politik Dalam Iklan Berdasarkan pandangan Berger dan Luckman mengenai konstruksi realitas sosial, bahwa realitas sosial tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan kepentingan-kepentingan, maka salah satu kepentingan disana adalah kepentingan media massa. Media massa, dalam hal ini adalah iklan, lazim melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Salah satu tindakan itu adalah dalam hal pilihan leksikal atau simbol (bahasa). Misalnya, sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, tapi jika pemilihan kata, istilah atau sebuah simbol yang secara konvensional memiliki arti tertentu di tengah masyarakat, tak pelak akan mengusik perhatian masyarakat tersebut (Sobur, 2002: 91-92). Iklan memang telah menjadi bagian dari masyarakat industri kapitalis yang mempunyai kekuatan besar dan sulit untuk dielakkan. Iklan menyediakan gambaran tentang realitas, dan sekaligus mendefinisikan keinginan dan kemauan individu maupun kelompok. Iklan mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai sebuah kemungkinan
16
atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan tidak bisa untuk dipertanyakan (Noviani, 2002:49). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iklan adalah sebuah cermin yang memantulkan kembali realitas-realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Iklan merangkum aspek-aspek realitas sosial. Bahkan lebih jauh lagi, berbagai pengaruh psikologis yang bersifat individu dari iklan tersebut lambat laun akan mengkristal secara kolektif dan menjadi perilaku masyarakat umum. Perilaku masyarakat umum ini pada gilirannya membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun standar budaya tertentu, termasuk
mempengaruhi
standar
moral,
etika,
maupun
estetika
(Widyatama, 2007: 164). Tak terkecuali di bidang sosial politik, yang mana iklan disini juga menampilkan kembali bagaimana kondisi perpolitikan yang terjadi di sebuah negara. 3. Representasi Untuk menggambarkan ekspresi hubungan iklan dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Representasi bisa diartikan sebagai sebuah tanda untuk sesuatu atau seseorang. Sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi dihubungkan dan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi, representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya. Representasi
adalah
tindakan
menghadirkan
atau
merepresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi bisa juga disebut sebagai produksi
17
makna akan konsep-konsep yang ada di dalam pikiran melalui bahasa sebagai simbolnya. Ini merupakan sambungan antara konsep-konsep dan bahasa di mana memungkinkan untuk menunjukkan objek-objek dunia nyata, orang atau peristiwa, atau yang sesungguhnya mencitrakan dunia objek fiksi, orang, dan peristiwa. Representasi di lihat dari The Short Oxford English Dictionary mengacu pada dua makna, yaitu:
Merepresentasikan
sesuatu
berarti
menggambarkan
atau
melukiskan, memanggil kembali dari pikiran dengan cara menggambarkan
atau
melukiskan
atau
mencitrakan;
menempatkan sebuah persamaan mengenai sesuatu di dalam pikiran atau indera.
Merepresentasikan
juga
memiliki
makna
melambangan,
memberi pegangan, atau menggantikan. Pada konsep representasi, citra-citra atau tanda-tanda dikonseptualisasikan
sebagai
representasi
realitas
yang
dinilai
kejujurannya, reliabilitasnya, dan juga ketepatannya. Representasi realitas di dalam iklan sendiri sering dianggap sebagai representasi yang cenderung mendistorsi. Apalagi merujuk pada pendapat Marchand, seperti dikutip Noviani (2002) bahwa iklan adalah cermin yang mendistorsi. Di satu sisi, iklan merujuk pada realitas sosial. Sedangkan di sisi lain, iklan juga memperkuat persepsi realitas dan mempengaruhi cara menghadapi realitas. Dengan kata lain, representasi realitas oleh iklan tidak
18
mengemukakan realitas dengan apa adanya, tapi dengan sebuah perspektif baru (Noviani, 2002: 62). 3.
Semiotika Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda (Tinarbuko: 2009). Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi de Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (sosial code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2003: 256). Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yaitu sesuatu yang
harus
diberi
makna
(Hoed,
2008:
3).
Semiotika
pada
perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia (Hoed, 2008: 4). Dalam semiotika, penerima dan pembaca, dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibanding dalam kebanyakan model proses. Ferdinand de Saussure seorang ahli linguistik dari Swiss, hanya benarbenar menaruh perhatian pada simbol, karena kata-kata adalah simbol. Namun para pengikutnya mengakui bahwa bentuk fisik dari tanda yang
19
oleh Saussure dinamakan penanda (signifier), konsep mental yang terkait dengannya- petanda (signified) dapat dikaitkan dengan cara ikonik atau atbitrer. Dalam sebuah relasi ikonik, signifier terlihat atau terdengar seperti signified, dalam relasi atbitrer, keduanya terkait berdasarkan kesepakatan di antara penggunanya (Sobur, 2001: 35). Saussure sangat tertarik pada relasi signifier dengan signified dan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Minat Saussure pada relasi signifier dengan signified telah menjadi perhatian utama di dalam tradisi semiotika Eropa. Saussure sendiri memusatkan perhatiannya untuk mengartikulasikan
teori
linguistik
dan
membuatnya
semata-mata
mendalami bidang studi yang mungkin dia sebut semiologi. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Tinarbuko dari Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Tinarbuko, 2009: 12). Ada tiga model analisis semiotik yang dikembangkan dalam penelitian komunikasi, termasuk penelitian komunikasi periklanan (Pawito, 2009:81). Model pertama adalah model yang dikenalkan oleh Charles Sanders Peirce, seorang ahli matematika dari AS yang sangat tertarik kepada persoalan tanda-tanda dan kemudian melakukan telaah dari perspektif logika dan filsafat. Peirce menggunakan istilah representamen yang tak lain adalah tanda (sign) dengan pengertian sebagai “something
20
which stands to somebody for something in some respect or capacity” (sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas). Bagi Peirce, tanda mencakup keberadaan yang luas termasuk pahatan, gambar, tulisan, ucapan lisan, isyarat bahasa tubuh, musik, dan lukisan. Charles Sanders Peirce membedakan tanda menjadi tiga kategori pokok; ikon, indeks, dan simbol (Pawito, 2009:82). Yang dimaksud dengan ikon adalah “a sign which is determined by its dynamic object by virtue of its own internal nature” (suatu tanda yang ditentukan cara pemaknaannya oleh objek yang dinamis karena sifat-sifat internal yang ada. Hal-hal seperti kemiripan, kesesuaian, tiruan, dan kesan-kesan atau citra menjadi kata kunci untuk memberikan makna terhadap tanda yang bersifat ikonik. Istilah indeks menunjuk pada tanda yang cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh objek dinamik dengan cara “being in a real relation to it” (keterkaitan yang nyata dengan dengannya). Proses pemaknaan tanda-tanda bersifat indeks tidak dapat bersifat langsung, tetapi harus dengan cara memikirkan dan mengaitkannya. Misal, maraknya aksi protes ditafsirkan sebagai ketidakpuasan terhadap pemerintah yang cenderung meluas, kemudian banyaknya orang yang dicurigai terlibat kasus korupsi dimaknai sebagai kurang seriusnya pemerintah dalam memberantas korupsi. Selanjutnya simbol biasanya dipahami sebagai “a sign which is determined by its dynamic object only in the sense that it will be so interpreted” (suatu tanda yang ditentukan oleh objek dinamiknya
21
dalam arti ia harus benar-benar diinterpretasi). Dalam hal ini, interpretasi tanda simbolik melibatkan proses belajar, pengalaman, dan kesepakatankesepakatan dalam masyarakat. Misalnya, bendera disepakati sebagai tanda yang bersifat simbolik dari suatu bangsa yang karenanya segenap warga bangsa melakukan penghormatan terhadapnya (Pawito, 2009:83). Model selanjutnya adalah model yang ditawarkan oleh seorang ahli ilmu bahasa dari Perancis yang bernama Ferdinand de Saussure. Ia menggunakan istilah semiologi dengan makna suatu “science that studies the life of sign within society” (ilmu yang mempelajari seluk beluk tandatanda yang ada atau digunakan dalam masyarakat). De Saussure menyarankan pengelompokan tanda menjadi dua jenis: signifier atau petanda (the concept) dan signified atau petanda (the sound image). Signifier atau penanda menunjuk pada aspek fisik dari tanda, misalnya, ucapan, gambar, lukisan. Sedangkan signified atau petanda menunjuk pada aspek mental dari tanda, yakni pemikiran bersifat asosiatif tentang tanda (Pawito, 2009:84). Model selanjutnya adalah analisis semiotik yang bertolak dari pandangan Roland Barthes. Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi oleh de Saussure. Kalau de Saussure memperkenalkan istilah signifier dan signified berkenaan dengan tanda-tanda atau teks dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkat pertama yang bersifat objetif (first order) yang dapat diberikan
22
terhadap tanda-tanda. Caranya dengan mengkaitkan secara langsung antara tanda dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Sedangkan makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan kepada tanda-tanda dengan mengacu pada nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, makna ini berada pada tingkatan kedua (second order) (Pawito, 2009:85). Barthes dalam karyanya (1957) menggunakan pengembangan teori de Saussure (penanda dan petanda) sebagai upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Kalau konotasi sudah menguasai masyarakat, maka konotasi akan menjadi mitos (Hoed, 2008: 4). Dalam kelanjutannya, Barthes mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar unutk mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan. Konotasi tentang suatu gejala budaya dapat terbentuk pada suatu komunitas. Dalam kajian tentang kebudayaan, teori konotasi dikembangkannya menjadi teori tentang mitos (Hoed, 2008: 58). Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia. Dalam bukunya Mythologies (1957) ia mengupas dan membuktikan bahwa mitos adalah hasil konotasi (Hoed, 2008: 59). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai “pesan”. Iklan dalam konteks semiotika dapat
23
diamati sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistim. Dalam semiotika, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda, seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dilepaskan antara penanda dan petanda (Istanto, 2000: 117-118). Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda yang terorganisasi menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap, dan juga keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yaitu makna yang dinyatakan secara eksplisit dipermukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi metode yang sesuai untuk mengetahui konstruksi makna yang terjadi dalam iklan dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melalui semiotika, ideologi-ideologi di balik iklan bisa dibongkar. Semiotika sebagai salah satu kajian media massa telah menjadi pendekatan penting dalam teori media sejak akhir tahun 1960-an, sebagai hasil pengembangan kajian Roland Barthes. Menurut Roland Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah seperangkat yang dipakai dalam rangka upaya berusaha mencapai jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Ia pun membedakan dua pengertian (signification) dari semiotika yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif
24
dan harafiah makna yang disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan oleh hubungan antara signifiers dan budaya secara luas yang mencakup kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyekobyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15). Semiotika Barthes merupakan pengembangan dari semiotika Saussure dengan menyelidiki hubungan tanda (signifiers) dan petanda (signified) pada sebuah tanda (sign). Hubungan penanda dan petanda bukanlah kesamaan tapi ekuivalen. Bukannya yang kemudian membawa pada yang lain tetapi hubunganlah yang menyatukan keduanya (Kurniawan, 2001: 22). Dalam penelitian ini, objek penelitian adalah iklan yang ada di dalam media cetak (surat kabar). Iklan di dalam media ini lumayan kompleks, karena menyangkut berbagai macam tanda mulai dari yang berupa gambar, teks, warna, sampai kepada isi pesan itu sendiri, walaupun tidak sekompleks iklan yang ada di media televisi. Maka analisis yang digunakan adalah analisis semiotika iklan yang akan menelaah tentang makna dari tanda-tanda yang terdapat di dalam iklan tersebut.
25
Analisis semiotika iklan berasumsi bahwa makna-makna iklan terbentuk oleh pencipta-penciptanya yang disampaikan keluar dari halaman di mana iklan tersebut ditayangkan. Analisis ini membentuk dan meminjam signifikasi ke pengalaman kita sendiri, produk atau jasa yang diiklankan, dan aspek-aspek dari dunia sosial kita, dalam kaitannya dengan makna mitos yang digambarkan oleh iklan dan membantu proses promosi. Analisis semiotika dari tanda-tanda dan kode-kode periklanan juga telah sering digunakan untuk mengkritisi struktur-struktur mitos dari makna di mana iklan bekerja untuk mengkomunikasikan sesuatu. Dalam bahasan klasik semiotika periklanan, Judith Williamson mengatakan bahwa iklan memiliki sebuah fungsi, yaitu menjual kepada kita. Namun, juga memiliki fungsi lain yang dipercaya menggantikan cara-cara yang secara tradisional terisi oleh seni dan agama. Hal ini menciptakan struktur-struktur makna. Iklan-iklan meminta untuk berpartisipasi dengan cara-cara yang ideologis dalam melihat diri sendiri dan dunia (Kurniawan, 2001: 43). Untuk mengkaji iklan dengan perspektif semiotika, bisa dilakukan dengan mengkaji sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang-lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Berdasarkan teori Roland Barthes, kita bisa menganalisa iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya, yaitu: (1) pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan); (2) pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan, yang hanya dapat berfungsi jika
26
dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat), dan (3) pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam iklan) (Sobur, 2004: 119). Pada dasarnya lambang dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal. Lambang yang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang secara tidak khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon disini digunakan sebagai lambang. Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk dan jasa, produk dan jasa itulah sebagai objeknya (Sobur, 2004: 116).
F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik; bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya, dengan mempergunakan cara kerja yang sistematik, terarah, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga
tidak
kehilangan
sifat
ilmiahnya
(Nawawi, 1996: 175). Kualitatif merupakan data yang ditampilkan dalam bentuk verbal, menekankan pada persoalan kontekstual, dan tidak terikat secara ketat dengan hitungan, angka, dan ukuran yang bersifat empiris. 27
Data kualitatif dapat dikumpulkan lewat berbagai cara, seperti; wawancara, observasi, intisari dokumen, atau rekaman. Penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Titik beratnya adalah pada observasi dan suasana alamiah (naturalis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Peneliti hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya (Rakhmat, 2005: 24-25). 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah iklan media cetak Sampoerna A Mild Bukan Basa Basi versi “makin banyak pilihannya, makin bingung milihnya”. Sedangkan yang menjadi objek yang akan diteliti adalah realitas sosial pada saat iklan tersebut ditayangkan. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang ada dalam penelitian ini akan diperoleh melalui; observasi, dokumentasi. a. Observasi Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi langsung dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diteliti. Sedang observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat
28
berlangsungnya peristiwa yang diselidiki. Misalnya saja melalui rangkaian slide, foto, maupun film (Nawawi, 1995: 104). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan teknik observasi tidak langsung karena pengamatan dilakukan pada iklan Sampoerna A Mild yang sudah jadi dan ditayangkan/disebarluaskan kepada masyarakat dalam bentuk iklan di media cetak, yaitu koran. b. Dokumentasi Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian yang didapatkan dari sumber tertulis, seperti arsip, dokumen resmi, tulisan-tulisan yang ada pada situs internet, yang dapat mendukung analisa penelitian tentang simbol-simbol dan pesan yang terdapat pada sebuah iklan. Pada penelitian ini, materi iklan dan data-data lainnya yang terkait dengan penelitian ini diperoleh juga melalui berbagai situs di internet. 4. Metode Analisis Data Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotika, karena metode tersebut merupakan metode yang cukup tepat untuk mengetahui konstruksi makna dalam iklan. Melalui semiotika dapat diketahui ide-ide yang melatarbelakangi pembuatan sebuah iklan. Analisis semiotika merupakan suatu metode untuk menganalisis dan memberikan makna terhadap suatu tanda yang ada pada suatu sistem
29
pesan komunikasi. Pesan ini bisa disampaikan melalui media massa, seperti tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan iklan, ataupun yang berbentuk karya artefak dan non-artefak, seperti karya lukis, patung, candi, monumen, fashion show, tari, musik, dan lain-lain. Dengan demikian analisis semiotika bertujuan untuk melacak makna yang diangkut oleh teks berupa tanda-tanda. Dengan kata lain, pemaknaan atau interpretasi terhadap tanda dalam teks adalah pusat perhatian analisis semiotika. Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media, yang dalam konteks penelitian ini adalah media iklan, dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa media membawa kepentingan-kepentingan tertentu (Sobur, 2001: 95). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang terkandung dalam iklan yang berkaitan dengan realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya diketahui, setiap iklan memiliki pesan bagi pemirsa di balik tayangan iklan. Analisis semiotika, memberikan tahap-tahap yang memudahkan peneliti dalam mencari tahu makna sosial dalam iklan yang diteliti. Pengungkapan makna
30
ini akan diterjemahkan dalam bentuk kalimat atau rangkaian kata-kata (sesuai dengan konsep dasar semiotika). Terdapat banyak model atau metode analisis semiotika yang dikemukakan oleh para pakar semiotika. Agar lebih terfokusnya penelitian ini nantinya, maka dari sekian banyak model tersebut, penelitian ini akan lebih difokuskan kepada metode analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Ia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Salah satu area penting yang dibahas Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua (sekunder), yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:
31
1. Penanda
2. Petanda
4. Tanda denotatif 5. Penanda konotatif
6. Petanda konotatif
7. Tanda konotatif
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004: 68-69). Dalam kerangka semiotika Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman dalam Barthes, 2004: 71). Penekanan teori semiotika Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Bila konotasi menjadi tetap, ia menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi (Hoed, 2008: 17). Selain itu, Barthes juga menggunakan lima macam kode dalam analisis semiotikanya. Kelima jenis kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural, penjelasannya sebagai berikut:
32
(1) Kode hermeneutik adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekadar penyelesaiannya.
Pada
dasarnya
kode
ini
memberi isyarat adalah
sebuah
bagi kode
”penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. (2) Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau ”kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai ”tema” atau ”struktur tematik”, sebuah thematic grouping. (3) Kode simbolik merupakan kode ”pengelompokan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik. (4) Kode proairetik merupakan kode ”tindakan”. Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni ”kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasioanal, yang mengimplikasikan suatu logika
33
perilaku manusia: tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam ”judul” bagi sekuens yang bersangkutan. (5) Kecuali keempat kode diatas, dapat ditambahkan satu jenis kode lagi, yaitu kode kultural atau kode referensial yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif; bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang ”diterima umum”. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Budiman, 2004: 55-57).
34
BAB IV PENUTUP
Penutup dalam penelitian ini terdiri dari kesimpulan, saran, dan rekomendasi pengembangan penelitian selanjutnya. Kesimpulan merupakan rangkuman yang menjadi silogisme dari beberapa premis dan diktum yang telah disusun dalam bentuk konklusi, penarikan kesimpulan ini merupakan tujuan akhir dalam menjawab dan menggambarkan makna yang terkandung di balik iklan rokok Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”. Sementara poin pada saran-saran merupakan akumulasi dari pemecahan permasalahan yang eksis secara determinis. Dan pengembangan penelitian merupakan rekomendasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam lagi dalam mengungkap makna yang tersembunyi di balik iklan tersebut. A. KESIMPULAN Setelah melakukan analisis terhadap iklan rokok Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”, dengan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes, maka didapat makna sebagai berikut:
Makna Denotasi
Makna Konotasi
Kebingungan yang disebabkan oleh - Banyaknya partai politik peserta banyaknya pilihan, dimana ketika Pemilu menyebabkan masyarakat seseorang disuguhi beragam pilihan, kebingungan dalam menentukan maka orang tersebut akan mengalami pilihannya, terutama kalangan kondisi bingung, pilihan mana yang pemilih berusia muda (pemilih 83
harus ia ambil. Hal tersebut dapat pemula) dilihat pada tanda visual dan tanda - Banyaknya produk rokok sejenis verbal yang ada dalam iklan. menyebabkan konsumen juga bingung untuk memilih produk yang sesuai keinginan mereka.
Dari makna iklan rokok Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” yang sudah didapat sekilas di atas, dapatlah diambil kesimpulan berdasarkan teori semiotika Roland Barthes, yaitu; Pertama, pesan linguistik dari iklan tersebut. Pernyataan ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” disertai dengan opsi jawaban atau tanggapan dari pernyataan tersebut secara denotatif memiliki makna bahwa kemajemukan atau keberagaman terkadang membuat bingung seseorang dalam menentukan pilihannya, yang disebabkan oleh banyak faktor (dalam hal ini adalah banyaknya partai politik). Kedua, pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam ilustrasi iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat). Dari ilustrasi iklan Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” terkandung makna konotasi visual sebagai berikut: 1. Foto seorang pemuda mengandung arti banyaknya jumlah pemilih pemula yang ikut dalam Pemilu 2009. Dan target market dari rokok ini adalah kalangan anak muda. 2. Plang penunjuk jalan mengandung arti pedoman dalam menentukan langkah atau pilihan.
84
Secara keseluruhan ilustrasi iklan mempunyai makna konotasi bahwa pemilih pemula harus diberi petunjuk dalam menentukan pilihan mereka dalam Pemilu yang diikuti oleh banyak partai tersebut. Begitu juga dengan perokok pemula juga diarahkan oleh iklan ini untuk memilih rokok Sampoerna A Mild ”Bukan Basa Basi” sebagai rokok mereka. Ketiga, pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam ilustrasi iklan). Ilustrasi dalam iklan Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” mengandung arti denotasi visual, bahwa plang penunjuk jalan yang seharusnya memberikan petunjuk untuk melangkah, tapi justru membuat bingung orang yang melihatnya. Jadi, berdasarkan pemaparan makna dan pesan dari iklan Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya” ini, dapat pula ditarik kesimpulan bahwa iklan ini menampilkan realitas sosial politik yang berkembang di masyarakat pada waktu itu, yaitu ketika menjelang diselenggarakannya Pemilu 2009. Realitas politik yaitu berupa banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 tersebut menyebabkan kebingungan pada masyarakat konstituen. Terlalu banyak partai dan membingungkan, seperti itu mungkin tanggapan masyarakat atas fenomena yang terjadi. Realitas sosial seperti itulah yang coba ditampilkan oleh iklan Sampoerna A Mild versi ”Makin Banyak Pilihannya, Makin Bingung Milihnya”, yaitu realitas masyarakat yang bingung dalam menentukan pilihan dalam Pemilu 2009. Dan mitos yang kemungkinan akan berkembang di masyarakat dari hasil
85
makna konotasi iklan ini adalah pemilih berusia muda (pemilih pemula) yang selalu bingung. B. SARAN-SARAN Kalau melihat iklan-iklan yang ditayangkan di media-media, iklan rokok termasuk salah satu iklan yang cukup banyak menarik perhatian khalayak. Iklan-iklan rokok termasuk iklan yang eye-catching. Hal tersebut disebabkan oleh kreativitas yang cukup tinggi dalam pembuatan iklan-iklan rokok. Melalui simbol-simbol dalam iklannya, mereka berhasil membujuk khalayak untuk mengkonsumsi produk mereka. Sebagai contoh, iklan yang menjadi objek dalam penelitian ini, terlihat bagaimana si pembuat iklan dengan daya kreativitasnya berhasil mengangkat realitas sosial dalam simbol iklannya. Namun, walaupun demikian di sisi lain iklan tetaplah sebagai sebuah cermin yang mendistorsi. Iklan merangkum aspek-aspek realitas sosial, tetapi ia merepresentasikan aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin yang mendistorsi bentuk objek yang direfleksikannya, tetapi ia juga menampilkan citra-citra dalam visinya. Iklan tidak berbohong, tapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis memberikan saran-saran tentang bagaimana menyikapi pesan dan makna yang disampaikan oleh iklan rokok, yaitu sebagai berikut:
86
Pertama, meningkatkan daya nalar khalayak sehingga bisa menangkap makna di balik iklan dengan tujuan agar lebih bersikap analitis dan kritis terhadap iklan-iklan rokok. Kedua,
mempertegas kembali regulasi yang telah ditetapkan
pemerintah dalam mengatur iklan, dalam hal ini iklan rokok. Disosialisasikan kembali mengenai regulasi ini, baik kepada si pembuat iklan maupun kepada masyarakat. Ketiga, dalam upaya menjalankan regulasi, diharapkan agar iklan yang akan ditayangkan, sebelumnya sudah melalui tahapan seleksi layak tayang, dan iklan harus memuat informasi yang benar tentang produk maupun tentang hal yang direpresentasikan oleh iklan.
C. PENGEMBANGAN PENELITIAN Penelitian ini hanya memfokuskan kepada satu contoh iklan, yaitu iklan Sampoerna A Mild versi ”makin banyak pilihannya, makin bingung milihnya”, pada satu media, yaitu media cetak surat kabar, dan menggunakan satu metode analisis, yaitu metode analisis semiotika Roland Barthes. Dan juga dalam penelitian ini, realitas iklan hanya dipahami secara one-side. Oleh karena itu, untuk pengembangan penelitian ke depannya, penulis merekomendasikan agar mengambil lebih banyak contoh iklan sejenis yang akan diteliti, tidak hanya dari media cetak, tapi juga dari media elektronik, bahkan kalau bisa dari ambience media. Dan juga metode analisis yang digunakan tidak hanya metodenya Roland Barthes, tapi juga memakai metode
87
de Saussure dan Pierce, bahkan kalau bisa dikombinasikan dengan metode analisis lain yang teorinya berdekatan dengan semiotika. Dan terakhir agar hasil penelitian lebih valid, sebaiknya disertakan juga dengan penelitian khalayak tentang bagaimana mereka memahami teks iklan.
88
DAFTAR PUSTAKA
CETAK: Buku: Barthes, Roland. 2006. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta: Jendela. Hakim, Budiman. 2005. Lanturan Tapi Relevan. Yogyakarta: Galang Press. Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB UI. Husaini, Aiman. 2008. Tobat Merokok. Bandung: PT. Mizan Publika. Jefkins, Frank. 1997. Advertising. Jakarta: Airlangga. Kartajaya, Hermawan. 2004. Hermawan Kartajaya on Brand, Seri 9 Elemen Marketing. Bandung: Mizan. ___________________ . 2006. Hermawan Kartajaya on Differentiation, Seri 9 Elemen Marketing. Bandung: Mizan. Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Penerbit Terra. Madjadikara, Agus S. 2005. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nawawi, H., Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
89
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi, dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. _____ . 2009. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Poesponegoro, Marwati Djoened; Yusmar Basri; Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka. Rahmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang. Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. ________ . 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sulaksana,
Uyung. 2003. Integrated Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marketing
Communications.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements (terj. Saleh Rahmana). Yogyakarta: Jalasutra.
90
PP, UU, dan Kode Etik: Dewan Periklanan Indonesia. 2007. „Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia)‟. Jakarta: Dewan Periklanan Indonesia. Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2004 Tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. UU No. 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran. Majalah dan Surat Kabar: Majalah Desain Grafis Concept. Vol. 05, Edisi 29, Tahun 2009. Koran Tempo. Edisi Rabu, 18 Maret 2009. Skripsi: Devi, Dyah Dwirashinta Sukma. 2003. Skripsi oleh mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta; “Analisis Semiotika Pada Iklan Sampoerna A Mild Versi Cetak”. Lestariningsih, Santi. 2005. Skripsi oleh mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta; “Analisis Iklan Rokok Clas Mild melalui Media Cetak (Studi Semiotika Iklan Rokok Clas Mild)”. Affandi, Ahmad. 2009. Skripsi oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; “Interpretasi Iklan-Iklan Rokok (Analisis Tafsir Mimpi Sigmund Freud dan Ibnu Sirin terhadap Iklan Rokok pada Baliho Di Yogyakarta )”. ELEKTRONIK: Jurnal: Istanto, Freddy H. 1999. „Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan Rokok A Mild‟. Nirmana. Vol. 1, No. 1, Januari. http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/pdf.php?PublishedID= DKV01030203. Diunduh 16 Oktober 2008.
91
Istanto, Freddy H. 2000. „Rajutan Semiotika Untuk Sebuah Iklan Studi Kasus Iklan Long Beach‟. Nirmana. Vol. 2, No. 2, Juli, hh. 113-127. http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/pdf.php?PublishedID= DKV02040208. Diunduh 16 Oktober 2008. Tanudjaja, Bing Bedjo. 2002. „Kreativitas Pembuatan Iklan Produk Rokok di Indonesia‟. Nirmana. Vol. 4, No. 1, Januari 2002, hh. 8598.http://www.digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2006/jiunkpe -ns-s1-2006-51401063-6225-super_mezzo-references.pdf. Diunduh 24 Oktober 2008. Website: http://www.id.wikipedia.org http://www.sampoerna.com http://www.hariansinarharapan.com
92
http://www.vivanews.com http://www.amild.com
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI Nama
: Husnul Fuadi
TTL
: Bukittinggi, 27 Juni 1986
Universitas
: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Humaniora
Program Studi
: Ilmu Komunikasi
Konsentrasi
: Advertising
NIM
: 05730047
Alamat Rumah : Dangau Baru, Kamang Hilia, Kec. Kamang Magek, Kab. Agam, Sumatera Barat Email
:
[email protected]
Hp
: 085263820020
RIWAYAT PENDIDIKAN TK Mekar
: 1991 - 1992
SD Negeri 11 Kamang Sari
: 1992 - 1998
MTsN Kamang
: 1998 - 2001
MAN 2 Bukittinggi
: 2001 - 2004
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
: 2005 - 2010