09 •
PtS\f 8\H\
DEPARTE\IE
P
DIDIKA'I" ·\SIO,\AL
•
PANDANGAN
SASTRAWAN A.A. NAVIS DAN TANGGAPAN KRITIKUS
TERHADAP KARYANYA
S. Amran Tasai
Djamari PLBPUSTAKAAN PUSAT BAHASA
pfyAKTfcaMK^
HAStOHAL
00003475
PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL JAKARTA 2003
PANDANGAN SASTRAWAN A.A. NAVIS DAN TANGGAPAN KRITIKUS TERHADAP KARYANYA
ISBN 979 685 332 9
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta 13220
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.
Katalog dalam Terbitan(KDT)
920
TAS P
TASAI, S. Amran
Pandangan Sastrawan A.A. Navis dan Tanggapan Kritikus terhadap Karyanya/ S. Amran Tasai dan Djamari.—Jakarta: Pusat Bahasa, 2003. ISBN 979 685 332 9 1. BIOGRAFI
2. NAVIS, A.A.
KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT BAHASA
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah terjadi berbagai perubahan, baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang barn maupun sebagai dampak perkembangan teknoiogi infomiasi yang amat pesat. Gerakan reformasi yang bergulir sejak 1998 telah mengubah tatanan ke hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejaian dengan itu,
penyelenggaraan negara yang sentraiistik berubah menjadi desentralistik untuk mewujudkan ekonomi daerah yang mantap.
Penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik sekarang ini tentu saja menuntut masyarakat yang memiliki semangat demokrasi yang salah satu wujudnya adaiah semangat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan yang makin kompleks dalam era globalisasi. Dalam pemahaman khalayak, masyarakat yang seperti itu adaiah masyarakat madani yang menyadari sepenuhnya hak dan kewajibaimya serta berusaha secara bersungguh-sungguh untuk memperjuangkarmya. Untuk menumbuhkan masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan hak dan kewajibannya itu, berbagai jalan dapat ditempuh. Peningkatan apresiasi sastra dalam bentuk menumbuhkan minat baca merupakan salah satu ja lan. Untuk itulah, Pusat Bahasa dalam program pembinaan sastra mengadakan serangkaian kegiatan yang memumpun pada penyediaan sarana bacaan.
Program pembinaan sastra yang mewadahi kebijakan penelitian/penyusunan sastra di Pusat Bahasa, antara lain terwujud dalam ben tuk antologi yang dinyatakan sebagai esai pilihan tentang pandangan sastrawan A.A. Navis dan tanggapan kritikus terhadap karya A.A. Navis. Esai-esai tersebut telah pemah dimuat pada surat kabar dan majalah, antara lain Kompas, Suara Karya, dan Horison. Dalam buku ini dikumpulkan dan diterbitkan 22 buah esai sebagai suatu antologi dengan judul Pandangan Sastrawan A.A. Navis dan Tanggapan Kritikus terhadap Karyanya.BvAsxi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, beberapa nama perseorangan atau lembaga yang patut dicatat di sini, antara lain Perpustakaan Pusat Bahasa dan Pusat Doku-
mentasi Sastra H.B. Jassin (lembaga penyedia data sastra Indonesia modern).Tentulah masih ada beberapa nama yang tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini. Buku ini telah mengalami proses yang panjang untuk memperoleh
wujudnya yang sekarang dan berujung pada kerja keras penyusunan oleh Drs. S. Amran Tasai, M.Hum. dan Drs. Djamari serta penyuntingan
yang dilakukannya. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pemimpin Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indo nesia-Jakarta beserta staf yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Mudah-inudahan buku Pandangan Sastrawan A.A. Navis dan Tanggapan Kritikus terhadap Karyanya dapat bermanfaat bagi peneliti
sastra, pengajar sastra, dan khalayak umum. Melalui buku ini, infbrmasi tentang sastrawan A.A. Navis, baik yang berasal dari pandangan A.A. Navis maupun tanggapan kritikus terhadap karyanya dapat direkam dan diperoleh.
Jakarta, Oktober 2003
Dr. Dendy Sugono
UCAPAN TERIMA KASIH
Fuji dan sytikur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penyusuniin buku yang berjudul Pandangan Sastrawan A.A. Navis dan Tanggapan Kritikus terhadap Karyanya ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Buku ini tak mungkin dapat terwujud tanpa kepercayaan, dorongan,serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya serta penghargaan yang setinggitingginya kepada Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk melcikukan pen)aisunan bu ku ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Dr. Zaenal Arifin, Kepala Bidang Pembinaan Bahasa dan Sastra, yang telah memberikan dorongan serta arahan selama proses penyusxman buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A., Kepala Bidang Pengembangan Beihasa dan Sastra, yang telah memberikan beberapa masukan terhadap penyempumaan buku ini. Dra. Yeyen Maryani, M.Hum, Ke pala Bagiem Tata Usaha, telah pula memberikan berbagai masukan. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepadanya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Drs. Syamsarul, M.M., Kepala Subbidang Pemasyarakatan,
kesempatan ini tak mungkin kami sebutkan namanya satu per satu—yang telah memberikan bantuan selama penyusunan buku ini, kami juga mengucapkan terima kasih. Pemimpin dan Staf Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia-Jakarta telah pula bekeija keras di dalam usaha menerbitkan buku ini. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga. Akhir kata, kami hanya dapat mendoakan semoga semua budi baik yang dengan tulus ditujukan kepada kami mendapatkan badasan yang setimpal dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Semoga buku ini bermanfaat bagi berbagai pihak. Jakarta, Oktober2003 Salam kami,
Drs. S. Amran Tasai, M.Hum.
Drs. Djamari
VI
RIWAYATHIDUP SINGKAT A.A. NAVIS
S. Amran Tasai
Tidak ada yang tidak mengenal A.A. Navis,bukan? A.A. Navis telah mengukir namanya dalam deretan panjang nama-nama sastrawan Indonesia. Di mana-mana dia bicara
tentang budaya, adat, agama, dan sastra Indonesia dengan gayanya yang khas. Dia tidak ragu-ragu memberikan pendapatnya di depan forum secara blak-blakan jika hal itu dirasanya memang perlu disampaikan. Dia mengejek adat yang tidak sesuai dengan "kemanusiaan" yang menurutnya menyalahi berbagai kaidah keagamaan. Dia terutama mengkiritk adat Minangkabau yang dirasakannya tidak sesuai dengan hakikat hidup masyarakat dan agama. Dengan cerita pendeknya yang berjudul Robohnya Surau Kami A.A. Navis mengungkapkan ide-idenya tentang haki kat seseorang yang beriman, seseorang yang takwa kepada Tuhan. Kemudian,dia memperlihatkan bagaimana adat kebiasaan telah membawa kemelaratan di dalam masyarakat karena hanya percaya kepada taha)^!! dan kelaziman. A.A. Navis yang lahir pada tanggal 17 November 1924 di Padang Peinjang, Sumatra Barat, telah menulis berbagai artikel dalam berberaqpa surat kabar dan majalah. Dia sangat akrab Surat kabar hariem Semangat di Padang Panjang,
VII
surat kabar harian Singgalang di Padang karena kedua surat kabar itu sempat dipimpirtnya pada tahun 1971—1972. Dia telah menulis banyak sekali cerita pendak dan novel. Kita mengenal Kemarau (sebuah novel) yang terbit pada ta hun 1957, Bianglala (sebuah novel) yang terbit pada tahtm 1963, Hujan Pams(kumpulan cerita pendek) yang terbit pa da tahvm 1964, Kabut Musim (kumpulan cerita pendek) yang terbit pada tahun 1965, Kembali dari Alam Barzah (cerita bersambtmg) yang terbit pada tahun 1967, Padang Kota Tercinta (cerita bersambtmg) yang terbit pada tahun 1969, Saraioati, Si Gadis dalam Sunyi (sebuah novel) yang terbit pada tahun 1970, Sepanjang Pantai Purus (cerita bersambung) yang terbit pada tahun 1971, Gerhana (cerita bersambung) yang terbit pada tahun 1975, Di Lintas Mendung (cerita bersambung) yang terbit pada tahxm 1983, Jodoh (kumpulan cerita pen dek) yang terbit pada tahim 1999, Dermaga Lima Sekoci (kumpulan puisi) yang terbit pada tahtm 2000, Kabut Negeri si Dali (kumpulan cerita pendek) yang terbit pada tahim 2001, dan Bertanya Kerbau pada Pedati (kumpulan cerita pendek) yang terbit pada tahtm 2002. Cerita pendek Robohnya Surau Kami merupakan cerita pendek yang sangat banyak dibicarakan orang. Di dalam cerpen tersebut terUhat ide dan gagasan yang dilontarkan oleh Navis yang dapat dianggap cerpen yang bersifat kontroversial. Hal itu terKhat di dalam beberapa artikel yang ada di dalam buku ini.
Jika kita membaca Robohnya Surau Kami kita dapat pula mehhat bagaimana pendapat A.A. Navis sendiri terhadap
kebudayaan dan kebiasaan yang dilaktikan oleh masyarakat Minangkabau serta hal-hal yang melatarbelakangi kebudayaan tersebut. Semua itu, baik artikel yang ditulis oleh A.A. Navis sendiri maupun artikel yang ditulis oleh pakar yang lain terhadap Navis dan karyanya, dapatlah
menambah wawasan kita terhadap Minangkabau secara umum. Namun, yang paling banyak dibicarakan orang dalam artikel mereka adalcih tentang kepandaian Navis menyindir orang secara halus dcin masuk akal. Sindirannya itu dapat pula diterima oleh orang-orang yang beriman dan beragama dengan membawakan atau mengungkapkan beberapa fatwa yang tidak dapat dikatakan sebagai fatwa yang salah. A.A. Navis adalah seseorang yang telah menamatkan sekola di Perguruan INS Kayu Tanam pada tahun 1945. Setelah tamat, dia meneruskan bekerja menjadi pegawai di pabrik porselen yang ditekuninya sejak tahun 1944 di Padang Panjang. Pekerjaan itu ditekutninya hingga tahun 1947. Dia pernah pula menjadi Kepala Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat, di Bukittinggi tahim 1955—1957. Dia menjadi anggota DPR Sumatra Barat dari Golongan Karya pada tahun 1971 — 1982. Dia pernah mendirikan sanggar yang bernama Sanggar Seniman Muda Indonesia (SEMI) yang kegiatannya terfokus pada seni lukis dan seni pahat. Selain itu, Navis juga menyutradarai beberapa sandiwara di RRI Bukittinggi. A.A. Navis meninggal pada tanggal 22 Maret 2003 di Padang. Dia meninggaUcan nama besar di dalam dunia
IX
sastra Indonesia modem yang barangkali tidak dapat dilupakan hingga akhir zaman. Karya-karya Navis tetap menjadi karya yang khas dan tetap bergema di dunia sastra In donesia.
DAFTARISI
Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa Ucapan Terima Kasih Riwayat Hidup Singkat A.A. Navis
iii v vii
Daiftar Isi
xi
1
Resepsi Cerpen Si Padang terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami:Satu Fenomena Sekularisme
QulBiP.lkHa
1
2
Navis Antara Jodoh dan Robohnya Surau Kami R. Lubis Zamakhasyari
10
3
Komentar Setelah Menonton Pagelaran Robohnya Surau Kami M.Joesfik Helmy
16
4
Robohnya Surau Kami Syahrudin Y.S.
20
XI
Membuka Tabir Cerpen "Robohnya Surau Kami"(?) (Suatu Analisis Perbandingan Realis, Cerpen dan Drama Karya A.A. Navis) Mahasisxva Fakultas Sastra
22
6
Tuhan Dalam "Robohnya Surau Kami"Manusia,Kalian Mau Apa!? Oyon Sofyan
28
7
Keagamaan dalam Kesusastraan Shafioan Hadi Umry
35
8
Mitos Sekularisasi dalam
Cerpen "Robohnya Surau Kami" A.A Navis Fadillah
40
9
Catalan untuk A.A. Navis
Matrilineal: Mengapa Kurang Dipergimjingkan? Nadir Abbas Kamil
48
10
A.A. Navis Dan Zaidin Bakri Soal Nilai-Ndai 45 dan
Regenerasi Perlu Contoh Wajah Yang Ideal Nadir Abbas Kamil
Xll
55
11
Dari Ceramah Sastra di SMA Neg.I Padang:
Keberanian Suatu Syarat Jadi Sastrawan Yang Berhasil Nadir Abbas Kamil
61
12
A.A. Navis: Budaya Merendahkan Wanita
Syahruddin
67
13
Navis "Menghina" Junus, Mengapa? Darman Moenir
71
14
Catalan Kecil atas Tulisan Navis
Mursal Esten
76
15
Jawaban kepada Sdr. A.A. Navis
Edi Sedyaioati
79
16
Pengaruh Minangkabau dalam Kesusastraan Indonesia: Suatu Kajian Permulaan A.A. Navis
82
17
Masalah Agama dalam Sastra Indonesia A.A. Navis
114
18
Membincangkan Wilayah Pengarang A.A. Navis
136
19
Dewan Kesenian Jakarta Meninjau Masalah Sosiologi Meningkabau Dalam Novel-Novel Indonesia A.A. Navis
154
20
Wawancara Dengan A.A. Navis Kenapa Saya Menulis Biografi Orang Lain Abrar Yusra
181
21
Wawancara A.A. Navis "Saya Tetap Konsisten"
Panjimas
197
22
Omong-Omong dengan A.A. Navis Adat Minang Dalam Sastra Indonesia Jubaidi P.
XIV
203
RESEPSI CERFEN SIPADANG
TERHADAP CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI:
SATU FENOMENA SEKULARISME
QulbiF.IleHa
Memang bukan hal yang mustahil meletakkan asumsi bahwa Harris Effendi Thahar meresepsi cerpen Robohnya Surau Kami ke dalam cerpen Si Padang. Di sini masalah itu bukan sejauh mananya, tetapi proses data-data yang menganalisis bahwa keadaan demikian terjadi sebagai satu
proses keberadaannya. Tulisan ini bukan berarti hcinya semacam resensi atau komentar untuk mengeksiskan kedua karya itu, tetapi berlatar belakang pengenalan sisa dari satu aspek pemikiran. Sebagai dasar tempat berpijak dipergunakan pendekatan resepsi sastra, selanjutnya dilihat hanya khusus dalam ruang lingkup beberapa teori resepsi sastra. Di saat itu metode yang dipergunakan dalam analisis adalah perbandingan antara kedua teks cerpen itu. Dalam tulisan ini tidak diberikan rmgkasan kedua cerpen tersebut, sebab cerpen itu sudah demikian dikenal, apalagi sudah banyak bahasan tentang kedua teks itu. Hanya anahsis ini tidak lain mengisi tempat kosong (Unbesti mentheitsstellen) yang besar kemungkinan belum diisi.
Reaksi Pasif
Titik tumpu untuk lebih jelasnya bergerak ialah dari definisi persepsi yang diberikan Umar Junus (1985:1), yaitu bagaimana "pembaca" memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagai mana seorang pembaca memahami karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Reaksi pasif hanya mengomentari, mtmgkin hanya
menyukai, dengan demikian dapat dimasukkan dalam kategori pembaca nil atau pembaca biasa saja. Sebaliknya,jika dipublikasikan, hal itu menjadi pembaca ideal. Menurut Seger (1978:50) pembaca ideal adalah konstruksi hipotesis oleh seorang teoritikus dalam interpretasinya. Berdasarkan ini, sebenamya kedua cerpen itu sudah
sering dikutak-katik oleh audience (pembaca)nya. Terlebih lagi cerpen Robohnya Surau Kami yang membuat A.A. Navis terkenal di pelataran sastra. Ajip Rosidi (1986) menyatakan bahwa cerpen ini merupakan sindiran terhadap orangorang yang kelihatannya patuh melakukan syarat agama, tetapi sebenamya rapuh di dalam penangkapan makna sehingga mudah saja terhasut untuk brmuh diri. H.B. Jassin (1962) menyebutnya sebagai satu cerita alegoris yang plastis dalam lukisannya, aktual dalam pengambilan contohcontoh, dan dengan gaya sindiran yang pahit dan tajam serta dengan iri menerangkan persoalan dunia dan akhirat. Demikisin juga, beberapa penanggap membicarakannya
2
seperti A. Teeuw sampai kepada penelitian tim Depdikbud, yaitu Syaitvsuddin Udin dkk. (1985), Drs. Muhardi (Bobot, 1986),dan Fadillah (SmggaZfln^,16-1:1989). Cerpen Si Padang pada penerbitarmya di surat kabar harian Kompas 14 September 1986, dalam beberapa hari
kemudian muncul tanggapan dari pembaca orang Minangkabau dengan nada protes. Namun, dalam satu penganalisisan yang dipublikasikan belum ada yang menghubimgkannya sebagai resepsi dari Rohohnya Surau Kami, walau pun masih dipertanyakan Reaksi Aktif
Resepsi sastra dalam arti reaksi aktif menurut Jausz
(dalam Umar Junus,1985:34), reaksi itu berarti yang tampak dalam bentuk orang menciptakan satu karya sastra yang "lain" ketika karya tersebut memutuskan horizon pembaca sehingga ada jarak yang senjang dan karya tersebut mempimyai konsep horizon harapan yang menurunkan penyimpangan-penyimpangan dan penyesuian-penyesuaian
dengan rasa sensitivitas yang besar-besaran. Penyimpangan itu teijadi dalam Si Padang secara demitifikasi terhadap Rohohnya Surau Kami sebagai realitias reaksi aktifnya. Na mun, konsep transformasi yang terjadi itu pada hakikatnya tidak jauh berubah pada alih posisi. Tokoh, latar, alur didemitifikasikan semua secara kontras.
Jika kita memperbandingkan kedua cerpen itu, tokoh Kakek (dalam Rohohnya Surau Kami) dan tokoh Haji Kiram Datuk Nan Kunieng Timbago Cahyo Nago (dalam Si
Padang) sebagai satu transformasi terlihat sangat bertolak belakang watak kehidupan mereka. Tokoh Kakek yang memutuskan kehidupaimya dengan keduniaan dalam ben-
tuk seperti sistem kepasturan (priesthood) tidak beristri dan mengabdikan diri hanya untuk Tuhan dengan cara tinggal di sebuah surau, hidup dari sedekahan dan mengasah pisau. Beribadah dengan tidak berilmu, sehingga dengan sebuah ota saja, imannya rontok. Hidup hanya berzikir, zikir, salat, dan mengaji saja.
Sebagai demitefiksi dalam Si Padang tokohnya Haji Kirzun Datuk NKTCN sudah berbeda kontras. Dia hidup di
Jakarta. Kaya dan punya toko sekian pintu. Di kampung dia lebih terkenal dari bupati,sudah haji pula. Rumahnya mirip hotel. Temyata Haji Datuk, Ustadh tersebut bergaul dengan wanita yang tidak halal imtuknya (prostitusi), yang sebenamya dia sadari bahwa dia seorang ustadh di kamptmg, pimya istri, punya anak, bahkan istrinya sudah dua. Realitas dtmia gelapnya itu tidak diketahui oleh kaumnya yang mengagimg-agungkannya, kecuali Mansmr (aku). Itulah Haji Kiram yang hidup dalam dua dunia. Dalam Robohnya Surau Kami Ajo Sidi tokoh gadang ota secara tersembunyi dia berbanding terbalik jika disejajarkan dengan Basril (dalam Si Padang). Ajo Sidi sebagai perantara untuk terjadinya peristiwa bunuh diri Kakek sebaliknya Basril perantara untuk terungkapnya kebejatan Haji Kiram. Si Aku dalam Robohnya Surau Kami tinggal di kampxmg sudah beristri, dan bekerja di kampimg.Sebahknya, pada Si
Padang si aku masih belia (tidak lulus sipenmaru), belum
4
^€u/€in^
beristri, masih mencari kerja di Jakarta yang kemudian
menjadi supir taksi gelap. Alur cerita ada persamaan pada pemakaian teknik sorot balik pada Robohnya Surau Kami sorot baliknya berlatar akhirat, tetapi pada Si Padang berlatar peristiwa di kampung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagian berikut. 1) Kakek (garin), tinggal di kampung pada sebuaih surau. "tidak beristri, miskin."
2) Aku,
sudah beristri dan tinggal di kamptmg 3) Ajo Sidi (tokoh negatif) 4) Haji Kiram (Datuk Ustadh).
tinggal di Jakarta, di rumah seperti hotel, istri dua, banyak anak kaya dan terkenal. 5) Aku(Memsur) belia, belum beristri, merantau ke Jakarta, supir taksi gelap 6) Basril dan Kakaknya (tokoh positif)
Dari prosese demitefikasi besar-besaran tersebut terjadilah kesenjangan antara horizon harapan sastra (pembaca) dan kenyataan teks (Jausz dedam tesis S-2 Adriyetti Air, 1987:22). Hal demikian disebut jarak estetika sastra. Jika kesenjangan itu sangat dekat, karya tersebut akan jatuh
menjadi populer. Tetapi, tidak demikian dengan Si Padang, kesenjangan itu begitu jauh dan kontras sehingga pembaca
riil terkejut dan protes lewat surat pembaca di harian Kompas beberapa hari setelah pemuatannya (penanggap pasif). Selanjutnya, sastra yang baik menurut Iser (dalam Adriyetti Amir, 1987:26) ditandai oleh pengingkaran terhadap tmsur-unsur yang khas dan pencarian berikutnya bagi suatu "makna" yang tak terumuskan, tetapi ada dalam teks.
Dapat dilihat bagaimana seorang penulis kreatif menerima karya sebelumnya yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya (Jausz dalam Umar Jimus, 1985:38). Namun, berbeda dengan itu Iser me-
ngatakan dalam proses pembicaraan akan interaksi antara hakikat karya itu dengan "teks luar" yang mxmgkin memberikan kaidah dan nilai yang berbeda. Bahkan,kaidah dan ndai "teks luar' akan menentukan kesan yang muncul
pada seseorang sewaktu membaca suatu teks kzirena hal itu akan menentukan imajinasi pembaca dalam menghadapi teks (Iser dalam Umar Junus,1985:38). Teks luar yang memerlukan kesan di sini wawasan
penganalisisan (pembacaan) yang dimiliki dalam mengisi tempat-tempat kosong. Proses demikian dalam bentuk konkretisasinya, bahwa tokoh Kakek menjalani hidup seperti di dunia priesthood (7) ditransformasikan pada Haji Kiram menurut asumsi penulis, semacam kehidupan sekularisme atau secara tindak ekstrimnya kehidupan
orang-orang fisik (bisa dilihat pada OS:2, 26-27). Bagi kakek (RSK) agama hanya berzikir, zikir di surau saja, sedangkan beristri, berdagang, bertani adalah duniawi yang terputus
dengan simbol keagamaan (Tuhan) secara total (semacam pandangan sekularisme,tmtuk ini lihat Al-Atlas,1981:54) Alih transformasi itu hanya terlihat pada Kakek yang mengambil satu jalan total dari pemiseihjin tersebut yang berasal dari cara berpikir Kakek yang sekuralisme itu sedangkan Haji Kiram mengambil kedua pemilahan itu dalam hidupnya. Untuk ini, kajian terlepas dari realita Islam dalam kosep Quran dzin Sunah yemg memang tidak ada sekularisme, tetapi di sini adalah daleun konsep cara ber pikir dan memahaminya (luasnya umat), fokusnya dalam kedua cerpen ini fenomena demikiiin terjadi. Tentang ini Al-Atlas mengatakan hal itu sebagai berikut. Kebodohan menyebabkan kebingunan (zulim, zulum), dan kebodohan serta kebingunan adalah akibat deislamisasi yang memang teqadi antara kaum muslimin dalam sejarah. Deislamisasi adalah tuangan dari konsep-konsep yang berlawanan ke dalam jiwa kaum muslimin yang kemudian mengendap dan mempenganihi pikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan peluapan terhadap Islam serta kewajiban muslim terhadap Tuhan dan Nabinya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya dan oleh karena itu juga tidak adil(zulim)terhadap diri itu. Ituleih anutan yang lekat kepada kepercayaan dan takhyul praIslam, kebanggaan akan tradisi-tradisi kultural pra-Islam serta pengideologiannya. Anutan itu juga bisa berbentuk kepercayaan akan sekularisasi. Sekularisasi adalah nama yang menunjukkan suatu proses, tetapi suatu hasil kristalisasi dari proses sekularisasi
ke dalam bentuk yang khusus dan berbeda berupa satu ideologi(Al-Attas,1981:64-65) Simpulan akhir dari tulisan ini dapat diambil bahwa proses demitefikasi Si Padang terhadap Robohnya Surau Kami merupakan transformasi dari resepsi sastra,sedangkan nilai "teks luar" yang mengisi bagian kosong {Unbestimtheitsstellen) dalam menemukan makna yang tak terumuskan tapi ada dalam teks yang menurut asnmsi penulis adalah sekularisme. Namxm, tidak tertutup kemimgkinan akan ditemukan lagi makna yang lain sesuai dengan hakikat karya yang polisemi(ambigiu). Daftar Pustaka
Amir, AdriyetH. 1987. Sengsara menibawa Nikmat dan Kebasutan Lebak dalam Seebuah Pembicaraan Resepsi Sastra (sebuah tesis S2). Yogyakarta: Fakaultas Pascasaijana UGM.
Al-Attas, Syed Muhammad A1 Nagulb. 1981. Islam dan Sekularisme. Bandimg:Pustaka Salman ITB. Fadillah. 1989."Mitos Sekularisme Dalam Cerpen Robohnya Surau Kami A.A. Navis",(sebuah artikel). Dalam Surat Kabar Singgalang. 16 Januari. Padang. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Jassin. H.B. 1982. Kesusastraan Indonesia Modem. Dalam Kritik dan Essai. Jakarta: Gunung Agung.
Navis. A.A. 1986. Robohnya Surau Kami. Kumpulan Cerpen. Jakarta: Gramedia.
Rosidi. Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Ninacipta.
Seger. Rien T. 1978. The Evalution of Literary Texts Lisse The peter de Ridder Press.
Thahar. Harris Effendi, 14 September 1986. Si Pedang (sebuah cerpen). Jakarta: Harian Kompas.
Udin,Syamsuddin. dkk.1985."Memahami cerpen-Cerpen A.A. Navis". Jakarta PP dan PB Depdikbud.
NAVIS ANTARA JODOH DAN ROBOHNYA SURAU KAMI
R. Lubis Zamakhasyari
Tahun 1955 A.A. Navis—selanjutnya di srngkat Navis— memenangi hadiah majalah KisaJr, ini tentu bukan melalui sayembara dengan embel-embelnya yang mengikat. Pada tahun 1975 Navis memenangi pula sayembara menulis cerpen yang diadakan oleh Radio Nederland Wereldomroep yang kali ini tentu harus memenxxhi syarat-syarat sayem bara yang sedikit banyak pasti mempengaruhi kebebasan imajinasi pengarang. Kedua-duanya mempimyai jarak waktu lebih kurang dua pultih tahun. Bila digadiskan, dia sudah ranum untuk dijadikan "induk bareh". Umur bukan menjadi masalah dalam tulisan ini. Yang menjadi pokok adalah: Navis di tahun 1955 dengan Robohnya Surau Kami dan Navis di tahim 1975 dengan Jodohnya.
Dalam Robohnya Surau Kami, Navis mencoba menggambarkan masyarakat Minangkabau yang menganggap, bahwa agama itu adalah sumber segala kebahagiaan, tetapi keliru dalam mengamalkannya. Hal ini dapat dihhat me lalui lakon "kakek" yang menjadi pelaku utama dalam cerita ini.
Kakek yang menjadi garin di sebuah surau tua, dalam pergaulan sehari-hari lebih terkenal sebagai pengasah pisau.
I* U S A T
i
B A NASA
HASKm
Dia tidak pernah mengharapkan upah apa-apa dari siapasiapa. Untuk menyambung hidupnya sehari-hari dia Hginya memtmgut sedekah sekali seminggu, zakat fitrah sekali setahiin, dan beberapa bagian dari basil penunggahan ikan
dari kolam yang terletak di samping surau itu. Sebagai pengasah pisau, kakek juga tidak mengharapkan apa-apa tetapi tidak menolak bila diberi rokok atau uang sebagai balas jasa. Satu-satunya harapan kakek adalah upah atau dari pada Allah subhanahuwataala yaing akan diterimanya di akhirat keleik.
Harapan itu tiba-tiba menjadi buyar. Kakek yang telah membayangkan betapa bahagianya hidup yang akan diteri manya di eikhirat itu, tiba-tiba menjadi murung dan putus asa. Perubahan itu justru disebabkan karena ulah Ajo Sidi. Menurut omongan Ajo Sidi, orang yang sejenis kakek ini di akhirat, jangankan memperoleh pahala, bahkan akan dikutuk dan dimasukkan ke dalam neraka. Hal tersebut disebab
kan oleh mereka yang asyik memikirkan dirinya sendiri, sedangkan anak cucu (generasi) yang akan menggantikan dan meneruskan keturunannya di kemudian hari dibiarkan melarat tanpa menemukan jalan keluar. Pikiran-pikiraan ini menuding-nuding benak kakek,
Hal itu membuat pikiran Kakek menjadi kacau, panik, dan sebagainya. Akhimya dia menemukan ajalnya. Melalui Ajo Sidi, Navis ingin melakukan protes terhadap cara berpikir dan beragama masyarakat lingkungannya (dalam hal ini Minangkabau), yang hanya pandai mengaji, tetapi tidak pemah mengamalkan kaji itu. Teori dem praktik tidak sama. Demikian kira-kira ringkasan Robohnya Surau Kami. II
Cerpen Jodoh ditokohi oleh Badri, seorang pemuda yang idealis dan ingin mencari jodoh yang idealis pula. Wanita idealis yang diingini Badri itu hams sanggup memproduksi anak yang bertubuh tidstk pendek, yang mau
kawin dengan pemuda berdarah campuran,dan hams telah bekerja. Akan tetapi, sebetulnya semua itu bagi Badri tidak begitu berat. Yang amat berat baginya, adalah masalah keuangan sebagai risiko perkawinan itu. Justm karena ketakutannya kepada risiko menyediakan biaya mmah tangga itu, Badri akhimya memutuskan imtuk tidak akan kawin-kawin. Akein tetapi, kebetulan wanita yang diidam-idamkan Badri itu ada, namanya Lena. Lena memang mempunyai syarat lengkap, sesuai dengan apa yang diingini oleh Badri. Terjadilah jalinan cmta, tetapi akhimya percintajih mereka terputus, justm karena Lena merasa cembum terhadap Rosni yang sering dibawa Badri keluar mmah.
Sekali lagi Badri menemukan jalan btmtu. Akhimya, setelah bersusah payah mengadakan kontak jodoh melalui mbrik kontak jodoh di salah satu surat kabar di kotanya, akhimya Badri menemukan pula wanita idealis yang sesuai dengan syarat-syarat yang diingininya itu. Rupanya takdir masih mempertemukan mereka, akhimya Badri kawin juga dengan Lena, yang dulu pernah menolaknya mentahmentah cintanya.
Demikianlah ringkasan Jodoh.
Sebagaimana dalam Robohnya Surau Kami, dalam Jodoh, Navis juga melakukan protes. Kalau dalam Robohnya Surau Kami, yang diprotes adalah cara hidup beragama 12
sementara masyarakat Minangkabau. Dalam Jodoh yaiig di protes oleh navis, adalah anggapan sementara orang yang selalu sinis kepada masyarakat Minangkabau dengan sistem adat yang matrilineal itu. Mungkin Navis ingin memberi penjelasan kepada orang-orang tersebut bahwa masyarakat Minangkabau yang matrilineal itu bukanlah seburuk apa yang disangka orang selama ini. Kalau dulu orang Mi nangkabau hanya mau kawin dengan orang yang sedaerah dengannya, menurut Navis, hal itu sekarang telah berubah. Sekarang orang Minangkabau telah mau menerima menantunya orang dari luar daerahnya walaupxm berdarah campuran.
"Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah lama menikah dan telah memptmyai dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah dengan upacara adat tradisional. Dan, semenjak itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga suami-suami yang lain di Minang kabau. Pola hidup adalah pola matrilineal yang tidak disukai Badri ketika masa remajanya ternyata demikian indah dalam kenyataannya setelah dia menikah dengan Lena".
Bila dibanding kedua cerpen tersebut, temyata dalam Robohnya Surau Kami, Navis lebih radikal daripada dalam Jodoh. Dalam Robohnya Surau Kami, protes itu bukan saja dilakukan oleh Navis, di atas dunia, tetapi protes itu juga terus ke akhirat.
' 13
"Bagaimana Tuhan kita ini?" kata Haji Saleh kemudian, "i^jfekah kita'"disuruhnya taat beribadat, teguh beriman. Dan itu semua telah kita keijakan selama hidup kitai Tapi kini kita diinasukkan> ke neraka." i ; "Ya; kami jnga berpendapat deinikian, Tengoklah ini,
orang-orang senegeri kita semua, dan tak kur^g kel^atan^ nya beribadat." ' "Inisungguhtidak adil." , , "Memang tidak vadil/', kata prang-prang itu m^gulangi ucapan Haji Saleh. ;; ^ ^^ -
; r "Kalau begitu kita harus rneminta kesaksian kesal^han kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau, la silap, nieinasukktokitakenprakaipi^^^ ; : -> r rib ; ; b f'Benar
"Kalan Tuhan.tida^^man uiengakui kesilapannya, bar
gainwna?" Suatu suarafmelgngldr^ dalarn ;kelpinppk prang banyak itu, rn-b
in
.fi rr,:.i:T:jjrn.
"Kita protes. Kitairesp.lusikan,'bJ^ta;Haj|Sal^ ;j > iini Demikian kerasnya protes yang dilancarkan oleh Navis melaluiucapanrupapanHaji Saleh ijtu. .., irSn ' ^ Hal itu berbeda dengan-Jodah. Kalau dalain ^ohqhnya Surau Kami Navis terus melancarkan poses Sctmpai di mpika Tuhan, dalarn Jodoh, Nayis; kelihatan : seperfi seorang
demonstran yang lesu. Bahkan,4ia sempat menyerah kepa^ da nasib. Walaupun Badri berhasil memperoleh apa yang diingininya, basil itu bukanlah sebagai buah dari perjuangan yang dilakukannya dengan gigih. Semuanya ladalah jus-
14
tru karena NASIB-nya baik. Di sini kelihatan suatu kele-
mahan bagi Navis dalam mendukung cerpennya ini. "Cepat Badri menarik kesimpulan bahwa Lena pastilah jodohnya. Peristiwa itu bukanlah suatu kebetulan, tapi sudah diatur oleh nasib".
Jadi, keberhasilan Badri untuk memperoleh jodoh yang ideal itu, adalah justru karena telah ditentukan oleh Tuhan. Itu adalah faktor yang Mahakuasa, bukan karena perjuangannya.
Kalau dibandingkein kedua novel itu, memang daya kreatif Navis sekarang jauh menurun daripada tahun-tahun 1950-an itu. Dalatn Robohnya Surau Kami walaupun Haji Saleh tidak berhasil memperoleh apa yang dungininya, dia terus berjuang, biar tubuhnya hancur ditelan api neraka. Akan tetapi, di dalam Jodoh dia menyerah kepada nasib. Demikianlah kira-kira perbandingan antara Navis dalam Robohnya Surau Kami dan Navis dakim Jodoh.
15
KOMENTAR
SETELAH MENONTON PAGELARAN ROBOHNYA SURAU KAMI
M.Joesfik Helmy
Andre A. Hardjana, ketika memberikan pengantar dalam acara Penyerahan Hadiah Sastra Chairil Anwar kepada Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15
Agustrus 1992, mengakui bahwa untuk membaca dan memahami novel-novel dan cerita karya Mochtar Lubis, kita membutuhkan suatu keberanian jiwa dan ketabahan hati.
Saya kira demikian juga halnya bilamana kita ingin menyaksikan serta menikmati karya seni lainnya, seperti menonton teater, pameran lukisan, rental musik, pembacaan puisi, atau seni tari, kita juga perlu punya keberanian jiwa dan ketabahan hati. Namim, suasana kejiwaan seperti itulah yang tidak muncul ketika saya menyaksikan pagelaran Robohnya Surau Kami, karya A.A Navis yang diadaptasi oleh Drs. Musthafa Ibrahim menjadi seri cerita teater.
Ketika menyaksikan pagelaran yang disutradarai oleh Edi Anwar di Teater Tertutup, Taman Budaya Padang itu,
saya benar-benar merasa puyeng tujuh keliling. Saya duduk tidak betah, serta tidak dapat berkonsentrasi dengan baik selama menyaksikan pertunjukan yang berlangsung selama tidak kurang dari dua jam penuh. 15
CfCon^nia/^
Dalam sinopsis cerita Rohohnya Surau Kumi yang disajikan kepada penonton diungkapkan bahwa perkembangan mentalitas manusia dari hari ke hari amat perlu dipertanyakan. Bagian-bagian yang paling mendasar dari pikiran-pikiran yang berkembang di Indonesia, terutama
dalam persoalan mentalitas spiritual, telah digelar Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
Persoalan kemanusiaan yang takkan habis-habisnya ini, terutama masalah hubimgan antarmanusia, dan hu-
bungan manusia dengan Tuhan, mendapat fokus utama. Fenomena-fenomena yang bemapaskan fanatisme dan ortodoksi ikut mewamai keberadaan berita di Indonesia.
Fenomena itu mungkin akan dicairkan lewat karya seni yang beragam dan bervariasi. Akan tetapi, Navis telah lebih dulu mengibarkan panji-panji, agar kita tidak lagi memerlukan lembah kebodohan untuk diikuti sepanjang hayat. Kita hams bebas dari keterbelakangan spritual dan ideologi yang menyesatkan.
Apa yang perlu kita catat dari sinopsis cerita di atas, menumt hemat saya, semuanya dapat dikatakan benar
adanya. Tambahan lagi, dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami, A.A Navis benar-benar pas dan dengan tepat memperlihatkan, bagaimana seharusnya sikap dan pengertian seorang Islam terhadap ibadah yang hams dilaksanakannya : menyembah Allah dan berbuat untuk dtinia dan
akhirat. Akan tetapi, ketika pemahaman seperti itu dihu-
bungkan dengan penampilan pagelaran teater Robohnya Surau Kami yang disutradarai oleh Edi Anwar, saya ingin ^fComenia^
17
mempertanyakan, kenapa Edi Anwar tidak punya nyali sedikit pnn, tentang ide atau penafsiran cerita yang mengandung kepekaan.
Sesunggxihnya bilamana melihat plot dan sekaHgus interpretasi terhadap cerita, secara keseluruhan saya merasa pagelaran itu cukup lumayan. Dari pertunjukan yang berlangsung, saya merulai adanya permainan imajinasi yang punya kemungkinan untuk dikembangkan lebih kreatif dan sublitn lagi. Di samping itu, secara substantif dalam cerita Robohnya Surau Kami sebenamya beberapa tokoh seperti malaikat, tidak perlu divisualisasikan, apalagi tokoh (Yang Mahakuasa) Tuhan sebab keberadaan tokoh Malaikat, apa lagi Tuhan, bagi umat Islam secara prinsip merupakan aqidah dan masalah yang cukup peka untuk divisualisasi kan.
Dalam hal terakhir ini, kita masih ingat, H.B. Jassin sebagai Penanggung Jawab Majalah Sastra dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta karena memuat cerita pendek Ki Panjikusmin berjudul Langit Makin Mendung. Dalam cerita itu, Malaikat dilukiskan tampil di dunia dengan memakai kacamata. Demikian halnya dengan Arswendo Atmowiloto, langsxmg mengundang amarah umat Islam karena memuat angket pembaca tabloid Monitor yang menempatkan Nabi Mtihammad sebagai tokoh populer nomor enam di Indo nesia. Akibatnya lagi, Arswendo langsung dipecat dari kedudukarmya sebagai Pemimpin Redaksi dan tabloid Monitor langsung dicabut SlUUP-nya.
18
^^Cemenitvtr
Saya pikir, bilamana Edi Anwar sebagai sutradara pagelaran teater Robohnya Surau Kami ctikup arif, sebenarnya ia tidak perlu memvisualisasikan tokoh Malaikat dalam
karya garapannya. Malaikat tidak perlu divisualisasikan secara ekspUsit sebab bilamana ditampilkan secara kreatif artistik melalui narasi saja, misalnya, peran tokoh Malaikat sudah cukup mengesankan, dan secara implisit hadir dalam keseluruhan cerita. Oleh karena itu, di samping perlu digarap ulang secara lebih intens, agar plot dan jalan cerita lebih komunikatif, enak disaksikan, dan agar tidak menyentuh rasa kepekaan orang Islam, saya menyarankan kepada Kepala Tarrvan Budaya, memikirkan kembali, bagaimana sebaiknya cerita ini tidak mengtmdang interpretasi-interpretasi yang antagonistis. Hal ini perlu sama-sama kita sadari karena menurut
rencana, cerita Robohnya Surau Kami ini akan menjadi salah satu paket dalam acara Pertemuan Teater dan Musyawareih Dewan Kesenian HI se-Indonesia, di Ujtmg Pandang, 31 Oktober 1992 s.d.6 November 1992.
M»menia^
19
ROBOHNYA SURAU KAMI
Syahnidin Y.S.
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, A.A. Navis meltikiskan betapa pentingnya hubungan antara sesama maAusia. Manusia beribadah dalam cerpen itu memang penting, tetapi konsekwensi Islam bukan saja pada nilai ibadah hubimgan vertikal kepada Tuhan, tetapi juga hdrisontal,sesama manusia.
Krisis nilai-nilai sosial itulah yang menyebabkan Navis membuat cerpen tersebut. Kejadian ini, pada mulanya dilihat dari daerahnya, Padang Panjang, Stimatra Barat. Seorang penjaga surau yang usianya sudah senja sangat terikat dengan ibadah, memuji nama Tuhan, hingga masalah kebersihan surau, masalah manusia diabaikan. Haji Saleh, demikian nama tokoh itu, tidak dapat berbuat banyak ketika Tuhan memutuskan bahwa ia harus menjalani kehidupan di akhirat yang kelabu. la menyangka bahwa hasil puji-pujian kepada Tuhannya menolongnya imtuk masuk surga. Ketika dia menjalani suatu pemeriksaan kesucian, surga sudah terbayang di matanya. Ternyata dugaannya meleset. la malah masuk neraka bersama temantemannya yang kebetulan sekampimg. Padahal temantemannya pim ada yang bertitel "Haji". Cerpen tersebut melambangkan manusia secara umum,yang kebetulan settingnya di Padang Panjang. Tidak 20
^ot«kn^af9iv»€ia'CfCam^
berbeda dengan di daerah-daerah lain, kadang hubimgan sesama manusia diremehkan. Begitu pun tempat ibadah sering terabaikan dari kebersihan dan "keapikan". Kerobohan Surau itu tinggal menanti, bahkan semakin cepat, secepat orang-orang mencopot papan-papannya, dan
secepat anak-anak bermain, memainkan segala apa yang ada di surau itu.
Jika dilihat sosiologisnya, pengarang tidak mempunyai rasa pemilikan terhadap rumah-rumah ibadah, karena sebeiunmya tidak menganggap rumah ibadah sebagai rumah pribadi. Padahal surau (seperti yang digambarkan Navis) merupakan kewajiban untuk memeliharanya dari segala aspeknya.
Robohnya Surau Kami, menjadi keprihatinan bersama. jika nilai-nilai sosial diabaikan, tidak merasa memiliki
terhadap rumah ibadah, bukan saja roboh rumah ibadahnya, melainkan keimanan seseorang ptm tidak dapat menjadi jaminan Tuhan di akhirat kelak. Iman itupun ikut roboh,bersama robohnya surau kami.
21
MEMBUKA TABIR CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI
(Suatu Analisis Ferbandingan Realis, Cerpen dan Drama Karya A.A. Navis) Mahasiszva Fakultas Sastra
Mimgkin ada orang yang tidak kenal dengan A.A. Navis, beliau seorang budayawan dan cerpaiis pencemooh kelas wahid. Namun,cemooh yang dllontarkannya melaltii cerpen Rdbohnya Surau Kami, merupakan cemoohan yang bersifat membangun, dan dapat mengubah pola pikir masyarakat pembaca karya sastra yang diarifi oleh A.A. Navis. Dalam tulisan ini penulis akan membandingkan bentuk cer pen dan drama Rdbohnya Surau Kami. Naskah drama Rdbohnya Surau Kami ini ditulis oleh Musthafa Ibrahim yang sepenuhnya diilhami oleh cerpen Robohnya Surau Kami. Walaupim demikian, antara cerpen dan naskah drama itu sangat jelas perbedaannya. Untuk itu, perlu diadakan studi banding dan ada apa di bahk tabir dunia fiksi Robohnya Surau Kami ini.
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, kita akan terke-
san pada dua orang tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik cerita serta membawa kita ke alam fiksi yang tidak kita temukan pada dunia realitas. Akan tetapi, bagi kita
yang memiliki keimanan (keyakinan), kita akan memperca22
yai yang namanya surga dan neraka. Dua orang tokoh tersebut adalah tokoh garin (kakek) dan Ajo Sidi yang memiliki karakter pembual dan "pencemooh". Dengan bualannya inilah yang menyebabkein kakek garin hairus menhabisi nyawanya sendiri. Tokoh kakek yang memiliki karakter "alim",lebih monoton kepada alam akhimya haras mati dijalan yang sesat dan sangat dikutuk oleh Allah,serta neraka jahanamlah tempat kembalinya dan dia kekal di dalamnya yang disebabkan oleh mati secara tidak wajar (bunuh diri). Realitas yang kita temukan hari ini adalah banyaknya generasi muda yang melakukan aksi btmuh diri dengan bermacam cara, ada yang meneguk racim serangga, ada yang gantung diri, dan ada yang menceburkan diri dalam jurang rel kereta. Akibat prustasi djin stres berat yang tidak mendapat jalan pemecahannya generasi muda tersebut haras menyelesaikaimya di jalan yang tidak diridoi Allah. Fenemona ini teijadi sebagai akibat dari adanya pergaulan bebas, kenakalan remaja yang berawal dari kurangnya perhatian orang tua terhadaap sang anak. Lain halnya dengan tokoh kakek garin. Dalam reailitasnya, jarang kita dengar tentang seoremg alim haras mati di surau secara tidak wajar. Kalau kita ingin mengetahui hal yang sebenamya tentang tokoh garin dalam cerita Robohnya Surau Kami, tokoh garin itu merrumg benarbenar ada. Akan tetapi, kematiannya tidaklah disebabkan oleh bualan seseorang sehingga garin langsung bunuh diri, melainkan mati kelaparan (baca BibUografi A.A. Navis).
Pada masa dahultmya memangkehidupan seoreing garin itu sadgat sulit dan jarang yang dihargai, sedangkan realitas-
ny^ yang kita temukan, kehidupan seorang garin boleh
diicatakan cukup lumayan, bahkan sebutan garin tidak paritas kita sebut bagi orang-orang yang berdomisili di surau. Selain surau yang telah berubah menjadi masjid dan garin tersebut merriiliki arti orang yang berutang (yang berasal dari bahasa Arab).
Di lain pihyc, dengan menampilkan tokoh Ajo Sidi, Navis berhasil membawa kita pada alam fiksi yang hanya dapat dirasakan melalui kaca mata iman. Bualan-bualan yang dilontarkan Ajo Sidi dengan menceritakan keadaan
neraka, membuat logika im^ kita berpikir jauh ke depan, karena ada sangkut pautnya dengan reaHtas dunia kita saat ini. Hal ini dapat kita lihat pada dialog malaikat yang menyatakan (menyudutkan) tokoh Haji Saleh yang disiihbolkan sebagai kakek garin, dengan menyatakan sebagai orang Indonesia yang pemalas, serta mengabaikan kepentingan dunia. Akein tetapi, lain halnya reaUtas yang kita temukan hari ini. Orang-orang yang hidup di zamian modem saat ini pada umunya telah men^taniakan
keduniaan dengan melup^an kehidupan akhirat yang keked dan abadi, padahal kita tahu (sebagai orang yang beriman) dimia hanyal^ tempat persinggahan sementara yang kita hams lalui demi ihenuju dunia akhirat yang tidak dapkt kita jawab dengan logika pikiran. Akan tetapi, kita terleha dengan gemerlap dunia yang semu dan membawa kita ke jurang kehancuran.
24
Di sisi lain, naskah drama yang ditulis oleh Musdiafa
Ibrahim yang menampilkan cerpen Robohnya Surau Kami, tetapi perbedaannya secara intens, terlihat pada penambahan tokoh cerita. Pada naskah drama Robohnya Surau Kami ini terdapat tokoh seniman dan Janang sebagai tukang kaba dalam merintis cerpen Robohnya Surau Kami menjadi sebuah teater yang siap untuk dipentaskan. Kalau pada cerpen Robohnya Surau Kami ini yang diadili adalah tokoh kakek
garin (dalam alam akhirat), dan yang meninggal ini adalah kakek garin sendiri, Di dalam naskah Robohnya Surau Kami, yang diadili adalah semua tokoh yang terlibat dalam kehidupan duniawi dan termasuk Ajo Sidi sendiri. Dan semua tokoh dihukum oleh malaikat, termasuk tokoh
Janang sebagai tukang kaba. Hal ini menggambarkan kepada kita, bahwasanya hukum di akhirat benar-benar
tegak secara adil, sesuai dengan kesalahan yang diperbuat di atas muka bumi ini tanpa pandang bulu, Dan keadilan yang hakiki itu hanya ada di alam akhirat yang dapat diUhat dan dirasakan melalui kaca mata iman dan takwa
(Imtaq). Dan yang jelas antara cerpen dan drama Robohnya Surau Kami ini sama-sama mengangkat unsur rehgius yang akan musnah bersama-sama puing-puing kebatilan, sehingga menyebabkan goyahnya keimanan seseorang, sebagaimana yang tercermin pada diri tokoh kakek garin, serta menipisnya solidaritas sosial budaya umat manusia.
Kentalnya nilai religius yang terkandung dalam cer pen Robohnya Surau Kami dan berakhir dengan "menipisnya"
nilai-nilai religius tersebut, berawal dari orang-orang yang
tidak memfungsikan surau sebagai tempat beribadat, menimba ilmu agama,serta tempat belajar ilmu bela diri masa dulunya sehingga dalam cerpen Robohnya Surau Kami yang digambarkan sejak kematian kakek garin tersebut, otomatis surau tersebut mati dalam kealinansiaimya. Dinding-din-
dmg dan lantai surau yang terbuat dari ka5m habis dicopoti oleh ibu-ibu untuk ka)^! bakar. Akan tetapi, Iain realitas yang kita temukan hari ini, surau-surau telah berubah menjadi mesjid-mesjid yang permanen lengkap dengan permadani serta kipas angin dan air yang mengalir ditarik oleh pompa-pompa air yang serba bertenaga listrik. Akan tetapi, semakin megahnya mesjid dengan jumlah yang banyak, mesjid makin terasa sunyi apalagi di waktu subuh hari terUhat jelas kestmyian mesjid. Mesjid biasanya akan ramai dikunjungi bila ada acara-acara hari kebesaran umat Islam, seperti acara Israk Mikraj yang baru-baru ini kita permgati serta menyambut bulan suci Ramadhan yang sebentar lagi datang, khususnya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Apabila mesjid sudah ramai dikxmjungi, umumnya yang dicopoti tidak lagi dinding-dinding mesjid, karena mesjid sudah permanen, melamkan sandal-sandal jemaah yang menjadi sasaran rmtuk dicopoti. Begitulah realitasnya yang kita temukan, tatkala nilai-nilai agama semakin menipis di dada manusia. Mimgkin hal inilah yang perlu kita benahi, apalagi Ramadhan akan datang membasuh hati-hati yang berdebu, karena kita tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan berkahNya dan hanya dapat disentuh oleh insan-insan yang
26
berhati suci. Jadi, konteks yang dapat ditemukan dalam duiua realitas saat ini bukan surau yang roboh, melainkan nilai keimanan yang roboh. Apakah hal ini kita biarkan
berlarut-larut? Tentunya terpulang kepada diri kita masingmasing sebagai manusia tentunya menginginkan hal yang idealis, yakni bahagia dunia akhirat. Apakah hal ini dapat terwujud? Wallahhua'alam bisawab.
TUHAN DALAM "ROBOHNYA SURAU KAMP MANUSIA,KALIAN MAU APA!?
Oyon Sofyan
A.A. Navis (Ali Akbar Navis) lahir di Padangpanjang, 17 Nopember 1924. la terkenal sebagai pengarang terutama
karena cerpeimya Robohnya Surau Kami yang ditulis di majalah Kisah tahiin 1955 sebagai pemenang kesatu dalatn sayembara penulisan cerpen. Kemudian,pada tahun 1968 ia juga memperoleh hadiah Unesco/Ikapi atas novelnya Sarasivati, Si Gadis Dalam Sunyi, dan pada tahtin 1975
memperoleh hadiah Kincir Emas dari Radio Nederland atas cerpennya Jodoh.
Dalam kesempatan ini, saya akan membahas hanya
mengenai kehadiran Tuhan dalam cerpermya"Robohnya Surau Kami", yang dalam penerbitannya temyata banyak tanggapan dari kaum cendikiawan Indonesia serta para pengamat sastra. Di sirulah kebolehan Navis dalam menciptakan tokoh Haji Saleh yang dihukum Tuhan masuk neraka bersama-sama orang beriman lainnya. Supaya lebih
jelas apa yang saya maksudkan, baiklah saya kutip bagian yang sangat menarik dari cerpen tersebut. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya,"Kalian mau apa?" 28
Haji Saleh yang jadi pemitnpin dan juru bicara tampil ke depan dan daigan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memtdai,"O' Tuhan kami! Yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, keadilan-Mu dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami, tak sesat sedikit pim kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang mahakuasa, setelah kami &igkau panggd kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu,kami mentmtut
agar hukuman yang Kau jatuhnya kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke Sorga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu." "Kalian di dunia tinggal di mana?" "Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku."
"O,di negeri yang tanahnya subur itu?" "Ya,benarlah itu, Tuhanku."
"Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan tambang lain, bukan?" "Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami." Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang bahwa benarlah Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
"Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, tanaman tumbuh tanpa ditanam?" "Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami."
"Di negeri, di mana penduduknya melarat itu?" "Ya,Ya,Ya,itulah."
"Di negeri, yang lama diperbudak lain orang." "Ya, Tuhanku. Sxmgguh
laknat
penjajah
itu,
Tuhanku."
"Dan basil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkut ke negerinya?" "Benar Tuhanku, hingga kami tak mendapat apa-apa
lagi. Simgguh bangsat mereka." "Di negeri yang kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang basil tanahmu orang lain yang mengambilnya,bukan?" "Benar Tuhanku, tapi kami seal harta benda itu, kami
tak mau tabu, yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau". "Engkau rela tetap melarat, bukan?" "Benar. Kami rela sekali, Tuhanku."
"Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?"
"Simgguh pim mereka anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji, kitab-Mu mereka hafal di luar kepala belaka."
"Tapi, seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke dalam hati, bukan?" "Ada Tuhanku."
30
"Kalau ada, kenapa engkau biarkatn dirimu melarat, hingga anak cucvimu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya iintuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,saling menipu,saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja keirena ibadat itu tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau berjimal, kemudian baru beribadat. Tapi kau membeilikkannya. Seolah-olah aku ini kau anggap suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali
ke nereka. Letakkan di keraknya." Semua menjadi pucat pasi, tak berani berkata apa-apa lagi. Yakinlah mereka sekarang apa jalan yang diridai AUah didunia.
Dengan membaca inti dari cerpen Robohnya Surau Kami di atas kita berhadapan dengan masalah ibadah dan keiimnan. Cara ibadat yang mengutamakan gerak-gerik lahir semata-mata, seperti sembahyang, membaca Quran, puasa dan, Iain-lain, jika tak disertai dengan usaha meringankan bahkan melenyapkan derita orang lain, kemiskinan, kebodohan sama sekali tidaik ada gunanya di mata Tuhan. Tuhan bukanlah ntabuk disembah,suka dipuji. la menghendaki amal-perbuatan guna perbaikan nasib keluarga, sekampung,setanah air, bahketn seluruh umat manusia.
Konsepsi tentang ibadat demikian sebenarnya bukan-
lah baru. Hadis nabi menyataka bahwa suatu perbti^tan yang dilakukan imtuk beroleh keridaan-Nya ialah ibadat. Bahkan la bersabda: "]\ka. engkau beri sejemput makanan saja pun kepada istrimu, seraya engkau percaya, oleh perbuatan itu engkau patuhi perintah Tuhan, maka akan eng kau peroleh balasan dari amalmu itu pada sisi-Nya (Hadits Buchari, dari B. Mahmud Ahmad: The Holy Quran, hal. 14). "Dengan demikian,Navis meluaskan arti ibadat btikan saja sampai kepada kegiatan-kegiatan sosial, seperti menolong orang juiskin, memberi jaminan bagi ketunman,tapi di bidang yang lebih besar lagi, cinta kepada tanah air dan mengusahakan hasil-hasil pertanian dan produksi lainnya dengan semangat membanting tulang, agar supaya rakyat cukup dari keperluan hidupnya. Dikecamnya dengan halus orang-orang beriman yang hidupnya tanpa mengeluarkan peluh hanya beribadat saja, yakni ibadat dalam arti sempit, seperti sembahyang dan membaca Quran. Semua itu diceritakannya dengan gaya bahasa yang menarik atau mengesankan karena ada orang-orang seperti Haji Saleh dalam masyarakat Indonesia sekarang, yang pergi ke Mekkah hanyalah imtuk mempertinggi gengsi dirinya di mata sesama orang Islam. Yang sangat rajin beribadah lahir, lebih-Iebih yang dapat dihhat orang lain, ia beribadat Bahkan, di depannamanya memakai gelar "haji". Begitulah Navis melukiskannya dengan amat sinis sekali bahwa ketiUka Tuhan mengajukan pertanyaan pertama kepada Haji Saleh, ia menjawab, "Aku Saleh. Tapi karena
32
*^11 su^aK ke
KemiidiM
i^aim iSanyafeuateiVgicaudi'duraa^'.'"''- '■' . Disayat-sayatnya ketakaburein Haji Saleh'dl^ NaVis,
jT.iilQp njHiissi' nBHiiXiariWiOfn lafirii&d ,iii:]ai »-£vsl'1 suam unsur yanff memad? sangat menKn^an? bagi murm-
ncoiiBx^ iua:;>3,.D ;i>a£v iiBXtinipsa ^ixJidr^tuus.'i. in«viO iuHUv/ki);
nya keimaijan ^eseor^jg. Tema iiu terus-menerus dikem-
Ma^
'tega(if 'suzito' r^iie
^ti^ojg
'y^g pa^at^'Maji Si^eb'^dak d^ s'tGAS
.'itsjjjJfBiP said r.B>)rKnt*si»Kfe?Sj>i.KVi3EVKiij J;;wh!
mencentakan segala yang la kefjal!^. Tetajn, akiiimya la
iiwy^1i»ahwa"j>drtMy Ttih^iS^^'^s^ ^er^ya. tetapi^ menurut pendapatnya ia tel^^ mmceniak l^ya sdhingga akhimya Haji Sedeh tak j^u lagi apa yang haras dikatakannya. Ia merenung dan menuh^td^'aih ke^ leinya. Di lain pihak, api neraka menghawatirkan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Ia menangis, tetapi setiap air matanya mengalir dihisap kering oleh hawa panas neraka. Yang menaiik perhatian saya dalam dialog antara Tuhan dengan Haji Saleh iaiah bahwa Navis telah berhasil kontinu melukiskan mutu keimanan seseorang yang sebenamya masih berada dalam taraf kepercayaan anak-anak, mutu keimanan Haji Saleh hanya menjadi jeweran dari inalaikat.
Sebenamya dalam Robohnya Surau Kami ini mengandung simbolis yang menalqubkan, yaitu: orang-orang Islam yang sok ibadat, tetapi melupakan tugas mereka kepada keluarga dan tanah air sehingga melaratlah kehidupan keluarga mereka. Sxurau yang tua yang dijaga Haji Saleh melambangkan keadaan Islam yang tidak berjiwa lagi. Dan
0i§ka§%ftleUa0n/'^i3&C
33
ap§l?jl0 pada akhimya Haji Saleh menggorok lehemya kar.epa kehabisan kayu lengkaplah sud^ simbolis kemerosotan Islam, yaita Islam hanya di^ut pleh fcflum ibadat^se^pit , Nayis telah berhasil menghadirk^ Robohnya Sumu f^mi,itulah b^^gk^ y^g disebut dengan
Islsun. Dengan.secara tidak l^^gsting Nayis tel^ berdakw^ se
terns
-
tersebut dibaca oremg. Jakarta,
13 Nopember 1085 ^ •
'.■"n; y-" r
•»-=
;"If-
i
y • 'n
^ yy-yyy yr^'
'
" yy
'yy ^
-/yy- ' v-v.;r/
y^y iy/;.y" yy"-^ •■ ;v y"v' '.r)
yy.yy.yyy•'
yy
^ ^
: :yyyy
■ri:.) .:
y^'yyyy-yyyy"
' •■ . /;--i
"-^■0 •yyyy.'yyf :^/;yy',yn yyyy.:yl y^'yyy' y: -J ■
u:y:yy y •.> . ■ ;y y .yy
•: ' r.y'j.-^yy yy- - .nv-y': ■
'-y^y? ■• - .y5'y yy-yy"' :y,y'_- / ■
.^- -y
yyyyyi -,y:r'^
■ ; " ;. 'y /•■yy .
> .v:
iy.'y./y'
,-y.yy'-y-y'y'^y ^yy '; : : ; -y/yry:-
'
r y-i.y ^yf-
34
-^yy-y'yi-yy.
"
■•:y;yy
'
yrcy -
y:y
y'
:
'-y -
yy iy-
'y.y.^
■ ■ yy
-y-y"^ r-
:r:^ -
y -;yy;:y-- - ■
y
y- .y'-y
Si&kiin^iUUagnr^S&C^
KEAGAMAAN DALAM KESUSASTRAAN
Shafwan Hadi Umry
Cerita pendek Robohnya Surau Kami menceritakan seorang kakek yang bemama Kakek sebagai garin (perqaga stirau). la hidup dari kemurahan hati orang lain dan sering menolong para tetangganya. Suatu hari Kakek menerima tamu yang bemama Ajo Sidi. la bercerita kepada Kakek bahwa yang terpenting bagi manusia adalah bekerja dalam hidupnya dan btikan beribadah melulu kepada Allah Yang Mahakuasa. Orang yang beribadah tanpa bekerja tidak mendapat rida Allah dan dimasukkan ke dalam neraka. Ajo Sidi mengambil contoh tentang Haji Saleh yang di dunia beramal saleh,tetapi di akhirat dimasukkan ke dalam api neraka. Sepulang Ajo Sidi dari surau itu Kakek merasa gehsah dan termakan ke dalam akalnya "bual" Ajo Sidi yang diceritakan pengarang jago berbual di kampimg itu.
Akhimya Kakek mengalami konflik kejiwaan dan ia tak mampu mengatasinya selain membunuh diri. Ia merasa apa yang diperbuatnya di dunia sia-sia dan tak berguna. (Sumber; Antologi Apresiasi Kesusastraan, Yakob Stimarjo &SainiKM).
Setelah membaca cerpen di atas, saya terpikat dengan gaya A.A. Navis yang lincah, mengagumkan dan terkadang melemparkan sindiran yang jitu kepada masyarakat pem35
baca. Navis dapat digolongk^ 'seniman men5dndir' dalam barisan pengarang prosa terkemuka di Indonesia. Cerita pendek Rohohnya Surau Kami termasuk salah satu corak pengungkapan masalah agama dalam kesusastraan. Seba-
gaf^ana dijelaskan oleh Drs. Mxirsal Esten, ada tiga corak pengungkapan yang dapat kita lihat. Pertama, sastra tersebut mempersoalkan praktik ajaran agama, kedua, sasiia mendpta dan mengungkapkan masalah berdasarkan ajaran-ajaran agama, ketiga, kehidupan agama hanya
sebagai latar belakang.(lih. Kesusastraan, Pengantar Teori & Sejarah).
Cerpen di atas dapat digolongkan dalam corak yang pertama, yaitu menampilkan persoalan praktik manusia dalam beragama. Tema yang jelas dapat dilihat dalam cerita ini ialah kegagalan manusia dalam menafsirkan sikap keagamaan secara utuh. Sikap beragama khususnya yang dianuti Kakek dan juga Ajo Sidi beserta masyarakat di sekitar kampimg itu adalah masyarakat yang bersifat fragmentaris. Penalaran keagamaan dilihat dalam bentuk bagian yang terpotong-^potong. la tidak merupakan totalitas. Tipisnya agama yang berbudaya merupakan dana kedangkalan iman serta akal.
Sebagai Muslim sejati, orang hendaknya beragama tidak separuh-paruh, tidak terbatas dalam ritus sembah-
yang dan beribadah, tetapi Muslim yang "kaffah" yang utuh dan seluLruh hidupnya berada dalam Islam. Kakek adalah manusia yang hanya sibuk beribadah dan melupakan penalaran beragama, yaitu beramal dan bekerja. la merasa
36
terptikau dengan tokoh identifikasi Haji Saleh yang taat sembahyang akhimya masuk neraka. Kakek merasa segala amal dan perbuatannya sia-sia dan hal itu disebabkan pengaruh cerita Ajo Sidi dan kelemahan iman Kakek sendiri.
Tokoh Kakek yang ditampilkan oleh pengarang ini cukup kontroversial. Di satu pihak, ia digambarkan sebagai orang yang rajin bekeija dan memelihara ikan. Ia mahir juga sebagai pengasah pisau dan mengambil upahan dari orang lain. Mengapa ia tega membunuh diri, termasuk ketidakwajaran dalam cerita ini. Dan, pada galibnya membimuh diri adalah tidak wajar. Sebagai orang yang dikenal di kainpung itu Kakek dapat saja meminta pendapat kepada tetangga tentang konflik batin yang melanda dirinya. Orang pertama yang mengetahui jiwa Kakek adalah sang penga rang sendiri. Dalam cerpen itu pengareing (sang 'aku') tidak dapat berbuat banyak untuk menenteramkan hati Kakek.
malahan pengarang terkejut dan tak menduga Kakek bunuh diri.
Bagi Ajo Sidi kematian Kakek seperti wajar saja dan barangkali itulah ganjaran orang yang hanya beribadah,
tetapi tidak beramal di dunia. Seperti kata pengarang berikut ini.
"Aku cari Ajo Sidi kerumahnya. Tapi, aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya sama dia". "la sudah pergi,"jawab istri Ajo Sidi. "Tidak ia tahu BCakek meninggal?"
"Sudah. Dari ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis",(hal.49). Kepergian Kakek untuk selama-lamanya tidak menyentuh perasaan tetangganya untuk membina stirau itu. Bahkan, mereka berlomba-loma meruntuhkan surau-surau
itu dengan mengambil papan untuk kayu bakar. Pengarang menyindir bahwa sikap masyarakat dalam beragama lebih mengambang dan tak memiliki watak beragama yang bertanggung jawab. Hal ini secara indah dilukiskan oleh
pengarang dalam dialog Haji Saleh dengan Allah di hari kiamat. Bagaimana Haji Saleh bersama pengikutnya di diuua protes kepada Allah atas hukuman yang dijatuhkan tak sesuai dengan amal perbuatan ibadah mereka di dunia.
Ada yang menginginkan resolusi dan revolusi yang selama ini cukup ampuh dilakukan mereka ketika hidup di dtmia. Gambaran yang disampaikan pengarang itu sebagai ejekan kepada masyarakat yang mengaku beragama sembilan puluh persen, tetapi tidak memiliki agama yang berbudaya. Mereka tidak memiliki sikap Muslim yang utuh tadi. Akhimya, mereka semuanya dimasukkan ke dalam api neraka.
Tokoh Ajo Sidi yang memiliki etos keija dan beranggapan bahwa hidup adalah bekeija terrmasuk pemahaman yang separuh-paruh dalam beragama Padahal sikap beragama khususnya dalam kepercayaan Islam adalah kesatuan yang total. Manusia hendaklah beriman, beramal, dan bekerja. Tiga serangkai ini bukanlah diUhat secara sempit.Sebagaimana dalam agama Islam terkenal ayat yang
38
^jfCea^ttmaoMr
mengatakan: "Masiiklah dalam Islam secara utuh". Dengan demikian Ajo Sidi menurut pandangan Islam termasuk yang lebih sesat lagi. la tak berbeda dengzin hewan yang hidup hanya imtuk bekerja tanpa bersyukiir dan menyadari bahwa dalam Islam ada firman Allah yang mengatakan bahwa manxisia dan jin diciptakan untuk menyembah Allah. Ajo Sidi kehilangan petunjuk dalam menerima ayat ini.
Demikianlah analisis cerpen Navis Robohnya Surau
Kami. Dan sebagaimana dijelaskan Mursal Esten maka rerila pendek ini telah membenarkannya sebagai salah satu contoh terbaik dalam cerita yang bersifat keagamaan dengan segala problemanya dan bukan sekedar latar belakzing yang selalu dipakai pengarang pada umumnya.***
39
8
MITOS SEKULARISASIDALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI A.A NAVIS
Fadillah
Bermula dari ketidakpuasan interpretasi yang diberikan oleh beberapa tulisan yang membahas cerpen Roboh-
nya Surau Kami sampai kepada keinginan untuk menanggapinya. Namun, tulisan ini bukanlah tanggapan sekadar basa-basi, sebab disadari bahwa pekeijaan menganalisis suatu karya sastra bukanlah pekerjaan mudah. Untuk semua itu, dipergunakan pendekatan mimetik
sebagai langkah awal, sedangkan secara instrinsik dilihat hanya khusus dalam mang lingkup teori yang diperguna kan antara lain adalah teori mimesis, teori presence and
absence, dan teori myth offreedom. Akan tetapi, metode yang diperguruikan dalam analisis ini adalah perbandingan an tara kenyataan dalam cerpen dengan realita sosial serta sistem Islam yang dianut. Dalam tulisan ini tidak diberikan
ringkasan cerita,sebab cerpen itu sudah begitu dikenal. Saya berasiunsi bahwa teori presence dan absence akan mampu mengungkapkan hakikat dan misi cerpen. SetLdak-tLdaknya, ia memberikan altematif baru dari sudut pemahaman suatu karya sastra. Maitirut Umar Junus (1984:64) sangat disayangkan kebanyakan sarjana yang ber40
gerak di bidag sosiologi sastra melupakan teori itu. Mereka
beranggapan bahwa setiap unsur yang hadir dalam karya merupakan wakil dari realita.
Berdasarkan teori mimetik yang kemudian oleh Alan
Swingewood disebutkan "sastra adalah cennin masyarakat, cermin suatu zaman" atau kalimatnya yang lain "sastra adalah refleksi atau refraksi sosial" (dalam buku Umar Jxmus,1984:75).
Menurut konsep itu, cerpen Robohnya Surau Kami me-
refleksikan realita sosial umat Islam di Minangkabau, bisa jadi di Indonesia atau dunia,sebab di dalam teks tertuju In donesia dari jawaban Haji Saleh "Kami ini adalah umat-Mu
yang tinggal di Indonesia". Terlepas dari itu fokusnya ber-
ada dalam realita itu sendiri yang berisi hakikat karya itu. Fakta yang ada di dalam cerpen memberikan gambaran yang senjang tentang Islam. Unsur-unsur tersebut antara
lain adalah sebagai berikut.(a) Garin hidup di surau, tidak
beristri, tidak menghiraukan harga dan kebutuhan hidup, gambaran seperti sistem kepasturan (priesthood)-, (b) Kritik tajam datang dari orang yang tidak bisa dipercaya atau si pembual (pendusta) Ajo Sidi; (c) Seorang saleh (Kakek Garin) tiba-tiba bunuh din; (d) Surau sedang menunffgu kerobohan.
Sistem Islam seharusnya tidak terlihat seperti itu, me-
lamkan seperti berikut. (a) Garim harus beristri, bekeija (bertani) tidak hidup seperti pendeta suci Kristen atau
Yahudi serta Hindu Budha;(b) Kritikitu datang dari orang jujur, biasanya terpelajar terhadap pemahaman agama, seJlUddrSPeAun€i&u
4]
perti angkatan Inpak Rastil dan Buya Hamka; (c) Tak mungkin seorang beriman yang saleh bunuh diri karena cerita bual orang fasik (si pembual) walaunya kelihatan logis, kecuali orang yang beribadah tanpa ilmu dan tak beriman kuat;(d) Surau berubah menjadi masjid dan tidak roboh.
Untuk itu, di sini bisa benar apa yang dikatakan Umar
Junus, bahwa suatu peristiwa dalam karya sastra adalah pe-
n5dmpangan dari idiologi (masyarakatnya). Kehadirannya menyebabkan kita berpikir tentang sesuatu yang lain, yang tidjik hadir,ideologi.
Selanjutnya, dia menyatakan sebenamya karya sastra tak berhenti dengan menghadirkan sesuatu. la merupakan suatu pencarian kepada yang tak hadir. Yang tak hadir lebih penting daripada yang hadir. Yang hadir hanya alat untuk memikirkan sesuatu yang tak hadir sehingga ada keadan presence (hadir) dan absence (tak hadir). Demikian hakikat teori tzvetan Todorov dimaksudkannya(Umar Jtmus,1984;64).
Dengan teori presence dan absence akan terlihat apa
yang tidak hadir(absence) dalam cerpen itu sebagai hakekat yang dikandtmg. Fakta dalam cerpen Robohnya Surau Kami akan terlihat antara lain sebagai berikut.
Fakta presence adalah realita dalam cerpen sedangkan fakta absence merupakan realita sosial mnat Islam di Minangkabau.
Pemyataan proses sekularisasi yang terjadi di Minangkabau bukanlah tanpa alasan apa-apa. Bahkan, sebelumnya 42
S^M*utattffan'3'aU»aMati'jLAJla4tU'
JUtefS'eAaMde^itaair
sudah terjadi proses materialistik seperti yang dianalisis oleh Wisran Hadi.
"Ajaran adat yang materialistik itu menyebabkan masyarakat Minangkabau memuliakan materi, benda, rumah gadang, tanah pusaka, sawah ladang, bahkan tanah untuk perkuburarmya" (Hainan, 28:11;1988, hal VII). Lain lagi di dalam novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Heunka melukiskan betapa tinggi nilai orang berharta, berpangkat, bangsawan (Aziz), tetapi tak bermoral daripada kehaluan budi Zainuddin yang miskin, tak berpangkat, tak bang sawan bagi orang Minangkabau. Dan seorang Datuk tetap dihormati di kampungnya walaupun di rantau bermoral bejat, seperti yang dilukiskan dalam cerpen "Si Padang" Harris Effendi Thahar. ReaUta yang bisa ditemukan terKhat dalam harian daerah yang menegakkan bulu roma, seperti seorang Datuk 'memakan' anak, dan yang sering sekali kemenakan membunxih mamak karena harta pusaka. Untuk masa saat sekarang kecendenmgan seperti itu bukanlah barang baru.
Sesxmgguhnya materialistik merupakan bapak kandung dari sekularistik (Moh. Natsir, 1980;70). Islam bagi orang Minangkabau tidak diterima sepenuhnya hanya sebagian, dengan arti Islam hanya di surau, di mesjid, tetapi pada sistem kemasyarakaan,Islam tidak boleh ikut campur, seperti sistem kewarisan, sistem keluarga matrilineal, dan sistem pemerintahan. Untuk mewujudkan Islam diterima sepenuhnya terlihat adanya perjuangan Harimau nan Salapan,Tuanku nan Renceh,Tuanku Imam Bonjol. Suatu
peijuangan untuk melenyapkan sekularistik (Islam yang separuh-separuh). Semua terwujud dengan tonggak bukit Marapalam (suatu konstitusi) yaitu sebagai berikut. "Adat bersandi Syarak, Syarak bersandi Kitabullah" menggantikan "Adat bersandi Alur dan Patuik." Waktu
inilah lembaga surau menjadi pusat kebudayan (islami), tetapi sayang dalam keadaan yang masih lemah, Belanda menjajah.
Presence(yang hadir)
Absence (tidak hadir)
1. Garin hidup seperti sis- 1. Islam bagi umat hanya di tem kepasturan (priesthosurau, mesjid, tidak di ed) sekolah, kantor, pasar, Suatu Peristiwa Sekulari-
sasi (M. Maquib al Attas, 1981:20).
2. Kritik tajam dari si pem 2. Tidak ada kritikm tajam bual Ajo Sidi.
Keadaan Ajo Sidi merupakan keadaan umat yang tabu pada Islam, tetapi menganggapnya sebagai dongeng dan tidak mengamalkannya. Si pembuat berarti suka bercerita bohong,'gadang ota', 'galia' semua beranalogi si pendusta, tetapi jika tidak akan begitu akan mengacu pada pengertian
44
fisik. Betapa banyak orang yang bisa hanya bicara, tetapi tak berbuat, orang dinasihati tetapi dirinya tidak. Ajo Sidi menuding Kakek Garin jadi penghuni kerak neraka, padahal dirinya lebih jelek daripada itu. ia seorang pembual, seorang pendusta yang sukses. Maka tidak benar, seperti yang 'dilandir' oleh Drs. Muhardi dalam analisisnya terhadap RSK (Bobot, November 1986) yang mengatakan bahwa si pembual Ajo Sidi dengan Kakek Garin adalah simbolis dciri serangan ulam muda terhadap kaum ulama tua. Materi dongeng Ajo Sidi dianggap materi serangan kaum ulama muda. Ini interprestasi yang menyesatkan, sebab apakah kata pembual - tidak dianalisis? Bisakah kaum ulama muda (yang disinyalir Inyiak Rasul, Dr. Abdullah Ahmad, Syek Moh. Jamil Jambek) dikatakan pembual yang sukses? Jika demikian, hal itu merupakan suatu analisis yang mentah. Saktdarisasi bagi umat Islam di Minangkabau sudah berubah menjadi 'kepercayaan'(mitos) yang tidak disadari. Mengakibatkan umat Islam mxmdur sehingga gelar serambi Mekah hanya tinggal nama, seperti yang disinyalir tokoh NU Abdurrahman Wahid baru-baru ini {Kompas 21:10 1988), Umat Islam mtmdur di Minangkabau. Kenyataannya me-
mang umat Islam kalang kabut sebab temyata ulama sudah menjadi makhluk langka yang hampir 'pxmah' dan yang tinggal im sudah'ompong.' Dalam Robohnya Surau Kami terjadi semacam mitos
pembebasan menurut teori Northrop Faye (dalam buku Umar Junus, 1985: 90): Myth of Freedom terhadap mitos
sekularisasi yang sejak dahulu sampai sekarang masih
berupa penyakit kronis. Maka Robohnya Surau Kami ibarat potret ronsen, dan tinggal kesadaran umat untuk mengaca diri, tetapi yang sudah-sudah, wajah buruk cermin dibelah. Lain lagi, jika kita bercermin pada cermin yang salah, cer min akan memberikan gambaran yang salah pula, seperti
kakek, mengevaluasi dirinya dengan bualan orang (Ajo Sidi) sehingg dia bertindak vatal, bunuh diri.
Pembedahan secara tepat dan halus terhadap problematik timat Islam benar-benar telah dilakukan oleh cerpen Robohnya Surau Kami. Gaya sinisme A.A. Navis, seperti ketajaman pisau yang mengilukan jantung. Maka tidak mengherankan jika cerpen tersebut menempatkan pengarangnya sebagai seorang sastrawan Islam modem (disinyeilir Syamsuddin Udin,1985;13).
Permasalahan yang disajikan bukan hanya dialami oleh umat islam di Minangkabau, tetapi di dunia. Sektdaris-
tik adalah penyakit yang melumpuhkan umat beragama (termasuk Islam) di mana-mana di muka bumi ini. Pada
intinya sekularisasi tidak menginginkan umat Islam terse
but, menjadi Islam secara 'kaffah' (secara utuh). la idak menginginkan hukum Islam tegak di muka bumi, tidak menginginkan wanita Islam menutupi aurat (jilbab), tidak menginginkan Islam dibawa ke pasar, kampus, kantor, dan
Iain-lain. Oleh karena itu, cerpen Robohnya Surau Kami tetap merupakan kajian yang aktual.
Cerpen ini mempertanyakan eksistensi Islam di tengah umat, mempertanyakan konsepsi kebudayan dan gaya hidup serta kepribadian apa yang dipakai umat Islam seka-
46
rang dan yang akan datang? Yang manakah kepribadian Islami itu pada umat? Jawabnya ada pada realititas sekitar kita.
Padang,awal Januari 1989.
CATATAN UNTUK A.A. NAVIS
MATRILINEAL:MENGAPA KURANG
DIPERGUNJINGKAN? Nadir Abbas Katnil
Cukup menarik bagi saya apa yang diungkapkan oleh A.A. Navis dalam tulisaimya di harian Kompas hari Selasa 25 Jtili 1978 yang lalu. Txilisan yang berjudul "Penganih Agama dan Kebudayaan dalam Pengembangan Kebudayaan di Minangkabau" merupakan salah satu kertas kerja yang diajukan dalam pertemuan Asian Workshop on Integral Rural Development yang diadakan di Bah baru-
baru ini. Tulisan ini cukup memberikan gambaran yang cukup berarti tentang Min2mgkabau saat ini. Saya kagumi A.A. Navis dengan sistematis dia coba
mengtmgkapkan masalah Minangkabau. Berangkat dari filsafat hidup orang Minangkabau, sistem perekonomian, pembangunan mental spirituil dan Iain-lain, A.A. Navis mencoba memberikan gambaran tentang pengaruh kebu
dayaan dan agama terhadap pengembangan kebudayaan Minangkabau. Juga tak lupa A.A. Navis sempat memotret sekeping wajah orang Minangkabau yang dikatakan sebagai pelagak, tinggi hati, pemendam perasaan, serta kritis.
48
Sikap-sikap ini lahir akibat sistim komunal masyarakat Minangkabau serta kehidupan yang demokratis. Akan tetapi, betapa pun juga ada hal-hal yang kurang mendapatkan perhatian dari A.A. Navis yang cukup penting, setidak-tidak menurut pikiran saya pribadi. Mengapa A.A. Navis kurang meUhat atau meninjau lebih luas dan lebih dalam tentang matrilinial. Apakah ini masih relevan dengan masyarakat modem. Merantau: dorongan untuk berprestasi? Merantau mempakan salah satu topik pembicaraan yang manarik kalau dihubtmgkan dengan kelompok etnis Minangkabau. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti terhadap gejala merantau orang Minang ini. Dalam tulisannya A.A. Navis mencoba memberikan penjelasan atau sekurang-kurang basil pengamatannya pribadi tentang merantau. Menurut A.A. Navis merantau
mempakan salah satu marufestasi dari keinginan imtuk mendapatkan sesuatu yang pribadi sifatnya; kekuasaan atau harta benda, sebab sistem komunal masyarakat tidak memberikan alokasi peran yang banyak xmtuk mendapat kan keinginan-keinginan pribadi tersebut. Lelaki Minang kabau bukanlah lebah atau semut. la butuh akan kekua
saan, ia juga membutuhkan milik pribadi. Jika negerinya tidak memberikan tempat untuk mendapatkan atau berbuat apa-apa sedangkan istrinya dan anaknya tetap men-
jadi orang lain maka hal itu yang menjadi motivasi bagi mereka vmtuk merantau (wilayah negeri lain yang berada di luar kekuasaan kaumnya).
Memang banyak benamya apa yang dixmgkap oleh A.A. Navis. Masyarakat Minangkabau tradisional lebih banyak memberikan alokasi peran terhadap perempuan dalam mengambil keputusan menyangkut masalah keluarga atau lelaki pihak ibu atau lazimnya dalam struktur masyarakat Minangkabau yang disebut mamak. Setelah matrilineal, ini mnyebabkan peran lelaki sebagai kepala rumahtangga; sebagai suami dari istri atau sebagai ayah dari anak tidak diakui. Peran ini banyak diambd oleh ibu atau keluarga lelaki dari pihak ibu (mamak). Mamak memiliki otoritas yang cukup besar dalam menentukan nasib kemenakan; mulai dari kebutuhan materil, pendidikan dan malah sampai menyangkut masalah jodoh. Peran ayah dalam keluarga sedikit sekali. Malah peranan lelaki seba gai kepala keluarga hampir tidak ada sama sekali. Eksistensi lelaki Minang sebagai kepala rumah tangga tidak diakui. Lelaki Minang bagaikan abu di atas tunggul. Sistem kultural semacam ini menimbulkan konflik
dalam diri orang Minangkabau. Persengketaan psikis terjadi karena perannya tidak diakui sebagaimana mestinya; peran sebagai ayah dan sebagai suami. Selain itu, sistem komtmal masyarakat Minangkabau yang dikatakan oleh A.A. Navis sebagad sesuatu yang dapat melahirkan solidaritas dan rasa saling tergantung antara orang sekerabat, sekaum, sedesa, baik dalam membantu simiskin maupim dalam menjaga nama baik si kaya, agar terUhat bermartabat sama dengan orang lain. Akan tetapi, komimalisme juga menyebabkan sesuatu yang tidak mengenakkan. Di mana orang lain terlalu jaxih memasuki batasan-batasan 50
^iiiaidsi^aifUuUrtAdtpi^
sesuatu yang individual sifatnya. Komunalisme masyarakat Minangkabau^ menimbulkan suatu sikap yang suka mencikaraui (suka mencampiuri urusan orang lain). Halhal semacam ini juga menimbulkan persengketaan psiko logis bagi orang Minangkabau. Merantau merupakan salah satu bentuk solusi terhadap mekanisme ktiltural yang teijadi dalam sistem masyarakat Minahgkabau. Meninggalkan kampung halaman berangkat dari keinginan untuk menghilangkan ketidakpuasan; matereel atau pun psikologis. Rantau atau negeri yang berada di luar kekuasaan kampung memberikan kemimgkinan banyak bagi orang Minangkabau untuk mem-
peroleh sesuatu yang didambakannya bagi kepuasan in dividual.
Selain berangkat dari persengketaan psikologis maka bagi orang Minangkabau merantau didorong oleh orang tua yang senantiasa mengatakan bahwa merantatdah dulu
karena sekarang belum berguna. Merantaulah karena
kamu belum berguna. Orang yang tidak berguna tidak dianggap keberadaannya. Jadi, bagi orang Minangkabau merantau berangkat dari suatu sengketa psikologis, eksistensinya tidak diakui dan juga dianggap sebagai orang yang belum bermanfaat. ketidakpuasan-ketidakpuasan ini merupakan semacam virus mental bagi orang Minang kabau. Virus mental merupakan semacam dorongan untuk berprestasi, memmjukkan bahwa dia berguna. Virus mental ini membuat orang Minangkabau berusaha keras tmtuk mendapatkan apa yang didambakah'di iir^tau. Kegagalan merupakan aib bagi dirinya dan keluarganya.
Merantau bagi orang Minangkabau adalah tintuk mendapatkan sesuatu untuk kepuasan individual, seperti kekuasaan dan harta benda dan juga ilmu pengetahuan. Trauma PRRI?
Kalau saya tidak salah dalam suatu perjumpaan dengan Drs. Harun Zein yang ketika masih menjadi Gubemur Sumatra Barat dikatakan bahwa kita berhasil
menaikkan harga diri orang Minangkabau yang jatuh ke tika PRRI. PeristLwa PRRI sebagai salah satu peristiwa politis telah memberikan suatu kesan traiunatik bagi orang Minang. Mulai adanya semacam ketakutan pada penguasa dan ABRI dan gejala ini terlihat di awal tahun 1960-an ketika penumpasan PRRI. Kejadian ini memberikan suatu kesan dalam perkembangan psikologis orang Minang tentang adanya semacam rasa rendah diri. Hal ini disebabkan adanya semacam respon yang tidak melegakan diri dari kelompok etnik lainnya di mana kata Minang atau Padang diberi suatu konotasi yang tidak enak seperti Padang Bengkok, copet, dan ketidakjujuran sehingga hal-hal semacam ini menimbulkan keenggganan bagi orang Mi nang untuk mentmjukkan ke Minangannya. Enggan pulang: manifestasi rasa cinta atau benci Merantau dianjurkan agar orang mendapatkan sesuatu bagi dirinya sehingga dia dianggap berguna bagi masyarakatnya. Merantau bukanlah sesuatu yang bersifat selamanya. Merantau hanya sesuatu yang sementara. Mereka
harus pxilang setelah mendapatkan sesuatu bagi dirinya sehingga bermanfaat bagi kaumnya.
Orang rantau diajak ptdang xintuk berpartisipasi bagi membangun negerinya. Namun, masih saja ada keengganan untuk pulang bagi para orang rantau. Legenda Malin Kund£ing saya kira banyak memberikan pengaruh terhadap sikap para perantau orang Minang. Malin Kundang dapat kita lihat sebagi figur orang rantau yang sukses. Dia berangkat dari ketidakpunyaan sesuatu. Dia pergi tanpa memiliki apa-apa. Akan tetapi, dia pulang dengan segala kelebihan yang dimiUkinya; kekuasaan dan materi. Kelebihan-kelebihan yang diiniliki oleh Malin Kimdang menyebabkan adanya distansi atau jarak atau mungkin jurang dengan ibunya yang masih miskin dan juga semakin tua renta. Distansi ini adalah dalam bentuk moril ataupun materel. Selain legenda Malin Kundang juga slogan-slogan tentang kecintaan kampung dijabarkan dalam bentuk sikap meninggalkan kamptmg halaman. sayangjo anak dilacuik sayangjo kampuang ditinggakan (sayang dengan anak dilecuti sayang dengan kampxmg ditinggalkan).
Ada dua nilai yang berbeda dalam melihat orang Minang yang enggan pidang kampxmg. Pertama, saya lebih cenderxmg melihat sebagai Mahn Kxmdang, karena orang
Minang berangkat dari ketidakpuasan psikologis terhadap kampungnya. Merantau mendambakan kepuasan indivi dual. Rantau memberikan segala apa yang didambanya tersebut. Akan tetapi, keengganan pulang sebagai manifestasi rasa cinta pada kampung toh kiranya masih saja dapat dipertahankan oleh orang-orang yang memang punya pendirian demikian. Pewarisan kultural sejauh mana dilaksanakan
Supaya kebudayaan itu dapat hidup secara langgeng atau tidak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh haruslah ada pewarisan kultural kepada generasi yang lebih muda. Akan tetapi, sejauh mana hal-hal ini dilak sanakan?
Pewarisan kultural dalam hal ini kultur Minang kepa
da generasi yang lebih muda bukanlah dimaksudkan untuk menimbulkan sikap eksklusif dan chauvinis.
10
A.A. NAVIS DAN ZAIDIN
BAKRI SOAL NILAI-NILAI45 DAN REGENERASI:
PERLU CONTOH WAJAH YANG IDEAL Nadir Abbas Katnil
EMPAT puluh dua tahun kemerdekaan Indonesia.
Selang waktu yang penuh gejolak dan perabahan bagi bangsa Indonesia. Ada yang dicapai dari sana, tapi ada juga yang ditinggalkan. Ini kenyataan sejarah. Tapi kita merdeka mtingkin bukan hanya sekedar mengusir penjajah. Ada harapan. Ada cita-cita yang sebagian masih tetap menyala,dan sebagian lagi mtmgkin mulai redup. Ada perjuangan '45, ada nilai-nilai '45 dan rakyat Indonesia. Kesemuanya adalah cita-cita membentuk masyarakat Indonesia yang berketuhanan, yang berprikemanusiaan, yang bermufakat dan yang berkeadilan. Artrnya masyarakat Indonesia yang demokratis. Tapi apakah citacita ini telah tercapai? Mungkin ini pertanyaan besar
untuk kita masa kini. Atau apakah cita-cita ini masih tetap relevan dengan perjuangan yang sedang kita lakxikan pada saat ini? Tentang relevan inilah yang dilemparkan kepada AH Akbar Navis dan Zaidin Bakri. Dan mereka mencoba menjelaskannya.
Penderitaan akibat penjajahan Belanda, penangkapan pemimpin dan munculnya soHdaritas nasional, adalah an-
tara lain yang menjadi motivasi timbxilnya semangat perjuangan '45, sehingga mengantarkan Indonesia kepada kemerdekaannya. Semangat ini lebih didorong lagi dengan munculnya sikap anti-Barat, yang diprakarsai oleh Jepang. Kemudian, sikap ini mimcul karena adanya senjata di tangan rakyat Indonesia, dan kekosongan kekuasaan, akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Semangat yang muncul dari bangsa Indonesia ini adalah, suatu totaHtas perjuangan, dalam arid menempatkan perjuangan itu di atas kepentingan pribadi atau golongan sehingga kalau kita mengamati perjuangan kemerdekaan di Sumatra Barat, perjuangan angkatan '45 yang kita katakan sekarang, sebetulnya perjuangan mereka tidak lebih besar dari rakyat banyak. Demikian pendapat Ali Akbar Navis budayawan dan bekas anggota DPR Tk I Sumbar di rumahnya beberapa waktulalu.
"Karena perjuangan kemerdekaan Indonesia, adalah seluruh perjuangan rakyat banyak, maka tidak ada yang berhak mengklaim kemerdekaan hasil perjuangan mereka saja," kata A.A Navis sambB menceritakan keterlibatan rakyat Sumatra Barat selama revolusi. Pewarisan Nilai
Proses sejarah memang akan terus berjalan, tapi bagaimana kesinambungannya? Misalnya, sekarang secara for mal Angkatan '45 telah mengundurkan diri, dan posisi mereka tmtuk mengisi kemerdekaan diganti oleh generasi yang lebih muda. Atau, sering juga disebut penyerahan
tongkat estafet, dari generasi '45 kepada generasi-generasi pewaris. Akan tetapi, tampaknya yang tetap menjadi masalah,sqauh mana kesinambungan sejarah itu berjalan. Atau ringkasnya, kesinambungan nilai-nilai perjuangan 45, apakah masih menjadi landasan peijuangan dari ge nerasi sekarang? Dari beberapa analisis, disebutkan bahwa nilai-nilai '45 yang akan dilanjutkan itu, tidak terformula-
sikan secara jelas sehingga sukar untuk dga^ikan-telekukur. ^ Ketika perm^^afeafi^ini dilemparkan kepada A.A Nay^^ia^erpendapat bahwa sekarang memang tidak terlihat semangatjuang yang kuat, seperti semangatjuang Angkatan '45 sekitar revolusi. Hal ini dilihat oleh A.A.
Navis, karena generasi sekarang tidak melihat motivasi
yang jelas, untuk menumbuhkan semangat peijuangan itu. Jadi, kata A.A. Navis, "Kalau memang angkatan '45 mau mewariskan niali-nilai perjuangan '45, baru akan ber-
hasil apabila Angkatan '45 mampu memberikan motivasi mereka sewaktu berjuang dulu." Dan penghayatan terhadap nilai-nilai '45 itu baru bisa
dicapai oleh generasi sekarang,kata A.A. Navis lagi, kalau Angkatan'45 dapat memberikan contoh yang kongkrit, dan konsisten terhadap perjuangan itu sendiri. Dalam hal
ini, A.A. Navis juga bertanya, berapa persen sebetulnya yang betul-betul berjuang sampai sekarang?
"Kalau generasi sekarang, hanya melihat hasil peijuangan itu sebagai kenikmatan dunia, maka gagasan yang akan diteruskan adalah hidup yang nikmat. Atau kalau generasi sekarang hanya melihat kepalsuan perjuangan.
maka yang mereka terima dan lanjutkan adalah kepalsuan juga. Kalau ini yang terjadi, maka Indonesia akan dijajah oleh 'modal asing'," kata A.A. Navis tegas tapi dengan nada suara yang prihatin. Selanjutnya A.A. Navis menilai, kalau Angkatan '45 tidak memperlihatkan kemampuan semangat peijuangan itu atas dirinya sendiri, generasi sekarang mtmgkin tidak akan menyambung nilai-nilai perjuangan '45 itu. Oleh kareha itu, sekaranglah saatnya, kata A.A. Navis lagi, Angkatan '45 mempimyai kesempatan xmtuk memuncul-
kan wajahnya yang ideal, karena gen^rasr;^kar^g memerlukan wajah itu. Pendidikan Sejarah Berbicara tentang pendidikan sejarah di Indonesia, A.A. Navis menilai bahwa pendidikan sejarah kita sangat verbal. Pendidikan tidak memberikan contoh-contoh yang
kongkrit sehingga tidak terdapat pengjiayatan terhadap
nilai-n^ sejarah itu. Untuk itu, A.A. Navis menilai perlunya menggali peristiwa-peristiwa sejarah, dengan segala latar belakangnya,bukan hanya menceritakan hasil kemerdekaan saja, tapi semua usaha dari perjuangan mencapai kemerdekaan itu.
"Sering kita menemukan, antara fakta yang ditulis de ngan kenyataannya, kadang-kadang bertentangan. Untuk itu, kewajiban Angkatan '45 memberikan contoh-contoh yang lebih aktuat tentang kebenaran perjuangan, karena kondisi sekarang menuntut keterbukaan," kata A.A. Navis mengakhiri penjeleisannya.
Generasi sekarang sudah berbeda orientasinya, impiaimya dan kehendaknya dengan Angkatan '45. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi, menyebabkan gaierasi sekarang mempunyzd orientasi yang mendimia sehingga persepsi mereka tentang konsep dan nikdnilai religius dan kultured juga berobah. Ini yang juga membedakan mereka dengan pejuang kemerdekaan Indo nesia.
Orientasi generasi muda dan masyarakat masa kini lebih bersifat materialistis karena imajinasi mereka tidak lagi sepenuhnya terbentuk oleh nilai-nilai yang terdapat dalam cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, bukanlah kesalahan dari generasi sekarang seluruhnya. Penyebabnya, antara Iain, adalah sistem komunikasi, apakah itu tatacara penggunaan bahasa dan lambang-Iam-
bang yang dipergunakan telah banyak bergeser maknanya. Misakiya, generasi'45 drdrmya senang dengan lagulagu, musik, cerita yang kita punya sendiri, tetapi generasi sekarang lebih memuja lagu-Iagu, musik, dan cerita yang datang dari luar sehingga pahlawan mereka bermtmculan dari setiap sudut dunia. Untuk semangat heroisme atau lambang dari kejantanan, generasi sekarang lebih memuja "Rambo",tokoh legendaris perang Vietnam, yang merupakan tokoh impian Amerika itu. Akibatnya, ketergantungan yang semakin lama sema-
kin tinggi terhadap negara luar, yang juga menyebabkan memudamya identitas-identitas dari bangsa Indonesia. Demikian beberapa simpidan yang dikemukakan Zaidin Bakri, ketika diminta tanggapannya tentang kesiJ\f€i>tHA^da4^^€Udin^
^9
nambungan semangat dan nilai-nilai; perjuangan 45. Zaidin mengaktii bahwa memang ada dari mereka yang tampil dengan menghalalkan berbagai cara, tetapi jumlah mereka tidak banyak. Menurut Zaidin Bakri, yang masih kelihatan gagah
walaupun ketuaan telah membayang diwajahnya,ada juga Angkatan '45 yang sukses sekarang, memang berdasarkan prestasi dan kemampuan mereka. Dan yang terbanyak dari Angkatan 45 yang masih hidup sekarang ini, kebanyakan memang hidup melarat, tetapi mereka masih tetap konsisten dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
11
DARICERAMAH SASTRA DI SMA IPADANG:
KEBERANIAN SUATU SYARAT JADISASTRAWAN YANGBERHASIL
Nadir Abbas Kamil
Fengantar
Pada hari Minggu 29 Juni 1975 para penyair dan peminat sastra SMA Negeri I Padang, telah mengtmdang A.A. Navis untuk memberikan ceramah tentang sastra yang elementer sifatnya. Juga dalam pertemuan ini tampak hadir Hammid Jabbar, salah seorang penyair yang sudah punya nama keliber nasional.
Berikut ini kami berikan laporan ceramah yang diberikan oleh A.A. Navis.
Memang sastrawan yang pxinya nama gede adalah niat ataupim cita-cita jamak orang. Namun, orang tidak berapa tahu cara untuk dapat begitu, atau seperti kaliber Navis atau Hammid Jabbar misalnya. Syarat yang utama adalah bakat. Ini merupakan kodrat dari Tuhan yang dibeiikan berbeda pada setiap orang dan juga berbeda bobotnya. Di samping bakat seorang, calon sastrawan haruslah memiliki pengetahuan elementer ten tang sastra itu sendiri. Karena bobot suatu cipta sastra
ditentukan oleh teknik penceritaan, pengetahuan sastra tidak cukup bagi seorang pengarang tanpa pengetahuan tentang manusia dan kehidupannya. Sebuah cipta sastra
tidak akan menceritakan tentang kosmos jalan, bangunan, sekiranya benda-benda itu tidak ada hubungan dengan manusia dan kehidupannya. Sebuah karya sastra yang baik dapat ditentukan dengan kesan pertama melihat karya sastra tersebut. Sekira seorang peiukmat karya sastra pada pertama membaca, yang terlompat dari mulutnya pertanyaan; 'mengapa begini dan bukan begitu'. Ini adalah secuah cipta sastra yang berbobot. Akan tetapi, sekiranya pertanyaan yang keluar itu: sesudah ini apa lagi, apa lagi dam seterusnya, ini boleh dikatakan sebagai sebuah cipta sastra yang jelek. Seseorang yang ingin berhasil dalam karimya haruslah berjiwa besar, demikian juga hal dengan dunia sastra. Se seorang tidak akan berhasil sekiranya telah tertanam dalam hatinya bahwa dia selalu berada di bawah orang kemampuannya. Sewaktu di Bukittinggi dulu A.A. Navis mempunyai seorang teman yang minta ditunjukajari cara menulis cipta sastra yang baik. Ini terjadi sewaktu Navis mulai naik namanya. Karena selalu digurui oleh Navis, seorang calon penyair itu tidak berhasil menjadi seorang penyair yang pimya nama gede sebagaimana Navis. Hal ini disebabkan oleh perasaan yang selalu merasa rendah dari Navis. Motinggo Boesje sendiri pxm pemah belajar dengan Navis. Lantaran pengalaman pada masa lalu, Navis tidak menginginkan kegagalan calon penulis ini. Oleh sebab itu, Navis "menghardik" Boesje. Jadi, berhasilnya seseorang menjadi sastrawan ditentukan oleh sikap hidup. Sekircmya sikap hidup suka mengemis nuika gagallah ia untuk menja di seseorang sastrawan. 62
Seorang penyair mesti sombong (bukan dalam pengertian harfiyah). Saya kira maksud Navis di sini adalah berjiwa besar. Sastrawan adalah orang besar, sebagaimana halnya dengan kepala-kepala negara karena kebanyakan nama-nama pengaranglah yang dituUs di dalam ensiklopedia jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh negara. Sekiranya calon sastrawan itu berjiwa kerdil, janganlah coba-coba imtuk menerjuni dxinia sastra, carilah cara hidup yang lain. Usahakanlah untuk membuat sesuatu yang baru, misal-
nya bentuk-bentuk baru dalam dunia sastra, juga ungkapan-rmgkapan baru. Sekiranya yang kita buat itu hanya sebuah kelaziman belaika maka kita tidak akan berhasil. Mi-
likilah sebuah kepribadian janganlah m^jadi epigon aUas pakturut dari orang lain,sebab Navis sendiri pemah menjadi epigon Chedril Anwar atauptm penyair Jakarta pada akhir tahtm seribu sembilan ratus empat ptduhan. Mungkin lantaran inUah Navis tidak pemah melihat tulisannya keluar di masa itu.
Navis menyadari hal ini dan dia mencoba menulis cerpen dan novel selama 5 tahun. Karena kepribadian yang ditentukan sendiri oleh Navis maka dia mulai berhasil jadi
seorang pengarang yang ptmya nama gede. Suatu hal yang penting bagi seorang penulis muda adalah jangan cepat bosan. Jainganlah putus asa sekiranya
karangan yang dikirim itu tidak dimuat, karena dalam hal ini ada dua kemimgkinan; pertama mungkin redaktur yang 'bodoh' dan mungkin juga kita yang belum berpengalaman.
Cobalah merevisi karangan yang ditolak dan perbaiki di mana kekurangannya. Tnlis apa yang dapat ditulis, dan bacalah apa yang dapat dibaca; tentunya kertas yang ditulis oleh huruf dan bahasa yang kita mengerti. Membaca ini adalah penting sekali, karena dengan membaca kita akan menemtikan banyak ilmu pengetahuan. Cobalah ikuti perkembangan sastra lewat surat-surat kabar, misalnya karena tidak cukup membaca text book. Untuk melengkapi bahan bacaan ini usahakanlah membeli salah satu surat kabar yang memiliki artikel sastra, misal Halimn pada hari Selasa. Demikian juga surat kabar yang mengupas masalah sastra, seperti Kompas. Pada hari Jumat surat kabar yang memuat ruang sastra budaya adalah Suara Karya dan Pelita. Cobalah membuat kliping dari surat kabar tersebut sebab apa yang terdapat pada kliping tidak akan kita jumpai pada text book. Keberanian adalah salah suatu syarat xmtuk dapat jadi sastrawan yang berhasil sebab seseorang yang tidak berani berbuat tidak akan pernah berhasil dalam hidup. Walauptm dia sudah cukup ilmu, tetapi kebaranian mengeluarkan pendapat itu kurang, tidaklah ada artinya. Berapa banyak sarjana keluaran Fakultas Sastra ataupim IKIP Jurusan Ba hasa Indonesia, tetapi dapat dihitung dengan jari merekamereka yang jadi sastrawan ataupun kritikus. Kadang-kadang ihnu itu memperkosa manusia itu sendiri. Cobalah menulis karena kita berlatih menulis itu akan
tahulah di mana letak kekurangan yang ada pada diri kita. Seorang insinyur keluaran institut membuat rumah de ngan ilmu pengetahuan secara sistematis, seorang tukang
kampung yang heinya punya gergaji dan ketam yang sederhana juga dapat mendirikan rumah. Walaupun rumah seorang tukang kampung tidak sama dengan runuih insinyur. Sekiranya pengalaman telah banyak mimgkin, se orang tukang kampung dapat menyaingi insin)mr. Yang penting adalah keberanian. Juga seistrawan bukanlah ditentukan oleh sekolah, berapa banyak misalnya pengarang yang bukan keluaran Fakultas Sastra berhasil jadi sastrawan yang ptmya nama gede, Taufiq Ismail (dokter hewan) atauprm Marga T. (dokter). Navis sendiri mengatakan bahwa masa puber merupakan masa yang sangat indah. Di masa la seorang ingin membuat sesuatu yang baru dalam hidupnya. Benmtunglah mereka yang mempunyai bakat menulis karena dia dapat melampiaskan dorongan jiwa lewat tuHsan. Sekiranya mereka tidak ptmya bakat menulis maka mereka akan melampiaskan gejolak darah muda lewat ngebut, ganja, dan sebagainya. Pengalaman crnta yang sederhana akan mem buat orang lebih lancar dalam menulis. Akan tetapi, cinta yang berlebihan itu juga akan menyebabkan mereka tidak dapat menulis dengan baik, lantaran selalu ingat sama pacamya.
Berdiskusi dengan mereka-mereka yang sudah punya nama adalah satu cara tmtuk mengembangkan karir. Mengundang A.A. Navis, Hamid Jabbaf, dan semacam mereka itu adalah suatu keberanian yang baik untuk dikembangkan. Juga berdiskusi janganlah terlalu formal-formalan sifatnya berbuat seperti cara sastrawan yang suka suasana santai. Setiap orang dapat memanggilkan saudara pada setiap orang
yang hadir, walaupun usia mereka relatif cukup tua. Kami sendiri disumh Navis agar bersaudara saja kepadanya. Pokoknya suasana di waktu ceramah yang diberikan Navis cukup santai dan berkesan. Grup Studi Sastra media SMA Negeri No. I Padang akan mengadakan acara diskusi sastra pada bulan Juli yang akan datang. Semoga saja mereka-mereka, Effendi Thahar, Zuflikar Said yang sudah punya nama seperti Darman Moenir, Harris, Mursal Esten,
Leon Agusta, dan Rusli Marzuki Saria, dapat menghadiri acara yang akan diadakan tersebut. Acara ceramah sastra yang diberikan oleh A.A. Navis di
hadapan para penyair dan peminat sastra SMA Negeri No.I Padang pada tanggal 20 Jtmi 1975 cukup sukses dan menarik. Dalam acara ini hadir juga peminat sastra dari sekolahsekolah lain, misalnya SMA Adabiah. Padang 30 Juni 1975
66
12
A.A. NAVIS: BUDAYA MERENDAHKAN WANITA
Syahruddin
A.A. Navis sudah tidak asing lagi di masyeirakat, terutama penggemar kesusastraan Indonesia. Pria kelahiran Padang Panjang,Sumatera Barat 17 November 1924 ini, mulai populer setelah ia mengarang cerpen Robohnya Surau Kami. Tidak sedikit tanggapan dari berbagai pihak, terutama par^ pemukaagama. Pasakiya, ia mengkritik sistem sosial keagamaan di Padang dengan menceritakan musala yang kotor, sementara orang-orang Islam tidak mengindahkan kata-kata kebersihan sebagian dari iman. Apalagi Navis menceritakan surau itu nyeiris roboh, karena kayu-kayunya dipereteU wanitawanita imtuk keperluan memasak, padahal itu tempat ibadah umat Islam.
Banyak memang pikiran-pikiran Navis yang membubtmg ke angksa, hingga dapat dikatakan pahlawan sastra yang tajam analisis sosial keagamannya. Ketika berbicara pada Terbit belum lama berselang, Navis masih tetap saja bersemangat berbicara, apalagi tentang sosioreUgius,ia tampak bersemangat. Ketika dijumpai Terbit di Hotel Horison, Navis tidak ber
bicara masalah sastra, ia lebih banyak berbicara tentang wanita dan metode pendidikan anak-anaknya dalam ke*Me/^endakUastr^€ts%iiti<
67
luarga. Bapak 7 orang anak ini, berpendapat, banyak orang yang mempersoalkan eksistensi wanita yang dianggap masih di bawah pria, atau saina sekali membedakan keduanya. Padahal dalam status, dia sama-sama makhluk Tuhan yang diberi kelebihan masing-masing. Itu sebabnya Navis, tidak setuju jika dikatakan wanita lemah. Kenyataannya, wanita modem sekarang ini lebih banyak kerja. Baik dalam keluarga dan menyediakan bertemu dan melayani suami, atau juga mencari rezeki untuk keluarga. Daleun Alquran sendiri sudalrdikafakan orang yang terhormat di sisi-Nya, hanya oremg yang takwa. Yang membe dakan, menurut Navis, bukan agama, tetapi dari sudut budaya. Dulu, mencuci pakaian itu sang istri. Padahal itu tugas suami. Jadi, menumt Navis, kita tidak usah lagi terbelenggu oleh budaya. Kalau itu yang dipertahankein,janganjangan wanita masih tetap berpandangan konservatif dan hanya menjadi olok-olok suami. "Yang lebih baik, suami istri saling kerja sama." ujar ketua Gerakan Seribu Minang yang mengelola perekonomian rakyat muslim Minang ini. Boleh dikata pembicaran hari itu, santai tapi serius. Ketika masuk di raang hotel itu menyentak-nyentak, Navis seolah-olah tak terasa terganggu, malahan ia bersemangat berbicara. Wanita modem sekarang, kata Navis, hams menempatkan diri sebagai manusia dengan segala aspeknya. Bukan hanya satu persoalan yang dihadapi, tetapi juga bermacam persoalan. Itu sebabnya, tugas wanita sekarang ini nyaris tidak berbeda dengan pria. Hanya mungkin per soalan kelamin saja yang membedakan.
68
Boleh dikatakan bahwa perempuan juga sekarang sudah
banyak yang memfungsikan dirinya sesuai dengan kebutuhan eksistensinya. Tidak menjadi masalah wanita bekerja, kalau memang ada kesepakatan," kata Navis.
Navis yang mengaku senang wanita dengan pikiranpikiran itu berpendapat bahwa zaman sekarang sudah berubah. Itu sebabnya, suami istri hams ada kerja sama. Mendidik anak tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang, hanya istri saja, tetapi juga hams dengan suami. Kalau suami sibuk, menumt Navis, berikanlah waktu imtuk
bertemu. "Bagi saya, tak pantas istri berfungsi ganda," ujar Navis, "Kalau demikian bukan berarti suami enak-enakan,
tetapi ajak dong kerja sama.'Kan kalau begitu bukan istri yang ganda."
Bagi saya,istri adalah sahabat saya,itu sebabnya,saya ti dak membebankan sang istri sebagai pembantu, yang hams berada di dapur setiap saat tanpa saya. Idealnya, ketika saya memilih dia sebagai istri, karena ada persamaan pikiran. Dia biasa diajak dialog dengan saya. Kalau tidak, walaupun dia cantik saya tidak akan tertarik.
"Saya menyadari," ujar Navis, "setiap orang mengalami kesulitan dan buntu pikiran. Kalau sedang datang saat-saat
seperti itu, istri juga 'kan bisa membantu mencari jalan pemecahan berdua. Itulah untungnya, jika saya memilih istri bukan hanya cantik, tetapi sekaligus pikirannya jalan "Istri saya hams sederajat dengan saya." Navis mengaku itu sejak belum beristri dulu.
Navis yang berkeluarga sejak usia 31 tahun itu, menilai, dalam transisi memang banyak orang belum dapat menempatkan posisi keluarganya dengan seimbang, apalgi ia hanya bercermin dari kerangka budaya. Ia mengakui bahwa tujuan berkeluarga menurut perintah agama, selain dari itu dorongan alamiah manusia, "Kalau perkawinan hanya memenuhi kebutuhan biologis saja, manusia tidak berbeda dengan binatang," tegas Navis. Ia berpendapat bahwa wanita itu mempunyai akhlak mempunyai aturan yang dibimbing oleh agama, perkawin an mempunyai hubxmgan lahir dan batin, mempunyai hubxmgan rohaniah yang dalam.
70
tHe%endtiUkanr^a4%iiar
13
NAVIS"MENGHINA"JUNUS,MENGAPA? Datman Moenir
A.A. Navis, melalui tulisaimya "Umar Junus dengan Surat-Surat Jassin Sebuah Tanggapan Atas Resensi" dalam ruang 'Tinjauan Btiku' (Horison, Okptober 1985, XX/382), jelas sekali "menghina" Umar Junus. Ada beberapa kalimat yang menunjukkan Navis secara terang-terangan menghina Jtmus.
Pertama,"Dan oleh bentuk postumya, secara psikologis, la boleh dipanggil Uju". Kedua, "dia (maksudnya Umar Junus, Dm) suka sekali menyeremg bahkan mengecUkan orang lain". Ketiga, "apabila Uju bemafsu membuat resensi, saya kira alasannya bukan lagi berdasarkan intelektualitas". Dan di ujimg tuHsannya, Navis menyebutkan: "Uju menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Minang): pongah, sombong". Adalah hak mutlak Navis untuk menghina siapa pun, termasuk menghina Umar Junus yang, dia akui sendiri, adalah seorang kerabat-karibnya. Atau menurut kalimat Navis sendiri,"Saya sering ketemu dia di beberapa seminar, diskusi dan kedai kopi." Akan tetapi, menyusul penghinaan itu, bagaimana pun,beberapa persoalan pantas ditelusuri. Dengan lagak psikolog tulen, seemk perutnya Navis
memendekkan nama Umar Jtmus menjadi Uju (dengan U
besar) dan bukan UJu atau UJU atau uju atau U.J.; dan kemudian "memperalat" KUBI (Kamus Umum Bahasa Indo
nesia) untuk menjelaskan, bahwa kata itu berarti pongah dan sombong. (Setelah saya periksa KUBI temyata uju dalam pengertian pongah dan sombong bukan diawali bu mf besar. Tentu saja ada dalih, bahwa hampir semua kata
dalam kamus berhturuf kecil, dan hum u dari kata uju yang terletak di awal kalimat sebagaimana diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesi yang Disempumdkan, mesti
ditulis dengan humf besar. Akan tetapi, dalam tuhsannya itu paling tidak dua kah Navis menggunakan "uju" yang dituhs kursif).
Penghinaan terang-terangan itu sesimgguhnya adalah pada pengakuan Navis sebelum sampai kepada panggilan Uju tersebut; Dan oleh bentuk postumya, secara psikologis, (humf miring. Dm).
Di Minangkabau memang ada ungkapan, "orang pendek, bondek (angkuh, sombong, alias uju)". Namtm, itu hanya pomeo, hanya ungkapan, belum pernah diteHti dan di-
buktikan keabsahannya apalagi sesuai dengan disiplin ilmu psikologi. Masih bisa dipertanyakan, apakah pendek itu diuktir menumt rata-rata tinggi tubuh orang Indonesia (baca: Minangkabau) atau orang Barat, atau bangsa liliput? Apa kah penghukiunan seperti itu tidak semata-mata dengan maksud buruk dalam hal ini, menghina? Saya mendapat kesan, jikalau orang pendek saja sudah dihina Navis, apalaigi orang-orang lain yang postur lebih memprihatinkan: sumbing, pontong (tangan atau kaki).
72
buta, pinceing (seperti saya sendiri. Dm), dan cacat-cacat tubuh yang lain. Bahkan, menghina cacat tubuh seseorang, adalah menghina anugerah Tuhan?
Navis menyebut Jxmus "suka sekali menyerang dan bah kan mengecilkan orang lain". Di sini Navis mentinjuk dua nama yang menjadi saseiran Jimus; H.B. Jassin dan A. Teeuw. Dikatakan, barangkaU yang menjadi obsesi Jxmus
adalah masyarakat sastra yang "memitoskan" Jassin dan Teeuw, yang menurut Navis pxila, adalah "gajah yang bertengger di pxmcak tugu yang kokoh". Bahkan, secara emosional Navis menuliskan, "Maka dia, karena uju-nya,
berusaha merobohkan tugu itu dan sekaligus menjadikan "gajah" itu seperti balon yang kempes".
Txmggu dulu. Masyarakat sastra mana yang memitoskan Jassin dan Teeuw? Sebagaimana juga Jxmus, baik Jassin nxaupxm Teeuw pada hemat saja hanya menjalankan "tugas" mereka, tanpa harus ada "masyarakat sastra" mengkultuskan mereka, tanpa harus ada "masyarakat sastra", yang memberi "upeti" agar karya-karya dibicarakan oleh ketiga nama itu. Jikalau di antara mereka satu sama lain "bersaing" persis sebagaimana sastrawan bersaing xmtuk senantiasa kreatif, maka itu adalah sehat. Jika Jxmus menampak "kelerrxahan-kelemahan" baik Jassin maupxm Teeuw, dan
begitu sebalknya, maka itu mempxmyai pemburharxan. Dengan kata lain, mereka bukan opurtunis dan, opportunism bukeuxlah ladang pekerja sastra.
Pemyataan Navis bahwa alasan Jxmus membuat resensi bukan lagi berdasarkan intelektualitas, adalah gegabah (!) 73
imtuk tidak menyebutnya juga menghina. Apalagi jikalau itu mesti dikatakan "mengandung obsesi dan trauma dalam dirinya." Navis alpa, bahwa Junus juga telah "menemukan" misalnya Armijn Pane, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Wisran Hadi. Bukankah penemuan Junus jelas-jelas tidak sama dengan penemuan kritikuskritikus yang lain? Dan itu lebih dari Sekadar resensi. Pada akhimya jikalau Navis terkesan amat membela Jassin dalam tulisannya, maka itu bukan baru. Dalam kasus cerita pendek Langit MaJdn Mendung bahkan Navis bersedia menggantikan Jassin masuk bui. Mengapa Navis amat membela Jassin barangkali menyangkut persoalan hutangbudi. Mungkin ada "upeti" di zaman Kisah atau Angkatan 66 yging belum sempat dibayar Navis kepada Jassin. Jikalau itulah kimci persoalan, maka memang sudah patut diseUdiki injeriority complex sastrawan (-sastrawan) tertentu. Sebuah karya (dijlahirkan jelas bukan untuk "mohon dibicarakan!" Jikalau tidak kini, nanti pembicaraan itu akan
datang juga. (Kepada Junus saya pemah mengatakan, ji kalau saya memberikan novel-novel saya, maka itu hukan dengan permohonan agar dibicarakan.) Jikalau tidak pemah atau tidak lagi dibicarkan, maka arif-bijaksana sajalah. Saya ingin mengatakan, dari tulisan pendeknya itu terdapat kesan,bahwa Navis secara sentimental merasa bahwa karya-karyanya ermasuk yang kurang diperhatkan Junus. Artinya, tidak seperti Jassin memperhatikan dirinya. Atau tidak seperti Junus memperhatkan Armijn, Iwan, Putu, Tardji,dan Wisran.
74
Memang ada macam-macam metode dan aliran kritik dalam penulisan kritik sastra sebagaimana yang dikemukakan Navis. Di samping yang telah disebutnya itu maka aliran yang sekarang paling populer (yang barangkali tidak diketahui Navis) adalah aliran yang bemama Aliran Struktural. Aliran ini mencoba melihat sebuah cipta sastra bertolak dari cipta sastra itu sendiri. Dari tema, amanat dan struktur cipta sastra tersebut. Tentu aliran ini punya kelemahan-kelemahan sebagaimana aliran-aUran lainnya, tetapi aliran ini mencoba melihat sebuah cipta sastra secara lebih jernih dan sewajamya. Aliran inilah dan dengan menggxmakan metode ganzheit, yang terutama saya gunakan dalam membicarakan sajak-sajak dari lima penyair tersebut. Me mang itu tidak disebutkan dalam pembicaraan, tetapi agaknya jika A.A. Navis memperhatikan pembicaraan saya dan mengerti pula aliran dan metode yang saya gunakan maka ia tentu akan tahu sendiri.
Dalam diskusi tersebut memang telah dibicarakan hma kumpulan puisi yang diterbitkan tahim 1975 dari lima orang penyair. Yang membicaraknnya memang hanya empat orang pembicara. Akan tetapi, menurut pendapat saya tidak ada salahnya, bukan?. Sewaktu Diskusi Sasterawan Indonesia 74 di Taman Ismail Marzuki Desember yang lalu ada lebih dari delapan novehs dibicarakan hanya oleh tiga orang (seorang di antara adalah Navis sendiri). Apalagi dalam diskusi di Pusat Kesenian tersebut ada sedikit pembagian pembicaraan. Pembicara yang ini hanya membicara kan sajak-sajak penyair ini saja, sedangkan yang ledn pe nyair yang lain pula. Cuma yang bemama pembanding saja
yang membicarakan keseluruhan sajak-sajak dari kelima penyair.
Maksudnya adalah agar setiap pembicaraan dapat dilakukan secara lebih komparatif dan menyeluruh. Memang
proyek manajer tidak menetapkan pola pembicaraan dari pembicara itu masing-masing sebab bagaimanapun itu ada lah haknya masing-masing. Dan, sang manajer tidak ingin merampasnya!
Masalah sistem penelitian yang sekarang biasa dipergunakan di Perguruan Tinggi kita di daerah ini dewasa ini agaknya jelas A.A. Navis beltim banyak tahu tentang itu. Navis menarik stmpulannya dari kasus-kasus tertentu saja (meskipun kasus tersebut tidak representatif xmtuk mewa-
kili gejala umum) dan kemudian menggeneralisasikannya. Sikap ini tentulah bukan saja secara ilmiahnya salah dan merugikan. Merugikan bukan saja apa atau siapa yang
dibicarakan, tetapi juga orang yang akan mengambil sttcap itu sendiri. Sebaiknya,imtuk menarik simpulan yang umum dan menentukan seperti simpulan Navis tersebut, ia lang-
sxmg terjun dan mempelajari sistem tersebut ke Perguruan Tinggi tersebut secara lebih mendalam dan hati-hati. Inilah beberapa catatan dan penjelasan terhadap tulisan A.A. Navis yang drmuat minggu itu. Atas tulisan tersebut agaknya kita patut berterima kasih. Namun,penjelasan dan catatan ini bukanlah dibuat untuk mengurangi rasa terima
kasih itu. Catatan dan penjelasan ini bukan untuk A.A.
Navis, tetapi terutama tmtuk orang yang membaca tulisan beliau.
'StMleUtuvCfCeeU'
15
JAWABAN KEPADA SDR. A.A,NAVIS
Edi Sedyawati
Terima kasih saya ucapkan kepada Sdr. A.A. Navis atas tanggapaimya terhadap tulisan saya. Temyata ia memperkuat beberapa titik yang hanya saya singgung sepintas, misalnya mengenai adanya perkembangan tari lewat dua jalur, yaitu sasaran dan sekolah. Artikel saya adalah mengenai Pencak dan Tari di Indonesia sehingga mengenai tari Minangnya tidak dapat terlalu panjang lebar dan terperind, sehingga Sdr. Navis menganggap bahwa saya "terjerumus" ke dalam ketidakjelasan. Kalau boleh saya menolong Sdr. Navis, ada satu hal lagi yang membuat tulisan saya itu "tidak jelas", yaitu karena tulisan tersebut bermaksud melontarkan sejumlah masalah, lagi pula sifatnya esai, bukan laporan penelitian. Saya justru sadar akan kurangnya penelitian mengenai tari pada umumnya. Jadi, sebenamya tidak perlulah Sdr. Navis mengerutkan kening karena tulisan saya. Atau bersama-sama sajalah kita mengernyitkan kening. Sebenamya bukan hanya pendekatan Antropologi yang umum saja yang dapat dipakai dalam meneliti tari, melainkan lebih baik menjurus lagi dengan Etnomusikologi dan Etnokreologi. Dua anak disiplin yang terakhir ini mempersyaratkan bahwa si penehti hams memiliki kemahiran teknis sampai taraf tertentu dalam bidang musik dan tari. Di samping itu, ^oMotatyCfCefiadartAUufii'
79
juga dapat didekati dengan pendekatan sejarah, sosiologi, psikologi, dan Iain-lain. Namun, pendekatan iLtniah mana pun yang dipakai, tentunya Sdr. Navis setuju bahwa seorang pengamat tak boleh bersifat normatif, melainkan hams menerima kenyataan sebagaimana adanya. Temyata dalam menanggapi tuhsan saya Sdr. Navisleih yang terjemmus ke dalam sikap normatif itu ketika ia mengatakan bahwa "tari Alang Sintiang Penghulu tak pemah dimainkan di mmah adat".(Mudah-mudahan Sdr. Navis tidak membaurkan pengertian "rumah adat" dengan "balai adat"). Untuk menjawab ini saya khusus mendengarkan kembali rekaman-rekaman wawancara dari peninjauan studi ta ri Minemg tahun 1974. Yang pertama wawancara dengan wall nagari (:kepala pimpinan nagari) dan pemuka-pemuka desa Padang Laweh. Di sini bahkan informan dapat menyebutkan tahun-tahun tarian tersebut disajikan dalam upacara tagak panghulu (:pengangkatan panghulu), yaitu tahtm 1964 di Padang Laweh dan tahtm 1972 'dipinjam' ke Payakumbuh untuk upacara sempa. Bapak Rasyid Manggis Datuk Rajo Panghidu dalam wawancara dengan tim kami pada tanggal 3 Juli 1974 disaksikan oleh Kepala Bidang Kesenian Kabupaten Agam, menjelaskan bahwa "tari Alang Stmting Panghulu ditarikan di rumah adat". Sudah tentu, dalam pengumpulan data berdasarkan wawancara itu ada faktor kepercayaan kepada informan Sdr. Navis tidak percaya kepada informan-informan Padang Laweh.Sebaliknya, tentunya naif sekali kalau saya kembaU bertanya kepada Sdr. Navis adakah Sdr. meHhat semua kasus pementasan ASP dan temyata semua tidak ada yang dilaktikan di 30
rumah adat? (Sekali lagi: jangan dikacatikan dengan Balai Adat). Kepercayaan kami kepada informan-informan yang kami anggap cxikup dapat dipercaya itu, diperkuat oleh faktor tehnis tari ASP, yaitu dimana rantak (: derap kaki) yang begitu penting bagi penjiwaan ritmik tari ASP hanya bisa muncul terdengar apabila para penari menarikarmya di lantai kayu(pada rumah adat). Nah, dugaan saya, mungkin Sdr. Navis berasal dari
suatu daerah yang tarian-tarian tak pemah dilakukan dalam rumah adat, lalu ia mengambil pendirian bahwa di seluruh Tanah Minang tarian-tarian tak boleh dilakukan di rumah adat. Tetapi, saya kira Sdr. Navis pun kenal daerah Saniang Bakar. Di sana kami melihat sendiri (tahun 1974 dan 1981), bahwa rumah adat milik seorang panghulu yang bemama Manti Jo Sutan dipakai untuk latihan dan pertunjukan tari. Ini sebuah analog yang membuat kami tak merasa perlu mencurigai keterangan pemuka-pemuka Padang Laweh, apalagi telah diperkuat oleh tokoh budaya yang cukup disegani seperti Bapak Rasyid Manggis.
81
16
PENGARUH MINANGKABAU
DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA:
SUATU KAJIAN FERMULAAN A.A. Navis
Pendahuluan
Banyak peneliti asing menanyai saya: kenapa peran dan pengaruh Minangkabau dan politik dan kebudayaan Indo nesia pada masa lalu sangat kuat, tapi sekarang tidak lagi. Saya belum pemah tahu, apakah keterangan yang saya berikan dapat mereka terima. Ketika ketua pengarah "Pertemuan Sastrawan Nxisantara IV" di Brunei Darussalam
meminta saya menuUs makalah tentang pengaruh sastra wan Minangkabau pada kesusastraain Indnesia, di kepala saya munoil pertanyaan: "apakah memang ada pengaruh itu, dan apakah penting xmtuk dikaji?" Sebagai sastrawan atau sebaged penuhs karangan ten tang kesusastraan Indonesia atau tentang Minangkabau,sa ya tidak pemah berpikir tentang pengaruh Minangkabau itu. Paling-paling yang saya tahu pasti iaiah peranan Mi nangkabau dalam konstribusinya untuk membentuk dan mengembangkan ide nasional di bidang politik dan kebu dayaan. Dan jika saya melakukan studi atau menulis ten tang Minangkabau, termasuk tentang sastra Indonesia yang ditulis oleh sasterawan berdarah Minangkabau, impHka-
sinya selalu dengan pendekatan antropologi atau sosiologi. Tidak pemah terpikirkan untuk menelaah pengaruh Minangkabau sebagaimana banyak studi tentang pengaruh Barat. Ketika A. Teeuw dalam Sastera Bam Indonesia mengata-
kan bahwa cerpen-cerpen saya "merupakan suara Sumatra
yang amat menarik di tengah-tengah konser Jawa,"^ maka dalam hati saya berkata, "Apakah itu perlu bagi suatu stu di?" Demikian juga ketika orang mengatakan bahwa karya
saya sangat bersifat Minangkabau, maka hati saya pun ber kata, "Itu adalah logis saja, sebagai akibat saya tinggal dan hidup deilam masyariikat Minangkabau."
Rupa-rupanya untuk kepentingan ilmu, orang ingin ta bu. Mungkin jadi ada asumsi,jika begitu banyak sastrawan Indonesia tampil pada awal sejarah kesusasteraan Indone sia, tentu ada juga pengaruhnya. Lalu timbul masalahnya karena konotasi kata pengaruh mengandung banyak hal, misalnya, dalam bahasa atau dalam "keranjingan" menulis karya sastra Indonesia. Akan tetapi, mungkin juga ada asumsi bahwa pengaruh itu terdapat pada alam pikiran, sikap hidup, gagasan, dan idiologi nasional. Jika tiada penga ruhnya, sudah tentu popularitas sastra yang ditulis pengarang asal Minangkabau itu tidak akan ditemukannya. Akan tetapi, seberapa besamya pengaruh itu, adalah suatu hal yang sulit diukur. Bahkan, jika dilihat dari berbagai penolakan terhadap gagasan mereka, maka membicarakan pe ngaruh tersebut akan menjadi lebih sulit lagi.
'A.Teuuw (1978:251)
Membicarakan pengaruh Minangkabau terhadap pembentukan bahasa Indonesia, baiklah kita pakai suatu ancang-ancang yang mtmgkin dapat disepakati. Bahwa menurut para ahli, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Me-
layn. Dalam konteks membicarakan kesusasteraan, ruparupanya sejarahnya selalu dilihat kepada bahasa tulisan
yang menggtmakan aksara Latin. Lalu timbul pertanyaan, kenapa proses pembentukan itu harus selalu dilihat kepada bahasa yang menggunakan aksara Latin, mengapa tidak dimulai dengan aksara Arab (yang juga lazim disebut ak sara Melayu ataui aksara Jawi)? Padahal kedua aksara itu
sama-sama dipakai dan bahkan sama-sama diajarkan di sekolah-sekolah sampai pada akhir kekuasaan Belanda di
Indonesia. Meskiptm untuk administrasi resmi digtmakan aksara Latin. Seperti halnya pendapat imuunnya para ahli, sastra Indonesia modem lahir dengan menggunakan aksara Latin dan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit pemerintah Belanda. Jadi, selamanya kita hams terpaut pada pengertian modem pada semua yang dimulai oleh Belanda. Dalam hubungan ini, tiba-tiba saya teringat pada pertanyaan tamu saya, Rudiger Siebert, orang Jerman. Tanyanya, "Betulkah Indonesia lahir karena penjajahan Belanda?" Untuk menjawab pertanyaan itu saya hanya bercerita, bahwa tanah air saya pemah dinamakan Suwamad-
wipa, perrrah Melayu, pemah Sriwijaya, pemah Majapahit. Setiap pemerintahan itu memiliki batas-batas yang berbeda dan pusat pemerintahannya pun berbeda-beda pula. Andaikata tidak ada penjajahan Belanda atau bangsa Eropa
84
laumya, apakah bangsa saya akan lenyap? Bahkan, bangsa saya pastilah akan mempunya watak yang lebih kuat.
Dalam konteks pembicaraan kita sekarang, tanpa aksara Latin dan tanpa Balai Pustaka,bahkan tanpa dijajah Belanda lebih dulu, bangsa yang kini bematna Indonesia ini, tentu-
lah akan melahirkan karya sastra juga, yang klasik atau modern. Sama halnya dengan Arab,Cina, atau Jepang yang melahirkan kaya tanpa memakai aksara Latin.
Akan tetapi, biarkan sajalah masalah ada atau tidaknya pengaruh Minangkabau dalam sastra Indonesia, memang diperlukan pemahaman tentang Minangkabau secara luas
dan mendalam. Baik filosofinya, alam pikirannya, tingkah lakunya ataupun sikap hidupnya dalam berbagai situasi dan kondisi. Sulitnya membicarakan topik ini ialah karena tidak banyak referensi yang dapat dipakai. Oleh sebab itu,
kalau pun saya membicarakannya juga,sebaiknya dianggap saja sebagai upaya permulaan.
Alam Pikiran Minangkabau
Dokter Mohammad Amir mengatakan bahwa orang Minangkabau setia pada adatnya. Mereka mempunyai sikap keras kepala, keras hati, merasa benar sendiri. Kalau tidak senang pada adat, mereka pergi merantau atau mencela dan mencaci maki adatnya.2
Seorang dokter penyakit jiwa lainnya, yang sama Minangkabaunya dengan Mohammad Amir, yakni Prof. Dr. Hasan Basri Saanin Datuk Tan Pariatrian, mengatakan bah^ M.Amir(1940:181)
wa orang Minangkabau bersikap keduaan. Apakah keduaan itu berbentuk dikotomi, ambiguitas, ambivalensi, antagonis
dan sebagainya. Namun, selalu ada hasrat imtuk menyatu menjadi keesaan dengan jalan kompromi.3 Menurut pendapat saya pola kebudayaan Minangkabau yang utama ialeih. komtinalisme berdasarkan etnik yang matrilini, yang menyebabkan mereka sangat terpaut kepada hubungan kekerabatannya serta kampung halamannya. Di samping itu, mereka menganut pola egaliter, yang meletakkan manusia sama derajat dan harkatnya Perasaan
egaliter itu bukan hanya individual sifatnya, juga bagi kehidupan komunal dan nasionalnya. Untuk mencapai persamaan harkat atau derajat itu, yang juga merupakan motivasi utama bagi dinamik kehidupannya, mereka selalu berusaha untuk tampil agar tidak kalah dari orang,komune, atau bangsa lain. Di kampung halamannya sendiri, orang
yang dipandang mulia adalah mamak, tungganai dan penghulu, yang dimuliakan karena fungsionalnya. Vang tidak fungsional, ialah orang kaya. Kekayaan tidak mungkin diperoleh di kampung halaman sendiri, karena semua harta adalah mitik bersama dalzim kaumnya masing-masing. Ke
kayaan hams dicari di luar kampung halaman, yakni de ngan merantau.
Di rantau mereka meUhat orang lain lebih maju. Oleh
sikapnya yang egaliter mendorong mereka untuk memajukan bangsa dan kampung halamnnya pula. Akan tetapi, ' M.A.W.Brouwer(1984:184) Tentang kebudayaan egaliter telah ditulis sering oleh Mochtar Nairn. Lihat A.A. Navis(1983:58-67) 86
demi mereka pulang ke kampung halamannya, mereka berhadapan dengan para fungsional adatnya yang konservatif, yang ingin melestarikan warisan nenek moyangnya. Menurut alam pikiran para fungsioan itu, mengubah atau memajukan kampung halaman itu konotasinya mengandtmg makna merendahkan matabat adat dan kampung halaman sendiri, di samping merendahkan matabat penghulu. Setiap pikiran yang merendahkan martabat haruslah ditentang. Sesimgguhnya pertentangan dan perlawanan pandangan antara perantau dan para fungsional adat itu berlangsung berkepanjangan dalam sejarah. Pada umumnya reaksi psikologis para perantau yang terpelajar, baik yang berpendidikan agama atau sekuler,bila gagasan pembaharuan atau kemajuan yang mereka canangkan mendapat perlawanan dari para fungsional itu, jalan yang ditempuh ialah merantm : merantau fisik dan merantau spiritual. Yang merantau fisik pergi dengan perasaan sedih lalu berdendang dengan pantun-pantun yang melankolik, atau berusaha mencari kekayaan tmtuk didemonsrasikan bila pulang ke kampungnya s. Sebaliknya, yang merantau siritual mengejek dan memaki bangsanya atau mencari "perumahan baru" yang lebih uas.
Pada umumnya orang-orang Minangkabau pergi me rantau dikatakan oleh alasan ekonomi, mencari ilmu, men-
5
Tentang tingkah laku pelagak ini sangat bagus sekali dilukiskan Hamka dalam roman "Merantau ke Deli". Juga oleh Muhammad Radjab dalam "Semasa Kecil di Kampung."
cari keamanan, juga karena alasan emosional Semua alasan itu sesungguhnya merapakan alasan yang sama bagi semua bangsa untuk pergi merantau. Merantau demikian adalah karena alaisan luar, temporer atau insidental. Me rantau bagi orang Minangkabau merupakan sikap budaya yang egaliter, yang memaksa setiap orang agar szuna-sama eksis dengan yang lain, tetapi di kampimg halaman sendiri tidak ada tempat yang masih luang. Ajaran merantau menumbuhkan paham kosmopolit, yang memandang negeri orang adalah negerinya juga meski hukumnya berbeda. "Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung", kata pepatahnya. Sikap budaya itulah yang membedakannya dengan perantau Cina yang cenderung bersikap eksklusif itu. Sikap budaya merantau Minangjkabau bersifat sementara karena mereka masih merasa adanya pertalian yangnkuat dengan kampung halamannya, meskipun mereka memaki dan bahkan bersumpah untuk tidak akan pulang. Pertalian yang kuat itu adalah karena sistem komunalnya yang matrilini,
yang menempatkan peranan ibu sangat kuat secara emo sional.
Sikap budaya yang menumbuhkan semangat merantau dan karenanya mereka menjadi kosmopolit itu menimbukem £ikibat lain lagi, yeikni hasrat untuk memajukan bangsanya. Akan tetapi, karena hasrat tu tidak mendapat sambutan, malah ditolak, maka di samping ada yang
^ Mochtar Nairn telah melakukan studi tentang pok merantau ini untuk tesis Doktor dengan judul"Merantau Pok Mlgrasi Minangkabau."
38
memaki dan mengejek,juga banyak di antaranya yang melakukan perantauan spritual.
Dalam sejarahnya sering ditemukan insiden, bahkan sampai berdarah, pada setiap perantau pulang membawa gagcisan pembaharuan itu. Setidak-tidaknya sekali 50 tahtm peristiwa itu mtmculnya sejak awal abad ke-19. Misalnya, ptilangnya perantau dari Mekah, Haji Miskin dan kawankawannya pada tahun 1805, telah menimbulkan peristiwa dan Perang Paderi. Lalu, meji5msul refonnasi yang dibawa oleh Syekh Simabur yang kembali dari Mekah dengan membawa ajaran Naksabandiyah pada tahun 1850. Berikutnya, refonnasi Islam kedua yang dibawa oleh Haji Rasul dan kawan-kawannya pada tahim 1906 dengan ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Aghany. Banyak
ulama besar Minangkabau yang dengan keras memaki serta mengejek bangsanya. Misalnya, Syekh Akhmad Khatib, seorang ulama besar yang bermukim di Mekah, Syekh H. Abdul BCarim Amrullah (Haji Rasul), salah seorang tokoh modemis Islam. Buya Hamka sendiri dengan risalah yang
sampai mengatakan bahwa "adat Minangkabau ibarat batu yang sudah patut disimpan di museum."^ Di kalangan terpelajar sekuler ditemukan nama yang
paling keras perlakuannya, yaitu Dr. A. Rivai dan Agus Salim yang bersumpah takkan pulang kampxmg selama adat Minangkabau masih beku. Merantau spiritual itu menempuh dua jedur. Pertama
dengan membangun perumahan baru. Dan yang lainnya ' Zuber Usman (1964:11) 89
mengkuti jalur idiologi, jalur pandangan hidup atau "Weltanschauung". Merantau jalm pertama dengan membangun perumahan baru yang mereka namakan tanah air pengganti kampung halman. Tanah air baru itu pada mulanya berriEima Sumatra, lalu menjadi Indonesia, dan akhimya Indonesia Raya, seperti yang terhhat sejak awal abad ini ketika kebangkitan kesadaran nasional muncul. Mereka tidak membangun kegiatan yang memakai nama Minangkdbau, seperti yang dilakukan oleh golongan lain yang sahng memakai nama suku-bangsanya masingmasing. Golongan yzmg memperoleh didikan sekuler me makai nama "Jong Sumatera" (Sumatera Muda) sedangkan yang memperolh didikan agama Islam memakai nama "Sumatera ThawaUb."
Perantau spritual jalur kedua, yakni membangun idio logi baru. Yang pada tingkat pertamanya untuk mengangkat harkat dirinya agar sederajat dengan Belanda, baik dalam hak atau dalam standar hidup. Bahkan, banyak di antara mereka ingin jadi Belanda sungguhan agar tidak terhina dan dihina lagi untuk selanjutnya oleh siapa pun yang berkuasa di tanah aimya. Akan tetapi, ketika mereka telah mehhat Belanda itu sendiri, menyamakan atau berorientasi kepada Belanda sudah mereka anggap terlalu kecil. Kemajuan yang lebih maju bukan di Beleinda tempatnya, tapi di Barat. Maka mereka ptm ingin berorientasi ke Barat, Barat yang di mana saja negaranya. Setelah Perang Dunia Kedua rupanya kemajuan bukanlah monopoU Barat. Di mana-mana di dtmia kemajuan itu ada. Maka dengan
sendirinya mereka ingin menjadi sama dengan bangsa90
bangsa y^g maju.. Mereka menyatakan dirinya sebagai warga dunia^ ahli waris kebudayaan dunia yang loniversal. Dan ketika idiologi bermuara kepada politik, banyak di antara mereka yang, lebih suka rnernilih idiologi yang bersifat intemasional, seperti sosialisme, komunisme atau islamisme.
Para sastrawan yang tergolong pada kaum terpdajar atau cendejdaw^ ita pun berbuat yang sama. Pandaingan
hidup mereka yang eg^ter serta alam pikiran mereka y^g kpsmppoUt itu mendorong inereka untuk semaju orang lain, dan bangs^ya serriaju b^gsa. 1^. Refleksi kejiwaan mereka debd melihat diri dan bangs^yia di tenigaLh-tengah
bangsa y^g lebih inajU/ ialah dengap mmj^si i^sib bangs^ya/ merindukan dunia y^g barii, dah rnehyataJsan sikap hidtipnya..
Peranan dan Pehgai^ dalain Bahasa Untpk mengkaji pengaruh Miriangkabau dalam sastra
Indonesia, sebaiknya dimxilai dari peranan dan pengaruhnya dalam pembentukan babasa Melayu menjadi biahasa Indonesia. Hail itu dimungkink^ oleh beberapa faktor pen-
duktmgnya, yakin: Perta^: bahwa bahasa k^angkabau dipandang prang sebagai dialek atau saudara {zustertaal) dari bahasa Melajni,sangat memudahkannya menggunakan bahasa Melayu tanpa perlu bela|ar banyak. Kedua, bahwa orang Minangkabau yang pedagang dari perantau, dan juga kosmopoUt itu, lebihi mudah rnenyesuaikan bahasanya ke dalam bahasa Melayu yang umum, yang telah menjadi lingua franca. Berbeda dengan orang CIna yang sama-sama 91
pedagang dan perantau,lebih memilih bahasa Melayu-Cina dalam berkomunikasi dengan bangsa-bangsa di Nusantara. Ketiga, bahwa sekolah guru yang didirikan pada tahun 1856 di BuJdttinggi, kemudian disempumakan pada tahun 1873,
yang telah meneunpung murid-murid dari lain daerah di Stimatra dan Kalimantan, telah menggxmakan bahasa Melajoi sebagai bahasa pengantar di samping bahasa Belanda sebagai mata pelajaran penting. Selanjutnya, di pulau lain, digunakan bahasa lokal sebageu bahasa pengantar di samping bahasa Belanda sebagai mata pelajaran penting. Oleh karena itu, bahasa Belanda menjadi lingua franca dari golongan atasan di EQndia Belanda. Berhubung sekolah guru di Bukittinggi itu juga menghasilkan pegawai imtuk beberapa jabatan pemerintah di Siunatra dan Kalimantan, dengan sendirinya para guru bahasa Mela3ni di sekolah itu sangat berkepentingan untuk men3aisun bentuk bahasa Melayu standar, yang logat serta lafalnya tidaklah sama dengan bahasa Melayu di mana pun, terutama dalam bahasa tulisan yang menggunakan aksara Latin, yang sangat berbau Minangkabau dalam pembentukan suku kata. Hal yang kentara terlihat pada kamus MinangMtau-Melayu-Belanda yang disusim oleh Nawawi Sutan Makmur bersama J.L. van der Toorn (1891).
Kemudian, seorang Belanda kelahiran Solok di Minangkabau, yang ayahnya adalah pendiri dari sekolah guru di Bukittinggi itu, Ch. A. van Ophtiijsen dengan bantuan dua orang Minangkabau, Nawawi Sutan Makmur,dan M. Taib Sutan Ibrahim, telah menyusun ejaan bahasa
92
Melayxi-baru dengan huruf Latin dan disahkan pemakaiannya pada tahun 1901. Banyak guru Minangkabau yang diserahi menyusun buku pelajaran bahasa Melajni-baru untuk digunakan di sekolah rendah seluruh Indonesia. Mereka telah mengem-
bangkan bahasa Melayu dengan berbagai ungkapan dan peribahasa Minangkabau. Di samping itu, para terpelajar Minangkabau yang tidak bersekolah guru pun,di antaranya yang paling terkemuka ialah Abdul Rivai di kala masih menjadi mahasiswa kedokteran di Belanda tahun 1899— 1907, banyak menulis karangan dalam majalah Bintang Hindia. Ksdimat bahasanya pendek-pendek, tanpa bunga kata yang tak bermakna seperti lazimnya bahasa yahg digunakan banyzik penulis lainnya Teknik penulisan bahasa Abdul Rivai ini merupakan hal yang penting dalam pembentukan bahasa Indonesia kemudiannya. / Secara poHtik bahasa Melajm-baru itu diakui sebagai bahasa iiasional ialah pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, dijxiana seprang Min£ingkabau lainnya, Mohammad Yamin, sangat berperem dalam hal ini. Akan tetapi,sebagai bahasa dalam percaturan politik dalam forum resmi, seperti Dewan Rakyat, bahasa Melajni-baru itu telah juga diakui sejak semxila dewan itu didirikan pada tahun 1918. Akan tetapi, barulah pada tahun 1921 bahasa Indonesia diucapkan pada suatu pidato resmi oleh seorang anggota, yang pada waktu itu masih dinamakan sebagai bahasa Melayu. Orang pertama yang
* Lihat Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984:69)
mengucapkan bahasa itu ialah Agus Salim, seorang Minangkabau yang juga fasih berbicara banyak bahasa Eropah dan Arab sehingga semua anggota dan juga pemerintah Belanda geger. Seorang Minangkabau lainnya, Yahya Datuk Kayo, telah menggunakan bahasa Indonesia itu secara terus-menerus dalam pidato-pidatonya di Dewan Rakyat itu. la bukan seorang tokoh pergerakan nasional seperti Agus Salim. la seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda dan juga mahir berbeihasa Belanda. Dan barulah pada tahun 1938, anggota-anggota Indonesia lainnya bersepakat menggunakan bahasa tersebut, meskipun tidak semuanya yang mematatuhi' Peranan dan pengaruh Minangkabau dalam pembentukan bahasa Indonesia seperti tertera di atas telah umiun diketahui.
Peran dan Pengaruh dalam Sastera
Minangkabau memang berperan dan berpengaruh ba nyak dalam pembentukan dan pengembangan sastra Indo nesia, sebagaimana yang sudah umum diketahui. Hal itu adalah logis, karena mereka memiHki faktor yang menduktmg. Antaranya ialah, mereka mempunyai bahasa yang sangat dekat dengan bahasa Melayu, mereka berperan penting dalam menyusun bahasa Melayu-baru dan di samping itu mereka mempunyai tradisi bercerita, seperti bakaba. Dan yang paling banyak menentukan ialah sikap budaya mereka
' A.Teeuw (1978:8) 94
yang perantau, semangat belajar yang tinggi serta keberanian mereka mengemukakan pendapat. Membicarakan hubtmgan sikap budaya dengan peranan
dan pengaruh dalam sastra, yang dapat dipandang sebagai suatu kelangsungan yang logis itu, rupa-rupanya tidaklah begitu sederhana. Beliim ada suatu kajian yang dapat dipakai sebagai referensi. Mungkin jadi masalah itu tidak dipan dang penting dan perlu ditulis atau dikaji oleh para ahli. Mimgkin jadi juga pengkajiannya memerlukan disiplin ibnu lain, yang tidak sempat dilakukan oleh para ahli sastra. Karena itulah pengaruh Minangkabau tidak pemah dibicarakan seperti membicarakan pengaruh Barat dalam sastra Indone sia. Hanya Prof. A. Teeuw yang telah mencoba membicarakannya secara selayangan Akan tetapi, pada xunumnya para ahli melihat bahwa konflik sosizil dzin idiologi dalam tema sastra itu ialah karena terjadinya persentuhan dengan
kebudayaan Beirat yang sekxiler. Pada hal tema yang dominan ialah persentuhan tiga pola kebudayaan, yakni adat, Islam, dan sekularisme. Dzdam menghadapi ajaran sekularisme, golongan adat dan Islam berada pada satu barisan. Akan tetapi, golongan adat dan sekularisme berada pada satu barisan dalam menghadapi golongan Islam. Namun, golongan Isleim dan sekuler tidak pemah berada pada satu barisan dalam menghadapi golongan adat. Golongan se kuler dan Islam berada pada satu barisan apabUa berhadapan dengan koloniaUsme Belanda.
A.Teeuw (1978:60-3)
Jika dilihat pada kulit luamya saja, memanglah semua aktivitas sastrawan Indonesia timbul sebagai reaksi dan refleksi dari persentuhan dengan kebudayaan Barat. Jika
dilihat pada kenyataan lain bahwa seluruh suku bangsa di Indonesia sama bersentuhan dengan kebudayaan Barat pada waktu yang sama, temyata reaksi dan refleksinya tidaklah berbobot yang sama. Ketidaksamaan itu, tidak boleh tidak, pastilah karena berbedanya latar belakang kebu dayaan masing-masing. Dikaji dari sisi inilah posisi Minangkabau menjadi lain sendiri dalam sejarah kesusastraan In donesia sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa tambah jauh mereka itu memasuki jantung kebudayaan Barat, maka kesadaran dirinya kian mendalam, sebagai manusia yang sederajat dalam suatu dunia universal. Dari latar belakemg kebudayaan itu pulalah pengarang Minangkabau begitu lancang mengejek dengan keras dan tajam sikap budaya bangsanya. Bukan karena mereka telah meniru dan terpengaruh pada pola kebudayaan barat, melainkan ingin menjadikan Barat sebagai kaca mata perbandingan. Dari pengenalan atas alam pikiran dan sikap budaya orang Minangkabau, sesungguhnya akan lebih mudah dipahami setiap proses pembentukan dan pengembangan ke susastraan Indonesia, baik dalam kerangka idea sebagai
tema, ataupun dalam manifestasinya yang merupakan ciri Minangkabau yang khas. Misalnya, dalam idea, selalu dijumpai perkembangan cakrawala gagasan dan pemikiran dari suatu periode ke periode berikutnya. Periodesisasi genarasi itu menurut Ajip Rosidi dimulai dari Periode Awa -1933, Periode 1933-1942, Periode 1942-1945,
96
sedangkan H.B. Jassin memakai nama Angkatan, seperti Angkatan 20, Angkatan 33, Angkatan 45; dan Angkatan 66. Lain ahli seperti Zuber Usman yang lebih suka memakai istilah Zaman, seperti Zaman Pra Balai Pustaka, Zaman Balai Pustaka, Zaman Pujangga Bam,dan Zaman Gelanggang. Dalam pembicaraan ini, saya akan membatasi sampai Periode 1945 atau Angkatan 45 saja. Karena pada periode sesudah itu Minangkabau tidak lagi dominan. Menurut para ahli sastra pada umtimnya, karya sastra modern Indonesia dimulai dari peniruan bentuk karya s£istra Barat, baik dalam puisi mauprm prosa. Karena Muhammad Yamin yang pertama menulis puisi berbentuk soneta, maka Muhammad Yamin dijadikan pelopor. Akan
tetapi/ berbeda penilaian dengan kepeloporan Muhammad Yamin, maka terhadap roman Sitti Nurbaya yang ditulis Marah Rush kepeloporannya dinilai pada pemikiran pembaharuan yang dikemukakannya sebagai tema. Namun, apabila pengkajian ditekankan kepada idea yang menjadi tema sentrak maka seorang guru dari generasi pemula, Mara Sutan yang memakai nama samaran Pulut-Pulut, agaknya merupakan penulis pertama yang meratapi tanah air dalam majalah Tjahaja Hindia jauh sebelum Muhammad Yamin menulis dalam majalah Jong Sumatera. Bahkan, setelah nama Indonesia menjadi nama yang dipeikai oleh para nasionalis muda pada tahun 1922, Mara Sutan dengan anaknya Muhammad Syafei mengubah lagu hymne "Indonesia Subur" pada tahtm 1925 tiga tahtm lebih dulu
dari lagu "Indonesia Raya" yang dapat mencenninkan heroisme gerakan pemuda Indonesia
Gaya dan kandungan puisi Muhammad Yamin yang dipandang sebagai pembawa soneta pertama itu, tidak banyak bedanya dengan Mara Sutan pada awal penampilan puisinya. Mohammad Yamin, yang meskipim masih meratap, telah mulai menyatakan sikapnya terhadap tanah airnya. Dan apabila Mohammad Yamin memulai dari tanah air Sumatera, maka Rustam Effendi yang segenerasi dengan Mohammad Yamin, tidak mengisi tanah aimya yang Su matra. Meski ptui tidak menyebutkan Indonesia, karena nama itu belum lagi dikenal,jelaslah bahwa Rustam Efendi tidak mehhat bangsanya dibatasi oleh geografis kepulauan. Rustam Efendi lebih tegar pemyataan dan sikap hidupnya sebagai bangsa yang terjajah. Ketiga tokoh itu merupeikan perantau Minangkabau yang ingin membentuk "perumahan baru". Mara Sutan merindukain perumahan yang aman makmur, adil dan damai. Mohammad Yamin yang oleh perkembangan zaman menginginkan perumaheui baru yang bemama Indonesia Raya
yang sejaya masa silam, dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa Iain. Alam pikiran Mohammad Yamin tetap Menurut Anwar St. Saidi, teman Muhammad Yamin, teks lagu
"Indonesia Raya' ditulis oleh Muhammad Yamin. Tapi namanya tidak dicantumkan oleh karena dilarang Muhammad Nazif dengan alasan bahwa itu akan sulit diterima. Kongres sehubungan semangat kedaerahan masih sangat kuat. Anwar St. Saidi memperkokoh
keterangannya dnegan membuktikan beda semangat dan gaya bahasa "Indonesia Raya" dengan teks lagu-lagu lain yang digubah oleh Rudolf Supratman.
98
berakar pada kebudayaan bangsanya seperti yang tertuang dalam konsep Pancasila dan UUD 45 yang ia ikut aktif menyusunnya, sedangkjin Rustam Efendi dengain sikapnya yang lebih radikal itu telah melanglang ke ideologi ko munis. Akan tetapi, sebagaimana Tan Malaka juga, Rustam Efendi yang berlatar belakang kebudayaan Minangkabau yang egaliter dan kosmopolit itu tidak bisa menerima sistem diktatur komtmisme. Ia kembali menjadi bangsa Indonesia, seperti kembalinya perantau-perantau Minangkabau ke kampung halamannya karena yakin, bahwa tanah air adaleih yang lebih baik dari dxmia di mana pun juga 12 Sutan Takdi Alisjahbana yang secara lebih tegas mengemukakan gagasan agar berorientasi ke Barat bagi kemajuan bangsa agar tidak ketinggalan dari bangsa-bangsa Barat itu, mentmjukkan sikap perantau spiritual Minangkabau lainnya. Sebagai sastrawan memang dialah yang mula-mula mengemukakan gagasan pemikiran ke Barat dengan meninggaUcan pola tradisional, dengan tujuan agar harkat bangsa dapat sederajat dengan bangsa-bangsa Iain. Ke Barat jadinya bukanlah tujuan pokok, melainkan alat untuk mencapai derajat yang sama. Pandangan itu bukan suatu hal yang baru bagi perantau spritual Minangkabau. Jauh sebelumnya sudah dimulai oleh Dokter A. Rivai dengan segala bentuk tindakan dan tingkah lakxmya,ia telah berusaha menyamakan dirinya dengan Belanda. Misabiya ketika ia menyelesaikan kuliahnya di kedokteran Jakarta pada tahim 1894, dengan pakaian bergaya Belanda, kupiah di kepala. Taufik AbduUah (1979:132-173)
dasi hitam di lehemya,ia pergi ke foto studio untuk dipotret 13. Hal yang sama dilakukan juga oleh Agus Salitn. Akan tetapi, Agus Salim menemukan Belanda sebagai bangsa yang tidak dapat ditiru. Ia menemukan agama Islam seba gai ajaran yang tepat untuk mengangkat harkat manusia dan bangsanya ketika ia menjadi staf konsulat Belanda di Jedah pada tahun 1906. Perang Ehmia Kedua telah memberikan pandangan lain. Bahwa keunggulan tidaklah terletak di dunia Barat saja, juga di Timur. Baik di Eropah Timur atau pun di Asia Timur. Di antara bangsa-bangsa yang maju di dunia itu, di mana letaknya bangsa Indonesia? Jika wawasan para sastrawan sebelumnya ingin semaju Belanda, lalu semaju bsingsa Barat, maka sastrawan Angkatan 45 meletakkan diri mereka sebagai ahU waris yang sah dari kebudayaan dunia,kebudayaan yang universal. Seperti yang mereka nyatakan d^am "Surat Kepercayaan Gelanggang" yang dicetuskan pada tanggal 18 Februari 1950 di Jakarta. Bukan secara kebettdan bahwa konseptor "Smat Keper cayaan Gelanggang" adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rival Apin itu adalah Minangkabau ketiga-tiganya, yaitu orang-orang yang menganut alam pikiran egaliter dan kos. mopolit, yang memandang dirinya dan bangsanya adalah sederajat dengan yang lain dan dunia adalah tanah air setiap manusia yang campur baur dalam harkat yang sama. Dalam karya prosa sepesrti novel dan roman, ekspresi Minangkabau yang khas terhhat kesamaannya dengan pro"M.Amir(1940:181)
duk kebudayaan tradisionalnya kaba yang laziirmya bercirikan kisah yang melankolis, sentimental, atau srnikal yang adakalanya sarkastik Kisah melankoli atau sentimental, terutama didapati pada hampir seluruh roman yang ditulis oleh generasi sebelum Angkatan 45, bahkan pada roman idiologi, seperti roman Layar Terkembang dari Sutan Takdir Ali^ahbana. Ekspresi melankolis atau sentimental merupakan produk kejiawaan yang tertekan, seperti orang Minangkabau yang perasaannya tertekan oleh sistem sosial "adat yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas", yang tak mampu mereka lawan. Perasaan tertekan pada sastrawan Indonesia modem,bukan saja oleh adat, tapi juga oleh kekuasaan kolonial Belanda.
Bentuk ekspresi Minangkabau lednnya dalam menen-
tang tekanan adat, ialah dengan memaki atau mengejek baingsanya seperti yang dilakukan oleh Dokter A. Rival dan beberapa ulama lainnya. Ekspresi mengqek secara sarkastik itu terdapatjuga pada roman Sitti Nurbaya dari Marah Rush. Selzmjutnya, juga pada karya Hamka seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Merantau ke Deli, Nur Sutan Iskandar dalam roman Sengsara Membawa Nikmat dan Tiada Membalas Gum, M. Enri dalam Karem Anak Kandung, dan sebagainya. Ejekan bukan hanya pola kebudayaan Minangkabau, juga pada lingkimgan agama Islam, seperti yang ditemukan dalam novel Hamka Angkatan Bam dan novel Maisir Thaib Ustazd A. Masyuk.
Uraian tentang kaba lihat A.A. Navis(1984)
Sikap inengejek bagsanya itu tidak terhenti setelah Prnklamasr Kemerdekaan Indonesia, tetapi pada Indonesia.
Yapg p#ng tajam adaljah Idrus yang mengejek revolusi Indonesia y^g tidak berprikemanusiaan, yang merendahkan marta.bat .bangsa. Misalnya, dalam novel Surabaya Alex^dro Leo dalam cmta seri "Negara Kambing" yang dimuat dalamtmajalahiCisalt, Juga beberapa cerita pendek M. Alwi Dabl^ dalam majal^ s^a.Suwardi Idris juga mengejekp^^gai baiigsanya yapg ikutPeristiwa PRRI da lam duakumpulan,cerpennya JstenSeorang Sahabat dan Di Uiarpugam. , i ,ik(Iengejel; Indonesia menmut mereka adalah sam^ jnga
dengan mengejek Minangkabau pada masa sebelpm Perapg Dimia-Kedua,sama dalam modvasinya, yaitu deml meljhat
Minangkabau sebagai tanah aix niemkapada masa laju, b^^r ikutnya melihat Indonesia yang fidak beres, kacau clan momalukannya, maka memka merasa berhak dan berkewajiban untuk mengajek dan baMcan mamald juga. Akan tetapi,
terhadap kekuasaan kqlpm^l Belanda yang tidak disukainya kamna bdak.mungkin,.mengejek apalagi memald sebagai ekspresi perlawanan, uaqteka melihat kehidupm:Belanda dengan pandangan yang kritikal. mejnang hampir.se-
lurub fcaryai mangemukakan dan menganjurkan agar aetiap orang lebib daik mencapai kemajuan n^lalui sekqlah yang didirikan; Belanda, tetapi tidak ditemukau gagasau agar bangsa Indonesia mengikuti pola kehidupan Belanda. Yang diambil dari Belanda hanyalah ilmunya, bukan kebudayaannya.
102
^enguuiUtdUnan^f/BoSa**^
Puisi-puisi yang bersuasana sendu atau melankolis tentang bangsa dan tanah air mereka yang indah, seperti yang miilanya ditulis oleh Pulut-Pulut dan kemudian dilanjutkan pida oleh Muhammad Yamin,sesunggxihnya telah member! "kias" bahwa mereka lebih mendntai bangsanya daripada di bawah pemerintahan jajahan. Pemyataem perlawanan me-
mang tidak ditulis dalam bentiik puisi, tetapi dengan memperlihatkan sikap tidak mau bekerja di bawah kekuasaan Belanda. Mara Sutan berhenti menjadi guru sekolah peme-
rintah pada tahun 1914 setelah 20 tahun bertugas. Dan Muhammad Yamin lebih suka menjadi pengacara saja. Si
kap perlawanan yang terang-terangan lebih diperlihatkan oleh Rustam Effendi dalam drama bersajak "Bebasari" yang
diterbitkan pada tahun 1924. karena perlawanan itu, bukunya itu dilarang beredar oleh pemerintah tak lama setelah diterbitikan.
Mimgkin karena tidak ada penerbit yang mau memikul risiko hampir tidak xhtemukan novel atau roman yang
bersikap permusuhan atau perlawanan terhadap pemerin tah. Selain sebuah novel yang digolongkan sebagai "roman picisan" keluaran Medan,yang berjudul Mr. Leider Semangat sehingga pengarangnya, Maisir Thaib, ditangkap dan dibuang ke penjeira Sukabumi pada tahtm 1939. Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa idea utama roman-roman yang ditulis pengarang Minangkabau pa da awal sejarah kesusastraan Indonesia, ieilah roman yang bertendens menentang adat Minangkabau. Jarang sekaU pa ra ahli melihatkan sebagai ekspresi dari manifestasi sikap dan pandangan hidup mereka sebagai bangsa yang setia
pada adat dan bangsanya, seperti yang diungkapkan oleh dr. Muhanunad Amir itu. Bahkan,tidak pemah ditmjau dari
kajian sikap budaya Minangkabau yang egaliter dan kosmopolit.
Misalnya pada roman Sitti Nurbaya dari Marah RusU. Umumnya pjira ahli lebih membincangkan masalah adat yang kolot sehingga lupa membicarakan Syamsulbahri menjadi opsir Belanda yang memerangi bangsanya sendiri. Pada masa jayanya komunis di Indonesia, mereka mendai Sitti Nurbaya sebagai roman yang kontra revolusioner, karena menampdkan Syamsulbahri sebagai opsir pemerintah kolonial. Apabila dilihat dari sudut kajian sikap budaya dan sejarah Minangkabau, bahwa tidak seorang pun orang Mi nangkabau menjadi serdadu Belanda, maka menjadikan Syamsulbahri yang pelaku utama sebagai opsir Belanda itu, tanggapannya akan menjadi lain. Tokoh Syamsulbahri dapat juga dilihat sebagai prototipe Cendekiawan Minangka bau masa itu, yang ingin menjadi Belanda dan menggunakan alam pikiran Belanda untuk menghancurkan kebudayaan Minangkabau yang kuno yang diwakili oleh Datuk Maringgih. Akan tetapi, ia telah menggunakan cara yang salah, yakni dengan kekerasan sebagai seorang opsir tentara Belanda, untuk menghanciurkan dekadensi bangsanya. Cara itu sama dengan bimuh diri. Pikiran Syamsulbahri yang
jerrdh dan mencapai kemajuan harus dilihat dari percakapannya ketika hendak melanjutkan sekolahnya ke Jawa. Idea kemajuan ingin menjadi Belanda atau semaju Belanda itu, terUhat juga pada Salah Asuhan dari pengarang asal Minangkabau lainnya, Abdul Muis. Bedanya, Hanafi yang
telah menjadi Belanda menurut hukum dan kawin dengan Belanda ptila, temyata kecewa pada kebudayaan Belanda. Kedua tokoh roman itu sama-sama mati di tanah aimya sendiri dengan cara yang tragik. Mentirut dugaan yang sulit dikonfirmasi, Salah Asuhan mempakan reaksi seorang pemimpin nasionalis, Abdul Muis, terhadap sikap dokter Abdul Rival yang menulih hidup seperti Belzmda untuk menampilkan dirinya sebagai "pribumi" yang tak kalah harkatnya dari Belanda simg-
guhan. Saya kira pandangan Marah Rusli dalam Sitti Nurbaya pun sama. Bahwa membenci bangsa sendiri yang begitu konyol bodohnya, bukanlah dengan menghancur-
kannya karena tindakan itu tak ubahnya seperti kata ungkapan: "kalah jadi abu menzing jadi arang". Dam karena itulah Syamsulbaihri dan Hanafi sama-sama dimatikan pengarangnya secara tragis. Sutan Takdir Alisjahbana, yang secara etnik adalah juga
seorang Minangkabau, tidak lagi melihat Belanda sebagai suatu beingsa yzmg patut ditiru. Beinyak bangsa lain yang lebih maju, yang pantas ditiru sikap hidupnya, yaitu bangsa yang hidup di dunia Barat yang memiliki kebudayaan yang mampu mencemakan ilmu pengetahuem bagi kejayaan bangsanya masing-masing. la berpendapat bahwa tanpa ilmu yang dipakai Barat itu, bangsa Indonesia takkan dapat mencapai harkat yang sama dengan bangsa-bangsa itu. Sutan Takdir konsisten dengan pandangan hidupnya itu,
tanpa perlu melepaskan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Generasi sastrawan dari Angkatan 45 dengan "Surat Ke-
percayaan Gelanggang" itu, mempunyai orientasi ke-
budayaan yang lebih luas lagi. Paham egaliterian dan kosmopolitnya lebih mengembang ke permukaan. Namun, celaannya terhadap kebudayaan lama masih tidak berkurang sengitnya, seperti yang tertera pada alineanya yang paling panjang. Barangkali pandangan mereka tentang kebu dayaan lama merupakan reaksi yang masih perlu dinyatakan kembali, sehubungctn dengan hasil Kongres Kebudayaan Indonesia 1948 di Magelang masih didominasi oleh golongan tua yang mendefinisikan "kebudayaan Indonesia ialah terdiri dari pimcak-puncak kebudayaan daerah", yaitu definisi yang enak di dengar oleh telinga kaum politisi yang menganut pola sentralisme kekuasaan dengan melupakan bahwa hampir seluruh daerah di luar Jawa tidak mempunyai kebudayaan puncak, jika dilihat pada bekas-bekas peninggalan sejarahnya. Penutup
Apabila ditinjau dari kajian alam pikiran Minangkabau, maka sejarah dan perkembangan kesusastraan Indonesia yang didemonisasi oleh sastrawan Minangkabau sampai pada generasi Angkatan 45, bukanlah merupakan proses yang ganjil dan luar biasa, melainkan suatu hal yang logis saja. Suatu analogi yang dialektik menurut falsafah yang diemutnya bahwa menurut ajaran falsafah Minangkabau, manusia itu adalah sama derajat, meskipun kodrat dan fungsinya saling berbeda. Dan adalah manusiawi, bahwa oleh perbedaan kodrat dan fungsi itu menyebabkan timbulnya perbedaan-perbedaan sosial. Namun,oleh semangat egaliter yang berasal dari pandangan kesamaan derajat itu. 106
membangkitkan hasrat setiap orang agar baingkit dan berusaha untuk eksist atau mempunyai harga diri yang sama dengan yang ladn atau tidak kalah dari yang lain. Adat itu sendiri sebagai suatu sistem sosial mengutamakan stabilitas dan keteraturan hidup yang tak berguncang-guncang, cenderung pada konservatisme. Karena itu, hasrat yang kuat untuk melakuan perubahan,reformasi dari paia. cendekiawan perantau, selalu berhadapan atau berkonfrontasi dengan penghulu adat yaing berkewajiban menjaga kestabUisasian sosial dan kelesteirian hukum adat yang adakalanya bersifat otoriter. Sikap otoriter ini pada dasamya dipandang sebagai bertentangan dengan sistem kebudayaan egciliter, demokrasi yang horizontal. Orang Minangkabau setia pada adatnya, karena itu, perlawanan yang sering berlaku, bukanlah perlawanan atas sistem, melainkcm atas tingkah leiku individual atau pun sosial yang tidak sesuai dengan sistem. Oleh karena itu, bentuk perlawanan yang lazim adalah merantau secara fisik atau spiritual. Mengejek atau meratapi untung badan dengan gaya yang melankolis, betapa pun dengan perlawanan itu, mereka tidaklah hendak menjadi orang lain, seperti halnya mereka tidak akan mudah berganti-ganti agama. Mereka selalu bergerak xmtuk lebih maju agar harkatnya sanra dengan orang lain. Dan mereka selalu ingin mengubah kondisi yang telah dekaden atau jumud dengan cara mengoreksi dan mengoreksi lagi sehingga dalam sejarahnya selalu ditemukan berbagai peristiwa reformasi dalam alam pikiran beragama
sebagai misal, yang berlangsting sekali dalam 50 tahun is. Kalau pun mereka tidak mampu melakukan reformasi, mereka akan pergi merantau. Tapi selalu mereka kembali
lagi menjadi bangsanya, meskipxm untuk mati secara tragis sekalipxm, seperti Syamsulbahri dalam Sitti Nurbaya atau Hanafi dalam Salah Asuhan.
Sutan Takdir Ali^ahbana yang sesungguhnya ingin me lakukan reformasi dalam alam pikiran bangsanya dengan merantau spritual ke Barat, sesunguhnya ia tidak bermaksud menjadi Barat, tapi menyamai Barat agar dirinya tidak
tertinggal dari Barat. Ia tidak berpikir seperti perantau yang menetap di negeri orang yang bermotto: "di mana bumi dipijak di sana langit dijunjimg", tapi ia bermotto:"nan elok dipakai nan bxiruk dibuang."
Chairil Anwar dengan generasi "Gelanggang"nya yang mengaku dirinya ahli waris kebudayaan dunia, secara sadar mereka tetap menjadi bangsanya yang memiliki identitas
sendiri dengan pola pikiran bahwa yang terpenting baginya adalah manusia.
Tanpa pola kebudayaan egaliter dan kosmopolit seperti Minangkabau dari mana mereka berasal adalah tidak
mungkin jadi mempunyai kemampuan melakukan reforma si pikiran sambil mengoreksi dekadensi bangsanya, meski-
pun koreksian itu mereka lakukan dengan keras. Perubahan orientasi yang setiap waktu mereka lakukan, adalah karena
mereka yakin atas kemampuan mereka untuk beradaptasi dan berakulturasi, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Uraian tentang kaha lihat A.A. Navis(1984) 108
sejajamya Minangkabau, meskipun dalam aktivitas dan
kreativitasnya mereka tidak pernah memikirkan Mineingkabau.
Dari uraian mi, maka pengaruh Minangkabau dan sastra
Indonesia itu dapat dikemukakan, bahwa oleh pandangan egaliter dan kosmopolit yang mereka anut, sastrawan Mi
nangkabau telah membuka cakrawala pemikiran baru pada setiap periode. Kritik-kritik mereka yang tajam bahkan sampai mengejek bangsanya sendiri, telah memberikan keberanian moral bagi sastrawan lain vmtuk sama-sama mengo-
reksi pola kehidupan bangsa Indonesia. Bahwa kritik yang telah dUemparkan dan pemikiran baru dengan cakrawala yang lebih luas pada setiap periode telah memancing polemik antara yang pro dan kontra. Polemik itu setidak-tidaknya telah melahirkan ketajaman berpikir bangsa Indonesia, terutama kaum terpelajarnya, yang bermuara pada akhimya
kepada kesadaran nasional baru dengan identitas bangsa sendiri dalam kesertaannya pada hubungan antara manusia yang universal.
Tanpa keberanian mengemukakan pendapat dengan alam pikiran baru sebagai reformasi dan kemauan imtuk
berpolemik secara terbuka, identitas bangsa akan menjadi menciut dan menyempit dan akan dapat bermuara pada chauvinisme dan totaliterisme tentunya. Padang,26 Agustus 1985
Bacaan
Ajip Rosidi, Laut Biru Langit Biru,Pustaka Jaya,Jakarta,1977 Alfian,"Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian," dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1979.
Amir. M. Bunga Rampai, centrale Courant & Boekhandel, Medan,1940.
Brouwer. M.A.W. Kepribadian dan Perubahannya, Gramedia, Jakarta,1984.
Hamka, Islam dan Adat Minangkcibau. Pustaka Panjimas, Jakarta,1984.
Hasan Basri Saanin Dt. Tan Paaariaman, "Kepribadian
Orang Minangkabau dan Psikopatologinya," dalam Kepribadian dan Perubahannya, Gramedia,Jakarta,1984. HazU Tanzil (ed.), Seratus Tahun haji Agus Salim, Sinar Harapan,Jakarta,1984. Jassin. H.B. Kesusasteraan Indonesia Modem Dalam Kritik dan
Esai I, Gunung Agimg,Jakarta,1954.
Kustiniyati Mochtar, Agus Salim Manusia Bebas" dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, Jakarta, 1984.
Mochtar Nairn, Merantau, Pola Migrasi Suku Mimngkabau, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,1979. Mochtar Nairn, "Minangkabau dedam Dialektika Kebudayaan Nusantara" dalam Dialektika Minangkabau dalant kemelut Sosial dan Politik, Genta Singgalang Press, Padang,1983. Nasrun, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Jakeirta, 1971.
Navis, A.A. Alam Terkenibang Jadi Guru, Grafiti Press, Jakarta,1984
Navis, A.A. Dialektika Minangkabau Dalam Kemelut Sosial dan Politik, Genta Singgalang Press,Padang,1983.
Taufik, Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta. 1979.
Teeuw, A. Sastera Baru Indonesia, Universiti Malaya, Kuala Ltunpur,1978.
Zuber Usman,Kesusasteraan Baru Indonesia, Gunung Agung, Jakarta,1964.
Kepustakaan
Abdullah, Taufik. 1979. Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES,Jakarta: LP3ES. 9'e*ifa*a/^tHuuiMgAaiaar
Alfian. 1979. "Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian," dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES.
Amir. M. 1940. Bunga Rampai, caitrale Courant & Boekhandel.
Brouwer, M.A.W. 1984. Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia.
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau. Pustaka Panjimas, Jakarta,1984.
Jassin. H.B. 1954. Kesusasteraan Indonesia Modem Dalam Kritik dan Esai I. Jakarta: Gunimg Agung,.
Mochtar, Kustiniyati. 1984. Agus Salim Manusia Bebas" dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.
Mochtar Naim. 1979. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees, . 1983. "Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara" dalam Dialektika Minangkabau dalam kemelut Sosial dan Politik. Padang: Genta Singgalang Press. Nasrun, M. 1971. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bxilan Bintang.
112 9'€uulan^tu^9iiAt*€uiMM'j4ijit tAaoiA'
S'eng^auiA'Minmt^AaSaur
Navis, A.A. 1983. Diakktika Minangkabau Dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang: Genta Singgalang Press. . 1984. Alam Terkentbang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Pariaman, Hasan Basri Saanin Dt. Tan. 1984. "Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya". Dalam Ke pribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia. Rosidi, Ajip. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tanzil, Hazil. 1984. Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan,
Teeuw, A. 1978. Sastera Baru Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Malaya. Usman, Zuber. 1964. Kesusasteraan Baru Indonesia. Jakarta: Gxmxmg Agimg,
17
MASALAH AGAMA DALAM SASTRA INDONESIA
A.A. Navis
Pendahuluan
Membicarakan topik Islam dan sastra atau sastra dan
Islam, sesungguhnya merupakan kaji ulang dalam sejarah di tanah air kita. Ada indikasi, bila topik ini dibicarakan,se-
lalu ada hubxmgannya dengan situasi politik yang merisaukan cendekiawan muslim. Pembicaraan menjadi pembangkit eksistensi dan identitas Islam agar orang tidak lupa padanya. Seperti di Malaysia misalnya, sejak 3 tahun akhir ini, sedang terjadi polemik tentang sastra Islam, sedangkan di belakangnya sedang timbul konflik politik yang hangat antara pemerintah dengan pihak partai Islam yang beroposisi. Dan apabila piUhan topik yang diberikan kepada saya sekarang, karena telah ada indikasi yang merisaukan cendekiawan muslim, agaknya yang perlu dihadirkan di sini iaiah ahli ibnu sosial dan politik.
Terlepas dari serba kemtmgkinan itu, saya menyadari bahwa topik pembicaraan ini akan banyak menimbulkan persoalan. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi tentang sastra itu sendiri, yang biasanya menim
bulkan ketegangan urat leher, apalagi membicarakan agama Islam yang penganutnya harus fanatik karena yakin bahwa 114
agamanya adalah benar. Karena agama Islam bukein hanya mengatur hubtmgan manusia dengan Ttihan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada umatnya agar menyunih orang lain berbuat kebaikan dan mencegahnya berbuat kejahatan. Sikap pasif atau tak perduU dipandang sebagai kesalahan. Antara menyunih dan mencegah inilah ditemukan banyak perbedaan, yang ada kalanya tajam, hingga ada yamg luka, meski perasaannya. Jika mengutip pendapat Mukti All, bahwa beragama adalah soal batin dan subjektif, juga sangat individualistik. Tidak ada pokok persoalan yang paling bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama.
Dalam membicarakan topik ini, sistematik dan metode pembicaraan saya tidaklah menurut teori akademik. Forum ini bukan tempatnya dan saya sendiri bukan ahlinya. I
Bangsa Indonesia sudah telanjur memakai tiga konsep kebudayaan, yakni tradisonal, Islam, dan Barat, yang dipakai secara bersamaan dengan segala senang atau susah hati. Pakaian kebudayaan seperti segitiga genjang yang tidak sama sisinya. Ada yang memakai sisi tradisonal lebih panjang di samping ada yang memakai lebih pendek. Demikian sisi Islam. Demikian pula sisi Barat. Tergantung pada orientasi dan kepentingan. Dalam kehidupan kesusastraan pim terlihat pola segi
tiga genjang itu. Akan tetapi, predikat modem atau modem dalam sastra terletak pada sisi Barat karena diimggulkan di bangku sekolah dan menjadi objek studi para ahh. Ma-
syarakat muslim menerima gaya kesusastraan Barat itu dalam kebalauan antara menerima, menolak, dan tidak bisa
menyatukannya dalam visi dan persepsi. Bagi literati, konsep sastra Islam atau muslim ialah "sastra karena AUah", "sastra sebagai ibadah", "sastra sebagai amal saleh", "sastra yang mengikuti syariat", dan "sastra yang bercirikan ikhlas sebagai titik tolak, rmrdhatilah sebagai tujuan dan amal saleh sebagai alumya." Jika dirangkumkan gagasan dari semua pendapat itu, maka definisinya ialah, "sastra Islam adalah sastra yang melukiskan kebenaran, kesempurnaan, dan keindahan yang mengandung keadaan menurut syariat Islam, yang ditulis oleh sastrawan muslim yang saleh dan memahami teologi Islam serta hasilnya akan membuat orang menjadi ingat pada Allah yang berfaedah rmtuk manusia." Dan dalam nenelaahnya, penelaah mestdah memahami teologi Islam serta mengenal kehidupan beragama sastrawannya karena suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarangnya. Seperti halnya sembahyang tidak dapat dipisahkan dari rukvmnya. Menurut Taufiq Ismail dalam suatu percakapan di masjid Al-Azhar, Padang, penelaahan akademik memakai teori Barat tidak bisa dipakai pada penelaahan sastra Islam. Umumnya literati sepakat mengatakan bahwa karya Amir Hamzah, A. Hasjmy, Hamka,Rivai AH,Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M., Emha Aimm
Nadjib dan lain-lainnya berunsur Islam atau religius Islam. Akan tetapi, hanya Taufiq Ismail dan Emha yang secara tegas menyatakan kesesuiannya dengan konsep dan definisi sastra Islam itu. Bahwa baginya berkarya adalah sebagai 116
ibadah, tak ubahnya seperti melaksanakan sembahyang yang lengkap dengan rukiinnya, sedangkan nilai puisinya sendiri tidaklah dipersoalkan. Akan tetapi, bagi Abdul Hadi W.M. tidaklah penting apakah ia sadar atau tidak sebagai muslim di kala menulis puisinya, yang penting baginya adalah hasilnya. Dan Goenawan Mohamad merasa skeptis jika sastra dijadikan alat dakwah. Perbedaan itu merapakcin perbedaan persepsi dalam beragama dan bersastia, perbedaan yang lazim dalam sejarah pemikiran cendekiawan muslim. Karena Islam, menurut Ali Audah, tidak datang dengan kosep kesenian, pengembangan kreativitas seni akan lebih luas dan terbuka. Ini malaih suatu rahmat besar. Pendapat Ali Audah itu mungkin bisa ditafsirkan, bahwa Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M., dan Goenawan Mohamad tidak menyalahi syareat
Islam. Pendapat yang berbeda dari banyak literati mtislim lainnya tidak menyalahi syareat Islam. Terlepas dari perbedaan persepsi dalam bersastra, contoh yang klop bagi sastra Islam seperti yang dikemukakan oleh para literati muslim itu, ialah sastra jenis puisi. Keabsahan puisi ada rujukannya dalam Alquran dan hadist. Ayat Alqxuran mengatakan bahwa penyair disukai oleh orang-orang sesat, bahwa penyair suka berpetualang di lembah Icimtman, dan mereka mengatakan masalah apa
yang tidak mereka lakukan. Lain haJnya dengan penyair beriman,suka berbuat baik dan berani melawan yang zalim
sampai mereka sadar." Dalam hadis diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad memerlukan penyair untuk membangkit-
kan semangat perang, menyampaikan dakwah dan ber117
debat melawan penyair Kurais yang ingkar. Dan Nabi mengatakan bahwa syair sahabatnya itu lebih tajam dari senjata untuk mengalahkan musuh-musuh Islam. Akan tetapi, sastra bukan hanya puisi atau syair. Prosa yang diambil dari Barat, yang telah menjadi milik dunia, juga sastra. Kelihatannya prosa tidak begitu klop dengan konsep dan definisi sastra Islam sehingga sangat sedikit karya dari sedikit satrawan Indonesia yang memenuhi syarat sebagai sastra Islam. Dan rahmat besar yang diberikan Txihan, seperti yang dikatakan AH Audah,justru menjadi sengketa yang tak habis-habisnya di kalangan Islam karena sikap emosional dan eksplosip dalam beragama sering tidak terkendaH. Masalahnya iaiah karena Islam bukan semata-mata agama bersifat individual,tetapi juga lebih bersifat sosial. Karena bersifat sosial, agama Islam menjadi milik bersama. Setiap gagasan atau tafsiran dipandang dengan ukuran yang tetap dan telah menjadi patokan bersama se hingga masyarakat Islam cendenmg bersikap konservatif dengan dalil: "lebih baik memelihara yang ada daripada memakai yang baru yang rulainya belxun tentu". Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabHa di kalanga Hterati Islam timbul kehendak agar apHkasi sastra Islam memberi petunjuk kepada gagasan peribadatan yang menuju salat dan melukiskan kebenaran menurut syariat yang telah disyahkan oleh jemaah. Setidak-tidakanya pandangein itu menghendaki agar sastra merupakan kreativitas musUm yang ekspHsit bagi kepentingan umatIslam dalam beribadat. Akan tetapi, Abdurrahchman Wahid mempunyai pandangan yang moderat. Menurutnya, intensitas pengalaman 118
beragama, ekspresinya implisit dan juga eksplisit. Semuanya dapat diekspresikan ke dalam sastra sehingga tak ada salahnya kalau tokoh pelacur pun ditampilkan dalam sastra Islam, ketrena perasaan keagamaan pelacur belum tentu kalah dari perasaan keagamaan seseorang yang bersembahyang di mesjid.
Kebebasan mengemukakan pendapat inilah agaknya yang dikatakan oleh All Audah sebagai rahmat Tuhan. Karena dengan adanya kebebasan itulah, agama Islam dapat menjadi dinamik dan takkan pemah usang oleh perubahan zaman. Dinamika Islam yang member! kebebasan mengemukakan pendapat itu sangat penting bag! kreativitas dalam berkarya sastra. Sungguh pun demikian, daIctm karya prosa, seperti cerita pendek atau novel, hasUnya tidak banyak dan mutunya pun tidak tinggi. Mimgkin hal in! dapat member! s!mpulan bahwa pengalaman beragama t!daklah bebas d!luk!skan ke dalam prosa dumbangkan ke dalam pu!s!. II
D! masa jayanya ajaran suf!, pu!s! sangat berkembang. Jad!, terkenalnya penyalr sepert! Jalaluddin Rum!, Haf!s S!raz, dan Umar Kayam.Pengalaman rrustik kamn suf! adalah sama dengan pengalaman spiritual pengalr sehingga pengalaman mlstlk menjad! klop dltuangkan ke dalam pulsl. Dalam pengalaman suf! dan penyalr, Imajlnaslnya ten-
tang Tuhan dapat menerlma antropomlsme dan korporallsme, yakn! mengatakan Tuhan sepert! berlaku dan berjasad. Hal yang tak mimgkln dlluklskan oleh pengarang.
Dalam puisi banyak sekali ditemukan kaia dan ungkapan yang korporalistik. Umpamanya, Amir Hamzah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai cakar {Mangsa aku dalam cakarmu); Abdul hadi W.M. mengatakan Tuhan sebagai apt
(Tuhan/Kita hegitu dehit/Sehagai api dengan panas); Goenawan Mohamad mengatakan Tuhan sebagai topografi (]uru peta yang Agung, di manakah tanah airku)-, Tayani Sriwidodo mengatakan bahwa Tuhan itu langit (Kaulah langit/atap melengkung/menaungi bukit); Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa Ttoan teman tidurnya (Datanglah Engkau, berbaringlah di sisiku).
Cukup banyak puisi penyair muslim yang memakai ungkapa dan visi yang tidak islami sehingga beralasan apabila Taufiq Ismail atau Shahnon Ahmad, sastrawan dan cendekiawan Malaysia, mengatakan bahwa sangat penting
bagi sastrawan muslim untuk mendaleuni teologi. Bahkan juga para kritikus dan penelaah sastra untuk mendalaminya agar tidak begitu mudahnya memberikan predikat Islam, muslim, atau religius pada puisi penyair muslim. Karena
cukup banyak ditemukan puisi yang janggal atau salah pasang yang mtmgkin disebabkan oleh ketidak pemahaman terhadap teologi Islam dengan cukup. Umpamanya pada puisi Amir Hamzah ditemukan bait /kalaua kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelapj. Dan
pada puisi Syafrial Arifin ditemukan bait /ada yang jatuh dari cemara itu/jatuhnya landai/menimpa bumi/terinjak-injak di antara lalu-lalangj orang-orangj Seseorang memungutnya
/menibacanya/ karena ia bukan/setangkai daun cemaraj. Sebagaimana kita tahu bahwa kendil atau lilin (pelita) di 120
jendela dan cemara bukanlah peralatan ritual Islam, melainkan Nasrani.
Lain lagi dengan pendapat Muhammad Ali dan Aoh
Kartahadimadja yang muslim. la telah menulis puisi dengan visi yang menyimpang dari kaidah Islam. Pada puisi
Muhammad Ali ditemukan bait /Apakah hidup ini, jika tiada mati?/Dan betapa mati hukan kebangkitan kembali/. Visi religius dari istilah kebangkitan kembali jika di dalam agama Hindu dipahami sebagai reinkamasi. Dalam kepercayaan agama nasrani, istilah kebangkitan kembali merupakan inti ajaran sedangkan dalam Islam kebangkitan kembali tidak ada, yang ada ialah berbangkit dari kubur. Dan itu pun bukan ajaran pokok yang perlu dipersoalkan. Yang terpenting di dalam Islam ialah hari pembalasan di padang mahsyar tempat dosa dan pahala manusia ditimbang. Sebaliknya, pada puisi Aoh Kartadihamadja ditemukan bait /Biarlah aku menjadi tukang kebun-Mu selama-lamanya. ../ mungkin merupa kan pengaruh dari Rabindranath Tagore dalam prosa Uriknya "Tukang kebun." Dalam ajaran Islam setiap muslim menjadi khalifah Tuhan di bumi, yaitu menjadi wakil-Nya di bumi dengan melaksanakan kewajiban yang sesuai de ngan sifat-sifat-Nya: adU, rahman, dan rahim kepada sesama manusia. Pengertian antara khalifah dengan tukang kebtm sangatjauh berbeda dalam tugas dan vismya. . Adalah sangat membingxmgkan apabila Chairil Anwar yang sangat cermat dalam memilih kata dalam puisinya agar dapat mencapai makna yang lebih dalam teleh menuUs puisi yang berisikan /aku minta pula supaya sampai di sorga/ya kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/dan
bertdbur bidadari beribul. Menurut sangka Qiairil Anwar gambaran sorga demikian hanyalah kepercayaan dari Islamnya Mas3mnu dan Muhammadiyah saja. Kalau ia tahu bahwa semua agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) menganut kepercayaan yang sama tentang sorga demikian, tentulah ia tidak akan mengejek seperti itu. Lagi pula masyarakat Muhammadiyah termasuk penganut Islam yang
paling sedikit membicarakan masalah sorga karena yang penting bagi mereka iaiah beramal sebanyak-banyaknya selagi hidup di dunia.
Menurut ilmu kesusastraan, penyair memiliki dispensasi dalam memakai kata. Oleh karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak relevan menilai karya sastra
dengan menggunakan pendekatan terminologi suatu aga ma. Pendapat itu tentu saja mungkin bagi masyarakat yang meletakkan nilai agama pada bentuk upacara ritual yang formal saja, sedangkan hubtmgan manusia dengan Tuhan bersifat individual yang tak perlu dicampuri oleh orang Iain. Pada hal dalam konsep Islam,agama itu sangat bersifat sosial. Oleh karena itu, dirasakan membingungkan apabila penyair bertingkah laku seperti sufi yang memakai jubah fastor di kala bersembahyang Jumat. Islam memang tidak melarang, akan tetapi tingkah laku itu terasa sumbang. Terkecuah bila sufi itu tidak mempimyai pakaian Iain kare na miskinnya. Akan tetapi, penyair tidak sepantasnya miskin dalam ilmu.
Pengalaman mistik sufi dan pengalaman spiritual pe nyair individualistik sifatnya. Dalam sejarah sufi ada aliran
yang tidak mengidahkan duniawi dan bahkan syariat 122
t4UMAa4aAr*s4^amti^
agamanya. Mungkin jadi dengan pendekatan pada bentuk sufisme itulah agaknya puisi religius dari beberapa penyair tadi dapat disamakan dan dinilai. Akan tetapi, apakah pola hidup stifi yang beraliran tersebut diyakini penyair pula sehingga mempunyai kebebasan melintasi visi agama yang dipeluknya? Mistik dan sufisme selalu muncul lebih kuat apabila kondisi masyarakat sedang dilanda tekanan batin yang berat dan di kala keadilan dan perlindungan hidup tidak diperoleh lagi dari lembaga yang semestinya memberikannya, di kala akal sehat dikesampingkan, di kala kebebasan berpendapat dipandang sebagai kejahatan. Secara individual mistik dan sufisme memberi kemtmgkinan bagi ketenangan jiwa. Akan tetapi, kehidupan sosial mistik dan sufisme mendorong dekadensi sehingga seoramg orientalis, seperti yang dikutip oleh Syech Ameer Ali, mngatakan bahwa jika Asyari dan Gazali tidak ada, maka orang Arablah yang melahirkan Galileo dan Newton.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia cukup banyak puisi religius yang mistisis, yang lahir pada setiap saat kon disi sosial sangat terkekang oleh kekuatan yang tidak mengindahkan kebenaran dan keadilan. Pada titik didih yang tertinggi, wajah puii kian menjadi melankolik. Dan Tuhan tempat mengadu dilukiskan bermacam-macam dan peralatan religius yang digunakan bisa macam-macam pula tanpa mempertimbangkem kaidah agama yang diperlukannya. Mungkin buat sementara puisi tersebut dapat membebaskan penyair dari perasaan tertekan untuk sementara waktu, tapi saya tidak tahu apakah Tuhan menerma puisi
demiki^ sebagai ibadah. Namun, apabila dilihat pada sejarah kelahiran sufi dengan pengalaman mistiknya yang beraneka ragam itu, pada awalnya kebangkitan sxifisme merupakan awal dari kemerosotan sejarah dinamik Islam. Andaikata sastra merupakan ibadah, dan ibadah itu irie-
rupakan keajiban individual, maka apakah ibadah individualistik merupakan amal saleh yang dapat membantu kehidupan sosial? Goenawan Mohamad merasa skeptis jika pada sastra dicantelkan fungsi sosial, dan bahkan dia tidak percaya bahwa sastra akan dapat mengubah keadaan. Barangkali karena sifat sastra yang individualistik itulah yang menyebabkan Goenawan Mohamad berpendapat demikian. Sebaliknya, banyak pihak yakin bahwa sastra akan dapat mengubah keadaan. Di pihak penganut Islam ada keyakinan bahwa sastra dapat berfungsi mengubah keadaan, karena Quran mencantumkan ayat-ayat seperti yang tertera
pada surat Asy Syuara, serta tercantum pada banyak hadis. Di pihak lain pemerintah pun tampaknya percaya bahwa sastra dapat mengubah dunia, sehingga kebebasan kreativitas tidak mxmgkin melintasi jalan bebas hambatan. I]a\an berliku-liku, tanah airku/Penuh rambu-rambu, Indonesiaku/ kata Hamid Jabbar pada puisinya.
Prosa, seperti cerpen dan novel, tampaknya tidak begitu serasi dalam kebudayaan Islam. Oleh literari muslim sangat sedikit prosa yang dikategorikan sebagai sastra Islam dan itu pun dihasilkan oleh 4 atau 5 sastrawan saja. Penamaan umum yang diberikan ialah sastra "bernafas Islam", "berlatar Islam" atau dengan istilah sejenis itu.
J24
Jika bertolak dari Quran, memang ada ayat tentang penyair dan syair. Ada dua klasifikasi penyair, yaitu penyair yang mirip seperti tukang pantun di negeri kita dan penyair yang bersyair karena Allah untuk memerangi kezaliman. Tidak ditemukan ayat tentang bentuk sastra lain dari pe nyair. Akan tetapi, Quran sendiri cukup banyak mengisahkan tingkah laku anak manusia di sekitar kehidupan nabi-nabi. Bahkan, ada kisah anak manusia yang diamuk birahi. Namun,prosa tidak diberi jalan lapang untuk tampil oleh literati muslim, terutama oleh kalangan ulama. Dalam suatu seminar internasional tentang sastra Islam di Darul Ulum,seorang pembicara mengemukakan konsepnya, bahwa sumber dan bahan yang absah bagi sastra Islam iailah Quran, perbendaharaan sastra Arab, dan syair dari sahabatsahabat Nabi.
Konsep sastra Islam seperti yang dikemukakan pembi cara itu sangat dominan di kalangan pemikiran ulama. Oleh karena itu, banyak yang memuji karya seperti Perjalanan ke Akhirat dari Jairul Suherman, Iblis dari Muhammad
Diponegoro, dan Sinar Metmncar dari Jdbal Amur dari Bahrum Rangkuti karena karya-karya itu dipandang sebagai karya yang sudah memenuhi konsep sastra Islam. Di Malaysia hingga kini orang tetap memuji Di Baioah Lindungan Ka'bah dari Hamka sebagai sastra Islam, karena sesuai dengan ajaran sufi. Prosa, seperti cerita pendek atau novel, yang kita bicarakan berasal dari kebudayaan Barat. Bentuk dan visinya sangat jauh berbeda dari tradisi Arab yang sangat mem-
pengaruhi konsep dan pemikiran cendekiawan muslim.
Sastra Barat yang lebih mengutamakan kisah tentang manusia sebag£d individu yang utuh dalam pola kebudayaein Barat, terasa asing bagi pemahaman tradisonal sehingga lambat sekali sastrawan muslim mau menyertainya. Lebih lambat lagi masyarakat muslim mau menerimanya, bahkan menolaknya bila berisikan masalah yang menyimpang dari pemahaman formal dan tradisional dalam beragama. Hamka adalah pengarang pertama yang memasukkan "orang surau" sebagai pelaku cerita dan mengemukakan gagasan moral Islam ke dalam karyanya, seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck pada tahun 1936 sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Akan tetapi, ketika Hamka melangkah lebih jauh dengan memasuk kan kritik sosial terhadap santri dalam novel Angkatan Baru, serta merta ia mendapat ejekan sebagai "ulama pengarang roman." Istilah roman pada masa itu dipahami sama dengan romance. Matha (Maisir Thaib) seorang keluaran Islamic
College di Padang menulis novel Ustadz A. Masyuk yang mengisahkan guru agama yang genit, masyarakat Islam gempar. Mereka minta agar pemerintah menyita novel itu. Mungkin sebagai imbangan,Hamka menulis novel Tuan Direktur yang mengisahkan tokoh muslim yang ideal. Akan tetapi, novel itu gagal. Dan Martha menulis Leider Mr.
Semangat yang mengisahkan perjuangan seorang intelektual muslim. Hasilnya,buku itu disita dan Martha dipenjarakan. Sikap tidak suka pada kritik tampaknya merupaka pola kebudayaan tradisonal kita, bukan pola tradisi Islam karena pada dasamya Islah lahir rmtuk memberi kritik dan koreksi terhadap cara beragama sebelumnya. Tradisi Islam meneri126
ma ijtihad dan menghormati perbedaan paham. Jika sejarah IslEun pennh diwamai dengan coreng-moreng kekerasan dalam menumpas paham yang berbeda, hal itu selalu dapat dilihat pada komitmen ulama dengan kekuasaan politik. Namtm,secara berangsur-angsur umat Islam menjadi lebih moderat sehingga pada waktu novel Umi Kalsum dari Jamil Suherman diterbitkan, Masyarakat Islam tidak mempermasalahkannya padahal temanya sama dengan Angkatan Bam dan Ustadz A. hAasyuk yang diterbitkcm sebelum perang dunia kedua. Sesimgguhnya perubahan sikap itu telah terlihat pada waktu novel Atheis dari Achdiat Kartamihardja diterbitkan pada tahun 1949, yaitu novel yang mengisahkan ketidakberdayaan umat Islam dalam berhadapan dengan pikiran yang anti Tuhan. Semenjak Atheis banyak novel yang melukiskan ketidakberdayaan umat Islam ketika berhadapan dengan perubah an lulai. Misalnya dalam novel Pulanglah si Anak Hilang dan drama Titik-Titik Hitam dari Nasyah Djamin yang mengisah kan kerelaan seorang haji pada skandal yang dilakukan istri mudanya dan kebisuan ibu yang saleh terhadap skandal yang dilakukan anaknya dengan ipamya. Atau novel Pergolakan dari Wildan Yatim yang melukiskan ketidakberdayaan umat Islam dalam melawan teror. Ketidakberdayaan yang dilukiskan itu dapat menarik simpulan bahwa Islam belum mampu menjawab semua masalah sosial akibat perubahan sosial yang berlaku. Kalau pengarangnya penganut Islam, novel mereka itu sebenamya dapat dipahami sebagai kritik terhadap cara beragama bangsanya sendiri. Ndai kritik
yang dimaksudkan itu sama dengan Angkatan Bam dan Umi Kalsum.
Menyegarkan juga buah pikiran Abdurrachman Wahid yang dapat melihat religiusitas pada novel Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung, padahal novel itu tidak melukiskan sepotong situasi pun tentang tokoh beragama dan tentang keagamaan. Pandangan Abdurrachman Wahid itu, malah memberikan suatu indikasi baru, bahwa ulama temyata lebih mengenal sastra ketimbang ahli sastra yang tidak suka mengenali unsur agama dalam karya sastra yang setiap hari ditekuninya. Jika sekiranya para ahU sastra atau kritikus sastra memiliki ihnu dalam teologi Islam, sestmgguhnya apa yang dikemukakan Syub'ah Asa,"bahwa ulama berada pada satu seberang, sementara budayawan (baca: sastrawan) berada di seberang lain", jaraknya bisa diperkecil. Abdurrahchman Wahid telah memperlihatkannya, sedang di pihak sastrawan, terutama literati sastra, masih tidak beranjak. Sikap moderat masyarakat Islam terhadap sastra, tampaknya sebatas tidak sampai merendahkan akidah, seperti kasus Langit Makin Mendung. Sikap seperti ini barangkali hanyalah asumsi sementara karena sudah ditemukan usaha untuk melarang beredarnya berbagai media yang berisikan pikiran yang tidak sejalan denga pendapat umum yang for mal dalam hal sikap dan pandangan beragama. Misalnya pada wawancara Tegxih Esha di majalah "Zaman". Bahkan, cerita bersambung Teguh Esha telah dihentikan teribitnya pada suatu majalah yang membawa suara Islam karena wawancaranya itu. 128
9'iuulangaM'3'aAiitasi>a*^tl4it!4iJ\ltMm'
t4Uual€i^t>iffa*ttar
Dari berbagai perbedacin dalain memandang dan bersikap inilah komposisi pengiaruh kebudayaan yang berbentuk segitiga genjang dengan form yang masih terus berubah. Kebudayaan Islam yang sesungguhnya moderat serta kebu dayaan Barat yang liberal, berada dalam sisi yang lebih pendek. Selama semangat larang-melarang iiiasih berlaku, sikap tradisonal terletak pada sisi yang panjang.
IV
Saya amat setuju dengan pendapat Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, atau pun Shahnon Ahmad, yang mengatakan bahwa bagi sastrawan muslim berkarya adalah ibadah dan amal saleh. Akan tetapi, saya sulit mencemakan suatu konsep sastra Islam, apalagi sampai merumuskan suatu definisi sebab akhimya suatu konsep atau definisi akan berkembang menjadi landasan huktim bagi pengambd putusan. Jika itu berlaku, sastra akan diarcihkan dan kreativitas akan menjadi mandek. Padahal deilam sejarah perkembangan pikiran da lam Islam atau perkembangan sastra itu sendiri, konsep dan definisi sering cepat menjadi usang karena ditemukannya teori dam ilmu pemikiran baru yang datang demikian cepatnya.
Penamaan pada sastra Islam atau sastra Muslim konotasisnya bisa menjadi lain. Sama halnya dengan pengertian agama itu sendiri. Yang memuut Mukti Ali bahwa penger tian tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberi pengertian agama itu sendiri. Penamaan itu
ak^ bisa menjadi penampilan identitas golongan atau identitas "sastrawan". Keduanya mengandtmg gejala yang
mengkhawatirkan karena merupakan suatu gagasan yang berada di luar cendekiawan.
Ada firman Tuhan dalam Quran yang bermakna "apa
pun perbuatan balk dllakukan muslim, itu adalah pahala. Akan tetapi, tidak ada pahalanya kalau kebaikan itu dilakukan oleh orang kafir." Maka pengertiannya bahwa karya seorang sastrawan muslim adalah juga pahalanya. Tentu saja sastra yang baik, tidak bergantung pada penilaian ahli sastra yang tidak memahami teologi Islam, melainkan pada pesan yang disampaikannya. Jika kita memakai pendapat Abdurarachman Wahid tentang Jalan Tak Ada Ujung bahwa
karya itu memptmyai nilai religius, maka tentulah pengarangnya memperoleh pahala. Besar kecilnya pahala itu, atau bahkan berpahala tidaknya Mochtar Lubis, tidak seorang
pun yang tahu selain dari Tuhan. Dan Tuhan tidak memerlukan identitas Mochtar Lubis serta kategori sastranya berdasar Islam atau tidak.
Andaikata suatu karya ditulis atas dasar konsep dan
patokan definisi, agar sastra itu dapat dikategorikan sebagai sastra Islam seperti yang dilakukan oleh Motinggo Busje imtuk menyenangkan hati suatu lingkungan sosialnya, ma ka sastra demikian tidak lagi menarik imtuk dibicarakan. Saya kira Busje sangat menyadari hal itu. Dalam membicarakan perbedaan paham tentang gagas
an beragama,saya menjadi ingat pada sejarah Islam di kampung saya. Sejak zaman Paderi, lalu tampilnya tarekat Naksabandiyah,akhimya pada masa pikiran rasional dalam 130
Islam dikembangkan oleh Dr. A. Karim Amrullah dan kawan-kawan sejak permulaan abad ini, analog! sejarahnya adalah sama. Paderi tidak memerangi aliran Islam yang telah ada, mereka hanya memerangi kemaksiatan yang telah bersimaharajalela. Dan ketika tarekat Maksabandiyah muncul setelah 10 tahim kekalahan Paderi berperang melawan
Belanda, ulamanya tidak diberi tempat untuk berkhotbah dan mengimami sembahyang oleh ulama terekat Syatariyah, maka mereka membangun mesjid sendiri. Dan golongan Syatariyah yang berkuasa tidak melarang. Dan ketika golongan rasionaUs memasuki gelanggang, polemik dan buku-buku yang saling menuding diterbitkan oleh masing-masing yang berbeda pendapat. Ada kalanya para tdama berdebat di depan umum.Gedung bioskop disewa di siang hari untuk perdebatan itu. Argumentasi diadu. Tidak digunakan fisik untuk memenangi paham karena paham atau aliran itu kerjanya otak. Pada masa itu masyarakat belum sepandai sekarang. Duduk di sekolah menengah pertama saja sudah luar biasa
dalam masyarakat yang buta huruf. Maka menjadi anehlah apabila orang sekarang yang telah bersekolah tinggi lebih mementingkan fisik imtuk memenangi pendapat dan mem bangun larangan-Iarangan imtuk menangkis kritik. Dan apakah dengan perilaku demikian sastra Islam dapat lahir dengan mutunya yang terbaik? Ketika buku Isa di Venus dari Nazwar Syamsu dan majalah Sastra yang memuat Langit Makin Mendung dUarang beredar oleh pemerintah di Sumatera Utara, ulama di kampung saya cuma mengatakan "Kok urang pandia, maka ka *4lUiAalaA>'*s4^unui^
131
pandia pulo aioak." Dan ketika Majelis Ulama Indonesia minta pemerintah supaya melarang beredar kaset dakwah Nazwar Syamsu tahnn lalu, ulama di kampung saya berkata,"Manga dilarang karajo urang. Kok indak katuju, buek pulo dek awak. Buliah urang tahu ma nan harm." Ulama itu ialah H. Hanm al Maany. Simpulan Sastra bukanlah prodtik suatu idiologi atau agama, meskiptm sama-sama bersifat universal. Sastra merupakan produk kebudayaan suatu bangsa yang diakui eksistensinya oleh Islam. Islam tidak membawa konsep kesenian atau ke-
susastraan, melainkan membawa konsep tentang moral tmtuk memperoleh kesejahteraan, keselamatan, dan keadilan di mata dunia dan akhirat. Menurut Islam, Tuhan memberi
kepercayaan kepada manusia tmtuk berbuat sesuatu kebaikan karena kata-Nya "Engkau lebih tahu tentang duniamu."
Konsep dan definisi sastra Islam yang digagaskan oleh literati hendaklah dipandang sebagai ibadahnya sekadar mengingatkan sastrawan pada ayat dalam surah Asy Syuara. Kalau konsep dan definisi itu dipakai untuk menumbuhkan identitas keislarrian atau lebih jauh lagi yakni untuk dijadikan alat berdakwah menurut gagasan formal, maka sastra tidak menarik lagi untuk dibicarakan. Perbendaharaan teologi Islam para kritisi dan ahli sastra tidak seimbang dengan Umxmya di bidang sastra sehingga pengertian rehgius dalam sastra menjadi bersifat antaraga-
132
tMaA€UaU'*s4^aMus^
ma. Hal yang secara prinsipal ditolak oleh penganut islam. Pada sastrawan pun terlihat masalah yang sama. Masyarakat pembaca memiliki reaksi dari sifat kebudayaan tradisional sehingga melihat suatu kritik sebagai suatu perbuatan yang membuka alb sendiri yang tabu dibuka di depzm timum sehingga melupakan bahwa Islam datang dengan membawa kritik terhadap agama yang telah ada. Bahwa Islam dipandang sebagai pembaca seperti benda keramat yang diyakini tanpa tafsir. Pada hal Quran sendiri dihadirkan untuk ditafsirkan oleh akal agar keyakinan tidak semata-mata milik perasaan, tetapi juga milik akal. Dan perbedaan pendapat dipandang sebagai melanggar hukum yang telah ada dan bahkan dipandang sebagai peperemgan terhadap integritas pimpinan keagamaan. Pada hal mazhab lahir dari perbedaan pandangan para imam. Namtm, ada indikasi kuat bahwa sikap pembaca kiem moderat karena sumber ilmu dalam Islam tidak lagi hanya dalam lingkungan sendiri. Sastra tidak mtmgkin membawa misi golongan. Sastra adalah kreativitas individu yang membawa misi yang terkandung dalam lubuk hati sastrawan berkat kerja pikiremnya yang sehat sebagai cendekiawan. Bisa jadi hasilnya
jelek dan keliru, tetapi itu bukanlah suatu kqahatem sebab selain sastra itu akan segera dilupakan orang, juga sastra wan itu mempunyai kemampuan untuk mengoreksi dirinya sendiri, dem merevisi pandangeinnya pada karya yang berikut.
Bacaan
Abdiil hadi W.M. "Sastra yang Beijiwa Islam Itu Bagaimana?" Majalah Horison, Nomor 6/1984,Jakarta.
Abdurrachman Wahid, "Sastra Islam Versus Penyempitan llmu Islam". Majalah Horison, Nomor 7/19M,Jakarta.
A. Hasjmy, Sastra dan Agama, 1980, Badan Harta Agama Daerah Istimewa Aceh,Banda Aceh
Ajip Rosidi, langit Biru Laut Biru, 1977, Pustaka Jaya, Jakarta.
Ali Audah, "Aspirasi Seni Budaya Islam", Majalah Horison, Nomor 4/1984,Jakarta.
Ameer Ali,Syed,Api Islam, Bulan Bintang,Jakarta. Bachtiar Surin, terjemahan & Tafsir Al-Quran, 1978, Fa. Sumatra,Bandxmg.
Dewan Sastra, Majalah,Januari s.d. Juli 983, Kuala Lumpur.
Emha Aimm Nadjib, "Dinasti: Dari Budaya Jemaah Sampai Ayat-Ayat Kesenian," Majalah Homon, Nomor 6/1984.
134
Jifo^
Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita, 1980, Sinar Ha-
rapan,Jakarta.
"Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini" dcdam Satyagraha Hoerip (ed) Sejumlah Masalah Sastra, 1982, Sinar Hatrapan,Jakarta. Haekal, M. Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, 1980, Pustaka Jaya,Jakarta. Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, 1971, Bandxmg. Syahnon Ahmad, "Masalah Kegiatan Kesusastraan sebaged Ibadah",Deioan Sastra, Januari 1983.
."Sastra Islam Berteraskan Pandangan Hidup Islam", Deioan Sastra, Maret 1983, Kuala Lumpur.
Syu'bah Asa, ""tentang Kegiaian Seni Budaya sebagai Ibadjih" Majalah Horison, Nomor 6/1984,Jakarta.
i.y~.
18
MEMBINCANGKAN WILAYAH PENGARANG
Tulisan Dampingan Atas Makalah "Pengarang dan Wilayahnya" Oleh Mochtar Lubis pada Pertemuan Sastrawan 1979 di Jakarta A.A. Navis
Umumnya para sarjana sastra berpendapat bahwa perkembangan sastra Indonesia cukup menggembirakan jika dilihat dari sudut kreativitas. H.B. Jassin mengatakan bahwa perkembangan sastra Indonesia relatif baik Dalam hal ini, Sapardi Djoko Damono pun berpendapat saina, meskipun dengan ungkapan Iain 2. Seterusnya, Umar Junus dengan cara luas mengemukakan perkembangan novel sejak Sitti Nurbaya dari Marah Rusli sampai kepada Ziarah dari Iwan Simatupang,lalu menyimpulkan bahwa kesusasteraan Indonesia telah demikian berkembangnya Bahkan, telah terjadi suatu pembaharuan seperti yang dikatakan Dami N. Toda Jika demikian pendapat umumnya para sarjana sas'Lihat Majalah Prisma, Nomor 4,Tahun VIII/1979. 2 Ibid.
2 Umar Junus,Perkembangan Novel-Novel Indonesia,Penerbit Universiti Malaya,Kuala Lumpur,1974, Halaman.105—111.
^ Lihat Majalah Bahasa dan Sastra, Nomor 2,Tahun 1/1975, Halaman 40— 45
136
tra, tidaklah disangsikan apabila Iwan Siinatupang dan Sutardji Calzoum Bachri memperoleh pengharagan Sastra Asean.
Sebagai produk bangsa, kesuastraan Indonesia telah mempunyai peranan panting dalam pembinaan bangsa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ajip Rosidi Sebaliknya, A. Teuw mengemukakan bahwa perkembangan kesusastraan Indonesia sejalan dengan gerakan nasionalis, serta me-
nyuarakan masalah-masalah dan kejayaan-kejayaan gerak an tersebut
Boleh dikatakan, kata Goenawan Mohamad ^
kesusastraan Indonesia dimulai dengan protes. Bahkan,
merupakan pejuang yang gigih imtuk merebut kebebasan Akan tetapi, para sastrawan sendiri tidaklah begitu gembira akan hasil kesusastran Indonesia. Umpamanya, Idrus dari
generasi Sastraxuan '45 mengatakan bahwa kesusastraan In donesia berada di bawah standar kesusastraan dunia
nerasi yang lebih muda, seperti Wildan Yatim Goenawan Mohamad
Ge
dan juga
menilai bahwa kesusastraan Indo
nesia adalah sebagai produk yang sangat terpencU dari ma^ Lihat Majalah Budaya Jaya,, Nomor 122,Tahun XI/1979. ^ A.Teeuw,Sastra Bam Indonesia, Penerbit Universiti Malaya,Kuala Lumpur, 1978, Halaman. 1—2.
' Goenawan Mohamad,Sex, Sastra, Kita, Penerbit Sinar Harapan,Jakarta, 1980, Halaman 15.
* Lihat S.Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan, Pustaka jaya,Jakarta,1977,halaman 120—138.
^ Diucapkannya pada Pertemuan Sastrawan Indonesia 11 tahun 1974 di Jakarta.
Lihat Majalah Prisma, Nomor 4,Tahun Vlll/1979. '' Goenawan Momamad op cit, halaman 42.
syarakat bangsanya. Sebaliknya, generasi yang lebih muda lagi, Yudistira, mengatakanh bahwa bangsa Indonesia tidak mempxinyai sastra beseir dengan tema besar, seperti yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain 12 Mochtar Lubis dalam prasarannya pada Pertemuan Sastraioan 1979 mengemukakan bahwa wilayah sastra yang belum digarap oleh pengarang Indonesia amat luas. Masih sangat banyak peristiwa yang gelap, yang berkabut, dan yang berdebu dalam kehidupan bangsa Indonesia atau pun bangsa-bangsa lainnya yang tidak terlihat dalam perbendeiharan kesusastraan Indonesia. Bahkan bintik-bintik,caha-
ya yang gemerlapan dalam panggung sejarah bangsa Indo nesia pun tidak menjadi dorongan bagi pengarang Indone sia imtuk menulisnya, seperti patriotisme prajurit bangsa Indonesia dalam menumpas G-30-S, pertempuran sengit da lam membebaskan Irian Barat dan Timor Timur dari penjajahan, atau pun kegemilangan basil pembangxman yang dicapai oleh Orde Baru. Hampir 20 tahun sebelumnya H.B. Jassin telah menge mukakan juga betapa luasnya wilayah yang belum digarap
oleh pengarang Indonesia ^3. Sesungguhnya sejeka pertengahan tahtm 50-an kesusastraan Indonesia diomeli dalam banyak esai. Dan, apabila setelah 30 tahun kemudian masih
diomeli juga, kelihatannya seperti nasibnyalah yang malang. Berbagai diskusi dan seminar telah mencoba mencari
Lihat Majalah Prisma, Nomor 4,Tahun VIII/1979.
H.B.Jassin, Analisa, Sorolan Atas Cerita Pendek, Gunung Agung,Jakarta 1965,halaman 7.
diagnosis dan terapi dalam usaha untuk penyembuhannya, jika kesusastraan itu memang dianggp sakit. Ada pendapat yang mengatakan bahwa apresiasi sastra di sekolahlah yang menjadi salah satu penyebabnya dengan menunjuk kepada bahan pelajaran sastra yang masih bergelimang pada bukubuku yang diterbitkan padamasa atau kurun waktu sebelum Perang Dunia 1 Oleh karaia itu, karya sastra tidak terjual sehingga pengarang tidak dapat hidup dari hasil karyanya. Akibatnya,juga sastra ditulis secara sambilan de ngan pengendapan yang tidak sempuma pula. Maka terjadilah sebagai suatu ironi bahwa sastra Indo nesia yang terbaik bukan ditulis dalam alam kebebasan, melainkan dalam tahanan, seperti lahimya karya sastra dari Mochtar Lubis dan Pramudya Ananta Toer Apa yang Sastrawan Tulis? Untuk mengetahui apa yang sastrawan tulis, saya mencoba mengamati sejtunlah 1.251 puisi yang telah dterbitkan dalam bentuk buku yang ditulis oleh 38 penyair, 173 cerita pendek yang dituhs oleh 70 pengeirang yang dterbitkan da lam bentuk buku dan termuat dalam majalah Horison, serta 38 novel dari 25 pengarang. Semuanya diterbitkan atau ditilang cetak setelah kita berada dalam era Orde Baru Lihatjuga Kesusastraan Indonesia Modem,Suatu Tinjauan dari Luar Jakarta
Seperti novel Harimau!Harimau!, Maut dan Cinta, Keluarga Gerilya, Bumi Manusia dan lain-Iainnya. Alasannya semata-mata karena buku yang diterbitkan sebelum Orde Baru tidak demikian lengkap saya punyai. 139
Secara random 'acak' saya mengategorikan tenna dan masalahnya, yang kemudian dimasukkan ke dalam lajurlajvir. Untuk puisi digunakan 11 lajur, cerita pendek 6 lajtir, dan novel 4 lajur. Tentu saja, pengategorian tidak dapat dilakukan secara tajam, apalagi secara objektif sebab kesusastraan bukanlah semacam benda yang konkrit. Oleh sebab itu, saya sadari bahwa cara itu akan dapat memancing perdebatan. Namun, landasan pemikiran saya dalam me ngategorikan puisi tidak selalu sama terhadap puisi itu.
Umpamanya,"Puisi Pelacur dari St. Pauli"-nya Sandi Thyas adalah berbeda pengategoriannya dengan "Pelacur dari Jakarta"-nya Rendra. Puisi Sandi Thyas dimasukkan pada la jur kemanusiaan, sebab yang menjadi tema dalam puisi itu ialah si pelacur itu sendiri. Sebaliknya, pelacur dari Rendra saya masukkan ke dalam lajur sosial karena yang menjadi pokok dalam puisi itu ialah masyarakat sosial
Dalam
lajur individual antara puisi dengan cerita pendek terdapat perbedaan pengertian. Puisi yang dimasukkan ke dalam lajur individual ialah puisi yang bertemakan kesan-kesan
perjalanan, seperti umumnya terdapat pada puisi dari Wing Karjo dan Slamet Sukimanto. Sebaliknya,lajur Individual da lam cerita pendek ialah kisah pribadi si aku. Demikian pula dalam masalah cinta. Pada puisi, cinta lebih bersifat indivi
dual, sedangkan dalam prosa lebih merupakan masalahnya. Dan dalam cerita pendek saya buatkan lajur Iain-lain, yang "Beberapa puisi dari beberapa penyair seperti Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono,Sutardji Calzoum Bachri,Ibrahim Sattah sulit
saya masukkan ke salah satu kategori,sehingga saya masukkan saja ke lajur Iain-lain.
temanya tentang peristiwa aneh yang real atau inreal, antara
lain seperti Ikan Sesat dari Hamsad Rangkuti. Dengan metode demikian meskipun secara random 'acak', ditemukan data tentang apa yang telah ditulis oleh sastrawan semenjak 15 tahun terakhir, atau setidak-tidak-
nya apa yang diterbitkan. Data yang saya temukan ialah sebagai berikut. a. Puisi bicara tentang kemanusiaan 91, politik 50, sosial 209, internasional 15, keagamaan 90, kesepian 134, cinta asmara 150,kerinduan 164,individual 311, dan ibu 16,Iain-lain 21.
b. Cerita Pendek bicara tentang politik 10, sosial 54, cinta asmara 35,individual 29,perang 1,dan Iain-lain 44. c. Novel bicara tentang politik 5, sosial 11, cinta 11 dan revolusi/perang 11. Dari data yang ada terlihat kecenderungan penyair yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 4 buku kumpulan tidak memuat puisi yang membicarakan masalah yang berada di luar kehidupan penyaimya sendiri, seperti yang terdapat pada kumpulan puisi Ridwan Siregar, Upita Agustine, Arifin C Noer, dan Wing Karjo; 3 kumpulan sangat pelit memuat pui si tentang masalah pribadi penyair sendiri seperti Ikranegara, Sandy Thyas, dan Sides Sudarto; Hampir separuh penyair membicarakan masalah politik, 4 di antaranya yang paling getol, seperti Ikranegara, Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria, dan Sides Sudarto, dan 2 di antaranya juga bicara tentang dunia intemasional. Dari sejumlah penyair, 2 orang di antara nya ikut bicara tentang perang, seperti Leon Agusta dan Syarifudin. Sides Sudarto, Slamet Sukimanto, dan Sandy Thyas tidak menulis tentang kesepian. Ikranegara, Sides 141
Sudarto, Syahrir Latif, dan Yudistira tidak menulis tentang cinta asmara. Masalah politik dan perang tampaknya menempati posisi yang cukup banyak dalam kesusastraan In donesia.
Peristiwa yang paling banyak dikisahkan dalam novel
ialah peristiwa PRRI/Permesta sebanyak 4 novel, peristiwa G-30-S sebanyak 1 novel, peristiwa Perang Dunia I sebanyak 1 novel dan peristiwa Perang Vietnam sebanyak 1 novel. Peristiwa politik yang diangkat oleh novel pada umumnya tentang peristiwa yang terjadi pada periode perang kemerdekaan sampai menjelang Pemilu 1955.
Masalah sosial adalah yang paling banyak diangkat da lam kesusastraan Indonesia. Latar belakangnya ialah pertentangan atau perbenturan antara paham tradisional dan paham baru yang tidak pula demikian jelas arahnya; pertentangan antara orang kecil dan orang kecil lainnya. Sebaliknya, pengarang wanita lebih tertarik pada masalah hubimgan suami istri yang terlibat cinta segitiga. Amalan yang Makruh
Kesusastraan Indonesia modem yang berbenih dari Ke susastraan Barat adalah akibat logis dari suatu perbenturan sejarah dari bangsa yang terjajah atau sedang berkembang
dalam berhadapan dengan bangsa penjajah atau yang sudah maju. Dalam arti kata lain, bangsa Indonesia atau pun kesu-
sastraaimya sedang membarat Jika pembaratan tersebut dikatakan sebagai produk yang sangat erat dengan suasana sosial-politik bangsa Indonesia, mungkin jadi benar. Akan tetapi, apabila hendak dikatakan bahwa kesusastraan Indo nesia mencerminkan aspirasi sosial-politik bangsanya, barangkali hal tersebut perlu dipertanyakan sungguh-sungguh, lebih lagi kalau hendak dikatakan sebagai kesastraan yang memperjuangkan keadilan serta kebebasan atau se bagai kesusastraan yang dimulai dengan protes dan pemberontakan
Aspirasi politik bangsa Indonesia yang radikal imtuk mencapai kemerdekaan bangsa tidaklah terHhat dalam sejarah kesusastraan itu. Karangan bangsa Indonesia yang terkena deUk, semata-mata yang bersifat nonsastra. Salah satu
jfiksi yang terkena delik sehingga bukunya dibredel dan pengarangnya ditawan iaiah novel Mr. Leider Setnangat oleh Maisir Thaib
Namun, karya-karya sastra yang ditulis
Lihat Umar Junus,Perkembangan Puisi Modem,Dewan Bahasa dan Pusfaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur,1976, halaman xvi
'^Lihat Boen Oemarjati, makalah ayang berjudul "Jalur Kedua dalam Penulisan Sastra Indonesia: Gejala Peralihan?", Persidangan Penulisan Asean 1977, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur, 1978, halaman 257--281.
Goenawan Momamad op cit, halaman 42.
St. Takdir Alisjahbana op cit, halaman 123.
^^Novel lain dari pengarang ini yang menghebohkah, terutama di kalangan Islam konservatif, ialah Ustad A. Ma'syuk, yang mengisahkan usaha "skandal" seorang guru sekolah agama dengan murid perempuatmya. Novel Meisir Thaib diterbitkan sebuah penerbit di Medan.
oleh Pujangga Baru atau generasi sebelumnya hampir sama sekali tidak memuat masalah politik itu. Mereka lebih memusatkan pikiran dan pandangan yang membarat. Dan ka-
lau pun terdapat tema pemberontakan, maka yang ditentangnya ialah kehidupan tradisional yang sudah tidak berdaya, bukan penjajahan. Demikian pula Angkatan 45 yang pelapomya ingin menjadi warga dunia yang universal yang pusatnya terletak di Barat pula
Tema ke arah xmiver-
salisme tampaknya tidak sesuai dengan aspirasi Ang/tatan 45 dari kalangan politik. Kalaulah tidak ada karya Pramudya Ananta Toer dan beberapa orang lainnya, hampir boleh dikatakan bahwa Angkatan 45 kalangan kesusastraan akan betul-betul berada di luar revolusi banganya. Golongan yang dinamakan Angkatan 45 pxm hanyalah menantang Or-
de Lama yang telah tertiunpas. Barangkali golongan Manijes Kebudayaan yang lebih konkrit sebagai eksponen kesusas traan yang betul-betul nulitan menantang Orde Lama de ngan segala risikonya 24.
Mungkin juga pendapat ini terlalu tajam dalam memmtut kehadiran sastra yang betul-betul sesuai dengan aspirasi perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman kolonial sampai masa post Orde Baru. Akan tetapL hal itu diperlukan
sebagai renungan kembali terhadap pandangan-pandangan banyak pengamat sastra yang sempat mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan produk dari aspirasi 23 Lihat Surat Kepercayaan Gelanggang,Siasat, Oktober,1950
24 Pencetus dan pendukungnya dikucilkan,sebagai pegawai negeri dibebaskan dari tugas, karya-karyanya dilarang beredar, kehidupannya ditekan dan diintrik melalui berbagai media massa. 144
SRa*u/an^a*»'3'iui*a4
sosial politik bangsa Indonesia yang telah berjuang dengan gigihnya menantang risiko yang paling pahit sekedi pun. Akan dapat juga dipahami mungkin baihwa kesusastraan Indonesia tumbuh dalam lingkungan kehidupan kemerdekaan kreativitas yang tidak sehat. Kekuasaan yang tergenggam dalam tangan pemerintah kolonial dan kemudiannya juga pada Orde Lama tidak mungkin dapat ditulis atau diterbitkan karya sastra yang betul-betui melukiskan aspirasi bangsa yang tengah berjuang. Pada masa peme rintah Orde Baru pim tidak memungkinkan xmtuk itu ^5 Ada apakah sesungguhnya dengan kesusastraan Indo nesia?
Jangankan pemberontakan, protes dan perlawanan terhadap kekuasaan, masalah sosial yang tumbuh alam kehi dupan sekita pun sangat banyak yang tidak dapat ditulis ke daleim kesusastraan dengan bebas. Jika Ajip Rosidi mengatakan bahwa peranan kesusas traan sangat penting dalam pembinaan bahasa Indonesia, apakah itu masih berlaku hingga dewasa ini. Kalau masih, apakah peranan kesusastraan Indonesia dewasa ini sudah memperhhatkannya juga, umpamanya seperti yang diprogramkan oleh pemerintah dalam membma kesatuan bangsa yang tampaknya masih juga belum betul-betui satu, sebagai salah satu contoh saja? Ingat pada kasus cerita pendek "Langit Makin Mendung" dalam majalah Sastra dan kasus novel Orang-Orang yang Terhormat dein Bumi Manusia
seita Anak Semua Bangsa yang dilarang beredar oleh Jaksa Agung yang dilarang dari daftar perpustakaan sekolah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya kira kemerdekaan kreativitas bagi pengarang belum lagi diberikan oleh pemerintah Orde Baru hingga saat ini sehingga karena itu masih banyak buku yang dilarang beredar. Kebebasan kreativitas yang dibutuhkan oleh dunia kesusastraan bukan hanya beliim diberikan oleh pemerintah bahkan seniman sendiri pun tidak menjnikainya bila kita ingat pada berbagai kasus antara lain "Langit Makin Mendung" atau poster kaligrafi Orkes Madun dan peristiwa tarian Putih-Putih Oleh sebab itu, seandainya kemerdeka an kreativitas ptm sudah tidak disukai oleh sastrawan sen diri, maka pemahaman tentang adanya pemberontakan, perlawanan,atau protes yang dilancarkan oleh kesusastraan
boleh dikatakan sama nisbinya dengan kemerdekaan itu sebab setiap pemberontakan, perlawanan, ataupun protes bersxunber pada hasrat imtuk kemerdekaan itu sendiri, ti dak olehalasan lain.
Konsep Kesusastraan Patriarki Barangkali penyebab tiadanya kemerdekaein kreativitas bukanleih kondisi sosial politik di negeri ini, melainkan sistem kebudayaan bangsa Indonesia sendiri, yaitu sistem kebudayaan yang patriarkis, kalau tidak akan dikatakan fe-
odal 28. Sistem itu ialah suatu sistem kebudayaan yang tid^ memberikan kebebasan rmtuk mengambil inisiatif secara 28 LihatH.B.Jassin, Polemik,Pustaka Antara,kuala Lumpur,1972. 22 Lihat Goenawan Momamad op cit, halaman 149—163. 28 Sistem kebapaan, denganketentuan bahwa si bapak hams dihormati dan dideng^ apa perintahnya,si anak hams patuh dan hanya boleh melakukan sesuatu setelah ada restu.
]46
bebas, berpikir secara bebas dan hak-hak dalam menyatakan pikiran, protes ataupun perlawanan walauptin dalam kesusastraan. Kebudayaan pabriarki ini bukan hanya dicinut oleh aparatur pemerintah, tetapi juga oleh lembaga apa pxm juga. Artinya, bukan hanya pemerintah yang tidak menyukai pikiran-pikiran pemberontak, perlawanan, atau protes, tetapi juga kalangan keagamaan, kalangan partai politik yang selalu mengumbar istilah demokrasi, kemerdekaan dan kebebasan, suku-suku bangsa dan ras yang menjadi warga negara. Bahkan, seniman sendiri pxm enggan pada kemerdekaan dan kebebasan orang lain. BarangkaU juga konsep kesusastraan yang cocok bagi bangsa Barat yang menganut azas liberalisme yang dapat
memberikan kebebasan individu untuk mencipta sehingga kalau seseorang atau segolongcin masyarakat yang tidak menyetujui hasil karya tersebut maka yang menentukan larangan ialah pengadilan. Selanjutnya, bangsa Indonesia yang menganut azas kebudayaan yang tidak Barat itu, menuntut suatu konsep kebudayaan yang lain dari Barat. Sama lainnya dengan konsep demokrasi ataupim konsep kebe basan menyatakan pendapat yang kita inginkcin. Mungkin jadi konsep kesusastraan yang sesuai dengan kebudayan kita ialah konsep kesusastraan wayang dan dongeng pelanduk yang memperlihatkan tema pertentangan antara buruk dan baik, yang benar dan yang batil, yang selalu berkecamuk dalam pikiran pelakunya, betapa pun hebatnya, tidak menggoncangkan struktur dan sistem dalam kehidupan. Rahwana yang angkara hanya boleh dikalahkan oleh Rama,tidak boleh oleh Panakawan ataupxm Hanoman, 147
agar mitos terhadap Rama jangan hilang. Demikian pula dengan cerita dongeng pelanduk. Pelanduk senantiasa berhadapan dengein raja hutan yang perkasa dalam membela satwa lainnya yang sedang terancam hidupnya. Pelanduk selalu mendapat kemenangan,tetapi pelanduk takkan menjadi raja hutan. Kalau ada uneg-uneg yang hendak disampaikan oleh rakyat kecil kepada raja, mereka tidak boleh langsung menyampaikannya. Tersedia lembaga formal, yaitu para Panakawan yang dengan gaya humor yang menyenangkan akan menyampaikannya kepada raja pada situasi dan kondisi yang tepat.
Atau juga dalam bentuk cerita rakyat yang akan mengisahkan kehidupan secara lebih reaUstik, tetapi dengan tokoh
yang anonimous dengan peristiwa yang bersifat sangat umum serta dengan waktu yang tidak jelas. Atau, mengerti
dagelan, yang kritik ataupun ejekan diarahkan pada diri sendiri, dan karenanya orang merasa senang.
Berdasarkan konsep kesusastraan yang diperkirakan le bih sesuai dengan kebudayaan Indonesia itu, maka Kisah
Negara Kambing dari Alaxandre Leo atau Puisi Hewan dari Taufiq Ismail ^9 mungkin merupakan jenis kesusastraan yang perlu dikembangkan. Hal itu disebabkan oleh peranannya sebagai media kritik atau protes sosial yang dapat menampung apresiasi sosial masyarakat di samping kebebasan kreativitas yang dapat dirupakan. Yang terpenting tidak seorang pun merasa tersinggung, malahan dapat
membangkitkan tertawa yang terpingkal-pingkal, setidakPuisinya dibacakan pada pesta Puisi Asean di Jakarta tahun 1979. 148
nya sen5aim. Atau mungkin juga novel Harimau! Harimau! dari Mochtar Lubis dan cerita pendek Nasehat Untuk Anakku sebagai contoh kebebasan kreativitas yang sesuai, karena tokohnya anonimous dengan peristiwa yang sangat umum serta masa kejadian yang tidak jelas, sebagaimana yang terlihat pada konsep cerita rakyat. Sebagai Alternatif Meskipun pada umumnya para sastrawan terus mengomeli kehidupan kesusastraan Indonesia; sebagai terpencil, sebagai kerdil, dan jangkauan wilayahnya yang sempit, tetapi para ahli sastra senantiasa berpendpat lain dengan mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia berkembang dan modem. Perkembangannya, jika dilihat dari strukturnya, ide tidak lagi penting atau bahkan ditolak sebagai suatu yang haram. Dengan demikian, karya sastra dari Iwan Simatupang seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, atau seperti cerita pendek Godlob dari Danarto ataupun puisinya Sutardji Calzoum Bachri telah berdiri paling depan sebagai puisi Indonesia mutakhir. Bagi para saijana kehadiran kesusastraan telah menimbulkan suatu keasyikan tersendiri dalam meletakkan sastra sebagai objek. Keasyikan para sarjana sastra ini bagaitnana pun juga, dengan sendirinya telah merangsang penyaiir lainnya bertumpu pada mencari bentuk yang paling baru, atau setid2ik-tidaknya yang paling lain. Dan selanjutnya, mereka berjuang untuk diakui kehadirannya dalam khazanah kesu sastraan Indonesia. Perjuangan mereka bukan tidak sengit, sehingga memuncak pada peristiwa "Pengadilan Puisi" di
Bandtmg tahxm 1975. Peristiwa yang menarik itu memberi buntut pada peristiwa-peristiwa baru secara beruntun, terutama dalam peristiwa ptusi. Puisi tidak lagi hanya dittdis, juga telah dirupakan dengan alat peragaan, dinyanyikan dengan menggunakan alat musik, bahkan juga dipajang seperti seni lukis. Puisi pun dapat berupa permainan kata yang dipermain-mainkan 3°. Dengan segalanya itu puisi betul-betui menemukan kemerdekaan kreativitas, sedangkan prosa telah begitu jauh
tertmggal di belakang. Karena prosa masih terpaku pada ide dan tema dalam proses penciptaannya. Dengan demikian, pada dasamya sastrawan telah membelenggu, mimgkin juga mengkerangkeng dirinya sendiri dalam kekerdilan jiwa dengan pengalamannya, juga oleh sistem kebudayaan bangsanya yang secara tradisional menganut sistem "kebapaan" yang memberikan "pengayoman." Penutup
Oleh data yang saya sustm secara "random" itu, pikiran saya tergoda karena betapa jauh jaraknya antara pandangan A.Teeuw sebagai seorang ahli sastra dengan Mochtar Lubis sebagai seorang sastrawan yang selalu terlibat dalam masalah sosial-pohtik bangsanya sendiri. A. Teeuw mengemukakan fakta, meskipun tidak seluruhnya, bahwa kesusastraan Indonesia sejalan dengan gerakan perjuangan bangsa Indonesia. Seterusnya, Mochtar Lubis seolah-olah hendak
mengatakan bahwa betapa sastrawan telah jauh tertinggal Lihatjuga Goenawan Momamad op cit, halaman 36
peranannya sebagai cendekiawan bangsanya. Pada data yang saya susun, cenderung menunjukkan arah pemumian sastra sebagai sastra yang modern tanpa predikat lainnya sehingga terlihatlah bahwa pengkajian A. Teeuw hanya terbatas pada kesusastraan modern masa lalu, dan Mochtar Lubis terpaut padanya, sedangkan kesusastraan yang dirintis sejak kini untuk masa datang tidak lagi hendak mempedulikan masalah yang berada di luar masalah penciptaan individual yang tak tergugat. Jika pendapat A. Teeuw tidak disejalankan dengan pendapat Mochtar Lubis, maka pendapat A. Teeuw mimgkin jadi benar bahwa sastra dan sastrawan akan selalu merupakan produk dari kehidupan sosial-poUtik masyarakatnya, apabila ditafsirkan bahwa penjurusan sistem sosial-politik yang sedang berkembang dewasa ini sedang diarahkan pa da disiphn spesialisasi yang profesional. Hal itu dimaksudkan bahwa setiap masalah hanya akan diurus. Umpamanya, seperti halnya masalah poUtik bukan lagi masalah idiologi, tetapi program dari organisasi politik di DPR, ma salah ekonomi ialah memproduksi dan jual-beU yang dikelola oleh Kadin, masalah sosial menjadi tugasnya yayasan, sedangkan masalah masa depan ialah masalah warisan yang lagi di konsep oleh Bapak xmtuk anak-anak yang bakal menggantikannya di kelak kemudian hari. Lalu, masalah sastrawan ialah kreativitas di bidangnya masing-masing se perti yang dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi, Iwan Simatupang dalam novel, dan Danarto dalam
cerita pendek Dengan demikian, tugas kecendekian bukan lagi bebarmya sastrawan masa depan secara seutuhnya. Hal ini hanyalah suatu tafsir, bukan suatu perkiraan.
Daftar Fustaka
Ajip Rosidi, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia,Pustaka Jaya,Jakarta,1970.
Bahasa dan Sastra, Majalah, nomor 2, Tahun 1/1975,Jakarta. Budaya Jaya, Majalah, Nomor 42,Tahim Xn/1979,Jakarta. Goenawan Mohamad, Sex, Sastra, Kita, Penerbit Smar
Harapan,Jakarta,1980,
Jassin, H.B. Analisa, Sorotan Atas Cerita Pendek, Gtmung Agung,Jakarta 1965.
Jassin, H.B.,Polemik,Pustaka Antara,Kuala Lumptir,1972. Penyair Muda di Depan Forum, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta,1976.
^'Lihat H.B.Jassin dalam "Beberapa Penyair Didepan Forum",Penyair Muda di Depan Forum,Dewan Kesenian Jakarta,Jakarta,1976, halaman 15-35 dan juga Goenawan Momamad op cit, halaman 36.
Persidangan Penulisan Asean 1977, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lvimpur,1978.
Prisma, Majalah Nomor 4,Tahun VIIl/1979,Jakarta.
Takdir Alisjahbana, S. Perjmngan Tanggung Jmvab Dalam Kesusastraan, Pustaka jaya,Jakarta,1977. Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia, Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur,1978.
Umar Junus, Perkembangan Novel-Novel Indonesia, Penerbit Universiti Malaya,Kuala Lumpur,1974.
Umar Jimus,Perkembangan Puisi Modem, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur,1976.
19
DEWAN KESENIAN JAKARTA: MENINJAU MASALAH SOSIOLOGI MENINGKABAU DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA
A.A. Navis
Pengantar
Saya bukanlah orang Minangkabau jika diartikan dalam susiman adat yang matrilineal itu. Akan tetapi, saya lahir dan hidup di sana tanpa sekalipun bermukim di daerah Iain di Indonesia ini. Saya telah merasakan benturan-benturan orang Minangkabau dengan adatnya dalam merangkul dunia-dunia Iain yang dengan gempitanya merasuki kehidupan orang seorang. Meskipun kadang-kadang adat itu demikian keras memalun warganya sehingga sering terjadi perlawanan dengan cara berhiba hati, kenyataan-kenyataan perlawanan ini tidak membangkitkan kebencian-kebencian, malahan kecintaan kian bertambah. Seolah ada suatu kegiatan magis yang tak mudah dijangkau apabila melihatnya dengan suatu prasangka atau ptm secara sepintas lalu saja. Novel-novel Indonesia dan buku teks telah menyebarkan paham yang negatif terhadap keangkeran adat Mi nangkabau tersebut kepada berjuta orang dalam bangku sekolahnya. Saya kira, terhadap suku daerah lainpun banyak juga novel-novel Indonesia yang mengisahkannya se-
cara tidak tepat, yang diperlukan pula pengkajiaimya oleh para ahlinya agar buku teks kesusasteraan Indonesia dapat mengemukakan analisisnya dengan tepat. Justru karena itulah, saya membicarakan masalah ini kepada Pengurus Harian DKJ pada suatu saat, yang rupa-rupanya cukup tertarik dan minta saya untuk tampil hari ini di sini. Beberapa istilah yang umum, telah saya ubah dalam pandangan saya ini, guna menghindarkan pengertian yang tidak sejalan. Umpamanya, tentang istilah SUKU,saya ambil dua pengertiain dan memisahkan dalam istilah baru, yakni Stiku-daerah, saya maksudkan tmtuk menyebutisan Suku Minangkabau seumumnya,seperti untuk Suku Bugis, suku jawa, dan sebagainya, sedangkan suku Adat, saya maksudkan semacam clan di dalam masyarakat Minang kabau sendiri.
Pendahuluan
Dal2un, berbagai buku teks Kesusastraan Indonesia, umumnya menyatakan bahwa novel Indonesia yang ditulis oleh putra Minangkabau pada awal sejarah kesusastraan modem, mempakan novel yang menentang adat Minang kabau. Fendapat demikian timbul oleh karena dalam novel tersebut adat telah dilambangkan sebagai suatu pola kehidup£tn yang menolak kemajuan, kemajuem dem nasionalisme Indonesia yang dipeijuangkan oleh kaum cendekiawan yang berasal dari Minangkabau. Pandangan yang dikemukakan oleh buku teks, diperkuat oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menen tang penjajahan yang sekaligus menentang kekuatan lemba-
ga tradisional yang dapat diperalat oleh penjajah. Cita-ciia Indonesia yang diperjuangkan oleh Putra Minangkabau sekaUgus pula berbentrokan dengan lembaga tradisional di tanah kelahirain mereka, yakni adat Minangkabau. Bentrokan itu melahirkan suau penyakit, yang disebut oleh Dr. M. Amir sebagai "Minang Complex" di dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai pada artikel yang membicarakan almarhtm Dr. A. Rivai dan H. Agus Salim. Kebangkitan nasionalisme Indonesia timbul berbarengan dengan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang tumbuh dengan suburnya di Minangkabau^ Keduanya langsung bentrokan dengan paham tradisional. Bahkan, ahran pembaharuan ajaran Islam yang dipelopori oleh Tuanku nan Renceh selaku pencetus Perang Paderi pada akhir abad ke-19, juga bentrokan dengan hebat dengan kaum tradi sional ini. Meskipvm banyak Kepala Adat Minangkabau
berpihak kepada Kaum Paderi, lebih banyak lagi yang menentangnya dan bahkan ada yang meminta bantuan kepada Belanda xmtuk mengalahkan Kaum Paderi tersebut, yang sekaligus juga menaklukkan seluruh wilayah Minang kabau xmtuk dijadikan daerah jajahannya. Di samping itu, bilamana kaum cendekiawan Islam
ataupun nasionalis yang berasal dari Minangkabau ditangkapi dan dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka di
pihak lain kaum tradisional yang dipimpin oleh Kepala Negeri (Kepala Desa) dan kepala Adat dengan kepatxihannya yang tinggi, mereka berbaris dengan pakaian kebesarannya di sepanjang jalan merayakan Hari Lahir Ratu Belan da dan mengelu—elukan kedatangan Gubemur Jenderal. 156
Maka Minangkabau senantiasa terjadi pergolakan segitiga yang berlangsung dengan cukup sengit hingga akhix jaman Pemerintahan Piindia Balanda,semenjak Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan. sekolah-sekolah akhir abad
yang lalu, yaitu antara golongan surau yang berorientasi pada pembaharuan ajaran Islam, derigaft^longa terpelajar yang berorientasi pada peradaban.Belanda dengan golong an tradisional yang mempertahankan adat Minangkabau. Bahkan, pengikut dari ketiga golongan itu dengan mengenakan pakaian tersendiri mengenalkan identitas golongan mereka seperti yang dilukiskan dengan tepat oleh Hamka dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (hal. 74), merupakan suatu sikap hidup yang saling ingin menunjukkan bendera pertentangan yang tak putus-putusnya. Ketika ahli-ahJi sastra menulis buku-teks Kesusastraan
Indonesia, mtingkin mereka terpengaruh juga pada pengenalan sejarah pertentangan itu, novel-novel Indonesia yang ditulis oleh putra Minangkabau pada masa permulaan sejarah Kesusastraan Indonesia Modem, memang dapat me-
^
nimbulkan anggapan bahwa adat Minangkabau simgguh jahanam. Hampir seluruh novel pada masa itu telah menuliskarmya demikian. Kesan yang sama dengan ahli-ahli sastra Indonesia dalam memberikan alasan yang mengatakan bahwa adat Minangkabau adalah menghambat kemajuan, dapat pula menimbulkan pendapat bahwa orang Mi nangkabau sebetulnya tidak perlu melakukan program Keluarga Berencana karena dalam semua novel-novel yang ditulis tentang masyarakat Minangkabau hampir semua pelaku,termasuk ayah-bundanya, mempakan anak tunggal.
Hanafi dan rapiah dalam Salah Asuhan anak tunggal, Sitti Nurbaya dan Sayamsulbahri dalam Sitti Nurbaya, anak tunggal. Asri dan Asnah dalam Salah Pilih, anak tunggal. Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck anak tunggal; juga Zainab dan Hamid dalam LIndungan Ka'bah. Pandangan demikian, disampaikan oleh seorang antropolog, Ny. Koester Postel pada saya, pada suatu ban. Beberapa Fakta Dalam masa permulaan Kesusastraan Indonesia Mo
dem, novel-novel yang ditulis oleh putra Minangkabau pada umumnya mengambil kisah asmara sebagai tema utamanya dengan berbagai variasi. Cinta remaja yang terhalang, perkawinan yang gagal, pembangkangan anak muda pada orang tuanya karena asmara dan sebagainya adalah merapakan variasi dari tema utama novel pada masa itu. Yang selalu jadi penghalang dari asmara, kebahagiaan suami-istri, dan yang dilawani, ialah adat Minangkabau yang dianut oleh orang tuanya. Setelah setengah abad usia Kesusastraan Indonesia Mo dern, apa yang diungkapkan oleh novel-novel tersebut, masih terus terjadi. Bukan hanya terjadi pada kehidupan pemuda yang bersekolah rendah saja, bahkan pada pemuda yang telah menamatkan sekolah tinggi pvm masih terjadi. Pada tahun 1954,suatu Kerapat Adat dari Nagari(Desa) Rao-Rao yang terletak antara Bukittinggi dan Batusangkar, telah mengambil putusan tmtuk melarang pemikahan penduduk negeri itu dengan orang luar dari negerinya. Pada tahun 1967, orang-orang terkemuka dari Nagari Banu Ham158
pu
Bpkitj^ggi)jtelg^ me^ghijpppp
di Sumafra B^at
0^:
h^angi. p^kawinaini ap^ ippda yapg Jberaaal dan.Nagari Bapu Hampu dengarv pjapg luar Naga^^^^^ i^eipapg tidaksap^Baikeluarspata putasap seppr4^^yang;tei|adipa.^^ Nagariv^ap-Rap/ te^pi• telah dikhirkap.?uatpsppeal, agar ppmuda-pepiuda;yapg Nagari Bapp Ha?®?' kayhpnda]k:-p^ep^ piliWah gadis,dan;i;apipupgjtialan^^ nyapadapnpritaspertama, ,-;r,.;ia;:^.s Kawin paksa seperti yang dialami Sitti Nurbaya, Hapaf|,> dan lamplappiya masiJi rtprps..beri®gsppg, Bukap saja tprha(^p.analfc pipda^.^^^k^^ seJ^laht^yepdahj alpu ffliapepgah^
l^aJ^ap b^yak sapaPP
Pi^PPWPS "bPsib" yang dppvi-
,..j Sejaj^ sprapgap perltama pjieh poyejl, Jpdpppa^;teyt^adap adat-Mipap^abaPz'S^^^ '?!®ypl'».pwftp'pnte Mipangk^aP; ;y^®S .tipggj (feyijly^arah,.Rngji,i^b^pl;Mp^,|N sa}a?rf>jepgpf®g-pfngarapg 1fodppesia • pa^a^^piasa iPA«;iSfaippn;,il^ipbaga< Adat:y.®g.'4jJ^ehiai plehf^Cepala
bpygeJIaPLtSatnki,iPi^; ya^^gfjpnlahe),fPJFB?;:!?6rgPPd PPbi^;P^pppypsjcap. yang:;telab hiJa^iS- j Mppprpj; kpteyapgap:: i^tpa;Lennbaga,,Adat A^pi MipapgkpbaP' P^wg y®^ ^?g?Jp^, Rapdc karpna jabatappyp jSelakn.-Kepala;Adat .dewasa f^dakj kurapg da?i;20-Q<3ft■pr®g-: Ar^ya,: dan -%,500 prapg pendudplsi ^Spr maPa Barat terdapat prang yapg, mepiangku jabata'' tersebut. Banyak tokoh-tokoh penting dalam masyarakat Sumat^
159
AaM - -i®uV='Bi^ySlc'''sai^^ ildfffoi:,
Dafiflii yai^^b^r^
ia3PlE>^b®?Bak^id'|>eSjn^ iedfiSig'Ffesiaeli'-Re][^Blik7ffi^d^ - P8MSMaW#ifett''SieM^MeMgn 'iaibiiyM7l€?|)felS S^aibBal^^RlfeyaC'
SiidiWS= B^'M-be^^M Bahkan, Ketua Majelis Ulama InddftfeSiia^kffiS-j^g i ni9q:?c t^aq nlw/qi -K' -t:.
'Xiilp
terpendam hampir 100 tahun lamanya.
^
qsopjeiSA]d®IltFt-«iiate Mk6fj/'kiff-fil^ihMdb|y^e^^ ini, Mliiib-lktel^KtualldtS's^&^wM'kktnt]^ iiSfli^^* Mdddie^ia^
iT^'^<^^MIbkftgJ^bau,y£ibg'-k^Mxidi^'dmd3!a^^ dg^ab^ ke'd81aSdb^yik¥t6v^l.'0fid'=MdHd^^ftd^iel^ Ikfflf- Ikhk'IaK^ ^ittlidi^-bidsti-^eKiadh'dStt d^^S^ii#s^ayy^^g-a^hgaMkad'daM'MeigS^^ litifikligMbdd'^^gbM^ng dbnitei#'^d!^^'sfebagamy^^^^ -Sfejafe-^bdkti-bUlcd ■ ^tSRs' teirsebtit
dib^i:^/ jut^ii Midri icerideida#^- Mdbne^^ fel^ ^befifebttk^- t^tfflkg- xnas^ldK''tefsfebiit/ sedatigk^ fakl^i^a;-^Bai lii^ak -f^iinya, l&vgga sekafarig ad^f M&ranj^Md i3:]^ih Mett]^afe^.keMdupan Wai!g®ya7
150
S^iiiui€un^ainr3iM6iMMMtMgnr9fiits4itAiM»iir
- " :: a r;
^bewan^t^Ceaeniasi^
Perubahan demi perub^an yang telah terjadi di tanah air kita, sesungguhnya telah mengubah pola segi-segi kehi-
dupan warga MLrtangkabau di kampung halamannya sehinga suasana yang "gelap" seperti yang diungkapkan oleh novel-novel masa lalu itu, tidak berlaku banyak atau tidak seketat masa lalu itu, Meskipun berbagai kelonggar^ telah teijadi dalam hubungan perkawinan, tetapi kelonggaran yang tampak itu, bukanlah masalah yang paling ideal da
lam pandangan umximnya orang Minangkabau seperti yang nanti akan saya uraikan. SusunanAdat
Sebelum meninjau masalah pokok dan pandangzm ini, kiranya perlu diungkapkan lebih dulu tata hidup yang diatur oleh adat Minangkabau agar.permasalahjin dapat di&ijau d£ilam suatu ukuran yang sama. Adat menurut pemahaman orang Minangkabau, tidak
sama dengan yang diungkapkan oleh kamus yang pernah terbit di tanah air kita. Bagi orang Mincuigkabau,istilzih adat mengandung arti untuk segala tata-kehidupan baik Femerintah, sosial, maupun ekonomi. Dari tata kehidupan yaiig diatur oleh adat itulah terbentuk tingkah laku orang kfinangkabau. l.TataPemerintahan
Menurut adat Minangkabau, tata pemerintahan diatur secara demokrat dan dengan susunan otonomi yang luas bagi setiap Nagari, setiap suku-adat, sejtiap Kepala Adat, bahkan setiap orang. Setiap orang adalah sama. Di dalam
persoalan apa saja yang sesuai dengan aturannyanya setiap orang, bukan saja harus berhak untuk diajak serta, tetapi wajib diajak serta. 2. Tata Sosial
Setiap orang adalah warga kaumnya yang terdiri dari berbagai suku. Setiap suku-adat bertanggung jawab atas kehidupan sosial warganya dan mendapat dukungan dari Pemerintah Nagari dengan menggunakan sanksi hnkumnya. Pengertian bertanggung jawab atas kehidupan sosial adalah menjamin martabatnya sebagai warga, agar tidaV kalah dengan siapa pun juga. Tidak kalah dengan siapa ptm juga, mengandung pengertian pula, bahwa tidak seorang pun berhak untuk mengalahkan yang lain. Karena sifat manusia ada yang berprestasi tinggi, maka orang-orang
lainnya yang masih belum berprestasi, senantiasa didorong agama untuk berprestasi pula sehinga terjadilah perlombaan (kompetisi) dalam membuat prestasi yang sehat karena tidak ada satu sugesti, agar prestasi orang atau kaum
lainnya yang menonjol agar dibabat supaya gagal. Yang dilakukan ialah memburunya, agar setiap orang atau kaum tetap berada pada tingkat yang sama. Di samping itu, hubungan seseorang dalam masyarakamya,tersustm ke dalam
suku-adat yang menghimpun setiap orang yang sedarah menurut garis-ibu (matrilineal). setiap orang harus membela martabat suku adat mereka agar tidak lebih rendah dari
suku-adat yang Izdn. Hal ini menumbuhkan rasa bangga akan suku-adatnya secara fanatik. Dalam mencegah diauvinisme yang mtmgkin terjadi karejia semangat kompetitif, 162
seperti yang lazim terjadi pada suku-stiku bangsa lain dalam sejarah dunia, maka adat manetapkan bahwa setiap oremg tidak boleh menikah dengan orang yang sesuku-adat. Dengan demikian, teijadilah perkawinan antarsuku-adat,
yang sekaligus setiap orang yang berbeda suku-adatnya di suatu desa menjadi sekeluarga besar, sebagai ipar atau se-
bagai besan. Karena dalam suatu Nagari (Desa) terhimpun secara minimal empat macam suku-adat, yang semua war-
ganya telah mempunyai hubtmgan kekerabatan, dengan sendirinya pula warga setiap Nagari (desa) terdiri atas orang-orang yang pasti mempunyai hubtmgan genetik. Tidak mtmgkin terjadi orang luar menjadi warga Nagari secara penuh. Hal itu bisa terjadi apabila setiap orang luar telah menempuh proses integrasi yang ketat atau menempuh proses asimilasi. 3. Tata Ekonomi
Ekonomi dibangtm secara komimalisme dari suku adat masing-masing, tanpa mengurangi hak-hak individu. Misalnya, suatu usaha agraris dibangun oleh suami-istri imtuk kehidupan mereka. Kerabat dari kedua belah pihak hak akan wajib membantu. Kekayaan atau harta benda dari usa ha kedua orang yang bersuami isteri ini, kemudiannya men jadi milik tunmannya sebagai warisan. Bahagian dari si suami jatuh menjadi milik keponakannya (kerabat sesukuadat),sedang bahagian yang menjadi milik istrinya, menjadi warisan dari anak-anaknya yang perempuan, sedangkan
anaknya yang laki-laki hanyalah menjadi pengurus. Sistem ini disebut "suarang dibagi". Adat juga mengatur sikap
hidup terhadap harta warisan ini agar tidak jatuh menjadi milik orang lain dnegan laranga menjualnya. Kalau hendak digadaikan karena kebutuhan yang dibenarkan oleh adat pula, hendaklah digadaikan kepada anggota kerabat sendiri pada prioritas pertama, sedanagkan prioritas terakhir kepa da orang sedesa. Dengan cara demikian, watak hak milik orang yang paling berbeda snku-adatnya, seperti sawah atau ladang, berbaur seperti tempat kediaman mereka di
dalctin keunpting. Laki-laki bujangan dianjurkan agar pergi merantau untuk mencMi harta bagi dirinya sendiri guna modal bagi gerbang perkawinannya. Pada mulanya saat merantau ini, ialah antara suatu misim habis mengolah sawah dengan waktu menyabit, dan antara waktu menyabit dengan musim turun ke sawah lagi. Setipa orang muda yang pergi merantau senatiasa dimodali oleh kerabatnya, dalam hal peranan utama dalam mamaknya (saudara lakilaki dari ibu). Sistem demikian berkembang kepada perdagangan di rantau yang jauh sekalipim. Demikianlah pola hidup yang menjadi dasar seluruh kegiatan orang Minangkabau secara utuh, hingga telah me-
lembaga menjadi kebudayaan. Dan kebudayaan inilah yang dikatakan oleh orang Minangkabau sebagai adat, yang membentuk tata hidup sejak cara berpakaian, mencari naf-
kah,hingga cara berpikir dan tingkah laku dan wataknya. Ada suatu istilah yang tepat, yang telah dipopulerkan oleh Gimemur Hanm Zain pada awal jabatannya, yang menjadi menonjol sebagai titik tolak hampir pada seluruh kegiatan dan tiagkah laku orang-orang Minangkabau, yakni "harga diri", sebagai orang, yang meluas terus-menerus ke 164
dalam kelompok-kelompok masyarakatnya yang tidak tradisional atau yang tradisonal seperti kaum keluarga, kaiim kerabat, suku-adat, Nagari, dan akhimya kepala wilayah Pemerintahan yang lebih luas. Pemahaman seperti yang menggunakan istilah "harga diri" ini memikul bebiin tmtuk terus-menerus berkompetisi dalam berprestasi ataupxm yang bersifat sekadar suatu prestise/status sosial saja. Dalam berkompetisi tmtuk memikul makna "harga diri" ini, telah timbid berbagai kegiatan sosial di Minangkabau atau di perantauan,sejak dari soal-soal yang produktif hingga kepada yang hampir konsumtif. Umpamanya hal-hal yang berikut ini. 1. Setiap nagari(desa) saling berlomba untuk membangun proyek-proyek sosial seperti sekolah dan klinik kesehatan, yang motivasinya ingin membuat nagarinya agar lebih maju atau mengatasi ketinggalan dari nagari lain sehingga proyek-proyek sosial yang demikian menjadi sangat merata di seluruh pelosok Sumatera Barat, dan lebih bemyak dari propinsi lainnya di Sumatera jika dinilai dari persentase penduduk. 2. Setiap keluarga, kerabat, kaum sesuku-adat mendorong anak kemenakan mereka untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang paling tinggi, tanpa memperhitungkan mampu tidaknya mereka untuk membiayainya karena yakin akan kelaziman bahwa apabila sudah dimulai, tentu akan datang bantuan-bantuan dari keluarga, kera bat atau anggota kaum untuk ikut serta bergotong-royong sehingga bukan aneh apabila ada anak tukang sayur ketengan, penjual gado-gado, sopir bus, yang me-
nyekolahkan anaknya ke sekolah tinggi. Jika di antara anak muda itu ada yang menyelesaikan sekolahnya sampai menjadi sarjana, seluruh kerabat, kaum, bahkan penduduk nagari merasa bangga sekali. Pemah terjadi seorang gadis yang menamatkan studinya di Fakultas Kedokteran USU,dipestakan oleh nagari(desa) asalnya. Bahkan, penduduk desa yang sangat terpencil sekaliptm,yang tak pemah ada kendaraan bermotor masuk ke Sana, telah mempunyai warga kelahiran desa itu yang bergelar sarjana. 3. Di perantauan sudah biasa terjadi solidariatas yang akrab sekali antara orang-orang Minangkabau dalam membantu orang seasalnya karena dorongan kewajibankewajiban sosial untuk memelihara martabat bersama yang mereka namai "harga diri" itu. Bantuan-bantuan
dari orang perantauan ini bukan hanya berlaku bagi warga seasal yang berada di rantau, tetapi juga dalam membantu "nagari", suku-adat, kerabat mereka di kamptmg halaman. 4. Kesengsaraan anggota masyarakat Minangkabau, dirasakan sebagai kesengsaraan mereka sendiri. Kehinaan yang menimpa seorang anggota masyarakat mereka,
diras£ikan kehinaan bagi seluruh mereka. Orang Mi nangkabau akan marah jika melihat anggota masyarakat mereka menjadi pengemis atauprm pelacur. BCalau hal itu tidak bisa diperbaiki, maka mereka serentak mengatakan bahwa "orang-orang sesat" itu bukan "orang awak" yang tulen. Orang Minangkabau lebih suka melihat "anak kemenakannya" bekeija sebagai penipu 166
Q>ewa^Cf(e^eniian^
atau pencopet daripada bekerja sebagai pengemis atau
pelaeur karena basil dari penipu atau pencopet dipand^g sebagai hasU kecerdikan. Sebaliknya, pengemis
atau pelaeur itu akan membohongi orang tentang asalusulnya, kerabatnya, atau desa asalnya, agar jangan sampai mendapat malu karena tingkah lakuriya yang hina itu.
Perkawinan yang Ideal
Tema pokok daii novel Indonesia yang ditulis oleh pengarang yang berasal dari Minangkabau pada awal sejarah Kesusasteraan Indonesia Modem, iaiab "asmara". Karena
pengarang itu berasal dari Minangkabau, lokasi dan pelaktmya serba Minangkabau. (Lihat juga Harry Aveling dalam Budaya Jaya, No. 9511976 dengan judul "Kebiasaan Kesusasteraan dan Nilai-Ndai Masyarakat dalam Novel-No
vel Indonesia yang Menceritakan Masyarakat Minangka bau").
Dengan berbagai variasinya asmara remaja itu terhalang atau dihalangi hingga mengucurkan air mata pembaca, setidak-tidaknya rasa ikut bersedih dengan para pelaku da lam novel itu sedangkan asmara yang tak terhalangi disambut dengan senyum. Dan yang selalu dijadikan penghalang kebahagiaan pelaku dalam novel tersebut,ialah adat Minangkabau sehingga akan senantiasa terkesan dalam sanubari pembaca bcihwa adat Minangkabau itu betul-betul jahanam, karena arti kebahagiaan orang yang telah berpendidikan dan anti perkawinan yang nasionalistik.
Betulkah adat Minangkabau begitu keras hukumnya terhadap masalah perkawinan seperti yang diungkapkan dalam novel-novel itu?
Adi Negoro dipandang sebagai pengarang yang pertama tmtuk membenarkan perkawinan antarsuku dan antardaerah, sebagai kelanjutan perjuangan dalam memilih te-
man hidup yang selalu digambarkan sebagai ditentang oleh adat Minangkabau. Padahal dalam kenyataan yang telah tumbuh dalam masyarakat Minangkabau sebelum semua novel Indonesia modem ditulis, telah teijadi banyak sekali kawin campuran antara suku daerah dengan orang Minang kabau. Dari perkawinan campuran itu telah lahir tokohtokoh nasional seperti Moh. Hatta, Moh. Yamin, Mr. A.
Karim,ayah bimda Has)dm Ning,dan sebagainya. Bangsa-bangsa di dunia ini, senantiasa punya pola per kawinan yang ideal. Kenapa pula orang Minangkabau ti-
dak. Perkawinan anak raja tentulah dengan anak raja pula. Bahkan orang Inggris pada masa 40 tahrm yang lalu tidak suka melihat rajanya kawin dengan perempuan biasa. Kenapa pula orang Minangkabau harus dipaksa supaya suka. Orang Minangkabau pun punya pola perkawinan yang ideal. Perkawinan yang ideal, ialah perkawinan anak
dengan kemenakan. Urutan selanjutnya, dengan sesama anggota kerabat, sesama sekampung, sedaerah, sebangsa asal tidak bertentangan dan agama Islam.
Ada banyak perkawinan yang dihalangi meniuut ajaran adat Minangkabau. Selain dari yang bertentangan dengan ageuna Islam, ialah perkawinan orang yang sama sukuadatnya. Di samping itu, ada perkawinan yang menjadi 168
tAeMHAr
pantangan menurut etika adat-adat Minangkabau, ialah
menikahi janda yang diceraikan anggota keluarga, anggota kerabat, anggota kaum dan stiku, tetangga sejorong {zoijk) mempoligamikan orang sekeluarga, sekerabat, sekaum dan sesuku,setetangga. Jadi, apa yang dilukiskan oleh novel itu, bukanlah pertentangan antara kaum terpelajar dengan ajaran adat Minangkabau secara prinsipil, melainkan perbedaan pandangan terhadap perkawinan yang ideal antara ajaran adat dan anak-anak muda yang telah berpendidikan. Novel yang betul-betul menukilkan pertentangan seczira prinsipil dalam perkawinan ini ialah novel Salah Pilih dari Nur St. Iskandar. Dalam novel itu Nur St. Iskandar telah menikah-
kan Asri dan Asnah, dua orang yang sekerabat yang senna suku-adatnya.
Perkawawinan yang ideal menurut adat Minangkabau, bedasarkan kehendak-kehendak sistem ekonpmi dan sistem
sosial, yang mempunyai kebanggaan yai\g terarah, karena dorongan semangat kompetisi.
Dari sudut kepentingan ekonomi, perkawinan seperti itu bertujuan agar kekayaan yang menopang martabat
kaxun, yang seharusnya kian bertambah, janganlah sampai terpecah oleh akibat perkawinan yang kurang atau yang tidak ideal itu. Dari sudut sosialnya,perkawinan seperti itu bertujuan agar perkawinan dua orang muda, juga perka winan pengerat hubungan silaturahirn seluruh keluarga dari kedua belah pihak. (Lihat juga: Tenggelamnya Kapal Vd Wijk, hal. 114 dan Salah Pilih, hi. 86). Perkawinan yang ditentang secara prinsipil oleh adat, (selain dari yang tertera dalam agama Islam), ialah perka-
winan orang yang sama suku-adatnya. Dalam masyarakat yang hidup dalam semangat kompetisi, memidiakan "harga diri" atau rasa kebanggaan genetik yang keras, tentu akan
dapat menimbulkan suasana yang chauvinistis suatu stiku akan menaklukkan sxiku lain seperti yang selalu kita te-
mukan dalam sejarah dunia. Maka pelarangan perkawinan dari orang yang sama sukunya merupakan cara yang utama xmtuk menghindarkan keniimgkinan chauvinisme itu. Kare-
na perkawinan campuran antara suku-adat itu menimbul kan radius kekeluargaan dan kekerabatan menjadi lebih besar. Suku itu masing-masing akan terus-menerus merasa bahwa mereka sebenarnya bersaudara, sekerabat. Maka tentulah akan terhindar pertentangan antarsuku. Dan me-
mang di Minangkabau di dalam sejarahanya hingga kini, belum pemah terjadi perkelahian antarsuku-adat atau peperangan antamagari(desa). Apabila kemudian dalam novel Salah Pilih, Nur St. Tskandar menceritakan, setelah perkawinan antara Asri
dengan Asnah, (dua orang kekasih yang sukunya sama) akhimya penduduk Nagari (desa) asal kedua orang itu meminta Asri imtuk menjadi Kepala Nagari (Kepala Desa),
hal ini saya kira sangat berlebih-lebihan peristiwanya. Adalah tidak masuk akal sekali, seorang yang telah melanggar
hukum adat yang prinsipil, akan diangkat menjadi Kepala Nagari. Hal mi sama saja artinya dengan menulis novel, bahwa DPRD suatu provinsi memilih Gubemur yang antiPanczisila.
Selain halangan perkawinan yang tidak disukai, juga ada novel yang mengemukakan hal kawin paksa. Yang }70
g>atidangfan'9'aU*aa>a*y>4i^Jla«la^
^betmuvUfetenUMn'
memaksa, selalu saja memakai adat Minangkabau sebagai alasan dengan wama yang tidak simpatik. Maka teijadilah perkawinan Hanafi di pihak yang dipaksa dalam Salah Asuhan, dan Sitti Niirbaya dalam Sitti Nurhaya, atau Asri dalam Salah Pilih. Lalu, ketiga macam perkawinan itu digagalkan dalam novel tersebut. Pemaksaan kawin atas Sitti Nurbaya bukanlah atas nama adat, tetapi lain-lainnya jelas berdasarkan adat. Tentang hal ini, tak ada gunanya dibicarakan panjang lebar karena hingga pada saat ini, di mana ribuan orang Minangkabau telah menjadi sarjana dengan pangkat dan jabatan yang besar, kawin paksa dengan alasan adat masih terns terjadi. Bahkan, banyak saijana yanag menerima kawin paksa atas nama adat sambil mengkhianati janjinya dengans ang pacar masing-masing. Paksaan kawin masih akan terns terjadi karena setiap orang yang menjadi anak keluarga, dibiayai oleh keluarga secara bersama-sama, tidak akan begitu mudah menolak kehendak keluarga xmtuk merdkah dengan gadis pilihan keluarganya. Meskipun pada mulanya setiap keluarga yang membantu sang anak muda untuk memanjat status yang lebih tinggi itu bermotip kebanggaan genetik, sambil mengharapkan semoga si anak muda ini maju dan tentu akan mau melanjutkan estafet bantuan sosial ini, namun setiap anggota keluarga tidak akan rela apabUa yang memetik ba sil bantuan mereka ialah, orang-orang yang tak pemah memberi saham atas sukses si anak muda. Lagi pula kalau si anak muda dibiarkan menikahi gadis darai dunia lain dari Minangkabau, ia akan menjadi anak hUang yang akan melupakan kampung halaman dan sekaligus juga akan mem-
perkaya pihak keluarga istrmya semata. Hal ini akan meruntuhkan kebanggaan henetik dan juga akan menjadi contoh yang buruk bagi generasi berikutnya. Pada pintu pertama, mamaklah (saudara laki-laki dari ibu) yang berkewajiban membantu keponakannya (anak dari saudara perempuan), (Lihat Sitti Nurbaya, hi. 16—18). Dan apabila ayah Rapiah kecewa sekali kepada kemenakannya, karena Hanafi meninggalkan Rapiah lalu menikah dengan Corrie, hal mana bukan saja wajar bagi setiap orang yang dikecewakan, apalagi bagi orang yang memikul adat Minangkabau. Demikian pulalah apabila terjadi, bahwa St. Penghulu tidak mau, modal usaha yang diputar St. Penghulu dicabut oleh mamaknya tadi, adalah merupakzin suatu pembalasan aktif dari seorang mamak terhadap kemenakannya yang durhaka. (Lihat Salah Pilih, him. 19). sedang ayah Rapiah melakukannya secara pasif. Apa yang dilakukan ayah Rapiah terhadap Hanafi adalah bersamaan dengan apa yang dilakukan Zainuddin terhadap Hayati dalam Tenggelamnya Kapal V.d. Wijck dan yang dilakukan oleh Ponien terhadap Leman dalam Merantau ke Deli. Ayah Rapiah berubah hati menerima tingkah laku kemenakannya sehingga ia mengucil dengan harapan yang masih penuh akzm kembahnya Hanafi kepada Rapiah, karena toh Hanafi kemenakannya sendiri, sedang pemba lasan Zainudin atas khianat Hayati adalah sama dengan pembeilasan Poniem atas khianat Leman, merupakan cara yang bertentangan dengan pembalasan Dt. Penghulu ter hadap kemenakannya yang bemama St. Penghulu.
Dt. Penghulu, mamak dari St. Penghxilu dalam Salah Asuhan. tidaklah menggambarkan tabiat orang Minangkabau,jika ditilik dari ajaran adat Minangkabau. Karena orang Minangkabau pada umumnya sangat teliti menghukum
anggota keluarga dengan cara yang keras, karena akibat ajaran moral yang bersumber pada martabat kebanggaan kaumnya. Dalam novel Indonesia pemah dituliskan tentang hal ini, sebagai bahan perbandingan lairmya. Akan tetapi ada banyak pameo atau ungkapan rakyat Minangkabau yang melukiskan ketidaktegaan dalam memberi hukuman pada anggota keluarga sendiri. Tentus saja tingkah laku seperti Dt. Maringgih tidak dapat dikatakan sebagai sifat umumnya. Menghum keluarga sendiri sebagai pembalasan dendam, lebih-lebih seperti yang dilakukan oleh Dt. Penghulu pada kemenakannya, bukanlah hal yang terpuji menurut pandangan etika orang Minangkabau. Lebih-lebih marak dari St. Penghulu itu adalah orang Datuk, sedrang Kepala Adat yang memahami betul-betul ajaran adat Minangkabau. Setiap orang tentu akan bertanya lagi, itu orang yang
bergelar Dt. Maringgih bagaimana? Dt. Maringgih tidak seorang Kepala Adat. Tidak semua orang yang bergelar Datuk adalah Kepala Adat. Ada juga Datuk honoriscausa, karena jabatannya atau karena kekayaartnya. Namim, jika melihat lokasi, pengaruh Dt. Maringgih terkuat, yakni di luar kota Padang,suatu wilayah yang tidak lazim memakai gelaran Datuk itu tmtuk menentukan statusnya, tersebab wilayah itu disebabkan tanah rantau yang note bene adat Minangkabau tidak berlaku seperti di Darat, maka saya
memperkirakan bahwa gelar Datuk Maringgih itu, digunakan pengarang sebagai usaha untuk melampiaskan emosinya saja. Apalagi pendudxik kota Padang yang pada masa itu senantiasa membanggakan gelar mereka yang patriarchaat, yang oleh orang di bagian Tanah Darat dianggap bukan orang Minangkabau aslinya. Pada masa itu, tentunya.
Memakai gelar mamak St. Penghulu dengan menyebutnya sebagai Datuk Penghulu dalam novel Salah Amhan, memang merupakan suatu akibat dari konsep Nur St.
Iskandar dialam keselurhan isi novel tersebut, yang tujuannya betul-betul untuk menghancurkan adat Minangkabau. Yang mungkin disebabkan semangat nasionalisme Angkatan 28-nya begitu meluap-luap, yang melihat penghambat kesatuan nasional adalah rasa kedaerahan yang tebal. Nur St. Iskandar rela menghancurkan sistem hidup katunnya sendiri asal kesatuan Indonesia Raya terbentuk. Masalah lain yang cukup menarik ialah soal-soal poligami yang diterapkan sebagai kehendak adat. Leman dalam
Merantau Ke Deli dibujuk agar berpoligami; Sutan Penghulu dalam Salah Pilih; ayah Sitti Nurbaya dalam Sitti Nurbaya dan sebagainya disuruh atau dibujuk oleh kerabatnya atas nama adat, dengan mengatakan kavun keluarga sangat merasa malu karena kaumnya seperti tak laku di kampung. Seolah timbullah kesan bahwa poligami memang dikehendaki oleh ajaran adat Minangkabau, demi menjaga prestise sosial.
Pada bagian permulaan tadi, telah dikemukakan juga masalah ini. Bahwa pemikahan yang ideal ini adalah 174
3le€i>a»Cf(eienia*t'
pemikahan antara orang sekeluarga dekat yang tidak bertentanga agama, karena alasan-alasan sosial dan alasanalasan ekonomi. Memang dalama masyarakat Minangkabau, bahkan hingga kini, kaum kerabat tidak akan merasa senang melihat seorang laki-laki terlalu cinta pada istrinya. Kecintaan pada istri itu menimbulkan rasa khawatir, bahwa si laki-laki akan melupakan kewajiban-kewajibannya kepada kaum kerabatnya sendiri, sebagai yang dianjurkan oleh adat dalam bentuk bantuan yang dilaksanakan secara estafet itu. Tentu saja, banyak laki-laki yang sukses itu, yang
telah setengah umur pula lagi, akan tertaiik menikah lagi dengan gadis remaja yang cantik sekali yang diberikan katun kerabatnya. Maka tentu saja terjadilah poligeuni itu. Akan tetapi, tidak ada satu bukti pun dalam ajaran adat Minangkabau yang menunjang poUgami. Jika hendak dilihat dari ajaran yang tertera pada pepatah dan petitih. Malah hampir seluruh cerita rakyat Minangkabau senantiasa tidak berpihak pada poligami.
Sebaiknya, dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, ayah Zainudin bagai diberi simpati karena membunuh mamaknya sebab si mamak ingin sekali menyenangkan anak dan istrinya saja hingga ia berani menggadaikan harta pusakanya. Laln-Laiimya
Bila membaca novel-novel Indonesia yang ditulis oleh orang Minangkabau pada awal sejarah Kesusasteraan Indo nesia Modem,terasa sekali bahwa pengarang ingin memaksakan agar idenya bisa berjalan, dengan meninggalkan
pengetahuannya sendiri tentang keadaan sosiologi Minangkabau meskiptin masalahnya tidak prinsipil Hal mana ke-
lihatan juga pada cerita rakyat Minangkabau yang terkenal seperti Sabai nan Aluih dan Gadis Ranti. Dalam kisah Sabai
nan Aluih, si Sabai dipinang oleh Rajo nan Panjang kepada bapak gadis itu. Karena si bapak tidak man, lalu Rajo nan Panjang membunuh bapak si Sabai. Jalan cerita demikian, sesungguhnya sangat berbeda dengan struktur adat Mi nangkabau, yang mengatur bahwa peminangan seorang ga dis bukan kepada ayahnya, dan apabila pinangan ditolak si ayah, putusan itu belximlah final. Oleh karena itu, tidak ada alasan Rajo nan Panjang membunuhnya. Putusan menerima atau menolak pinangan terhadap gadis Minangkabau, ialah pada mamaknya. Demkian juga pada cerita rakyat Gadis Ranti, yang diceritakan bahwa Gadis Ranti telah difitnah melakukan skandal dengan adiknya. Ayahnya malu, lalu mengusir si anak dari rumahnya. Padahal menurut adat
Minangkabau yang matrilineal seorang ayah hanyalah penumpang dalam rumah kaum. Kuasanya tidak ada di atas rumah itu. Jadi, adalah aneh sekali apabila seorang penumpang diceritakan mengusir anaknya yang jadi pemilik rumah gadang. Apabila dalam cerita-cerita rakyat telah terjadi banyak kekeliruan yang prinsipel serta struktural, tentu saja tidak mengherankan pula apabila dalam novel-novel Indonesia akan ditemukan pula banyak kekeliruan demikian, antara lain ialah adalah sebagai berikut. 1. Dt ditemui oleh Zainudin sedang menyabit padi sendirian di sawah dalam Tenggelamnya Kapal van der 176
Wijck (hal. 29). Seorang Kepala Adat dari kaum yang kaya menyabit padi seorang diri, menyulilkan saya untuk memahaminya karena padi disabit pada musimnya dan serentak dikerjakan secara gotong-royong. Jika sekiranya yang disabit itu adalah sisa-sisa padi yang terlambat masak, kiranya tidak perlu seorang Kepala Adat yang melakukannya. Hal yang demikian, sesungguhnya menjatuhkan martabat kaum, seolah-olah anak kemenakan membiarkan Kepala Adat mereka melaksanakan sendiri. Ini bisa diartikan anak kemenakan tidak
tahu adat, tetapi juga bisa diartikan Kepala Adat memang tidak disukai sebab hasil sawah itu, toh,bukan untuk diri pribadi si Kepala Adat, melainkan tmtuk kaumnya.
2. Dikatakan bahwa adat yang asli tidak boleh menerima menantu dari luar akampimg sendiri, terkecuali kalau menerima orang yang bermartabat tinggi seperti bangsawan dan ulama besar. {Tenggelamnya Kapal van den Wijck, halaman 114). Saya kira alasan menulis keterangan demikian, karena di satu pihak hendak meyakinkan bahwa adat Minangkabau itu sempit, tetapi Hamka sen diri menyadari pula bahwa saudaranya yang perempuan dikawinkan dengan seorang ulama besar dari kam-
pung lain. Menurut pendapat saya, tidak ada satu bukti yang ditemukan dalam ajaran adat Minangkabau yang melarang warganya menikah dengan orang dari luar desanya sendiri. Bahkan, dalam cerita rakyat Tuanku Lareh Sinawang yang terkenal itu, si Tuanku Lareh malah punya istri pertama seorang perempuan turunan Jawa, dan
ketika si Tuanku Lareh memkah lagi dengan putri Minangkabau,istrinya lantas buntih diri. Lalu, sitnpati kita tertarik pada istri yang bunuh diri tersebut. Jabatan Tuanku Lareh itu, lebih tinggi daripada jabatan Kepala Negeri.
3. Diceritakan bahwa harta pencarian seorang ayah diwariskan pada anaknya {Salah Pilih, hhn. 21), yang meskipun ke Kerapatan Adat disampaikan persoalannya, maka waris tetap pada anaknya. Saya kira, pepatah adat menetapkan, bahwa harta pencarian suami-istri adalah "surang berbagi", yakni harta yang jadi bagian darai laki-laki diwariskan pada kemenakannya, sedangkan bagian yang milik istri jatuh menjadi warisan anaknya. Kerapatan Adat pasti berpegang pada peraturan adat kecuali kalau Pengadilan Negeri, yang mengambil hukum patrialchaat, tentu sajalah warisan
jatuh kepada anak. Dan perkara Pengadilan Negeri yang terbanyak di Sumatera Barat, justru tentang harta wa risan mi karena pihak anak dapat memenangi hak warisnya di sana. Akan tetapi, pastilah tidak, pada Kerapatan Adat.
4. Suatu keganjilan lainnya ditemukan juga pada novel Salah Pilih, seorang istri tinggal di rumah suaminya seperti kebiasaan masyarakat patrilinial, apalagi kalau tempat kediamannya pada desa yang sama. Lain halnya kalau tempat kerja suami di desa/kota kelahirannya, sedangkan istri dari desa/kota yang lain. Hal yang sama dapat diterima/ditemukan dedam Salah Asuhan, yang istri Hanafi mengikuti ke rumah mertuanya, karena
p6rbeda^ kbta/d^^ ' AsuMn ini;^
Namun, daiacn Salah ditnggaflkan cerai Qleli sua-
minya, masih tetap tinggal di rumah mertuanya, siing-
guh-sungguh stiaip kejadian yaiig liiar biasa. Meskipun
mertu^ya itu bukan^ OT
lain, melaii^aii adik ay^-
riya Iseridiri. Akan tetapi, berd&^kan sbniiktuf ada^t,ij^" nangkabau; dan rasa kebanggah kaum,tak niungldnjadi ' mainak-m^ak^^fe^ inembi^kan hd den^an. Dan ditambaK lagi dengah kemar^aii .^yah Rapi^h sendiri
pada Hanafi. Mungkin hal ini dip^sakan oleb pehgarang untuk kepentngan jalan cerita saja, walaupup dengan tidak mengindahkan sb^ktiir sosial,d^ logi orang Minangkabau seumumriya. ' Fenutup
Sudah lebih setengah abad lahimya Kesusastraan Indo nesia Modem, yang pada permulaannya ditulis oleh pengarang yang berasal dari Minangkabau, dengan sendirinya mengangkat pelaku dalam novel dan lokasinya menjadi serba Minangkabau. Semangat nasionalisme yang tinggi, telah meUhat adat Minangkabau yang kuat itu, sebagai penghal^g yang hams dihancurkan sehingga novel-novel tersebut telah menimbulkan kesan yang jelek terhadap adat
Minangkabau, yang sekaligus telah menyesatkan ahh-ahh sastra Indonesia dalam men)uisxm buku teks Kesusastraan
Indonesia. Yang sekaligus pula telah ditanamkan kepada berjuta-juta urid sekolah dan generasi muda di seluruh Indonesia bahwa adat Minangkabau memang sangat ditan-
tang oleh kaum cendekiawan Minangkabau sendiri sedang-
kan faktanya, adat Minangkabau masih digimakan secara
fanatik oleh anggota masyarakatnya hingga kini, hingga jabatan Lembaga Adat Minangkabau, yakni Kepala Adat yang bemama Datuk tersebut masih disandang oleh ang gota masyarakat, bukan oleh rakyat biasa saja, malah oleh
tokoh-tokoh yang paling terkemuka di dalam Profesinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang terpsuat tentang hubungan dan kaitan antara novel-novel tersebut
dengan adat Minangkabau guna penyusunan buku text yang ob^ektif lagi adil. , Terima kasih
Padang/Jakarta,Juli 1976
180
20
WAWANCARA DENGAN A.A. NAVIS KENAPA SAYA MENULIS BIOGRAH ORANG LAIN Abrar Yusra
Ali Akbar Navis, 63, sedang di ruang kerjanya di ru-
mah pribadi di Jalan Bengkuang, Padang, Sumatra Barat. Sesudah meramptmgkan pentilisan autobiografi Hasjim Ning,Pengusaha Pejuang,la sedang merevisi dua novel dan menyelesaikan naskah buku Alam Pikiran Minangkabau — katanya untuk pasangan yang menjiwai buku sebelumnya Alam Terkembang Jadi Guru.
Rupanya sejak berhenti atau habis masa jabatannya sebagai anggota DPRD Sumatra Barat, dan mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa sosiologi Minang di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang, pikiran dan energi-
nya hendak dicurahkan sepenuhnya untuk menulis. Banyak yang hendak dan sedang dikerjakannya. Buah pikirannya, tulisannya, seperti cerpennya Robohnya Surau Kami seringkaH memancing pendapat orang lain, bersifat inspiratif kalau tidak mengundang pendapat yang kontroversial.
Kali ini ia diwawancara tentang kenapa dan bagaimana ia lalu menjadi penulis autobiografi. Apakah karena
uang atau karena mode? Setelah ngomong dulu timur barat utara selatan, minum kopi dan merokok,lalu masuk ke pokok persoalan. la tetap hangat, bebas, vokalnya lantang, energik dan bahkan senantiasa kritis dalam sikap bebasnya! Dan sikap terus terangnya!.
Tanya
: Baiklah kita mulai,, tentang penulisan biografi atau autobiografi. Banyak rekan, sastrawan atau tidak, menilai autobiografi Hasjim Ning 'Pengusaha Pejiiang' yang Anda tulis baik sekali. Antara lain karena tokoh-tokohnya hidup sekali. Tidak hanya tokoh utama, tapi juga tokoh-tokoh di sekitarnya, seperti Bung Karno, Btmg hatta, dan Bimg Sjahrir. Kenapa juga Anda menulis biografi atau autobiografi orang lain?
Navis
: Itu karena saya ditakdirkan meiruliki banyak interest dalam hidup. Masalah strategis menurut saya di Indonesia, salah satunya ialath masalah menentukan dan merekam keha-
diran tokoh-tokoh. Menghargai ketokohan
bangsa di berbagai bidang. Jangan hanya to koh yang penting, yang besar itu tokoh politik saja. Tokoh militer saja. Seperti namanama jalan di Indonesia kebanyakan namanama militer atau orang politik. Tapi, jarang sekali diberikan kepada tokoh-tokoh besar di luar bidang politik dan militer. Itulah keinginan saya! Lagi pula dari dulu saya 182
Tanya
Navis
memang kmang dapat mengheirgai, kurang zintusias, kurang terpesona kepada tokoh-tokoh politik jika dibandingkan dengan tokohtokoh yang bergerak di bidang-bidang lain. Dari pada tokoh politik saya lebih senang tokoh sastra, misalnya. Kecuali kalau ia seorang pemikir, seorang intelektual. Tapi untuk menulis biografi atau autobiografb titik tolak saya selanjutnya apakah tokoh yang hendak saya tulis saya senangi atau tidak. Saya tidak bisa menulis biografi tokoh atau orang yang tidak saya senangi. MenuHs biografi demi uang saja, misalnya, itu tidak bisa, ndak mxmgkin! Mengenai Hasjim Ning, saya se nang pada orangnya, di luar antara kami ada hubungan keluarga. Kebetulan yang bersangkutan mau tilang tahun ke-70 saat itu. Jadi, ada semacam keinginan baik, agaknya jadi semacam mode juga, memperingati ulang tahun dengan menuHs riwayat hidup. : Simpati pada tokoh saja agaknya tidak cukup. Apa yang Anda maksud dengan tokoh? : Selain rasa simpati, memang, apakah orang nya berarti atau tidak? Berarti di sini dimaksud apakah dia memiliki arti sejarah dalam kehidupan sosial, yang khas, belum pemah
sebelumnya dimiUki orang lain. Tentang Hasjim Ning, misalnya, pemah dia digelari Raja Mobil, Henry Ford Indonesia! Kan 183
penting itu, berarti! Kemudian, ia adalah orang Indonesia pertama, di zaman Indonesia Merdeka lagi, yang seingat saya dipercaya untuk mendapat pinjaman bisnis pertama dari bank umum Amerika. Saya ingin menulis
biografi orang lain dengan ukuran seperti itu. Artinya, karena saya, terutama saya sendiri, ingin menulis, memUiki motivasi, karena alasan-alasan itu. Dengan menulis biografi
orang Iain, bukan diri sendiri, saya tidak kelulangan kepribadian. Kebabasan saya sebagai penulis tetap terjaga kehormatannya. Dalam nenulis auto/biografi Hasjim Ning,
misalnya, saya menulis apa yang ingin, yang
saya rasa pantas untuk ditulis. Faktor subjektif saya ada di dalamnya. Hal-hal yang saya rasa tidak pantas ditulis, tidak saya masukkan. Kita kan sebenamya menulis
untuk orang lain. Bukan untuk tokoh yang kita tukis. Harap diingat, saya bukan juru tulis tokoh yang saya tulis!
Tanya : Jadi sebelum menulis Anda sudah mempunyai persepsi global tentang yang hendak Anda tulis?
Navis
: lya! Dalam penulisan auto/biografi Hasjim Ning saya sudah mempxmyai persepsi ten tang yang mau saya tulis sebelum proses teknis digarap!
184
Tanya
Navis
: Baiklah jika demikian. Lalu, berkaitan dnegan itu, tentang persepsi Anda mengenai sebuah biografi atau auto/biografi yang baik. Apakah genre ini dekat atau cenderung menjadi suatu karya sejarah atau karya sastra? : Kalau bagi saya, menrilis biografi lebih sebagai menulis rekaman dokumentasi sejarah dalam arti kata yang luas. Apakah hasilnya nanti lebih sebagai karya sastra atau tidak, itu kan bukan urusan saya, ya'kan?
Tanya Navis
: Biografi atau auto/biografi bagaimana kirakira yang Anda ingin capai? : Ketika akan mempersiapkan proses teknis sebelrun menulis, yang pertama saya inginkan adalah bahwa menulis auto/biografi yang agak standarlah sebab yang pertama teringat dan saya ingin mengatasinya ialah kritikkritik atau resensi-resensi serta macam-ma-
cam pendapat orang atas buku-buku sejenis yang sudah ada di Indonesia, kritik pokok, yaitu umumnya kurang mengangkat latar belakang pribadi tokoh yang ditulis, keadaan dan wama lingktmgan yang menganagkat tokoh sehingga menjadi seperti yang dikenal umum. Umpamanya kekurangan latar belakang tempat dia lahir, hidup. Wama-wama itu 'dicari' supaya menarik dan dipercaya sehingga juga bisa dipakai sebagaia bahan referensi ilmiah. Kalau pada saya, ini bukan '9t'€uvanea*€^
185
cuma syarat, tapi termasuk motivasi pokok penulisan juga. Saya menulis biografi, atau membaca biografi. ya untuk mengenal sejarah
itu sendiri! Dalam auto/biografi Hasjim Ning itu, misalnya, cerita tentang Hasjim Ning sen diri, kehidupan pribadinya, kadang-kadang tidak ditonjolkan. Menceritakan tokoh yang hidup, bukan fiksi, juga harus meyakinkan seperti yang dibutuhkan ketika kita menciptakan tokoh fiksi. Kita perlu dan kita juga sebenamya menulis tentang sejarah yang dilintasi oleh tokoh biografi. Jadi, bukan ceri ta tentang tokoh itu an sich!
Tanya
: Menulis cerita sejarah, fakta-fakta atau suasana sejarah yang berpusat pada tokoh?
Navis
: Bukan, tapi yang dilintasi olehnya. Dalam kenyataannya, lebih dari suatu sqarah, itu sebetulnya yang mesti dan malahan yang ingin saya tulis. Jadi, bukan sejarahnya Has5dm Ning. Sejauh diri saya pribadi, saya kan sudah dari dtdu memikirkem sejarah, memikirkan
masalah-masalah sosial dan
masalah politik. Dan terlibat di dalamnya. TENTANG KARYA-KARYA BIOGRAHS YANG ADA
Tanya : Anda sudah punya persepsi global tentaiig autobiografi yang ingin Anda tulis. tentu sete-
lah mempelajari karya-karya biografis yang 186
ada, terutama di Indonesia. Dapatkan Anda
Navis
memperinci kesan-kesan atau penilaian atas karya-karya biografis yang ada? mana yang balk atau kurang? Dan alasan-alasannya! : Karya-karya yang mengesankan bagi saya, antara lain karya Jenderal A.H. Nasution, autobiografi Soekamo oleh Cindy Adam, Lee Kuan Yew oleh Alex Josey, Manusia dalam
Kemelut Sejarah yang ditulis para ahU sejarah, Ayahku dan Kenang-kenangan Hidup oleh Hamka dan Panggil Aku Kartini Saja Pramudya Ananta Toer.
Tanya
; Kekuatan auto/biografi Jenderal Nasution di mana?
Navis
: Ya, sebetulnya yang bagus itu Nasution pu-
nya. Kekuatannya dalam mengisahkan proses perkembangan, objektifnya perkembangan kehidupan, pembangunan organisasi dan peranan militer termasuk pembangtman Dwi
Fungsi ABRI. Lengkap dnegan latar belakang pemikiran yang mendasarinya. Jelas salah satu auto/biografi yang baik. Kalau ego penuUsnya dia kurangkan akan lebih baik lagi. Lalu, buku-buku Hamka itu. Yang bagus bukan gaya bahasanya, bukan itu, tapi latar belakang sosial politiknya. Jika kita mau mengenal perkembangan Islam di Minangkabau, itu penting, menajid penting walaupun analisis Hamka banyak yang tidak benar.
banyak yang keliru atau terlampau tendensius, toh untuk pemahaman latar belakang sosial dan politik'kan bahan yang bagus, baik biografi Ayahku atau auto/biografi Kenangkenangan Hidup HAMKA.
Tanya
: Kenang-kenangan Hidup yang mana? Yang sudah direvisi?
Navis
: Bukan, yang lama, Dalam hal-hal tertentu,
saya sebenarnya belajar menulis auto/biogra fi dari "Soekamo, sebagaimana yang diceritakan pada Cindy Adams" oleh Cindy Adams itu, dan "Panggil Aku Kartini Saja" tentang R.A. Kartini yang ditulis Pramudya Ananta Toer. Saya senang auto/biografi yang ditulis Pram, "Panggil Aku Kartini Saja", senang gayanya yang menarik dan sugestif. Bagusnya itu, di luar apakah itu benar secara objektif atau tidak. Soalnya dulu saya memandang Kartini ini tokoh bikinan. Seperti yangbanyak ditulis, seolah boneka buatan, tugu yang dimitoskan: Kartini ini, 'Ibu Sejati", begini, begitu! Saya kira dulu, pemitosan Kartini disebabkan oleh
kita memerlukan pahlawan wanita, diperlukan, maka dibentuklah idola. Tapi dalam buku Pramudya itu, entah berapa jilid, Kartini Pas, pas sebagai orang besar. Bukan sebagai tokoh bikinan. harga Kartini menjadi
tinggi di buku Pramudya. dari situ saya belajar menulis, kiat menulis auto/biografi. 188
Tanya Navis
Ada karya biografi yang juga bagus, cuma terlampau pendek. Kumptilan tulisan-tulisan para ahli sejarah seperti Dr. Taufif Abdullah, Dr. Alfian, Dr. Ong Hok Ham, mengenai orang-orang besar Soekamo, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka dan laiimya. Sayang terMu pendek! Lalu tentang buku Cindy Adams itu? : Saya belajar das£ir enak dibacanya dari Cindy Adams. Saya juga ingin menulis secara menarik dan enak bagi pembaca. Saya pikir, yang paling enak ditulis dan dibaca memang jenis autobiografi Soekamo yang ditulis Cindy Adams. Menari dan enak memang, tapi akhimya ada kriiik saya, yaitu dalam materi penulisan. Di daleim buku Cindy Adams itu, Soekamo banyak bohongnya. Dan Cindy Adams sebagai tukang membikinnya enak semua untuk dibaca. Ini berguna bagi saya dalam menulis Sebab dalam hal saya, kalau Hasyim Ning bohong atau saya curiga ia membohongi saya, maka saya ulang wawancara dalam kesempatan yang berbeda. Untuk mengecek lagi materi yang diwawancarakan Kalau toh saya masih ragu atau cu riga atas kebenarannya, lantas saya tideik masukkan menjadi naskah. Itu pun setelah membandingkan dengan cara menguji yang lain, misalnya melalui buku referensinya!
Tanya
Anda sudah mulai mengkritik,rupanya!
Navis
lyya,kalau perlu!
Tanya
Memperhatikan akurasi sejarah dan daya tarik penulisannya, sebaiknyankarya-karya biografis ditulis siapa? Ahli sejarah natau sastrawan, misalnya?
Navis
Tergantung orangnya. Kalau kedua pihak menulis balk, keduanya akn menarik. Seperti Manusia ddatn Kemelut Sejarah oleh ahli seja rah itu, atau Kuantar ke Gerbang oleh Ramadhan K.H. Cutna kebanyakan ahli se jarah kita hanya ngomong saja, dia tidak me nulis sejarah. Mana ahli sejarah yang menulis. Kebanyakan hanya paling-paling menulis makalah, karangan-karangan pendek, itu
nanti dikiunpulkan. Ilmunya banyak tapi. umumnya tak menulis. Kenyataannya sekarang banyak orang menulis karya biografis kalangan sastrawan. Sudah puluhan hasilnya. Kebanyakan masalahnya terlalu kecil, sempit. Banyak masalah-masalah atau suasana yang mendukungnya tidak tenmgkap. Ada juga wartawan spesialis yang menxilis biografi. Menulis dengan sistematika, yang polanya sudah jelas, itu itu juga, jadiTaken yang satu ditukar dengan lakon yang lain, dalam pola yang sama, itu juga. Jadi, sebenamya ceritanya tentang itu juga. Ndak mempimyai kemampuan melukiskan latar belakang se190
jarah secara tajam. Minat yang kuat terhadap sejarah suasana dan problematiknya yang berkembang, intensitas perhatian ke sana, amat mempegaruhi proses dan basil karya biografi. PENGARUH PENULISAN KARYA SASTRA
Tanya
Navis
: Jadi sastrawan tidaknya seseorang penulis, tak mempengaruhi hasilnya? Dalam hal Anda apakah tak ada kaitan kemampuan Anda sebagai sastrawan dengan kemampuan sebagai penulis biografi? : Sebetulnya berdasarkan kepentingan masing-
masing, melihat misi interned penulisannya. Juga sasrawan. Tiap orang 'kan punya misi. Jadi kalau itu klop dengan wadah yang tersedia dalam kemungkinan menulis bio
grafi, kuabtas akan baik. Dan barangkali juga rasa puas, meskipim bagi sastrawan akan kurang memuaskan juga dari sudut kepuasan kreatif. Tapi kalau misalnya tidak klop, dipaksakan juga menulis, paling-paling fungsinya sama saja dengan reporter biasa. Dalam hal saya sendiri, kebiasaan persiapan dan dalam teknik penulisan karya sasra misalnya novel, senantiasa ada meskipxm saya btikan sedemg menulis karya sastra.
9itndangan'3'ati*ato€m'^s4<^
^a*vanea*€f
191
Tanya
Navis
Tanya
: Dalarti hal-hal apa itu? Apakah juga misalnya dalam melukiskan watak tokoh-tokoh yang diceritakan? Misalnya apakah kekuatan Anda melukiskan watak Btmg Kamo,Hatta,Syahrir yang hidup sekali hasil kebetulan atau digarap penuh perhitungan seperti mempersiakap tokoh-tokoh novel, misalnya? : Saya tak menyadarinya, tapi kebutuhan akan tokoh sejarah yang hidup, digambarkan sehidup mungkin timbul begitu saja dan apa kah ini pengaruh berkarya sastra? Secara praktis potensi tumbuh dan saya gali terus dari proses wawancara Hasyin Ming cerita tentang rang-orang yang hidup itu, si anu si anu si anu! Masing-masing saya tanya, tanya terus, saya garap terus. Sampai menjadi se perti yang tertulis itu. Saya tak menggarapnya seperti mempersiapkan tokoh novel. : Ramadhan K.H. misalnya, sadar, bahwa ada kecenderungannya menggarap biografi memihki kesamaan tertentu dengan menuUs karya sastra roman atau novel Bagaimana Anda?
Navis
192
: Saya juga harus menyebut beberapa hal. Bahwa memang ada atau mesti ada kaitan atau pengaruh penulisan karya sasra dalam penggarapan auto/biografi yang saya kerjakan itu. Sebetulnya cara yang paling tepat untuk mengetahui hal ini tentulah dari reaksi
pembaca. Seperti sebelumnya saya katakan, penulis biografi selain harus kuat pengetahuan tentang tokoh yang akan ditulisnya haruslah kuat pula pengetahuannya terhadap kalender sqarah, serta materi-materi pengetahuan penunjang. Antara lain yang juga
teramat penting pengetahuan psikologi. Dengan demikian, bisa ditelusuri dan digarap secara logis kenapa tokoh yang tidak bisa menjadi A,tokoh B misalnya, lantas berubah perilaku A tiba-tiba. Seperti sasrawan maka kalau tidak memiliki latar belakang pengeta
huan psikologi dan sosial, biografi akan kering dan tidak meyakinkan pembac. Lalu bagi saya memang dalam teknik penulisan, teknik penulisan rotnan atau novel saya pakai. Pertama harus ada unsur-unsur surprisenya
dan kedua pertanggungjaivabn logikanya. Terutama kalau kita menulis tentang tokoh-to-
koh sejarah atau dalam sej^ah misalnya. Yang saya maksud "surprise" di sini adalah anekdot-anekdot, adanya bahan-bahan yang
agaknya tidak diketahui umum selama ini. Ada anekdot-anekdot,latar-latar belakang kejadiem.
Tanya
: Apakah alur tidak penting dalam biografi atau auto/biografi?
Navis
: Ndak penting bagi saya. Ini bukan cerita roman, yang ada pangkal ada ujung. Ini kan
mentilis sejarah, yang dilewati seseorang. Nah tugas utama pentilis biografi adalah, bagaimana meletakkan sejarah yang dilewati itu, secara benar, hidup, karena itu menarik, sekzdigus secara logis, begitu saya. BELUM PUAS
Tanya
Navis
: Auto/biografi Hasyim Ning sudah terbit dan mendapat pujian. Apakah Anda merasa puas terhadap buku itu? : Sampai sekarang saya malah menunggu kritik atas buku itu, untuk masukan. Malah
tidfik ada, sebab secara pribadi sebenarnya saya belum merasa puas karena beberapa hal. Yah, kemudian temyata beihwa menulis auto/biografi itu tidaklah mudah. Tidak mungkin hanya mendengar cerita-cerita hasil wawancara, menulis atau mengeditnya saja: begini begana begini begana! Kadang-kadang si pencerita sendiri tak punya fantasi tmtuk merekonstruksi kembali pengalamzin dan lingkungannya, kurang kemapuan atau inte rest! Karena itu kita penulis y<mg heirus mencipta, atau mencari b£ihan-bahan referensi, atau mewawancarai tokoh-tokoh atau
orang-orang lain yang berkaitan! Lagi pula jangan-jangan yang diwawancara bohong, meskipim karena alasan masuk akal. Tapi kan tak mtmgkin kita menulis kisah bohong, atau 194
^Wiiantn€a>*€^
Tanya Navis
kita rasa bohong. Yang rumit, jika yang diwawancarai tak mau teras terang. Tidak semua diceritakan, banyak yang disembunjdkan. Ini berkaitan dengan mentalitas timum bangsa Indonesia sendiri, yang tak mau menceritakan hal-hal jelek tentang diri an teman-temannya. Umpamanya kalau Hasyim Ning tidak mau menceritakan dapat diperkirakan orang atau teman yang membaca nanti pun tak bakal mau menerimanya. Saya maunya segalanya terus terang,lengkap, kaya, akurat dan banyak dimensi. Yah, mau nya'kan seperti orang'nulis di Amerika sana. tapi itu tampaknya belum mungkin di Indonesia! Tak semua bahcm yang kita anggap penting bisa didapat. Sebaiknya,saya punya waktu setahun lagi. Atau dua tahun paling lama, untuk menggarap naskah buku itu. Buku itu akan lebih lengkap dan kaya bila lebih banyak lagi counter interviuw tambahan dengan orang-orang atau pihak-pihak lain! : Jadi, dalam satu hal Anda kelebihan tapi kekurangan bahan di bagian yang dperlukan? : Ya, dalam penulisan auto/biografi Hasyim Ning itu ada dua hal yang tidak sampai saya garap. Yang pertama, intrik-intrik istana di zaman Soekamo. Y^g kedua, bagaimana Hasyim Ning mengelola ekonomi bisnisnya supaya pengusaha lain bisa belajar walaupun
tinting dan keadaan sudah berabah. Itu yang saya ingin tapi Hasjdm Ning tak mau kasih. Ya. sebab intrik-intrik istana itu melibatkan
banyak orang yang sebagian besar masih hidup. Dikhawatirkan bisa terjadi segala macam gosip, segala mac^ isu, walauptm menarik. Bagaimana Hasyim Ning mengelola bisnisnya dianggap sebagai masalah orang seorang, reihasia perusahaan dan rahasia orangorang. Itulah hal-hal yang tidak bisa digarap!
\96
^a40€mea^ar
21
WAWANCARA A.A. Navis
"Saya Tetap Konsisten" Sastrawan A.A. Navis sejak dulu sudah dikenal reformis, pembaru. Cerita pendeknya yang sangat terkenal itu, Robohnya Surau Kami, bercerita tentang betapa konservatifiiya kebanyakan umat Islam. Padahal, ketika itu, belum banyak intelektuai yang punya pemikiran progresif. Maka, roman itu pun mengundang kontroversial. la banyak diprotes. Kali ini, Ali Akbar Navis berbicara tentang Islam dan kebudayaan. Pemikirannya masih seperti dulu. la konsisten dan agresif. Berikut wawancara A.A. Navis dengan Panjimas. Akhir-akhir ini masalah kebudayaan Islam hangat dibicarakan kembalL Bagaimana pendapatAnda tentang ke budayaan Islam? Saya termasuk orang yang berpendapat dan menyangsikan adanya kebudayaan Islam. Mengapa? Berpuluh abad sebelum Islam lahir, bangsa-bangsa sebelah utara dan timur Laut Tengah sampai ke Persia, India, dan Cina telah memiliki kebudayaan yang tinggi. Kebudayaan itu terbentuk oleh kondisi alamnya, dan situasi sejarah. Cara berpikir itu melahirkan kepercayaan. Ragamnya pim bermacam-macam. Islam merupakan agama wahyu. Agama yang dapat menyatukan pandangan hidup dan keupacaraannya. Namun,
menurut saya, Islam tak berfungsi menyatukan kebudayaan. Kenapa? Allah sendiri yang menjadikan manusia dengan segala perbedaannya. Ada kuning, hitam, merah, putih, dan lain-lain. Mereka hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Mereka tidak mimgkin hidup dalam satu kebudayaan yang seragam. Jadi, kebudayaan Islam tak hams menyatukan berbagai kebudayaan yang beragam dan berbeda-beda itu. Ini tidak berarti Islam tidak mempunyai konsep tentang kebudayaan. Islam telah memberikan kerangka kebudayaan yang dapat dipahami oleh berbagai bangsa yang berbedabeda itu.
Saya sering mengatakan bahwa Islam mempakan sebuah aksi reformis, gerakan pembaman terhadap agama-agama ahli kitab sebelumnya. Kebenaran Islam, dalam kapasitasnya sebagai penyempumaan dan pembam, telah berhasil merentangkan sayapnya secara luar biasa. Hanya dalam kurun waktu satu abad setelah Nabi Muhammad saw., Islam telah
dianut oleh bangsa-bangsa yang berkebudayaan tinggi. Anda katakan bahwa Islam tidak berfungsi menyatu kan kebudayaan. Maksudnya?
Ya. Menumt saya Islam memang tidak berfungsi menya tukan kebudayaan, tetapi menyatukan kepercayaan (keyakinan) dengan segala aspeknya. Dengan begitu, kebudayaan Arab, misalnya, sama dengan kebudayaan Cina Islam atau Melayu. Malah, bangsa-bangsa yang sama-sama menggxinakan bahasa Arab dari Maroko sampai Irak tidak mempxmyai kebudayaan yang sama. Bahkan, di wilayah itu pun berbagai 198
aliran Islam tumbuh dan berkembang. Masih hidup orang
Yahudi dan Nasrani yang juga bangsa Arab. Sebagai bangsa Arab, orang Nasrani sangat Nasionalistik. Jiqi Zidan dan Khalil Gibran telah menulis buku tentang Nabi Muhammad
dengan judul An Nabi. Buku ini sangat populer ke seantero dunia. Bahkan,telah diteijemahkan ke berbagai bahasa. Lalu, bagaimana pengaruh kebudayaan Islam terhadap kebudayaan Indonesia?
Begini, kebudayaan Indonesia tidaklah satu, tetapi bermacam-macam. Dalam bahasa politik disebut Bhineka Tung-
gal Ika. Artinya, bangsa ini terdiri atas berbagai suku bangsa. Secara akademik, bangsa Indonesia adalah analogi dari keberadaan Hindia Belanda. Akan tetapi, semangat nasionalisme kita mencuat dari semangat kesatuan agama Hindia Belanda, yaitu Islam. Api nasionalsime itu sesungguhnya sudah mulai menyala ketika pelopor gerakan reformasi Islam pulang dari Mekah pada ujung abad ke-19. Secara organisatoris formal, menurut cara Eropah, memang Budi Utomo
yang mempeloporinya 1908. Akan tetapi, Budi Utomo tidak sepanas api organisasi Islam yang lahir beberapa tahun kemudian. Kenapa? Islam memiliki motivasi yang lebih kuat: gagasan keadilan, kemanusiaan, dan moralitas yang beradab. Maka tidak mengherankan bila Islam punya lembaga kesyahidan: yang mau bequang dan berkorban sampai titik darah terakhir. Ini lain dengan orang yang terdidik di lem
baga sekuler. Mereka hanya memiliki motivasi solidaritas kecendekiaan. Jika dibandingkan dengan sekarang, bagai-
mana karakteristik gerakan reformis Islam tempo dulu menurut Anda?
Secara kultural, gerakan reformasi Islam amat penting. Visi dan persepsi mereka menjadi universal. Pola primodial dan taklid kepada ulama menjadi sangat berkurahg. Ajaran Islam mereka pahami secara konprehensif dan rasional, sedangkan secara politis, masyarakat lebih gampang menerima semangat persatuan nasional sehingga pandangan lokal yang
selama ini sangat kental secara berangsur-angsur mengalami perubahan. Setelah SI dan Muhamadiyah menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air dan diikuti oleh masyarakat daerah,
tidak ada lagi satu pun partai politik yang bersifat nasional,' yang dapat diterima masyarakat. Kecuali yang bersifat Islam.
Kini setelah lama merdeka, bagaimana posisi dan sikap para tokoh Islam kita?
Setelah perang kemerdekaan usai, para tokoh dan pemuka Islam menjadi mapan. Boleh dibilang hampir seluruh lembaga aktivitas dilimpahkan kepada pemerintah. Para tokoh
Islam, kalau tidak menjadi politikus, menjadi pegawai negeri.
Yang saya kategorikan sebagai pemuka Islam adalah ula ma, mubaligh, ustadz, dan pengurus organisasi Islam lainnya.
200
Sejak pemerintah ikut menangani lembaga-lembaga keagamaan, apakah gerakan reformis Islam cenderung membaik atau sebaliknya?
Hampir semua aksi reformis iamban, kalau tidak dikatakan mandeg. Kenapa? Watak pemerintah pada umumnya selalu normatif. Ikut peraturan dan prosedural. Semua peme
rintah, di mana pun, selalu menjaga stabilitas. Makanya, sikap pemerintah pada umumnya tidak menyukai teijadinya kemajuan dalam pemikiran dan pandangan hidup. Ketika pemerintah bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam tidak lagi mampu menempatkan dirinya sebagai agent of modernization. Atau menurut; istilah Mochtar Naim,lembaga pendidikan kita hanya tinggal 'kerabang', lantaran tidak lagi independen.
Di sisi lain, ada dua ciri menonjol pada para tokoh Islam sebagai akibat kemapanan setelah menjadi pejabat. Pertama,
sikapnya yang normatif, muncul kecenderungan ke konservatisme. Lalu menjadi reaktif yang terkadang menjadi ekstrem dan melupakan rasionalitas. Kedua, sejak urusan banyak agama dipegang oleh pemerintah atau oleh orang Islam yang jadi pejabat, masyarakat cenderung digiring bukan ke arah budaya intelektual, melainkan ke seni budaya sematamata.
Apa yang pemah dilakukan oleh ahli keraton dalam upaya memelihara pamomya setelah kehilangan kepemimpinannya masa lalu, dikembangkan pula oleh para pemuka Islam belakangan ini. Kalau kita menggelar seni-seni yang bersifat srimonial disediakan dana puluhan miliar, sedangkan kalau
untuk studi-studi Islam yang beimanfaat bagi upaya menjawab tantangan zaman tidak.
Lalu, apayang mesti kita lakukan?
Pemahaman Islam yang verbal, yang menyebabkan kita
tertinggal, hams kita benam. Saya tetap konsisten sejak 35 tahun lalu ketika saya menulis cerpen Robohnya Surau Kami. Menumt saya bangsa ini bisa mengejar ketertinggalannya sehingga bisa setara dengan bangsa lain. Caranya, merombak pandangan dan sikap hidup. Atau, kita hams mengubah kebudayaan kita.*
202
22
OMONG-OMONG DENGAN AA.NAVIS ADAT^NANG DALAM SASTRA INDONESIA
JubaidiP.
Beberapa waktu lalu di Jakarta diselenggarakan Semiiiar Peranan Adat Minangkabau dalam Era Pembangiman. Dalam kesempatan itu A.A. Navis, seorang sastrawan In donesia terkemuka asal Minangkabau tampil sebagai salah
seorang pembicara. Seusai beliau menyampaikan makalahnya, Pelita mohon kesempatan untuk sedikit beromongomong tentang Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia, dan temyata beliau tak keberatan. Dan inilah hasil omongomong singkat tersebut.
Sejak kebangkitan sastra Indonesia di awal abad ke duapuluh banyak pengarang-pengarang buku sastra yang berasal dari daerah Sumatra Baiat, seperti Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Hamka, dan lain-Iainnya. Pengarang-
pengarang tersebut pada umumnya sangat tertarik dan berus£iha mengungkapkan adat dan alam Minangkabau yang indah dan khas dengan kebudayaannya yang berciri kuat dan religius. Dalam pengungkapan adat alam Minang tersebut pada umumnya pengarang-pengarang tersebut meninjaunya dari sudut tertentu sehingga mengesankan
adat dan kebudayaan Minang adalab adat yang kolot dan ketinggalan jaman. Hal tersebut dapat kita lihat dari kehidupan Sitti Nurbaya dan Samsulbahri dalam buku Marah
Rtisli. Sitti Nurbaya dan Samsulbahri mengalami kehidupan
yang sengsara akibat dnta yang tak sampai. Demikian pula Hayati dan Zainuddin dalam buku Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Vander Wijck. Kesengsaraan dan kenestapaan itu acapkali akibat dari kekolotan adat. Adat
dalam cerita tersebut dianggap sebagai belenggu yang dapat menghambat kemajuan.
Mengenai hal itu, A.A. Navis menilainya sebageii hal kurang objektif. Meniuntnya, pandangan serupa itu adalah keliru dan tidak tepat.
"JCita harus melihat bahwa para pengarang cerita ter
sebut sudah lama merantau di tanah orang. Selain itu, juga usianya masih sangat muda dan kurang dapat memahami adatnya. Tentu saja visi mereka mengenai adat tidaklah te
pat karena usia dan kurangnya pengetahuan mengenai agama dan adat Minang yang bersandar kepada agama," demi kian katanya.
Selanjutnya dijelaskan, kecenderungan para pengarang asal Minangkabau tersebut memang sangat baik. Mereka
sebenamya telah berbuat sesuai dengan adat budayanya, yaitu melakukan autokritik, mengkritik diri sendiri, mengkritik adat budayanya. Namxm,sayang, kekturangan penge tahuan telah membuat para pengarang tersebut memandang adat dari sudut yang keliru. Kecenderungan mengkritik diri sendiri adalah satu ciri
khas budaya Minang. Budaya Minang adalah budaya yang demokratis dimana dalam segala hjil selalu mengutamakan sistem mufakat.
204
0m4tn^0»neM^
"Ini adalah karena dalam falsafah hidup Minangkabau
tak mengenal kasta. Persamaan adalah menjadi wama khas kebudayaan dan masyaraktat Minang. Oleh karena itu, kritik-mengkritik, kecam-mengecam adalah hal yang biasa. Namun, hal tersebut bukanlah berdasar karena mereka membenci adatnya,namun justru karena kecintaannya yang amat besar terhadap adatnya sendiri," kata AA. Navis.
Sebagai contoh, A.A. Navis menunjukkan Hamka, yang dalam karangannya mengecam adat Minang sebagai adat yang kolot dan telah menelanjangi dengan tajam dalam cerita Tenggelammya Kapal Vander Wijck. Kecaman dan kritikan Hamka bukanlah karena beliau membenci adat
kebudayaan Minang, tapi justru sebaliknya, hal itu adalah karena kecintaannya yang amat besar. Beliau ingin melihat kebudayaan Minang menjadi hidup dan maju. Adat dan Agama
Berbicara masalah adat dan agama, A.A. Navis melukis-
kan bahwa kebudayaan Minang adalah bersendi kepada syarak dan syarak bersendi kepada KitabuUah. Karena itu adat Minang adalah sangat diwamai oleh nilai agama Islam. "Hal ini barangkali disebabkan karena dalam sejarah Mi nang, tak ada agama lain yang begitu dominan kecuali aga ma Islam. Kalau di Jawa misalnya agama Hindu pernah
memegang peranan dominan, maka tidak demikian di Minang. Karenanya dalam kebudayaan Minang,tak dikenal kasta seperti halnya yang pemah terjadi di pulau Jawa.
Ditanya, mengapa seakan-akan dalam adat Minang, hak perempuan kurang diperhatikan dan seakan-akan hanya kewajibannya saja yang begitu banyak, A.A. Navis mem-
bantah. Justru dalam kebudayaan Minang, sebenamya kaum wanita mendapat terhormat Adalah keliru kalau dalam cerita-cerita sastra lama dilukiskan kaum wanita
berkehidupan sengsara karena adat yang membelenggunya. Kalau dipandang dari kaca mata luar barangkali begitu. Namun, kaca mata Minang tentu tidak demikian. Justru karena adat yang kuat dan berakar, maka seakan-akan
kaum wanita begitu banyak kewajibannya dan lelaki se akan-akan dapat berbuat apa saja, umpamanya beristri lebih dari satu.
Pandangan demikian adalah keliru sama sekali. Justru kaum wanita yang banyak memperoleh hak istimewa, um pamanya hak atas harta turun temurun. Kaum wanita
Minang sangat sedikit kemungkinannya mengalami hidup terlantar, karena dalam adat Minang ditentukan adanya 'pusaka tinggi'.
Di samping itu, sistem kekeluargaan Minang adalah menganut sistem matrilineal. Garis keibuan. Ini adalah un-
tuk menghormati katim ibu,sesuai dengan agama Islam. SurauKami
Salah satu karangan A.A. Navis adalah sebuah buku
kecil berjudul Robohnya Surau Kami. Karangan tersebut adalah buah penanya yang penting, terutama dalam
206
0nton^€nu>n^
kritiknya terhadap kehidupan keagamaan yang masih diliputi oleh paham kuno.
Ditanya apakah Robohnya Surau Kami itu ada hubungannya dengan adat Minang? Apakah yang dimaksudkan itu adalah paham keagamaan menurut adat Minang? Sehubungan dengan hal ini A.A. Navis menjawab, bahwa yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yang ada di seluruh Indonesia. Seperti kita ketahui paham keagama
an (Islam) adalah masih terkebelakang. Robohnya Surau Kami adalah autokritik seorang Islam terhadap paham afamanya. Tentu saja setiap autokritik adalah bermaksud supaya ada langkah maju.
Demikianlah omong-omong singkat dengan pengarang asal Minang tersebut.
PERPUSTAKAAN
pUSAT BAHASA
J