PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN (RAKYAT) KONSERVASI DAN REHABILITASI HUTAN
PROSIDING SEMINAR DAN PAMERAN HASIL-HASIL PENELITIAN 23-24 OKTOBER 2012
Editor: Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc Dr. Ir. Johny S.Tasirin, M.ScF Dr. Ir. Hengky Walangitan, MP Ir. La Ode Asir, M.Si
Diselenggarakan oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manado Kerjasama dengan: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara International Tropical Timber Organization (ITTO) SEAMEO BIOTROP Manado Post
i
ISBN 978-602-96800-5-8
PROSIDING SEMINAR DAN PAMERAN HASIL-HASIL PENELITIAN “PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN (RAKYAT), KONSERVASI DAN REHABILITASI HUTAN” Manado, 2012 Terbit Tahun 2012
Foto Sampul oleh:
Julianus Kinho, Harwiyaddin Kama dan Diah Irawati Dwi Arini
Tata Letak dan Desain Sampul:
Eva Betty Sinaga dan Lulus Turbianti
Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Manado Telp. 0431-3666683 Email:
[email protected] Website: www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id Dicetak oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manado Percetakan:
IPB Press
ii
KATA PENGANTAR Tantangan sektor kehutanan dari waktu ke waktu terus meningkat antara lain disebabkan oleh tekanan terhadap sumberdaya hutan dan lahan serta peningkatan kebutuhan ekonomi masyarakat. Pengembangan hutan tanaman pun menjadi solusi penyediaan kebutuhan kayu di tingkat lokal, nasional dan internasional setelah produksi hutan alam
tidak
dapat
memenuhinya lagi. Kebutuhan kayu nasional Indonesia yang mencapai lebih dari 60 juta m3/tahun memberikan peluang bisnis yang semakin menggairahkan bagi petani dan industri untuk mencari jenis-jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) dengan rotasi tebang yang pendek. Akses masyarakat untuk ikut mengelola hutan pun semakin besar dengan adanya Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), dan program lainnya. Selain upaya pemenuhan kebutuhan kayu, usaha konservasi dan rehabilitasi hutan pun merupakan tugas penting yang harus dilaksanakan. Penyelenggaraan seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema
“PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN (RAKYAT), KONSERVASI DAN REHABILITASI HUTAN” ini merupakan perwujudan salah satu fungsi BPK Manado yakni pelayanan data dan informasi ilmu pengetahuan serta teknologi hasil-hasil penelitian kepada masyarakat pengguna. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah dapat meningkatkan dan menjawab kebutuhan pengguna, karena penelitian di masa yang akan datang menjadi solusi bagi permasalahan yang ada. Prosiding ini memuat 20 judul materi yang dibahas dan 9 materi penunjang serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, International Tropical Timber (ITTO), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Burung Indonesia, SEAMEO BIOTROP dan Harian Manado
iii
Post, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ekspose sampai penyusunan prosiding. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Nopember 2012 Kepala BPK Manado
Dr.Ir. Mahfudz, MP NIP. 19670829 199203 1 004
iv
TIM PENYUNTING Penanggung Jawab
: Dr.Ir. Mahfudz, MP
Redaktur
: Ir. Eva Betty Sinaga, MP
Editor
: Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc Dr. Ir. Johny S.Tasirin, M.ScF Dr. Ir. Hengky Walangitan, MP Ir. La Ode Asir, M.Si
Sekretariat
: Lulus Turbianti, S.Hut. Farid Fahmi, S.Kom. Angelina Lenak, S.S
v
vi
DAFTAR ISI Kata Pengantar ..................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................... Laporan Ketua Panitia .......................................................................... Sambutan Direktur SEAMEO BIOTROP ................................................ Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ....................................... Sambutan Gubernur Provinsi Sulawesi Utara ...................................... Rumusan...............................................................................................
iii vii xi xv xix xxv xxix
MAKALAH PRESENTASI Prospek Pengembangan Jabon untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman Irdika Mansur ........................................................................................
1-14
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono & Mahfudz...................................................... 15-24 Pengembangan HKm, HTR, Hd dan HR: Belajar dari Pengalaman di Jawa Didik Suharjito ....................................................................................... 25-40 Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Yoppy Hidayanto .................................................................................... 41-48 Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan di Sulawesi Utara Nurlita Indah Wahyuni............................................................................ 49-60 Strategi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua: Konsep Sosial Budaya Masyarakat Susan T. Salosa ....................................................................................... 61-70 Potensi Ragam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Ekosistem Mangrove di Desa Air Banua Ady Suryawan dan Anita Mayasari .......................................................... 71-86 Kajian Invasi Tumbuhan pada Lahan Basah Taman Nasional Wasur, Merauke Sarah Yuliana, Krisma Lekitoo dan Junus Tambing.................................... 87-106
Mitigasi Bencana Sedimen Hasnawir ................................................................................................ 107-134
vii
Pendayagunaan Sagu Baruk sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan dan Pakan Ternak Abner Lay ............................................................................................... 135-154 Kekayaan, Pelestarian dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua Krisma Lekitoo ....................................................................................... 155-178 Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri (Eos Histrio) di Penangkaran Anita Mayasari dan Ady Suryawan .......................................................... 179-188 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan Keberadaan Pohon Inti dan Kondisi Permudaannya (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) Baharinawati W. Hastanti ....................................................................... 189-202 Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu-Kayuan dengan Pertanaman Kelapa (Cocos nucifera) di Sulut (Studi Kasus di Kecamatan Mapanget Kota Manado) La Ode Asir ............................................................................................. 203-230 Kesesuaian Media Sapih terhadap Persentase Hidup Semai Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil) Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan ....................................................... 231-240 Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba dan Penggunaannya sebagai Jenis Endemik Lokal Sulawesi Utara Lis Nurrani dan Supratman Tabba ........................................................... 241-252 MAKALAH PENUNJANG Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar yang Diperdagangkan di Sulawesi Utara Diah Irawati Dwi Arini........................................................................... 253-276 Status Domestikasi Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di Indonesia Jafred E. Halawane ................................................................................... 277-290 Kelimpahan Relatif Jejak Anoa (Bubalus spp.) di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan ................................................... 291-306 Perubahan Tutupan Lahan Enclave Pinogu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Menggunakan Citra Satelit Multiwaktu Periode 1994-2012 Diah Irawati Dwi Arini ............................................................................... 307-326
Daya Dukung Ekosistem Mangrove bagi Burung Hadi Warsito ................................................................................................. 327-334
viii
Kebun Benih Komposit sebagai Salah Satu Solusi Mendapatkan Benih Unggul yang Praktis untuk Mendukung Keberhasilan Penanaman Sugeng Pudjiono ........................................................................................... 335-342
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kristian Mairi ............................................................................................ 343-360
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok Pemupukan terhadap Pertumbuhan Semai Cempaka Wasian (Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy) di Persemaian Arif Irawan, Hanif Nurul Hidayah, dan Jafred E. Halawane........................ 361-374
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kelestarian Sumber Daya Hutan di Taman Nasional Bogani Nani wartabone Arif Irawan dan Hendra S. Mokodompit ................................................... 375-395
PRESENTASI Prospek Pengembangan Hutan Tanaman di Indonesia Mohammad Na’iem ................................................................................... 397-410
Kemitraan dalam Pengembangan Jabon (Hulu-Hilir) Hasan ......................................................................................................... 411-416
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Minahasa Utara Joppi Lengkong .......................................................................................... 417-422
Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Abdurrahman ............................................................................................ 423-428
ix
x
LAPORAN KETUA PANITIA Seminar dan Pameran Hasil- Hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” Manado, 2012
Selamat pagi, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Yang saya hormati:
Kepala Badan Litbang Kehutanan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Direktur Eksekutif SEAMEO BIOTROP Staf Ahli Menteri Bidang SDM Direktur PT. Serayu Makmur Kayuindo Dosen Universitas Gadjah Mada Dosen Institut Pertanian Bogor Perwakilan Perusahaan di bidang Kehutanan Kepala Pusat Litbang Kehutanan Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulawesi Utara Kepala UPT Kementerian Kehutanan se-Provinsi Sulawesi Utara Para akademisi, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat dan peserta seminar yang berbahagia. Dasar Pelaksanaan 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan; 2. Undang-Undang RI Nomor: 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 40/Menhut-III/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan;
xi
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2011 tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Kehutanan Manado; 5. Surat pengesahan DIPA Balai Penelitian Kehutanan Manado No. 0322/029-07.2.01/27/2012. 6. Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado Nomor: SK. /VIII/BPKMND-1/2011 tentang Penetapan Panitia Kegiatan Ekspose Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tema Tema yang diangkat dalam pertemuan ini adalah ”Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” Tujuan Kegiatan seminar merupakan wadah penyebarluasan informasi tentang kebijakan, hasil-hasil penelitian dan permasalahan serta tantangan di masa mendatang tentang prospek pengembangan hutan tanaman (rakyat), konservasi dan rehabilitasi hutan serta ajang pertemuan ilmiah dan sarana tukar menukar infomasi antara para peneliti dan pengguna informasi hasil penelitian. Hasil yang diharapkan Terjalin interaksi dan kerjasama antara pengguna dengan Balai Penelitian Kehutanan Manado dalam pemanfaatan dan peningkatan kualitas hasilhasil litbang. Manfaat 1. Hasil-hasil Litbang dapat dijadikan bahan acuan dalam pembangunan Kehutanan. 2. Meningkatkan peluang pemasaran hasil Litbang pada skala komersial. Materi Informasi dan data berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh BPK Manado dan institusi terkait. Dalam kesempatan ini akan dipresentasikan 21 makalah utama dan akan dilanjutkan dengan diskusi.
xii
Pembiayaan Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado dilaksanakan dengan dana yang dialokasikan melalui DIPA BPK Manado, BPK Manokwari , BPDAS dan ITTO Tahun 2012. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23-24 Oktober 2012, yang bertempat di Ruang Serba Guna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Peserta Peserta yang diundang terdiri dari Pusat Litbang Kehutanan, UPT Kementerian Kehutanan di Provinsi Sulawesi Utara, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dalam wilayah kerja BPK Manado, Bakorluh
Provinsi,
Bakorluh
Kab.
Minahasa
Utara,
Universitas
Samratulangi, Kalangan Industri, Dinas Kehutanan Kab. Halmahera Barat, Media dan Kelompok Masyarakat lainnya dengan jumlah peserta ± 250 orang. Akhirnya kami sampaikan terimakasih kepada segenap panitia dan rekanrekan kerja Balai Penelitian Kehutanan Manado dan BPK Manokwari atas dukungan dan kerjasamanya dalam menyukseskan kegiatan ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Gubernur, Kepala Badan Litbang Kehutanan, penyaji materi dan tamu undangan atas kehadiran dalam acara ini. Kami harap Bapak/Ibu sekalian dapat mengikuti acara hingga selesai.
xiii
Pada kesempatan berikutnya, kami mohon agar Bapak Gubernur Sulawesi Utara berkenan memberikan sambutan sekaligus membuka secara resmi Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian ini. Demikian Laporan kami, atas perhatiannya diucapkan terimakasih. Kepala Balai ttd Dr. Ir. Mahfudz, MP. NIP. 19670829 199203 1 004
xiv
SAMBUTAN DIREKTUR SEAMEO BIOTROP PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO Manado, 23 Oktober 2012 Assalamualaikum Warakhmatullah Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati, Gubernur Sulawesi Utara Kepala Badan Litbang Kehutanan Dirjen Bina Usaha Kehutanan Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang pemberdayaan masyarakat Direktur Eksekutif Yayasan Burung Indonesia Kepala Dinas Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang membidangi kehutanan, Kepala UPT Kementrian Kehutanan, Peserta Seminar yang berbahagia. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas ridho rahmat dan karunia-Nya, hari ini kita dapat berkumpul bersilaturahmi untuk mengikuti seminar hasil penelitian yang diadakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dan para pihak. Semoga Bapak/Ibu sekalian selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Peserta Seminar yang saya hormati, Seminar hasil penelitian dengan tema “ Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), konservasi dan rehabilitasi Hutan” sangatlah strategis untuk kita bahas pada kesempatan ini. Saat ini Balai Penelitian Kehutanan Manado sedang menggencarkan penelitian inovatif untuk mendukung pengembangan Hutan Tanaman termasuk hutan tanaman rakyat yang sedang digalakkan di Provinsi Sulawesi Utara.
xv
Bapak/ibu peserta seminar yang berbahagia, SEAMEO BIOTROP lembaga di bawah organisasi Menteri Pendidikan Asia Tenggara (didirikan lebih dulu daripada ASEAN). Kajian yang dilaksanakan biotrop sesuai dengan misi BPK Manado, sehingga apresiasi tinggi patut diberikan terhadap kegiatan penelitian yang sudah berkontribusi kepada masyarakat. Peningkatan peran biotrop dalam pengembangan kegiatan kerjasama penelitian antara Biotrop dengan BPK Manado dan BKSDA haruslah ditingkatkan dan segera diwujudkan dalam sebuah nota kesepahaman. Baru saja kami menghasilkan produk kultur rumput laut bibit unggul, pilot project di Lombok, Lampung dan Maros dan diharapkan akan dapat diaplikasikan di Manado. Bersama-sama mengembangkan riset dan SEAMEO BIOTROP akan terus berada di barisan depan pengembangan penelitian tersebut. Kami mengucapkan terima kasih yang setingi-tingginya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Bapak Dr. S. Sarundajang yang telah mendukung penuh dan memberikan iklim yang kondusif bagi pengembangan kehutanan khususnya di provinsi sulawesi utara. Bapak/ibu peserta seminar yang berbahagia, Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Burung Indonesia, Ditjen BUK, BPDAS Tondano, ITTO dan Direktur Manado Post atas kerjasamanya mendukung kegiatan seminar ini yang berskala Nasional. Kami ucapkan selamat kepada Balai Penelitian Manado yang telah menyelenggarakan seminar ini dan Balai Penelitian Manokwari atas partisipasi aktif dalam penyelenggaraan seminar ini. Semoga hasil-hasil seminar ini dapat memberikan manfaat kongkrit bagi pembangunan kehutanan di Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.
xvi
Demikian sambutan saya, Semoga Allah SWT senatiasa memberikan bimbingan kepada kita semua. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Direktur Seameo Biotrop Ttd Bambang Purwantara
xvii
xviii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO Manado, 23-24 Oktober 2012 Assalamualaikum Warakhmatullah Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati, Gubernur Sulawesi Utara Bupati Bolaang Mongondow Utara Bupati Minahasa Utara Dirjen Bina Usaha Kehutanan Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang pemberdayaan masyarakat Direktur BIOTROP Direktur Eksekutif Burung Indonesia Kepala Dinas Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang membidangi kehutanan, Kepala UPT Kementrian Kehutanan, Peserta Seminar yang berbahagia. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas ridho rahmat dan karunia-Nya, hari ini kita dapat berkumpul bersilaturahmi untuk mengikuti seminar hasil penelitian yang diadakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dan para pihak. Semoga Bapak/Ibu sekalian selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Perubahan paradigma tersebut adalah pengelolaan hutan yang berorientasi pada produk dan peningkatan devisa, sentralisasi serta penitikberatan pengusahaan kayu (timber extraction and state based forest management), menjadi pengelolaan hutan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan lingkungan, desentralisasi dan berbasiskan masyarakat serta pengelolaan ekosistem hutan.
xix
Peserta Seminar yang saya hormati, Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Dalam tataran global, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah masalah deforestasi hutan dengan laju yang tinggi berdasarkan data Ditjen RLPS pada tahun 2000 mencapai 1,6 juta hektar/tahun. Dengan laju kerusakan yang tinggi tersebut luas hutan Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut mengakibatkan sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi yang sangat berarti. Berdasarkan pertimbangan di atas, diperlukan suatu pemikiran yang serius mengenai pengelolaan hutan di masa kini dan masa yang akan datang. Pengelolaan hutan di masa yang akan datang harus sejalan dengan arah pembangunan kehutanan di abad 21 dengan paradigma baru pembangunan kehutanan Indonesia. Perubahan paradigma tersebut adalah pengelolaan hutan yang berorientasi pada produk dan peningkatan devisa, sentralisasi serta penitikberatan pengusahaan kayu (timber extraction and state based forest management ), menjadi pengelolaan hutan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan lingkungan, desentralisasi dan berbasiskan masyarakat serta pengelolaan ekosistem hutan (resources and community based forest management). Salah satu wujud nyata perubahan paradigma pembangunan kehutanan adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang RI
xx
Nomor: 41/1999 tentang Kehutanan menggantikan Undang-Undang Kehutanan Nomor: 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Bapak/ibu peserta seminar yang berbahagia, Perubahan pradigma pembangunan kehutanan juga diitandai dengan visi kementerian periode 2010-2014 adalah :“Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”. yang lebih menekankan pada aspek kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Hal ini sangat sesuai kondisi saat ini terutama untuk : menjaga stabilitas ekonomi mikro yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pembenahan sektor riil untuk peningkatan dan penyerapan lapangan kerja, memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan dan menjaga kualitas lingkungan. Semangat mengedepankan kepentingan rakyat menjadi dasar dalam melaksanakan serangkaian program pada Kementerian Kehutanan. Dengan demikian, pengelolaan hutan tidak boleh hanya mengedepankan fungsi ekologi dan ekonomi hutan, tapi juga fungsi sosial. Kita semua menghendaki, masyarakat yang hidup di sekitar hutan harus bisa merasakan manfaat dari keberadaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk itu beberapa program telah dicanangkan melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan sekaligus sebagai salah satu usaha untuk mengatasi konflik dibidang kehutanan. Kedepan beberapa program konservasi dan rehabilitasi hutan dengan melibatkan masyarakat juga terus digalakkan dan didorong sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Oleh karena itu seminar hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), konservasi dan rehabilitasi Hutan” sangatlah strategis untuk kita bahas pada kesempatan ini. Saat ini Badan Litbang khususnya Balai Penelitian Kehutanan Manado sedang menggencarkan penelitian inovatif untuk mendukung pengembangan Hutan Tanaman termasuk hutan tanaman rakyat yang sedang digalakkan di Provinsi Sulawesi Utara, teknologi konservasi baik flora maupun fauna seperti jenis anoa, burung sampiri maupun kayu hitam, penemuan jenis tanaman obat untuk penyakit kanker, teknologi penyediaan benih unggul
xxi
dan pembibitan, serta teknologi rehabilitasi yang tepat guna mengatasi laju degradasi lahan. Alih dan transfer teknologi juga telah dilakukan kepada petani HTR bekerjasama dengan ITTO, Pengembangan kelembagaan melalui pemanfaatan mikrohidro dengan masyarakat mengkang telah membantu kebutuhan listrik untuk 60 kepala keluarga dan secara sadar masyarakat menanam di daerah sekitarnya, transfer IPTEK kepada Penyuluh,Guru, dan anak sekolah serta masyarakat. Bapak/ibu peserta seminar yang berbahagia, Pada dasarnya kita tidak dapat bekerja sendirian karena secara kodrati kita adalah mahluk sosial yang merupakan bagian dari sistem kehidupan. Oleh karenanya kemitraan yang dibangun seperti halnya seminar ini adalah merupakan salah satu penentu dalam pembangunan kehutanan. Kemitraan harus terus ditingkatkan diantara lembaga penelitian, lembaga penelitian dengan pengguna dan masyarakat serta lembaga penelitian dengan pemerintah sehingga kegiatan penelitian dapat berperan optimal dan hasilhasil penelitian bermanfaat secara langsung kepada pengguna serta menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan baik di pusat maupun daerah. Kami mengucapkan tarima kasih yang setingi-tingginya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Bapak Dr. S. Sarundajang yang telah mendukung penuh dan memberikan iklim yang kondusif terhadap keberadaan Balai Penelitian Kehutanan Manado yang berdiri 5 tahun lalu. Kerjasama dengan para pihak seperti Ditjen Bina Usaha Kehutanan untuk mendukung pengembangan hutan tanaman rakyat; BPDAS Tondano dalam mengembangkan teknologi penyediaan benih unggul, persemaian dan teknik rehabilitasi; BKSDA Sulawesi Utara dalam mengembangkan teknologi konservasi flora dan fauna; serta pihak lain dan masyarakat di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara agar terus dibina dan ditingkatkan. Bapak/ibu peserta seminar yang berbahagia, Kami mengharapkan keberadaan Balai Penelitian Kehutanan Manado dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan daerah dan masyarakat di ketiga provinsi ini dengan hasil-hasil IPTEK melalui kegiatan pemasyarakatan/diseminasi/alih teknologi maupun fasilitasi transfer IPTEK
xxii
kepada pengguna. Pada seminar ini Bapak/ibu dapat mendengarkan dan berkontribusi secara aktif terhadap perkembangan IPTEK dari Balai Penelitian Kehutanan Manado maupun Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dan beberapa pihak terkait dengan topik pengembangan hutan tanaman, restorasi ekosistem, prospek pengembangan jabon, Pemanfaatan Tanaman Obat Tradisional, konservasi flora dan fauna, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, serta visualiasi melalui kegiatan pameran IPTEK maupun dari pengguna yang selama ini melakukan kemitraan dengan Balai Penelitian Kehutanan Manado. Terima kasih kami ucapkan kepada Direktur Biotrop, Burung Indonesia, Ditjen BUK, BPDAS Tondano, ITTO, BPK Manokwari dan Direktur Manado Post atas kerjasamanya mendukung kegiatan seminar ini yang berskala Nasional. Kami ucapkan selamat kepada Balai Penelitian Manado yang telah menginisiasi dan menyelenggarakan seminar ini dan Balai Penelitian Manokwari atas partisipasi aktif dalam penyelenggaraan seminar ini. Semoga hasil-hasil seminar ini dapat memberikan manfaat kongkrit bagi pembangunan kehutanan di Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya. Demikian sambutan saya, Semoga Allah SWT senatiasa memberikan bimbingan kepada kita semua. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Kepala Badan Ttd Dr. R. Iman Santoso
xxiii
xxiv
SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI UTARA Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” Manado, 23 Oktober 2012 Salam Sejahtera bagi kita sekalian, Assalamu’alaikum Warakhmatulahi Wabarakatuh Marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan anugerahnya, kita dapat menghadiri acara Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian yang merangkai tema, “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan”. Mengiringi kebersamaan ini, saya menyambut gembira dan memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan kegiatan ini, sambil menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Harian Manado Post untuk menyelenggarakan kegiatan yang sangat bermanfaat ini, terutama dalam upaya untuk memasyarakatkan Hasil-Hasil Penelitian serta membangun kemitraan dan sinergi dengan segenap stakeholders terkait. Hadirin yang saya hormati, Disadari bersama bahwa hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Hutan adalah anugerah Tuhan yang dapat memberikan manfaat serbaguna, sekaligus berfungsi sebagai salah satu penyangga kehidupan bagi umat
xxv
manusia, sebab itu keberadaan hutan harus dimanfaatkan secara optimal, tapi harus dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat, baik untuk generasi masa kini maupun anak cucu kita sebagai generasi yang akan datang. Disamping itu, hutan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki manfaat nyata bagi kelangsungan hidup manusia. Diyakini pula, hutan bukan saja memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial budaya, tetapi yang sangat penting adalah hutan memberikan manfaat ekologis, dimana peranannya sangat vital bagi kelestarian lingkungan hidup. Dengan manfaat ekologis ini, telah menjadikan hutan Indonesia, termasuk di daerah kita bukan saja sebagai aset bangsa, tetapi juga menjadi aset dunia. Dalam konteks itulah maka kita perlu menyatukan tekad untuk bersungguhsungguh mengelola hutan secara lestari, dengan mengerahkan segenap kekuatan dalam memberikan perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya hutan agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat. Kita ketahui bersama bahwa saat ini hutan sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat cenderung mengalami degradasi, karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dikembalikan fungsinya dan dikelola dengan adil, arif dan bijaksana, terbuka, professional serta bertanggung jawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berdimensi perencanaan, pengelolaan, peningkatan profesional dan pengawasan harus berwawasan global, serta menunjang dinamika aspirasi, adat dan berbudaya, serta tata nilai masyarakat yang berasaskan pada norma hukum nasional. Hal ini harus didukung dengan berbagai upaya cerdas dan produktif, antara lain melalui pengembangan hutan tanaman rakyat, konservasi dan rehabilitasi hutan, dimana hasil-hasil penelitiannya dipamerkan saat ini dan dibahas dalam seminar yang penting ini.
xxvi
Pembangunan hutan rakyat yang berkelanjutan dari tahun ke tahun serta pengelolaannya diarahkan sebagai usaha kelompok secara mandiri, diharapkan dapat mempercepat upaya rehabilitasi lahan, perbaikan lingkungan, pemenuhan kebutuhan kayu sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan di sekitar hutan. Tujuan pembuatan hutan rakyat adalah terwujudnya tanaman hutan rakyat sebagi upaya rehabilitasi untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai hasil, berupa kayu-kayuan dan non kayu, memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kualitas hidup lingkungan. Oleh karena itu, melalui seminar dan pameran ini saya mengajak kita semua untuk berpikir cerdas merumuskan langkah-langkah strategis guna memperbaiki ataupun mengembangkan tata kelola hutan secara transparansi, akuntabilitas dan kesetaraan. Karena tata kelola kehutanan yang lemah, termasuk lemahnya pengawasan dan pengamanan hutan akan merusak iklim investasi, potensi ekonomi pedesaan, dan daya saing serta reputasi Indonesia di mata internasional. Disamping itu juga, kita perlu melibatkan rakyat untuk bersama-sama menggalang kekuatan menghentikan langkah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan aksi perusakan hutan. Perlu diformulasikan dan dikembangkan sistem pengawasan dan pengamanan hutan secara terpadu antara pemerintah bersama masyarakat. Menjadi tugas kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia dan dampak buruk yang dapat terjadi bila hutan hilang atau rusak.
xxvii
Hadirin yang saya hormati, Demikianlah sambutan saya, akhirnya sambil memohon rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan ini pelaksanaan Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian dengan Tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan”, saya nyatakan secara resmi “DIBUKA”. Terimakasih Pakatuan Wo Pakalawiren Wassalamu’alaikum warakhmatullahi wabarakatuh, Shaloom…..
Gubernur Sulawesi Utara Ttd Dr. S.H. Sarundajang
xxviii
RUMUSAN Berdasarkan sambutan Gubernur Sulawesi Utara, Kepala Badan Litbang Kehutanan, Direktur BIOTROP dan paparan makalah dari para pembicara serta diskusi yang berkembang selama seminar selama 2 (dua) hari, maka hasil seminar dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara memberikan apresiasi terhadap upaya membangun hutan tanaman rakyat untuk mendukung perekonomian masyarakat dan pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara berkomitmen untuk mengembangkan hutan rakyat dengan mengalokasikan pengembangan awal untuk hutan rakyat seluas 1.000 Ha; 2. Pembangunan hutan tanaman diperlukan untuk mendukung perekonomian negara, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan; 3. Penting untuk menyampaikan hasil riset kepada masyarakat dan meyakinkan bahwa menanam pohon mendatangkan banyak manfaat baik dari segi lingkungan maupun ekonomi; 4. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan melibatkan masyarakat sangat mungkin diwujudkan didukung oleh kebijakan dan iptek kehutanan; 5. Pelaksanaan penelitian harus memperhatikan metodologi yang tepat sehingga hasil penelitian bisa lebih sesuai tujuan; 6. Teknologi diperlukan untuk meningkatkan pembangunan, tetapi diperlukan keselarasan dengan kearifan lokal; 7. Rehabilitasi merupakan salah satu kegiatan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi perlu penelitian mengenai kesesuian jenis dan kesesuaian tanah/lahan, dampak yang timbul, serta nilai ekonomis; 8. Sulawesi Utara memiliki potensi mangrove yang bernilai ekonomi dan ekologi yang tinggi; 9. Jenis invasif merupakan isu penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi;
xxix
10. Indonesia memiliki kekayaan flora fauna luar biasa, ekplorasi ilmu pengetahuan perlu didukung termasuk penguatan kapasitas sumberdaya manusia serta butuh pendekatan khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam melalui inovasi teknologi; 11. Manusia tidak bisa menghindarkan diri dari bencana alam, namun dapat dikurangi resikonya dengan pemanfaatan teknologi. Dirumuskan di: Manado Pada Tanggal :24 Oktober 2012
Tim Perumus: Ketua Merangkap Anggota: Dr.Ir. Johny S. Tasirin, M.ScF. Angggota: 1. Dr. Ir. Mahfudz, MP 2. Ir. Harisetijono, MSc. 3. Dr. Ir. Martina Langi, MSc. 4. Ir. La Ode Asir Tira, MSi.
xxx
xxxi
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
5PROSPEK PENGEMBANGAN JABON UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN1 Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.1,2 1
SEAMEO BIOTROP Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology, Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor. E-mail:
[email protected] 2
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat. E-mail:
[email protected]
I. Pendahuluan Bangsa Indonesia dikarunia Tuhan dengan hutan alam yang demikian luas dengan keanekaragaman hayati flora dan faunanya yang demikian tinggi, termasuk jenis pohon-pohon yang tumbuh di dalamnya. Sejak lama hutan alam menjadi sumber utama pasokan kayu untuk keperluan domestik, industri, maupun impor. Kecepatan kehilangan jenis-jenis pohon kehutanan Indonesia melebihi kecepatan para peneliti memahami kharakteristik jenis-jenis pohon kehutanan sebagai modal pengetahuan untuk melakukan konservasi maupun budidayanya. Dari sekian banyak jenis pohon kehutanan asli Indonesia, baru sebagian kecil saja yang telah dibudidayakan untuk tujuan komersial, diantaranya adalah sengon (Falcataria moluccana), jabon (Anthocephalus cadamba). Sengon telah dibudayakan secara besar-besaran sejak tahun 1980-an, sedangkan jabon baru dikenal beberapa tahun terakhir. Beberapa jenis pohon lain baik jenis lokal maupun eksotik juga telah dibudidayakan dalam skala lebih kecil oleh masyarakat atau skala besar untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), antara lain kayu afrika (Maesopsis eminii), jati putih (Gmelina arborea), mindi (Melia azedarach), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), sono keling (Dalbergia speciosa), 1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
1
akasia (Acacia auriculiformis, Acacia mangium, dan Acacia cracicarpa), suren (Toona sureni), suren leuweung (Azadirachta excelsa), dll. Minat masyarakat untuk melakukan investasi dengan menanam pohon semakin tinggi. Namun demikian masih banyak informasi silvikultur (teknik budidaya) dari pohon-pohon kehutanan tersebut yang belum diketahui oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat harus mengeluarkan dana yang lebih besar dari seharusnya. Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan jenis pohon pionir asli Indonesia yang memiliki penyebaran alami yang luas dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini banyak dijumpai di tempat-tempat terbuka bekas tebangan, atau di kanan-kiri jalan logging. Jabon juga banyak dijumpai di lahan-lahan bekas tambang khususnya di Kalimantan, tumbuh alami di tempat-tempat terbuka maupun di sela-sela Acacia mangium yang telah ditanam terlebih dahulu sebagai upaya reklamasi lahan bekas tambang. Jabon barangkali satu-satunya pohon cepat tumbuh komersial yang penyebarannya merata secara alami di seluruh Indonesia, dan juga dikenal secara Internasional. Namun di Indonesia, meskipun penelitian telah dilakukan sejak lama, namun dikenal oleh masyarakat dan mulai ditanam secara intensif baru 2-3 tahun terakhir. Jabon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis-jenis pohon kehutanan cepat tumbuh lainnya yang saat ini telah dikenal masyarakat luas, antara lain: 1) jenis pohon asli Indonesia dengan penyebaran (asli maupun tanaman) yang luas, 2) mudah diperbanyak, karena benih telah tersedia di pasaran, dan jabon juga dapat diperbanyak secara vegetatif melalui stek, sambungan, cangkok, maupun kultur jaringan, 3) budidayanya (produksi bibit, penanaman, dan pemeliharaan) mudah, informasi teknik budidaya telah tersedia (buku maupun internet), 4) kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan dari yang sederhana (papan cor, kotak telur dan sayur, palet) sampai untuk membuat meubel maupun bahan-bahan industri (kayu lapis, moulding, dan kertas), dan 5) jika diakses melalui situs-situs diinternet, seringkali jabon dikenal sebagai tanaman obat, yaitu dari ekstrak dari buah, akar, dan kulit batang, sebagai
2 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
contoh
situs
Herbal
Cureindia
(dapat
diakses
di
http://www.herbalcureindia. Com.) II. Sekilas Teknik Budidaya Jabon Sejak peluang investasi jabon diselenggarakan oleh Himpunan Profesi Mahasiswa Tree Grower Community di Bogor pada tahun 2008 yang lalu, jabon bertambah populer. Beberapa buku dan informasi tentang jabon di internet banyak tersedia. Pembibitan jabon juga tumbuh di mana-mana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berminat menanam jabon. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku dan kharakteristik pohon jabon semakin dipahami. Dengan demikian dapat diketahui teknik budidaya, mulai dari pengunduhan buah, ekstraksi benih, pengecambahan, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan yang tepat. Buah jabon dipanen antara bulan Mei sampai Juli, lalu benih dapat diekstrak dengan cara kering maupun basah. Ekstraksi benih dengan cara kering dilakukan dengan mencacah buah tipis-tipis kemudian dijemur 1-2 hari sampai kering. Penjemuran terlalu lama dapat menurunkan viabilitas benih yang dihasilkan. Setelah itu serpihan buah yang sudah kering lalu ditumbuk halus dan disaring dengan saringan kopi. Benih akan lolos bersama serbuk yang halus. Dalam ekstraksi benih dengan cara basah, buah jabon direndam semalam lalu dihancurkan. Selanjutnya buah yang hancur dalam air disaring untuk memisahkan daging buah dengan benih. Untuk memisahkan benih dari air dapat digunakan kain sifon. Dengan menyaring menggunakan kain sifon, air akan lolos sedangkan benih akan tertahan. Benih bersama kain sifon dikering udarakan. Benih hasil ekstraksi sebaiknya tidak disimpan lama.
Meskipun dalam literatur dinyatakan
bahwa benih jabon dapat disimpan sampai satu tahun, namun pada kenyataannya setelah penyimpanan 2-3 bulan, baik pada suhu kamar maupun di lemari pendingin, daya kecambah benih jabon akan turun. Pengecambahan benih jabon dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi kunci utama adalah kelembaban dan suhu (teduh). Pengecambahan sebaiknya dilakukan di bawah sungkup yang dapat menjaga kelembaban
3
sepanjang waktu. Di atas sungkup dipasang paranet untuk menurunkan suhu. Banyak macam media yang dapat digunakan untuk mengecambahkan benih jabon, mulai dari tanah, pasir, campuran tanah dan pasir (1:1), campuran pasir dengan arang sekam (5:1). Yang terpenting dalam penyiapan media perkecambahan adalah perlunya sterilisasi media dengan cara disangrai.
Hal ini diperlukan mengingat kecambah jabon sangat
rentan dengan serangan penyakit lodoh. Serangan penyakit lodoh dapat mematikan kecambah jabon dan menyebar dengan cepat. Dalam menabur benih jabon, disarankan mencampur dengan media dengan perbandingan 1:20-30 (benih : media). Kecambah yang terlalu rapat dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, sehingga memperlambat waktu penyapihan. Kecambah yang telah berdaun dengan ukuran kuku jari dapat disapih ke polybag. Bibit siap ditanam di lapangan setelah mencapai tinggi 30 cm. Selama di persemaian, secara berkala perlu melakukan seleksi bibit berdasar ukuran. Bibit yang berukuran kecil dikumpulkan dengan bibit yang berukuran kecil, dan yang besar dengan yang besar. Dengan demikian tidak terjadi persaingan cahaya dan tidak ada bibit yang mati karena ternaungi bibit yang lain. Seringkali masyarakat menanyakan berapa jarak tanam yang sebaiknya digunakan dalam penanaman jabon. Jabon merupakan pohon yang secara alami memiliki kemampuan tumbuh lurus ke atas dengan cabang-cabang ke samping yang kecil, dan batang berbentuk silindris. Oleh karena itu, jabon tidak harus ditanam secara rapat untuk mendapatkan batang yang lurus. Dari pengalaman penulis menanam jabon, jarak tanam paling sempit yang dapat dilakukan untuk jabon adalah 3 x 3 m. Jarak tanam yang lebih sempit menyebabkan pohon jabon tumbuh tinggi dengan cepat tetapi berbatang kurus. Penggunaan pupuk dalam penanaman jabon sangat tergantung kepada tujuan penanaman. Jika penanaman dilakukan untuk tujuan investasi, semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan kegiatan pemeliharaan, maka pohon akan cepat besar dan cepat dapat dipanen. Tetapi jika pupuk yang diberikan terbatas, maka pohon jabon akan tumbuh
4 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
lebih lambat dan waktu panen pun lebih lambat. Kegiatan pemeliharaan yang diperlukan untuk jabon, karena pertumbuhannya yang demikian cepat maka penyiangan gulma hanya diperlukan satu tahun pertama saja. Hasil pengukuran pohon jabon yang ditanam di kebun penulis di Bogor, pada kondisi tanah yang baik pohon jabon dapat tumbuh mencapai tinggi 12 m dengan diameter 21,5 cm pada umur 1,5 tahun. Pemeliharaan selanjutnya adalah penjarangan jika cabang-cabang pohon jabon sudah saling bersentuhan lebih dari 50%. Membiarkan pohon bersaing untuk mendapatkan cahaya akan mengakibatkan pohon-pohon tersebut tumbuh kurus tinggi. Seringkali masyarakat merasa sayang untuk melakukan penjarangan karena terlalu sayang kepada pohon-pohonnya. Setelah pohon jabon ditebang/dipanen, maka tunggak/tunggul pohon tersebut akan kembali bertunas. Jika tunas-tunas tersebut dipelihara maka mereka akan tumbuh menjadi pohon kembali dan siap untuk dipanen dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan penanaman kembali dengan bibit. Budidaya pohon dengan teknik terubusan bukanlah teknik baru, tetapi belum banyak yang mengetahui. Teknik terubusan dilakukan dengan cara memelihara tunas-tunas yang tumbuh dari tunggak/tunggul kayu yang telah ditebang agar tumbuh menjadi batang pohon yang baru. Masyarakat di desa-desa tanpa sengaja melakukan hal ini, yaitu dengan membiarkan tunas-tunas yang tumbuh dari tunggak menjadi pohon-pohon baru. Dalam budidaya pohon, teknik terubusan dengan sengaja dilakukan untuk menekan biaya penanaman. Dengan memelihara terubusan, maka tidak diperlukan lagi untuk melakukan penanaman bibit baru. Dengan demikian biaya penanaman (harga bibit, biaya angkut bibit, pengolahan lahan, pembuatan lubang tanam, penanaman) dapat ditiadakan. Teknik terubusan pada awalnya diterapkan untuk produksi kayu bakar, dimana jenis-jenis pohon penghasil kayu bakar, seperti lamtoro, kaliandra, dan di beberapa tempat juga ekaliptus ditebang untuk kayu bakar, kemudian
terubusannya dipelihara
untuk
ditebang
pada
periode
berikutnya. Dalam produksi kayu bakar, tidak diperlukan ukuran batang
5
kayu yang besar. Oleh karena itu dengan cara terubusan ini, dapat dihasilkan kayu bakar dengan rotasi yang relatif pendek. Tunas-tunas yang tumbuh dari tunggak bekas tebangan biasanya tumbuh lebih dari satu, sehingga pada periode panen berikutnya volume yang dihasilkan akan bertambah. Dengan berjalannya waktu, di kebun-kebun rakyat teknik ini juga dilakukan tanpa sengaja pada pohon-pohon besar yang batangnya ditebang untuk tujuan pertukangan, seperti jati. Pemilik pohon jati yang tumbuh di kebun-kebun,
setelah
pohon
ditebang
kemudian
dibiarkan
saja
terubusannya/tunasnya tumbuh menjadi pohon tanpa campur tangan pemilik pohon. Tanpa pengelolaan, terubusan tidak memberikan hasil yang maksimum karena tidak ada penjarangan. Tunas yang tumbuh lebih dari satu pada tunggul bekas tebangan akan bersaing satu sama lain sehingga pertumbuhannya akan lebih lambat dibandingkan dengan terubusan yang dikelola dan dijarangi sehingga hanya meninggalkan satu terubusan atau tunas yang terbaik untuk dipelihara menjadi pohon. Terubusan diperkirakan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit yang ditanam dari awal, karena memiliki struktur perakaran yang lebih luas dan lebih kokoh. Dengan demikian terubusan dari tunggak akan memperoleh pasokan air dan unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan bibit yang baru ditanam. Jacob (1981) dalam Evans (1992) melaporkan bahwa terubusan Eucalyptus yang ditebang pada rotasi 5 tahunan di Kenya, hasil terubusan adalah dua kali lipat dibandingkan dengan hasil tegakan awalnya yang ditanam dari bibit. Tidak semua pohon setelah ditebang akan menghasilkan terubusan. Hal ini dipengaruhi jenis, umur, dan barangkali juga genetik dari individu pohon. Sengon, jabon, jati, mindi, sono keling, kayu afrika, gmelina, suren leuweung adalah beberapa contoh jenis pohon yang mampu menghasilkan terubusan setelah ditebang.
Bahkan di Jawa Barat, sengon, suren
leuweung, dan kayu afrika telah dikelola dengan teknik terubusan secara intensif. Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, jati rakyat juga dikelola dengan teknik terubusan. Di Kebumen, Jawa Tengah, sono keling yang
6 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
tumbuh di kebun-kebun rakyat juga dikelola dengan teknik terubusan. Jabon memang belum banyak dilaporkan mengenai teknik budidaya dengan terubusan. Namun, penulis telah melaksanakan praktek tersebut di kebun milik penulis. Seperti disampaikan di atas bahwa sengon dan jabon dapat dibudidayakan dengan teknik terubusan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan (Evans, 1992) adalah waktu penebangan, teknik penebangan, tinggi tunggak, penjarangan terubusan, penyulaman, dan pemeliharaan terubusan. Waktu penebangan. Untuk mendapatkan terubusan yang maksimal, penebangan pohon sebaiknya dilakukan pada musim hujan. Penebangan pada musim kemarau akan beresiko menyebabkan tunggak cepat mengalami kekeringan/dehidrasi sehingga terubusan gagal tumbuh. Penebangan disarankan dilakukan pada akhir musim hujan, dimana tanah masih basah sementara cadangan karbohidrat, sebagai cadangan energi untuk pertumbuhan terubusan, tinggi. Teknik penebangan. Penebangan dengan cara meneres (mematikan pohon dengan cara memutus kambium, sehingga pohon mati berdiri, seperti
pada
jati),
tidak
direkomendasikan.
Penebangan
dengan
menggunakan gergaji lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kapak. Tinggi tunggak. Penebangan rata tanah untuk mendapat hasil kayu yang maksimum akan menghambat munculnya terubusan, sedangkan menyisakan tunggak terlalu tinggi, selain mengurangi hasil kayu, juga akan menyebabkan terubusan yang dihasilkan rawan tumbang/patah karena angin. Tinggi tunggak yang di sarankan adalah 30-50 cm dari permukaan tanah. Penjarangan Terubusan. Dari satu tunggak biasanya akan muncul lebih dari satu terubusan. Jika dibiarkan, maka akan diperoleh terubusan yang kurus tinggi dengan diameter kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan penjarangan. Masyarakat di Karangpawitan, Kabupaten Garut, membiarkan terubusan sengon tumbuh sampai berumur 1 tahun, kemudian
7
mencangkok beberapa terubusan yang baik, meninggalkan satu terubusan terbaik tidak terganggu, dan memotong terubusan yang pertumbuhannya tertinggal. Setelah cangkokan berakar, cangkokan dipotong dan ditanam di tempat lain. Membiarkan terubusan tumbuh bersama-sama selama satu tahun akan menghasilkan terubusan dengan batang-batang yang lurus karena terubusan akan bersaing tumbuh tinggi untuk mendapatkan sinar matahari. Penyulaman. Setelah ditebang, tidak semua pohon di dalam satu tegakan akan tumbuh kembali dengan menghasilkan terubusan. Sebagian pohon akan mati setelah ditebang. Oleh karena itu untuk mendapatkan jumlah pohon per hektar yang tetap perlu dilakukan penyulaman. Penyulaman dapat dilakukan segera setelah penebangan dengan menggunakan bibit, atau menggunakan cangkokan terubusan (poin e). Mengingat terubusan yang berumur 1 tahun dapat mencapai tinggi 2-3 m, maka perlu diberi penyangga untuk penanamannya agar tidak mudah roboh. Pemeliharaan terubusan. Pada awal pertumbuhan sampai pangkal terubusan menjadi lebih kuat memegang tunggak, terubusan rawan terhadap gangguan angin yang kencang atau gesekan oleh hewan ternak. Disamping itu, tunggak akan membusuk sehingga pegangan terubusan menjadi kurang kuat.
Oleh karena itu, agar terubusan tetap tumbuh
dengan baik, jika diperlukan terubusan dapat diberi penyangga agar tidak roboh. Jumlah rotasi.
Semakin tua umur pohon maka akan semakin
berkurang kemampuan untuk menghasilkan terubusan, dan kecepatan tumbuh dari terubusan yang dihasilkan akan berkurang. Oleh karena itu pembangunan hutan dengan terubusan ini tidak dapat dilakukan terusmenerus pada batang yang sama. Terubusan dilakukan sampai rotasi ke tiga atau ke empat, kemudian tunggak dibongkar dan ditanami lagi dengan menggunakan bibit.
8 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
III. Jabon Putih vs Jabon Merah Saat ini telah dikenal di masyarakat adanya jabon putih (Anthocephalus cadamba) dan jabon merah (Anthocephalus macropyllus).
Secara fisik
kedua jenis jabon ini dapat dibedakan dengan mudah, karena jabon putih daunnya memiliki tangkai daun, daunnya berwarna hijau, licin dan mengkilat tidak berbulu, kulit batang kayu berwarna hijau kelabu waktu muda menjadi kelabu saat berumur lebih dari 4 tahun, kayunya berwarna putih. Seperti disampaikan di atas bahwa penyebarannya sangat luas dari Aceh sampai Papua. Jabon merah daunnya tidak bertangkai tetapi langsung duduk ke ranting, daunnya berwarna hijau kadang ada semburan merah, kasar dan berbulu. Batang berwarna hijau coklat pada waktu muda dan menjadi coklat tua-hitam setelah dewasa. Kayunya berwarna merah. Dari kerapatan kayunya, jabon merah lebih tinggi dibandingkan jabon putih. Sebagai informasi awal, kecepatan tumbuh jabon merah lebih lambat dibandingkan dengan jabon putih, tetapi dari segi gangguan hama jabon merah tidak banyak mengalami gangguan oleh hama. IV. Penanaman Jabon untuk Investasi (Hutan Tanaman) Kerusakan hutan alam akibat pengelolaan yang kurang tepat dan berkurangnya luasan hutan akan menyebabkan menurunkan produksi kayu dari hutan alam. Hal ini dapat dilihat dari data statistik kehutanan yang dapat
diakses
melalui
website
Kementerian
Kehutanan
RI
(www.dephut.go.id) dimana produksi kayu bulat pada tahun 1991/1992 tercatat 28.267.000 m3 turun hingga hanya 4.610.000 m3 saja pada tahun 2008. Kayu bulat berasal dari pohon-pohon komersial di hutan alam yang berdiameter di atas 50 cm. Tahun 2010 dengan menurunkan batas bawah ukuran diameter pohon yang boleh ditebang di hutan alam menjadi 40 cm maka produksi dapat dinaikkan ke 9.100.000 m3 (Kepmenhut No. SK.651/Menhut-II/2009). Jumlah ini tentu saja masih jauh di bawah kapasitas produksi industri kayu yang telah terlanjur dibangun dan kebutuhan domestik. Jumlah HPH juga berkurang, dimana pada tahun 1989/1990 sebanyak 557 unit, pada tahun 2001 turun menjadi 351 unit, dan pada tahun 2008 berkurang menjadi 308 unit.
9
Di balik keterpurukan hutan alam, terdapat peluang yang cerah untuk investasi melalui budidaya pohon kehutanan. Harga kayu akan terus naik karena kelangkaan maupun inflasi, termasuk kayu rakyat. Kayu rakyat adalah kayu yang dihasilkan dari hutan-hutan rakyat (ditanam di luar kawasan hutan milik negara). Sebagai ilustrasi, harga kayu sengon dengan rata-rata tinggi 17 m dan diameter 30-40 cm di Banjar tahun 1997 Rp 125.000 per m3 (sumber: http://sengonbuto.com/jutawan-karena-sengon/ diunduh tanggal 27 Juli 2010), tetapi pada tahun 2008 (sepuluh tahun kemudian) harga kayu sengon dengan rata-rata tinggi 16-20 cm dengan diameter minimum 25 cm di Tasikmalaya sudah mencapai Rp 450.000650.000 per m3 (sumber: http://kelompok-tani.com/diunduh tanggal 27 Juli 2010). Hal ini sangat menarik karena dengan biaya investasi dan harga kayu dihitung pada nilai tahun yang sama, keuntungan sudah sangat tinggi, minimum 400% ditambah dengan kenaikan harga pada tahun ke 5 atau 10 maka keuntungan akan lebih berlipat ganda. Minat masyarakat untuk menanam pohon sebagai bagian dari investasi jangka panjang selama 10 tahun terakhir meningkat. Hal ini tidak terlepas dari gencarnya promosi keuntungan yang akan diperoleh dengan menanam pohon jenis tertentu, mulai jati berbagai macam jati unggul, sengon, jati putih, dan sekarang adalah jabon. Namun sangat disayangkan, para pengusaha bibit kehutanan banyak yang mengambil keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat tentang kharakteristik dan teknik budidaya pohon kehutanan, sehingga ada yang mengalami kegagalan atau harus melakukan investasi yang jauh lebih mahal dari yang seharusnya. Seperti disampaikan di atas bahwa jabon memilki banyak keunggulan untuk dijadikan sebagai pohon investasi. Pasar kayu jabon saat ini telah terbuka, beberapa industri kayu lapis yang selama ini mengolah kayu sengon bersedia menerima kayu jabon.
Kayu jabon juga dapat diolah
menjadi kayu gergajian secara umum untuk berbagai keperluan. Animo masyarakat untuk menanam jabon mulai terlihat 2-3 tahun terakhir meningkat.
Di kawasan Jonggol, Jawa Barat blok-blok tanaman jabon
rakyat terlihat di kanan kiri jalan. Pohon jabon ditanam murni maupun
10 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
tumpangsari dengan tanaman pertanian, seperti nanas dan lengkuas. Pada saat tajuk pohon jabon mulai menutup, tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti lengkuas, kunyit, kapulaga, garut dll. dapat ditanam sebagai tanaman tumpangsari. Investasi hutan rakyat tidak harus punya lahan, tetapi harus punya kemauan dan keyakinan akan berhasil. Jika tidak memiliki lahan sendiri, maka investasi dapat dilakukan dengan kerjasama dengan para pemilik lahan (petani, tuan tanah, pesantren, yayasan dll.). Bentuk kerjasama dan bagi hasil sangat bervariasi, mulai dari investor hanya menyediakan bibit sedangkan pemilik lahan melakukan penanaman dan perawatan, hingga investor menyediakan semua kebutuhan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh kepada proporsi bagi hasil antara investor dengan pemilik lahan. Pemilik lahan yang luas tetapi tidak memiliki modal yang cukup, maka dapat bekerjasama dengan petani penggarap. Petani penggarap diijinkan menanaman tanaman pertanian di lahan tersebut, tetapi dengan syarat harus menanam dan merawat pohon milik pemilik lahan. Dalam kondisi seperti ini bisa saja sebagai insentif, pemilik lahan memberikan bagian 1020% hasil penjualan kayu kepada penggarap lahan. Beli-tanam-jual yaitu teknik investasi hutan rakyat yang tidak perlu menunggu panen pohonnya. membeli tanah kemudian menanami dengan jabon, dipelihara dengan baik, setelah tanaman berumur 1 tahun kemudian dijual berikut tanahnya kepada pihak lain yang berminat. Jika investasi dilakukan dengan membeli tanah, maka perlu diperhitungkan hal-hal sebagai berikut: pertama, aksesibilitas harus tinggi karena untuk mengangkut bibit dan bahan-bahan untuk penanaman, serta untuk mengangkut kayu yang dihasilkan dikemudian hari. Aksesibitas yang rendah akan menyebabkan kayu akan dihargai murah karena pembeli harus menanggung biaya eksploitasi lebih tinggi. Kedua, ketinggian dari muka laut sesuai dengan jenis yang akan ditanam (untuk jabon dan sengon sebaiknya kurang dari 500 m dpl). Ketiga, sebaiknya jaraknya tidak jauh dari industri pengolahan kayu untuk mengurangi biaya angkut.
Biaya
11
angkut ke industri yang tinggi juga menyebabkan harga kayu di kebun turun. Keempat, tanahnya relatif datar dan subur terlihat dari penampilan tanaman-tanaman yang tumbuh di tempat tersebut. Kelima, tidak ada sejarah pernah terjadi wabah hama dan penyakit untuk jenis pohon yang akan ditanam di tempat tersebut. Keenam, tidak jauh dari sumber air. Ketujuh, dekat dengan tenaga kerja. V.
Penanaman Jabon Untuk Hutan Tanaman Rakyat Hutan
tanaman
rakyat
merupakan
usaha
pemerintah
untuk
meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan secara langsung. Masyarakat diharapkan membentuk kelompok dengan anggota 20 orang, dimana setiap anggota akan diberikan pinjaman konsesi lahan seluas 15 Ha dan pinjaman modal sebesar Rp 8 juta per Ha yang dikembalikan pada tahun kesembilan. Beberapa persyaratan memang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan areal hutan tanaman rakyat. Hal ini dapat dikonsultasikan dengan Dinas Kehutanan setempat. Program
hutan
tanaman
rakyat
mestinya
akan
memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk merubah ekonomi keluarga. Jika 20 orang dalam kelompok bergotong royong untuk pembersihan lahan dan membuat sendiri pembibitan, maka biaya pembangunan hutan akan dapat dihemat.
Penanaman dilakukan sendiri oleh anggota keluarga, maka
hampir dipastikan tidak ada biaya yang keluar untuk membangun hutan tanaman rakyat. Pohon jabon merah maupun putih tumbuh baik di Sulawesi Utara, sehingga benih dapat dikumpulkan langsung dari bawah pohon-pohon jabon yang berkualitas baik. Setiap buah jabon berisi ribuan benih, sehingga untuk menanam jabon 15 Ha dengan jarak tanam 3 x 3 m (dibulatkan 1.000 bibit/Ha) maka hanya diperlukan beberapa buah saja. Untuk menekan biaya pembelian kompos, maka kompos dapat dibuat sendiri dari daun dan serasah hasil pembersihan lahan. Dengan kerjasama seperti di atas ditambah dengan bimbingan dinas/instansi terkait, maka dengan biaya minimum akan dapat dihasilkan hutan jabon yang bagus dan produktif.
12 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Prospek Pengembangan Jabon……. Irdika Mansyur
Jika ditanam dengan jarak 3x3 m, dengan perawatan yang baik maka pada umur 3 tahun pohon jabon telah mencapai diameter 25-30 cm. Pada umur 3 tahun ini 40% atau 400 pohon sudah dapat ditebang untuk dijual kayunya. Setelah itu pada umur 5 tahun dapat ditebang lagi sebanyak 200 pohon dengan diameter kurang lebih 35-40 cm. Akhirnya sisa pohon yang 400 lagi diperkirakan akan berdiameter 45-50 cm (2-2.5 m3 kayu per pohon) untuk dipanen pada umur 8-9 tahun dengan harga yang tinggi karena diameter yang besar. Dengan perhitungan seperti di atas, satu Ha hutan tanaman rakyat dapat menghasilkan pendapatan Rp 500 juta – 1 M dalam 8-9 tahun. Produk tambahan yang akan dihasilkan sebelum pohon dipanen, ranting-rantingnya dapat dipanen untuk produksi jamur kuping (harga jamur kuping kering di Bogor Rp 75.000/kg), dan bunganya dapat disuling untuk minyak wangi. Dengan demikian, dengan bimbingan yang tepat, petani/pengusaha hutan rakyat akan bertambah sejahtera karena memiliki pendapatan jangka pendek dari jamur dan bunga, serta pendapatan jangka menengah dari hasil penjualan kayu penjarangan, dan jangka panjang dari panen akhir pohon jabon. VI. Tips Budidaya Pohon Jabon Untuk mendapatkan daya hidup dan pertumbuhan yang diharapkan, beberapa hal perlu diperhatikan dalam penanaman pohon jabon, yaitu: 1) tidak boleh di lahan bekas sawah atau sawah yang dikeringkan, atau lahan yang secara periodik tergenang. Pertumbuhan satu tahun pertama tampak tidak ada masalah, bahkan tanaman kelihatan subur, namun menginjak umur 1,5 tahun, tanaman akan meranggas dimana cabang-cabang bagian bawah akan rontok dan cabang berdaun hanya terkumpul di dekat pucuk. 2) demikian juga untuk lahan-lahan yang ekstrim kering. 3) ketinggian tempat dari muka laut sebaiknya kurang dari 500 dpl, 4) tidak ternaungi, dan 5) jarak tanam jangan lebih rapat dari 3 x 3 m. Kondisi-kondisi tersebut tidak mematikan tanaman jabon, tetapi secara signifikan akan menurunkan pertumbuhannya.
13
VII. Penutup Jabon merupakan jenis pohon pionir cepat tumbuh dan komersial yang memiliki penyebaran (alami maupun ditanam) luas di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini selain sangat berpotensi untuk dijadikan pilihan investasi secara umum, juga merupakan jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan tanaman rakyat.
Kayu jabon telah dikenal baik
secara nasional maupun internasional. Dengan demikian pemasaran kayu jabon semakin lama semakin terbuka. Pengembangan jabon di Indonesia perlu dilakukan secara lebih intensif karena dapat memberikan pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dalam waktu yang sama meningkatkan produktivitas hutan dan menjaga pasokan bahan baku industri.
14 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono dan Mahfudz
PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS1 Arif Irawan2, Budi Leksono3 dan Mahfudz4 2,4
Balai Penelitian kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget
Manado, E-mail :
[email protected] dan
[email protected] 3
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jl. Palagan Tentara
Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Email:
[email protected]
Program Kementerian Kehutanan saat ini banyak bermuara pada kegiatan rehabillitasi hutan dan lahan serta kegiatan pembangunan hutan tanaman (HTR, HR, HD, HKm, dan HTI). Berdasarkan data realisasi kegiatan penanaman tahun 2011 yang dirangkum oleh Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan
dan
Lahan,
Kemenhut,
tercatat
telah
ditanam
sebanyak
1.516.592.311 batang pohon. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk penerjemahan kontrak kinerja Menteri Kehutanan RI dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, yang menyatakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan seluas 2,5 juta Ha (2010-2014) atau seluas 500.000 Ha per tahun. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut tentu saja diperlukan benih dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang tinggi pada saat diperlukan. Secara umum tingkat kualitas suatu benih ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu faktor genetik, faktor fisik, dan faktor fisiologis. Faktor genetik erat kaitannya dengan sifat dominan yang diturunkan oleh pohon induk, sedangkan faktor fisik dan fisiologis terkait dengan kondisi fisik dan biologis benih (kondisi fisik benih, ukuran, warna, struktur biokimia yang terdapat dalam benih tersebut). Untuk meningkatkan kualitas genetik benih dapat
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
15
dilakukan melalui kaidah-kaidah pemuliaan, sedangkan faktor fisik dan fisiologis benih dapat dipertahankan dengan cara koleksi, penanganan dan processing serta penyimpanan benih yang tepat. Keberadaan benih unggul telah menjadi perhatian serius oleh banyak pihak. Hal tersebut dikarenakan penggunaan benih unggul dapat menghasilkan perbedaan genetik yang cukup signifikan.
Berdasarkan
pengalaman, perolehan genetik antara benih yang berasal dari provenan terbaik dengan yang sebaliknya diketahui dapat menghasilkan perbedaan nilai mencapai 300 % (Na’iem 2007). Data Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan menyebutkan bahwa hasil pemuliaan benih unggul Acacia mangium dapat meningkatkan riap pohon sampai 49 m3 per hektar per tahun dari rata-rata 25 m3. Demikian pula melalui program pengembangan tanaman Perum Perhutani khusus untuk jenis jati jawa (Tectona grandis) dan pinus (Pinus mercusii). Hasil kajian uji keturunan di PT. SBK pada Shorea leprosula umur 4,5 tahun rerata diameternya 10,48 cm dan keturunan terbaik (tertinggi diameterya) adalah 15,85 cm (Soekotjo, 2009). Secara umum ilustrasi perbedaan penggunaan benih unggul hasil pemuliaan dapat diilustrasikan pada Gambar 1. Berdasarkan beberapa informasi tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan benih unggul merupakan suatu upaya yang dapat memaksimalkan nilai genetik dalam kaidah pemuliaan.
π1→ π2 Seleksi 1 π2→ π3 Seleksi 2 Gambar 1. Pengaruh seleksi benih hasil pemuliaan
16 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono dan Mahfudz
Salah satu cara untuk mendapatkan benih unggul adalah melalui sumber-sumber benih yang telah bersertifikat. Sumber benih bersertifikat ialah tegakan dalam bentuk hutan alam maupun hutan tanaman jenis tanaman tertentu yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan Permenhut P.072/2009. Sumber benih bersertifkat tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang antara lain BPTH (Balai Perbenihan Tanaman Hutan) atau Dinas Kehutanan setempat. Terdapat 7 (tujuh) klasifikasi sumber benih berdasarkan Permenhut P.072/2009. Klasifikasi tersebut dari terendah sampai tertinggi yaitu: Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), Tegakan Benih Terseleksi (TBS), Areal Produksi Benih (APB), Tegakan Benih Provenan (TBP), Kebun Benih Semai (KBS), Kebun Benih Klon (KBK), dan Kebun Pangkas (KP). Klasifikasi terhadap sumber benih tersebut didasarkan atas kualitas genetik dari benih yang dihasilkan, sedangkan kualitas benih dari masingmasing sumber benih ditentukan berdasarkan perlakuan dan seleksi yang telah diterapkan pada tegakan yang dimaksud (Leksono, 2010). Sumber benih unggul dibangun berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pemuliaan, namun pada kondisi-kondisi tertentu (seperti pada kondisi keberadaan pohon induk sebagai populasi dasar sangat sulit ditemukan atau buah yang dapat dikumpulkan dari pohon induk yang terpilih tidak mencukupi), maka penunjukan tegakan benih merupakan langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menghasilkan benih unggul. Tegakan benih dapat dianggap sebagai sumber benih sementara selama pembangunan sumber benih yang mengikuti kaidah pemuliaan belum dapat terealisasi (Na’iem, 2007). Terdapat 3 (tiga) tahapan umum yang biasa digunakan untuk memperoleh sumber benih jika sumber benih dari suatu jenis belum tersedia, yaitu tahapan jangka pendek, tahapan jangka menengah dan tahapan jangka panjang. Sedangkan apabila sumber benih dari suatu jenis sudah tersedia pada klasifikasi sumber benih tertentu, maka yang dapat dilakukan adalah peningkatan kualitas sumber benih pada klasifikasi yang lebih tinggi sehingga diperoleh sumber benih dengan kualitas genetik yang diinginkan.
17
a. Tahapan Jangka Pendek Pada tahapan ini penunjukan sumber benih dilakukan pada tegakan benih menurut klasifikasi yang sesuai (Tegakan Benih Teridentifikai, Tegakan Benih Terseleksi, atau Areal Produksi Benih). Peningkatan kualitas sumber benih menjadi klasifikasi di atasnya dapat dilakukan dengan menerapkan perlakuan pada tegakan yang telah ditunjuk. b. Tahapan Jangka Menengah Kaidah pemulian pohon mulai dipersiapkan untuk pembangunan sumber benih pada jangka menengah ini. Uji provenan dan uji keturunan merupakan uji pemuliaan yang bisa digunakan. Informasi dan materi hasil uji pemuliaan tersebut akan digunakan untuk membangun Tegakan Benih Provenan, Kebun Benih Semai, dan Kebun Benih Klon. c. Tahapan Jangka Panjang Program perhutanan klon dapat dipersiapkan untuk mengembangkan klon unggul berdasarkan hasil uji klon. Klon dapat berasal dari pohon plus hasil uji keturunan pada jangka menengah atau hasil persilangan antar individu yang mempunyai karakter unggul. Hasil uji klon dapat digunakan untuk membangun Kebun Pangkas yang merupakan sumber benih dengan kualitas genetik tertinggi untuk memproduksi materi vegetatif. Tahapan penunjukan dan pembangunan sumber benih secara lebih rinci dapat ditampilkan pada Gambar 2.
18 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono dan Mahfudz
Gambar 2. Tahapan umum penunjukan dan pembangunan sumber benih (Sumber : Leksono, 2012) Penjelasan mengenai masing-masing klasifikasi sumber benih tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) Tegakan benih teridentifikasi adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat teridentifikasi dengan tepat. Tegakan ini pada awalnya tidak direncanakan sebagai sumber benih. Asal-usul benihnya biasanya tidak diketahui. Tegakan yang diidentifikasi umumya tegakan yang sudah tua, maka penjarangan pada tegakan ini hanya dilakukan seperlunya dengan intensitas yang rendah.
19
b. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) Tegakan benih terseleksi adalah tegakan alam atau tanaman yang memiliki fenotipe di atas rata-rata untuk karakter yang penting seperti batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Tegakan ini mirip dengan tegakan benih teridentifikasi.
Perbedaan utamanya adalah fenotipe
tegakan yang lebih baik dibandingkan dengan tegakan di sekitarnya. c. Areal Produksi Benih (APB) APB merupakan suatu tegakan yang dipilih dan direkomendasikan untuk memproduksi bahan reproduktif berdasarkan kriteria fenotipe. Tegakan terpilih karena sebagian besar pohon-pohonnya memiliki karakter dengan fenotipe baik seperti pertumbuhannya cepat, kualitas batang baik dan tahan terhadap penyakit. Sedangkan tingkat pengendalian genetik dari suatu karakter dan diferensiasi genetik terhadap populasi lain pada umumnya tidak diketahui. Faktor lain yang dijadikan pertimbangan adalah ukuran populasi, kerapatan awal dari populasi, jalur isolasi sekeliling populasi, aksesibilitas dan kemungkinan untuk melakukan perlindungan hutan. Pada sumber benih ini, penjarangan seleksi dilakukan untuk menebang pohon-pohon yang inferior dan mempertahankan pohon-pohon yang baik dengan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan bunga dan buah. d. Tegakan Benih Provenan (TBP) Tegakan benih provenan merupakan tegakan yang dibangun dari provenan terbaik hasil uji provenan suatu jenis tanaman. Dalam pembangunan tegakan ini tidak memerlukan rancangan percobaan sehingga berbeda dengan uji provenan. Tegakan benih provenan harus diisolasi dengan tegakan lainnya agar tidak terjadi persilangan atau kontaminasi polen dari tegakan/tanaman yang tidak kehendaki. Tegakan benih provenans dari provenans unggul yang sudah menghasilkan buah dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih untuk materi pembangunan hutan tanaman.
20 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono dan Mahfudz
e. Kebun Benih Semai (KBS) Kebun benih semai dibangun dari individu-individu terseleksi secara genetik untuk membentuk suatu populasi yang bertujuan untuk menghasilkan benih unggul. Pembangunan kebun benih semai merupakan hasil uji keturunan baik melalui konversi maupun pembangunan dari familifamili terseleksi (pohon plus). Konversi dari uji keturunan tersebut dikenal dengan istilah kebun benih semai uji keturunan. Tanaman uji keturunan dikonversi menjadi suatu kebun benih setelah dilakukan satu atau beberapa kali penjarangan selektif berdasarkan nilai parameter genetik yang dihasilkan. Benih secara langsung diunduh dari kebun benih untuk membangun hutan tanaman komersial. f. Kebun Benih Klon (KBK) Kebun benih klon dibangun untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak dari pohon-pohon yang bergenotipe unggul yang jumlahnya terbatas. Pohon-pohon bergenotipe unggul diperbanyak secara generatif dan dibangun dalam suatu populasi. Perbanyakan vegetatif yang dapat digunakan untuk membangun kebun benih klon umumnya adalah sesuai dengan kharakteristik tanaman dan kemudian diperbanyak secara vegetatif. Pada tahap awal, pohon-pohon terpilih selalu dikumpulkan di dalam suatu kebun klon (clonal garden, multiplication garden atau clonal archive). Kebun benih klon dirancang untuk memaksimalkan jumlah dan proporsi keturunan hasil penyerbukan silang antar klon yang ada di kebun benih. Pentingnya isolasi spasial dari populasi lain dengan jenis yang sama sangat tergantung pada sistem aliran gennya, yakni efisiensi dari pembawa serbuk sari. g. Kebun Pangkas (KP) Kebun pangkas adalah pertanaman yang dibangun untuk tujuan khusus dari hasil uji klon sebagai penghasil bahan stek. Kebun pangkas dikelola secara intensif dengan pemangkasan, perundukan, pemupukan untuk meningkatkan produksi bahan stek. Kebun pangkas dibangun dari benih atau dari bahan vegetatif yang dikumpulkan dari klon unggul. Pembangunan kebun pangkas dilakukan dalam suatu areal tertentu yang
21
akan dimanfaatkan sebagai penghasil stek pucuk atau materi vegetatif lainnya. Selain itu dapat dibangun dalam ukuran mini dalam pot-pot di persemaian untuk diperbanyak dengan teknik stek mini (micro cutting). Berdasarkan hasil updating data Sumber Benih Tanaman Hutan Nasional Tahun 2011 yang disusun berdasarkan data pokok sumber benih di lapangan yang dilaksanakan oleh 6 (enam) BPTH, didapatkan 527 lokasi sumber benih yang terdiri dari 106 spesies tanaman dengan luas keseluruhan 8.412,81 Ha. Dari keseluruhan sumber benih tersebut, diketahui sebagian besar (90%) merupakan klasifikasi tegakan dengan kelas TBT, TBS dan APB sedangkan sisanya merupakan sumber benih dengan kelas tegakan TBP, KBS, KBK, dan KP. Rendahnya klasifikasi sumber benih dengan kelas unggul tersebut menjadikan perhatian bagi banyak pihak untuk dapat meningkatkannya, sehingga diharapkan dapat menghasilkan benih unggul yang terbaik. Benih unggul dari sumber-sumber benih bersertifikat akan menjadi hal yang tidak bernilai jika tidak didukung oleh sistem peredaran benih yang baik. Teknik penanganan dan pemasaran benih (pencarian, pemanenan, pengumpulan,
sortasi,
penyimpanan,
pengemasan,
pengangkutan,
penyaluran dan pemasaran benih) merupakan faktor penentu dalam mempertahankan kualitas suatu benih dalam aspek fisik dan fisiologis (viabilitas dan vigoritas benih).
Kedua elemen tersebut (benih unggul
bersertifikat dan sistem peredaran benih) merupakan hal yang saling mendukung terciptanya hasil akhir yang diharapkan yaitu hutan berkualitas.
BAHAN PUSTAKA Leksono, B. 2012. Teknik penunjukan dan pembangunan sumber benih. Makalah Inhouse training Perbenihan Tanaman Hutan. Banjarbaru Na’iem, M. 2007. Pemuliaan Pohon Lanjut. Universitas Gajahmada. Yogyakarta. Peraturan Dirjen RLPS Nomor P.072/2009 tentang Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan
22 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Arif Irawan, Budi Leksono dan Mahfudz
Sitompul, L. 2011. Kebutuhan benih (volume) per wilayah per jenis dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah Workshop Pemanfaatan Sumber Benih Unggul dari Sumber Benih Bersertifikat. Yogyakarta Ratnaningrum, Y.W.N. & Wibisono, M.G. 2002. Pembangunan sumber benih jenis kayu unggulan setempat di Sulawei Utara. Jurnal lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat 7 :15-16. Universitas Gajah Mada. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Soerianegara, I, 1978. Pemuliaan Pohon. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
23
24 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
PENGEMBANGAN HKM, HTR, HD DAN HR: BELAJAR DARI PENGALAMAN DI JAWA1) Didik Suharjito Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
I. Pendahuluan Kementerian Kehutanan RI telah dan akan menyelenggarakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak lebih dari lima belas tahun yang lalu, dan akhir-akhir ini program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD). Tujuan program tersebut adalah untuk meningkatkan hak dan akses masyarakat lokal pada hutan negara, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha,
mengentaskan
kemiskinan,
mendukung
pembangunan
infrastruktur desa, meningkatkan produktivitas hutan, memastikan keberlanjutan pengelolaan hutan, dan meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan ekonomi nasional. Sampai September 2011 kawasan hutan seluas 402.596 ha yang diusulkan untuk HKm telah diverifikasi; 170.920 ha diantaranya telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dan 41.330 ha diantaranya telah dikeluarkan ijinnya (IUPHHKm); seluas 181.541 ha yang diusulkan untuk HD telah diverifikasi; 65.234 ha diantaranya telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dan 10.310 ha telah dikeluarkan ijinnya (IUPHHD); seluas 631.628 ha telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan untuk HTR. Sampai dengan tahun 2030 Program HKm, HTR dan HD direncanakan akan terus
1)
Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar dan Pameran Hasil-hasil Penelitian dengan Tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan”, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
25
diperluas hingga mencapai 5,6 juta yang terdiri dari 2,5 juta ha HKm, 500 ha HD, dan 2,6 juta ha HTR (RKTN 2011). Hutan Rakyat (HR) atau hutan pada lahan milik yang dikelola keluarga/ rumahtangga di Jawa telah berkembang dan terus bertambah luas. Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa areal HR di Jawa mencapai 3,5 juta ha pada tahun 2011. Perluasan areal HR dan intensifikasinya didorong oleh program pemerintah (penghijauan, GNRHL, dll) dan ditarik oleh industri berbahan baku kayu.
Suplai kayu dari HR di Jawa juga telah
membantu industri berbahan baku kayu yang menghadapi kekurangan bahan baku dari hutan alam akhir-akhir ini. Degradasi hutan alam di luar Jawa telah menyebabkan suplai bahan baku untuk industri kehutanan skala besar terus menurun, sehingga
perusahaan mencari kayu dari HR.
Beberapa perusahaan industri kehutanan skala besar atau menengah telah membangun kerjasama kemitraan dengan petani HR. Permintaan yang meningkat terhadap kayu HR oleh industri kehutanan diharapkan memberikan keuntungan kepada petani HR dan tidak mendorong petani untuk memanen HR lebih dari kemampuan regenerasinya (etat). II. Strategi Pengembangan Pengelolaan hutan oleh Masyarakat A. Insentif untuk Budidaya Pohon Berbagai
penelitian
telah
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi petani untuk membudidayakan pohon-pohon. Berdasarkan berbagai kasus-kasus budidaya pohon oleh petani di berbagai daerah, pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut adalah: 1. Kejelasan
hak
penguasaan
atas
lahan.
Petani
bersedia
membudidayakan pohon apabila ada kepastian atas hak penguasaan lahan.
Kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk
menjamin investasinya, jaminan memperoleh manfaat dari pohonpohon tersebut. Biasanya petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia malaksanakanya pada lahan komunal atau lahan negara karena lahan milik memberikan jaminan lebih pasti untuk memperoleh manfaat dari pada lahan komunal atau lahan negara;
26 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
2. Luas lahan yang dikuasai. Rumahtangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan, tanaman jangka pendek, atau tanaman subsisten dari pada tanaman pohon-pohon.
Rumahtangga yang memiliki lahan sempit
cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif; 3. Ketersediaan tenaga kerja.
Rumahtangga yang kekurangan tenaga
kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan
pohon-pohon
karena
budidaya
pohon-pohon
membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi; 4. Ketersediaan dan akses pada pasar produk kayu mendorong budidaya pohon-pohon; 5. Tingkat kekayaan. Jumlah rumahtangga miskin yang menanam pohonpohon lebih sedikit dari pada rumahtangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit dari pada jumlah pohon rumahtangga kaya. Tidak setiap petani atau kelompok masyarakat mempertimbangkan seluruh faktor-faktor tersebut. Petani atau kelompok masyarakat akan mengkombinasikan beberapa faktor tersebut dengan konteks sosial ekonomi dan budayanya. Beberapa contoh kasus adalah sebagai berikut: Masyarakat pedesaan di Kalimantan Timur mempunyai sistem penguasaan lahan dan hutan. Pada masyarakat Kenyah Bakung, Kenyah Pujungan, Kenyah Leppo’ Ke, Kenyah Leppo’ Ma’ut (Frans, 1999; Angguk dkk, 1999).
Berdasarkan status hak atas lahan, masyarakat pedesaan
Kalimantan Timur mengenal hak milik dan hak pakai. Berdasarkan pola hubungan penguasaan lahan, masyarakat pedesaan Kalimantan Timur mengenal pinjam-meminjam dan tukar-menukar. Berdasarkan peralihan atau pemindahan hak milik, masyarakat mengenal pewarisan dan jual-beli. Sebagai contoh, lahan yang dipinjam dari warga lainnya tidak boleh ditanami tanaman keras (kayu manis atau kopi). Pada kasus lain di Long Ampung-Kalimantan Timur, hak-hak seseorang terhadap tanaman yang ia tanam tidaklah mutlak. Seseorang dapat memetik buah-buahan milik orang
27
lain dan dimakan di tempat untuk menghilangkan lapar, tetapi tidak diperbolehkan untuk membawanya pulang, menjual atau merusaknya tanpa ijin (Colfer dan Dudley 1997). Sistem penguasaan lahan dan hutan tersebut dapat mempengaruhi kemauan atau ketidakmauan petani untuk membudidayakan pohon-pohon. Aturan adat atau kebiasaan yang tidak memberikan jaminan atas manfaat dari budidaya pohon akan menghambat keinginan orang atau keluarga untuk membudidayakan pohon.
Demikian pula peraturan perundang-
undangan daerah (PERDA, Kep. Bupati, Kep. Gubernur) atau nasional yang tidak memberikan jaminan hak atas lahan atau hasil hutan/kebun akan menghambat budidaya pohon-pohon. Oleh karena itu program HKm, HTR, HD juga harus dapat memberikan insentif kepada masyarakat untuk membudidayakan pohon, misalnya memberikan hak kelola atas lahan hutan negara dan jaminan hak atas hasilnya kepada keluarga pengelola maupun pewarisnya; memberikan pengakuan terhadap hak atas lahan-lahan yang diatur berdasarkan hukum adat. Kasus di Mbeere – Kenya, privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohon-pohon karena alasan kepastian penguasaan lahan (Brokensha dan Riley 1987). Demikian pula di Haiti Amerika Latin petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal (commonly owned kin-land) atau lahan negara (state land) karena adanya jaminan memperoleh manfaat yang lebih pasti dari lahan milik dari pada lahan komunal atau lahan negara (Murray 1987). Kasus di Nigeria (Afrika), karena agroforestry lebih membutuhkan modal dari pada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan (land tenure security) diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya (Adeyoju 1987). Di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah, peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan mendorong petani lebih memilih tanamantanaman yang lebih intensif.
Pemilikan lahan yang sempit cenderung
mengurangi minat budidaya pohon-pohon (Berenschot et al 1988; Van Der Poel dan Van Dijk 1987). Di Gunung Kidul dan Banjarnegara, rumahtangga
28 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang akses ke pasar lebih memilih jenis tanaman yang intensif. Komersialisasi hasil-hasil pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon, tetapi pada daerah dengan topografi yang curam-curam mendorong petani membudidayakan pohonpohon Acacia mearnsii untuk konservasi lahan (Berenschot et al 1988; Van Der Poel dan Van Dijk 1987). Pada kasus di Mbeere – Kenya, jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit dari pada jumlah pohon rumahtangga kaya. Rumahtangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan dari pada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley 1987). Kasus di San Jose – Peru, rumahtangga yang menguasai lahan sempit cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman subsisten dan masa beranya (fallow period) lebih cepat (0-8 tahun, rata-rata 2,3 tahun), sedangkan rumahtangga petani berlahan luas lebih memilih tanaman komersial dan masa beranya lebih panjang, 6-14 tahun (Coomes dan Burt 1997). Di Afrika bagian timur, meskipun lahan pertaniannya sempit (akibat kepadatan penduduk yang tinggi) tetapi petani membudidayakan pohonpohon penghasil buah, kayu bahan bangunan, dan kayu bakar. Ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya pohon-pohon: rumahtangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi membudidayakan
pohon-pohon
karena
budidaya
cenderung
pohon-pohon
membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi (Warner 1995). Keterbatasan
akses
pada
kredit
menghambat
petani
untuk
mengusahakan pertanian intensif, sehingga mendorong petani untuk membudidayakan pohon-pohon.
Akses pada pasar produk kayu
mendorong budidaya pohon-pohon. Petani di Kikuyu – Kenya, meskipun pemerintah kolonial telah mendorong penanaman pohon-pohon sejak tahun 1911, namun sampai awal tahun 1920-an sebagian besar petani tetap
29
menolaknya. Perubahan secara radikal terjadi pada akhir tahun 1920-an, Acacia mearnsii diadopsi secara luas oleh petani Kikuyu sebagai respon terhadap perdagangan kulit kayu.
Pabrik penyamak kulit yang mulai
beroperasi pada awal tahun 1930-an meningkatkan akses pasar bagi kulit kayu yang sebelumnya sebagian besar diekspor dan menambah popularitas Acacia mearnsii sebagai tanaman petani kecil. Tanaman Acacia mearnsii masih dibudidayakan yang hasilnya bukan hanya kulit kayu tetapi juga arang dan bahan bangunan. Untuk memperoleh produk kulit kayu yang berkualitas baik dibutuhkan tanaman Acacia mearnsii yang berumur lebih dari 7 tahun dengan jarak tanam yang lebih lebar, sedangkan untuk produk arang dapat digunakan tanaman berumur 4 tahun dengan jarak tanam yang lebih rapat. Karena harga kulit kayu menurun, sedangkan harga arang meningkat, petani lebih banyak yang memilih waktu panen (rotasi) lebih cepat, yang berarti digunakan untuk memproduksi arang.
Perbaikan
infrastruktur transportasi memungkinkan pasar arang tetap bertahan (Dewees dan Saxena 1995). Di Gunung Palung – Kalimantan Barat, sistem kebun-hutan (forest garden) dikembangkan terutama untuk dipasarkan (Salafsky 1994). Dalam hal pengaruh faktor luas pemilikan lahan terhadap pilihan budidaya pohon-pohon dalam sistem agroforestry, dua kasus di pedesaan Jawa, Wonosobo dan Gunung Kidul (Berenschot et al 1988; Van Der Poel dan Van Dijk 1987) sama dengan apa yang terjadi di Mbeere – Kenya (Brokensha dan Riley 1987) dan di San Jose – Peru (Coomes dan Burt 1997), tetapi berbeda dengan apa yang terjadi di Afrika bagian Timur (Warner 1995). Sedangkan dalam hal pengaruh faktor ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budidaya pohon-pohon, kasus di pedesaan Jawa tersebut sama dengan di Afrika bagian Timur. Faktor waktu yakni cepat atau lama waktu memperoleh hasil (panen) menentukan pilihan jenis tanaman, terutama pada petani berlahan sempit. Jika untuk memperoleh hasil membutuhkan waktu yang lama, misalnya produk kayu atau produk yang tergantung umur pohon (misalnya kulit kayu Acacia mearnsii pada kasus Kikuyu-Kenya yang membutuhkan umur pohon
30 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
lebih dari 7 tahun), maka minat petani untuk membudidayakannya menurun (Dewees dan Saxena 1995; Van Der Poel dan Van Dijk 1987). Oleh karena itu praktek agroforestry pada umumnya dapat menghasilkan produk-produk yang dapat dipanen pada beragam rentang waktu: setiap hari, setiap minggu, setiap musim, beberapa tahun. Kasus di Sungai Langka, Pesawaran Lampung menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa petani memilih jenis tanaman yang memberikan hasil yang mudah dipasarkan, pendapatan tertinggi, resiko lebih rendah, dan dengan pola tanam yang intensitas panennya tinggi (Febryano, Suharjito, dan Soedomo 2009). Di pedesaan Orissa – India Timur, tingkat partisipasi petani dalam organisasi desa dan tingkat modernitas pertanian berpengaruh terhadap pilihan budidaya pohon-pohon di lahan pertanian (Mahapatra dan Mitchell 2001).
Partisipasi dalam organisasi desa mengembangkan kesadaran
inovasi dan perbaikan kemampuan petani untuk mengevaluasi teknologi baru. Pemimpin dan anggota organisasi tergolong petani yang memiliki cukup informasi (well-informed farmers) tentang teknis budidaya pohonpohon karena sering mengikuti pelatihan kehutanan.
Mereka menjadi
penerima (adopter) budidaya pohon-pohon yang progresif dan inovatif. Pengalaman sebelumnya tentang modernisasi pertanian juga memudahkan petani untuk memutuskan pilihan budidaya pohon-pohon. Di Panama, proyek agroforestry telah menurunkan pertanian tebasbakar (slash and burn) dan meningkatkan kegiatan budidaya pohon-pohon (Fischer dan Vasseur 2002). Petani telah melihat keuntungan lingkungan dari proyek agroforestry, yaitu penurunan erosi tanah, peningkatan kesuburan tanah, dan perbaikan kualitas dan kuantitas sumber air. Namun demikian sebagian petani masih melakukan pertanian tebas-bakar, mereka masih melanjutkan penebangan pohon dari hutan primer dan sekunder untuk memenuhi kebutuhan domestik akan kayu. Hal itu terjadi karena kurang penyuluhan agroforestry, ketidaktepatan desain dan manajemen proyek, dan keterbatasan ekonomi rumahtangga petani.
Proyek
agroforestry telah meningkatkan standar hidup melalui penyediaan produk
31
kayu dan buah-buahan untuk konsumsi domestik, tetapi tingkat pendapatan petani belum berubah karena pengembangan pasar yang terbatas, kurang organisasi pemasaran, dan aksesibilitas jalan yang rendah. Kasus-kasus tersebut di atas dikaji sebelum tahun 2010. Namun demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan budidaya pohon oleh petani masih relevan. Kajian terbaru yang dilakukan di Desa Rambahan dan Desa Ranggang menunjukkan bahwa pertimbangan pertama petani memilih jenis tanaman pohon (mahoni) untuk dibudidayakan adalah hasilnya berupa kayu dapat dijual. Petani mengetahui bahwa harga kayu mahoni cukup mahal dan kualitas kayunya baik. Pertimbangan berikutnya adalah (2) ketersediaan dana bantuan pembangunan hutan rakyat dari pemerintah (Dinas Kehutanan), (3) ketersediaan tenaga kerja yang diperlukan, dan (4) pengetahuan tata cara budidaya mahoni yang dikuasai oleh petani. Pengetahuan ditempatkan pada urutan keempat bukan berarti tidak penting, tetapi karena petani lebih menekankan pada ketersediaan bantuan dari pemerintah dan mendukung program pemerintah. Meskipun belum mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi petani dapat belajar dari penyuluh kehutanan. Waktu tunggu untuk dapat memanen hasil yang tergolong lama menjadi kendala bagi petani di Desa Rambahan untuk membudidayakan mahoni. Sedangkan di Desa Ranggang budidaya mahoni dilakukan dengan pertimbangan utama untuk tabungan di masa depan baik untuk kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan rumah anak cucu mereka ataupun untuk dijual. Kedua, hal-hal yang dipertimbangkan petani untuk budidaya pohon adalah nilai ekonomi (harga) komoditas dan kemudahan dipasarkan, intensitas panen, pengetahuan-keterampilan yang dikuasai, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan modal. Hasil pohon yang utama adalah bukan kayu, yaitu buah (kelapa sawit, melinjau, mangga, petai, dll), getah (karet), daun (melinjau).
Pohon penghasil kayu
dibudidayakan lebih karena tersedia bantuan (misalnya bibit mahoni dalam proyek GNRHL atau penanaman pohon) atau sudah tersedia secara alamiah, misalnya sungkai (Suharjito 2011).
32 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
Implikasi dari faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk memilih budidaya pohon bagi pemerintah adalah memberikan insentif kebijakan antara lain tentang kepastian atas lahan hutan dan hak-hak yang melekat padanya, membangun infrastruktur jalan yang dapat membuka akses ke pasar sehingga dapat meningkatkan harga hasil hutan. Bagi pihak swasta (industri berbahan baku hasil hutan) dapat memberikan insentif harga yang menguntungkan. Program REDD (reduced emission from deforestation and forest degradation, PES (payment for environmental services), CDM (clean development mechanism) jika diwujudkan juga dapat menjadi insentif tambahan bagi petani untuk budidaya pohon-pohon. B. Integrasi pengelolaan hutan kedalam sistem nafkah penghidupan keluarga Belajar dari pengalaman masyarakat pengelola HKm, HTR dan HR di Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Wonogiri, dan pengelola HR pada umumnya di Jawa (Suharjito 2000; Nengsih Anen, 2012), pendapatan yang diperoleh dari kegiatan HKm, HTR, dan HR merupakan bagian dari keseluruhan sistem nafkah penghidupan keluarga. Sumber nafkah keluarga yang utama adalah pertanian tanaman pangan, peternakan, dan budidaya pohon. Tanaman pertanian memberikan hasil setiap musim, sedangkan ternak dan pohon sebagai tabungan yang pada waktu membutuhkan biaya besar ternak dan pohon dapat dijual. Tenaga kerja keluarga yang dialokasikan pada kegiatan HKm, HTR, dan HR adalah suami, istri dan anak (tergantung pada ketersediaannya). Tenaga kerja luar keluarga juga digunakan. Karena pengelolaan hutan relatif tidak intensif, maka tenaga kerja keluarga pengelola hutan dapat melakukan pekerjaan lain di dalam desa maupun di luar desa. Pola tanam pada areal HKm, HTR dan HR adalah campuran (agrisylviculture) khususnya pada waktu tanaman pohon masih kecil. Tanaman yang diusahakan dalam HKm, HTR dan HR adalah jati (tanaman pokok), jagung, porang; atau mahoni, sonokembang, jati, petai, pisang, ubi kayu, jahe, empon-empon, rumput (kasus Gunung Kidul, Kulon Progo, Wonogiri). Hasil dari tanaman selain pohon terutama dikonsumsi oleh
33
keluarga sendiri. Setelah pohon HKm, HTR dan HR berukuran besar, tanaman pertanian sudah sulit tumbuh; petani berinovasi membudidayakan tanaman yang tahan naungan seperti porang dengan harapan memberi hasil antara sebelum pohon dapat dipanen.
Hasil hutan bukan hanya
barang berupa kayu dan bukan kayu, melainkan juga jasa lingkungan seperti pada kasus HKm di Kalibiru Kulon Progo yang telah menunjukkan contoh bisnis jasa lingkungan dari hutan, HKm ini berada pada hutan lindung, sehingga usahanya diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan: ekowisata (pemandangan alam, flying fox, outbound), meskipun saat ini belum cukup meningkatkan pendapatan para anggota kelompok/koperasi. C. Penguatan Kelembagaan Petani Hasil HR di Jawa sudah masuk pasar untuk industri di dalam negeri yang produknya diekspor. Bahkan HR di Wonogiri dan Gunung Kidul sudah lulus sertifikasi ekolabel, sebagai bukti bahwa HR dikelola secara lestari. Faktor kelembagaan berperan penting dalam mendukung pengelolaan hutan lestari. Para petani pengelola HKm, HTR, dan HR di Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Wonogiri telah membentuk kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi. Bahkan di Wonogiri setiap rukun tetangga (RT) membentuk koperasi. Pengelolaan HKm, HTR dan HR dilakukan oleh masing-masing keluarga yang memperoleh hak. Fungsi kelompok adalah sebagai media saling belajar, media bekerjasama dalam melaksanakan program (misalnya program uji coba budidaya porang, keamanan, pemeliharaan). Namun demikian fungsi kelompok tani dan gabungan kelompok petani hutan masih harus ditingkatkan khususnya untuk dapat mewujudkan fungsi ekologis hutan dalam suatu ekosistem sub DAS dan DAS. Kasus program HKm, HTR dan HD di Gunung Kidul dan Kulon Progo memberikan diselenggarakan
pelajaran di
penting
daerah-daerah
bagaimana lain.
program
tersebut
Keluarga-keluarga
yang
memperoleh hak atas HKm, HD, HTR adalah mereka yang sebelumnya sudah menggunakan lahan hutan negara. Prinsip distribusi luas lahan yang dikuasai pada HKm dan HTR adalah “sakuate” karena lahan yang tersedia
34 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
cukup dan tidak terdapat keluarga yang “berlebihan” menguasai lahan hutan. Keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan (janda) juga memperoleh hak mengusahakan HKm, HTR, HD. Prinsip-prinsip distribusi sumberdaya ekonomi (dalam hal ini lahan hutan) yang tidak serakah dan tenggang rasa (walaupun belum sampai altruistik) sangat penting untuk mewujudkan keadilan sesama dan mendapatkan dukungan dari semua. Prinsip tersebut menjadi isi dari norma dan aturan dalam kelembagaan petani. Pengelolaan HR di Wonogiri didukung pula oleh aturan-aturan di tingkat desa: peraturan desa tentang PHBML; di tingkat kecamatan: Keputusan Camat tentang pembentukan tim pelayanan izin menebang pohon milik rakyat; Surat Bupati tentang batas minimum keliling pohon yang dapat ditebang. D. Peran para pihak dalam fasilitasi HKm, HTR, HD dan HR: Dinas Kehutanan, Penyuluh Kehutanan, Perguruan Tinggi dan LSM HKm, HTR, dan HD merupakan program pemerintah pusat. HKm dan HD di bawah Ditjen BPDAS-PS, sedangkan HTR di bawah Ditjen BUK. Di tingkat daerah, UPT pusat yang membawahi program HKm dan HD adalah BPDAS; program HTR di bawah BP2HP. UPT-UPT tersebut menjalankan tugas-tugas pusat dengan anggaran pusat. Tugas-tugas yang dijalankan antara lain adalah: melaksanakan gerhan, bantuan bibit, pembangunan fisik pengendalian banjir dan erosi tanah, pelatihan petani, berkoordinasi dengan dinas kehutanan provinsi dan kabupaten, monitoring dan evaluasi program. Dalam hal HKm, HD dan HTR, UPT-UPT tersebut membantu masyarakat dalam proses pengusulan (sosialisasi program, peninjauan calon areal, pemetaan areal, pembinaan kelengkapan dokumen, melanjutkan proses ke pusat).
Instansi yang terlibat dalam kegiatan verifikasi calon
areal HKm, HD, HTR adalah Ditjen BPDAS-PS, UPT BPDAS, BPKH, BP2HP, dinas yang membawahi urusan kehutanan di provinsi, dinas yang membawahi
urusan
kehutanan
di
kabupaten;
berita
acaranya
35
ditandatangani juga oleh Kepala Dinas yang membawahi urusan kehutanan kabupaten dan Kepala Dinas yang membawahi urusan kehutanan provinsi. Pada kasus HKm, HTR, HD, dan HR di Gunung Kidul, Kulon Progo dan Wonogiri, dalam pembinaan HKm, HTR dan HD, dinas kehutanan kabupaten mengacu pada ketentuan Kementerian Kehutanan. Dinas Kehutanan Kabupaten tidak memiliki anggaran untuk kegiatan fisik, misal bantuan bibit. Anggaran yang dimiliki hanya untuk pembinaan petani (kunjungan insidental petugas ke desa, penyelenggaraan pelatihan petani, pelayanan administratif). Apabila terjadi sengketa lahan, maka urusannya diserahkan ke pusat.
Pembinaan teknis kehutanan HKm, HD dan HTR di tingkat
lapangan dilakukan oleh mandor dan mantri yang merupakan staf dinas kehutanan provinsi karena HKm, HD, HTR adalah hutan negara, sementara itu dinas kehutanan kabupaten tidak memiliki tenaga/ petugas lapangan. Dinas kehutanan kabupaten menempatkan satu staf di setiap kecamatan khususnya untuk HR. Pembinaan petani dan kelompok tani juga dilakukan oleh penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan sekarang berada di bawah Badan Pelaksana Penyuluhan (BPP) bergabung dengan penyuluh pertanian, perkebunan, peternakan.
Pada setiap kecamatan ditempatkan tenaga-
tenaga penyuluh yang tergabung dalam Balai Penyuluhan. Anggaran untuk penyuluhan dari Pemda kabupaten tersedia, sehingga dinas kehutanan kabupaten merasa terbantu. Penyuluh kehutanan mencakup HR, HKm, HD, HTR. Pada kasus HKm, HTR, dan HD di Gunung Kidul, Kulon Progo dan Wonogiri, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diakui oleh masyarakat desa bahwa perannya penting dalam menyelenggarakan sosialisasi program HKm, HD, HTR, dialog di tingkat kabupaten, mendampingi masyarakat pada kegiatan persiapan dokumen usulan ijin HKm, HD, HTR dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Keberadaan dan peran LSM sebagai pendamping masyarakat menjadi catatan pertimbangan dalam Berita Acara Verifikasi untuk memberikan rekomendasi diterima atau tidak usulan dari pelaku HKm, HD atau HTR. Pada kasus HR, peran LSM juga penting
36 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
khususnya selama persiapan sertifikasi ekolabel. Proses sertifikasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia pada HR di Gunung Kidul dan Wonogiri juga diakui memberikan kontribusi positif berupa pengetahuan dan dorongan untuk mengelola hutan lebih baik, lebih lestari, meskipun manfaat ekonominya (peningkatan harga) belum dirasakan. Perguruan Tinggi juga dinilai oleh masyarakat berperan penting. Perguruan Tinggi diakui memberi kontribusi baik melalui kegiatan penelitian maupun diskusi-diskusi atau pertemuan-pertemuan. Lembaga-lembaga perbankan, PDAM, dan lembaga lain dapat memberikan dukungan permodalan. Pada tingkat kabupaten dan provinsi terdapat forum-forum yang memperhatikan kehutanan dan lingkungan: misalnya Forum DAS. Lembaga-lembaga perbankan, PDAM, dan lembaga lain dapat memberikan dukungan permodalan. Fasilitasi pengembangan jaringan kerjasama (networking) antar kelompok tani, antara kelompok tani dengan pedagang hasil hutan/kebun, antara petani dan pengguna bibit pohon (misalnya Perum Perhutani, Inhutani, perusahaan swasta kehutanan, Taman Nasional, dll), antara petani dan dinas-dinas teknis (pertanian, kehutanan, peternakan, perkebunan, perikanan, dll) dapat dilakukan oleh Petugas Penyuluh Pertanian/ Kehutanan Lapangan, LSM, akademisi. Unsur saling percaya (trust) menjadi faktor kunci dalam membangun jaringan kerjasama yang kokoh. Di daerahdaerah yang belum tersedia LSM, peran Penyuluh Kehutanan (yang relatif tersedia di berbagai wilayah meskipun masih sangat terbatas) sangat penting. III. Kesimpulan Masyarakat pedesaan memiliki minat untuk membudidayakan pohon dan mengelola hutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani memilih budidaya pohon adalah: (1) kejelasan hak penguasaan atas lahan, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) ketersediaan dan akses pada pasar produk kayu mendorong budidaya pohon-pohon; (4) tingkat kekayaan, dan (5) pengetahuan tata cara budidaya mahoni yang dikuasai oleh petani.
37
Pengembangan HR, HKm, dan HTR memerlukan dukungan dari para pihak. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat memberikan dukungan kebijakan kepastian lahan, pelayanan administrasi yang mudah, dan pembangunan infrastruktur; industri memberikan harga yang menguntungkan; penyuluh kehutanan dan LSM memberikan fasilitasi atau pendampingan di tingkat lapangan untuk menguatkan kelembagaan petani pada tingkat kelompok, gabungan kelompok maupun wilayah Sub DAS dan DAS; Perguruan Tinggi dapat memberikan dukungan penelitian yang dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan pemerintah maupun fasilitasi oleh penyuluh kehutanan atau LSM. Pustaka Angguk Lamis, P. Bunde, dan C. Kanyan. 1999. Pola-pola Penguasaan Hak atas Tanah pada Tiga Sukubangsa Dayak Kenyah. Dalam C. Eghenter dan B. Sellato (Penyunting). Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Kerjasama PHPA, Ford Foundation, dan WWF. Jakarta. Hal. 217-236. Colfer, C.J.P. dan R.G. Dudley. 1997. Peladang Berpindah di Indonesia: Perusak atau Pengelola Hutan ? Kerjasama FAO, FTP, CIFOR, dan SFMP-GTZ. Samarinda. Febryano IG, Suharjito D, Soedomo S. 2009. Pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan milik: Studi kasus di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Forum Pascasarjana, XXXII(2):129-141 Frans L., S.J.E. 1999. Hak Milik Tradisional atas Tanah berdasarkan Hukum Adat pada Masyarakat Kenyah di Kecamatan Long Pujungan. Dalam C. Eghenter dan B. Sellato (Penyunting). Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Kerjasama PHPA, Ford Foundation, dan WWF. Jakarta. Hal. 203-215. Hinrichs A., Muhtaman D.R. dan Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jakarta, Indonesia.
38 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengembangan HKm, HTR, HD & HR……. Didik Suharjito
Suharjito D. (Penulis dan Penyunting). 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. P3KM, Fakultas Kehutanan IPB. Suharjito D. 2002. Pemilihan jenis tanaman kebun-talun: suatu kajian pengambilan keputusan oleh petani. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, VIII(2):47-56 Suharjito D. 2011. Tradisi dan perubahan budidaya pohon di Desa Rambahan Kuansing, dan Desa Ranggang Tanah Laut. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, XVII(3):95-102
39
40 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Restorasi Ekosistem di Hutan Alam……. Yoppy Hidayanto
RESTORASI EKOSISTEM DI HUTAN ALAM PRODUKSI: IMPLEMENTASI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN Yoppy Hidayanto Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia)
I. Mendefinisikan Restorasi Ekosistem (di Hutan Alam Produksi) Saat ini produksi hutan alam cenderung berkurang namun sebaliknya permintaan kayu tidak terlihat berkurang. Beberapa hal yang mendorong peningkatan laju konsumsi kayu di Asia adalah urbanisasi di Asia, pemulihan ekonomi di AS dan pertumbuhan kelas menengah. Untuk memasok kebutuhan tersebut, pengembangan industri kehutanan perlu dilakukan. Perkembangan teknik silvikultur saat ini menunjukkan potensi peningkatan produktivitas primer. Namun demikian, ekosistem hutan tidak hanya menghasilkan kayu. Ekosistem hutan alam, termasuk yang berada di kawasan dengan fungsi produksi, merupakan rumah untuk lebih dari setengah keragaman hayati daratan. Banyak pihak yang telah memahami konsep bahwa hutan harus dinilai lebih dari kemampuannya menghasilkan kayu atau komoditas lain. Sudah lebih dari satu dekade, beragam inisiatif yang dikenal dengan Payments for Ecosystem Services (PES) muncul dengan niatan untuk menunjukkan nilai yang lebih luas dari ekosistem hutan alam (dan ongkos kehilangannya) dalam perhitungan ekonomi (Diaz et al. 2011). Berkurangnya produktivitas hutan alam terjadi karena tantangan penebangan liar, kebakaran hutan dan berkurangnya kawasan hutan. Salah satu penyebabnya adalah dikotomi antara produksi dan konservasi yang berasal dari pemikiran untuk membedakan kebijakan untuk kawasan produksi dan konservasi. Sehingga pada akhirnya terjadi pembagian pseudo-spasial fungsi hutan (Kartodiharjo & Jhamtani, 2009). Sebagian besar kawasan hutan di Indonesia berfungsi produksi. Sementara itu 52% dari daerah penting bagi burung berada di luar jaringan kawasan konservasi. Oleh karena itu memertahankan hutan alam menjadi
41
penting karena besarnya manfaat ekosistem, baik yang bernilai moneter maupun yang tidak. II. IUPHHK dalam rangka Restorasi Ekosistem Merujuk data Departemen Kehutanan di tahun 2000, tingkat kerusakan hutan alam yang tertinggi terjadi di hutan produksi (89%) yang dikelola pemegang hak pengusahaan hutan. Sementara itu, tingkat kerusakan di hutan lindung dan konservasi masing-masing 46% dan 38% (Kartodihardjo dalam Resosudarmo dan Colfer 2002). Salah satu fenomena terkait degradasi hutan adalah karena ketika produktivitas hutan alam menurun maka kemudian biasanya dialihkan menjadi hutan tanaman. Dalam sudut pandang produktivitas kayu, hal ini tidak menjadi soal. Akan tetapi manfaat ekosistem hutan alam tidak sekadar kayu. Fokus kebijakan pemerintah yang sektoral dan berfokus pada komoditas telah menciptakan monokultur dari bentang alam dengan keragaman hayati tinggi. Hal ini membuat posisi Indonesia dengan peran hanya sebagai pemasok bahan mentah berlanjut (Kartodiharjo & Jhamtani, 2009). Sejak tahun 2002, Burung Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap upaya mendorong adanya model baru dalam pengelolaan hutan untuk mempertahankan hutan alam sekaligus memperbaiki potensi ekonomi hutan (Utomo & Darusman, 2006). Perhatian ini berbuah dengan lahirnya kebijakan restorasi ekosistem (RE) di hutan alam produksi yang menyediakan skenario alternatif bagi hutan alam yang terdegradasi. Sebagai salah satu kebijakan pemungkin restorasi di hutan alam produksi yang paling awal, dalam Peraturan Menteri Kehutanan SK.159/MenhutII/2004 disampaikan bahwa latar belakang kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi adalah bahwa: a. Degradasi sumber daya hutan cenderung terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan melalui rehabilitasi dan konservasi serta pemanfaatan berkelanjutan;
42 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Restorasi Ekosistem di Hutan Alam……. Yoppy Hidayanto
b. Upaya pemulihan tersebut dilaksanakan dalam bentuk restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi. Pada dasarnya kegiatan restorasi ekosistem di hutan alam produksi ditujukan untuk mengembalikan (memulihkan) unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Keseimbangan hayati adalah interaksi antara unsur biotik dan abiotik untuk menunjang kehidupan (Pasal 1 Permenhut SK. 159/Menhut-II/2004). Sehingga, melalui pemulihan unsur biotik maupun abiotik dari ekosistem hutan produksi, kesatuan ekologi hutan produksi diharapkan kembali ke potensi alaminya sehingga tercipta ekosistem yang mantap dengan potensi ekonomi yang kuat. Kebijakan di tingkat Kementerian Kehutanan tersebut dikuatkan dengan kebijakan nasional dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 juncto PP Nomor 3 Tahun 2008 yang memuat UPHHK-RE sebagai tipe pengelolaan hutan produksi yang baru bersama dengan Hutan Alam Produksi dan Hutan Tanaman. Selanjutnya untuk proses permohonan izin telah diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 61 Tahun 2008 yang diamandemen melalui Permenhut No. 50 Tahun 2010 dan Permenhut 26 Tahun 2012. III. Implementasi Restorasi Ekosistem Implementasi pertama Restorasi Ekosistem (RE) adalah di blok hutan Meranti dan Bukit-Bahar Tajau Pecah yang ditetapkan melalui arahan Kementerian Kehutanan pada tahun 2004 yang menunjuk blok hutan di Jambi dan Sumatera Selatan tersebut sebagai kawasan untuk RE. Sejak saat itu terdapat lebih dari 40 pemohon izin restorasi ekosistem yang kebanyakan diajukan untuk kawasan hutan alam produksi di Kalimantan dan Sumatera (Bina Usaha Kehutanan 2011). Namun demikian hingga saat ini baru lima IUPHHK-RE yang terbit, yaitu 3 izin di Sumatera (2 unit pengelola) dan 2 di Kalimantan.
43
Selama masa restorasi, pengelola RE tidak dapat melakukan pemanfaatan kayu. Hal ini mendorong munculnya model-model usaha kehutanan baru. Dalam kasus implementasi RE yang sedang berlangsung terdapat model konservasi (pemulihan hutan dataran rendah, habitat untuk reintroduksi
orangutan),
usaha
produksi
bioetanol
dan
karbon
kehutanan/kawasan gambut. Mengingat ragam kekayaan dalam ekosistem hutan yang sehat, masih banyak model usaha lain yang berpotensi untuk dikembangkan. IV. Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem A.
Restorasi Ekosistem dan Kebijakan Pemerintah Walaupun tergolong baru, restorasi ekosistem adalah bagian dari
Rencana Strategis Kehutanan tahun 2010-2014.
Disebutkan bahwa
terdapat target implementasi restorasi hutan alam dan hutan alam produksi seluas 2,5 juta hektar. Kondisi saat ini juga mengindikasikan bahwa luas kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak mencapai 30 juta hektar (Zuhri 2012). Tanpa adanya unit pengelola yang operasional di lapangan kawasan seperti ini cenderung rawan terhadap pemanfaatan ilegal. Perubahan iklim adalah salah satu hal penting dan genting untuk diatasi. Saat ini karbon kehutanan dinilai sebagai salah satu solusi efisien untuk mitigasi perubahan iklim. RE telah diidentifikasi dalam Dokumen Strategi Nasional REDD+ sebagai upaya yang dapat berkontribusi mengatasi deforestasi dan degradasi hutan selain juga memberikan manfaat (cobenefits) dari ekosistem hutan (UKP-PPP 2011). Implementasi restorasi ekosistem masih di bawah dari target rencana strategis 2010-2014 yaitu seluas 2,5 juta hektar. Sementara saat ini IUPHHK-RE baru meliputi kawasan kurang dari 200.000 hektar. Bahkan apabila seluruh permohonan izin RE akhirnya diterbitkan, maka luasannya baru mencapai sekitar 580,000 hektar saja (Hidayanto dkk. 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa peluang untuk implementasi restorasi ekosistem masih terbuka.
44 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Restorasi Ekosistem di Hutan Alam……. Yoppy Hidayanto
B. Tapak penting bagi keragaman hayati Pilihan yang biasa diambil untuk hutan alam yang terdegradasi adalah untuk dijadikan hutan tanaman, atau lebih buruk lagi, menjadi bukan kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan alam mengakibatkan produk dan layanan ekosistem yang bergantung pada keberadaan keragaman hayati penting menjadi hilang. Indonesia telah meratifikasi beragam konvensi internasional dengan target seperti mengurangi laju kepunahan keragaman hayati dan merestorasi habitat penting (Target Aichi 2020). Dalam hal ini pengelolaan restorasi ekosistem di hutan alam produksi dapat menjadi wahana untuk mencapai target tersebut. Pemenuhan target perlu dipandang sebagai upaya melindungi kepentingan nasional, yaitu memertahankan sumbersumber kehidupan masyarakat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan. C. Pengembangan usaha kehutanan baru Melalui bahasan sebelumnya, telah jelas bahwa restorasi ekosistem di hutan alam produksi adalah penting, strategis dan memiliki potensi besar untuk pengembangan kehutanan Indonesia. Potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangan usaha kehutanan baru. Pada tahun 2009 telah dilakukan kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor untuk menguji kelayakan usaha restorasi ekosistem. Dua temuan dari kajian tersebut adalah bahwa: 1. Usaha restorasi ekosistem layak secara finansial melalui usaha multi produk/komoditas. Artinya, walaupun dibebani kewajiban untuk merestorasi hutan dan juga dengan ketiadaan usaha kayu selama masa restorasi, pengelolaan restorasi layak secara usaha. 2. Usaha restorasi ekosistem lebih sensitif terhadap pendapatan dibandingkan dengan biaya. Usaha restorasi ekosistem memang memerlukan biaya yang cukup tinggi, bergantung dari luasan kawasan, tetapi relatif tahan terhadap kenaikan biaya untuk mengelola restorasi ekosistem.
45
Namun demikian, model-model usaha tersebut perlu terus diuji dan disempurnakan. Untuk itu terdapat banyak potensi penelitian dan pengembangan dalam hal ini. Misalnya tentang bagaimana mendorong munculnya komoditas-komoditas baru dalam menyumbangkan pendapatan untuk restorasi ekosistem.
Berikutnya adalah mengembangkan model
pengelolaan konsesi dengan beragam produk dan komoditas. D.
Restorasi dan Teknik Silvikultur Dalam mengimplementasikan restorasi ekosistem, kesulitan yang
dihadapi adalah luasnya kawasan yang perlu direstorasi dan belum terujinya teknik silvikultur yang sesuai dengan tujuan restorasi. Beberapa teknik silvikultur yang berkembang saat ini masih berfokus pada peningkatan produktivitas kayu. Walaupun aspek keragaman hayati mulai diperhatikan, antara lain dalam koridor hijau, namun fokusnya masih kepada produktivitas, bukan kepada pemulihan suatu ekosistem kembali ke kondisi alaminya. Beberapa contoh restorasi yang telah berkembang di kawasan Asia Tenggara, misalnya FORO di Thailand, diimplementasikan dalam skala yang jauh lebih kecil (ratusan hektar). Sementara itu, agar layak secara usaha, konsesi RE memiliki luasan puluhan hingga ratusan ribu hektar.
Oleh
karena itu diperlukan pengembangan model restorasi untuk skala yang lebih besar dan dalam konteks pengelolaan hutan produksi. Untuk tujuan pemulihan ekosistem hutan alam diperlukan pula pengembangan teknik silvikultur yang sesuai. E. Pengembangan kebijakan Kebijakan restorasi ekosistem lahir antara lain melalui analisis kebijakan.
Advokasi kebijakan untuk restorasi ekosistem telah dimulai
sejak tahun 2002 hingga muncul sebagai kebijakan nasional pada tahun 2007. Namun agar restorasi ekosistem dapat mencapai tujuannya dengan baik, masih diperlukan pengembangan kebijakan. Beberapa kajian kebijakan terkait permohonan izin restorasi ekosistem telah dilakukan (Asmui dkk. 2012, Walsh dkk. 2012) dengan beberapa
46 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Restorasi Ekosistem di Hutan Alam……. Yoppy Hidayanto
temuan yang masih perlu ditindaklanjuti untuk memperbaiki proses permohonan izin restorasi ekosistem. Selain kebijakan terkait permohonan izin, diperlukan pula pengembangan kebijakan terkait pengelolaan konsesi restorasi ekosistem. Saat ini kebijakan terkait masih banyak berdasarkan pada kebijakan hutan alam produksi yang kurang sesuai dengan tujuan restorasi. V. Penutup Burung Indonesia berpandangan bahwa konservasi tidak harus mengambil
jalan yang terpisah dengan pembangunan berkelanjutan.
Restorasi ekosistem di hutan alam produksi berpotensi untuk menjadi model pengelolaan hutan yang baru tersebut. Sebagai tipe pengelolaan yang baru, diperlukan arahan dan masukan pakar melalui penelitian dan pengembangan.
Saat ini Burung Indonesia telah melakukan beberapa
kajian terkait pengembangan kebijakan dan model usaha. Beberapa waktu ke depan juga tengah dikembangkan penelitian-penelitian terkait teknik restorasi. Namun demikian masukan dari para ahli kehutanan akan selalu dibutuhkan terutama dengan akan berkembangnya implementasi restorasi ekosistem, termasuk di kawasan Sulawesi dan Maluku.***
47
48 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA Nurlita Indah Wahyuni BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim yang berakibat pada perubahan cuaca dan bencana alam. Namun hal ini tidak menyurutkan komitmen Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada berbagai sektor termasuk kehutanan. Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK terutama CO2 melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase pertumbuhan. Mitigasi perubahan iklim yang dapat dilaksanakan pada tingkat sub nasional adalah rehabilitasi hutan. Luas lahan yang tergolong dalam tingkat kritis dan sangat kritis di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 16,14% dan jika ditanam kayu pertukangan dengan riap 6-10 ton biomasa/tahun maka total biomasa yang terserap sebesar 16.515,13-27.525,22 Ton CO2e/tahun. Pelaksanaan mitigasi ini memerlukan sinergi antar pihak dalam suatu kebijakan multisektoral sehingga upaya penurunan emisi ini tidak mengganggu pelaksanaan pembangunan. Kata kunci: rehabilitasi, mitigasi, perubahan iklim, Sulawesi Utara I. Perubahan Iklim dan Kehutanan Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai pihak karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan. Iklim dapat menembus batas geografis dan tidak membedakan negara maju dan negara berkembang. Isu yang pertama kali dibahas dalam Konferensi
49
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pada KTT tersebut, terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia sendiri telah meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim. Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer sehingga tidak berdampak buruk terhadap iklim di bumi. Jumlah GRK yang terlalu banyak di atmosfer bumi telah memicu ketidakstabilan suhu bumi dan hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC tersebut, sejak tahun 1995 negaranegara para pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang) dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I) bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) untuk menerapkan UNFCCC. Pada CoP ke 3 tahun 1997 di Kyoto, dihasilkan suatu aturan hukum mengikat (legally binding) yaitu Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK bagi negara Annex I sedikitnya 5% dibandingkan tingkat GRK pada tahun 1990 dan hal ini harus dicapai pada tahun 2008-1012 (Ginoga et al,. 2008) Terdapat tiga mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK, yaitu Joint Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) dan Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya bisa berpartisipasi dalam CDM melalui pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan kehutanan (Aforestation/Reforestation). Mekanisme Pembangunan Bersih ini dipayungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih (A/R CDM).
50 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
Aforestasi didefinisikan sebagai penanaman pohon pada areal yang 50 tahun sudah tidak berhutan. Sedangkan Reforestasi adalah penanaman pohon pada areal yang sejak 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan. Salah satu syarat diterimanya hasil A/R CDM adalah kegiatannya terukur dan termasuk dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ukuran mitigasi yang digunakan adalah ton setara CO2 untuk dibuat ke dalam sertifikat penurunan emisi (CER). Dalam pelaksanaannya, A/R CDM ini dilaksanakan pada lahan-lahan kritis yang membutuhkan upaya rehabilitasi. II. Kebijakan Indonesia dalam Perubahan Iklim Dunia Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan berdasarkan peristiwa beberapa tahun ini, nampaknya Indonesia tidak cukup siap menghadapi bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Namun pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun 2009, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebanyak 26% pada tahun 2020 dengan skenario Business As Usual (tanpa ada rencana aksi) dan sebanyak 41% dengan dukungan internasional pada sektor energi dan penggunaan lahan termasuk kehutanan. Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) dalam salah satu laporannya menyebutkan bahwa deforestasi berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi GRK global dibandingkan dengan sumber emisi lainnya. Namun di lain pihak vegetasi dan tanah menyimpan CO2 dua kali lebih besar dibandingkan CO2 di atmosfer (Masripatin, 2008). Tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang adalah bagaimana cara menekan deforestasi dan degradasi hutan namun tetap dapat memenuhi kebutuhan pembangunan. Second National Communication (2009) menyebutkan bahwa sektor Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use Change and Forestry, LUCF) berkontribusi sebanyak 47% atau 649.254 Giga CO2e terhadap total emisi GRK Indonesia (Gambar 1). Total emisi seluruh sektor serta besar emisi pada masing- masing sektor tersaji dalam Tabel 1.
51
Tabel 1. Emisi CO2 pada seluruh sektor (Giga CO2e) Sektor
Emisi CO2
Energi
280.938
Industri
42.814
Pertanian Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LUCF) Kebakaran Gambut
75.420 649.254 172.000
Limbah
157.328
TOTAL
1.377.754
Sumber: Second National Communication (2009)
Limbah 11% Kebakaran Gambut 13%
Energi 20%
Industri 3%
Pertanian 6%
LUCF 47% Gambar 1. Persentase emisi GRK pada seluruh sektor (SNC, 2009) III. Peran Penting Kehutanan dan Pilihan Mitigasi Mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi (Perpres RI No 46/2008). Secara sederhana, peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK melalui proses fotosintesis (penyerapan CO2) vegetasi hutan. Atau dengan
52 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
kata lain, mitigasi perubahan iklim oleh hutan adalah melalui fungsi ekologis hutan untuk menstabilkan iklim. Hasil fotosintesis tersimpan dalam bentuk biomasa saat pertumbuhan vegetasi berlangsung. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase pertumbuhan. Sehingga kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer. Selain sebagai penyerap, hutan dapat dikategorikan sebagai penghasil emisi akibat konversi hutan atau deforestasi. Deforestasi dapat didefiniskan sebagai perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan. Asumsi yang digunakan adalah berkurangnya luasan hutan akan mengurangi potensi penyerapan CO2 dari atmosfer. Begitu pentingnya kegiatan mitigasi ini hingga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2009 memasukkan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ke dalam salah satu dari delapan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2009-2014. Kebijakan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan adalah kebijakan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari. Kegiatan dalam sektor kehutanan terkait mitigasi perubahan iklim dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu peningkatan serapan karbon (penanaman), konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat lain dari praktek pengelolaan hutan), dan memanfaatkan biomasa sebagai pengganti bahan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi biomasa atau secara tidak langsung melalui substitusi bahan yang industrinya menggunakan bahan bakar fosil. Cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon. Sehingga untuk dapat mencapai target mitigasi perubahan iklim, pelaksanaan penyerapan karbon tidak hanya dilaksanakan dalam kawasan hutan negara, namun bisa juga dilaksanakan di luar kawasan hutan. Secara umum, kegiatan yang dapat mendukung mitigasi adalah kegiatan yang berhubungan dengan penambahan stok karbon dengan cara penanaman. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia, antara lain melalui kegiatan rehabilitasi dan reforestasi, misalnya Gerakan Penghijauan Nasional (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan),
53
Gerakan Penanaman Pohon Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree, OMOT), Gerakan Menanam Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees, OBIT), pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kegiatan-kegiatan tersebut mampu meningkatkan kapasitas lahan untuk menyerap dan menyimpan emisi terutama di luar kawasan hutan atau di kawasan hutan yang berstatus lahan kritis. IV. Rehabilitasi Hutan sebagai Pilihan Mitigasi Dalam kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan pada tahun 2010 tentang penentuan Tingkat Emisi Referensi (Reference Emission Level, REL), Sulawesi Utara berada pada urutan ke-26 dari 33 provinsi di Indonesia. Sulawesi Utara dapat berkontribusi dalam penurunan emisi sebesar 0,46% atau 18.892.216 Ton CO2e dari total target penurunan emisi Indonesia sampai tahun 2020 melalui skenario Business As Usual atau tanpa ada rencana aksi. Bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, nilai ini tergolong kecil karena di Sulawesi Utara tidak terdapat lahan gambut yang merupakan penyumbang emisi terbesar dari sektor berbasis lahan jika terjadi konversi. Dinas Kehutanan Sulawesi Utara mencatat luas kawasan hutan di provinsi ini adalah sebesar 788,602.99 Ha (49,54%) dan Areal Penggunaan Lain sebesar 803,093.00 Ha (50,46%). Secara rinci, luas masing-masing fungsi hutan pada kabupaten/kota di Sulawesi Utara disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan status kawasan, kegiatan mitigasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pada kawasan hutan negara dan pada hutan hak. Pada hutan negara, dapat dilakukan kegiatan konservasi karbon hutan atau mencegah dan mengendalikan agar cadangan karbon yang tersimpan dalam hutan tidak lepas ke atmosfer. Kegiatan konservasi karbon dapat berupa pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, penetapan kawasan konservasi dan lindung, pembangunan HTI, serta penerapan teknik silvikultur intensif. Sedangkan pada hutan hak dapat dilaksanakan melalui agroforestri, hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan.
54 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
Tabel 2. Luas kawasan hutan dan areal penggunaan lain di Sulawesi Utara (Ha) No
Kabupaten/ Kota
1
Bolaang Mongondow
2
Bolaang Mongondow Utara
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
HSA/KPA
HL
HP
HPT
Kawasan Hutan
APL
-
343.975,47
222.073,73
566.049,20
HPK
79.680,67
Total
157.019,20
63.299,09
43.976,51
34.112,75
30.414,63
6.332,95
86.116,58
14.643,00
171.619,91
52.797,61
224.417,52
24.405,62 8.561,63 102,94 67.583,81 91,54 3.216,57 22.506,98 2.851,96 -
12.349,59 11.998,92 4.476,99 272,48 511,96 7.962,27 21.538,67 3.985,68 15.938,27 3.210,45
14.696,67 2.417,87 -
2.457,23 269,29 5.053,08 11.401,17 14.718,43 10.427,54 -
-
12.349,59 38.861,77 13.038,62 102,94 67.856,29 872,79 16.231,92 70.143,49 21.121,98 29.217,77 3.210,45
51.145,73 65.462,05 23.405,86 6.331,99 15.143,03 14.587,28 100.475,01 100.135,24 53.526,31 78.095,67 19.913,49
63.495,32 104.323,82 36.444,48 6.434,93 82.999,32 15.460,07 116.706,93 170.278,73 74.648,29 107.313,44 23.123,94
320.453,00
175.959,00
67.424,00
210.123,99
14.643,00
788.602,99
803.093,00
1.591.695,99
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008 Keterangan: HSA/ KPA = Hutan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam, HL=Hutan Lindung, HP=Hutan Produksi, HPT=Hutan Produksi Terbatas,HPK=Hutan Produksi Konversi, APL=Area Penggunaan Lain
55
55
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
Kepulauan Sangihe Kepulauan Talaud Kota Bitung Kota Kotamobagu Kota Manado Kota Tomohon Minahasa Minahasa Selatan Minahasa Tenggara Minahasa Utara Sitaro Total
Fungsi Kawasan Hutan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu kegiatan prioritas pembangunan nasional dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (20092014), ditargetkan rehabilitasi seluas 2,5 juta Ha dalam jangka waktu 5 tahun. Seperti disebutkan dalam Permenhut RI No. P.14/ Menhut-II/ 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012, bahwa kegiatan RHL merupakan salah satu upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sejalan dengan Permenhut di atas, maka mitigasi perubahan iklim di Sulawesi Utara dapat dilaksanakan dengan cara rehabilitasi lahan kritis terutama pada lahan dengan status sangat kritis dan kritis dengan total luas 270.362 Ha atau 16,14% (Tabel 3 dan Tabel 4). Tabel 3. Rekapitulasi data lahan kritis di Provinsi Sulawesi Utara (Ha) Arahan Fungsi Lahan
Fungsi Hutan
Agak Kritis
Potensial Kritis
8.870
179.904
343.023
217.457
418
749.672
10.685
22.972
45.623
83.568
13.066
175.914
1.922
7.825
33.608
127.694
79.814
250.863
12.607
30.797
79.231
211.262
92.880
426.777
2.454
22.565
55.980
121.164
7.871
210.034
HP
2.250
8.086
24.552
32.142
393
67.423
HPK
1.129
1.700
3.765
8.049
-
14.643
5.833
32.351
84.297
161.355
8.264
292.100
27.310
243.052
506.551
590.074
101.562
1.468.549
APL
Hutan Lindung
HL HSA&KPA
Sub Total
Sub Total TOTAL LUAS (Ha)
Luas (Ha)
Kritis
Budidaya Pertanian
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
Tingkat Kekritisan Lahan Sangat Kritis
Tidak Kritis
HPT
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008 Keterangan: HSA/ KPA = Hutan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam, HL=Hutan Lindung, HP=Hutan Produksi, HPT=Hutan Produksi Terbatas,HPK=Hutan Produksi Konversi, APL=Area Penggunaan Lain
Sasaran kegiatan rehabilitasi lahan adalah hutan konservasi dan lindung, serta lahan kritis di luar kawasan yang nantinya bisa berupa hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Rehabilitasi ini dapat dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah dengan masyarakat. Menurut kajian yang dilakukan oleh Wibowo et al (2010), pada hutan rakyat dan hutan
56 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
kemasyarakatan dapat dikembangkan jenis kayu pertukangan yang memiliki riap 6-12 ton biomasa/ha/tahun. Jika penanaman tersebut dilaksanakan pada lahan sangat kritis dan kritis, maka dapat terserap biomasa sebesar 9.574,54 - 15.957,57 Giga Ton biomasa/tahun atau setara dengan 16.515,13-27.525,22 Ton CO2e/tahun. Selain manfaat penyerapan karbon, manfaat lain yang dapat diperoleh dari penanaman lahan kritis adalah hasil kayu pada akhir daur pohon. Apabila masyarakat menerapkan sistem agroforestri pada hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan, maka diperoleh juga manfaat ekonomi berupa hasil dari tanaman semusim. Tabel 4. Rekapitulasi luas lahan kritis tiap fungsi lahan di Sulawesi Utara(%) Tingkat Kekritisan Lahan Arahan Fungsi Lahan
Tidak Kritis
Total Luas (%)
29,01
0,06
100
18,56
49,50
21,76
100
11,08
28,86
55,24
2,83
100
14,10
31,06
44,58
8,22
100
Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis
Budidaya Pertanian
1,18
24,00
45,76
Hutan Lindung
2,95
7,22
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
2,00
Rata-rata luas
2,04
Potensial Kritis
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008
Upaya nyata mitigasi perubahan iklim yang telah mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan daerah telah dilaksanakan oleh Kalimantan Timur. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur beserta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, Masyarakat, Perguruan Tinggi dan Pihak Swasta bersama-sama menyepakati “Deklarasi Kalimantan Timur Hijau” (Kadin Kaltim, 2010). Konsep yang diusung adalah “Pertumbuhan Rendah Karbon (Low Carbon Emission Development). Dalam konsep ini, Wibowo et al,. (2010) menjelaskan pertumbuhan ekonomi diarahkan pada pengurangan eksploitasi sumberdaya alam berlebihan (over exploitation), pengembangan ekonomi berdasar sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, pengembangan diversifikasi produk (product diversity), pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan (ecotourism and environmental services), bioteknologi (misalnya pengembangan obat dari tumbuhan hutan), serta pengembangan usaha skala kecil (small scale enterprise). Sulawesi Utara
57
dapat mengadaptasi kebijakan yang telah diambil oleh Kalimantan Timur. Apalagi dengan status MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran) yang dimiliki oleh kota Manado sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara, seiring dengan visi Kota Model Ekowisata yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi melalui jasa lingkungan untuk pariwisata (Kompas, 2012). Serta dengan berbagai potensi sumberdaya alam terutama keberadaan berbagai kawasan konservasi, mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan layak dilaksanakan oleh Sulawesi Utara. V. Kesimpulan Mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan cara penanaman terutama pada lahan kritis yang perlu direhabilitasi. Dalam pelaksanaannya, diperlukan sinergi antar pihak dalam suatu kebijakan multisektoral sehingga upaya penurunan emisi ini tidak mengganggu pelaksanaan pembangunan dan tetap mendukung perekonomian masyarakat. Pelaksanaan pembangunan rendah karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim ini memerlukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan terutama pada sektor berbasis lahan yang seringkali berbenturan dengan kehutanan. DAFTAR PUSTAKA Boer, R. 2002. Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Semiloka Regional Kalimantan: Proyek Karbon Hutan. Dinas Kehutanan Sulawesi Utara. 2008. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008. Ginoga, et al. 2008. Isu Pemanasan Global, UNFCCC, Kyoto Protocol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
58 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi……. Nurlita Indah Wahyuni
Kamar Dagang Indonesia Kalimantan Timur. 2010. Deklarasi Kalimantan Timur Hijau. http://www.kadinkaltim.com/?p=781 (diakses pada tanggal 7 Maret 2012) Kompas. 2012. ATF Mantapkan Manado sebagai Kota MICE. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/11/06051116/A TF.Mantapkan.Manado.sebagai.Kota.MICE (diakses tanggal 2 Maret 2012) Masripatin, N. 2008. Apa Itu REDD? Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2009 tentang 8 (Delapan) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. Peraturan menteri Kehutanan Nomor P.14/ Menhut-II/2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Second National Communication. 2009. Summanr for Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup Wibowo et al. 2010. Kajian Kontribusi Kehutanan dalam Penurunan 26% Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Laporan Akhir Program Insentif Terapan. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
59
60 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Strategi Pembangunan Kehutanan……. Susan T. Salosa
STRATEGI PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA: KONSEP SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT 1 Susan T. Salosa Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Papua Jln. Inamberi Pasir Putih, Manokwari, email:
[email protected]
I. Pendahuluan Lebih dari 250 suku asli dengan ragam bahasa dan budayanya masingmasing hidup di tanah Papua.
Kehidupan masyarakat umumnya lekat
dengan hutan karena tanah Papua dengan luas 31 juta ha, 75 % diantaranya adalah hutan.
Pemanfaatan sumber daya alam hutan dilakukan oleh
masyarakat menurut kearifan tradisional mereka secara turun-menurun. Hutan merupakan tempat mencari makan, berburu, meramu, mencari bahan-bahan budaya, bahan bangunan dll. Keberadaan suku-suku ini pun memiliki hubungan yang tersendiri dengan hutan dan alam sekitarnya dalam membentuk cara hidup dan cara berpikir mereka. Konsep hutan dalam masyarakat Papua adalah ibu yang bertugas memberi makan/menyusui anak-anaknya. Hutan adalah penyedia pangan, bahan konstruksi dan bahan-bahan lain yang diperlukan masyarakat. Hutan juga adalah dapur hidup (Ayamfos) bagi masyarakat di TWA Gunung Meja Manokwari (Anonimous, 2006). Dalam kehidupan masyarakat Papua, keberadaan dapur yang merupakan inti dari sebuah rumah karena menjadi bagian terbesar pada sebuah rumah masyarakat Papua.
Dapur adalah
tempat memroses makanan, tidur, berdiskusi, bercengkrama dan lain-lain karena di bagian tersebut terdapat perapian yang berfungsi untuk memasak dan menghangatkan seluruh ruangan dalam rumah. 1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
61
Hutan memiliki peran yang penting bagi masyarakat menurut sosial budayanya. Pembangunan kehutanan di Papua memerlukan strategi yang tepat sehingga tujuan mulia untuk mendapatkan hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera dapat diperoleh. II. Pengelolaan hutan di daerah Papua memiliki beberapa tipe ekosistem yakni pegunungan, dataran rendah, rawa dan lereng gunung.
Menurut Mansoben (2004) dalam
Mulyono (2012) tanah Papua dibagi dalam 4 (empat) lingkungan atau zona ekologi utama yang berpengaruh terhadap ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Papua yaitu (1) zona ekologi rawa (swampy areas), daerah pantai dan muara sungai (coastal dan riverine), (2) zona ekologi daerah pantai (coastal lowland areas), (3) zona ekologi kaki gunung serta lembahlembah kecil (foothills and small valleys) dan (4) zona ekologi pegunungan tinggi (highlands). Dengan zona ekologi yang berbeda ini tentu saja pola hidup dan ketergantungan masyarakat dengan alam berbeda satu dengan lainnya.
Begitu pula pola konsumsi dan mata pencaharian utama
masyarakat juga berbeda. Masyarakat Papua mengenal beberapa jenis sumber pangan utama dari mengkonsumsi keladi (Colocassia sp.), ubi jalar (Ipomoea batatas), sagu (Metroxylon sp), singkong (Manihot utilisima) dan pisang (Musa sp). Masyarakat di daerah pengunungan tinggi mengkonsumsi keladi dan singkong sebagai makanan pokok walaupun tetap didukung oleh sumber pangan yang lain.
Masyarakat kaki gunung umumnya mengkonsumsi
keladi, singkong dan sagu (bila memungkinkan untuk mengambil dari lembah). Sementara untuk masyarakat ekologi rawa dan pantai, makanan pokoknya adalah sagu. Mata pencaharian juga berbeda antara zona ekologi yakni masyarakat yang hidup di pegunungan umumnya adalah petani dan pemburu, sedangkan yang hidup di daerah tepi pantai umumnya adalah nelayan.
62 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Strategi Pembangunan Kehutanan……. Susan T. Salosa
III. Penerimaan terhadap Informasi/Teknologi Baru Kemampuan masyarakat dalam mengolah informasi dan tehnologi baru dipengaruhi oleh beberapa hal yakni tingkat pendidikan, jarak wilayah terhadap akses informasi, adat istiadat, sarana prasarana telekomunikasi yang tersedia di dalam kampung dan hubungan interpersonal. Masyarakat di pedesaan rata-rata berpendidikan rendah karena yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas) lebih memilih untuk menetap dan berkarir di kota. Jarak kampung terpencar dan jauh ke pusat informasi menjadikan program atau rencana yang ingin diimplementasikan perlu diklarifikasi berulangkali karena ketidakjelasan program di masyarakat. Keterbukaan masyarakat terhadap informasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan mereka terhadap hal-hal baru. Pendekatan kepada para tetua adat, kepala suku dan Baperkam sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat. Para tetua adat dan kepala suku masih sangat dihormati oleh masyarakat sehingga informasi yang diperoleh bisa dengan mudah diikuti. Timbulnya reaksi-reaksi bahkan konflik dalam masyarakat bermula dari komunikasi dan hubungan yang buruk. Orang Papua juga sangat menghargai hubungan kekerabatan dan hubungan informal lainnya. Ketika seseorang yang notabene bukan orang asli setempat dapat hidup bersama dan berinteraksi dengan baik dengan tokoh adat maka program yang disampaikan akan dapat terlaksana. Apalagi bila sudah tercipta kepercayaan (trust) di antara pengusaha hutan dan masyarakat. IV. Kearifan Lokal Keberadaan hutan dan alam sekitar melahirkan pengetahuan karena ada proses belajar-mengajar antara orang tua kepada anak dan dari generasi tua ke generasi muda. Ketika hutan rusak maka proses transfer kearifan lokal berubah karena kearifan lokal melahirkan pengetahuan lokal yang lahir sebagai hasil perpaduan antara ketergantungan kehidupan dan integrasi budaya. Kearifan lokal yang mendasari pelestarian hutan adalah: 1. Kepercayaan dan/atau pantangan yang meliputi
Waktu penanaman yang hanya berlaku pada waktu tertentu.
63
Hutan adalah ibu atau dapur hidup yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat.
2. Etika dan aturan: batasan dalam pengelolaan hutan antara batas kebun, ataupun batas wilayah antar clan. 3. Teknik dan Teknologi: Menentukan waktu mulai penanaman dengan melihat pertumbuhan jenis tanaman tertentu dan mengolah tanah dengan cara yang paling tradisional yaitu membiarkan babi mencungkil tanah dan memakan umbi di dalam tanah sekaligus menggemburkan tanah. 4. Praktek dan Tradisi Pengelolaan Hutan/lahan Menetapkan batas-batas pengelolaan hutan mulai dari susti, bahamti dan nimahamti serta membudidayakan jenis tanaman (domestikasi) jenis tanaman hutan seperti kelapa hutan.
Sumber: Kapisa, 2010
64 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Strategi Pembangunan Kehutanan……. Susan T. Salosa
Masyarakat sekitar hutan sudah seharusnya dapat menikmati keberadaan hutan dengan memanfaatkan sumber kayu dan non kayu yang ada. Keberadaan peraturan perundangan yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber kekayaan dan sumber daya yang dilindungi menjadikan kedudukan masyarakat pemilik ulayat dan masyarakat adat menjadi tidak jelas. Dalam pengelolaan hutan para akademisi berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan sendirinya bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil dicapai (Sardjono, 2004). Hal ini menyebabkan fokus utama pengelolaan hutan adalah pengelolaan hutan yang baik menurut sistem pengelolaan yang ada dan teruji contohnya sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan masyarakat menjadi hasil yang secara tidak langsung (indirect) diperoleh ketika semua sistem ini sudah berjalan dengan baik, jadi mereka bukan bagian yang menentukan keberhasilan.
Hal ini tentu perlu ditinjau kembali mengingat tingkat
keberhasilan yang diperoleh masih dalam nuansa “abu-abu” (tidak jelas). Masyarakat selalu merasa dalam posisi yang dikorbankan. Pada masyarakat Papua yang masih sangat sederhana, hutan dipandang sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena mereka hanya bertani subsisten dan meramu. Namun sejalan dengan perkembangan yang terjadi dan peningkatan kebutuhan ekonomi sehingga hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Suatu wilayah yang sebelumnya dapat diusahakan secara bersama-sama (communal) sekarang memiliki nilai ekonomi tinggi dan harus dimanfaatkan sesuai dengan kepemilikannya. Dengan demikian penentuan batas wilayah antar suku, kampung dan clan sangatlah penting. Batas wilayah clan biasanya ditentukan menurut (1). Kesepakatan bersama, (2). Batas pohon besar, jenis tanaman tertentu seperti pohon matoa yang besar, batu atau sungai, (3). Batas patok yang dikuatkan dengan surat bukti pelepasan tanah yang disahkan oleh pemilik wilayah.
65
V. Strategi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua Program pembangunan Kehutanan perlu memerhatikan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat.
Pemanfaatan hutan merupakan
perwujudan dari nilai sosial-budaya yang kuat dalam masyarakat lokal seperti dalam pemanfaatan sagu karena berperan dan berfungsi untuk mengatur dan mengikat komunitas melalui berbagai mekanisme budaya dan manajemen kearifan lokal yang dibentuk karena proses kehidupan yang panjang serta pemahaman masyarakat terhadap lingkungannya (Numberi, 2011). Dalam pemanfaatan hutan dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat yang menuntut hak atas tanah: 1. Tuntutan atas dasar kepemilikan yakni masyarakat menuntut karena merasa bahwa mereka adalah pemilik hak ulayat yang sah. 2. Tuntutan atas dasar nilai budaya yang penting dimana terdapat kearifan lokal atas pemanfaatan sumber daya alam. Hutan dan areal yang dikeramatkan karena memiliki kelebihan/kekhususan berbeda dengan tempat lain di wilayah tersebut. Contohnya areal hutan keramat di kawasan konsesi kampung Sararti yang dilindungi oleh masyarakat karena memiliki kekhususan yang berbeda dengan tempat lain di wilayah tersebut yakni keunikan batu yang dapat mengeluarkan api ketika digesekkan satu sama lain. 3. Tuntutan atas dasar daya dukung hutan (tanah) secara ekonomi. Ketika hutan memiliki kandungan hasil hutan dengan harga yang tinggi, masyarakat menuntut untuk dibayar dengan penggantian yang sesuai. Bahkan hutan tersebut enggan diberikan bagi pengusaha HPH untuk dikelola karena akan merusak potensi yang ada dan membuat hewan buruan menjauh.
Masyarakat memilih untuk mendapat dana tunai
dibandingkan dalam bentuk program karena lebih dapat dimanfaatkan secara pribadi dan langsung. Ketika program hendak dilaksanakan sebaiknya diinformasikan lewat pimpinan adat yakni kepala suku karena masyarakat adat umumnya lebih mendengar kepada para tetua dat dibandingkan Baperkam. Kegiatan yang
66 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Strategi Pembangunan Kehutanan……. Susan T. Salosa
bersifat komunal dan untuk kepentingan komunal masih lebih diutamakan karena adanya budaya gotong royong dan kekeluargaan yang masih dijunjung tinggi.
Sebaliknya yang dibutuhkan oleh masyarakat dari
pemerintah adalah: 1. Keterbukaan tentang proyek/kegiatan yang sedang dilaksanakan. 2. Kejelasan peran dan keterlibatan para pihak termasuk kekuatan hukumnya. 3. Tujuan yang hendak dicapai/ hasil yang akan diperoleh. 4. Bagian (keuntungan) yang akan diperoleh masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demi mencapai keberhasilan program maka: 1. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan 2. Ada kepastian hukum yang jelas 3. Mengutamakan kepentingan masyarakat dalam peningkatan ekonomi masyarakat. 4. Untuk keberhasilan proyek penanaman sebaiknya menggunakan jenis tanaman lokal yang sesuai. Seperti contohnya Calophylum inophylum pada HTR Biak (Yeny dkk, 2011). Kesenjangan yang selama ini terjadi antara pengusaha kayu dan masyarakat diduga terjadi karena ketidakjelasan mengenai pemanfaatan hutan dan insentif yang diterima oleh masyarakat. Pada kenyataannya akan terjadi tiga blok dalam masyarakat yaitu blok yang menerima, blok yang menolak, blok yang menolak tetapi mau menerima fasilitas yang diberikan oleh perusahaan pengusahaan kayu.
67
Identifikasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threat) Faktor Internal
Strength: 1. Potensi sumber daya alam yang tinggi 2. Punya kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan dan sumber daya alam lainnya 3. Nilai kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi 4. Keinginan untuk maju dan berkembang
Faktor Eksternal Opportunities: 1. Masyarakat diutamakan dalam pembangunan sejalan dengan Otsus 2. Kemungkinan pemekaran wilayah administratif 3. Peningkatan sarana prasarana dan media informasi 4. Perdasus dan Perdasi Papua 5. Keterlibatan parapihak dalam pengelolaan hutan Papua
Strategy (SO) 1. Potensi sumber daya alam yang tinggi didukung dengan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam termasuk nilai kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi serta keinginan untuk maju dan berkembang dalam semangat otonomi khusus maka hutan dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat lokal dan semua pihak
68 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Weakness: 1. Kualitas SDM yang masih rendah 2. Sistem manajemen ekonomi yang masih rendah 3. Jauh dari kota/transporta si mahal 4. Topografi wilayah yang berat 5. Belum ada tata batas kepemilikan yang jelas Strategy (WO) 1. Peningkatan kualitas SDM lewat pendidikan dan pelatihan 2. Penataan batas ulayat yang jelas
Strategi Pembangunan Kehutanan……. Susan T. Salosa
Threats: 1. Perubahan status kawasan hutan menjadi daerah pemekaran baru sehingga hutan rusak. 2. Sempitnya lahan berusaha karena pertambahan jumlah penduduk 3. Kebijakan pemerintah pusat
Strategy (ST) 1. Pembangunan berdasarkan Perencanaan wilayah dan penataan batas wilayah dengan baik 2. Pembukaan lapangan kerja baru.
Strategy (WT) 1. Melakukan usaha pemberdayaan dan pembinaan masyarakat melalui program pendampingan. 2. Penataan batas ulayat yang jelas
VI. Kesimpulan 1. Bagi masyarakat Papua, hutan merupakan salah satu kekayaan sosial budaya karena pemanfaatan dan proses sosial budaya yang terjadi di dalamnya. 2. Strategi yang tepat bagi pembangunan kehutanan di tanah Papua adalah dengan komunikasi yang jelas, melibatkan masyarakat dalam kegiatan, ada insentif yang memadai sebagai penghargaan atas hak atas tanah. 3. Hutan yang kaya di wilayah ulayat masyarakat dengan keterbatasan kualitas sumber daya manusia mengakibatkan hasil yang diperoleh tidak maksimal karena itu perlu peningkatan kualitas SDM lewat pendidikan dan pelatihan. 4. Perlu penataan batas wilayah dan perencanaan pembangunan yang memadai sehingga tidak terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan hutan.
69
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2006. Potensi Biofisik Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Kapisa, N. 2010. Integrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua (Integration of the Forest Management Unit within Sustainable Forest Management Policy in Papua. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua. Mulyadi. 2012. Budaya Pertanian Papua: Perubahan Sosial dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat Arfak. KartaMedia. Yogyakarta. Number, F. 2011. Sagu: Potensi yang Masih Terabaikan. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta Barat. Sardjono, M. A. 2004. Mozaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumber Daya. Debut Wahana Sinergi. Jogjakarta.
70 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
POTENSI RAGAM PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU EKOSISTEM MANGROVE DI DESA AIR BANUA1 Ady Suryawan dan Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura, Kima Atas, Mapanget, Manado
[email protected]
ABSTRAK Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Ekosistem ini mensuplai rantai makanan biota laut. Namun ekosistem ini terganggu dengan adanya praktek pemanfaatan kawasan mangrove hingga mengubah fungsinya, sehingga diperlukan peringatan tegas terhadap kegiatan tersebut. Salah satu potensi hutan mangrove yang cukup penting di Sulawesi Utara terletak di Pulau Talise. Penelitian bertujuan untuk memberikan data potensi mangrove di Desa Air Banua Pulau Talise dan ragam potensi pemanfaatan mangrove hasil hutan bukan kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan hutan mangrove terdapat 5 (lima) jenis dengan urutan dominasi tertinggi Brugueira gymnorriza, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Avecennia spp dan Rhizophora apiculata. Produksi buah paling tinggi adalah R. mucronata mencapai 3.210 bh/ha/th. Ragam potensi pemanfaatan baik dari bunga, buah, daun maupun kulit mangrove antara lain : sebagai tepung roti dan produk olahannya, pengganti beras, aneka produk camilan seperti emping, dodol, permen, lempok, wajik, aneka minuman jus, cocktail. Sebagai bahan obat-obatan dapat digunakan sebagai obat rematik, cacar, borok, aphrodiasiac, diuretic, hepatitis, leprosy, anti tumor, beri-beri, febrifuge, hematuria dan penghenti pendarahan. Pemanfaatan untuk bahan baku industri sebagai sol dan pembuatan sabun cair. Fungsi hutan mangrove secara ekologis adalah sebagai peredam ombak, mampu menjaga kestabilan tebing sungai dan pantai, serta sebagai sumber pakan ternak dan satwa. Kata Kunci : Potensi, Air Banua, Pemanfaatan, Mangrove, Hutan.
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
71
I. Pendahuluan Hutan mangrove di Sulawesi Utara memiliki peranan yang vital terhadap kelangsungan hidup masyarakat khususnya di daerah pesisir. Fungsi utama mangrove adalah sebagai pelindung kawasan pesisir dari terjadinya abrasi, intrusi, gelombang air laut dan masuknya uap garam ke pemukiman masyarakat. Menurut Halidah dkk 2008, masyarakat Sinjai Timur memanfaatkan hutan mangrove secara langsung dengan mengambil kayu (67%), buah (20%) dan daunnya (13%). Sedangkan pemanfaatan tidak langsung berupa hasil tangkapan ikan (30%), kepiting (27%), kerang (23%), benur (50%), nener (40%), dan kelelawar (7%). Fungsi ekologis hutan mangrove sebagai tempat bertelur/pemijahan, mencari makan ikan merupakan fungsi vital untuk masyarakat nelayan. Sulawesi Utara merupakan provinsi pengekspor ikan terutama ke Jepang. Data ekspor perikanan Sulut ke berbagai negara di dunia pada tahun 2011 tercatat 31.000 ton dan mampu menghasilkan devisa sebanyak 135 juta dolar AS (Antara, 2012). Besarnya potensi tangkapan ikan ini tidak akan pernah lepas oleh pengaruh adanya hutan mangrove. Permasalahan yang sekarang ada yaitu telah terjadinya abrasi dan degradasi hutan mangrove pada hampir di seluruh wilayah pesisir Sulawesi Utara yang mencapai 14.463 ha karena alih fungsi lahan (Sasmitohadi, 2011). Faktor dominan penyebab kerusakan mangrove adalah lemahnya penilaian atau valuasi ekonomi hutan mangrove (Harahab, 2010). Konsep dasar dalam valuasi hutan mangrove didasarkan atas dua aspek yaitu potensi yang ada di dalam dan di luar ekosistem dan potensi yang memiliki pasar atau tidak memiliki pasar. Peran hutan mangrove di Sulawesi Utara sangat vital sebagai perlindungan dan habitat biota laut yang merupakan kebanggaan Provinsi Sulawesi Utara. Kerusakan mangrove merupakan tanggung jawab bersama, sehingga ketergantungan terhadap pemanfaatan yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove harus beralih pada pemanfaatan hutan yang berkelanjutan. Penelitian bertujuan untuk memberikan data potensi
72 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
mangrove di Desa Air Banua Pulau Talise dan ragam potensi pemanfaatan mangrove hasil hutan bukan kayu. II. Metodologi Penelitian A. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan mangrove di Desa Air Banua di Pulau Talise, sedangkan peralatan yang digunakan yaitu peta skala, tallysheet, clipboard, pensil, tambang berukuran 50 meter, phiband, dan alat dokumentasi. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk inventarisasi tegakan menggunakan metode random sampling transek dengan ukuran 50 x 200 meter penempatan plot sejajar garis pantai. Penaksiran buah dilakukan dengan menghitung jumlah buah yang masih menggantung di pohon. Pengukuran dilakukan terhadap diameter, tinggi dan jumlah buah di setiap pohon. Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 atau disaat mangrove berbuah. Penghitungan taksiran produksi mangrove dilakukan dengan menghitung jumlah buah yang ada di pohon. C. Analisa data Untuk mengetahui kondisi ekologi mangrove maka dilakukan analisa indeks nilai penting dengan rumus sesuai Indriyanto (2006) sebagai berikut : INP (Indeks Nilai Penting ) = FR + KR + DR FR (frekuensi relatif)
=
KR (Kerapatan relatif)
=
DR (dominasi relatif)
=
Penaksiran produksi buah dilakukan dengan mengkonversi jumlah bibit persatuan hektar dan potensi diperoleh dengan mengkaji berbagai referensi.
73
III. Hasil dan Pembahasan A. Kondisi dan Potensi Hutan Mangrove di Desa Air Banua Penelitian dilakukan di ekosistem mangrove pada blok Labuan Merendung dan Wowunian. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa pada blok Labuan Merendung masih lebat dibanding pada blok Wowunian. Pada blok Labuan memiliki kharakteristik yang lebih gelap, terdapat jumlah anakan alam berbagai jenis mangrove lebih banyak dibanding dengan Blok Wowunian. Hasil wawancara masyarakat mengatakan bahwa pada beberapa tahun yang lalu masih sering dilakukan penebangan kayu dan pengambilan kulit batang untuk bahan pengawet jaring ikan sehingga pada blok Wowunian kerapatan tegakan berkurang drastis.
Hal ini selaras
dengan penelitian Wantasen (2002) yang menyatakan bahwa permintaan kayu bakar mangrove pertahun mencapai 8,5 m3. Hasil perhitungan dan analisa rekapitulasi data disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Hasil perhitungan dan analisa data pada plot pengamatan Desa Wowunian dan Labuan Merendung. Jenis Mangrove
n/ha
n buah/ha/th
INP
Bruguiera gymnorriza
28
1.963
129%
Rhizophora mucronata
41
3.210
115%
4
560
Soneratia alba
56%
Pada kedua blok diketahui bahwa sedang terjadi musim buah yang tidak merata. Dalam satu pohon terdapat variasi umur buah ditunjukkan oleh adanya bunga, buah muda dan buah masak dalam satu pohon. Hal ini menunjukan bahwa produksi buah terjadi setiap tahun. Kharakteristik habitat kedua blok yaitu daerah berlumpur cukup tebal berkisar antara 30 – 50 cm, frekuensi pasang surut air laut berkisar 30 – 45 kali/bulan, sangat sedikit batu ataupun karang. Saat dilakukan penelitian kondisi ombak relatif tenang, namun pada bulan Nopember hingga Pebruari ombak terjadi sangat kuat. Hasil inventarisasi dalam plot pengamatan dijumpai hanya ada 3 (tiga) jenis mangrove sebagaimana Tabel 1. Namun pada daerah yang berkarang
74 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
banyak dijumpai jenis Avicennia alba dan Avicennia marina serta sering dijumpai buah dari Rhizophora apiculata dan Nypah fruticant. Namun dari kedua jenis buah yang dijumpai tersebut tidak ditemukan tegakannya. Berdasar penghitungan dalam plot pengamatan, jenis B. gymnorrhiza merupakan jenis dominan. Tingkat dominasi ini dipengaruhi oleh jumlah dan diameter tegakan, dimana rata-rata mencapai 39,4 cm, R. muconata berdiameter rata-rata 22,7 cm sedangkan jenis S. alba memiliki diameter rata-rata paling besar yaitu mencapai 48,2 cm. Hal ini menunjukkan bahwa struktur tegakan yang sedang bertumbuh adalah jenis R. mucronata karena memiliki n/ha paling tinggi. Kondisi diameter besar sangat dipengaruhi oleh jenis suatu mangrove. R. mucronata memiliki fenotip yang diameter paling kecil bila dibanding dengan B. gymnorrhiza dan S. alba. Kondisi yang stag atau tidak bertumbuh adalah S. alba, dijumpai dalam diameter yang besar namun tidak dijumpai satupun anakannya. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tapak, kondisi yang berlumpur merupakan daerah yang sangat cocok untuk pertumbuhan mangrove jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Sedangkan jenis-jenis Sonneratia spp. sangat cocok pada daerah yang terdapat pasir dan batu-batuan. Hasil perhitungan potensi produksi buah tertinggi dihasilkan dari jenis R. mucronata. Pada saat survey bulan Pebruari, jenis ini didapati buah yang matang namun dalam jumlah relatif sedikit, sedang saat penelitian masih didapati buah yang matang, tengah bertumbuh, kuncup bahkan sedang berbunga.
Hal ini menunjukkan bahwa R. mucronata
berbuah secara tidak serentak.
di kawasan ini
Kondisi ini masih dalam monitoring
sehingga nanti akan diketahui kharakteristik fenologinya. Bentuk buah R. mucronata tergolong dalam
kelompok
vivipar yaitu benih yang
berkecambah terjadi sejak masih menggantung di pohon, bentuk ini juga dijumpai pada jenis Bruguiera spp. Dimensi buah/propagul R. mucronata yang dijumpai memiliki panjang tertinggi mencapai 95 cm dengan diameter terbesar 36 mm dan panjang terpendek 58 cm dengan diameter 24 mm. Produksi buah perhektar pertahun diduga mencapai 3.210 propagul, angka ini mungkin lebih karena masih ada yang berbunga.
75
B. Potensi Ragam Pemanfaatan Mangrove yang Mengahasilkan Produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Potensi buah mangrove berdasarkan berbagai referensi antara lain sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Hasil studi banding di Desa Nguling, Kabupaten Pasuruan pemanfaatan buah mangrove sebagai produk makanan. Pemanfaatan yang dilakukan masih dalam tahap uji coba belum dikembangkan secara komersil. Beberapa jenis mangrove yang berpotensi sebagai HHBK anatara lain :
1. B. gymnorriza Pohon ini selalu hijau dengan ketinggian kayu mencapai 30 m. Memiliki buah bertipe vivipar lurus dan tumpul bewarna hijau tua keunguan, memiliki kelopak buah berwarna merah dan lebih banyak dikenal dengan buah lindur. Buah matang ditandai dengan perubahan warna menjadi kecoklatan kehijauan. Panjang buah lindur berkisar 12 – 30 cm dengan diameter 1,5 – 2 cm. Habitat B. gymnorriza yang ada di Desa Air Banua banyak dijumpai pada daerah berlumpur Banyak
dan
berpasir.
mengalami
asosiasi
dengan R. mucronata dengan sebaran mendekati
pada
areal
pantai
yang
atau
di
Gambar 1. Buah Lindur B. gymnorriza
belakang R. mucronata. Masyarakat Pulau Talise telah memanfaatkan kulit batang untuk mengawetkan jaring ikan karena pada bagian ini memiliki kandungan Tanin yang tinggi. Sedangkan buahnya atau lindur mengandung tanin dalam jumlah sedikit yang dapat mengurangi sakit perut, namun dalam jumlah banyak akan menjadi racun. Menurut Priyono et. al. (2010), buah Lindur B. gymnorriza dapat dijadikan sebagai kue, cake, pengganti karbohidrat karena mengandung energi yang cukup tinggi mencapai 371 kalori per 100
76 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
gram bahkan lebih tinggi dibanding beras, jagung, singkong atau sagu. Menurut Purnobasuki (2004), kulit batang dapat dijadikan sebagai obat penahan pendaharan. Pemanfaatan buah lindur dapat dijadikan berbagai produk makanan seperti manisan (bagian dalam buah dicampur dengan gula), serta tepung dan beras. Pembuatan tepung akan memiliki banyak manfaat karena masa simpan buah lebih lama. Cara pembuatan sederhana yaitu melalui pencincangan, perendaman selama 3 (tiga) hari, peremasan dan perebusan selama 30 menit diseratai dengan pengadukan, selanjutnya digiling, dijemur kering dan diayak. Tepung yang lembut dapat sebagai bahan pembuatan roti sedangkan yang kasar dapat ditanak sebagai pengganti nasi. Selain itu, tepung yang telah jadi tersebut dapat dicampur dengan tepung tapioka dan bumbu-bumbu untuk bahan pembuatan kerupuk dan cireng.
Menurut
Priyono et. al (2010), tepung buah lindur yang telah diolah telah memenuhi kriteria tepung konsumsi dan telah memenuhi standar SII untuk Tepung. Contoh resep pembuatan roti berbahan tepung lindur menurut Anonim (2010) sebagai berikut : a). Bahan : Tepung 1 gelas, telur 6 biji, mentega cair 250 gram, gula pasir 1 gelas, susu bubuk 1 saset, vanili 2 bungkus dan ditambah ovalet. b). Cara pembuatannya sebagai berikut : Tambahkan ovalet, gula, vanili dan telur kemudian diaduk / mixer hingga berwarna putih mengembang. Kemudian ditambah susu bubuk tepung, boleh ditambah pewarna coklat diaduk dan dimasukkan mentega cair 1 ons, selanjutnya dimasukkan ke Loyang dan dioven + 20 menit roti sudah siap untuk disajikan. Kelimpahan buah lindur di Pulau Talise tergolong tinggi mencapai 1.963 buah/hektar. Namun buah lindur tidak bertahan lama, sehingga dengan adanya pengolahan menjadi tepung akan lebih tahan lama dan dengan pemanfaatan menjadi produk olahan buah lindur dapat menyerap lapangan pekerjaan.
77
2. R. mucronata R. mucronata memiliki buah bertipe vivipar lonjong, panjang antara 60 – 90 cm dan berdiamater 2 - 3 cm. Berwarna hijau kecoklatan saat matang leher kotiledon akan membentuk cincin berwarna kuning. Jenis R. mucronata di Desa Air Banua merupakan jenis dominan, tumbuh pada areal berlumpur dan memiliki pertumbuhan paling bagus pada areal berlumpur dalam dan berombak tenang.
Gambar 2. Foto buah dan bunga R. mucronata saat muda (kiri) dan buah matang (kanan terdapat cincin kuning di bawah kotiledon).
Pemanfaatan non kayu R. mucronata oleh masyarakat Desa Air Banua masih terbatas sebagai tanaman rehabilitasi. Pemanfaatan kayu yang telah dilakukan adalah sebagai arang karena memiliki nilai kalor yang tinggi. Pada kulit batang juga memiliki Tanin yang dapat digunakan sebagai bahan pewarnaan. P emanfaatan dari bagian buah masih belum banyak dilakukan. Menurut Noor et al. (2006), tanin dari kulit kayu dapat digunakan sebagai obat hematuria (pendarahan pada air seni).
Purnobasuki (2004)
mengatakan bahwa khasiat kulit batang R. mucronata adalah untuk mengobati beri-beri, febrifuge, haematoma, borok sedangkan kulit batang, bunga, daun dan akar dapat mengobati hepatitis. Namun Purnobasuki tidak mengatakan bagaimana cara mengkonsumsinya.
78 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
Beberapa tambak yang ada di pantai utara Probolinggo menggunakan jenis ini sebagai vegetasi greenbelt atau sabuk hijau laut dan pelindung tambak-tambak.
Menurut Gunarto (2010), daun R. mucronata dapat
dimanfaatkan sebagai pakan alternatif udang windu. Reboisasi yang dilakukan di Nguling Kab. Pasuruan diawali dengan membuat greenbelt rapat dan tebal pada titik terluar pantai menggunakan jenis R. mucronata. Jeni ini dianggap paling sesuai karena memiliki propagul paling panjang sehingga pada tapak khusus dapat langsung ditanam di lapangan tanpa harus dilakukan persemaian. Menurut Setyawan dan Winarno (2006), Jenis R. mucronata merupakan jenis mangrove yang memiliki fungsi ekologis yang tinggi diantaranya mampu memperluas area mangrove melalui penyerapan dan pengendapan lumpur, mampu menahan hempasan ombak, mampu menjaga stabilitas tebing sungai dan garis pantai serta mampu mengembalikan fungsi ekologi mangrove pada area yang sudah rusak. Selain itu, ternak seperti kambing sangat suka terhadap daun mudanya, hal ini terbukti dengan adanya bekas gigitan kambing pada tanaman R. mucronata, sehingga sebagai HMT (hijauan makanan ternak).
3. Sonneratia alba Memiliki
tipe
buah
normal
sebagaimana buah pada normal atau bulat yang mengalami menyebarkan benihnya setelah jatuh di air dan pecah. Setiap buah mengandung biji (150 – 200 buah).
Bentuk buah
seperti bola dan terbungkus kelopak bunga, buah berdiameter 3,5 – 4,5 cm. Buah S. alba sering disebut dengan Pedada, saat jatuh ke air tidak akan tenggelam, rasa buahnya masam dan dapat dimakan.
Gambar 3. Foto buah dan daun Sonneratia alba.
Habitat S. alba di Desa Air Banua yaitu areal yang berlumpur dan berpasir, pada areal berbatu dan berkarang. Kelimpahan jenis ini relatif
79
sangat kecil, ditemukan secara soliter dengan diameter paling besar dibandingkan dua jenis sebelumnya. Ditemukan lebih banyak pada lokasi pesisir yang terlindungi dari hempasan ombak, dan sedikit ditemukan di daerah berombak kuat. Menurut Priyono et. al. (2010), buah Pedada S. alba dapat dijadikan bahan pembuatan dodol pedada, permen pedada, lempok pedada, wajik pedada, jus pedada, jus cocktail pedada, sabun cair pedada. Beberapa resep tersebut dijelaskan sebagai berikut : Dodol pedada dibuat dari daging pedada diblender kemudian disaring dan diambil airnya saja. Kemudian tepung beras dan ketan dicampur dan diaduk dengan air santan hingga rata, kemudian ditambah air gula merah dan dimasak hingga mengental. Selanjutnya adonan dicetak dan didinginkan. Permen pedada dibuat dari daging buah kemudian dicampur dengan gula, agar-agar dan air secukupnya. Adonan dimasak hingga mengental, setelah dingin kemudian dicetak dan dibungkus. Lempok pedada dibuat dari daging buah yang telah bersih kemudian diblender. Setelah halus diperas dan dicampur dengan gula, vanili dan garam. Selanjutnya dipanaskan hingga mengental. Kemudian diangkat, dibentuk bulat dan dibungkus Jus pedada dibuat sangat sederhana yaitu buah pedada yang sudah matang diblender dan ditambah daun mint. Sabun pedada dibuat dari campuran rebusan 500 gram buah pedada yang telah dihaluskan, rebusan 500 gram lidah buaya dan 8 butir ragi tape. Setelah dicampur bahan disimpan selama 3 hari ditempat teduh hingga menjadi pasta dan tidak berbau atau proses fermentasi telah berhasil. Buah-buahan S. alba juga dapat digunakan sebagai obat untuk keseleo dan bengkak. Daun-daun S. alba juga merupakan hijauan makanan ternak (Setyawan dan Winarno, 2006) dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis ini dapat dijadikan bahan industri sol sepatu yaitu dari bagian pneumatofora.
80 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
Namun sampai saat ini, budidaya dan pemanfaatan jenis S. alba masih sangat terbatas di Sulawesi Utara.
4. Avecinnia sp atau Api-api Di
sepanjang
pantai
Pulau Talise jenis ini tumbuh secara soliter pada areal berbatu
dan
berpasir,
tumbuh tinggi mencapai 1,5 meter.
Saat
penelitian
dilakukan banyak dijumpai buah
Avecinnia
sp.
dan
anakan. Ujicoba pemindahan anakan penjepitan
dengan
teknik
Gambar 4. Hamparan Avecennia spp di Lokasi Desa Air Banua.
menggunakan
batu-batuan pada areal-areal kosong mengalami kegagalan karena ombak yang cukup besar. Buah Avecinnia sp. dapat dijadikan sebagai emping. Menurut Wibowo et al. (2009), hasil analisis kandungan kimia menyimpulkan bahwa daun Avicennia spp. memiliki potensi sebagai pakan, dan bijinya sebagai bahan pangan manusia karena kandungan Fe, Mg, Ca, K, Na yang cukup tinggi. Sedangkan Avecinnia marina, A. lanata dan A. alba mempunyai potensi sebagai bahan obat karena memiliki kandungan alkaloid, saponin, dan glikosida dalam jumlah cukup tinggi dalam semua jaringan tumbuhan. Pada tahun 2004, penelitian Purnobasuki (2004) menjelaskan bahwa batang A. alba dapat dijadikan bahan obat sakit rematik, cacar dan borok. Buah A. marina dapat menjadi obat penyakit Aphrodiasiac, diuretic, hepatitis sedangkan batangnya menjadi obat leprosy. Sedangkan A. offinalis dapat menjadi obat hepatitis dari buah, daun dan akarnya, dan kulit batang sebagai anti tumor. Upaya pembibitan dan pemanfaatan jenis Avecennia spp di Sulawesi Utara masih sangat terbatas. Selain terbatasnya informasi pembibitan dan pemanfaatan, jenis ini sulit ditanam pada daerah berombak, sehingga
81
hanya mengandalkan dari alam. Pada daerah yang terdapat Avecennia spp, akan banyak dijumpai anakan secara alami.
Informasi ini menjelaskan
bahwa, jenis Avecennia spp lebih mudah ditanam disekitar daerah yang terdapat Avecennia spp daripada lokasi kosong, walaupun kondisi habitatnya sama.
5. Rhizophora apiculata Di kawasan mangrove Desa Air Banua tidak ditemukan adanya tegakan R. apiculata. Saat penelitian hanya dijumpai buah-buah yang hanyut dan sebagian telah mengalami pertumbuhan menjadi semai. Jenis ini memiliki ciri-ciri mirip seperti R. mucronata tetapi bentuk buah lebih kecil dan pendek berkisar 18 – 38 cm, bentuk daun lebih runcing dan kecil, tumbuh pada tanah berlumpur halus dan sering tumbuh dominan. Jenis ini banyak dijumpai di Desa Tambun dan Kinabuhutan yaitu desa yang terletak dibalik desa Air Banua.
a.
b.
Gambar 5. Buah R. apiculata yang ditemukan di sekitar Desa Air Banua (kiri) dan R. apiculata di sekitar Desa Kinabuhutan (kanan)
Menurut Noor et al. (2006), Rhizophora memiliki 30 % tanin pada berat kering kulit kayunya. Memiliki kekeran kayu yang tinggi, sehingga akarnya sering dijadikan jangkar, digunakan sebagai pelindung pematang tambak dan penghijauan.
Sedangkan dalam dunia medis menurut
Purnobasuki (2004) kulit batangnya dapat digunakan sebagai antiseptic, anti muntah, diare, haemostatic, typhoid dan menghentikan pendaharan, sedangkan kulit batang, bunga, daun dan buah dapat digunakan untuk mengobati hepatitis.
82 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
IV. Kesimpulan 1. Mangrove dis ekitar Desa Air Banua terdiri dari 5 jenis yaitu B. gymnorriza, R. apiculata, S. alba, Avecennia sp dan R. apiculata. Indeks Nilai Penting tertinggi dimiliki oleh B. gymnorriza 129%, kemudian R. mucronata dan S. alba sedangkan potensi produksi buah tertinggi didominasi oleh R. mucronata 3.210 bh/ha/th. 2. Pemanfaatan hasil hutan mangrove bukan kayu yang telah dilakukan oleh masyarakat adalah pengambilan kulit batang sebagai bahan pengawet jaring ikan. Sedangkan potensi yang dapat dikembangkan per masing-masing jenis antara lain : B. gymnorriza Buah B. gymnorriza atau disebut lindur dapat dijadikan sebagai produk makanan pengganti beras, manisan dan produk makanan olahan tepung lindur seperti cake, roti karena memiliki nilai kalori mencapai mencapai 371 per 100 gram atau lebih tinggi dibanding beras, jagung, singkong dan sagu. Kulit batang dapat digunakan sebagai obat penghenti pendarahan R. mucronata R. mucronata memiliki potensi yang tinggi dalam dunia medis. Kulit batang dapat menjadi obat beberapa penyakit beri-beri, febrifuge, haematoma, borok dan hematuria, sedangkan kulit batang, bunga, daun dan akar dapat mengobati hepatitis. Memiliki fungsi ekologis yang tinggi karena mampu memperluas area mangrove, tahan terhadap ombak, mampu menjaga stabilitas tebing dan mampu mengembalikan fungsi-fungsi ekologis mangrove yang rusak, sehingga baik untuk bahan rehabilitasi kawasan mangrove terutama daerah berombak besar.
Daun–daunnya dapat sebagai sumber
pakan ternak. S. alba Jenis S. alba terkenal dengan buah pedada ataupun bogem. Produk makanan yang dapat dihasilkan dari jenis ini sangat banyak antara lain : Dodol Pedada, Permen Pedada, Lempok Pedada, Wajik Pedada,
83
Jus Pedada, Jus Cocktail Pedada. Di bidang kosmetik untuk bahan sabun cair pedada, bidang industri sebagai bahan sol dan daundaunnya sebagai sumber pakan ternak. Avecennia spp Beberapa buah jenis ini dapat dijadikan sebagai emping. Memiliki kandungan alkaloid, saponin, dan glikosida cukup tinggi sehingga memiliki potensi sebagai obat-obatan, antara lain untuk sakit rematik, cacar dan borok, aphrodiasiac, diuretic, hepatitis, leprosy dan anti tumor. R. apiculata Memiliki potensi sebagai pelindung pematang tambak dan penghijauan. Dalam dunia medis sebagai antiseptik, anti muntah, diare,
haemostatic,
typhoid
dan
menghentikan
pendaharan,
sedangkan kulit batang, bunga, daun dan buah dapat digunakan untuk mengobati hepatitis DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan alternatif pembuatan, makanan. http://www.mangroveblog.co.cc/2010/08/pemanfaatan-mangrovesebagai-bahan.html. di publis tanggal 31 Agustus 2010. Eksposnews.com. 2012. Sulawesi Utara eksport ikan Ke Jerman. http://eksposnews.com/view/7/40217/Sulawesi-Utara-Ekspor-Ikanke-Jerman.html. Diakses tanggal 29 Agustus 2012. Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasi dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta. Halidah, Saprudin dan Anwar, C. 2008. Potensi dan ragam pemanfaatan mangrove untuk pengelolaannya di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 5 (1) : 67-78. Bogor. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT.Bumi Aksara. Jakarta
84 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Potensi Ragam pemanfaatan……. Ady Suryawan & Anita Mayasari
Noor. Y.R., Khazali. M., dan Suryadiputra. I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor Priyono, A., Yuliani L.S., Ilminingtyas T., dan Hakim T.L. 2010. Beragam Produk Olahan Berbahan Dasar Mangrove. KeSEMat, Semarang. Purnobasuki, H. 2004. Potensi Mangrove sebagai Obat. Biota 9(2): 125-126.
Sasmitohadi. 2011. Pengelolaan Mangrove Lestari: Pengembangan dan Pelestarian Ekosistem Mangrove. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wil. I Denpasar. Manado (disampaikan dalam rapat Fasilitasi Pokja Mangrove (KKMD)Prop Sulut). Setyawan, A.D. dan Winarno, K. 2006. Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di Jawa Tengah dan penggunaan lahan di Sekitarnya ; kerusakan dan upaya restorasinya. Biodiversitas 7(3): 282-291. Wantasen. A. S. 2002. Kajian Ekologi – Ekonomi sumber daya hutan mangrove di Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Institut Pertanian Bogor (Thesis). Bogor.
85
86 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
KAJIAN INVASI TUMBUHAN PADA LAHAN BASAH TAMAN NASIONAL WASUR, MERAUKE1 Sarah Yuliana, Krisma Lekitoo dan Junus Tambing Balai Penelitian Manokwari, Jl. Inamberi Pasir Putih Susweni, Manokwari , Papua Barat 98312. No. telp. (0986) 213437, faks (0986) 213441 Email :
[email protected]
ABSTRAK Lahan basah adalah salah satu tipe ekosistem dalam kawasan Taman Nasional (TN) Wasur yang sedang menghadapi masalah penurunan fungsi dan manfaat kawasan akibat masalah invasi tumbuhan pengganggu. Tulisan ini disusun untuk mengkaji jenis-jenis flora invasif dalam rawa-rawa kawasan TN Wasur.
Metode yang
digunakan dalam penulisan ini merupakan perpaduan antara wawancara dengan pengelola kawasan, pengamatan dalam petak-petak 2 m x 2 m di lapangan dan tinjauan dari sumber-sumber pustaka terkait. Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Biru mencapai 25 jenis, di daerah Rawa Donggamit 7 jenis dan di Rawa Ukra mencapai 29 jenis. Jenis-jenis invasif yang dijumpai meliputi jenis rumput, teki, herba, semak, liana, paku-pakuan, tumbuhan air, dan pohon. Jenis-jenis invasif utama rawa yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah Carex sp., Hanguana malayana, Thoracostachium sumatranum, Elaeocharis indica, Ludwigia oktovalvis, dan Stachytarpeta jamaicensis. Jenis lainnya yang perlu diwaspadai adalah Mimosa pigra yang dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan lahanlahan basah dan sabana dalam kawasan.
Proses invasi jenis-jenis tersebut
diperkirakan merupakan perpaduan beberapa karakter seperti akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis invasif yang luas, kemampuan jenis tersebut untuk memanfaatkan sumberdaya dan adanya sifat alelopatik pada jenis-jenis tertentu, selain didukung dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung segala material yang masuk di dalamnya. Kata kunci : flora invasif, TN Wasur, Merauke. 1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
87
I. Pendahuluan Taman Nasional Wasur (TN Wasur) sebagai salah satu kawasan konservasi penting di Papua merupakan kawasan yang unik dan sangat penting secara ekologis dan ekonomis. Pada tahun 1978, kawasan hutan Wasur dan daerah Rawa Biru ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa (SM) Wasur dan Cagar Alam (CA) Rawa Biru dengan luasan masing-masing sekitar 206.000 ha dan 4.000 ha.
Luasan SM Wasur selanjutnya bertambah
menjadi 98.000 ha pada tahun 1982, hingga 304.000 ha melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 15/Kpts/Um/1/82. Kedua kawasan tersebut (SM Wasur dan CA Rawa Biru pada akhirnya dikukuhkan menjadi TN Wasur melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Kpts-II/1990 tanggal 24 Maret 1990 dengan luas keseluruhan 308.000 hektar. selanjutnya diperkuat dengan
Keputusan ini
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
282/Kpts-IV/1997 tanggal 23 Mei 1997 yang menetapkan TN Wasur dengan luasan 413.810 hektar. Kondisi fisik kawasan TN Wasur sedikitnya terdiri dari 10 (sepuluh) formasi vegetasi, yang sebagian besar meliputi daerah lahan basah. Berdasarkan formasi tersebut, tampak bahwa TN Wasur memiliki potensi air permukaan yang cukup besar, salah satunya adalah kawasan Danau Rawa Biru dengan luas 12.570 Ha dan beberapa sungai antara lain Sungai Maro, Sungai Yauram, Maar dan Torasi (Balai TN Wasur, 1999). Rawa Biru merupakan salah satu sumber air yang pokok bagi kebutuhan air bersih kota Merauke, yang dimanfaatkan sejak jaman Belanda sampai saat ini (Purba, 1999). Kawasan ini juga didiami oleh beberapa fauna khas seperti kanguru pohon (Dendrolagus spadix), walabi (Macropus agilis), rusa timor (Cervus timorensis), buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), buaya muara (C. porosus), kasuari (Casuarius casuarius sclateri), mambruk (Goura sp), cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda novaeguineae), cenderawasih raja (Cicinnurus regius rex), dan beberapa jenis kura-kura air tawar. Selain itu, kawasan ini juga ditetapkan menjadi kawasan konservasi milik dunia sebagai salah satu habitat burung migran dari Australia (Balai TN Wasur, 1999; Prasetyo dan Hartana, 2011).
88 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
Sebagai kawasan konservasi dengan lahan basah terluas di Papua dan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, TN Wasur juga menghadapi permasalahan yang berpotensi menurunkan keanekaragaman hayati baik flora, fauna maupun ekosistem kawasan secara keseluruhan. Permasalahan tersebut meliputi tingginya aktivitas masyarakat di dalam kawasan seperti perburuan liar, penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian dan perladangan, penjualan tanah di dalam kawasan, penggembalaan dan kebakaran lahan yang tidak terkendali, serta yang saat ini terlihat sangat mendesak fungsi ekosistem yaitu invasi jenis tumbuhan dan satwa eksotik sehingga mengganggu keberadaan jenis-jenis asli dan habitatnya. Sebagai akibatnya, kota Merauke saat ini menghadapi masalah terancamnya ketersediaan sumber air bersih akibat terinvasinya daerah Rawa Biru oleh tumbuhan air (Hartono dkk, 2006; Prasetyo, 2011).
Masalah invasi
tumbuhan ini menjadi penting untuk dikaji, terutama berkaitan dengan kharakteristik lahan basah dan jenis-jenis yang menginvasi sebagai bahan informasi awal untuk langkah penanganan selanjutnya. II. Metodologi Tulisan ini disusun untuk mengkaji kerentanan lahan basah dalam kawasan TN Wasur terhadap penyebaran tumbuhan invasif. Metode yang digunakan dalam penulisan ini merupakan perpaduan antara penelitian dan pengamatan di lapangan, wawancara dengan pengelola kawasan, dan tinjauan dari sumber-sumber pustaka terkait.
Kegiatan pengamatan di
lapangan meliputi penyusunan daftar jenis-jenis invasif dan pengamatan pada petak-petak pengukuran berukuran 2 m x 2 m yang diletakkan pada masing-masing lokasi pengamatan. III. Kondisi Biofisik Kawasan Taman Nasional Wasur A. Penelitian-penelitian Sebelumnya Penelitian
di TN Wasur yang dilakukan oleh BPK Manokwari
menyangkut peran dan fungsi kawasan diawali pada tahun 2006, yang saat itu secara khusus mengkaji perihal sistem kelembagaan yang berlaku di dalam pengelolaan TN Wasur. Aspek lain yang dikaji pada tahun tersebut adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam kawasan. Pada tahun
89
selanjutnya tidak ada penelitian yang berlokasi di TN Wasur, karena yang menjadi fokus adalah kawasan konservasi lainnya yaitu TN Teluk Cenderawasih. Setelah menimbang kegiatan pada tahun 2006 tersebut, pihak Kementerian Kehutanan kembali menjadikan TN Wasur lokus penelitian sejak tahun 2008. Kegiatan pada tahun 2008 dan 2009 dilakukan untuk mengumpulkan informasi biofisik kawasan dengan pertimbangan masih diperlukannya informasi terkini menyangkut kondisi dan situasi kawasan, terutama di daerah-daerah yang disurvei. Dalam dua tahun belakangan ini kegiatan penelitian di lokasi TN Wasur dititikberatkan pada kegiatan penilaian atau valuasi potensi dan manfaat kawasan. Gambaran lokasi TN Wasur ditampilkan dalam peta pada Lampiran 1, dengan yaitu : 1) Hutan Dominan Melaleuca sp. (Dominan melaleuca forest); 2) Hutan Co-Dominan Melaleuca sp-Eucalypthus sp, (Codominant Melaleuca-Eucalypthus forest); 3) Hutan jarang (Woodland forest); 4) Hutan pantai (Coastal forest); 5) Hutan Musim (Monsoon forest); 6) Hutan Pinggir Sungai (Rivarian Forest); 7) Hutan bakau (Mangrove Forest); 8) Sabana (Savannah); 9) Padang Rumput (Grassland); 10) Padang Rumput Rawa (Grass Swamp) (Balai TN Wasur, 2011). B. Permasalahan dan Kebutuhan Salah satu perubahan yang dialami kawasan yang ikut teramati selama rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan adalah menyebarnya jenis-jenis tumbuhan tertentu, yang mengubah kondisi lahan dalam kawasan, sekaligus mempengaruhi
fungsi dan manfaat kawasan tersebut.
Penyebaran jenis-jenis tumbuhan ini diketahui telah mengganggu fungsi kawasan sebagai penampung dan penyedia air permukaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat. Pengendalian jenis-jenis tumbuhan invasif ini menjadi mendesak untuk dilakukan. adalah
Beberapa langkah awal yang diperlukan untuk kegiatan ini
pengumpulan
informasi
menyangkut
jenis-jenis
tumbuhan
pengganggu ini, yang berkaitan dengan karakter biologis, penyebarannya dikaitkan dengan ekosistem lahan basah yang dirugikannya, sekaligus
90 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
memperkirakan
kemungkinan
menghambat
dan
membatasi
penyebarannya. IV. Tumbuhan Invasif dalam Kawasan Taman Nasional Wasur A.
Pengertian dan Batasan Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam tulisan ini. Istilah-
istilah tersebut adalah invasi tumbuhan, lahan basah, dan jenis invasif. Invasi tumbuhan adalah pergerakan satu atau lebih jenis tumbuhan dari satu daerah ke daerah lainnya sehingga akhirnya jenis-jenis itu menetap di daerah tersebut. Proses ini merupakan suatu rangkaian dari proses-proses migrasi, eksistensi, dan kompetisi, yang seluruhnya terkait dengan aspek waktu dan ruang. Proses invasi seringkali terjadi di daerah yang gundul, namun dapat juga terjadi di kawasan dengan tumbuhan. Dalam dunia ekologi, invasi merupakan bentuk permulaan suksesi yang pada akhirnya secara terus menerus akan menghasilkan tahapan suksesi hingga terbentuk klimaks (Wittenberg & Cock, 2001; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Lahan basah dalam tulisan ini dibatasi pada daerah rawa-rawa air tawar yang berada dalam kawasan TN Wasur. Selain rawa, pada dasarnya setiap tipe lahan basah seperti danau, sungai, dan rawa air asin juga mempunyai potensi untuk terkena invasi oleh tumbuhan pengganggu. Tumbuhan invasif adalah jenis-jenis tumbuhan yang mampu berkembang sangat cepat pada suatu lingkungan sehingga dapat merugikan secara ekonomis maupun ekologis (Wittenberg & Cock, 2001; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007).
Ciri-ciri tumbuhan invasif antara lain
mampu tumbuh dengan cepat, reproduksinya cepat seringkali mampu bereproduksi secara vegetatif, memiliki kemampuan menyebar tinggi, toleransi yang besar terhadap kondisi lingkungan, dan umumnya berasosiasi dengan manusia. Tumbuhan invasif dapat merupakan jenis asli dan juga jenis asing (eksotik). Penyebaran jenis asli yang menyebar secara meluas di habitatnya seringkali dianggap tidak terlalu membahayakan dibandingkan dengan keberadaan jenis asing yang invasif.
Jenis asing dapat masuk secara
91
sengaja, misalnya melalui introduksi untuk keperluan tertentu, atau secara tidak sengaja akibat terbawa oleh manusia ke dalam suatu kawasan. Jenis asing selanjutnya dapat menjadi invasif apabila mampu menyingkirkan jenis asli dari kompetisi memperebutkan sumber daya seperti zat hara, cahaya, air dan ruang tumbuh. Jenis invasif asing mungkin saja mampu mengandalkan sumber daya yang sebelumnya tidak mampu dijangkau jenis asli dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidupnya yang baru. B. Jenis-jenis Invasif pada Rawa-rawa Taman Nasional Wasur TN Wasur mencakup beberapa daerah lahan basah yang penting untuk sistem tata air kawasan dan habitat satwa seperti burung air dan kangguru. Rawa-rawa tersebut antara lain adalah Rawa Biru, Rawa Donggamit dan Rawa Ukra.
Dari pengamatan di lapangan, rawa-rawa tersebut sudah
mengalami proses invasi dari beragam jenis tumbuhan. Daerah Rawa Biru sebagai rawa air tawar terbesar dalam kawasan, yang sangat penting sebagai penyedia air bersih untuk kota Merauke, telah mengalami invasi oleh sedikitnya 25 jenis tumbuhan invasif dari berbagai habitus, mulai dari semak, teki, rumput, herba, liana, paku-pakuan, sampai dengan pohon (Tabel 1). Jenis-jenis tersebut dijumpai menginvasi rawa pada urutan yang bervariasi juga.
92 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
Tabel 1. Jenis-jenis invasif yang dijumpai di daerah Rawa Biru No.
Species
Habitus
1.
Alstonia sphatulata
Pohon
2.
Carex sp.**
Rumput
3.
Cassytha filliciformis
Liana
4.
Cida rhombifolia
Semak
5.
Blechnum orientalis
Paku-pakuan
6.
Eleocharis indica
Rumput
7.
Eleusina indica
Rumput
8.
Eriochaulon longifolium
Herba
9.
Fymbristilis sp.
Rumput
10.
Hanguana malayana**
Herba
11.
Imperata cylindrica
Rumput
12.
Ischaemum timoriense
Rumput
13.
Ludwigia oktovalvifolia
Semak
14.
Lygodium sp.
Paku-pakuan
15.
Macropthylium sp.
Teki
16.
Melaleuca cajuputi
Pohon
17.
Melaleuca leucadendron
Pohon
18.
Nephentes gracilis
Liana
19.
Paspalum conjugatum
Rumput
20.
Passiflora foetida
Liana
21.
Scyrpus glossus
Teki
22.
Stenochlaena palustris
Paku-pakuan
23.
Thoracostachium sumatranum**
Herba
24.
Uncaria indica
Liana
25.
Vigna angulata
Liana
Rawa Biru mengalami tekanan akibat penutupan oleh pertumbuhan jenis-jenis invasif yang cukup pesat. Dalam pengamatan di lapangan jenisjenis rerumputan (famili Poaceae) tampak sangat dominan dan menutupi sebagian besar badan air dan hanya menyisakan jalur yang tidak terlalu
93
lebar di bagian tengah rawa, yang masih dapat dilalui oleh perahu-perahu masyarakat. Kondisi di beberapa tempat bahkan dapat berupa lapisan yang cukup kuat untuk dipijak. Jenis Hanguana malayana menginvasi bagian terluar dari badan air, kemudian disusul dengan jenis-jenis lainnya.
Jenis Carex sp. dijumpai
mendominasi hampir seluruh badan air, dan saat ini sudah menjadi ancaman serius pada daerah Rawa Biru.
Jenis lainnya yang menjadi
masalah adalah Thoracostachium sumatranum,
yang bersama-sama
dengan jenis-jenis lainnya membentuk lapisan yang sangat rapat pada badan air Rawa Biru (Gambar 1.).
Gambar 1. Bentuk invasi tumbuhan dalam Rawa Biru dengan Carex sp. sebagai tumbuhan dominan.
Rawa lainnya yang berada dalam kawasan TN Wasur adalah Rawa Donggamit. Rawa ini merupakan rawa air payau yang mendapat pengaruh pasang surut air laut di dekat daerah Ndalir, Merauke. Rawa ini merupakan rawa yang sangat penting bagi populasi burung-burung air dan burungburung migran yang kerap mengunjungi wilayah Wasur setiap tahunnya. Sedikitnya ada 7 (tujuh) jenis tumbuhan yang dijumpai menginvasi badan air dan bantaran rawa (Tabel 2).
Jenis-jenis yang teramati ini
merupakan jenis-jenis yang tampak pada musim kering.
94 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kondisi ini
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
diketahui agak berbeda saat musim hujan, yang menyebabkan rawa ini meluas akibat tingkat ketergenangan yang cukup tinggi. Tabel 2. Jenis-jenis invasif yang dijumpai di daerah Rawa Donggamit No.
Species
Habitus
1.
Aschynomene americana
Semak
2.
Elaeocharis indica**
Rumput
3.
Eragrostris tenuifolia
Rumput
4.
Iscaemum timoriense
Rumput
5.
Portulaca grandiflora
Semak
6.
Sphaeranthus africanus
Herba
7.
Scyrpus glossus
Teki
Jenis dominan yang dijumpai saat pengukuran di lapangan adalah Eleaeocharis indica. Jenis ini mampu menutupi lebih dari 50% dari badan air rawa, mempercepat pengendapan lumpur dan mengurangi luasan badan air terbuka yang dapat dimanfaatkan burung-burung air. Hamparan jenis rumput ini bersama-sama dengan jenis-jenis invasif lainnya sudah menjadi masalah utama di dalam Rawa Donggamit (Gambar 2).
Gambar 2. Bentuk invasi Eleocharis indica pada badan air Rawa Donggamit
95
Salah satu rawa penting lain dalam kawasan TN Wasur adalah Rawa Ukra. Rawa ini termasuk daerah habitat kangguru dan tikus tanah yang berbatasan dengan formasi sabana. Daerah rawa dan sabana di sekitarnya juga telah mengalami efek invasi dari sedikitnya 29 (dua puluh sembilan) jenis semak, rumput, teki, herba, liana, paku-pakuan, sampai dengan tumbuhan air (Tabel 3). Invasi tumbuhan pada badan air rawa umumnya didominasi oleh jenis Ludwigia oktovalvifolia, Oryza sp. dan Imperata cylindrica. Sementara jenis Stachytarpeta jamaicensis dijumpai dominan di daerah sabana tepi Rawa Ukra. Kondisi badan air pada bagian pinggiran Rawa Ukra mengalami penutupan yang rapat oleh jenis-jenis tumbuhan tersebut, sehingga dapat dilalui dengan berjalan kaki di atasnya, meskipun masih cukup goyah dan berair pada bagian bawahnya.
Sementara di daerah sabana, sebaran
kelompok-kelompok Stachytarpeta jamaicensis dan Imperata cylindrica tampaknya tidak mengalami tekanan berarti akibat kebakaran, kedua jenis ini tetap tumbuh dan menjadi invasif (Gambar 3). Tabel 3. Jenis-jenis invasif yang dijumpai di daerah Rawa Ukra No.
Species
Habitus
1.
Ageratum conyzoides
Semak
2.
Androphogon asicullaris
Rumput
3.
Cassia tora
Semak
4.
Centrosema pubescens
Liana
5.
Cida acuta
Semak
6.
Cida cordifolia
Semak
7.
Crotalaria indica
Semak
8.
Cyperus rotundus
Teki
9.
Digitarium insularis
Rumput
10.
Fymbristilis sp.
Rumput
11.
Glochidion sp.
Semak
12.
Helminthostachys zeylanica
Paku-pakuan
13.
Imperata cylindrica
Rumput
14.
Ipomoea reptansi
Liana
96 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
No.
Species
Habitus
15.
Ischaemum timoriense
Rumput
16.
Ludwigia oktovalvifolia**
Semak
17.
Lygodium scandens
Paku-pakuan
18.
Melastoma malabathricum
Semak
19.
Mimosa pudica
Semak
20.
Nymphoides sp.
Teratai kecil
21.
Oryza sp.
Rumput
22.
Ossimum basilicum
Semak
23.
Passiflora foetida
Liana
24.
Physalis angulata
Semak
25.
Scyrpus glossus
Teki
26.
Senna alata
Semak
27.
Stachytarpeta jamaicensis**
Semak
28.
Stenochlaena palustris
Paku-pakuan
29.
Vigna angulata
Liana
Gambar 3. Bentuk invasi pada Rawa Ukra dan sabana tepi Rawa Ukra
Berdasarkan daftar jenis dari ketiga tabel sebelumnya, sedikitnya terdapat 6 (enam) jenis invasif yang perlu mendapat perhatian lebih.
97
1. Carex sp. Jenis-jenis Carex spp. sering dikenal dengan nama rumput pisau, termasuk dalam famili teki-tekian (Cyperaceae) dengan pembeda ciri dengan rumput umumnya (famili Poaceae) terletak pada bagian batangnya yang solid, menyudut dan membentuk segitiga. Seperti jenisjenis rumput lainnya, Carex sangat mudah untuk menyebar di suatu lokasi dengan bantuan rhizom dan bijinya. 2. Hanguana malayana Jenis ini dikenal masyarakat dengan nama tebu rawa, meskipun jenis H. malayana sebenarnya tidak tergolong dalam kelompok tebu-tebuan (famili rumput-rumputan, Poaceae), melainkan termasuk dalam famili Hanguanaceae.
Jenis ini diketahui merupakan tanaman hias yang
berasal dari Semenanjung Malaya. Jenis ini tumbuh dan menyebar dengan mudah pada daerah yang tergenang air. 3. Thoracostachium sumatranum Anggota teki-tekian ini dijumpai menginvasi daerah Rawa Biru bersamasama dengan rumput Carex sp. Di beberapa lokasi juga membentuk asosiasi dengan jenis-jenis lainnya. 4. Elaeocharis indica Dijumpai dominan pada badan air Rawa Donggamit, jenis ini diketahui tahan terhadap kedua kondisi musim yang berbeda di kawasan. Pada musim penghujan jenis ini mampu bertahan dalam penggenangan yang cukup tinggi, sementara pada musim kering jenis ini ikut membantu perkembangan jenis-jenis invasif lainnya yang menyebar di di sekitar perakarannya, pada permukaan tanah rawa yang mengering. 5. Ludwigia oktovalvifolia Herba berbunga kuning ini dijumpai tumbuh sangat rapat dan sering dijumpai bersama-sama dengan jenis-rerumputan lainnya menginvasi daerah
rawa-rawa
dalam
kawasan
sehingga
menyebabkan
pendangkalan dan berkurangnya permukaan air yang terbuka.
98 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
6. Stachytarpheta jamaicensis Jenis ini diketahui merupakan jenis asing yang sangat mudah menempati daerah-daerah terbuka dan terganggu.
Tumbuhan ini cukup sulit
diawasi penyebarannya karena biji yang dihasilkannya mampu bertahan terhadap kebakaran, dan sangat mudah tumbuh kembali setelah tergenang air pada musim penghujan.
(1) Carex sp.
(2) H. malayana
E. indica
T. sumatranum L. oktovalvifolia S. jamaicensis Gambar 4. Jenis-jenis invasif penting pada beberapa rawa dalam TN Wasur C. Dugaan Penyebab dan Dampak Invasi Tumbuhan dalam Rawa-rawa Taman Nasional Wasur Penyebaran jenis invasif dalam suatu ekosistem dapat terjadi karena berbagai sebab. Beberapa kasus dan pustaka menyebutkan sedikitnya ada 4 (empat) dugaan atau hipotesis penyebab terjadinya invasi tumbuhan pada suatu daerah. Keempat hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis ketiadaan musuh alami (the enemy release hypothesis) Suatu jenis tumbuhan dapat berkembang menjadi tumbuhan invasif di suatu ekosistem disebabkan oleh tidak adanya musuh alami berupa
99
pemangsa alami dan patogen atau penyakit yang bisa menghambat pertumbuhan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut di ekosistem yang bersangkutan (Fine, 2002; Zedler & Kercher, 2004) 2. Hipotesis toleransi yang luas (the broader tolerance hypothesis) Hipotesis ini memperkirakan bahwa pada dasarnya jenis tumbuhan invasif secara alami memiliki toleransi yang luas terhadap batas-batas kondisi lingkungan yang lebih luas dan beragam (Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Tumbuhan invasif diduga lebih mampu mentoleransi kondisi-kondisi lingkungan yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif. 3. Hipotesis efisiensi pemanfaatan sumberdaya (the efficient use hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan invasif umumnya merupakan jenis-jenis yang mampu memanfaatkan sumberdaya di habitatnya secara lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif (Westcott & Dennis, 2003; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Sumberdaya yang dimaksud dapat meliputi cahaya, zat hara, dan air. Tumbuhan invasif bisa saja berasal dari jenis yang memiliki musim tumbuh yang lebih panjang, tingkat fotosintesis yang lebih tinggi, ciri morfologis yang lebih efektif dalam pemanfaatan sumberdaya, dan lainlain. 4. Hipotesis alelopati (the allelophaty hypothesis) Tumbuhan invasif seringkali merupakan jenis-jenis yang mampu mengeluarkan zat-zat kimia yang bersifat alelopatik. Zat-zat alelopatik ini dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan anakan, atau mematikan jenis tumbuhan lainnya tanpa mempengaruhi pertumbuhan semai jenis tumbuhan invasif itu sendiri (Putnam, 1994; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Zat alelophatik ini dapat berasal dari bagian-bagian yang hidup, misalnya zat yang bisa menguap dari daun, pencucian dari daun dan eksudat akar, atau dari bagian tumbuhan yang membusuk. Keberadaan zat alelopatik inilah yang diperkirakan menjadi salah satu pendukung penyebaran tumbuhan invasif secara meluas.
100 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
V. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah : 1. Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Biru mencapai 25 jenis, di
daerah Rawa Donggamit 7 jenis dan di Rawa Ukra mencapai 29 jenis. Jenis-jenis invasif yang dijumpai meliputi jenis rumput, teki, herba, semak, liana, paku-pakuan, tumbuhan air, sampai dengan pohon. 2. Jenis-jenis invasif utama rawa yang perlu mendapat perhatian lebih
lanjut adalah Carex sp., Hanguana malayana, Thoracostachium sumatranum,
Elaeocharis
Stachytarpeta jamaicensis. adalah Mimosa pigra
indica,
Ludwigia
oktovalvis,
dan
Jenis lainnya yang perlu diwaspadai
yang dapat menjadi ancaman terhadap
keberadaan lahan-lahan basah dan sabana dalam kawasan. 3. Proses invasi jenis-jenis tersebut diperkirakan merupakan perpaduan
beberapa karakter seperti akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis
invasif
yang
luas,
kemampuan
jenis
tersebut
untuk
memanfaatkan sumberdaya dan adanya sifat alelopatik pada jenisjenis tertentu, selain didukung dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung segala material yang masuk di dalamnya. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didukung dengan dana APBN tahun 2012 pada Badan Litbang Kehutanan/FORDA (DIPA BPK Manokwari). Terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai TN Wasur, staf SPTN Wasur Wilayah II (Wasur) dan SPTN Wasur Wilayah III (Ndalir), terutama Bapak Glen Kangiras, Rafik K., Mesakh Iwanggin, Ayub Awarawi, dan La Hisa, Bapak Marwan Maywa – Kepala Kampung Rawa Biru, dan Bapak Nataniel Ndimar – Kepala Kampung Tomerau, Merauke atas seluruh dukungan, bantuan dan fasilitasinya di lapangan.
101
DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Wasur. 1993. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur. Balai Taman Nasional Wasur – WWF. Merauke.tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Wasur. 1999. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur. Buku II. Balai Taman Nasional Wasur – WWF. Merauke. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Wasur. 2011. Review Zonasi Taman Nasional Wasur Merauke, Provinsi Papua. Balai Taman Nasional Wasur – Pemda Kabupaten Merauke – WWF – Malind Anim Ha – FKPTNW. Tidak dipublikasikan Djufri. 2004. Review: Invasi spesies eksotik akasia berduri (Acacia nilotica (L.) Willd ex Del). di Taman Nasional Baluran Jawa Timur: Ancaman terhadap eksistensi savana. ENVIRO 4(2): 88-99. PPLH-LPPM UNS Surakarta. Fine P. V. A. (2002) The invasibility of tropical forests by exotic plants. Journal of Tropical Ecology 18: 687-705. Hartono, Meteray, T. B. S., Farda, N. M. dan Kamal, M. 2006. Kajian ekosistem air permukaan Rawa Biru – Torasi Merauke Papua menggunakan Citra Penginderaan Jauh dan SIG. Forum Geografi 20(1): 1-12. Prasetyo, E.E. 2011. Air bersih Merauke http://www1.kompas.com/read/xml/2011/08/08/ Sumber.Air.Bersih.Merauke. Terancam.
terancam. 21451346/
-------------- & T. Hartana. 2011. TN Wasur, Plasma Nutfah Lintas Benua. http://www1.kompas.com/read/ xml/2011/07/26/03503692/ TN.Wasur.Plasma.Nutfah.Lintas.Benua. Putnam, A. R. 1994. Phytotoxicity of plant residues. dalam Managing agricultural residues (ed. Unger, P. W). pp 285-314. Lewis Pubs. (CSC Press). Boca Raton. Winara, A. & K. Lekitoo 2006. Kajian Kelembagaan Taman Nasional di Papua: Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai
102 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. BPPKPM Manokwari. Tidak diterbitkan. --------------, K. Lekitoo & H. Warsito. 2008. Kajian Biofisik Taman Nasional di Papua (I): Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. --------------, K. Lekitoo, R. G. N. Triantoro & L. Mandibodibo 2009. Kajian Kelembagaan Taman Nasional di Papua (II): Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. --------------. 2010. Kajian Kelembagaan Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. Westcott D. A. & Dennis A. J. 2003. The ecology of seed dispersal in rainforests: implications for weed spread and a framework for weed management. In: Weeds of Rainforests and Associated Ecosystems (eds A. C. Grice and M. J. Setter) pp. 19-23. CRC for Tropical Rainforest Ecology and Management, Cairns, Australia. Wittenberg, R., dan Cock, M.J.W. (Eds.). 2001. Invasive Alien Species: A Toolkit of Best Prevention and Management Practices. CAB International, Wallingford, Oxon, UK Zedler, J. B. & S. Kercher. 2004. Causes and consequences of invasive plants in Wetlands: Opportunities, opportunists, and outcomes. Critical Review in Plant Sciences, 23(5): 431-452. Taylor & Francis Inc. Zimdahl R. L. 2007. Fundamentals of Weed Science. Academic Press Elsevier, London.
103
Lampiran 1. Peta Kawasan TN Wasur (atas : Peta Kawasan, bawah : Peta Penutupan Lahan sumber : Balai TN Wasur, 2011)
104 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kajian Invasi Tumbuhan……. Sarah Y., Krisma Lekitoo, & Junus Tambing
105
106 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
MITIGASI BENCANA SEDIMEN1 Hasnawir2 2
Peneliti, Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Kementerian Kehutanan Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar (90243) Tel/Fax.: +62-422-554049/+62-411-554058 Email:
[email protected]
1. Pendahuluan Bencana merupakan fenomena yang menimbulkan kerusakan atau kerugian pada kehidupan, baik secara individu ataupun publik oleh beberapa penyebab atau faktor (Ikeya, 1976). Di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 2007 mendefenisikan bencana sebagai suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain adalah sebagai berikut: Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-
made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi
(geological
hazards),
bahaya
hidrometeorologi
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
107
(hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation). Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur
serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.
Berbagai macam fenomena bencana diklasifikasikan berdasarkan penyebab utamanya. Secara umum bencana dibagi dalam dua kategori yaitu bencana alam (natural disaster) dan bencana buatan (artificial disaster). Kebanyakan bencana alam disebabkan oleh kondisi anomali cuaca. Beberapa penyebab bencana alam seperti hujan ekstrim, angin kencang, gempa bumi, gunung berapi, gelombang air pasang dan sebagainya. Sedangkan bencana buatan umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia (Ikeya, 1976). Dalam makalah ini secara spesifik akan membahas tentang bencana sedimen seperti tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng. A. Bencana Sedimen Bencana sedimen didefinisikan sebagai fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan harta benda, ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat, dan atau kerusakan lingkungan, melalui suatu skala besar pergerakan tanah dan batuan. Kerusakan akibat bencana ini dapat terjadi dalam 4 bentuk: 1) bangunan dan lahan pertanian hilang akibat tanah longsor atau erosi, 2) rumah-rumah hancur oleh daya rusak tanah dan batuan selama pergerakan tanah atau batuan, 3) rumah dan lahan pertanian terkubur di bawah tanah oleh akumulasi skala besar sedimen, dan 4) peningkatan endapan pada dasar sungai dan penguburan waduk disebabkan oleh sedimen sepanjang sungai yang dapat mengundang datangnya banjir, gangguan fungsi penggunaan air, dan kerusakan lingkungan (Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan, 2004). Beberapa ciri-ciri umum dari bencana sedimen adalah:
108 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
Adanya aliran material massa. Adanya media pencampur air atau fluida. Melaju dari posisi yang tinggi ke daerah yang lebih rendah. Adanya pengaruh gravitasi terhadap material massa. Membentuk perlapisan atau sedimen terhadap lingkungan yang dilalui. Membentuk morfologi baru pada daerah yang mengalami bencana. Mengakibatkan
kerusakan
dan
kerugian
nyawa,
materil
dan
infrastruktur. Bencana sedimen merupakan salah satu bentuk hasil dari daya rusak air, dimana bencana sedimen memiliki potensi daya rusak yang besar dan bersifat masif secara langsung atau tidak langsung yang memiliki tingkat kerusakan, kerugian dan fatalitas tinggi. Menilik dari pengalaman bencana sedimen berpotensi merusak struktur dan infrastruktur serta memiliki potensi kerugian ekonomi tinggi. Tingkat fatalitas bencana sedimen cukup tinggi dimana potensi timbulnya korban jiwa dan kerusakan sangat tinggi. Bencana sedimen dapat dibedakan berdasarkan sumber sedimen (onsite) dan tempat deposisi sedimen (off site). Sumber sedimen meliputi tanah longsor akibat gempa, tanah longsor akibat aktifitas vulkanik, tanah longsor akibat hujan, gunung runtuh, kegagalan, lahar panas dan lahar dingin. Sedangkan tempat deposisi sedimen meliputi sedimentasi dam/waduk, sedimentasi sungai, sedimentasi danau, erosi dan abrasi pantai. Pada Gambar 1 menjelaskan diagram proses terjadinya bencana sedimen. Volume besar tanah dan pasir dapat dihasilkan oleh erosi, akan tetapi tidak selalu akan menimbulkan bencana dari erosi tersebut. Misalkan, jika jumlah tanah dan pasir (A) lebih kecil dibanding dengan sedimen yang diperkenankan atau sedimen tidak berbahaya(B), maka bencana tidak terjadi. Bahkan dalam kasus seperti jika (A) lebih besar dari(B), hasilnya tidak disebut bencana jika tidak ada rumah, masyarakat, atau fasilitas umum yang terlibat.
109
Kekuatan luar
Akumulasi tanah dan pasir pada lereng bukit dan dasar sungai
Erosi tanah dan pasir (Produksi sedimen)
(A) Jumlah aliran tanah dan pasir (B) Jumlah sedimen yang diperkenankan
A≤B
A>B
Penduduk, rumah dan fasilias umum yang mungkin terkena
Aman dan stabil
Tidak ada
Potensial disaster Bencana
Gambar 1: Proses kejadian bencana sedimen. B. Faktor Mekanis dan Faktor Pendorong Bencana Sedimen Faktor mekanis dan faktor pendorong adalah faktor yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya bencana sedimen. Faktor mekanis adalah kondisi internal suatu tempat yang dapat menyebabkan bencana sedimen terjadi, sedangkan faktor pendorong adalah kekuatan dari luar yang dapat menyebabkan bencana sedimen terjadi. Pada Tabel 1 diuraikan faktor mekanis dan faktor pendorong terjadinya bencana sedimen.
110 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kegagalan lereng Geologi: selain dari kekuatan batuan, faktor dominan adalah tingkat pelapukan, perubahan, retak dan patah, arah lapisan, kondisi pori lapisan, dan distribusi lapisan yang hilang seperti lapisan permukaan.
Aktivitas gempa, vulkanik: jumlah sedimen yang tidak stabil dihasilkan oleh kegagalan lereng (faktor mekanis), runtuhnya sebuah kawah disebabkan oleh letusan vulkanik.
Tanah Longsor Tanah longsor terjadi paling sering pada lapisan yang disebut formasi tersier yang terbentuk sekitar 2 sampai 6 juta tahun yang lalu. Ini disebabkan karena formasi ini relatif baru, batuan rendah dengan tingkat pemadatan dan kurang tahan terhadap pelapukan. Pelapukan dari formasi ini adalah khas dalam tanah dan batuan dengan cepat menjadi butiran dan menjadi lempung. Dua jenis batu berupa batu pasir dan batu lempung, memiliki properti pembengkakan yang merupakan salah satu penyebab tanah longsor.
Faktor pendorong menyebabkan tanah longsor adalah air. Air dari hujan meresap ke dalam tanah. Air yang meresap menghasilkan tekanan air pori dan kemudian Aktivitas gempa, vulkanik: tanah menjadi tidak stabil menurunkan kekuatan geser tanah. Oleh ketika lereng stress akibat gempa bumi atau letusan karena itu, tanah longsor cenderung terjadi gunung berapi. pada musim hujan. Sementara itu, tanah longsor yang Air tanah: peningkatan tekanan air pori tanah disebabkan disebabkan oleh aktivitas manusia karena aliran bawah permukaan oleh curah hujan dikelompokkan menjadi dua jenis: tanah menyebabkan kegagalan lereng. longsor yang terjadi akibat pemotongan lereng di daerah longsor dan tanah longsor Aktifitas buatan: deforestasi dan mengubah lereng alami yang terjadi akibat pemotongan atau dengan pemotongan dan penimbungan lereng. penimbunan pada lereng bukan daerah longsor.
Curah hujan: jumlah kegagalan lereng meningkat jika curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi ketika tanah dalam keadaan lembab.
Topografi sungai: longitudinal gradien dasar sungai dan longitudinal konfigurasi arah Topografi: kegagalan lereng cenderung terjadi pada o sungai. lereng 40-50 , dan pada lereng atau daerah mudah untuk menampung air, seperti lereng yang cekung. Sedimen yang tidak stabil: lapisan tanah lapuk yang tebal pada sisi bukit dengan Vegetasi: hutan memiliki efek untuk mencengah kemiringan, ketebalan dan jumlah sedimen keruntuhan berkaitan dengan kegagalan disebabkan oleh sungai, konsentrasi volumetrik dan infiltrasi curah hujan. distribusi ukuran butir dari sedimen yang terakumulasi.
Aliran debris Topografi DAS: keberadaan dalam lereng bukit yang tidak stabil dan curam, adanya air tanah dan mata air.
Faktor Pendorong Curah hujan: peningkatan mendadak debit air dan intensitas air hujan yang tinggi.
Uraian Faktor Mekanis
Tabel 1: Faktor mekanis dan faktor pendorong bencana sedimen.
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
Tanah longsor dapat di bagi enam berdasarkan proses kejadiannya,
yaitu: longsoran translasi, longsoran rotasi,pergerakan blok, runtuhan batu,
111
rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan (Highland et al., 2008). Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Penjelasan terhadap tipe tanah longsor diuraikan di bawah ini dan juga ditunjukkan pada Gambar 2. 1)
Longsoran translasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2)
Longsoran rotasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3)
Pergerakan blok: perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
4)
Runtuhan batu: runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5)
Rayapan tanah: jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
6)
Aliran bahan rombakan: jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
112 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis Lereng asli
Lereng asli
Massa tanah yang bergerak
a)
Massa tanah yang bergerak
b) Posisi awal
Posisi awal
Blok yang bergerak
Jatuhan batu
c)
d)
Sebagian jalan tertutup material longsoran
e)
Material longsoran berasal dari lereng bagian atas, melanda alur dan meluas pada daerah landai
Lipatan batuan dasar di bawah tanah
f)
Gambar 2: Jenis-jenis tanah longsor: a) Longsoran translasi, b) Longsoran rotasi, c) Pergerakan blok, d) Runtuhan batu, e) Rayapan tanah, f) Aliran bahan rombakan.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian bencana tanah longsor di Indonesia diuraikan di bawah ini. Hujan: ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan Nopember karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan
113
lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. Lereng terjal: lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 20o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. Tanah yang kurang padat dan tebal: jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 22o. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. Batuan yang kurang kuat: batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. Jenis tata lahan: tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. Getaran: terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang
114 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. Susut muka air danau atau bendungan: akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 22o mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. Adanya beban tambahan: adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah. Pengikisan/erosi: pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal. Adanya material timbunan pada tebing: untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang ada di bawahnya, sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. Bekas longsoran lama: longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah, dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil, longsoran lama ini cukup luas.
115
Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung): memiliki ciriciri; bidang perlapisan batuan, bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air), bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat, bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor. Penggundulan hutan: tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang. Daerah pembuangan sampah: penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan. C. Mekanisme Terjadinya Bencana Sedimen Suatu permukaan tanah yang miring yang membentuk sudut tertentu terhadap bidang horisontal disebut sebagai lereng (slope). Lereng dapat terjadi secara alamiah atau dibentuk oleh manusia dengan tujuan tertentu. Jika permukaan membentuk suatu kemiringan maka komponen massa tanah di atas bidang gelincir cenderung akan bergerak ke arah bawah akibat gravitasi. Jika komponen gaya berat yang terjadi cukup besar, dapat mengakibatkan longsor pada lereng tersebut. Kondisi ini dapat dicegah jika gaya dorong (driving force) tidak melampaui gaya perlawanan yang berasal dari kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3 di bawah ini.
Keadaan tanah setelah longsor
Bidang gelincir
Gambar 3: Kelongsoran lereng.
116 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
Kegagalan lereng dapat terjadi dalam setiap lereng yang curam. Faktor pendorong kegagalan lereng terutama yang bersifat mengurangi resistensi geser tanah pada lereng, seperti curah hujan dan meningkatnya tingkat air tanah. Di sisi lain, tanah longsor dari tipe akumulasi sedimen sungai (sediment gradien type) dipicu ketika massa tanah kehilangan stabilitasa kibat pengaruh kejenuhan. Mekanisme terjadinya tipe longsoran pada prinsipnya sama dengan penggunaan dalam analisis stabilitas lereng. Secara sederhana, kegagalan lereng dan aliran debris terjadi ketika gaya untuk memindahkan massa tanah menjadi lebih besar dari perlawanan geser yang diperoleh dari persamaan Mohr-Coulomb di bawah ini dan ditunjukkan pada Gambar 4. τ = c + (δ − u) tanφ τ = tegangan total pada bidang geser
c= kohesi efektif
φ = sudut geser dalam efektif
u= tegangan air pori
Kekuatan geser
dimana :
(1)
Tegangan Normal efektif Gambar 4: Kekuatan geser tanah/batuan. Untuk menilai potensi terjadinya tanah longsor atau kegagalan lereng faktor keamanan (Fs) harus dimasukkan. Faktor Keamanan yang menunjukkan stabilitas lereng ditentukan oleh rasio kekuatan geser dengan tegangan geser, yang dinyatakan dengan rumus: Fs=τL/τ
(2)
dimana: Fs= faktor keamanan, τL = kekuatan geser dan τ = tegangan geser
117
Sedangkan stabilitas lereng dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Fs >1 : kegagalan lereng tidak mungkin terjadi Fs<1 : kegagalan lereng mungkin terjadi Fs= 1 : lereng dalam kondisi kritis II. Bencana Sedimen di Indonesia Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikatorindikator di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Di samping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi. Di Indonesia, bencana sedimen khususnya tanah longsor merupakan bencana yang paling sering terjadi setelah bencana banjir. Jumlah kejadian mencapai
18%
dari
total
kejadian
bencana
(Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana, BNPB, 2012). Pada Gambar 5 di bawah ini terlihat distribusi bencana berdasarkan tipe bencana, korban dan jumlah
118 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
kejadian dari tahun 1815 hingga 2012. Melihat jumlah korban meninggal akibat bencana yang terjadi maka gempa bumi disertai tsunami adalah tipe bencana yang paling banyak menelan korban di samping letusan gunung berapi. Akan tetapi jika melihat dari jumlah kejadian bencana di Indonesia maka banjir dan tanah longsor merupakan tipe bencana yang paling sering terjadi. 180000
167768
160000
Jumlah korban
140000 120000 100000
78598
80000 60000 40000 20000
18591 15562 2197 148
324
40
8
5995 73 2198 2 1515
1739 3519 240
Aksi teror/sabotase Banjir Banjir dan tanah longsor Gelombang pasang/abrasi Gempa bumi Gempa bumi dan tsunami Hama tanaman Kebakaran hutan dan lahan Kecelakaan Industri Kecelakaan transportasi Kekeringan Kejadian luar biasa (KLB) Konflik/kerusuhan sosial Letusan gunung berapi Puting beliung Tanah longsor Tsunami
0
Tipe Bencana 4500
4131
Jumlah kejadian
4000 3500 3000 2500
1919 1958
2000 1415
1500 1000 500
318 28
178 277
9
171 18 116 26
109 95 111
13
Aksi teror/sabotase Banjir Banjir dan tanah longsor Gelombang pasang/abrasi Gempa bumi Gempa bumi dan tsunami Hama tanaman Kebakaran hutan dan lahan Kecelakaan Industri Kecelakaan transportasi Kekeringan Kejadian luar biasa (KLB) Konflik/kerusuhan sosial Letusan gunung berapi Puting beliung Tanah longsor Tsunami
0
Tipe Bencana
Gambar 5. Distribusi bencana berdasarkan tipe bencana, korban dan jumlah kejadian dari tahun 1815 hingga 2012.
119
Berdasarkan data BNPB 2012 satu tahun terakhir (13-8-2011 sampai 16-7-2012) terdapat 67 kejadian bencana terkait sedimen khususnya tanah longsor di Indonesia pada berbagai provinsi.
Dari kejadian ini telah
menelan korban senayak 74 jiwa meninggal dunia, ratusan rumah mengalami kerusakan, fasilitas umum dan luka ringan maupun luka berat pada penduduk. Lima provinsi yang paling sering mengalami bencana tanah longsor satu tahun terakhir ini adalah Provinsi Jawa Barat mencapai 31% dari total bencana tanah longsor, kemudian disusul Provinsi Jawa Tengah mencapai 18% dan selanjutnya Provinsi Sumatera Selatan mencapai 9%, Provinsi Sumatera Barat 7% dan Provinsi Jawa Tmur, Sumatera Utara dan Maluku masing-masing 4%.
Selain itu Provinsi lainnya yang cukup
mengalami kejadian bencana tanah longsor satu tahun terakhir ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Bali, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Lampung dan Kalimantan Selatan. III. Mitigasi Bencana Sedimen A.
Konsep Mitigasi Bencana Sedimen Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
semua tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakantindakan pengurangan resiko jangka panjang. Dalam Undang-undang RI No.24 tahun 2007 menyebutkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi (Coburn et al., 1994). Konsep mitigasi bencana adalah bahwa seorang yang bijaksana tidak akan mendekati daerah bahaya dan mengevakuasi diri dari bahaya. Konsep
120 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
ini memiliki arti yang sangat penting dalam rangka mencegah ataupun mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi. Tidak bermukim pada daerah yang rawan longsor adalah salah satu bentuk mengimplementasi dari konsep ini, yakni tidak mendekati daerah berbahaya. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : 1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. B. Strategi Mitigasi Bencana Sedimen Beberapa strategi dalam mitigasi bencana dapat dilaksanakan sebagai suatu kebijakan sebagai berikut: Pemetaan Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah
rawan
bencana.
Pada
saat
mengembangkan peta rawan bencana.
ini
berbagai
sektor
telah
Peta rawan bencana tersebut
sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah : 1) Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan, 2) Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik, 3) Peta bencana belum terintegrasi, 4) Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda-beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya. Pemantauan Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana.
121
Penyebaran informasi Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan elektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas. Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan pemerintah daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu dilakukan dan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana. Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan pada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan pelatihan lebih ditekankan pada alur informasi dari petugas lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB,SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana. Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan
122 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
dini secara teknis dapat dilakukan antara lain dengan pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi. Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan selama dan sesudah kejadian bencana sedimen antara lain: Tanggap darurat: yang dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: kondisi medan, kondisi bencana, peralatan dan informasi bencana. Rehabilitasi: upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan sedimen terkait bencana dan teknik pengendaliannya supaya sedimen terkait bencana tidak berkembang. Penentuan relokasi korban perlu ditetapkan jika bencana sedimen sulit dikendalikan. Rekonstruksi: penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan bencana sedimen tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh sedimen seperti tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%. Langkah Pengendalian Bencana Sedimen
Dalam kasus bencana sedimen, sangat sulit untuk melakukan tindakan secara menyeluruh terhadap pengendalian di setiap lokasi yang rawan. Ini disebabkan oleh lokasi kejadian hampir tak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, penting untuk mengurangi kerusakan dengan mendirikan peringatan yang efektif dan sistem evakuasi, yang mencakup jangkauan wilayah bahaya, prediksi fenomena berbahaya yang mengarah ke bencana, dan penunjukan wilayah bahaya bencana sedimen. Sebenarnya, banyak kasus telah dilaporkan di mana orang tidak terkena dalam bencana sedimen karena mereka dievakuasi tepat pada waktunya dengan mendeteksi tandatanda bencana dengan cepat. Ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang potensi bencana di daerah mereka.
123
Sebelum zaman modern, beberapa orang tinggal di daerah rentan terhadap bencana sedimen. Mereka menurunkan pengalaman bencana dari generasi ke generasi sebagai sejarah daerah mereka. Namun, dengan peningkatan jumlah penduduk dan perluasan lahan pertanian setelah memasuki zaman modern, penduduk yang tinggal di daerah berbahaya telah meningkat pesat. Masyarakat yang tinggal di daerah yang baru dikembangkan seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang bencana sedimen. Ada dua pendekatan untuk mengendalikan bencana sedimen yaitu dengan pendekatan struktur dan non struktur. Pendekatan stuktur dapat dilakukan dengan cara membangun bangunan pengendali sedimen. Sedangkan
pendekatan
non
struktur
dapat
dilakukan
dengan
mempertimbangkan metode seperti: (i) pengembangan sistem peringatan dan evakuasi (ii) membatasi penggunaan lahan pada daerah beresiko bencana sedimen (iii) mempersiapkan peta bahaya bencana dengan melibatkan masyarakat. Mencegah terjadinya bencana dengan pengendalian faktor mekanis dan faktor pendorong dengan pendekatan struktur merupakan pendekatan yang
paling
dasar
untuk
pencegahan
bencana.
Pendekatan
ini
membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merealisasikannya. Harus dipahami bahwa bencana kadang-kadang menyerang kita di luar kemampuan dan prediksi kita. Oleh karena bencana kadang sangat sulit untuk mengidentifikasi lokasi dan waktu kejadian sebelumnya. Pencegahan sempurna dari bencana sedimen hampir mustahil dilakukan meskipun dengan perkembangan teknologi yang maju saat ini, dengan demikian secara bersama upaya yang terus menerus untuk mencegah terjadinya bencana sedimen. Aspek lain yang penting menjadi fokus adalah untuk mencegah dampak lebih besar kerusakan jika bencana terjadi dan hal ini dapat dilakukan dengan sistem evakuasi yang efektif. 1. Pendekatan Struktur terhadap Aliran Debris Sebagai metode untuk pengendalian aliran debris, ada tiga metode yang dipertimbangkan: (i) mencegah gerakan aliran debris yang akan mulai
124 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
bergerak, (ii) mencegah gerakan aliran debris yang sudah mulai bergerak, (iii)
mengendalikan
pengendalian
energi
terhadap
dari
aliran
gerakan debris
aliran
harus
debris.
Tindakan
ditentukan
dengan
mempertimbangkan kondisi topografi, subjek konservasi,penyebab aliran debris, daerah kejadian, daerah yang dialiri dan daerah sedimentasi. 2. Pendekatan Struktur terhadap Pencegahan Kegagalan Lereng Secara umum, pencegahan bencana terkait kegagalan lereng dengan menggunakan pendekatan struktural diklasifikasikan menjadi dua jenis pekerjaan yaitu: pekerjaan pengawasan dan pekerjaan pengendalian. Pekerjaan pengawasan digunakan untuk mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan lereng, sedangkan pekerjaan pengendalian dimaksudkan untuk mencegah kegagalan lereng dengan instalasi struktur. III. Pengembangan Sistem Peringatan dan Evakuasi Sistem peringatan (warning system) merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana besar dan penyelamatan penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi penduduk untuk meresponnya. Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu alur proses analisis data mentah tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis menuju pada keluarnya informasi mempunyai ketepatan yang tinggi. Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian utama dalam peringatan dini yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas data menjadi informasi yang tepat dan bagian hilir berupa usaha agar infomasi cepat sampai di masyarakat.
125
Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana sangatlah penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam. Dengan ini diharapkan akan dapat dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan dalam penanganan bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun instrumentasinya. Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan beraktivitas dengan aman pada suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut maka sebelumnya perlu dicapai beberapa hal sebagai berikut; (a) diketahuinya daerah-daerah rawan
bencana
di
Indonesia,
(b)
meningkatkan pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan praktik (practice) dari masyarakat dan aparat terhadap fenomena bencana, gejala-gejala awal dan mitigasinya, (c) tertatanya suatu kawasan dengan mempertimbangkan potensi bencana, (d) secara umum perlu pemahaman terhadap sumber bencana. Evakuasi adalah perpindahan langsung dan cepat bagi orang-orang untuk menjauh dari ancaman atau kejadian yang membahayakan. Evakuasi merupakan
bagian
dari
manajemen
bencana.
Rencana
evakuasi
dikembangkan untuk memastikan waktu evakuasi yang paling aman dan efisien bagi penduduk dari ancaman suatu bangunan, kota, atau wilayah. Urutan evakuasi dapat dibagi ke dalam tahap-tahap berikut: deteksi keputusan alarm reaksi perpindahan ke area perlindungan transportasi
126 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
Sistem peringatan dan evakuasi bencana sedimen secara sederhana dapat diaplikasikan di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 6.
Radio Communication
Posko 1 Posko 2
Kentongan
Monitoring Curah Hujan
Monitoring sedimen
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Posko 3 Evakuasi pada daerah aman
Camat Kelompok Masyarakat
Gambar 6. Sistem peringatan dan evakuasi yang dapat diadopsi di Indonesia.
A.
Aplikasi Ambang Batas Curah Hujan untuk Peringatan Dini Penggunaan sistem peringatan berbasis ambang batas curah hujan
telah banyak digunakan pada berbagai tipe bencana di dunia. Secara umum, ada dua jenis ambang batas curah hujan yaitu: ambang batas empiris (emperical thresholds) dan ambang batas fisik (physical thresholds). Ambang batas empiris adalah nilai relasional berdasarkan analisis statistik hubungan antara kejadian hujan dan tanah longsor, aliran debris atau kegagalan lereng, sedangkan ambang batas fisik biasanya digambarkan dengan bantuan model hidrologi dan stabilitas yang mempertimbangkan parameter seperti hubungan antara curah hujan dan tekanan air-pori, infiltrasi, morfologi lereng dan struktur batuan dasar. Sistem peringatan berbasis ambang batas empiris menggunakan komponen terkait dengan perkiraan curah hujan, real-time pengamatan curah hujan dan ambang batas curah hujan dengan tanah longsor atau aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali dikembangkan oleh USGS di San Francisco (Keefer et al., 1987; Wilson dan Wieczorek, 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatif curah hujan (6 jam
127
curah hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca nasional dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur curah hujan real-time lebih dari 40 buah secara terus menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon dan Ellen, 1985). Sistem serupa juga dikembangkan di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia (Sirangelo dan Braca, 2001), Jepang (Onodera et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999), Afrika Selatan (Gardland dan Olivier, 1993) dan Virginia (Wieczorek dan Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah menerapkan sistem komputer secara otomatis untuk sistem peringatan tanah longsor dan ini merupakan sistem yang pertama kali di dunia untuk pendugaan tanah longsor (Premchitt, 1997). Sistem peringatan tanah longsor ini berdasarkan perkiraan curah hujan jangka pendek dan sistem ini dilengkapi alat pengukur curah hujan sebanyak 86 buah. Peringatan akan tanah longsor umumnya dikeluarkan jika dalam 24 jam hujan diperkirakan akan melebihi 175 mm atau dalam satu jam curah hujan diperkirakan akan melebihi 70 mm. Dalam situasi seperti ini radio lokal dan stasiun televisi diminta untuk menyiarkan peringatan kepada publik secara berkala. Ketika mengidentifikasi ambang batas peringatan maka adalah penting untuk mempertimbangkan dua hal pokok yaitu kecenderungan untuk memicu ambang batas dan masalah logistik yang bisa terjadi selama prosedur
darurat
evakuasi.
Misalnya,
batasan
peringatan
dapat
didefinisikan sebagai kurva yang sejajar dengan ambang memicu (kurva A pada Gambar 7), atau kurva yang ditetapkan sebagai waktu kritis “∆tc” (yaitu waktu minimum yang diperlukan untuk mengevakuasi penduduk dari bahaya), bersifat konstan tidak terpengaruh dari jalur hujan dari curah hujan kritis, ∆tc1= ∆tc2 (kurva B pada Gambar 18). Sedangkan diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 8.
128 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
TOTAL CURAH HUJAN (mm)
40
30
KONDISI TIDAK STABIL
T
20
10
Dtl0 0
Dtl1
Dtl2
40
0 Dtc0
KONDISI STABIL 80
Dtc1
Dtc2
120 WAKTU (Jam) (DURASI HUJAN)
Gambar 7. Kurva peringatan bencana sedimen berdasarkan ambang batas curah hujan. Kurva peringatan didefinisikan sebagai batas di mana jika terlampaui maka prosedur keadaan darurat segera dilakukan (modifikasi dari Aleotti, 2004).
129
Ulangi prakiraan hujan
PRAKIRAAN HUJAN REGIONAL
Ya
Melebihi Ambang?
KEADAAN KRITIS
Tidak
KEADAAN BIASA
Penilaian bahaya longsor pada wilayah terkait
Ulangi prakiraan hujan
Tidak
Ya
Longsor mengancam wilayah?
MULAI PROSEDUR PERINGATAN DINI
Pengambilan data hujan berjalan (real-time)
Pengambilan data hujan sebelumnya (15 hari)
Pengambilan statistik hujan berjalan (MAP, kala ulang dll)
Identifikasi awal hujan kritis (to)
Identifikasi awal kumulatif dari pengukuran berjalan
Tidak
Gambar lintasan hujan pada kurva ambang
Ya
Hujan berakhir (min. 6 jam
Tidak
Waktu kritis Dtc meningkat
Ya KEADAAN KRITIS BERAKHIR
Tidak
Melebihi ambang peringatan
Ya PEMBERIAN PERINGATAN DINI
Mulai prosedur darurat (Evakuasi)
Gambar 8. Diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor (dimodifikasi dari Aleotti, 2004).
B. Ambang Batas Curah Hujan untuk Tanah Longsor di Sulawesi Selatan Suatu penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan tentang ambang batas curah hujan terhadap tanah longsor khususnya tanah longsor dangkal. Penelitian ini menunjukkan bahwa durasi hujan pendek dengan intensitas curah hujan tinggi memicu tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa intensitas curah hujan di atas 50 mm/jam dapat menyebabkan tanah longsor dangkal yang
130 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
dapat mengakibatkan kerusakan harta benda dan kehilangan jiwa manusia (Gambar 9).
Intensitas (mm/jam)
100
10
I= 52D-0.79
1
0
1
10 Durasi (jam)
100
Gambar 9. Ambang batas curah hujan untuk tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan, di atas garis peringatan kemungkinan tanah longsor dangkal terjadi (Hanawir et al., 2012).
IV. Penutup Bencana sedimen adalah fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan harta benda, ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat, dan atau kerusakan lingkungan, melalui suatu skala besar pergerakan tanah dan batuan. Bencana sedimen khususnya tanah longsor merupakan salah satu tipe bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Mitigasi bencana diperlukan sebagai tindakan untuk mengurangi dampak bencana sedimen yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Aleotti, P. (2004): A warning system of rainfall-induced shallow failure. Engineering Geology 73:247–265. Brand, E.W., Premchitt, J. and Phillipson, H.B. (1984): Relationship between rainfall and landslides in Hong Kong. Proc. of theIV International Symposium on Landslides 1:377–384.
131
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012). Cannon, S.H. and Ellen, S.D. (1985): Rainfall conditions for abundant debris avalanches, San Francisco Bay region, California. Geology 38:267– 272. Coburn, A.W, Spences, R.J.S.and Pomonis, A. (1994) Disaster Mitigation. Cambridge Architectural Research Limited. United Kingdom. Crozier, M.J. (1999): Prediction of rainfall-triggered landslides: a test of the antecedent water status model. Earth Surface Processes and Landforms 24:825–833. Gardland, G.G. and Olivier, M.J. (1993): Predicting landslides from rainfall in a humid, subtropical region. Geomorphology 8:165– 173. Hasnawir, Kubota T. and Castillo L.S. (2012): Rainfall-induced shallow landslides in South Sulawesi, Indonesia. International Session of Sabo meeting, 23-25 May 2012, Kochi,Japan. Highland, L.M. and Bobrowsky, P. (2008): The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides. Reston, Virginia, U.S. Geological Survey Circular 1325, 129 p. Ikeya, H. (1976): Introduction to sabo works: The preservation of land against sediment disaster. The Japan Sabo Association, Japan. Keefer, D.K.,Wilson, R.C., Mark, R.K., Brabb, E.E., Brown,W.M.,Ellen, S.D., Harp, E.L., Wieczorek, G.F., Alger, C.S. and Zatkin, R.S. (1987): Real time landslide warning system during heavy rainfall. Science 238:921–925. Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan (2004): Development of warning and evacuation system against sediment disasters in developing countries.
132 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Mitigasi Bencana Sedimen……. Hasnawis
Onodera, T., Yoshinaka, R. and Kazama, H. (1974): Slope failures caused by heavy rainfall in Japan. Proc. of the II International Congress International Association of Engineering Geology, Sao Paulo, Brasil,.11:1–10. Premchitt, J. (1997): Warning system based on 24-hour rainfall in Hong Kong. Manual for zonation on areas susceptible to raininduced slope failure. Asian Technical Committee on Geotechnology for Natural Hazards in International Society of Soil Mechanics and Foundation Engineering, pp.72– 81. Sirangelo, B. and Braca, G. (2001): L’individuazione delle condizioni dipericolo di innesco elle colate rapide di fango. Applicazione del modello FlaIR al caso di Sarno. Atti del Convegno: ‘‘Il dissesto idrogeologico: inventario e prospettive’’, Roma. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Wilson, R.C. and Wieczorek, G.F. (1995): Rainfall threshold for the initiation of debris flow at La Honda, California. Environmental and Engineering Geoscience 11:11–27. Wieczorek, G.F. and Guzzetti, F. (1999): A review of rainfall thresholds for triggering landslides. Proc. of the EGS Plinius Conference, Maratea, Italy October 1999, pp. 407– 414.
133
134 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
PENDAYAGUNAAN SAGU BARUK SEBAGAI TANAMAN KONSERVASI PRODUKSI PANGAN DAN PAKAN TERNAK1 Abner Lay² ²Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.
RINGKASAN Sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan, tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberikan manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar hutan. Kata Kunci: Sagu baruk, konservasi tanah dan air, tepung sagu, pakan, pupuk organik.
I. Pendahuluan Kelimpahan
sumber
daya
kehutanan
Indonesia
mengalami
kemerosotan yang sangat cepat dan sangat luas. Sehingga saat ini, sulit untuk mengharapkan potensi ekonomi kehutanan sebagai penyumbang devisa, ekspor serta lapangan pekerjaan.
Penebangan hutan secara liar
dan ilegal, eksploitasi sumber daya kehutanan berlebihan, penyeludupan hasil dan produksi kehutanan yang tidak terkendali menjadi penyebab utama rusaknya sumber daya, ekosistem, termasuk kerusakan lingkungan. Sementara itu, masih membutuhkan sumbangan hasil produk hutan sebagai 1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
135
salah satu komoditas ekspor unggulan, penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi penduduk di sekitar hutan. Pada masa mendatang, pengelolaan pembangunan sektor kehutanan sudah tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan sektor lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya kehutanan harus diarahkan agar tetap dapat ditingkatkan produksinya secara berkesinambungan dan selaras dengan daya dukung alam yang lestari, yang dapat memberi kemakmuran dan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengusahakan hutan secara lestari, sebagai sumber pangan dan membantu mengatasi perubahan iklim global. Peningkatan produksi kehutanan diharapkan dapat dicapai dengan pengelolaan hutan alam secara lestari, yang dibarengi dengan optimalisasi pengembangan hutan tanaman industri serta pengembangan lahan hutan potensial untuk kombinasi budidaya komoditas pangan.
Aren dapat
ditanam di lahan yang kurang subur atau bahkan lahan kritis, karena tanaman ini relatif tidak membutuhkan air yang banyak, namun sebaliknya aren mampu menyimpan, mempertahankan kondisi air tanah tempat tumbuhnya.
Dengan sifat ini, aren dapat berfungsi sebagai tanaman
konservasi tanah dan air serta dapat menjadi tanaman reboisasi. Aren dapat ditanam dan dikembangkan pada lahan-lahan dimana tanaman pangan lainnya sulit tumbuh dengan baik. Lahan-lahan potensial untuk pengembangan aren banyak terdapat di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang secara relatif bukan lumbung pangan nasional (Probowo, et al, 2009). Sagu baruk (Arenga microcarpa Beccari) yang semarga dengan aren (Arenga pinnata ) dapat dimanfaatkan sebagaI tanaman konservasi. Selain itu, sagu baruk dapat menghasilkan pangan karbohidrat berupa tepung, yang dalam pengembangannya tidak bersaing dengan tanaman semusim sebagai penghasil pangan.
Sagu baruk tumbuh membentuk rumpun
dengan perakaran yang memiliki porositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan tanah aliran air permukaan dapat diperkecil.
136 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
Sagu baruk merupakan tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman hutan. Di Kabupaten Sangihe, sagu baruk merupakan tanaman penghasil pangan karbohidrat berupa tepung sagu.
Selain itu, hijauan
tanaman berupa daun dan anakan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kayu digunakan sebagai bahan bangunan dan sisa empulur sagu dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Di Kepulauan Sangihe, sagu baruk diusahakan dalam bentuk pola tanam campuran, pohon siap panen 105,5 pohon/Ha/tahun. Tanaman campuran dengan sagu baruk adalah tanaman cengkih, kelapa, pala, pisang dan tanaman perkebunan lainnya, yang menempati areal dengan proporsi sekitar 33-50 %. Usaha pengolahan tepung sagu baruk dilakukan secara perorangan
oleh keluarga pemilik dan penyewa lahan sagu,
dengan
pemilikan lahan petani berkisar 1,0 - 2,0 Ha, 48,5 %, yang terdiri atas 44 % pemilik, pemilik sekaligus pengolah 48,5 % dan pengolah/penyewa 7,5 %. Jumlah yang ditebang rata-rata 20 pohon/ bulan, dengan produksi. Produksi sagu yang yang dijual rata-rata 450 kg/bulan. Konsumsi sagu dan beras pada daerah studi menunjukkan bahwa petani mengkonsumsi beras sebesar 61 % beras dan 39 % sagu (Lay, et al., 1998). Dilaporkan Miftahoracman (2009) bahwa sagu baruk sebagai tanaman penghasil karbohidrat dapat menghasilkan tepung sebanyak 20-30 kg/batang.
Apabila kebutuhan sagu/kapita/tahun setara dengan beras
yaitu 60 kg/kapita/ tahun, maka kebutuhan konsumsi sagu bagi penduduk Pulau Sangihe 66,8 % dari konsumsi beras, sehingga sagu baruk memberi peran yang sangat besar bagi ketahanan pangan bagi penduduk daerah Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, dan berpeluang untuk dikembangkan bagi daerah lainnya. II. Karakteristik Tanaman Sagu Baruk A. Habitat Dilaporkan
Mogea (1991) bahwa sagu baruk banyak dijumpai di
Kepulauan Sangihe, Maluku, Irian dan Papua New Guinea. Sagu baruk tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m dpl, dengan kemiringan lereng 40-60 %, curah hujan 2.500-4.000 mm. Di Pulau Sangihe, Sulawesi utara, sagu
137
baruk umumnya tumbuh pada ketinggian 0-400 m dpl, tumbuh baik pada lahan kering dan pada daerah dengan topografi lereng yang terjal, tumbuh dalam bentuk rumpun (Maliangkay dan Matana, 2005). Keadaan tegakan dan rumpun sagu baruk umur 6 tahun dan tanaman dewasa umur 10 tahun yang siap panen tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Sagu baruk umur 6 tahun (kiri) Sagu baruk dewasa siap panen (kanan)
Sagu baruk tumbuh baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe, sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40°. Sampai dengan tahun 2004, masalah erosi pada wilayah ini kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009). B. Perkembangan Anakan dan Pohon Pengamatan terhadap populasi sagu baruk di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kapulauan Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa dari 9 plot dengan luas rata-rata areal 400 m² diperoleh sebaran keadaan tanaman sagu baruk sebagai berikut: (a) Jumlah rumpun
: 11,16 rumpun (290 rumpun/Ha)
(b) Jumlah anakan
: 112,05 anakan
138 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
(c) Jumlah anakan yang berbatang
: 48,72 anakan
(d) Jumlah pohon siap panen
: 4,22 pohon
(e) Jumlah pohon lewat panen
: 0,05 pohon
Umur pohon sagu baruk layak panen berkisar 7-10
tahun, yang
ditandai dengan tinggi pohon yang beragam dari 7-12 m. Umur sagu baruk yang dikategorikan lewat panen adalah telah terbentuknya bunga, menandakan sebagian kandungan pati telah disintesis menjadi
energi
untuk pembentukan bunga dan biji. Penanganan panen sagu baruk di Kepulauan Sangihe dikategorikan efisien, ditandai dengan tanaman yang lewat panen sangat kecil yakni 0,1 %. Umumnya masyarakat melakukan panen sagu baruk berdasarkan tinggi pohon. Pengamatan terhadap tinggi tanaman pada populasi sagu baruk dari 9 plot dengan luas rata-rata 400 m² sebagai berikut: (a) Tinggi 1- 2 m
: 16,5 pohon
(b) Tinggi 3- 4 m
: 20,1 pohon
(c) Tinggi 5- 6 m
: 12,7 pohon
(d) Tinggi 7- 8 m
: 3,2 pohon
(e) Tinggi 9-10 m
: 0,9 pohon
(f)
: 0,1 pohon
Tinggi 11-12 m
Umumnya penebangan untuk pengambilan tepung dari empulur batang
dilakukan petani sebelum sagu baruk berbunga, yakni
ketinggian pohon
pada
lebih dari 7 m. Kondisi ini, menyebabkan sulit
memperoleh biji matang untuk perbanyakan tanaman. Penebangan yang dilakukan setelah sagu baruk berbunga kurang efektif karena tepung yang dikandung pada empulur telah dikonversi menjadi energi. Pengamatan di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa kharakteristik tinggi pohon, diameter batang dan komponen hasil sagu baruk yang meliputi berat batang, berat empulur, berat sagu dan rendemen sagu cenderung seragam pada variasi ketinggian tempat tumbuh dari 200-600 m dpl (Tabel 1).
139
Tabel 1. Kharakteristik pohon dan komponen hasil sagu baruk pada variasi ketinggian tempat tumbuh di Pulau Sangihe Sulawesi Utara No.
Uraian
200 m
400 m
600 dpl
Rata-rata
dpl
dpl
1.
Tinggi pohon (m)
11,0
9,7
11,0
10,6
2.
Diameter batang ( cm)
14,3
15,7
15,0
15,0
3.
Berat batang (kg)
199,0
196,7
205,0
200,2
4.
Berat empulur (kg)
132,7
121,7
122,7
125,7
5.
Berat sagu basah (kg)
44,3
42,0
44,0
43,4
6.
Rendemen sagu (%)
33,4
34,5
35,9
34,6
Sumber: Marianus (2011)
III. Keunggulan Sagu Baruk A. Tanaman Konservasi Dalam pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, tanah marginal seperti tanah Podsolik Merah Kuning, Organosol dan Entisol. Jenis tanaman yang dapat tumbuh tanah marjinal adalah pohon-pohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan tahan kebakaran (Purwanto dan Siringoringo, 1999). Pemanfaatan tanaman kayu, pada rehabilitas lahan dalam rangka konservasi seperti Akasia (Acasia mearensii), pada umur tanaman 10-15 tahun, sangat menarik minat petani untuk melakukan penebangan untuk dimanfaatkan kayunya, yang menyebabkan hutan terbuka. Selain itu, pohon acasia mudah terbakar pada musim kemarau. Tanaman konservasi tidak membutuhkan pemeliharaan yang intensif dan perbanyakan alami oleh tanaman itu sendiri, seperti pada sagu baruk perbanyakan melalui tunas dalam bentuk rumpun. Untuk optimal produksi tepung sagu aren, penanganannya adalah penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 4-
140 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
5 tegakan sagu baruk, dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil. Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang dinamis dengan sub-ekologis dan sub-sistem pengelolaan.
Sub sistem ekologis
berkaiatan dengan sumber daya alam (lahan, hutan, estetika alam, fauna), sedangkan sub-sistem pengelolaan berkaitan dengan masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam. Tujuan
pengelolaan
daerah
aliran
sungai
adalah
mencapai
keseimbangan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam berupa vegetasi, tanah dan air. Sasarannya adalah meningkatkan produksi, mutu dan keteraturan pengendalian air, mengurangi bahaya erosi, banjir, kekeringan, dan meningkatkan kulitas lingkungan, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (Pratiwi, 1999). Pada
pelaksanaan
konservasi,
perlu
dipertimbangkan
kondisi
kesuburan tanah dan jenis tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, tanah marginal seperti tanah Podsolik merah kuning, Organosol dan Entisol. Sedangkan jenis yang adaptif dengan tanah marjinal adalah pohon-pohon yang mampu tumbuh pada kondisi tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999). Bertambahnya luas kawasan hutan kritis di Indonesia, berpeluang terjadinya erosi dan bencana alam, terutama di daerah aliran sungai. Sagu baruk dapat dijadikan tanaman konservasi. Pola pemungutan hasil relatif sedikit dengan penebangan yang selektif yakni yang layak tebang, sehingga penebangannya kurang mempengaruhi terbukanya lahan konservasi. Berdasarkan kharakteristik tanaman dan kesesuaian tumbuh pada tanah marginal/kritis, sagu baruk dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Pendayagunaan tanaman ini sebagai tanaman konservasi tidak
141
membutuhkan pemeliharaan intensif dan perbanyakan oleh tanaman itu sendiri dalam bentuk berkembangnya tunas berupa rumpun sagu baruk. Untuk optimal produksi dilakukan penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 5-6 batang pohon, dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil. Sagu baruk adalah tipe tanaman keras yang tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran memiliki prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan tanah permukaan dapat ditekan dan aliran permukaan dapat diperkecil. Sagu baruk memiliki keistimewaan yakni dapat tumbuh dengan baik pada lahan terjal dengan kemiringan mencapai 70°. Sagu baruk mempunyai kemampuan untuk menahan air hujan, antara lain dapat dilihat di lapangan bahwa mata air yang muncul berada sekitar pohon sagu baruk, dan dapat menahan air dalam waktu yang cukup lama yang ditandai dengan pada musim kemarau panjang, serta rendahnya erosi sekitar lahan yang ditumbuhi sagu baruk. Tanaman ini resisten terhadap perubahan iklim, yang ditandai pada musim kemarau panjang, di mana tanaman lain sulit tumbuh, namun sagu baruk tetap tumbuh normal dan berproduksi dengan kondisi ini, sagu baruk mampu menutup tanah dengan cukup cepat, sehingga mampu mengurangi dampak dari bahaya erosi (Marianus, 2011). Sagu baruk memiliki keistimewaan, yaitu dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh dan berkembang. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40 %. Sampai dengan tahun 2004 masalah erosi kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009). Pada pemulihan lahan kritis bekas pertambangan batubara
pada
Perusahaan PT. Kaltim Prima Coal di Sanggata Kalimantan Timur luas 1 Ha, yang dilaksanakan pada tahun 2010-2011, ternyata pertumbuhan anakan sagu baruk selama satu tahun dengan penampakan pertumbuhan vegetatif
142 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
yang baik (Mashud, 2012). Pada daerah bekas letusan gunung api seperti di sekitar Gunung Merapi Yogyakarta, yang sekarang gundul dan hanya sebagian ditumbuhi rerumputan dan semak-semak, mudah lonsor dan banjir (hanyutan lahar dingin) pada musim penghujan. Areal lereng Gunung Merapi yang merupakan tanah vulkanis, sangat efektif dibudidayakan sagu baruk, baik untuk tanaman reboisasi maupun sebagai sumber bahan pangan masyarakat. Tanah di Gunung Merapi sebagai tanah vulkanis yang subur di banding dengan tanah di Pulau Sangihe Besar. Budidaya sagu baruk memungkinkan dikembangkan pada daerah yang sering mengalami masa paceklik pangan seperti di Pulau Rote, Pulau Sabu Kabupaten Rotendau NTT dan wilayah rawan banjir dan kekeringan antara lain DAS Bengawan Solo, Kabupaten Gunung Kidul dan Gunung Merapi Yogyakarta, wilayah perbukitan yang kritis di Jawa Barat, Banten, Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera dll. B. Produksi pangan Proses pengolahan tepung sagu dari sagu baruk di Pulau Sangihe, dimulai dari pemarutan sampai ekstraksi sagu basah, dengan 2 orang tenaga kerja yang berkerja selama 8 jam kerja, dengan pemarut mekanis daya 3,5 Hp dapat mengolah sebanyak 720 kg empulur/ hari, menghasilkan sagu basah 216-237 kg sagu basah (Widardo dan Tumbel, 1998). Dalam upaya meningkatakan efisiensi pengolahan sagu baruk untuk menghasilkan tepung sagu basah, dapat menggunakan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (Gambar 3), yang digunakan pada sagu rumbia (Metroxylon sp.) kapasitas olah 190 kg empulur/jam atau 1.520 kg/hari (Lay, 2002) yang setara dengan 12 pohon sagu baruk/hari. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu, terdiri dari tiga komponen utama, yakni unit pemarut, unit ekstrasi dan unit pengendap yang dirancang terpadu dalam satu sistem proses, yang menggunakan motor penggerak dengan daya 10 Hp. Pada penggunaan alat ini, tidak dilakukan pengupasan kulit batang, hanya batang sagu baruk dipotong sepanjang 1 m dan dibelah menjadi empat bagian untuk memudahkan pemarutan empulur sagu. Proses pemarutan empulur sagu, ekstraksi
143
hancuran empulur dan pengendapan berlangsung simultan. Pada penggunaan alat ini, perlu diperhatikan kontinuitas aliran air ekstraksi dari sumbernya, dengan debit air berkisar 4-5 L/kg hancuran empulur. Penggunaan
alat
pemarut
mekanis
untuk
proses
ekstraksi
membutuhkan air lebih sedikit (4-5 L/kg empulur), sedangkan ekstraksi manual membutuhkan air ekstraksi sebanyak 20-22 L/ kg hancuran empulur. Pengolahan tepung sagu secara mekanis kurang praktis dilakukan secara
perorangan,
karena
kapasitasnya
cukup
tinggi,
sehingga
membutuhkan cukup banyak bahan baku. Untuk efektifnya proses pengolahan, sebaiknya pengunaan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu dalam bentuk usaha kelompok tani/gabungan kelompok tani atau UKM.
Gambar 3. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu
Pengolahan tepung sagu baruk dengan menggunakan alat pengolahan sistem terpadu (Lay, 1998), dengan cara pengolahan sebagai berikut: (a) Penebangan tegakan sagu dan pemotongan gelondongan batang sagu dengan ukuran panjang 80-100 cm (disesuaikan dengan penggunaan kulit batang sebagai bahan bangunan), tanpa dilakukan pengupasan kulit batang. (b) Batang sagu dibelah menjadi empat bagian, agar memudahkan dalam proses pemarutan. Pemarutan menggunakan sistem pemegangan,
144 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
yang dilakukan pemarutan empulur sagu baruk pada arah sejajar dengan gerigi pemarut, proses
pemarutan selesai, jika
empulur
seluruhnya telah terparut, ditandai ketebalan kulit batang berkisar 1,00-1,25 cm. (c) Bersamaan dengan proses pemarutan, air ektraksi dialirkan ke unit pengolahan, agar air ekstraksi dapat membantu menahan hancuran empulur dan mengalirkan ke unit ekstraksi, air yang diperlukan sekitar 4-5 L/kg empulur sagu, jika kapasitas pengolahan sebesar 190 kg empulur/jam diperlukan air sebanyak 760-950 L/jam atau debit air 12,7-15,8 L/menit, air ekstraksi mengalir secara kontinu selama proses pengolahan berlangsung. (d) Pada proses ekstraksi, suspensi sagu (cairan yang mengandung sagu) akan terpisah dengan serat, ampas kasar dan ampas halus secara mekanis di dalam ekstraktor dan saringan getar, selanjutnya suspensi sagu mengalir ke unit pengendap dan sagu akan mengendap pada unit pengendap. (e) Proses pencucian sagu, dilakukan setelah selesai satu periode proses atau
satu hari pengolahan. Pati sagu yang telah mengendap
dipermukaanya terdapat sisa air proses, air proses dialirkan keluar, kemudian dimasukan air proses ke dalam bak pengendap dan dilakukan pengadukan pati sagu basah dengan air proses secara manual untuk mengeluarkan asam-asam dan zat warna dari pati sagu. (f) Pati sagu diendapkan selama 30 menit, apabila endapan pati sagu telah menjadi padat, air sisa proses yang ditambahkan sebelumnya dikeluarkan dengan hati-hati agar pati sagu tidak terikut pada pengaliran air sisa proses. (g) Pada pengeluaran sisa air proses, yang tertinggal adalah pati sagu basah.
Pati sagu basah dikeluarkan dari bak pengendap, dan
dimasukan ke dalam wadah penampung, yang dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan atau diolah menjadi tepung sagu. Tepung sagu baruk yang dihasilkan berwarna putih agak kelabu, jika akan diolah menjadi sowan dan produk industri lainnya, perlu dilakukan
145
pemutihan. Pemutihan adalah menghilangkan warna-warna yang ada pada bahan karena pigmen-pigmen alam atau zat lain, sehingga diperoleh bahan yang lebih putih. Untuk proses pemutihan dapat mengunakan Kalium Bromat 30 ppm dan Asam Askorbat 100 ppm. Peningkatan derajat putih dengan menggunakan Kalium bromat dan Asam Askorbat, ditinjau dari segi biaya produksi adalah ekonomis. Mutu tepung sagu baruk yang menggunakan pemutih kalium Bromat, Asam Askorbat dan tanpa pemutihan, memenuhi syarat mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (Tabel 2). Tabel 2. Analisis mutu tepung sagu baruk No.
Parameter
Kalium
Asam
Tanpa
Bromat 30
Askorbat 100
Pemutih
ppm
ppm
1.
Kadar air (%)
12,24
13,02
12,54
2.
Kadar abu (%)
0,26
0,31
0,32
3.
Serat kasar (%)
0,18
0,19
0,18
4.
Derajat asam (ml NaOH 1 n/100 g
2,02
2,58
2,96
5.
Kadar pati (%)
88,00
84,00
82,00
6.
Derajat putih
88,50
89,50
77,50
7.
Jamur
Negatif
Negatif
Negatif
8.
Kehalusan (80 mesh)
Lolos ayakan
Lolos ayakan
Lolos ayakan
9.
Logam berbahaya
Negatif
Negatif
Negatif
Sumber: Widardo dan Tumbel (1998)
C. Produksi Pakan Ternak Daun anakan pohon sagu baruk sangat disukai sapi sebagai hijauan pakan ternak. Pada pengolahan tepung sagu baruk, diperoleh hasil samping berupa ampas pati sagu. Ampas pati sagu sagu baruk sama dengan ampas pati aren, dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang dicampur konsentrat. Ampas pati aren (APA) mengandung 85,8 % bahan kering, protein kasar 2,63 %, serat kasar 15,9 % dan lemak 0,5 %. Ampas dalam bentuk ampas halus dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi dengan komposisi
146 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
80 % konsentrat dan 20 % APA. Pengujian pada Sapi Onggole di Bogor, menunjukkan bahwa pemberian pakan yang terdiri dari 80 % konsentrat dan 20 % APA pada sapi dengan bobot 190,9 kg selama 10 minggu, memberikan pertambahan bobot hidup harian rata-rata 0,675 kg/ekor/hari dengan efisiensi pakan 14,08 %, dibanding pemberian 100 % konsentrat adalah tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi pakan. Pemberian pakan dengan proporsi 70 % konsentrat dan 30 % APA tidak efisien, ditandai pertambahan bobot hidup harian rata-rata 0,490 kg/ekor/hari dan efisiensi pakan 10,3 %, (Umiyasih, et al, 2008). D. Produksi Pupuk Organik Daun sagu baruk yang komposisi kimia diduga menyerupai daun kelapa, dapat dimanfaatakan sebagai pupuk organik. Kotoran hewan seperti sapi yang umum telah digunakan sebagai bahan baku pupuk organik karena nutrisi yang dikandungnya. Kotoran sapi padat
mengandung 0,4 %
Nitrogen; 0,2 % Fosfor; 0,1 % Kalium dan air 85 % (Yuliarti, 2009). Sapi dewasa memproduksi kotoran rata-rata 6 kg/hari dalam bentuk agak cair dengan kadar air 85 %, jika dikeringkan menjadi 30 %, maka produksi kotoran kering adalah 2,7 kg/hari (6 kg x (100-85 +30) % = 2,7 kg kg kotoran kering/hari). Apabila dalam satu Ha dipelihara 4 ekor, maka produksi kotoran sapi kering (kadar air 30 %) sebanyak 3.942 kg/Ha/tahun (4 x 2,7 kg x 365). Formulasi pupuk organik limbah sagu baruk adalah 50 % daun sagu kering ditambah ampas sagu baruk dan 50 % kotoran hewan (kotoran ayam, sapi dll), larutan EM4 1,6 L, gula pasir 1 kg dan air 400 L untuk satu ton bahan organik. Selama ini, daun sagu baruk hasil penebangan pohon sagu, dikumpul dan dibakar, dengan telah ditemukan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa yang terdiri dari unit pencacah (Gambar 4), penghancur bahan organik (Gambar 5), ayakan bahan organik sistem sentrifugal (Gambar 6) dan bak fermentasi (Gambar 7).
147
Gambar 4. Alat pencacah daun bahan organik
Gambar 6. Alat ayakan bahan organik sistem sentrifugal
Gambar 5. Alat penghancur
Gambar 7. Bak fermentasi pupuk organik suhu terkontrol
Pengolahan pupuk organik dilakukan dengan cara mencampurkan bahan organik (hancuran daun sagu baruk dan hancuran kotoran ternak) dan bahan tambahan (EM4, gula dan air) dicampur sampai merata dan dimasukan ke dalam bak fermentasi, kemudian ditutup
plastik untuk
difermentasi. Proses fermentasi pupuk organik limbah sagu baruk membutuhkan waktu 9 (Sembilan) hari. Penggunaan alat pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk, mensyaratkan penggunakan bahan olah dalam bentuk kering. Proses pencampuran adonan pupuk dilakukan secara manual karena belum tersedia alat pencampur mekanis. Pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk dapat menggunakan metode pengolahan pupuk organik limbah kelapa, yakni:
148 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
(1) Penyiapan bahan olah: (1) Pencacahan daun dan tangkai daun sagu baruk kering, (2) Penghancuran hasil pencacahan, (3) Pengeringan dan pengayakan kotoran ternak, (4) Pengeringan kotoran sapi yang tidak lolos ayakan sentrifugal, (5) ayakan ampas sagu dengan saringan sentrifugal. (2) Penyiapan larutan fermentasi: (1) gula putih dilarutkan dalam air, (2) Tambahkan larutan EM4 ke dalam larutan gula dan aduk hingga merata. (3) Pencampuran bahan baku: campur serbuk daun/pelepah daun, serbuk ampas sagu dan serbuk kotoran sapi dengan komposisi 3:2:5 sampai merata. Pencampuran bahan baku dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. (4) Proses fermentasi: tuangkan Larutan gula dan EM4 ke dalam campuran bahan baku pupuk organik secara merata, kemudian tambahkan air 50-60 %, diaduk sampai merata, dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Pengamatan suhu fermentasi dilakukan dengan memasang thermo-koppel pada bak fermentasi, untuk mengukur suhu fermentasi dan suhu udara luar (suhu kontrol). (5) Proses fermentasi pupuk organik limbah kelapa berlangsung selama 9 (sembilan) hari, suhu fermentasi berkisar 30-450C, sedangkan suhu ruang 29-310C, setelah fermentasi dihasilkan pupuk organik limbah kelapa.
Proses fermentasi pupuk organik ini tidak memerlukan
pembalikan bahan olah selama proses fermentasi. (6) Penggunaan
pupuk
organik
dari
limbah
sagu
baruk
dapat
menggunakan cara penggunaan pupuk organik limbah kelapa, yakni 23 ton/Ha atau setara 10 kali takaran pupuk anorganik NPK (Lay, 2012). E. Produksi Kayu Pada pengolahan tepung sagu baruk, khusus pada proses pemisahan empulur dari batang sagu baruk akan diperoleh kayu sagu baruk yang merupakan bagian kulit batang, kekerasannya menyerupai kulit batang aren. Kayu sagu baruk dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan perkakas rumah. Produksi kayu dari satu batang pohon diperkirakan
149
sebanyak 0,1 m³. Tegakan sagu baruk yang dapat ditebang 105 pohon/Ha/tahun, akan dihasilkan sebanyak 10,5 m³/Ha/tahun, suatu jumlah sangat berarti sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. IV. Budidaya Sagu Baruk A.
Perbanyakan dan Penanaman Sagu baruk dalam perkembangbiakannya lebih banyak melalui anakan
dan membentuk rumpun. Pada kondisi tidak terpelihara, anakan akan berkembang dengan cepat, dan yang tumbuh menjadi tanaman dewasa dan memiliki struktur batang hanya sedikit. Pertumbuhan anakan rata-rata 3-6 anakan/rumpun/bulan
atau
ketambahan
anakan
sebanyak
750
anakan/ha/bulan (Barri, et al, 2001). Perbanyakan tanaman sagu baruk dapat dilakukan melalui biji dan tunas/anakan. Perbanyakan melalui biji agak sulit dilaksanakan karena penebangan tegakan sagu baruk umumnya dilakukan sebelum terbentuk buah atau sebelum buah matang, sehingga pilihan terbaik perbanyakannya dengan tunas. Tunas sagu baruk terdiri atas dua jenis yakni tunas batang dan tunas akar. Kedua jenis tunas ini dapat ditanam langsung di lapangan yang lahannya sudah diolah, namun untuk mendapatkan hasil yang baik tunas atau anakan disemai terlebih dahulu, dan dipindahkan ke lapangan setelah tunas membentuk akar. Anakan sagu baruk dengan jumlah daun 4-5 helai adalah ukuran yang layak untuk bibit. Tunas batang dan tunas akar yang disemai selama 6 bulan tumbuh menjadi bibit masing-masing tunas batang 90 % dan tunas akar 75 %. Tunas batang tumbuh lebih baik dari tunas akar, dikarenakan pada tunas batang berada pada fase pertumbuhan optimal karena mendapat suplai makanan dari akumulasi pati dari batang. Tunas batang dan tunas akar dipisahkan dari pohon induk dengan hatihati dan disemai selama 4 bulan, setelah berdaun 4-5 helai bibit sudah dapat dipindahkan di kebun, yang sebelumnya terlebih dahulu dibuat lubang penanaman dengan ukuran 40x40x40 cm, jarak tanam 9x9 m. Penanaman dilakukan pada musim penghujan, untuk mengurangi bibit yang
150 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
mati. Apabila bibit sudah tumbuh normal, pekerjaan selanjutnya adalah pembersihan sekitar pertanaman dengan radius 1 m, yang dilakukan setiap tiga bulan (Maliangkay, 2010). B. Pemeliharaan Tanaman Pada saat tanaman berumur 4 tahun, perlu dilakukan penjarangan anakan (tunas batang dan tunas akar). Untuk pertumbuhan yang optimal, penjarangan anakan dilakukan secara kontinyu setiap tiga bulan bersamaan dengan pembersihan kebun terutama areal sekitar pertanaman sagu baruk, dan dibiarkan tumbuh sagu baruk sebanyak 5-6 tegakan. Pada penjarangan anakan, hijauan anakan sagu baruk dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi. Penjarangan dilakukan sampai tegakan sagu baruk siap tebang. Pada saat tanaman muda umur 1-4 tahun dapat diusahakan, tanaman semusim di antara sagu baruk seperti jagung dan kacang-kacangan, sehingga areal kebun dapat dimanfaatakan dengan baik, dapat pula ditanami tanaman penghijauan seperti lamtoro dan lamtorogung untuk menghasilkan hijauan pakan ternak. Setelah umur 5 tahun atau lebih penanaman tanaman semusim di antara sagu baruk dan tanaman penghijauan tidak efektif, karena mahkota daun sagu baruk dan tanaman penghijauan sudah melebar dan menutup areal. Pola tanam sagu baruk sebaiknya dilakukan secara polikultur atau tanaman campuran sagu baruk dengan tanaman perkebunan dan sagu baruk dengan tanaman kehutanan. Sagu baruk ditanam diantara kelapa dan tanaman kayu dengan jarak menyesuaikan jarak tanam kelapa yakni 9x9 m dan 10x10 m, jarak tanam dengan tanaman kehutanan 9x9 m, agar tanaman perkebunan, kehutanan dan sagu baruk memperoleh sinar matahari yang cukup. Pada pengusahaan sagu baruk dan tanaman penghijauan sebaiknya dilakukan pemeliharaan ternak sapi karena tersedia cukup banyak hijauan pakan ternak, yang berasal dari penjarangan anakan dan pemangkasan daun dewasa. Selain itu, sapi yang dipelihara pada areal sagu baruk akan menghasilkan kotoran sapi. Kotoran sapi, ampas sagu dan daun kering dapat diolah menjadi pupuk organik.
151
C. Pemanenan Sagu baruk dengan tinggi pohon (diukur dari pangkal batang sampai dengan pangkal daun terakhir) minimal 7 m sudah dapat dipanen atau ditebang. Umumnya panen sagu baruk atau penebangan dilakukan pada tinggi pohon berkisar 8-12 m.
Perencanaan penebangan tidak mutlak
tergantung pada saat panen yang tepat, melainkan dapat digunakan indikasi tinggi pohon, sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan eksploitasi, terutama pada pengolahan tepung sagu baruk skala menengah (Lay, et al, 1998). V. Penutup Sagu baruk mempunyai kemampuan tumbuh pada berbagai lahan kritis, daerah berlereng yang cukup curam, dan mampu tumbuh normal pada musim kemarau panjang, walaupun tanpa budidaya yang intensif dapat tumbuh dan berproduksi. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberikan manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA Barri, N. L., D. Allorerung., A. Ilat., dan J. Mawikere. 2001. Survey keragaman tanaman dan ekosistem habitat sagu baruk di Kabupaten Sangihe Talaud. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Lay, A., D. Allorerung., Amrizal dan N.L. Barri. 1998. Pengolahan sagu berkelanjutan. Prosiding Seminar Regional Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Februari 1998, hlm. 217-230. Lay, A. 2002. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu. Paten. No. ID 0 0000 367 S.
152 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pendayagunaan Sagu Baruk……. Abner Lay
Lay, A. 2012. Perancangan teknik proses produksi pupuk organik dari limbah kelapa kapasitas 2 ton/hari untuk peningkatan nilai tambah. Laporan Akhir Penelitian Koordinatif TA. 2011. Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Serpong. Maliangkay, R.B. dan Y. R. Matana, 2005. Budidaya dan pemanfaatan sagu baruk. Buletin Palma 29:73-79. Maliangkay, R.B. 2010. Pengaruh asal anakan terhadap pertumbuhan bibit sagu baruk. Buletin Palma (38):95-99. Mashud, N. 2012. Pengembangan komoditas sagu di sekitar wilayah operasional PT Kaltim Prima Coal di Sangatta Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma Manado, Tahun 2012. Marianus. 2011. Tanaman sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan lokal di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Laporan Penelitian Pascasarjana Fakultas Pertanian Brawijaya, Malang. Miftahorachman. 2009. Potensi sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 15(3):14-16. Bogor. Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (palmae). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Prabowo, S., H. Djojohadikusumo, R. Pambudy, E. S. Thohari, Frans BMD., R. Purnama dan W. Purnama. 2009. Membangun kembali Indonesia Raya; Haluan baru menuju kemakmuran. Institut Garuda Nusantara (Pusat Studi Strategis Indonesia). Jakarta, hal. 70-72; 170-171. Pratiwi. 1999. Pengelolaan daerah aliran sungai untuk menunjang konservasi tanah, air dan keragaman hayati. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hlm.56-63. Purwanto, I. dan H. H. Siringoringo, 1999. Upaya pelestarian potensi kesuburan tanah hutan. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hlm.56-63
153
Umiyasih, U., D. Pamungkas., A. Rasyid., Y.N. Anggraeny., D. M. Dikman dan I.W. Mathius. 2008. Pengaruh level penggunaan ampas pati aren (Arenga pinnata Merr) dalam ransum terhadap pertumbuhan sapi peranakan ongole. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008. hlm. 186-191. Widardo, S.H. dan N. Tumbel. 1998. Prospek pengembangan pengolahan sagu baruk. Prosiding Seminar Regional Hasil Penelitian Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Pebruari 1998. hlm. 206-116. Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Lyli Publisher. Yogyakarta.
154 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
KEKAYAAN, PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN JENIS FLORA DI TANAH PAPUA1 Krisma Lekitoo Balai Penelitian Manokwari, Jl. Inamberi Pasir Putih Susweni, Manokwari , Papua Barat 98312. No. telp. (0986) 213437, faks (0986) 213441
ABSTRAK Hutan hujan tropis Papua merupakan salah satu formasi hutan hujan tropis Indomalaya yang dikenal dengan sebutan Papuasia dan kaya akan jenis, genera dan famili yang khas dan tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Jumlah flora Papua diperkirakan 20.000 – 25.000 jenis (Jhons, 1997) dengan 1.465 marga dan paling sedikit 142 marga bersifat endemik, dimana 50 – 90% merupakan jenis endemik (De Fretes, 2000), baik endemik dalam skala terbatas maupun luas. Kekayaan flora tersebut baru dimanfaatkan dalam skala kecil dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun yang lalu, namun penelitian dan pendokumentasian serta hasil kajian etnobotani tersebut khususnya bahan obatobatan dan bahan pangan yang berasal dari biji dan buah-buah hutan tidak mendapat perhatian dan tindak lanjut oleh pemerintah saat ini. Di sisi lain ancaman terhadap kejayaan flora tersebut di alam terus meningkat akibat adanya pembukaan hutan untuk lahan pertanian, permukiman dan pemekaran wilayah serta pemanenan hasil hutan kayu oleh HPH. Pelestarian keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua dapat dipertahankan dengan meningkatkan perlindungan dan perluasan kawasan konservasi, rehabilitasi lahan, mencegah pembukaan hutan secara besar-besaran dan illegal logging. Kata kunci : Flora, Papua
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
155
I. Pendahuluan Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan alam tropika basah yang terbesar dan terkaya akan keragaman flora dan fauna. Sekitar 25.000 – 30.000 jenis (spesies) tumbuhan berbunga atau berbiji menghuni hutan alam Indonesia dan sekitar 4.000 jenis berupa pohon, yakni tumbuhan berkayu yang memiliki batang utama yang jelas terpisah dari tajuknya. Keragaman flora lainnya adalah lumut, ganggang, paku-pakuan, epifit, palem, bambu dan tumbuhan bawah. Kekayaan tersebut disebabkan oleh biogeografi Indonesia yang membentang di antara 2 kawasan biogeorafi utama yaitu Indomalaya dan Australasia. Dari sekian banyak flora tersebut diperkirakan sekitar 30 % flora belum diberi nama ilmiah (Sastrapradja dkk, 1989). Untuk mengerjakan tugas tersebut, Indonesia membutuhkan paling sedikit 60 taksonom yang bekerja “full time” selama 30 tahun untuk menginventarisasi flora Indonesia. Hutan hujan tropis Papua merupakan salah satu formasi hutan hujan tropis Indomalaya yang kaya akan jenis, genera dan famili yang khas dan tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Jumlah flora Papua diperkirakan 20.000 – 25.000 jenis (Jhons, 1997) dengan 1.465 marga dan paling sedikit 142 marga bersifat endemik, dimana 50 – 90% merupakan jenis endemik (De Fretes, 2000), baik endemik dalam skala terbatas maupun luas. Menurut Primak (1998), keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktorfaktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua kaya akan jenis, genera (marga) dan famili yang bersifat khas, namun masih sedikit yang diketahui manfaatnya bagi masyarakat Papua, baik sebagai bahan makanan, industri maupun obat-obatan. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tanaman berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini Kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, dikenal dan diketahui informasi botani, biologis dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatan dalam rangka
156 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor pembatas berupa bentangan lahan yang sangat luas, topografi yang cukup berat dan kurangnya penelitian atau ekspedisi di bidang taksonomi serta faktor politik dan keamanan. Faktor pembatas lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia di bidang taksonomi, waktu dan biaya yang disebabkan oleh kurangnya
perhatian
pemerintah
akan
pentingnya
data
base
keanekaragaman hayati flora di Tanah Papua. Pepatah “tak kenal maka tak sayang” mempunyai makna tertentu. tumbuhan
yang
ada,
kita
tak
Tanpa mengenal jenis-jenis
mungkin
mengetahui
potensi,
keanekaragaman maupun sifat-sifat lainnya Perubahan lingkungan hutan menjadi perladangan, pertanian, industri, pemukiman, jalan, padang alang-alang dan sebagainya mengakibatkan berkurang atau makin kecilnya populasi jenis-jenis tertentu. Beberapa jenis endemik dan langka mungkin sudah punah di habitat aslinya sebelum diketahui potensinya. II. Keanekaragaman Jenis Flora di Papua Sejarah Geologi pembentukan Pulau Papua yang rumit serta pengaruh ciri fisiografi mengakibatkan Tanah Papua memiliki lingkungan habitat dengan zona-zona vegetasi terlengkap di Asia-Pasifik mulai dari daerah pantai hingga alpin. Adanya pengaruh adaptasi, mengakibatkan flora Papua memiliki karakter-karakter yang sangat unik.
Keadaan ini telah
menciptakan kekayaan flora yang sangat tinggi di Tanah Papua Menurut Pigram dan Davis (1987), faktor penyebab utama tingginya keragaman hayati dan endemisitas flora dan fauna di Papua adalah sejarah pembentukan pulau tersebut. Pulau New Guinea memiliki 32 lempengan tektonik, setiap lempengan memiliki kharakteristik khusus sehingga mempengaruhi jenis flora yang hadir di atasnya.
Selain itu wilayah
geografis Papua yang berbentuk pulau menyebabkan daerah ini memiliki keragaman jenis flora yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia karena adanya isolasi geografi berupa jarak (hamparan dataran), gunung
157
dan laut yang cukup luas. Keragaman jenis flora di Papua juga sangat dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya. Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) memiliki hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya. Tanah Papua juga merupakan salah satu misteri (sesuatu yang tidak diketahui) terakhir di dunia yang paling besar, yang menantang untuk dipahami, merangsang untuk dijelajahi dan menantang pula untuk dikembangkan (Petocz, 1987). Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah : 1. Paijsman (1976), marga Angiospermae sebanyak 1.465 telah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan 9.000 spesies 2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 spesies 3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora seluruh Papuasia (semua famili) diduga melampaui 20.000 spesies 4. Jhons (1997), Keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat tinggi 20.000-25.000 spesies. Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan di Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sbb: 1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 spesies 2. Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 spesies namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh 3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 spesies tumbuhan berpembuluh 4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 spesies tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu.
158 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara 6. Kepulauan Sunda Kecil : belum dapat diperkirakan jumlahnya. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda tahun 1817 1950 (Steenis-Kruseman, Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia, Flora Malesia I (1). 1950) dan masa pemerintahan Indonesia tahun 19502008 (Flora Malesiana Bulletin 1–13. 1951– 2008), secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia TAHUN 1817 - 1950
TAHUN 1951 - 2008
LUAS 2 (KM )
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM
RATA-RATA NOMOR KOLEKSI PER 2 100 KM
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HIDUP
2.980.155
196.755
3,6
2.150 (Papua)
946 (Papua)
Maluku (Moluccas)
63.575
27.525
43
22.216
1.173
Sulawesi (Celebes)
182.870
32.350
18
15.420
1.834
Nusa Tenggara
98.625
24.546
25
4.365
3.638
Kalimantan (Borneo)
739.175
91.550
12
28.820 (Kalimantan)
2.739 (Kalimantan)
Jawa (Java)
132.474
247.522
25
4.363
3.638
Sumatera (Andalas)
479.513
87.900
18
26.966 (Sumatera)
3.357 (Sumatera)
PULAU
Papua (New Guinea)
Sumber : Steenis-Kruseman, 1950 dalam Flora Malesiana I dan Flora Malesiana Bulletin 1-13, 1950-2008 dalam Kartawinata, 2010
159
Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan spesies tumbuhan, maka Papua menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan wilayah biogeografi lainnya, diikuti Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan
tersebut
secara
lengkap
disajikan
pada
Tabel
2.
Perbandingan tersebut akan berubah sejalan dengan laju perkembangan penelitian taksonomi di masing-masing daerah di Indonesia. Tabel 2. Kekayaan dan Keendemikan Flora di Tanah Papua dan Beberapa Daerah di Indonesia Persentase spesies Wilayah
Kekayaan spesies
endemik (%)
Sumatera (Andalas)
820
11
Jawa (Java)
630
5
Kalimantan (Borneo)
900
33
Sulawesi (Celebes)
520
7
Sunda kecil
150
3
Maluku (Moluccas)
380
6
Papua (Papuasia)
1030
55
Sumber : FAO/Mackinnon (1981) dalam Kusmana dan Hikmat 2005
Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan RI, belum banyak penelitian mengenai keanekaragaman jenis flora dan potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial. A. Fitogeografi Flora di Tanah Papua Pada umumnya jenis flora di Tanah Papua tumbuh pada habitat hutan primer dan sekunder dengan tipe ekologi adalah hutan yang dipengaruhi oleh faktor edafis dan faktor iklim baik penyebaran hutan secara horisontal maupun vertikal. Penyebaran flora di Tanah Papua secara umum sangat berkaitan dengan penyebaran flora di wilayah lainnya di Indonesia dan negara-negara
160 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
di Asia Tenggara. Khusus untuk wilayah Indonesia, berdasarkan geografi wilayah, penyebaran flora di Indonesia terbagi menjadi : 1. Flora Jawa (Java) 2. Flora Kalimantan (Borneo) 3. Flora Sumatra (Andalas) 4. Flora sulawesi (Celebes) 5. Flora Bali dan Nusa Tenggara (Kepulauan Sunda kecil) 6. Flora Maluku (Moluccas) 7. Flora Papua (Papuasia) Penyebaran flora di berbagai wilayah di Indonesia telah menciptakan berbagai tipe hutan. Tipe hutan merupakan suatu istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Umumnya tipe hutan dibedakan berdasarkan sebaran di setiap negara sesuai dengan kawasannya. Penyebaran flora di Papua sangat dipengaruhi oleh isolasi geografi berupa lautan yang sangat luas, pegunungan yang sangat tinggi dan bentangan alam lainnya seperti sungai, lembah yang luas, tebing yang curam dan patahan-patahan geologi yang ekstrim. Faktor lainnya yang juga sangat mempengaruhi penyebaran flora adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran tumbuhtumbuhan pada suatu wilayah adalah : 1. Faktor Iklim yang meliputi ; Curah hujan, Suhu, Kelembaban atmosfer, angin, cahaya dan kesetimbangan energi 2. Faktor Fisiografi dan edafik yang meliputi ; Topografi, Faktor edafik (tanah dan lapis alas geologi) Faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut (Syafei, 1994). Selanjutnya Marsono (1977) menyebutkan bahwa kehadiran suatu jenis pada suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ; habitat, dimana habitat akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang
161
mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, waktu yang diperlukan untuk mengatasi hal ini, dimana dengan berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada di sekitarnya. Akibat dari sejarah geologi dan faktor lingkungan, Papua terbagi menjadi empat wilayah utama keragaman hayati yaitu : daerah utara, daerah selatan, daerah kepala burung (Vogelkop) dan daerah dataran tinggi (Muller, 2005). Pada daerah-daerah tersebut, sejarah geologis yang berbeda menghasilkan vegetasi yang berbeda dan pada tingkat tertentu jenis hewannyapun berbeda.
Keadaan lingkungan yang spesifik
dan
adanya penghalang (isolasi geografi) untuk menyebar, maka kebanyakan jenis tumbuhan dan hewan mempunyai wilayah penyebaran yang terbatas yang menyebabkan tingginya keendemikan. B. Potensi Tumbuhan Endemik di Papua Spesies endemik merupakan gejala alami sebuah biota untuk menjadi unik pada suatu wilayah geografi tertentu. Sebuah spesies bisa disebut endemik jika spesies tersebut merupakan spesies asli yang hanya bisa ditemukan di sebuah tempat tertentu dan tidak ditemukan di wilayah lain. Wilayah di sini dapat berupa pulau, negara, atau zona tertentu. Perbedaan yang harus diperhatikan adalah spesies asli belum tentu spesies endemik. Namun spesies endemik pastilah spesies asli wilayah tersebut. 1. Tumbuhan Berkayu Tingkat Pohon Menurut Whitemore, Tantra dan Sutisna (1997), berdasarkan hasil kompilasi spesimen dari BO dan BZG, laporan penelitian Badan Litbang Kehutanan, penelusuran monograf, publikasi ilmiah dan hasil revisi serta masukan dari beberapa ahli taksonomi tumbuhan, diketahui bahwa di Tanah Papua untuk tumbuhan berkayu dengan kriteria diameter 10 cm up dan tinggi lebih dari 5 m, terdapat 86 Famili tumbuhan berkayu yang terdiri dari 359 genus dan 2.323 spesies. Hasil kompilasi tumbuhan berkayu tingkat pohon tersebut belum lengkap. Hal ini disebabkan karena spesimen yang ada sangat terbatas sehingga untuk beberapa famili seperti Lauraceae, Myrtaceae, Rubiaceae
162 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
dan Rutaceae yang merupakan famili dengan genus dan spesies yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga hasil ini bukanlah hasil akhir dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan dan kemajuan penelitian di bidang taksonomi tumbuhan khususnya tumbuhan berkayu tingkat pohon. Berdasarkan hasil kompilasi tersebut, diketahui bahwa jenis tumbuhan berkayu tingkat pohon yang endemik di Pulau New Guinea atau Tanah Papua (Papua Barat yang termasuk wilayah Negara Republik Indonesia dan Papua Timur yang termasuk wilayah Negara Papua New Guinea) adalah 53 famili yang terdiri dari 175 genus dan 1.205 spesies. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penyebaran tumbuhan tidak mengenal batas negara sehingga untuk tumbuhan berkayu tingkat pohon endemik di New Guinea dianggap sama untuk wilayah Republik Indonesia dan Papua New Guinea. Hasil ini masih perlu dibuktikan lagi, namun lambatnya penelitian taksonomi yang disebabkan oleh faktor pembatas sumberdaya manusia, waktu dan biaya dikhawatirkan akan mengakibatkan beberapa jenis endemik akan punah sebelum sempat diketahui dan dibuktikan.
Diospyros papuana
Alstonia beatricis
Campthostemon schultzii
Eucalyptus pelita Avicennia eucalyptifolia Intsia acuminata Gambar 1. Beberapa jenis tumbuhan berkayu endemik terbatas dan luas di Tanah Papua
163
Sebagai contoh adalah jenis Manilkara napali
van Royen yang
penyebarannya di Teluk Yotefa Kota Jayapura, ketika tahun 2008 BPK Manokwari melakukan kerjasama penelitian dengan Royal Botanical Garden Kew Inggris, jenis ini sudah tidak ditemukan lagi karena lokasi terdapatnya jenis ini berdasarkan catatan Flora Malesiana, kini sudah dijadikan Pasar Yotefa. 2. Tumbuhan Non Kayu Belum banyak Informasi tentang tumbuhan non kayu (non woody plant) endemik untuk wilayah Tanah Papua. Hal ini disebabkan karena kurangnya penelitian taksonomi di wilayah ini, khususnya untuk tumbuhan non kayu. Hal ini menyebabkan hanya jenis-jenis vegetasi non kayu tertentu saya yang telah diketahui dengan baik oleh masyarakat karena jenis-jenis tersebut sering diman faatkan dan bernilai ekonomis. Secara umum tumbuhan non kayu yang endemik di Papua belum banyak diketahui. Jenis-jenis yang baru diketahui adalah jenis yang sudah dimanfaatkan secara budaya oleh masyarakat adat Papua dan jenis-jenis yang dikerjakan oleh ahli taksonomi, dalam hal ini, jenis-jenis tersebut dapat terungkap karena ahlinya memang ada dan pernah melakukan penelitian di wilayah Papua. Hasil penelusuran sementara diketahui bahwa sekitar 120 jenis tumbuhan non kayu adalah jenis endemik di Tanah Papua. Sama halnya dengan tumbuhan berkayu, jenis-jenis tumbuhan non kayu endemik Tanah Papua akan berubah seiring dengan laju perkembangan penelitian taksonomi di daerah ini.
164 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
Grammatophyllum speciosum
Borassus heineanus
Sararanga sinuous
Sommieria leucophylla
Pandanus browsimus
Mucuna novoguinensis
Gambar 2. Beberapa jenis tumbuhan non kayu endemik terbatas dan luas di Tanah Papua
C. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya Saat ini jenis-jenis tumbuhan endemik (kayu dan non kayu) tersebut, belum semua dikenal dan diketahui dengan baik oleh ilmuwan lokal maupun nasional. Hal ini disebabkan oleh laju penelitian taksonomi di daerah Papua yang sangat lambat. Disisi
lain
banyak
kawasan
konservasi
yang
arealnya
telah
dimanfaatkan untuk pemekaran kabupaten, sebagai contoh Kabupaten Tamrau yang wilayahnya sebagian besar merupakan Cagar Alam Pegunungan Tamrau Utara. Tidak berlebihan jika ada jenis-jenis flora dan fauna yang terlanjur punah sebelum diketahui dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. III. Pemanfaatan Jenis Flora Flora Tanah Papua dimasukkan ke dalam subdivisi timur dari pembagian daerah flora Indo-Malesiana dan merupakan daerah yang paling kaya akan tanaman berguna bagi umat manusia (Van Bolgooy, 1976) dalam Petocz (1987). Beberapa jenis diantaranya menghasilkan buah yang dapat dimakan, beberapa jenis daun yang setelah dikeringkan dengan bermacam-
165
macam cara, dipakai sebagai atap bangunan, bungkus rokok atau dianyam menjadi tudung hujan dan tikar. Selain itu ada ratusan daftar nama tanaman yang dimanfaatkan oleh penduduk asli Tanah Papua untuk tujuan macam-macam,
termasuk
pengobatan,
perangsang
dan
narkotik,
keagamaan dan ilmu sihir, senjata dan peralatan, bangunan rumah dan perahu, bahan pakaian dan baju upacara atau penghias biasa (Powell, 1976). Bahkan ada diantara beberapa spesies yang baru sedikit diketahui ini yang dipakai oleh orang modern. A. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 2762, jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Papua. Dari 276 suku bangsa dan bahasa tersebut, 5 diantara bahasa-bahasa asli tersebut sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Ini berarti tinggal 271 suku bahasa di Tanah Papua. Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk Budaya dan tatanan adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu warisan tersebut sangat perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau 2
Data Summer institute of Linguistik, tahun 2011
166 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. B. Perkembangan Penelitian Etnobotani Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed pada Tahun 1939 melakukan penelitian etnobotani di Jayapura dan sekitarnya, Brass pada Tahun 1941, melakukan penelitian etnobotani di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kaberry pada tahun yang sama juga melakukan penelitian di Jayapura dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada Tahun 1955 di Mappi, Held pada Tahun 1957 di Waropen, Oomen dan Malcolm Tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen, Oosterwal pada Tahun 1961 di wilayah Mamberamo dan sekitarnya, Couvee et al pada Tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada Tahun yang sama di Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada Tahun 1963 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya) Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani selanjutnya dilakukan oleh Serpenti pada Tahun 1965 di Pulau Kimam, Lea Tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder Tahun 1971 di Paniai dan sekitarnya, Barth Tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta Hatanaka dan Bragge Tahun 1973 di daerah yang sama. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan. 115 jenis tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magic, 39 jenis dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis
167
dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan sebagai obat malaria. Penelitian dan pendokumentasian serta hasil kajian etnobotani tersebut khususnya bahan pangan yang berasal dari biji dan buah-buah hutan tidak mendapat perhatian dan tindaklanjut oleh pemerintah saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah. Disisi lain ancaman terhadap keberadaan jenis tersebut di alam terus meningkat akibat adanya pembukaan hutan untuk lahan pertanian, pemukiman dan pemekaran wilayah serta pemanenan hasil hutan kayu oleh HPH. Kekayaan flora tersebut merupakan salah satu tantangan terbesar bagi para ilmuwan untuk membuka tabir kerumitan yang dikandungnya, dan suatu tanggung jawab besar dari pemerintah untuk melindungi kekayaan alami tersebut, hingga dapat diteliti dan dimengerti, untuk kepentingan umat manusia khususnya masyarakat di Tanah Papua. C. Kondisi Saat Ini dan Permasalahannya Saat ini bentuk pemanfaatan jenis flora oleh pemerintah khususnya untuk tumbuhan berkayu tingkat pohon adalah dengan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap jenis tumbuhan berkayu yang bernilai ekonomis (komersil) untuk tujuan utama ekonomi tanpa memperhatikan aspek ekologi dan sosial. Hal ini semakin menimbulkan kesan bahwa pemerintah telah melupakan aspek ekologi dan sosial dalam pengelolaan hutan produksi di Papua, pemerintah terkesan hanya mengejar ekonomi saja. Hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang HHBK dan etnobotani semakin dilupakan untuk dikembangkan bahkan tidak digubris sama sekali. Namun jika dicermati secara baik, Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTS-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan, nampak jelas bahwa pengelompokan jenis kayu tersebut hanya berlaku untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelompokan jenis kayu tersebut tidak berlaku untuk wilayah Papua. Sebagai contoh :
168 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
1. Pengelompokan jenis kayu Meranti atau Komersil Satu, pengelompokan ini sebenarnya tidak berlaku untuk Wilayah Papua, hal ini disebabkan karena kelompok meranti umumnya merupakan nama perdagangan untuk jenis Shorea spp., sementara di Papua tidak terdapat jenis Shorea spp. 2. Banyak jenis kayu di Papua yang telah lama dieksploitasi sebagai jenis kayu komersil tetapi jenis tersebut belum terdaftar atau terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTS-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Komersil tersebut. Sebagai contoh jenis Flindersia pimentelliana dan Rhus taitensis, kedua jenis ini belum terdapat pada surat keputusan tersebut. 3. Dasar dalam pengelompokan jenis tersebut belum jelas sehingga perlu adanya pengelompokan ulang dengan dasar yang lebih ilmiah. Hal ini untuk menghindari kerugian bagi negara, karena ada jenis-jenis tertentu yang seharusnya dimasukan sebagai kayu indah namun karena keterbatasan pengetahuan maka jenis tersebut dimasukan sebagai Kelompok Komersil Satu atau Kelompok Komersil Dua. IV. Pelestarian (Konservasi) Flora di Papua Tanah
Papua
merupakan
salah
satu
daerah
yang
memilki
keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui 10.000 dalam tahun-tahun mendatang. Jika dibandingkan dengan daerah tropik lainnya jumlah tumbuhan di Papua mencapai 246 famili dari kurang lebih 1.500 marga. Paling sedikit 124 marga tanaman berbunga di Tanah Papua ternyata endemis (dibandingkan dengan 59 marga endemis di Kalimantan, 17 marga di Sumatera dan 10 marga di Jawa). Meskipun kebanyakan tanaman mewakili suku dan marga yang sudah terkenal, dan keendemikan marga dan keluarga flora sangat rendah, tetapi keendemikan spesies di Tanah Papua, luar biasa tingginya dan sangat menakjubkan, kira-kira 90% (Hope, 1982) dalam Petocz (1987). Ekosistem hutan hujan tropis basah dataran
169
rendah merupakan ekosistem yang paling kaya (memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi), tetapi kepadatan pohon tiap hektarnya sangat kecil. Untuk itu sangat diperlukan adanya tindakan konservasi berupa perlindungan untuk memantapkan demografi dan populasi jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa makin tinggi letak suatu tempat di atas permukaan laut, keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan semakin menurun tetapi keendemikan jenis tumbuh-tumbuhan semakin tinggi. Meskipun Tanah Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tanaman berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti. Menurut Conservation International (CI), di Papua belum banyak ilmuwan yang memiliki kemampuan untuk secara cepat mengumpulkan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi keanekaragaman hayati yang sangat penting untuk membuat
rekomendasi konservasi yang memadai.
Menyadari
bahwa konservasi di Tanah Papua terhambat oleh kurangnya informasi dasar tentang keragaman, distribusi dan kelimpahan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), maka Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa pengembangan kapasitas ilmuwan lokal dan pengumpulan informasi biologi adalah sangat diperlukan untuk memastikan pemberian rekomendasi yang tepat bagi Tanah Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat). Khusus untuk tumbuhan rendahnya pengetahuan mengenai taksonomi dan distribusi vegetasi menjadi hambatan utama untuk menentukan status konservasi dari sebagian besar spesies yang ditemukan dalam setiap penelitian di Tanah Papua (De Fretes, 2000). Di era otonomi khusus saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menginventarisasi kembali semua potensi sumber daya alam, khususnya potensi tumbuhan guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah yang
akhirnya bermuara bagi kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tumbuhan yang berdaya guna dan pencegahan terhadap dampak-dampak negatif yang mengancam kelestarian jenis-jenis tumbuhan tersebut di masa yang datang. Guna mendukung hal tersebut, perlu upaya peningkatan SDM maupun upaya pengenalan, pengembangan dan peningkatan sumber daya
170 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
tumbuhan itu, disamping pemahaman yang mendalam tentang arti dan peranannya bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, sehingga pembangunan yang dilaksanakan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan sumber daya alam hayati tersebut. Saat ini mungkin kita masih terlena dengan adanya euforia otonomi khusus di Tanah Papua yang notabene secara implisit menyebabkan dana tersedia cukup banyak bagi kegiatan pembangunan di daerah ini. Adanya dana yang banyak tersebut mengakibatkan kita lupa akan sumber-sumber pendapatan lainnya yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga ada kesan bahwa kita cenderung melupakan pundi-pundi tersebut dan bahkan kita bingung dalam menentukan kegiatan prioritas karena begitu banyak dana yang tersedia. Akan sangat ironis sekali jika kita mengetahui bahwa suatu tumbuhan di Tanah Papua bernilai ekonomis tetapi ketersediaannya di hutan telah habis karena adanya kegiatan pembangunan. Kita hanya sebatas bangga dan tahu saja bahwa daerah kita “Tanah Papua” memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi. Namun kebanggaan kita akan lenyap dan pupus seketika begitu ada orang atau pihak lain yang bertanya tentang kekayaan flora apa saja yang ada di dalam hutan kita yang tercinta ini. Mungkin ada jenis-jenis flora tertentu (sedikit, banyak atau sangat banyak) yang kita tidak akan tahu dan kenal sampai akhir hidup kita. Oleh karena itu kadang-kadang muncul ungkapan yang bersifat ironis tetapi sangat perlu untuk dimaklumi yaitu “lebih baik Belanda menjajah kita 20 tahun lagi, supaya kita tidak perlu bekerja keras mengungkapkan kekayaan keanekaragaman hayati flora kita secara Nasional dan khususnya di Tanah Papua yang tercinta ini”. A. Ancaman Terhadap Keanekaragaman Flora Beberapa penyebab penurunan keanekaragaman hayati flora di Papua adalah : penurunan kualitas habitat akibat campur tangan manusia, (perambahan pemekaran
hutan, okupasi daerah,
lahan
pembukaan
dan
lahan
perladangan yang
berpindah),
berlebihan
untuk
pengembangan permukiman, introduksi jenis, polusi udara, perubahan
171
iklim global, perluasan areal pertanian dan industri kehutanan. Penurunan keanekaragaman hayati dapat diakibatkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Ancaman utama bagi keanekaragaman hayati adalah penyusutan akibat kepunahan. Penyebab penyusutan keanekaragaman hayati adalah kegiatan manusia yang mengubah dan merusak habitat alam untuk tujuan dan kepentingannya. Aspek yang sangat serius dari penyusutan keanekaragaman hayati adalah kepunahan spesies. Komunitas dapat mengalami degradasi dan reduksi luas areal persebaran, tetapi selama spesies asalnya masih bertahan dan tingkat kemampuan reproduksi belum terancam, komunitas tersebut berpotensi untuk pulih kembali. Sejalan dengan itu keanekaragaman genetik dalam spesies dapat tereduksi karena penyusutan ukuran populasi. Spesies berpotensi untuk menimbulkan keragaman genetik melalui mutasi, seleksi alam dan kombinasi baru. Sekali suatu spesies tersingkir dan punah, keunikan informasi genetik yang terkandung di dalam DNA dan kombinasi khusus karakter-karakter yang dimiliki sulit untuk dipulihkan dan diperoleh kembali. Sekali suatu spesies punah, kesempatan untuk berevolusi secara berlanjut akan hilang, komunitas hayati semakin miskin dan kandungan nilai pentingnya bagi umat manusia yang belum terungkap tak akan pernah dimanfaatkan. 1.
Kepunahan Global dan Kepunahan Lokal Kata punah (”extinct”) dapat beragam artinya tergantung pada konteks
pembahasan.
Satu spesies dinyatakan punah apabila tidak satupun
individu dari spesies tersebut masih ditemukan hidup di bumi.
Istilah
punah di alam digunakan untuk menyatakan suatu spesies yang sudah tidak ditemukan lagi di lingkungan alami, tetapi masih dibudidayakan atau dipelihara di kebun binatang atau kebun raya. Kedua tipe kepunahan tersebut dinyatakan sebagai punah global untuk membedakan dari istilah punah lokal. Suatu spesies dinyatakan punah lokal apabila spesies tersebut tidak lagi ditemukan di daerah dimana diketahui pernah ada, tetapi masih ditemukan di daerah lain.
Banyak spesies yang
172 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
telah mengalami
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
kepunahan lokal di lingkungan persebarannya. Spesies-spesies yang sebelumnya menempati suatu wilayah persebaran yang luas, kini hanya menempati kantong wilayah persebaran yang sempit dan terbatas. Istilah punah ekologi atau punah lokal
banyak digunakan oleh biologiwan
konservasi untuk menggambarkan penyusutan jumlah spesies yang sangat mempengaruhi keseimbangan komunitas. 2. Laju Kepunahan di Pulau Sepanjang sejarah kehidupan, telah dibuktikan bahwa kecepatan kepunahan spesies terjadi di Pulau. Tidak kurang dari 90% tumbuhan endemik yang hidup di pulau telah punah atau dalam keadaan rawan untuk punah. Spesies-spesies di pulau sangat rentan terhadap kepunahan karena pada umumnya merupakan spesies endemik. Suatu spesies dinyatakan endemik apabila persebarannya di alam pada wilayah tertentu. Sebetulnya suatu spesies dapat endemik pada daerah persebaran yang luas, namun istilah endemik lebih sering digunakan untuk spesies yang persebarannya terbatas pada daerah yang sempit. Banyak spesies endemik hanya ditemukan atau terdapat di suatu pulau tertentu saja dan tidak ditemukan di pulau-pulau lain. Bila komunitas di pulau
tersebut dirusak dan
dihancurkan atau diburu dan dipanen secara intensif, spesies tersebut terancam punah. Sebaliknya, spesies di daratan (pengertian daratan mencakup benua atau pulau dengan luas wilayah lebih dari 1 juta km2.) pada umumnya memiliki banyak populasi dengan daerah persebaran luas sehingga apabila kehilangan suatu populasi tidak terjadi malapetaka bagi spesies tersebut. B. Konservasi Pada umumnya tumbuhan endemik baik tumbuhan berkayu (tingkat pohon) maupun non kayu sudah dikategorikan pada jenis flora yang dilindungi. Dengan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi jenis-jenis endemik tersebut dan dampak pemanfaatan hutan dan habitat flora endemik
tersebut
menyebabkan
kelangkaan
populasi
dan
upaya
penanggulangannya belum teratasi dengan baik.
173
Salah satu strategi dalam pelestarian tumbuhan endemik di Tanah Papua adalah dengan penetapan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) jenis endemik Tanah Papua berdasarkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Jenis Endemik baik di Papua maupun di Papua Barat untuk selanjutnya diterbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Perlindungan terhadap Jenis-Jenis Tumbuhan Endemik tersebut. C. Penetapan Kawasan Konservasi Salah satu cara yang efektif bagi perlindungan jenis dan populasi flora endemik adalah dengan cara penetapan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Namun dengan terkonsentrasinya jenis-jenis endemik di Pulau atau di habitat tertentu di Tanah Papua yang spesifik menyebabkan belum semua areal sebaran jenis endemik dapat terwakili sebagai kawasan konservasi. Tabel 3. Luas kawasan konservasi di Papua (Dephut, 2010) Kawasan Konservasi Cagar Alam
Provinsi Papua (ha)
Papua Barat (ha)
654.295,00
1.808.482, 93
Suaka Marga Satwa
2.514.000,00
65.170, 53
Taman Nasional
2.919.410,00
1.453.500,00
1.750,00
22.848,27
6.089.455,00
3.350.001,73
Taman Wisata Alam Total
Apabila dibandingkan dengan luas tutupan lahan kawasan hutan di Papua 23.000.0000 ha (sebelumnya pada awal tahun 2000-an kawasan hutan di Papua seluas 31,5 juta ha) dan Papua Barat 9.769.686,81 ha, maka luas kawasan konservasi di Papua 26, 48% dan luas kawasan konservasi di Papua Barat adalah 34,29%. Meskipun secara nominal luas kawasan konservasi di Papua dan Papua Barat cukup terwakili, namun apakah penetapan kawasan konservasi tersebut sudah bersifat representatif untuk semua habitat spesies flora endemik di Tanah Papua. Tak dapat disangkal lagi, kalau pemekaran wilayah kabupaten baru di Tanah Papua justru mempercepat proses pengoyakan hutan dan kawasan
174 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
konservasi. Pasalnya wilayah baru membutuhkan ruang untuk membangun sarana dan prasaranan dan ruang yang tersedia luas di Tanah Papua adalah hutan. Dalam tiga tahun terakhir, dari sembilan kabupaten hasil pemekaran di Provinsi Papua, tujuh di antaranya terletak di kawasan Pegunungan Tengah Papua, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Lanny Jaya, dan Intan Jaya. Dari jumlah itu, lima kabupaten bersentuhan dengan Taman Nasional Lorentz, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Memberemo Tengah, dan Lanny Jaya (Tabloid Jubi, 10 Maret 2010). Sedangkan di Provinsi Papua Barat dari empat kabupaten hasil pemekaran yakni Meybrat, Tamrau, Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan, tiga kabupaten bersentuhan dengan kawasan konservasi yaitu Kabupaten Tamrau dengan Cagar Alam Pegunungan Tamrau, Kabupaten Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan dengan Cagar Alam Pegunungan Arfak. Kondisi ini telah menciptakan ancaman terhadap kawasan konservasi di Papua. D. Kawasan Perlindungan Khusus Penetapan kawasan lindung yang ada masih didominasi atas dasar perlindungan dan pelestarian tata air, seperti sempadan sungai dan kawasan pantai. Penetapan sempadan sungai selebar 100 m sebagai kawasan lindung belum memadai sebagai habitat. Berdasarkan penelitian kawasan sempadan sungai dan pantai akan berfungsi sebagai habitat satwa arboreal dan terestrial endemik minimal selebar 500 m (Bismarck, 1997). E. Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional Daerah sekitar taman nasional merupakan daerah penyangga. Fungsi daerah penyangga terhadap pelestarian taman nasional dan populasi flora serta faunanya dapat terlihat apabila ada sinkronisasi penggunaan lahan yang dapat memperbaiki lingkungan dan ekonomi masyarakat. Dalam pengelolaannya, daerah yang berbatasan dengan taman nasional (daerah ekoton) tetap dikelola sebagai kawasan hutan dalam fungsi jalur hijau. Jalur ini dapat berupa hutan atau hutan kemasyarakatan dengan lebar minimal 750 m. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi habitat dan populasi flora serta fauna di perbatasan taman nasional dan sebagai
175
penyangga bagi areal budidaya pertanian masyarakat dari gangguan satwa liar (Bismarck, 2002). Pembangunan
daerah
penyangga
dengan
kombinasi
hutan
kemasyarakatan, hutan rakyat, perkebunan rakyat dan areal pertanian akan memberikan dampak pada peningkatan populasi flora dan fauna endemik yang mudah beradaptasi dengan hutan sekunder dan hutan tanaman. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Sejarah pembentukan geologi yang rumit menyebabkan Tanah Papua memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan zone-zone vegetasi yang lengkap.
Keanekaragaman (kekayaan) hayati flora di
Tanah Papua 20.000 – 25.000 spesies (Jhons, 1997). 2. Papua memiliki 271 suku bangsa, pemanfaatan jenis flora oleh masyarakat tradisional masih bersifat skala kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. 3. Papua memiliki keanekaragaman jenis flora endemik yang sangat tinggi. Salah satu strategi untuk pelestarian jenis-jenis tersebut adalah dengan penetapan kawasan konservasi. 4. Lingkungan habitat flora yang sangat bervariasi dengan kondisi geografis yang ekstrim akan sangat mudah untuk terjadi kepunahan secara ekologi. 5. Perlu dilakukan pengelompokan ulang jenis kayu komersil serta dasar pengelompokan jenis kayu tersebut sehingga tidak menimbulkan kerugian negara. B.
Saran
1.
Diperlukan adanya tindakan konservasi baik konservasi in-situ maupun eks-situ terhadap jenis-jenis flora endemik yang memiliki tingkat keterancaman yang tinggi terhadap kepunahan.
2.
Perlu adanya pembinaan taksonomi terhadap ilmuwan lokal agar dapat mengungkapkan keanekaragaman jenis flora endemik serta jenis-jenis
176 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora……. Krisma Lekitoo
flora lainnya yang bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. DAFTAR PUSTAKA Bismarck, M. 1997. Parameter Penetapan Lebar Zona Sempadan Sungai untuk Pelestarian Keanekaragaman Jenis Satwaliar di Hutan Pantai. Prosiding Hasil Penelitian. Peran Hutan dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia dan Antisipasi Isu Global. P3HKA Bogor. Bismarck, M. 2002. Integrasi Kepentingan Konservasi dan Kebutuhan Sumber Penghasilan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan. P3HKA, Bogor. de Fretes, Y. 2000. Laporan Rapid Assessment Program (RAP) CI-IP dan Uncen di Yongsu, Jayapura. Conservation International-Indonesian Program. Jayapura. Tidak dipublikasikan. Departemen Kehutanan. 2003. SK Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTSII/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2008. Data Strategis Departemen Kehutanan. Jakarta. John, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua – Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris. Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. Tidak diterbitkan. Kusmana, C dan Agus Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan. Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Muller, K. 2005. Keanekaragaman Hayati Tanah Papua. Editor : Frans Wanggai, A. Sumule; Alih Bahasa : Fenny Ismoyo, A. Killmaskossu,
177
Sintje Lumatauw, Doan Nainggolan, M. St. E. Kilmaskossu, Saraswati Prabawardani. Universitas Negeri Papua, Manokwari. Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. PT. Gramedia. Jakarta. Pigram, C.J. and H.L. Davies. 1987. Terranes and the Accreation History of the New Guinea Orogen. Bureau of Mineral Resources, J. Aust. Geol. Geophys. 10:193-211. Powell, J. M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National University Press. Canberra. Primack, R. B. 1998. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sastrapradja, D.S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M.A. Rifai., 1989. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup bangsa. Puslitbang Bioteknologi – LIPI. Bogor. Sirami E.V., Krisma Lekitoo, Alfredo O Wanma dan Victor I. Simbiak. 2009. Inventarisasi Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen. Tidak diterbitkan. Steenis-kruseman MJ van & CGGJ van Steenis,, 1950. Malaysian Plant Collectors nd Collections, being a Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a Guide to the Concerned Literature up to the year 1950. Hal. i-clii & 1-639 dalam CGGJ van Steenis (Ed.), Flora Malesiana, I, 19. Noordhoff-Kolff NV, Djakarta Syafei, E. S. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. FMIPA Institut Teknologi Bandung. Bandung Tabloid Jubi 10 Maret 2010. Tata Kelola Kehutanan di Papua. Whitmore, T. C., I. G. M. Tantra dan U. Sutisna. 1997. Tree Flora of Indonesia. Check List For Irian Jaya. Ministry Of Forestry. Forestry Research And Development Agency. Bogor.
178 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
MORFOLOGI DAN PREFERENSI PAKAN SAMPIRI (EOS HISTRIO) DI PENANGKARAN Anita Mayasari dan Ady Suryawan Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura, Kima Atas, Mapanget, Manado
[email protected]
ABSTRAK Sampiri (Eos histrio), merupakan salah satu avifauna endemik Pulau Talaud Sulawesi Utara yang statusnya dilindungi dan terancam punah. Untuk meningkatkan populasi burung Sampiri khususnya melalui penangkaran, perlu dipelajari morfologi individu satwa dan preferensi pakan untuk mengetahui teknikteknik penangkaran yang tepat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui morfologi burung Sampiri dan preferensi pakannya. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran morfologidari 5 individu burung dan memberikan perlakuan enam jenis pakan yaitu pepaya, pisang mas, pisang kepok, kangkung, bayam dan jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan ciri-ciri morfologinya maka diperkirakan dari 5 burung yang diamati merupakan burung yang usianya masih muda/belum dewasa dengan rasio perbandingan jenis kelamin jantan dan betina 3:2. Konsumsi pakan harian burung sampiri rata-rata 82.139 gram per hari dengan jenis pakan paling disukai adalah pepaya. Kata Kunci : Sampiri, Eos histrio, Morfologi, Preferensi dan Talaud
I. Pendahuluan Sampiri atau Nuri Talaud memiliki nama latin Eos histrio, merupakan salah satu avifauna endemik Pulau Talaud Sulawesi Utara yang statusnya dilindungi dan terancam punah. Menurut Coates dan Bishop (2000), Nuri Talaud (E. histrio) memiliki tiga anak sub species yaitu E.h. histrio (Kepulauan Sangihe), E.h. talautensis (Kepulauan Talaud), E.h. callengeri (Pulau Miangas dan Kepulauan Nanusa). Habitatnya berada di Kepulauan Talaud yaitu meliputi pulau-pulau karang antara lain : Karakelong, Salebabu dan Kaburuang dan sejumlah kepulauan kecil lainnya. Lebih ke selatan memanjang kepulauan vulkanis dari Sangihe, sampai ke arah selatan yaitu
179
Biaro yang berada di ujung timur laut Sulawesi. Menurut Lambert (1997) hanya ada satu jenis yang populasinya mampu bertahan hidup yaitu E.h. talautensis. Menurut Mayasari dan Suryawan (2012), perlu adanya upaya pelestarian yang lebih intensif dan perlu dikembangkan teknik konservasi ex situ. Menurut Mardiastuti (2007) melakukan konservasi ex situ dapat dilakukan melalui penangkaran. Penangkaran merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan menekan laju penurunan populasi burung di alam. Untuk mengetahui teknik-teknik melakukan penangkaran, salah satunya perlu dilakukan pengukuran kebutuhan pakan agar didapatkan proporsi pemberian pakan yang tepat yang mampu mendukung upaya penangkaran.
Secara teori setiap individu burung memiliki kebutuhan
pakan yang berbeda-beda. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui morfologi burung Sampiri dengan preferensi pakannya. II. Bahan dan Metode A. Bahan Penelitian Burung Sampiri yang ada di lokasi penangkaran Balai Penelitian Kehutanan Manado dan jenis-jenis pakan yang terdiri dari pepaya, pisang mas, pisang kapok, kangkung, bayam dan jagung. Peralatan yang digunakan antara lain : timbangan analitik dengan kepercayaan 1 centigram (0.00 gram), kandang khusus, tempat penyajian pakan, pisau, pita meter, penggaris, dan kaliper. B. Metode Penelitian Pengambilan data morfologi dilakukan dengan mengukur dan menimbang individu. Untuk mengetahui preferensi pakan dilakukan penimbangan pakan awal pukul 07.00 dan pakan akhir pukul 17.00 WITA. Selisih berat merupakan jumlah pakan konsumsi.
Pengukuran dan pengamatan
dilakukan pada lima sampel burung Sampiri yang diberi kode dengan nama Peter, Nona, Rossi, Stoner dan Erick. Kegiatan dilakukan selama 1 bulan mulai 22 Maret hingga 25 April 2012, kondisi cuaca saat penelitian tidak menentu, kadang hujan deras kadang sangat panas.
180 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
C. Analisa Data Tingkat preferensi diamati dari besarnya konsumsi pakan. Semakin sedikit sisa pakan, berarti semakin besar konsumsinya. Diasumsikan bahwa jenis pakan tersebut disukai. Kemudian data morfologi dan preferensi dideskripsikan menggunakan informasi pembanding dari referensi-referensi terkait. III. Hasil dan Pembahasan A. Morfologi Pengukuran morfologi dilakukan pada 21 bagian tubuh burung, hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengukuran morfologi lima burung sampiri. Nama individu No
Parameter Pengamatan
1
2
Peter
3
Nona
Rata4
Rosi
5
Ston er
rata
Erick
1
Berat badan (gram)
139.65
150
115
115
135
130.93
2
Panjang badan (cm)
28
29.5
22
23
29
26.30
3
Sayap (cm)
18
19.5
19
18
19.5
18.80
6
6
8
7
9.6
7.32
panjang
1.7
1.5
1.2
1.5
2
1.58
lebar
1.1
1
0.9
1
1.1
1.02
1.2
1.3
0.8
1.2
1.5
1.20
1
1
0.7
0.7
0.9
0.86
10.5
10.5
8.5
9
10
9.70
4
1
6
5
5.5
4.30
panjang
11
12
4
11
11.5
9.90
lebar
3.8
4.5
4.5
2
4
3.76
lebar
4 5
panjang
Paruh atas (cm)
6 7
Paruh bawah
panjang
8
(cm)
lebar
9
Punggung (cm)
panjang lebar
10 11
Ekor (cm)
12 13
Jarak antar kaki (cm)
4.3
5
4
3.7
4
4.00
14
Paha (cm)
panjang
4.3
3.5
4
3.5
3.9
3.64
diameter
0.45
0.54
0.6
0.78
0.81
0.64
2
2
1.5
1.5
1.6
1.72
0.59
0.44
0.47
0.42
0.41
0.47
15 16
Betis/tungkai
panjang
17
(cm)
diameter
181
Nama individu No
Paramter pengamatan
18
Panjang jari/ cakar (cm)
19
Jarak kloaka ke ekor (cm) Jarak antar supit udang
20
rata
1
2
3
4
5
Peter
Nona
Rosi
Stoner
Erick
2.5
5
4
5
3.5
4.00
1
1
1
0.7
1.1
0.96
0.5
0.5
0.7
0.6
0.6
(cm) Jarak mata ke mahkota
21
Rata-
0.58 0.5
0.5
0.2
0.3
0.2
(cm)
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa berat badan rata-rata burung Sampiri di penangkaran 130,39 gram dan berkisar antara 139 sampai 150 gram, panjang rata-rata 26,30 cm berkisar 22 – 29.5 cm. Sampiri (Rossi) memiliki panjang 22 cm (terpendek), sedangkan yang terpanjang adalah Nona yaitu 29.5 cm. Dibandingkan dengan catatan Bishop dan Coates (2000), Forshaw, (1989) dalam Sweeney (1998) dan Sweeney (1998), ukuran panjang Sampiri dewasa dideskripsikan mencapai 31 cm dengan berat rata-rata 191 – 197 gram untuk betina dan 210 - 217 gram untuk jantan. Bulu pada burung dewasa biasanya mengkilat dan warnanya indah, perbedaan/kontras warna terlihat jelas, bulu-bulunya halus. Sedangkan bulu pada burung dalam pengamatan cenderung ke arah pucat/kusam, gradasi warna kabur/warna masih bercampur, bulu-bulu pada sayap masih ada yang mencuat/tidak halus. Terutama dilihat pada Erick dan Stoner bulu pada ekor belum tumbuh. Berdasarkan perbandingan tersebut diperkirakan bahwa burung–burung yang ada di penangkaran merupakan burung muda. Referensi mengenai burung Sampiri masih sangat minim, terutama dalam hal perbedaan jenis kelamin. Jadi jenis burung diperkirakan berdasarkan ciri-ciri morfologi burung nuri secara umum. Seperti dari jarak antar supit udang, bentuk tubuh, bentuk kepala. Burung jantan biasanya berukuran lebih besar dari burung betina. Bentuk tubuh cenderung lebih bulat/gemuk, dibandingkan burung betina yang memiliki tubuh lebih kecil
182 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
0.34
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
dan ramping.
Bentuk kepala burung jantan juga lebih membulat,
sedangkan betina cenderung mendatar. Prediksi jenis kelamin dapat dilakukan berdasarkan ukuran jarak antara supit udang. Beberapa jenis burung betina memiliki jarak antara supit udang lebih lebar daripada jantan. Rossi dan Stoner merupakan sampiri dengan jarak antara supit udang lebih lebar daripada yang lainnya. Berdasarkan pengukuran dan perbandinngan ini kemungkinan keduanya adalah betina. Bila dilihat dari ukuran dan berat badannya lebih kecil daripada individu lainnya, sehingga komposisi jantan 3 ekor yaitu Peter, Nona dan Erick, 2 ekor betina yaitu Rossi dan Stoner. Namun tentunya untuk lebih memastikan kebenaran prediksi harus dilakukan uji lanjut lagi dengan analisis DNA. B. Preferensi Pakan Preferensi pakan merupakan parameter yang penting dalam melakukan kegiatan penangkaran karena akan sangat berpengaruh pada produktivitas
satwa,
kesehatan
dan
repdroduksi.
Preferensi
juga
berhubungan dengan kondisi cuaca dan gangguan yang dihadapi satwa. Saat penelitian ini dilakukan cuaca tidak menentu, sering turun hujan deras, namun kadang cuaca panas dan adanya aktivitas manusia di sekitar kandang pengamatan. Hasil pengamatan kelima jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengukuran konsumsi ke lima jenis pakan No
Jenis Pakan Nama
PEPAYA
PISANG
PISANG
KANG-
BAYAM
JA -
(gr)
MAS
KEPOK
KUNG
(gr)
GUNG
-
(gr)
(gr)
(gr)
(gr)
rata
individu
Rata
1
PETER
50.2
32.9
30.2
0.0
0
22.7
22.7
2
NONA
51.2
41.6
38.1
0.2
0
30.1
26.9
3
ROSSI
46.5
27.2
34.4
0.7
0
11.3
20.0
4
STONER
42.0
38.1
41.5
0.5
0
12.9
22.5
5
ERICK
37.4
24.6
25.6
0.2
0
36.4
20.7
45.5
32.9
34.0
0.5
0.0
22.7
33.6%
24.3%
25.1%
0.3%
0.0%
16.7%
Rata-rata Prosentase kelima pakan
183
Pengamatan dilakukan pada lima jenis makanan utama sebagai makanan harian. Namun disamping jenis pakan tersebut diberikan tambahan makanan dalam jumlah minimal antara lain madu, vitamin, kacang merah dan touge. Pakan tambahan ini tidak dilakukan pengukuran. Kebutuhan pakan rata-rata harian mencapai 82,139 gram berkisar antara 53–120 gram. Berdasarkan data Tabel 3 diketahui bahwa Pepaya merupakan pakan paling banyak dikonsumsi atau paling disukai, kemudian pisang kapok, pisang mas, jagung, dan kangkung, sedangkan bayam merupakan jenis yang tidak dimakan. Pepaya merupakan jenis pakan yang paling disukai dikarenakan tekstur buahnya yang basah lembut banyak mengandung air dan rasanya manis. Pada ujung lidah burung Sampiri terdapat permukaan kasar menyerupai sikat yang berfungsi menjilat nectar. Sehingga jenis burung ini sangat menyukai buah-buahan yang teksturnya berair/juicy seperti pada buah pepaya. Hal ini juga diungkapkan Gunawan et al. (2007) bahwa buah pepaya merupakan buah yang paling disukai jenis burung nuri dikarenakan pepaya merupakan jenis buah yang melimpah dan umum tumbuh baik di hutan maupun di ladang–ladang masyarakat. Selanjutnya pada dua varian buah pisang yaitu pisang kapok dan pisang mas. Pisang kapok lebih disukai dan dikonsumsi lebih banyak oleh burung Sampiri. Kedua buah pisang ini sebenarnya sama-sama memiliki rasa yang manis. Perbedaan konsumsi kemungkinan terjadi karena pada saat pengujian sempat kesulitan menemukan pisang mas yang benar-benar matang. Pisang mas yang diberikan sedikit mengkal, dibandingkan dengan pisang kapok yang diberikan pada saat pengamatan kondisi sudah matang dan tekstur lembut. Sehingga burung Sampiri cenderung lebih memilih buah pisang yang sudah matang, lembut dan rasanya lebih manis. Pakan jenis jagung menempati urutan ketiga setelah varian pisang. Burung Sampiri terlebih dulu menggigit dan mengambil bagian biji bagian dalam yang teksturnya basah, lembut dan rasanya manis.
Jika
dibandingkan dengan buah-buahan yang lain, pakan jenis jagung memiliki tingkat keawetan lebih lama. Sehingga ketika menjelang siang hari jenis
184 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
buah-buahan lain kondisinya sudah tidak terlalu bagus, tidak segar lagi burung Sampiri beralih ke jagung. Jenis sayuran yang diujicobakan dalam penelitian yaitu kangkung dan bayam yang disajikan dalam bentuk segar dan sudah dipotong kecil. Dari pengamatan hanya kangkung saja yang dikonsumsi, meskipun dalam jumlah yang kecil. Sedangkan untuk bayam sama sekali tidak disukai. Daun kangkung memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan daun bayam. sedangkan bayam tidak disentuh sama sekali. Meskipun kangkung dan bayam memili kandungan nutrisi yang tinggi, namun burung Sampiri ternyata tidak menyukai kedua jenis pakan tersebut. Menurut Sweeney (1998) dalam penelitiannya sebenarnya burung Sampiri juga menyukai sayuran yaitu wortel, karena wortel memiliki rasa manis alami yang serupa dengan rasa manis pada buah-buahan umumnya. Di perusahaan penangkar burung paruh bengkok PT Anak Burung Tropikana, burung jenis nuri-nurian juga diberikan pakan sayur-sayuran seperti kangkung, bayam, labu, taoge (Cahyono, 2011). Sayuran ini disajikan dalam bentuk bubur halus yang diberi sedikit gula agar rasanya manis dan disukai burung. Gunawan et al. (2007) menyatakan bahwa preferensi pakan burung perkici tidak dipengaruhi
oleh kandungan nutrisi pakannya. Hal ini
sebagaimana disitir Soeseno (1997) dalam Gunawan et a.l (2007) yang mengatakan bahwa ketidaksukaan maupun kesukaan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu selera dari burung dan kondisi pakan itu sendiri (segar, rusak, bau apek atau busuk). Ketika dalam ujicoba pemberian pakan disajikan kombinasi sayuran dan buah, burung Nuri lebih memilih buah-buahan daripada sayuran. Ditegaskan oleh Lambert (1997) bahwa jenis pakan Nuri di alamnya berupa buah-buahan, madu dan nectar (tepung sari bunga). Menurut informasi Birdlife (2011), di hutan burung ini mengkonsumsi buah dan serangga, namun terkadang dijumpai di areal pertanian sedang menghisap nektar bunga kelapa dan tanaman buah lain.
185
Tabel 4. Konsumsi pakan harian Sampiri Nama
Konsumsi Pakan (gram) pada hari ke Rerata
berat badan (gram)
Persentase BB terhadap konsumsi pakan 61%
1
2
3
4
5
6
7
PETER
75
80
100
48.96
115.08
83.58
96.7
85.62
139.65
NONA
70
80
105
86.49
145.38
104.78
82.08
96.25
150
64%
ROSSI
75
55
73
71.61
115.33
77.38
78.05
77.91
115
68%
STONER
70
80
95.5
40.77
106.09
99.33
91.45
83.31
115
72%
ERICK
45
70
45
21.94
120.69
92.26
78.44
67.62
135
50%
Rerata
82.14
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa diantara kelima Sampiri, Erick memiliki kebutuhan konsumsi rata-rata pakan harian paling kecil yaitu 67,62 gram dengan prosentase kebutuhan 50%. Sedangkan Nona memiliki kebutuhan konsumsi pakan harian tertinggi yaitu 92,65 gram dengan prosentase 64%. Besarnya angka prosentase ini kemungkinan dikarenakan ketersediaan pakan yang besar, burung hanya melakukan aktivitas makan karena tidak ada aktivitas lain yang mungkin dilakukan oleh burung karena kandang yang terbatas, jenis pakan buah yang komposisinya utamanya air yang mudah hilang dari tubuh karena burung nuri termasuk burung yang aktif lincah bergerak dan mengoceh sehingga banyak energi yang keluar. IV. Kesimpulan Berdasarkan pengamatan ciri-ciri morfologi diperkirakan bahwa kelima burung yang diamati merupakan burung yang usianya masih belum dewasa/muda dengan rasio perbandingan jenis kelamin jantan dan betina 3:2. Kebutuhan pakan burung sampiri rata-rata 82.139 gram per hari dengan jenis pakan paling disukai adalah pepaya.
186 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
63%
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
DAFTAR PUSTAKA Coates, B.J dan Bishop, K.D. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallacea. Birdlife Internasional-Indonesia Programme & Dove Publikation Pty. Ltd. Bogor. Gunawan, H., Ardie, I.S dan Rakhman, M, A, 2007. Komposisi dan preferensi pakan burung perkici dora (Trichoglossus orantus LINNE. 1758) dalam penangkaran. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 1(1):67 – 77. Bogor Lambert, Dr.F.R. 1997. Pengkajian Lapangan tentang Status Konservasi Nuri Talaud di Indonesia. IUCN Species Survival Commission. IUCN. Bangkok. Mayasari, A dan Suryawan, A. 2012. Peluang konservasi ex situ burung sampiri (Eos histrio) Melalui Penangkaran. Prosiding Ekspose Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. R. G. Sweeney. 1998. Breeding the Red and Blue Lory (Eos histrio) at Loro Parque de la Cruz. Int. Zoo Yb. 36: 194-198. The Zoological Society of London.
187
188 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
IMPLEMENTASI SISTEM SILVIKULTUR TPTI : TINJAUAN KEBERADAAN POHON INTI DAN KONDISI PERMUDAANNYA (STUDI KASUS DI AREAL IUPHHK PT. TUNAS TIMBER LESTARI, PROVINSI PAPUA)1 Baharinawati W. Hastanti2 2
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Jl. Inamberi Susweni Kotak Pos 159 Manokwari Papua Barat, Email :
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Produktivitas hutan di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini disinyalir terus mengalami penyusutan secara kuantitas maupun kualitas. Salah satu penyebabnya adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua. Untuk menjamin kelestarian produksi diperlukan sistem silvikultur yang efektif dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan alam di Papua yang dilakukan perusahaan IUPHHK menerapkan sistem TPTI selama ini. Degradasi dan deforestasi hutan alam, akan mengancam kelestarian produksi akibat tidak tersedianya jumlah jenis komersial tebang yang layak untuk siklus tebang selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh perusahaan pemegang IUPHHK dalam mengelola hutan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lestari, khususnya keberadaan pohon inti yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi TPTI di lokasi penelitian yakni areal kerja PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua dari perspektif keberadaan pohon inti masih layak dilakukan karena ketersediaan permudaan yang melimpah baik jenis komersial ditebang, komersial tidak ditebang maupun jenis lain di tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon inti, sehingga kelestarian produksi untuk siklus tebang berikutnya masih dapat dipertahankan. Kata kunci : implementasi, sistem silvikultur, TPTI, pohon inti.
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
189
I. Pendahuluan Produktivitas hutan alam di Indonesia dewasa ini semakin mengalami penurunan akibat penyusutan kuantitas maupun kualitas produksi. Hal ini disebabkan oleh penjarahan atau eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi lahan maupun kebakaran hutan. Kelestarian hutan ditentukan oleh pengelolaan hutan yang didasarkan atas perencanaan yang benar. Selama 3 dasawarsa terakhir telah terjadi salah kelola hutan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan. Untuk menjamin kelestarian hutan harus ditentukan sistem silvikultur yang tepat untuk setiap areal hutan dengan pertimbangan aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Berdasarkan aspek ekologis diharapkan terjadinya perubahan ekosistem yang sealami mungkin. Sedangkan pertimbangan aspek ekonomis lebih berorientasi pada keuntungan dari produksi. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu melalui proses edafis dan klimatologis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari (Departemen Kehutanan, 2009). Sistem silvikultur yang diterapkan menurut aturan Kementerian Kehutanan pada hutan tropis Indonesia atau hutan dengan tegakan tidak seumur adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Rumpang (TR). TPTI menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Pemanenan tebang pilih adalah penebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat. Pembinaan tegakan tinggal berarti kegiatan yang dikerjakan setelah tebang pilih perapihan, pembebasan, pengayaan dan pemeliharaan. Kegiatan TPTI terdiri atas : 1)
190 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
Penataan Areal Kerja (PAK), 2) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), 3) Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), 4) Pemanenan, 5) Penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan, 6) Pembebasan pohon binaan, dan 7) Perlindungan dan pengamanan hutan (Departemen Kehutanan, 1997). Dasar-dasar pemilihan sistem silvikultur menurut PP No 6 Tahun 2007 didasarkan pada pendekatan : 1) keanekaragaman hayati, berdasarkan tipe hutan sesuai formasi klimatis (hutan hujan tropis, hutan monsoon dan hutan gambut), 2) topografi, geografi, geologi dan tanah, 3) konservasi tanah dan air, 4) teknologi, dan 5) tujuan pengelolaan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Sementara itu Papua sebagai benteng terakhir bagi keberlangsungan hutan alam tropika di Indonesia juga mengalami kerusakan pada satu dasawarsa terakhir ini. Laju kerusakan hutan di Papua sejak tahun 2005 sampai 2009 mengalami peningkatan sampai seluas 1.017.841 hektar atau sekitar 254.460 hektar setiap tahunnya. Walaupun kerusakan hutan di Papua dipicu berbagai macam sebab, seperti eksploitasi hutan yang berlebihan dan alih fungsi lahan. Namun kerusakan hutan di Papua juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan konsesi hutan melalui IUPHHK yang mencapai 20 perusahaan (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2010). Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis),
sistem silvikultur yang
diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam. Bila dihubungkan dengan keberadaan hutan Papua yang terus mengalami degradasi dan deforestasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini dan dikawatirkan akan mengancam kelestarian produksi, akibat kurangnya ketersediaan jenis komersial tebang untuk siklus tebang berikutnya. Hal ini kemungkinan karena penerapan sistem silvikultur yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Penerapan sistem silvikultur yang menyimpang dari kebijakan yang ada menyebabkan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang IUPHHK jauh dari tujuan pengelolaan hutan lestari. Hal ini akan
191
mengakibatkan semakin menyusutnya produktivitas hutan sehingga mengganggu siklus tebang berikutnya dan kelestarian ekosistem hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji implementasi sistem silvikultur TPTI yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi IUPHHK ditinjau dari keberadaan pohon inti dan kondisi permudaan baik di areal hutan alam maupun areal bekas tebangan. II. Metodologi Penelitian A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal kerja IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua. B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan melalui pengumpulan data lapangan baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pembuatan plot dengan sistem jalur pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk mengetahui jumlah pohon inti jenis komersial tebang dan keadaan sistem permudaan untuk menentukan tindakan silvikultur yang sesuai dan wawancara terhadap narasumber yang terlibat dalam kegiatan teknis kehutanan sesuai tugas pokoknya pada struktur organisasi perusahaan IUPHHK yang diteliti. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berupa RKT, RKL yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Secara garis besar metodologi penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Melakukan pengamatan dengan pembuatan plot dengan sistem jalur (line plot sampling) pada areal bekas tebangan dan hutan primer untuk mengetahui keadaan permudaan dan pemeliharaannya sehingga terjamin kelestarian hasil pada siklus penebangan mendatang. Penelitian dilakukan terhadap semua tingkat permudaan, yaitu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk semua jenis, baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain. Pada Lokasi PT.
192 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
Tunas Timber Lestari (TTL) di Kabupaten Boven Digul, Petak contoh dibuat pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 (satu tahun) dan areal bekas tebangan umur 5 (lima) tahun. Luas areal kerja yang digunakan masing-masing tempat adalah 15 ha (500 m x 300 m). Pada petak contoh tersebut dibuat 2 jalur. Peletakan jalur pertama adalah sejauh 500 meter dari tepi petak contoh dengan jarak antar jalur 200 m. Pada tiap-tiap jalur dibuat plot-plot pengamatan untuk risalah pohon secara garis berpetak dengan ukuran 20 m x 50 m dan jarak antar plot 50 m. Dalam plot-plot pengamatan yang berukuran 20 m x 50 m dibuat petakpetak pengamatan untuk tingkat tiang, pancang dan semai secara nested sampling, sehingga intensitas penarikan contoh untuk tingkat pohon dan permudaannya 5% untuk tingkat pohon, 2,5% untuk tingkat tiang, 1,25% untuk tingkat pancang dan 0,5% untuk tingkat semai. Berdasarkan luas plot yang digunakan dalam penelitian ini maka kriteria yang digunakan dalam penelitian ini cukup tidaknya permudaan dan pohon adalah sebagai berikut (Wyatt dan Smith dalam Indrawan, 2002 ) : 1. Untuk tingkat semai terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan dari jenis-jenis komersial atau 1000 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 semai jenis komersial ditebang. 2. Untuk tingkat pancang terdapat paling sedikit 60% stocking permudaan atau 240 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pancang dari jenisjenis komersial ditebang. 3. Untuk tingkat tiang terdapat paling sedikit 75% stocking permudaan atau 60 petak ukur per hektar yang berisi minimal satu tiang dari jenisjenis komersial yang ditebang. Untuk tingkat pohon terdapat 100% stocking permudaan atau 25 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pohon dari jenis-jenis komersial yang ditebang.
193
III. Pembahasan A. Komposisi Jenis 1. Hutan Primer Komposisi jenis pada hutan primer di lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di areal hutan primer pada tingkat semai adalah 21 jenis, tingkat pancang 10 jenis, tiang sebanyak 25 jenis dan pohon sebanyak 34 jenis. Canarium sp. dan Vatica sp. mendominasi tingkat semai dengan INP 35% dan 16%. Jenis Sizygium sp. dan Myristica sp., mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 51% dan 22%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp. dan Myristica sp. dengan INP 43% dan 19%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Sizygium sp. dan Vatica sp. dengan INP masing-masing 42% dan 12%. 2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2010, ditemukan jumlah jenis pada tingkat semai adalah 17 jenis, tingkat pancang 9 jenis, tiang sebanyak 21 jenis dan pohon sebanyak 33 jenis. Hopea sp. dan Vatica sp. mendominasi tingkat semai dengan INP 20% dan 18%. Jenis Canarium sp. dan Sizygium sp. mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 21% dan 18%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Myristica sp. dan Sizygium sp. dengan INP 31% dan 29%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Vatica sp. dan Sizygium sp. dengan INP masing-masing 22% dan 21%. 3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2006, ditemukan jumlah jenis di tingkat semai sebanyak 19 jenis, tingkat pancang 11 jenis, tingkat tiang sejumlah 23 jenis dan pohon 34 jenis. Pada tingkat semai didominasi jenis Hopea sp. dan Vatica sp. dengan INP masing-masing 21% dan 18%. Jenis Sizygium sp. dan Myristica sp. mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 51% dan 16%. Sedang pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp. dan Myristica sp. dengan INP masing-masing 52% dan 24%. Tingkat pohon didominasi oleh jenis Sizygium sp. dan Vatica sp. dengan INP 41% dan 18%.
194 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
B. Jumlah Pohon Inti Jumlah pohon inti untuk masing-masing kelas diameter pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 3 tahun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Pohon Inti per hektar pada Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan di PT. TTL Blok
Klas
KD
KTD
K
JL
Diameter (cm) Hutan Primer
20 – 35
37
14
51
11
36 – 65
32
12
44
9
≥ 65
40
13
53
9
109
37
146
29
Jumlah Areal Bekas
20 – 35
17
8
25
9
Tebangan Umur
36 – 65
21
12
33
7
1 Tahun
≥ 65
44
6
50
2
81
26
107
18
Jumlah Areal Bekas
20 – 35
27
11
38
12
Tebangan Umur
36 – 65
24
10
34
4
3 Tahun
≥ 65
26
8
34
2
87
29
116
21
Jumlah
Keterangan : KD = Jenis Komersial Ditebang; KTD = Jenis Komersial yang Tidak Ditebang; K = KD+KTD, JL = Jenis Lain
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang (Intsia sp., Hopea sp., Pometia sp., Vatica sp. dan lain-lain) berdiameter antara 20 cm ke atas berjumlah 109 pohon/hektar. Sedangkan pada areal bekas tebangan umur 1 tahun jenis komersial yang ditebang dengan diameter 20 cm ke atas sejumlah 81 pohon/hektar. Pada areal bekas tebangan umur 5 tahun jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang 87 pohon/hektar. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan tidak boleh ditebang adalah 25
195
pohon/hektar dengan diameter 20-49 cm. Bila jenis komersial ditebang (KD) jumlah pohon inti berdiameter 20-49 cm yang tersedia kurang dari 25 pohon/hektar dapat diambilkan dari jenis komersial yang tidak ditebang yang berdiameter 50 cm ke atas (Dirjen Pengusahaan, 1989). Berdasarkan persyaratan TPTI di atas, maka baik hutan primer maupun areal bekas tebangan memenuhi persyaratan seperti yang digariskan pada TPTI. Gambaran jumlah pohon inti jenis-jenis komersial ditebang, jenis-jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada Grafik 1. Grafik 1. Jumlah Pohon Inti di PT. Tunas Timber Lestari 160 140 120 100 80
KD
60
KTD
40
K
20
JL
0
Keterangan : KD = Jenis Komersial Ditebang; KTD = Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL = Jenis Lain
Grafik di atas menggambarkan perubahan dari jumlah pohon inti pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 5 tahun. Perubahan di atas menunjukkan bahwa perkembangan jumlah pohon inti pada areal bekas tebangan umur 1 tahun akan mengalami perkembangan yang sama dengan areal bekas tebangan umur 5 tahun nantinya apabila umur tebangan mencapai mengikuti suatu siklus.
196 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
5 tahun
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
C. Keadaan Permudaan 1. Hutan Primer Kondisi permudaan pada hutan primer di petak pengamatan dapat dilihat dengan melihat kerapatan dan penyebaran jenis-jenis pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan primer di PT. Tunas Timber Lestari Kelompok Jenis KD KTD K JL
Tingkat Permudaan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
K
9546
1756
213
109
F
0,93
0,89
0,85
0,81
K
4352
1123
145
37
F
0,91
0,87
0,84
0,78
K
13898
2879
358
146
F
0,92
0,88
0,84
0,84
K
6743
1105
113
29
F
0,91
0,86
0,85
0,81
Keterangan : KD = Jenis Komersial Ditebang; KTD = Jenis Komersial yang Tidak Ditebang; K = KD+KTD; JL = Jenis Lain, K = Kerapatan, F = Frekuensi (Penyebaran) Pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pada jenis komersial ditebang kerapatannya mencapai 9.546 individu/hektar dengan penyebarannya mencapai 93% pada tingkat semai, pada tingkat pancang jumlah individu per hektar adalah 1.756 dengan frekuensi atau penyebaran mencapai 0,89 atau 89%, penyebaran pada tingkat tiang mencapai 85% dengan kerapatan 213 individu/hektar, sedangkan pada tingkat pohon kerapatannya mencapai 109 pohon/hektar dengan frekuensi penyebaran 94%. Berdasarkan kriteria Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat memenuhi kriteria persyaratan tersebut baik pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
197
2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2010 pada petak pengamatan dapat dilihat pada kerapatan individu per hektar dan penyebarannya pada tingkat semai, pancang, tiang sampai pohon pada jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain. Tabel 3 menunjukkan keadaan permudaan di petak pengamatan PT. TTL. Tabel 3. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun di PT. Tunas Timber Lestari Kelompok Jenis KD KTD K JL
Tingkat Permudaan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
K
9986
1786
186
81
F
0,95
0,89
0,75
0,78
K
7856
1112
95
26
F
0,97
0,78
0,67
0,88
K
17842
2898
271
107
F
0,96
0,75
0,74
0,82
K
8865
1056
67
18
F
0,95
0,81
0,75
0,84
Keterangan : KD = Jenis Komersial Ditebang; KTD = Jenis Komersial yang Tidak Ditebang; K = KD+KTD; JL = Jenis Lain; K = Kerapatan; F = Frekuensi (Penyebaran)
Tabel di atas menunjukkan kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9986 individu/hektar dengan penyebaran 95%, pada tingkat pancang kerapatannya 1786 individu/hektar dengan penyebaran mencapai 89 %, pada tingkat tiang kerapannya 186 individu/hektar dengan penyebaran 75% dan pohon kerapatannya 81 pohon/hektar dengan penyebaran 78%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
198 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2006 di lokasi petak pengamatan PT. Tunas Timber Lestari pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun di PT. Tunas Timber Lestari Kelompok Jenis KD KTD K JL
Tingkat Permudaan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
K
9997
1643
223
87
F
0,93
0,88
0,85
0,89
K
5875
1332
111
29
F
0,95
0,87
0,88
0,91
K
15872
2975
334
116
F
0,94
0,87
0,86
0,90
K
4987
1013
129
21
F
0,93
0,86
0,85
0,91
Keterangan : KD = Jenis Komersial Ditebang; KTD = Jenis Komersial yang Tidak Ditebang; K = KD+KTD; JL = Jenis Lain; K = Kerapatan; F = Frekuensi (Penyebaran).
Tabel di atas menunjukkan bahwa kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9.997 individu/hektar dengan penyebaran
93%,
pada
tingkat
pancang
kerapatannya
1.643
individu/hektar dengan penyebaran mencapai 88 %, pada tingkat tiang kerapatannya 223 individu/hektar dengan penyebaran 85% dan pohon kerapatannya 87 pohon/hektar dengan penyebaran 89%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
199
IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Berdasarkan uraian diatas, jumlah pohon inti dan kondisi permudaan alam di petak-petak pengamatan pada lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua menunjukkan keadaan yang layak dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 2. Jumlah pohon inti yang cukup dan kondisi permudaan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dari kelompok jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain di petak-petak pengamatan pada areal bekas tebangan menunjukkan kondisi yang memenuhi dan baik. B.
Saran Penerapan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan pembebasan
permudaan alam dari tumbuhan pengganggu, baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal akan dapat menghasilkan tegakan lestari di hutan produksi baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan,1997. Sistem Tebang Tanam Indonesia Intensif. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hutan Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Laporan Tahunan 2010. Tidak Diterbitkan. Jayapura.
200 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Implementasi Sistem silvikultur……. Baharinawati W. Hastanti
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Indrawan, Andri. 2002. Penerapan Sistem Silvikultur TPTI pada Hutan Dipterocarpace di HPH PT Hugurya Aceh. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(2):75-78. Wyatt-Smith, J. 1963. Manual of Malayan Silvicultur Part I-II. Malayan Forest Record No 23. Forest Research Institute of Malay. Kepong, Malaysia.
201
202 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
ANALISIS FINANSIAL KOMBINASI TANAMAN KAYU-KAYUAN DENGAN PERTANAMAN KELAPA (Cocos nucifera) DI SULUT (Studi Kasus di Kecamatan Mapanget Kota Manado)1 La Ode Asier Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Kota Manado Telp. (0431) 3666683. Email :
[email protected] /
[email protected]
RINGKASAN Di Sulawesi Utara secara umum perkebunan rakyat di dominasi dengan tanaman Kelapa (Cocos nucifera), sehingga ibukota provinsinya disebut sebagai Kota Nyiur melambai. Pemanfaatan lahan pada areal pertanaman kelapa tidak efisien oleh karena hanya menggunakan lahan sekitar 20% per hektarnya, dan 80% lainnya merupakan lahan yang tidak termanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai finansial beberapa jenis tanaman kayu-kayuan dalam areal pertanaman kelapa. Cempaka (Elmerillia ovalis), jati (Tectona grandis), mahoni (Switenia macrophylla), nantu/nyatoh (Palaquium sp.). sebagai tanaman sela yang menjadi obyek peneltian. Hasilnya adalah tanaman sela pada umur 6 sampai dengan 7 tahun di dalam areal pertanaman kelapa dapat memberikan keuntungan antara 2 hingga 5 kali lebih besar dari modal yang dikeluarkan, sedangkan besarnya biaya penerimaan dibandingkan dengan biaya produksi (R/C) ≥ 1, penerimaan lebih besar 3 hingga 5 kali dari pada modal yang digunakan sebagai biaya produksi. Ini menunjukkan bahwa tanaman sela sangat pantas untuk diusahakan sebagai tanaman pencegah erosi pada lokasi pertanaman berlereng, dan dapat meningkatkan pendapatan. Kata kunci : tidak efisien, pertanaman kelapa, finansial, tanaman sela, biaya produksi.
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
203
I. Pendahuluan Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan dapat dijadikan aset guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka total konsumsi kayu untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor juga meningkat. Kebutuhan kayu tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi hutan alam seiring menipisnya persediaan kayu yang tersedia. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk menanam pohon-pohon kehutanan/tanaman berkayu di lahan miliknya yang biasa disebut hutan rakyat. Istilah “hutan rakyat” tidak disebutkan di dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, tetapi istilah ini identik dengan hutan hak (istilah dalam UU tersebut), yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Keputusan Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 menyebutkan lebih rinci bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya, dengan luas minimum 0,25 ha serta penutupan tajuk tanaman kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon minimum 500 batang/ha. Di Sulawesi Utara secara umum perkebunan rakyat di dominasi dengan tanaman Kelapa (Cocos nucifera),sehingga ibukota provinsinya disebut sebagai Kota Nyiur melambai. Persebaran kelapa yang sudah didomestikasi awalnya dilakukan oleh orang-orang Malaysia yang bermigrasi ke Pasifik dan India yang dimulai pada 3000 tahun yang lalu. Tanpa disadari, ternyata kelapa-kelapa liar di daerah tersebut sudah ada. Hal ini mendorong terjadinya persilangan antara kelapa liar dan kelapa yang sudah didomestikasi. Perlu diketahui pula bahwa navigator-navigator Polynesia, Malaya, dan Arab juga memainkan peranan penting dalam penyebaran lebih jauh ke Pasifik, Asia, dan Afrika Timur. Kelapa pun benar-benar menyebar ke berbagai wilayah setelah penjelajah-penjelajah Eropa pada abad 16 membawanya ke Afrika Barat, Karibia, dan pantai Atlantik. Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya mencapai ketinggian 30 m. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m dari
permukaan
laut,
namun
akan
mengalami
pelambatan
pertumbuhan.Kelapa merupakan tanaman perkebunan/industri berupa
204 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
pohon batang lurus dari famili Palmae. Ada dua pendapat mengenai asal usul kelapa yaitu dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari dan Thor Herjerdahl dan dari Asia atau Indo Pasific menurut Berry, Werth, Mearil, Mayurathan, Lepesma, dan Pureseglove. Kelapa banyak terdapat di negara-negara Asia dan Pasifik yang menghasilkan 5.276.000 ton (82%) produksi dunia dengan luas ± 8.875.000 ha (1984) yang meliputi 12 negara, sedangkan sisanya oleh negara di Afrika dan Amerika Selatan. Indonesia merupakan negara perkelapaan terluas (3.334.000 ha tahun 1990) yang tersebar di Riau, Jateng, Jabar, Jatim, Jambi, Aceh, Sumut, Sulut, NTT, Sulteng, Sulsel dan Maluku, tetapi produksinya di bawah Philipina (2.472.000 ton dengan areal 3.112.000 ha), yaitu sebesar 2.346.000 ton. Tanaman kelapa ditinjau dari sisi pemanfaatan lahan merupakan tanaman yang tidak efisien oleh karena hanya menggunakan lahan sekitar 20% per hektarnya, dan 80% lainnya merupakan lahan yang tidak termanfaatkan. Populasi tanaman kelapa berjumlah 140 per hektar dengan jarak tanam 9 x 9m dengan luas perakaran hanya sekitar 1,5 – 2,0 meter dari pangkal batang (Nursuestini,1990), dengan demikian luas lahan sisa yang dapat difungsikan untuk tanaman sela adalah ± 9.760 m². Di Sulawesi Utara luas areal pertanaman kelapa dalam diperkirakan ±271,359 ha, ini berarti terdapat lahan seluas ± 217.087 ha yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan usaha tani mulai dari pemanfaatan tanaman palawija hingga penanaman tanaman tahunan. Pada lahan-lahan yang memiliki tingkat kemiringan bergelombang hingga berbukit (> 25%) seperti hampir pada umumnya di wilayah Sulawesi Utara, pemanfaatan lahan sisa secara efisien diantara tanaman kelapa akan meningkatkan pendapatan petani secara ekonomis, dan dapat mengurangi bahaya erosi. Hasil penelitian oleh Djafar, (1991) mengemukakan bahwa erosi terjadi pada areal pertanaman kelapa dengan kemiringan lereng 20 % yang diolah dan ditanami kacang tanah sebesar 53 kg/4,5m2atau 117,78 ton/ha, sedangkan pada kemiringan yang sama dengan tanpa pengolahan erosi yang terjadi sebesar 0,30kg/4,5m2atau 0,67 ton/ha. Dengan demikian
205
pengolahan tanah pada areal pertanaman kelapa yang diolah pada kemiringan ≥20% dapat menghasilkan erosi yang lebih besar daripada tanpa pengolahan tanah. Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan informasi mengenai pengaruh tanaman sela berupa kayu-kayuan dalam lokasi pertanaman kelapa baik secara fisik maupun finansial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai keuntungan (finansial)beberapa jenis tanaman kayu-kayuan dalam areal pertanaman kelapa. II. Bahan dan Metodologi Penelitian dilakukan di Kelurahan Lapangan, Kecamatan Mapanget, kota Manado pada bulan September 2012. Terpilihnya lokasi ini berdasarkan hasil survei lapangan, dengan pertimbangan bahwa pada areal pertanaman kelapa (milik masyarakat) terdapat beberapa kombinasi dengan tanaman kayu-kayuan yaitu cempaka (Elmerillia ovalis), jati (Tectona
grandis),
mahoni
(Switenia
macrophylla),
nantu/nyatoh
(Palaquium sp.). Peralatan yang digunakan dalam peneltian ini adalah, pita keliling, haga hypsometer, tambang, alat tulis, tally sheet, kuestioner dan kamera. Bahan-bahan yang digunakan adalah tegakan yang berada di lokasi pengamatan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, diskusi, terhadap responden yang terpilih secara sengaja (purposive sampling) meliputi informasi tentang jenis tanaman kombinasi, tahun tanam, dan luas lokasi penanaman. Selain itu informasi lain tentang proses pengelolaan hutan rakyat. Hasil wawancara terhadap responden yang terpilih kemudian ditabulasi untuk dianalisis secara deskriftif. Pengukuran langsung di lapangan meliputi dimensi pohon yaitu data mengenai ukuran diameter pohon setinggi dada, tinggi pohon total, tinggi pohon sampai cabang pertama, pada masing-masing jenis tanaman dalam luasan 0,1 ha.Volume kayu dihitung dengan angka koreksi 1 untuk kelapa (bentuk batangnya silindris) dan 0,7 untuk jenis lainnya (Soendjoto. 2008)
206 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Data yang terkumpul dari hasil pendataan dan pengukuran di lokasi pengamatan dihitung dengan rumus : 1. Rumus umum untuk menaksir volume pohon (Dephut, 1992) adalah : (
)
atau V = g x h x f
Keterangan : V = volume kayu d = diameter setinggi dada h = tinggi pohon g = luas penampang lintang pohon pada setinggi dada f = bilangan bentuk 2. Volume Tegakan ÝR
=
Ŕ.X Keterangan : ÝR = Volume tegakan (m3) Ŕ = Rata – rata volume pohon per hektar (m3/ha) X = Luas lahan (ha)
Untuk mengetahui besaran persen keuntungan deskriptif dari modal yang digunakan, dilakukan pendekatan dengan menggunakan formulasi umum yaitu analisis ROI (Return On Investmen) (Halawane dkk,2011) ROI Besarnya penerimaan dari serangkaian pengeluaran (modal) yang dinilai saat ini dikatakan layak dan menguntungkan apabila R/C rasio (Analisis Revenue Cost Ratio)lebih besar dari 1. R/C ratio
207
III. Hasil dan Pembahasan A. Hutan Rakyat Areal hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat secara individual (tingkat keluarga) pada lahan milik pada umumnya tersusun oleh satu jenis tanaman yaitu pertanaman kelapa atau disebut sebagai kebun kelapa (hutan rakyat murni), sedangkan areal yang tersusun lebih dari satu jenis tanaman (polikultur) umumnya berupa kombinasi tanaman kelapa dengan tanaman kayu-kayuan (Hutan rakyat campuran). Di lokasi penelitian, hutan rakyat tidak mengelompok pada satu areal tertentu tetapi terpencar di antara kompleks perumahan masyarakat. Menurut Widayanti (2004), hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tergantung letak, luas lahan, dan keragaman pola usaha tani. Pada lokasi pengamatan tanaman yang diusahakan secara teknis umumnya tidak teratur, pemilik hanya membuat jarak dari satu pohon ke pohon lainnya yaitu 4 x 5 m untuk jenis tanaman jati, dan jarak 2 x 3 m untuk jenis mahoni, cempaka dan nantu/nyatoh di antara tanaman kelapa (10 x 8 m). Petani pemilik memilih jenis tanaman yang diusahakan hanya berdasarkan pengetahuan yang ada dan tidak melalui perencanaan yang matang, melainkan ketersediaan bibit yang ada di sekitar wilayahnya. Kurangnya pembinaan teknis berkaitan dengan sistem perencanaan yang matang maka hasilnya tidak akan optimal. Simon (1995) diacu dalam Widiarti (2008) mengatakan bahwa tanaman yang akan diusahakan harus dirancang sejak awal dan dalam memilih jenis harus dipenuhi beberapa hal agar jenis yang diusahakan/dikembangkan mendapat hasil yang optimal, yaitu di antaranya harus memenuhi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Hutan
rakyat
meningkatkan kesempatan
tidak
pendapatan berusaha,
hanya dan tetapi
berperan memperluas juga
secara
ekonomi
lapangan
berfungsi
kerja
ekologis
untuk atau dalam
penanggulangan lahan kritis, konservasi tanah dan air, serta konservasi flora dan fauna. Rahayu dan Awang (2003) mengemukakan bahwa hutan rakyat ; (1) memberi kepastian tambahan pendapatan harian dari tanaman berumur pendek dan tabungan dari tanaman berumur panjang, (2) lebih
208 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
mudah dan murah dipelihara daripada perkebunan atau areal tanaman semusim, karena menyediakan pakan ternak atau kayu bakar serta tidak perlu dipupuk dan disiangi, (3) menguntungkan secara lingkungan, karena bisa menumbuhkan mata air, mengurangi tanah longsor, dan meningkatkan siklus hara. Pertumbuhan pohon kayu pada areal hutan rakyat campuran dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tingkat kerapatan pohon, pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan. Dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu yang diusahakan dalam areal pertanaman kelapa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi buah kelapa yang ada. Hutan rakyat murni tanaman kelapa di lokasi penelitian umumnya ditanam pada tahun 19751976, menghasilkan buah pada usia antara 9-10 tahun. Jika dibandingkan dengan jenis tanaman kayu-kayuan pada usia tersebut telah memberikan hasil dari usaha penjarangan. Sehingga penanaman kayu sebagai tanaman sela dalam setiap lokasi pertanaman kelapa menjadi pertimbangan agar pemanfaatan lahan pada areal hutan rakyat murni (pertanaman kelapa) dapat termanfaatkan secara optimal. B. Produksi Hutan Rakyat Menurut Setyamijaya (1982) bahwa kayu kelapa varietas dalam (cocos nucifera), batangnya tinggi dan besar, dapat tumbuh mencapai 30-40 m. Bagian pangkal membesar dan mempunyai umur hingga 100 tahun lebih. Batang kelapa mempunyai kekuatan yang berbeda pada setiap bagian. Umumnya bagian tepi lebih keras dibandingkan dengan bagian tengah. Faktor tersebut disebabkan oleh adanya sel-sel pembuluh berkelompok yang disebut vascular bundles dan menyebar lebih rapat pada bagian tepi dibandingkan bagian tengah (Joseph 1987, diacu dalam Anonim 1993). Sifat fisis dan mekanis kayu kelapa sangat beragam, baik arah vertikal maupun arah horizontal. Pada batang yang sudah masak tebang pada pangkal pohon bagian tengah batang berat jenisnya 0,25 dan pada bagian tepi sekitar 0,90. Berat jenis batang kelapa pada ketinggian 19,5 m di atas tanah bagian tengah batang sekitar 0,10 dan bagian tepi 0,25 (Richolson &
209
Swarup 1975) diacu dalam (Widiatmoko 1987). Lebih jauh diterangkan bahwa dengan tidak adanya mata kayu pada kayu kelapa, akan mempertinggi kemungkinan pemanfaatan kayu kelapa untuk kayu laminasi sebagai komponen struktural yang menarik dalamdesain arsitektur modern.
Gambar 1. Tumpukan batang kelapa (glugu) rakyat umur 40-50 th
Pengolahan kayu kelapa umumnya tidak mudah pelaksanaannya, memerlukan pengalaman yang cukup dalam pola pemasarannya, utamanya untuk kualitas ekspor. Dalam beberapa bulan terakhir terjadi sejumlah klaim terhadap produk lantai kayu kelapa dari Indonesia yang diekspor ke Amerika, Eropa dan Jepang. Porsi klaim umumnya mencapai lebih dari 40% volume produk yang diekspor. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi eksportir kayu kelapa dan cenderung menghentikan usaha pihak penjual maupun pembeli dalam penggunaan kayu kelapa. Alasan tunggal dalam klaim tersebut adalah terjadinya perubahan dimensi dan bentuk produk setelah mencapai negara tujuan atau pada saat penggunaan. Perubahan bentuk dan dimensi sebagai akibat dari perubahan kelembaban antara tempat produksi dan tempat penggunaan merupakan sifat natural dari kebanyakan bahan kayu. Namun pada kasus kayu kelapa atau juga kayu palma lainnya terdapat perbedaan struktur dan komposisi anatomi yang sangat besar dibandingkan dengan anatomi kayu tradisional dari kelompok daun jarum maupun daun lebar. Perbedaan struktur anatomi tersebut beserta implikasinya tidak banyak diketahui oleh kalangan pengolah kayu kelapa, sehingga tahapan
210 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
dalam pengolahan kayu kelapa dilakukan persis sama sebagaimana pengolahan pada kayu tradisional. (Balfas,2010).
Gambar 2. Contoh potongan kayu kelapa dengan tingkat kerapatan pada masing-masing bagian lapisan
Selain kayu kelapa yang merupakan hasil produksi jangka panjang, buah yang dapat difungsikan sebagai bahan baku dari bermacam – macam manfaat, mulai dari sabut hingga menjadi kopra mempunyai banyak kendala dalam produksinya. Data Dinas Perkebunan (2011) areal untuk tanaman kelapa yang sudah tak produktif lagi (TBM), meningkat menjadi 32.526 Ha dibanding 2008 sebesar 28.886,90 Ha. Peremajaan sebanyak 115 ribu pohon kelapa telah dilakukan, tetapi produktivitas tak bisa ditingkatkan. Tahun 2009 di Sulawesi Utara produksi per hektar mengalami penurunan dari 1,21 ton per hektar menjadi 1,20 ton per hektar. Tanaman kelapa memiliki stuktur fisik yang menyerupai payung (mahkota), memiliki daun yang melengkung dan jaraknya dari permukaan tanah makin melebar seiring dengan umur tanaman. Pada waktu hujan lebat terjadi pelimpahan air pada mahkota tanaman, sebagian akan mengalir melalui pelepah dan menguap (intersepsi), sebagian mengalir dari daun ke batang (Stemflow) dan selanjutnya ke tanah, sedangkan sebahagian lainnya akan mengalir melalui ujung-ujung daun dan akan jatuh ke tanah (Throughfall) dengan aliran yang cukup deras, sehingga menimbulkan energi kinetis yang dapat membongkar permukaan tanah
211
berupa percikan sebagai pemicu adanya erosi terutama pada areal pertanaman kelapa yang memiliki kemiringan lereng cukup terjal. Untuk mengurangi Throughfall dan meningkatkan intersepsi dari tanaman kelapa maka tanaman sela yang produktif seperti jenis kayukayuan, buah-buahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat. Pada lokasi penelitian tanaman sela didominasi dengan tanaman cempaka (Elmerillia ovalis), jati (Tectona grandis), mahoni (Switenia macrophylla), nantu/nyatoh (Palaquium sp.). Penanaman dilakukan pada enam hingga tujuh tahun yang lalu dengan perawatan yang kurang maksimal. Pada tanaman kayu jati umumnya memiliki percabangan tanpa pemangkasan,hal ini disebabkan oleh kurangnya bimbingan dari petugas teknis. Untuk tanaman lainnya memiliki tingkat kerapatan yang agak padat, dan sampai pada usia kini belum dilakukan penjarangan. Jenis tanaman mahoni, sebagian mendapat serangan hama pucuk, sehingga untuk mengoptimalkan pertumbuhannya diperlukan pembasmi hama yang tepat dalam rangka menjaga proses pertumbuhannya hingga mencapai usia penebangan. Hasil pengukuran di lapangan, untuk tanaman cempaka, mahoni dan nyatoh, memiliki keseragaman diameter hingga tinggi total dari masingmasing pohon. Ukuran diameter setinggi dada, antara antara 12 – 31 cm, dan tinggi total tanaman antara 6,5 – 20 m. Untuk tanaman jati diameter setinggi dada antara 13–30 cm dengan tinggi total 15– 1 m. Volume tegakan/ha rata-rata untuk masing – tanaman yang diusahakan dalam lokasi pertanaman kelapa seperti pada Tabel 1.
212 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Tabel 1. Jumlah volume pohon untuk masing – masing tanaman No
Jenis Tanaman
Volume Pohon 3
m /ha
Luas Lahan Ha
3
Volume Tegakan (m )
1
Jati
282,72
3
846,16
2
Nyatoh/Nantu
194,86
1
194,86
3
Cempaka
65,46
1
65,46
4
Mahoni
257,73
1
257,73
Gambar 3. Tanaman nyatoh dan jati masing-masing umur 6 dan 7 th dalam lokasi pertanaman kelapa.
Gambar 4. Tanaman cempaka dan mahoni masing-masing umur 6 th dalam lokasi pertanaman kelapa.
C. Analisis Biaya Pemanfaatan lahan kosong dalam areal pertanaman kelapa yang cukup luas akan memberikan nilai manfaat yang sangat tinggi pada pemiliknya. Kayu yang dihasilkan dari tanaman sela akan meningkatkan pendapatan
213
hingga jutaan rupiah/bulannya. Berikut perbandingan analisis keuntungan dengan menggunakan formula yang sederhana dari tanaman kayu dalam lokasi pertanaman kelapa. 1. Analisis penanaman kayu jati dengan asumsi : a.
Luas lahan 3 ha (tanah milik)
b.
Jangka waktu budidaya 15 tahun
c.
Jarak tanam diantara tanaman kelapa 4 x 5 m
d.
Tingkat mortalitas 10%
e.
Biaya investasi dihitung pada tahun pertama hanya untuk tanaman sela meliputi pembelian bibit dan peralatan pertanian.
f.
Biaya upah buruh tani (HOK) adalah 8 Jam/hari sebesar Rp. 50.000,-
g.
Penerimaan berasal dari hasil penjarangan yang merupakan panen pertama dari masing – masing tanaman sela.
2. Analisis penanaman kayu Nyato, Cempaka. dan Mahoni dengan asumsi : a.
Luas lahan 1 ha (tanah milik)
b.
Jangka waktu budidaya 10 tahun
c.
Jarak tanam diantara tanaman kelapa 2 x 3 m
Penerimaan berasal dari hasil penjarangan yang merupakan panen pertama dari masing–masing tanaman sela. Analisis Biaya Pengusahaan Tanaman Sela seperti pada Lampiran 1. Analisis
Biaya
Penerimaan
dan
KeuntunganTanaman
Sela
dalam
pertanaman kelapa. Tabel 6. Analisis Biaya Penerimaan dan Keuntungan Tanaman Sela dalam Lokasi Pertanaman Kelapa No.
1 2 3 4
Hasil Penjarangan Jati Nyato/Nantu Cempaka Mahoni
Harga
Jumlah
Biaya
Jumlah
Satuan
Penerimaan
Produksi
Keuntungan
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
3
3.000.000
216.000.000
34.500.000
181.500.000
3
1.500.000
102.000.000
15.975.000
86.025.000
3
2.500.000
57.500.000
15.975.000
41.525.000
3
1.500.000
108.000.000
19.475.000
88.525.000
Volume
72 68 23 72
m m m m
214 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Hasil penerimaan untuk masing-masing jenis tanaman yang berada di dalam areal pertanaman kelapa memberikan tambahan keuntungan yang memadai. Untuk mengetahui jumlah pendapatan yang diperoleh maka dapat dilakukan Analisis Return On Investmen (ROI), dan untuk mengetahui perbandingan penerimaan dengan biaya produksi yang telah dibelanjakan dapat dilakukan Analisis Revenue Cost Ratio (R/C). Hasil analisis ROI dan (R/C) dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7. Hasil Analisis ROI untuk Masing-masing Tanaman Sela No.
Jenis Tanaman Sela
1
Jati
2
Keuntungan (Rp)
Biaya Produksi (Rp)
ROI
181.500.000
34.500.000
5,26
Nyato/Nantu
86.025.000
15.975.000
5.40
3
Cempaka
41.525.000
15.975.000
2.60
4
Mahoni
88.525.000
19.475.000
4.55
Tabel 8. Hasil Analisis R/C untuk Masing-masing Tanaman Sela No.
Jenis Tanaman Sela
Penerimaan (Rp)
Biaya Produksi (Rp)
R/C
1
Jati
216.000.000
34.500.000
6,2
2
Nyato/Nantu
102.000.000
15.975.000
6,4
3
Cempaka
57.500.000
15.975.000
3,5
4
Mahoni
108.000.000
19.475.000
5,5
Dari Tabel 7 terlihat bahwa keuntungan yang diperoleh (ROI) dari masing-masing tanaman sela antara 2 hingga 5 kali lebih besar dari modal yang dikeluarkan, sedangkan besarnya biaya penerimaan dibandingkan dengan biaya produksi (R/C) ≥ 1. Tabel 8 menunjukkan penerimaan lebih besar 3 hingga 5 kali dari pada modal yang digunakan sebagai biaya produksi. Ini menunjukkan bahwa tanaman sela sangat pantas untuk diusahakan sebagai tanaman pencegah erosi pada lokasi pertanaman berlereng, dan dapat meningkatkan pendapatan.
215
IV. Kesimpulan dan Saran A.
Kesimpulan Pertumbuhan kayu yang diusahakan dalam areal pertanaman kelapa
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi buah kelapa yang ada. Penurunan produk buah sebagai bahan kopra disebabkan oleh banyaknya tanaman kelapa tua yang belum diremajakan, pada tahun 2009 produksi per hektar terjadi penurunan dari 1,21 ton/ha menjadi 1,20 ton/ha. Penanaman kayu-kayuan atau buah-buahan yang produktif sebagai tanaman sela dalam areal pertanaman kelapa dapat mengurangi besarnya curah hujan sebagai Throughfall yang dapat menimbulkan erosi pada tanahtanah miring dan dapat meningkatkan pendapatan untuk kesejahteraan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari masing-masing tanaman sela antara 2 hingga 5 kali lebih besar dari modal yang dikeluarkan, sedangkan besarnya biaya penerimaan lebih besar 3 hingga 5 kali dari pada modal yang digunakan sebagai biaya produksi. B. Saran Hasil penelitian ini akan lebih bermanfaat jika kajian aspek finansial serta ekologinya dapat digali lebih dalam, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan guna pemanfaatan lahan kosong pada areal pertanaman kelapa secara optimal. DAFTAR PUSTAKA Balfas, 2010. Perlakuan resin pada kayu kelapa (Cocos nucifera) (Resin Treatment on Coconut Wood). www.forda-mof.org. Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Djafar,M. 1991.Pengaruh kemiringan tanah dan pengelolaan tanah di bawah pertanaman kelapa terhadap erosi . Buletin Balika No 13. artikel -57, Balitka Manado.
216 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Nursuestini, 1990. Usaha pengawetan tanah pada areal tanaman kelapa bertopografi miring dengan tanaman sela. Buletin Balitka No 12, artikel 11. Balitka Manado. Soendjoto. M. Arief.dkk.2008. Keanekaragaman tanaman pada hutan rakyat di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Buletin BIODIVERSITAS 9(2):142-147. Banjarbaru. Widayanti, W.T. 2004. Implementasi metode pengaturan hasil hutan pada pengelolaan hutan rakyat (studi di Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul). Jurnal Hutan Rakyat 6(2): 27-46. Widiarti, dkk. 2008. Karakteristik hutan rakyat pola kebun campuran. Jurnal Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
217
I. Analisis Biaya Pengusahaan Tanaman Sela Tabel 2. Analisis biaya produksi tanaman jati dalam lokasi pertanaman kelapa No
Kegiatan
1
2
I
Biaya Pembuatan Tanaman
Tenaga Kerja
Tahun ke
HOK
3
4
Bahan Tanaman
Harga
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
5
6
Pembelian bibit
1
50.000
50.000
2
Pengolahan Tanah
3
50.000
150.000
3
Peralatan Pertanian 15
50.000
750.000
Pemupukan
10
50.000
500.000
Penyiangan
14
50.000
700.000
6 7
8
400
(Rp)
(Rp)
9
10
11
3.000.000
3.050.000
btg
7.500
unit
25.000.000
25.000.000
25.000.000 750.000
10
karung
25.000
250.000
750.000 700.000
Jumlah I II
Rp/th
150.000 1
Pembuatan Lubang Tanaman
7
Jumlah
1
1
4
Volume
Biaya /th
Harga Sat
30.400.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemeliharaan 2 kali / tahun
13
50.000
650.000
650.000
Jumlah II
650.000
Jumlah Total I I
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
31.050.000
2 6
218 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
50.000
300.000
5
karung
25.000
125.000
425.000
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
13
50.000
650.000
650.000
Jumlah Total th II I
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
1.075.000
3 6
50.000
300.000
10
50.000
500.000
5
karung
25.000
125.000
500.000
Jumlah Total th III I
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
925.000
4 4
50.000
200.000
10
50.000
500.000
3
karung
25.000
75.000
Biaya Pemeliharaan
275.000 500.000
Jumlah Total th IV I
425.000
775.000
5
1
Pemupukan
4
50.000
200.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
8
50.000
400.000
Jumlah Total thV Jumlah Tota s/d tahun V
3
karung
25.000
75.000
275.000 400.000 675.000 34.500.000
219
Keterangan : - Harga alat pertanian meliputi dua ekor sapi, alat penggembur tanah (bajak) digunakan untuk pengolahan tanah pada lokasi tanaman cempaka, nantu, dan mahoni - 1 HOK = 8 jam - Daur jati = 7 tahun - Jarak tanam 4 x 5 m
220 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Tabel 3. Analisis biaya produksi tanaman nyatoh/nantu dalam lokasi pertanaman kelapa No
Kegiatan
1
2
I
Biaya Pembuatan Tanaman 1
Pembelian bibit
2
Pengolahan Tanah
3
Peralatan Pertanian
4
Pembuatan Lubang Tanaman
6
Pemupukan
7
Penyiangan
Tenaga Kerja
Tahun ke
HOK
3
4
Bahan Tanaman
Harga
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
5
6
7
8
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
9
10
Biaya /th Rp/th 11
1 3
50.000
3
50.000
150.000
1400
50.000
28
50.000
20
50.000
2.500
3.500.00 0
unit
500.000
500.000
1.000.000
500.000 1.500.000
1.500.000 1.400.000
3.650.000 150.000
1 30
btg
150.000
Jumlah I II
Volume
Harga
17
karung
25.000
425.000
1.825.000 1.000.000 8.625.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000
750.000
750.000
221
Jumlah II Jumlah Total I I
Biaya Pemeliharaan
9.375.000
2
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000
750.000
9
karung
25.000
225.000
750.000
Jumlah Total th II I
Biaya Pemeliharaan
1.975.000
3
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
9
karung
25.000
225.000
Biaya Pemeliharaan
1.825.000
4
1
Pemupukan
15
50.000
750.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
6
karung
25.000
150.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
900.000 600.000
Jumlah Total th IV I
1.225.000 600.000
Jumlah Total th III I
1.225.000
1.500.000
5 15
50.000
750.000
8
50.000
400.000
6
karung
25.000
150.000
900.000 400.000
Jumlah Total thV
1.300.000
Jumlah Tota s/d tahun V
15.975.000
222 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Keterangan : - Daur tanaman = 6 tahun - Jarak tanam 2 x3 m
223
Tabel 4. Analisis biaya produksi tanaman cempaka dalam lokasi pertanaman kelapa No
Kegiatan
1
2
I
Biaya Pembuatan Tanaman 1
Pembelian bibit
2
Pengolahan Tanah
3
Peralatan Pertanian
4
Pembuatan Lubang Tanaman
6
Pemupukan
7
Penyiangan
Tenaga Kerja
Tahun ke
HOK
3
4
Bahan Tanaman
Harga
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
5
6
7
8
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
9
10
Biaya /th Rp/th 11
1 3
50.000
3
50.000
150.000
1400
50.000
28
50.000
20
50.000
2.500
3.500.00 0
unit
500.000
500.000
1.000.000
500.000 1.500.000
1.500.000 1.400.000
3.650.000 150.000
1 30
btg
150.000
Jumlah I II
Volume
Harga
17
karung
25.000
425.000
1.825.000 1.000.000 8.625.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000 Jumlah II
224 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
750.000
750.000
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Jumlah Total I I
Biaya Pemeliharaan
9.375.000
2
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000
750.000
9
karung
25.000
225.000
750.000
Jumlah Total th II I
Biaya Pemeliharaan
1.975.000
3
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
9
karung
25.000
225.000
Biaya Pemeliharaan
1.825.000
4
1
Pemupukan
15
50.000
750.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
6
karung
25.000
150.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
900.000 600.000
Jumlah Total th IV I
1.225.000 600.000
Jumlah Total th III I
1.225.000
1.500.000
5 15
50.000
750.000
8
50.000
400.000
6
karung
25.000
150.000
900.000 400.000
Jumlah Total thV
1.300.000
Jumlah Tota s/d tahun V
15.975.000
225
Keterangan : - Daur tanaman = 6 tahun - Jarak tanam 2 x3 m
226 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Tabel 5. Analisis biaya produksi tanaman mahoni dalam lokasi pertanaman kelapa No
Kegiatan
1
2
I
Biaya Pembuatan Tanaman 1
Pembelian bibit
2
Pengolahan Tanah
3
Peralatan Pertanian
4
Pembuatan Lubang Tanaman
6
Pemupukan
7
Penyiangan
Tenaga Kerja
Tahun ke
HOK
3
4
Bahan Tanaman
Harga
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
5
6
7
8
Jumlah
Sat (Rp)
(Rp)
9
10
Biaya /th Rp/th 11
1 3
50.000
3
50.000
150.000
1400
50.000
28
50.000
20
50.000
5.000
7.000.00 0
unit
500.000
500.000
1.000.000
500.000 1.500.000
1.500.000 1.400.000
7.150.000 150.000
1 30
btg
150.000
Jumlah I II
Volume
Harga
17
karung
25.000
425.000
1.825.000 1.000.000 12.125.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000
750.000
750.000
227
I
Biaya Pemeliharaan
Jumlah II
750.000
Jumlah Total I
12.875.000
2
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
15
50.000
750.000
9
karung
25.000
225.000
750.000
Jumlah Total th II I
Biaya Pemeliharaan
1.975.000
3
1
Pemupukan
20
50.000
1.000.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
9
karung
25.000
225.000
Biaya Pemeliharaan
1.825.000
4
1
Pemupukan
15
50.000
750.000
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
12
50.000
600.000
6
karung
25.000
150.000
Biaya Pemeliharaan 1
Pemupukan
2
Pemeliharaan 2 kali / tahun
900.000 600.000
Jumlah Total th IV I
1.225.000 600.000
Jumlah Total th III I
1.225.000
1.500.000
5 15
50.000
750.000
8
50.000
400.000
6
karung
25.000
150.000
900.000 400.000
Jumlah Total thV
1.300.000
Jumlah Tota s/d tahun V
19.475.000
228 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Finansial Kombinasi Tanaman Kayu……. La Ode Asir
Keterangan : - Daur tanaman = 6 tahun - Jarak tanam 2 x3 m II. Analisis Biaya Panen Kelapa 1. Luas pertanaman kelapa 2. Tahun tanam 3. Waktu panen / tahun 4. Panen dalam 1 ha (100 btg)/tahun 5. Harga kopra/kg 6. Jumlah penerimaan/tahun 7. Jumlah penerimaan/bulan
= 1 ha = 1975 – 1976 = 4 kali = ± 1, 2 ton – 1,5 ton kopra = ± Rp.3.500,= ± Rp. 4.725.000,- atau = ± Rp. 393,750 == Rp. 400.000,-
229
230 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kesesuaian Media Sapih terhadap……. Hanif Nurul Hidayah & Arif Irawan
KESESUAIAN MEDIA SAPIH TERHADAP PERSENTASE HIDUP SEMAI JABON MERAH (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil)1 Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.)Havil) merupakan salah satu jenis tanaman cepat dan mudah tumbuh serta tidak menuntut persyaratan kesuburan tanah yang tinggi. Penggunaan media tumbuh yang tepat akan menentukan nilai persentase hidup bibit yang ditanam. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian media sapih terhadap presentase hidup semai jabon merah. Perlakuan media sapih yaitu P1 media topsoil, P2 media coco peat, P3 media arang sekam, P4 media yang digunakan antara lain top soil + arang sekam, P5 media top soil + cocopeat dan P6 media coco peat + arang sekam. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Hasil percobaan terhadap persentase hidup semai jabon merah menyatakan media dengan kombinasi antara top soil dengan arang sekam merupakan unit percobaan yang menghasilkan persentase hidup terbaik yaitu 83,33%. Sedangkan hasil yang terendah adalah penggunaan media arang sekam secara tunggal yaitu hanya 16%. Kata Kunci : jabon merah, media sapih, arang sekam, top soil, coco peat.
I. Pendahuluan Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan unggulan yang memiliki penyebaran alami lebih sempit bila dbandingkan dengan jabon putih (Anthocephalus 1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
231
cadamba Roxb.). Jenis tanaman ini merupakan jenis tanaman cepat dan mudah tumbuh serta tidak menuntut persyaratan kesuburan tanah yang tinggi. Jenis kayu dari tanaman ini merupakan jenis kayu yang mempunyai kelas awet IV dan kelas kuat II-III dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku plywood, meubel/furniture, dan interior ruangan (Halawane, dkk. 2011). Kemampuan hidup sebuah bibit/semai untuk dapat bertahan berbanding lurus dengan kondisi lingkungan yang mendukungnya. Persentase hidup yang tinggi menunjukkan bahwa faktor lingkungan telah memberikan berbagai sarana yang cukup bagi bibit tersebut, seperti kebutuhan terhadap air, hara, dan udara serta bebas dari gangguan hama dan penyakit yang potensial menyerang bibit (Supriani (1999) dalam Herdiana (2008). Penggunaan media tumbuh yang tepat akan menentukan nilai persentase hidup bibit yang ditanam. Syarat umum media sapih yang baik antara lain memiliki sifat ringan, murah, mudah diperoleh, gembur, dan mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Masing-masing jenis tanaman memiliki tingkat kesesuaian hidup yang berbeda terhadap media sapih yang digunakan. Selain sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya akar, media sapih memiliki fungsi sebagai penentu tingkat kelembaban, suplai oksigen dan ketersediaan nutrisi bagi tanaman. Untuk itulah jenis media sapih yang digunakan untuk setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari kebutuhan tanaman. Perbedaan karakteristik media terutama pada kandungan unsur hara bagi tanaman dan daya mengikat air yang tercermin pada porositas, kelembaban dan aerasi. Penentuan media yang sesuai diharapkan dapat menghasilkan persentase hidup optimal semai suatu tanaman. Jenis media sapih yang sering digunakan dalam penyemaian tanaman antara lain top soil, coco peat, arang sekam, pasir ataupun kombinasi campuran media-media tersebut. Masing-masing media sapih yang umum digunakan dalam persemaian, memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian beberapa media sapih terhadap persentase hidup semai jabon merah.
232 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kesesuaian Media Sapih terhadap……. Hanif Nurul Hidayah & Arif Irawan
II. Bahan dan Metode A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di persemaian permanen Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Tondano yang berada di lokasi perkantoran Balai Penelitian Kehutanan Manado,
Sulawesi Utara. Penelitian
dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu pada bulan Agustus s/d September 2012. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit jabon merah yang berasal dari Gorontalo, polytube, top soil, coco peat, arang sekam, dan sprayer. C. Metode Penelitian Semai jabon merah yang telah berumur 5 (lima) bulan dipindahkan kedalam polytube yang telah diberi perlakuan perbedaan media. Beberapa variasi perlakuan media yang digunakan yaitu : P1 : Media top soil P2 :Media coco peat P3 : Media arang sekam P4 : Media top soil + arang sekam P5 : Media top soil + coco peat P6 :Media coco peat + arang sekam Semai yang dipindahkan merupakan semai dengan pertumbuhan tinggi seragam dan rata-rata telah memiliki jumlah 4 (empat) daun. Jumlah semai yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 108 semai (masing-masing perlakuan media sejumlah 18 semai). Pengamatan dilakukan secara berkala dan pengambilan data persentase hidup dilaksanakan setelah 2 (dua) bulan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan untuk masing-masing perlakuan sebanyak 3 (tiga) kali. Analisis data dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan perbedaan media sapih yang digunakan terhadap persentase hidup semai
233
jabon merah. Jika analisis tersebut menunjukkan adanya pengaruh yang nyata, maka dilakukan analisis lanjutan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Untuk membantu menyelesaikan analisis tersebut digunakan program SPSS. III. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Data nilai hasil perhitungan persentase hidup semai jabon merah secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis varians diketahui terdapat pengaruh yang nyata akibat adanya perbedaan penggunaan media pada perlakuan semai jabon merah (Tabel 1). Uji lanjut menyatakan media terbaik untuk menghasilkan persentase hidup semai jabon merah tertinggi adalah menggunakan campuran antara tanah dan arang sekam. Rata-rata persentase hidup semai dengan menggunakan media ini yaitu sebesar 83,33 % (Tabel 2). Sedangkan nilai persentase terendah terdapat pada semai dengan media yang digunakan adalah arang sekam yaitu dengan persentase hidup rata-ratanya sebesar 16 %. Tabel 1. Hasil analisis varians persentase hidup semai jabon merah Sumber
Db
JK
KT
Nilai F
Pr < F
Model
5
9374,28
1874,86
18,01
0,0001
Error
12
1249,33
104,11
Total
17
10623,61
Keragaman
Tabel2. Uji Lanjut persentase hidup semai jabon merah No
Media
Persentase Hidup
1.
Media tanah top soil + arang sekam (P4)
2.
Media Coco peat + arang sekam (P6)
77,667 ab
3.
Tanah top soil (P1)
77,667ab
4.
Media tanah top soil + coco peat (P5)
72,333 ab
5.
Coco peat (P2)
61,333 ab
6.
Arang Sekam (P3)
16,000 b
234 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
83,33 a
Kesesuaian Media Sapih terhadap……. Hanif Nurul Hidayah & Arif Irawan
B. Pembahasan Media sebagai tempat berkembangnya organ akar merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan semai suatu tanaman.
Menurut Novizan (2005) dalam Kosasih dan Haryati (2006)
menyatakan bahwa media yang baik mempunyai empat fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai media perakaran, menyediakan air dan tempat penampungan air, menyediakan udara untuk respirasi akar dan sebagai tempat tumbuhnya tanaman. Hartman et al. (1990) dalam Juhardi (1995) media yang baik harus memiliki persyaratan antara lain mampu menjaga kelembaban, memiliki aerasi dan drainase yang baik, tidak memiliki salinitas yang tinggi serta bebas dari hama dan penyakit. Hasil percobaan terhadap persentase hidup semai jabon merah menyatakan media dengan kombinasi antara top soil dengan arang sekam merupakan unit percobaan yang menghasilkan persentase hidup terbaik. Arang sekam dikenal sebagai campuran media yang cukup baik untuk mengalirkan
air,
sehingga
media
tetap
terjaga
kelembabannya.
Berdasarkan hasil percobaan diketahui media terbaik kedua adalah penggunaan media dengan kombinasi coco peat dan arang sekam. Selain campuran yang baik untuk mengalirkan air, arang sekam juga memiliki kemampuan untuk menjernihkan air dan juga menghalangi timbulnya penyakit. Bahkan kandungan nitrogen yang dimilikinya, diyakini bisa meningkatkan kesuburan media tanaman (Tabloidgallery, 2008). Media arang sekam sangat baik digunakan untuk proses pembibitan karena media ini mempunyai sifat poros (sarang), ringan, dan tidak mudah lapuk. Penambahan sekam membuat struktur media menjadi lemah dan akar leluasa dalam pertumbuhannya. Penambahan arang sekam memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perkembangan akar tanaman yang efeknya positif terhadap persentase hidup suatu tanaman. Pemberian arang sekam pada media tumbuh akan menguntungkan karena dapat memperbaiki sifat tanah di antaranya adalah mengefektifkan pemupukan karena selain memperbaiki sifat fisik tanah (porositas, aerasi), arang sekam juga berfungsi sebagai
235
pengikat hara (ketika kelebihan hara) yang dapat digunakan tanaman ketika kekurangan hara, hara dilepas secara perlahan sesuai kebutuhan tanaman/slow release (Komarayati et al., 2003). Komposisi kimiawi dari arang sekam sendiri terdiri dari SiO2 dengan kadar 72,28% dan C sebanyak 31%. Sementara kandungan lainnya terdiri dari Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan Cu dengan jumlah yang kecil (Bakri, 2008). Berbanding terbalik dengan perlakuan kombinasi media arang sekam, penggunaan media ini secara tunggal memberikan hasil persentase hidup semai jabon merah yang paling kecil yaitu hanya sebesar 16 %. Hal ini dikarenakan arang sekam sangat miskin kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Penggunaan arang sekam sebagai media tanam (hidroponik) biasanya diimbangi dengan pemberian pupuk yang dilakukan secara berkala. Penggunaan media coco peat dalam percobaan yang dilakukan memberikan hasil yang kurang optimal. Perlakuan kombinasi coco peat dan arang sekam memberikan hasil yang paling baik dibandingkan dengan penggunaan media pada unit perlakuan coco peat lainnya. Penggunaan coco peat secara individu memberikan hasil yang paling minor yaitu menghasilkan rata-rata presentase hidup sebesar 61,33%. Salah satu penyebabnya disinyalir karena akibat kandungan senyawa yang terdapat dalam media ini yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara normal. Zat ini biasa dikenal dengan zat tanin atau sering juga disebut zat anti gizi. Untuk menghilangkan zat tanin yang berlebihan, maka bisa dilakukan dengan cara merendam cocopeat di dalam air bersih selama beberapa jam, lalu diaduk sampai air berbusa putih. Selanjutnya airnya dibuang dan diganti dengan air bersih yang baru. Demikian dilakukan beberapa kali sampai busa tidak keluar lagi. Cocopeat merupakan jenis media yang mampu mengikat air secara kuat dan dapat menyimpannya dalam waktu yang cukup lama. Pemberian air yang berlebihan dapat menyebabkan media tanam ini mudah lapuk sehingga mudah ditumbuhi jamur. Selain itu, tanaman pun menjadi cepat busuk sehingga bisa menjadi sumber penyakit.
236 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kesesuaian Media Sapih terhadap……. Hanif Nurul Hidayah & Arif Irawan
Pengaruh media tanah top soil tanpa kombinasi merupakan efek terbaik kedua terhadap persentase hidup semai jabon pada unit percobaan ini (media tanah top soil). Tanah top soil merupakan media yang memiliki unsur hara tertinggi dibandingkan media lainnya, namun berdasarkan hasil percobaan penggunaan media tanah terbaik ditunjukkan oleh penggunaan tanah top soil secara kombinasi dengan arang sekam
Hal ini karena
porositas media dapat lebih terjaga sehingga menjadikan persentase hidup semai jabon merah lebih tinggi. IV. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diketahui media yang paling sesuai mempengaruhi nilai persentase hidup semai jabon merah adalah penggunaan kombinasi media top soil dan arang sekam. Penggunaan media coco peat tidak dianjurkan berdasarkan percobaan ini, karena memberikan pengaruh persentase hidup yang kurang optimal. DAFTAR PUSTAKA Bakri .2008. Komponen kimia dan fisik abu sekam padi sebagai SCM untuk pembuatan komposit semen.Jurnal Perennial 5(1) : 9-14 Halawane, J.E. Hidayah, H.N. dan Kinho, J. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil). Balai Penelitian Kehutanan Manado Herdiana, N. Lukman, A, H.2008. Pengaruh dosis dan frekuensi pemupukan NPK terhadap pertumbuhan bibit Shorea ovalis Korth. (Blume) asal anakan alam di persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol V No 4.Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Juhardi, D. 1995. Studi Pembiakan Vegetatif Stek Pucuk Shorea selanica BL dengan Menggunakan Zat Pengatur Tumbuh IBA pada Media Campuran Tanah dan Pasir. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.(Tidak dipublikasikan).
237
Komarayati S, Pari G dan Gusmailina. 2003. Pengembangan Penggunaan Arang untuk Rehabilitasi Lahan dalam Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4:1. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kosasih, A, S. dan Haryati. 2006. Pengaruh Medium Sapih terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea Selenica BL. di Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tabloidgallery. 2008. Hijau Itu Indah. Jakarta.
238 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kesesuaian Media Sapih terhadap……. Hanif Nurul Hidayah & Arif Irawan
Lampiran 1. Gambar perlakuan media sapih terhadap pertumbuhan semai jabon merah
aPopulasi Awal
b
c
d f e Perlakuan media sapih a. Tanah+sekam; b. Tanah+cocopit; c. Cocopit+sekam; d. Cocopit; e. Tanah; e.Sekam
239
Lampiran2. Data persentase hidup semai Jabon Merah pada masing-masing perlakuan media Media Tanah top soil (P1)
Coco peat (P2)
Arang Sekam (P3)
Media tanah + arang sekam (P4)
Media tanah + coco peat (P5)
Media Coco peat + arang sekam (P6)
Ulangan
Persentase Hidup (%)
1
83
2
83
3
67
1
67
2
50
3
67
1
16
2
16
3
16
1
100
2
67
3
83
1
83
2
67
3
67
1
83
2
67
3
83
240 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
SIFAT FISIS MEKANIS KAYU PAKOBA DAN PENGGUNAANNYA SEBAGAI JENIS ENDEMIK LOKAL SULAWESI UTARA1 Lis Nurrani dan Supratman Tabba Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 email :
[email protected]
ABSTRAK Sifat fisis mekanis kayu merupakan sifat bawaan yang secara umum mempengaruhi ketahanan alami kayu. Dengan mengetahui sifat-sifat dasar kayu maka risiko kerusakan bahan baku kayu ketika proses pengolahan dan pengiriman menjadi produk olahan dapat dihindari secara minimal. Sifat dasar tersebut juga dapat menjadi dasar penentuan kelas kuat kayu. Penelitian sifat fisis dan mekanis kayu pakoba bertujuan untuk mengidentifikasi dan melengkapi data dasar guna pengayaan informasi ilmiah secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu pakoba mengandung kadar air basah rata-rata 58,02 %, berat jenis kering udara 0,671 dan penyusutan tangensial dari basah ke kering udara 2,42 %. Rata-rata keteguhan lentur maksimum (MOR) kayu pakoba adalah 2 2 244,28 kg/cm dan modulus elastisitas (MOE) sebesar 26.231,33 kg/cm . Kayu 2 pakoba memiliki keteguhan lentur mutlak rata-rata 26.231,33 kg/cm , keteguhan 2 2 tarik sejajar serat 408,849 kg/cm , keteguhan tekan sejajar serat 107,13 kg/cm , 2 keteguhan tekan tegak lurus serat 24,65 kg/cm , keteguhan geser sejajar serat 2 36,43 kg/cm . Berdasarkan berat jenisnya Pakoba digolongkan kedalam kayu kelas kuat III dengan variasi BJ 0,602 (0,562 – 0, 747), dan diharapkan hasil ini bisa menjadi dasar peruntukkan kayu yang lebih proporsional. Kata Kunci : Sifat Fisis, Mekanis, Penggunaan, Pakoba
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 24 Oktober 2012.
241
I.
Pendahuluan Pakoba merupakan jenis kayu non komersial, kurang dikenal yang
masih sangat minim informasinya terutama mengenai data-data ilmiah dasar. Kondisi ini cukup ironis karena pakoba adalah jenis dengan status endemik lokal Sulawesi Utara yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada Laboratorium Herbarium Bogoriense, Pakoba termasuk dalam family Rubiaceae dengan nama ilmiah Tricalysia minahassae Comb. Nov (Kinho et al., 2011).
Umumnya
masyarakat mengolah dan memanfaatkan pakoba sebagai bahan baku kayu pertukangan dalam bentuk balok, kusen dan papan. Namun data kekuatan dan keawetan kayu yang ada tidak valid karena belum tersaji secara kualitatif dan kuantitatif, namun hanya berdasarkan keterangan dan pengalaman masyarakat di lapangan yang pernah menggunakannya. Sifat dasar terutama sifat fisis, mekanis dan kimia kayu sangat berperan dalam menentukan kesesuaian suatu jenis kayu dapat diproses dalam industri pengolahan kayu dan kesesuaian produk pengolahan yang dapat dibuat dari jenis tersebut untuk tujuan tertentu. Sifat fisis, struktur anatomi dan kimia kayu merupakan sifat bawaan yang secara umum mempengaruhi ketahanan alami kayu dimana faktor-faktor tersebut memiliki hubungan yang kuat satu sama lainnya (Muin et al., 2010). Selain itu, dengan memahami sifat-sifat dasar tersebut maka risiko kerusakan bahan baku kayu sebelum dan selama proses pengolahan maupun pada penyimpanan dan pengiriman ketika telah menjadi produk olahan dapat dihindari secara minimal sehingga efisiensi industri pengolahan kayu dapat ditingkatkan. Minimnya informasi ilmiah mengenai kayu pakoba sehingga dipandang penting melakukan kajian terkait dengan sifat-sifat dasar kayu mengingat pakoba merupakan jenis endemik dan tingginya pemanfaatannya oleh masyarakat. Penelitian ini merupakan hasil pengujian terhadap sampel kayu pakoba dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai sifat fisis mekanis kayu tersebut.
242 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
Dengan mengetahui sifat dasar tersebut maka pemanfaatan kayu dapat diarahkan pada penggunaan yang lebih proporsional terutama untuk kayu pertukangan, bahan baku meubel, floring dan pemanfaatan lainnya. Menurut Dumanauw (2001) kekuatan kayu memiliki peran penting dalam penggunaan kayu untuk bangunan, perkakas dan keperluan lainnya sehingga kekuatan yang telah diklasifikasikan dapat digunakan sebagai acuan untuk penentuan pemanfaatan jenis kayu. II. Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Sampel kayu diperoleh pada hutan di sekitar kawasan Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Kelurahan Batu Putih, Kecamatan Bitung Timur, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pemotongan sampel uji dilaksanakan pada laboratorium flora dan fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Uji kekuatan fisis dan mekanis kayu dilakukan pada laboratorium pengujian sifat fisis mekanis kayu Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Pengambilan sampel dan data lapangan hingga analisis dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Maret s/d Juli 2012. B.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan sebagai obyek dalam kegiatan penelitian ini
adalah kayu pakoba dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam Tangkoko Batuangus. Sedangkan alat yang digunakan terdiri dari chain saw, gergaji belah, gergaji potong, kamera, penggaris kenko 30 cm, meteran 5 m, parang, pita meter, dan alat tulis menulis. Sampel kayu diambil dari pohon pakoba dengan usia diperkirakan 60 tahun yang menurut masyarakat ditanam sekitar tahun 1952. Tinggi bebas cabang pohon ± 15 m dengan tinggi total 20 m dan diameter batang 80 cm, hasil pengolahan sortimen kayu dari pohon tersebut mencapai dua kubik. C. Metode Penelitian Sampel kayu diambil dari bagian teras, gubal serta bagian antara teras dan gubal. Contoh uji induk berasal dari kayu sortimen berukuran 150 x 6 x
243
6 cm sebanyak 6 (enam) sortimen. Pemotongan dan pengujian sampel dilakukan berdasarkan ketentuan metode America Standard for Testing Material (ASTM) D-1666-64 (Anonim, 1974).
Gambar 1. Sampel kayu yang diujikan
III. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan morfologinya pohon Pakoba memiliki batang berbanir, cerah, coklat dengan bercak-bercak putih. Kulit berlekah dengan sedikit alur-alur. Daun tunggal berhadapan genap, terdapat stipula pada daun muda berwarna merah tua, ujung dan pangkal daun meruncing, tepian daun rata, permukaan dan belakang daun licin dengan satu urat daun primer yang tampak jelas dan tidak berbulu. Daun muda berwarna hijau dan daun tua berwarna merah bata. Buah muda berwarna hijau, buah matang berwarna hijau muda kekuningan berekor. Permukaan kulit buah licin, daging buah hijau muda, biji tunggal. Mengeluarkan getah bening yang agak lengket.
Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada
Laboratorium Herbarium Bogoriense, Pakoba termasuk dalam family Rubiaceae dengan nama ilzmiah Tricalysia minahassae Comb. Nov (Kinho et al, 2011). Kayu Pakoba memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : warna kayu coklat muda hingga tua kemerah-merahan, perbedaan warna antara teras dan gubal kurang jelas dengan corak polos. Tekstur kayu agak halus dan merata, mengeluarkan bau tajam (asam) dan kayunya keras.
244 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
A. Sifat Fisis Kayu Sifat fisika kayu adalah sifat-sifat asli dari kayu (wood inheren factors) yang dapat berubah-ubah karena adanya pengaruh lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara (Istikowati, 2012). Sifat fisis mekanis merupakan sifat dasar kayu yang sangat penting dan paling mendasar untuk menentukan kelas kuat dan keawetan kayu serta penggunaannya. Sifat fisis dapat diketahui secara jelas melalui panca indera, baik dengan penglihatan, penciuman, perabaan dan sebagainya tanpa menggunakan alat bantu (Rukmayadi, 2012). 1. Berat Jenis dan Kadar Air Berat jenis kayu pakoba pada kondisi awal rata-rata menunjukkan angka 0,698. Nilai berat jenis basah setelah direndam dengan air dingin selama 24 jam yaitu 0,885 dan berat jenis kering udara 0,671. Sedangkan nilai rata-rata kadar air kering udara 14,71 % dengan kadar air basah 58,02 % dan kondisi awal sampel sebesar 27,09 %. Hasil pengujian berat jenis dan kadar air terhadap kayu pakoba disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata berat jenis dan kadar air kayu pakoba Kondisi Awal
Kondisi setelah direndan air dingin selama 24 jam
Berat
Berat
Kadar Air
Jenis
Jenis
(%)
Kering
Kering
kering
Udara
Tanur
udara
1
0,701
0,589
30,02
2
0,616
0,562
3
0,777
Rata2
0,698
Ulangan
Berat
Kadar
Kadar
Jenis
Air
Air (%)
Kering
(%)
Kering
Udara
Basah
Udara
1,044
0,747
71,41
14,79
19,50
0,781
0,623
60,13
14,56
0,654
31,74
0,829
0,644
42,53
14,79
0,602
27,09
0,885
0,671
58,02
14,71
Berat Jenis Basah
Sumber : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan 2012
Menurut Dumanauw (2001) berdasarkan nilai berat jenis kering udara kayu pakoba dapat diklasifikasikan ke dalam kayu kelas agak berat (Bj antara 0,60 – 0,75). Sementara bila kayu pakoba diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia oleh Den Berger (1923)
245
termasuk kayu kelas kuat III (BJ antara 0,40 – 0,60). Berdasarkan volume basahnya kayu pakoba termasuk dalam klasifikasi kayu berat (BJ > 0,56). Berat jenis merupakan sifat fisis kayu yang sangat penting diketahui, sebab nilai ini mempengaruhi penggunaan kayu selanjutnya. Berdasarkan variasi berat jenisnya Pakoba merupakan kayu kelas kuat III dengan variasi BJ 0,602 (0,562 – 0, 747). 2. Penyusutan Arah (%) Kayu pakoba tergolong kayu agak berat dengan penyusutan dari keadaan basah ke kering udara rata-rata 0,36 % arah (Radial) dan 2,42 % pada arah (Tangensial). Sementara penyusutan dari keadaan kering udara ke kering tanur rata-rata 2,58 % (Radial) dan 3,66 % (Tangensial) dan ini menunjukkan bahwa kayu pakoba tergolong penyusutan kecil, lihat Tabel 2. Tabel 2. Nilai rata-rata penyusutan arah radial dan tangensial kayu pakoba Basah ke KU.
Basah ke KT.
Rad
Tan
Rad
Tan
Rad
Tan
Basah
1
0,45
3,75
3,60
7,19
3,17
3,57
71,41
14,79
2
0,39
1,99
2,56
5,47
2,17
3,55
60,13
14,56
3
0,24
1,51
2,65
5,32
2,41
3,87
42,53
14,79
Rata2
0,36
2,42
2,93
5,99
2,58
3,66
58,02
14,71
Ulangan
Nilai Ratio T/R
6,72
2,04
KU ke KT
Kadar Air (%) Kering Udara
1,42
Keterangan : KU = Kering Udara, KT = Kering Tanur, Rad = Radial, Tan = Tangensial Sumber : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan 2012
Kayu pakoba tergolong kayu agak berat dengan penyusutan dari keadaan basah ke kering udara rata-rata 0,36 % arah (Radial) dan 2,42 % pada arah (Tangensial). Sementara penyusutan dari keadaan kering udara ke kering tanur rata-rata 2,58 % (Radial) dan 3,66 % (Tangensial) dan ini menunjukkan bahwa kayu pakoba tergolong penyusutan kecil. Ratio penyusutan T/R kayu Pakoba peda kering udara ke kering tanur menunjukkan angka 1,42. Artinya dimensi kayu pakoba stabil dalam
246 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
menghadapi perubahan kondisi suhu dan kelembaban udara. Panshin dan De Zeeuw (1980) menyatakan bahwa kayu memiliki kestabilan tinggi jika ratio T/R mendekati 1,00.
Penyusutan arah longitudinal tidak diujikan
karena umumnya penyusutan kayu pada arah ini bernilai kecil sehingga dapat diabaikan. B. Sifat Mekanis Kayu Panshin dan De Zeeuw (1980) mendefinisikan sifat mekanis kayu sebagai kekuatan atau kemampuan kayu untuk menahan gaya-gaya atau beban dari luar yang mengenainya. Gaya tersebut adalah setiap usaha yang cenderung untuk menggerakkan benda yang diam, atau mengubah bentuk dan ukurannya, atau mengubah arah dan kecepatan benda yang bergerak. Sifat mekanis atau kekuatan kayu merupakan kemampuan kayu untuk menahan muatan dari luar. Muatan dari luar ialah gaya-gaya di luar benda yang mempunyai kecenderungan untuk mengubah bentuk dan besarnya benda.
Hasil pengujian sifat mekanis kayu pakoba yang
terdiri dari kekuatan lentur, tekan dan geser kayu pakoba dapat di lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai rata-rata kekuatan lentur, kekuatan tekan dan kekuatan geser kayu pakoba Kuat Lentur Statik Ulangan
2
(kg/cm )
2
Kuat Tekan (kg/cm )
Kuat Geser 2
(kg/cm )
MOE
MOR
// serat
serat
1
25.986,42
238,43
108,62
23,08
32,36
2
26.109,68
234,12
115,47
26,03
36,11
3
26.597,89
260,28
97,31
24,83
40,81
Rata2
26.231,33
244,28
107,13
24,65
36,43
Sumber : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan 2012
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 3 di atas dapat dikemukakan bahwa, nilai rata-rata keteguhan lentur maksimum/Modulus of Rupture (MOR) kayu pakoba adalah 244,28 kg/cm2 dan modulus elastisitas/Modulus of Elasticity (MOE) sebesar 26.231,33 kg/cm2. Keteguhan tekan sejajar
247
serat rata-rata 107,13 kg/cm2 dan keteguhan tekan tegak lurus serat 24,65 kg/cm2 serta keteguhan geser 36,43 kg/cm2. Pada umumnya klasifikasi kekuatan kayu di Indonesia didasarkan pada keteguhan lentur pada batas patah dan keteguhan tekan sejajar serat. Sifat-sifat mekanis lainnya juga penting diketahui dalam hubungannya dengan pengolahan dan pemanfaatan kayu untuk keperluan tertentu. C. Penggunaan Kayu 1. Pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal Umumnya masyarakat Sulawesi Utara dalam memanfaatkan kayu pakoba masih menggunakan cara-cara tradisional. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pengolahan dan pemanfaatan kayu pakoba sebagian besar diperuntukkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Eksploitasi pakoba oleh masyarakat terutama untuk keperluan konstruksi bangunan rumah-rumah tradisional di wilayah pedesaan. Bentuk olahan kayu yang sering kali digunakan oleh masyarakat adalah balok, kusen, papan dan tiang penyangga rumah. Kayu ini juga cukup kuat digunakan untuk bahan baku jembatan. Pemanfaatan lokal tradisional lainnya adalah sebagai bahan dasar pembuatan perahu oleh masyarakat pesisir. Bagian perahu yang menggunakan kayu pakoba adalah lantai, dinding, pintu, jendela, dek, dayung dan kayu penyeimbang perahu. Berdasarkan informasi masyarakat diketahui bahwa kayu pakoba memiliki daya tahan tinggi terhadap daya rusak kadar garam air laut dengan umur pakai ekonomis selama ± 10 tahun dan masyarakat sering menjuluki kayu ini sebagai kayu yang bersifat asam. Beberapa alasan yang menjadi penyebab tingginya preferensi masyarakat terhadap kayu pakoba antara lain (1) kayu pakoba keras, kuat, padat dan asam (2) umur pakai ekonomis kayu yang lama ± 30 tahun (3) tahan terhadap serangan hama bubut kayu (4) kayu pakoba tahan terhadap serangan rayap tanah. 2. Arahan Penggunaan Kayu Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis dan mekanis serta pemanfaatan kayu secara lokal oleh masyarakat maka arahan kemungkinan penggunaan
248 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
kayu pakoba sebaiknya dimanfaatkan di bawah naungan sebagai konstruksi ringan seperti dinding pemisah, kusen pintu dan jendela, reng, lantai, dan partisi. Kayunya yang keras, berat dan berbau tajam tidak cocok untuk barang kerajinan dan mebel.
Untuk bahan kerajinan pakoba dapat
digunakan sebagai badan ketam, tangkai peralatan kerja pertanian seperti cangkul dan kapak, peralatan rumah tangga seperti mortal (alu), talenan, sendok , dan spatula. Dilihat dari nilai penyusutannya yang kecil dan sifat keasamannya kayu Pakoba dapat digunakan dalam arsitektur kapal/perahu untuk konstruksi dasar yaitu gading-gading, senta, bantalan, kulit/dinding, dan dek. Selain itu pakoba kayu keras sehingga sangat baik untuk arang. D. Manfaat Pakoba yang Potensial Dikembangkan Secara
etnobotani
masyarakat
Suku
Minahasa
telah
lama
memanfaatkan pakoba untuk keperluan hidup. Selain sebagai bahan baku pembuatan rumah, masyarakat Minahasa juga menggunakan kulit pakoba sebagai salah satu tumbuhan alam untuk ramuan obat tradisional yang digunakan secara turun temurun.
Hasil wawancara yang dilakukan
terhadap key person dan warga masyarakat diketahui bahwa kulit batang pakoba
dapat
digunakan
sebagai
campuran
ramuan
obat
yang
diperuntukkan bagi wanita setelah melahirkan. Selain itu kulit pakoba juga dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit gula (diabetes). Cara meramu yang dilakukan oleh masyarakat yaitu : kulit batang diambil secukupnya kemudian direbus dan diminum, sekali rebusan untuk sekali minum. Berdasarkan analisis fitokimia dari ekstrak kulit kayu pakoba menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu pakoba mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan tannin.
Ketiga senyawa tersebut
merupakan indikasi bahwa ekstrak kulit kayu pakoba berpotensi sebagai bahan baku biofarmaka khususnya untuk penurun gula darah (Nurrani et al, 2012).
249
Manfaat lain yang diketahui dari pakoba adalah buahnya dapat dikonsumsi, baik secara langsung maupun diolah terlebih dahulu menjadi manisan, dodol, dan makanan olahan lainnya. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Sebagai kayu lokal Sulawesi Utara, kayu pakoba digolongkan kedalam kayu kelas kuat III yang memiliki banyak kegunaan. Mulai dari konstruksi ringan, perkakas rumah tangga hingga bahan baku perahu. Oleh karena itu kayu pakoba potensial dikembangkan sebagai bahan baku baru mendukung program diversifikasi penggunaan berbagai jenis kayu. B. Saran Mengingat tingginya penggunaan kayu pakoba oleh masyarakat sehingga dipandang penting untuk melakukan kajian mengenai sifat kimia kayu tersebut untuk mengidentifikasi keterawetan jenisnya. Sifat dasar ini diperuntukkan sebagai informasi mengenai data-data ilmiah pakoba agar lebih tersaji secara komprehensif, sehingga data ini dapat digunakan untuk mengarahkan pada penggunaan kayu yang lebih optimal. Sebaiknya fokus penelitian tidak hanya terbatas pada sifat-sifat dasar kayu saja tetapi mungkin dapat dikembangkan pada aspek lain seperti pemanfaatan buah, daun, kulit, dan biji buah. Untuk itu prioritas rehabilitasi dan konservasi terhadap pakoba adalah kebijakan yang wajib diimplementasikan mengingat jenis ini merupakan pohon endemik lokal. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1974. American Standard for Testing Material (ASTM). ASTM D1666-64. Berger. L.G. Den. 1923. Mechanische Technische Eigens Chappen Van Indische Houtsorten. Tectona XIV: 358-36 Darwo, 1994. Sifat Fisis, Mekanis dan Kelas Kuat Kelompok Jenis Kayu Borneo Berdasarkan Contoh Kecil Bebas Cacat.
250 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba……. Lis Nurrani & s. Tabba
Dumanauw, J. F. 2001. Mengenal Kayu. Cetakan Keenam. Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Istikowati, W. T. 2012. Sifat-Sifat Dasar Kayu. http:///www.google.com. Diakses tanggal 3 Oktober 2012. Kinho, J., D.I.D Arini, J.E. Halawane, L. Nurrani, Halidah, Y. Kafiar dan M.C. Karundeng. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid II. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Muin, M., A. Arif., Syahidah. 2010. Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Nurrani, L., S. Tabba. 2012. Senyawa Kimia dan Toksisitas Ekstrak Kulit Pakoba (Tricalysia Minahassae) Berpotensi sebagai Penurun Gula Darah. Makalah Ilmiah Bahan Presentasi Seminar Mapeki Unhas 2012. Makassar. Panshin, A.J. dan De Zeeuw. C. 1980. Textbook Of Wood Technology: Structure, Identification, Properties, And Uses Of The Commercial Woods Of The United States and Canada. Mc Graw Hill. New York Rukmayadi, Y. 2012. Pengenalan Jenis Kayu Manfaat Pengenalan Jenis Kayu. Materi perkuliahan Kriya Kayu. http:///www.google.com. Diakses tanggal 27 September 2012. Sumarni, G., M. Muslich, N. Hadjib, Krisdianto, D. Malik, S. Suprapti, E. Basri, G. Pari, M.I. Iskandar, R.M. Siagian. 2009. Sifat Ddn Kegunaan Kayu. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
251
252 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
IDENTIFIKASI JENIS-JENIS SATWA LIAR YANG DIPERDAGANGKAN DI SULAWESI UTARA1 Diah Irawati Dwi Arini BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Manado Telp: (0431) 3666683, email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis satwa liar yang umum diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di wilayah Sulawesi Utara. Metode yang digunakan adalah wawancara secara langsung dengan para pedagang di beberapa pasar tradisional seperti Pasar Bersehati dan Karombasan di Kota Manado, Pasar Tomohon di Kota Tomohon, Pasar Imandi, Ibolian dan Kotamobagu di Kabupaten Bolaang Mongondow, Pasar Langowan, Tareran, Amurang, Motoling, Tompaso Baru, Kawangkoan untuk wilayah Minahasa. Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 61 spesies teridentifikasi adalah jenis yang biasa diperdagangkan di Sulawesi Utara. Satwa liar tersebut terdiri atas 44% mamalia dan aves, reptil 9% dan primata 3%. Berdasarkan bagian yang dijual sebanyak 69% dalam bentuk daging, dalam keadaan hidup sebanyak 29% dan sisanya 2% dijual dalam bentuk telur. Harganya pun cukup bervariasi tergantung pada tingkat kelangkaan satwa dan kesulitan dalam memperolehnya. Ditinjau dari status konservasinya untuk satwa yang diperdagangkan, sebanyak 24 jenis termasuk satwa dilindungi. 3 jenis masuk kategori sangat terancam punah, 5 jenis kategori genting, 15 jenis rentan, 4 jenis masuk kategori hampir terancam. Keadaan ini merupakan sebuah peringatan akan awas bahaya kepunahan. Pendekatan persuasif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat serta penegakan hukum yang tegas diharapkan menjadi solusi bagi usaha penyelamatan satwa liar di Sulawesi Utara. Kata kunci : Satwa liar, perdagangan, konservasi, Sulawesi Utara, spesies
1
Makalah disampaikan dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
253
I. Pendahuluan Sejak lama, manusia dengan segala kepentingannya memanfaatkan potensi sumberdaya alam baik tumbuhan dan satwaliar. Beberapa bentuk pemanfaatan baik tumbuhan dan satwa tersebut adalah untuk kesenangan, perdagangan,
kepentingan
komersil
dan
sebagainya.
Pemanfaatan
tumbuhan dan satwa oleh manusia biasanya membawa dampak terhadap penurunan populasi dan tingkat kepunahan terhadap tumbuhan dan satwa di alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia selama ini kurang memperhatikan aspek dan prinsip kelestarian sumber daya alam. Pemanfaatan yang kurang bijaksana ini berdampak pada penurunan populasi satwa liar ditambah dengan sifat jenis yang endemik akan menyebabkan sejumlah jenis tumbuhan dan satwa liar dikategorikan sebagai jenis yang dilindungi. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar telah menetapkan sebanyak 294 jenis baik tumbuhan dan satwa yang dilindungi secara hukum. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa, setiap jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dilarang untuk dipelihara maupun diperdagangkan secara komersil, kecuali jika jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut adalah generasi F2 yaitu keturunan kedua dari hasil penangkaran. Penurunan jumlah populasi baik tumbuhan dan satwa liar ini mendapat perhatian juga yang cukup serius di dunia Internasional seperti CITES (Convention International Trade In Endangered Species) sebuah konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah. CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang dapat membahayakan kelestarian satwa dan tumbuhan. Memuat tiga lampiran (appendix) yang menggolongkan tumbuhan dan satwa menurut Keputusan Menteri Kehutanan tahun 2003. Lampiran 1, memuat daftar yang
254 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersil yaitu jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol secara ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersil tertentu dengan izin khusus. Di Indonesia, jumlah TSL yang masuk dalam daftar ini berjumlah 63 jenis untuk satwa dan 23 jenis tumbuhan. Lampiran 2, memuat daftar spesies yang tidak terancam punah, namun mungkin akan terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan. Di Indonesia sebanyak 546 jenis satwa dan 1.002 jenis tumbuhan masuk dalam daftar ini. Lampiran 3, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya dan memberikan pilihan bagi negara-negara anggota CITES untuk dipertimbangkan masuk dalam lampiran 1 maupun 2. Di Indonesia, tidak ada spesies tumbuhan dan satwa yang masuk dalam daftar lampiran ini. Sulawesi Utara
sebagai salah satu ikon pariwisata Indonesia
merupakan wilayah yang sangat kaya akan keanekeragaman hayatinya dan dikenal sebagai tempat tinggal berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang khas dan unik. Bahkan beberapa di antaranya hanya ditemukan di wilayah ini dan tidak terdapat di wilayah lainnya (spesies endemik). Sulawesi Utara mencakup dua daerah besar yaitu Minahasa dan Bolaang Mongondow. Sebagai wilayah yang dikenal dengan tanah yang subur, baik Minahasa dan Bolaang Mongondow dahulu dikenal sebagai daerah penghasil rempahrempah dan sayuran. Bekas-bekas perkebunan yang ditinggalkan oleh Belanda kini masih dapat ditemukan di beberapa desa. Berbagai jenis satwa liar seperti Anoa, Babirusa, Babi hutan, Yaki atau Monyet Sulawesi, Kus-kus, Tarsius, Paniki atau Kelelawar, Burung Maleo dan sebagainya menjadikan Sulawesi Utara sebagai tujuan wisata alam dengan pemandangan alam serta satwa liarnya yang unik. Sumarto dan Tallei (2010) menambahkan bahwa Pulau Sulawesi yang menjadi bagian dari kawasan Wallacea memegang peranan yang penting dalam sejarah alam kawasan karena merupakan pulau terbesar dan menjadi kawasan penting dalam berbagai penelitian biogeografi dan
255
sejarah makhluk hidup. Ukuran pulau yang besar dan lamanya proses isolasi menyebabkan terjadinya evolusi dari spesies-spesies yang unik. Menurut Sumarto (2010) Sulawesi memiliki sekitar 127 mamalia, 79 di antaranya jenis endemik, sebanyak 235 jenis burung 84 jenis merupakan jenis burung endemik, sebanyak 104 reptil, 29 jenis adalah jenis endemik. Namun di balik keunikan dan keindahan alam liar Sulawesi Utara ini terungkap fakta yang cukup ironis. Berbagai jenis satwa liar dalam kondisi mati dapat dengan mudahnya ditemukan di pasar-pasar tradisional dan segala macam daging satwa liar tersaji dalam berbagai jenis masakan dan menjadi menu favorit khususnya bagi masyarakat di Minahasa. Adanya kepercayaan penduduk setempat bahwa, daging satwa liar memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit atau dapat menambah vitalitas menjadi salah satu faktor, sehingga daging satwa liar banyak diburu untuk dikonsumsi. Kegiatan ini sudah dimulai sejak jaman dulu dan masih berlangsung hingga saat ini. Beragam daging satwa liar mulai dari berbagai jenis yang dijual khususnya di pasar-pasar tradisional di Minahasa dan Bolaang
Mongondow
biasanya
dalam
keadaan
sudah
mati
dan
pengambilannya sendiri langsung dari alam. Tidak hanya dalam bentuk daging, bagi para pecinta suara dan penikmat keindahan burung, berbagai jenis burung juga diperjualbelikan dengan harga yang cukup bervariasi dan sebagian besar adalah burung paruh bengkok yang memang asli dari wilayah Sulawesi Utara. Jika hal ini terus menerus berlangsung, bukan suatu hal yang mustahil dalam kurun waktu beberapa tahun lagi, beberapa spesies satwa liar ini akan mengalami kepunahan satu per satu. Tulisan ini merupakan hasil penelitian secara singkat yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan di wilayah Sulawesi Utara dan mengevaluasi status perlindungan atau konservasi terhadap satwa liar yang diperdagangkan tersebut. II. Metode A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama tahun 2011 dengan mengambil lokasi pengamatan di beberapa pasar-pasar tradisional seperti Pasar Karombasan dan Bersehati (Kota Manado), Pasar Tomohon (Kota Tomohon), Langowan,
256 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
Tareran, Amurang, Motoling, Tompaso Baru dan Kawangkoan (Kabupaten Minahasa), pasar Kotamobagu (Kota Kotamobagu), Pasar Imandi dan Pasar Ibolian (Kabupaten Bolaang Mogondow) Provinsi Sulawesi Utara. B. Bahan dan Alat Bahan dalam penelitian ini adalah pedagang dan jenis satwa liar yang diperdagangkan di pasar-pasar tradisional Sulawesi Utara. Peralatan yang digunakan terdiri atas voice recorder, kamera dan alat tulis menulis. C. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data jenis dan harga satwa liar yang diperdagangkan dilakukan melalui metode wawancara dengan menggunakan teknik menanyakan secara langsung kepada para penjual atau pedagang di beberapa pasar tradisional di Sulawesi Utara. Definisi satwa liar pada penelitian ini hanya dibatasi pada jenis satwa liar dari taksa mamalia, primata, reptil dan tidak termasuk hewan laut. Evaluasi terhadap status perlindungan/konservasi satwa liar yang diperdagangkan menggunakan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Daftar List IUCN dan Daftar List CITES Versi 3.1 yang diberlakukan mulai April 2012. Data yang dikumpulkan tersebut dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. III. Hasil dan Pembahasan A.
Jenis-jenis Satwa Liar yang Diperdagangkan Berdasarkan hasil wawancara dengan para pedagang dan pengamatan
langsung di lapangan diperoleh sedikitnya 61 jenis satwa liar yang diperdagangkan di wilayah Sulawesi Utara baik yang diperdagangkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ataupun hanya dibeli sebagai hewan peliharaan (pets). Jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan di Sulwesi Utara disajikan dalam Tabel 1.
257
Tabel 1. Jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan No
Nama Lokal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Babirusa Babi hutan Anoa dataran rendah Anoa dataran tinggi Rusa Kuskus beruang/kuse Tembung Musang Sulawesi Musang biasa Tupai Paniki / kalong hitam Cecadu pisang besar Paniki Pallas Kalong Sulawesi Kalong Kecil Kalong Abu-abu Kalong kepala emas Codot roset kelabu Codot jentinck Nyap Sulawesi Codot Sulawesi Tikus biasa sulawesi Pamusan Tikus duri Sulawesi/Tarem Lesoq Lati Sulawesi/Rente Tikus perut kelabu/Mea Yaki Dihe Soa-soa / biawak Ular piton/patola Penyu hijau Penyu sisik Penyu belimbing Burung taon Kangkareng Sulawesi Gosong Filipina Mandar dengkur Mandar padi sintar
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Babyrousa babyrussa Sus celebensis Bubalus depressicornis Bubalus quarlesi Cervus timorensis Aliurops ursinus Strigocuscus celebensis Macrogalidia musshenbrockii Viverra tangalunga Scirus notalus Pteropus alecto Macroglossus minimus Nyctimene cephalotes Acerodon celebensis Pterocarpus Hypomelanus Pteropus griseus Pteropus pumilus Rousettus amplexicaudatus Rousettus bidens Rousettus celebensis Cynopterus luzoniensis Paruromys dominator Bunomys fratorum Echiothtrix leucura
Kategori Taksa Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia
Maxomys hellwaldii
Mamalia
Rattus hoffmanni Macaca nigra Macaca nigrecens Varanus salvator Phyton reticulatus Chelonia mydas Eretmochelys imbricata Dermochelys coriacea Rhyticeros cassidix Penelopide exharratus Megapodius cumingii Aramidopsis plateni Gallirallus striatus
Mamalia Primata Primata Reptil Reptil Reptil Reptil Reptil Aves Aves Aves Aves Aves
Nama Latin
258 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
No
Nama Lokal
39.
Weris/Mandar padi zebra Maleo Mandar besar Belibis kembang Ayam hutan Gemak loreng Nuri Talaud Nuri Kepala Hitam Nuri Maluku Nuri bayan Kasturi Ternate Betet Kelapa Kakatua jambul kuning Serindit Sulawesi Perkici dora Pergam hijau Burung Beo Burung Kepodang Gelatik Jawa Jalak tunggir merah Kringkring bukit Kringkring dada kuning Kakatua jambul merah
40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61
Nama Latin Gallirallus torquatus Macrocephalon maleo Porphyrio porphyrio Dendrocycna arcuata Gallus gallus Turnix suscitator Eos histrio Lorius lory Lorius domicella Eclectus roratus Lorius garrulus Tanygnathus lucionensis Cacatua galerita Loriculus exilis Trichoglossus ornatus Ducula aena Gracula religiosa Oriolus chinensis Padda Oryzivora Scissirostrum dubium Prioniturus platurus Prioniturus flavicans Cacatua moluccensis
Kategori Taksa Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves Aves
Dari jumlah tersebut jika dikelompokkan menurut taksa, maka kelompok mamalia dan aves memiliki jumlah jenis paling banyak dalam pemanfaatan satwa liar di Sulawesi Utara dalam persentase masing-masing 44%, sedangkan untuk taksa reptilia dan primata masing-masing sebesar 9% dan 3%. Perbandingan Jumlah Perdagangan Satwa Liar Berdasarkan Taksa di Sulawesi Utara 9% 3%
Mamalia 44% 44%
Aves Reptil Primata 259
Mengkonsumsi daging satwa liar di kalangan masyarakat Sulawesi Utara merupakan sebuah kebiasaan atau bahkan sudah menjadi identitas bagi kota yang dikenal dengan wisata kulinernya. Banyak orang yang berkunjung di wilayah ini dan mengaku terkesan dengan sajian menu masakan yang beragam, mulai dari sumber daya pesisir perikanan darat hingga pada daging ternak maupun hewan liar yang mungkin jarang ditemukan di daerah lainnya.
Pattiselanno (2011) menjelaskan bahwa
bervariasinya kuliner di suatu daerah memiliki kaitan erat dengan kekayaan keanekaragaman hayati di suatu wilayah dan keanekaragaman hayati di Sulawesi Utara ini telah terdokumentasi dengan baik sejak abad 19 oleh beberapa ahli dan peneliti seperti Wallace (1869); Guillemard (1886) dan Hickson (1889). Oleh karena tingginya keanekaragaman hayati di Sulawesi Utara maka provinsi yang berada di ujung timur Sulawesi dinyatakan sebagai pusat kekayaan keanekaragaman hayati dunia. Clyton dan Milner-Gulland (2000) dalam Pattiselanno (2011) memperkirakan bahwa sekitar 90.000 hewan liar yang berasal dari alam Sulawesi Utara diperdagangkan untuk mensuplai kebutuhan permintaan daging. Aktivitas perburuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ini lebih cenderung menunjukkan aktivitas yang tidak lestari atau unsustainable bahkan dapat mengancam populasi satwa. Akibat kelangkaan jenis-jenis tertentu, namun suplai pasar harus terpenuhi maka para pedagang melakukan impor secara besar-besaran dari daerah-daerah lain di sekitar Sulawesi Utara seperti Sangihe, Talaud, Bolaang Mongondow, Gorontalo bahkan hingga sampai ke wilayah Selatan Sulawesi. Menurut Lee et al. (2001), meningkatnya konsumsi daging satwa liar di kalangan masyarakat Sulawesi Utara lebih disebabkan karena “kesukaan” dan bukan karena “kebutuhan”. Biasanya daging-daging satwa liar tersedia di hidangan meja pada upacara-upacara adat seperti pesta pernikahan, pesta pengucapan dan pesta-pesta hari besar keagamaan seperti Natal dan Paskah. Pesta pengucapan merupakan salah satu bentuk pesta adat di Minahasa yang biasa dilakukan setiap tahun sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Pencipta Alam atas hasil panen yang berlimpah. Menurut Saroyo (2010), konsumsi
260 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
daging penyu seperti penyu hijau, penyu sisik dan penyu belimbing banyak dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di pesisir pantai seperti masyarakat di Pulau Lembeh. Untuk memperoleh daging satwa liar biasanya masyarakat hanya tinggal membeli di pasar-pasar tradisional seperti daging babi hutan (Sus celebensis), berbagai macam tikus hutan, dan daging paniki yang umumnya selalu tersedia di setiap pasar. Sedangkan daging satwa liar lainnya seperti daging yaki/dihe, babi rusa dan anoa biasanya diperoleh sebagai hasil tangkapan atau buruan yang menurut informasi para pedagang jenis-jenis tersebut tidak sengaja terjerat, tertembak, atau masuk perangkap oleh pemburu. Menurut data dari Project Penyelamatan Macaca Nigra, selama kurun waktu 30 tahun populasi monyet hitam atau yaki ini menurun signifikan. Pada tahun 1980 diperkirakan masih ada 300 ekor yaki per kilometer perseginya untuk wilayah Bolaang Mongondow dan Minahasa, sembilan tahun kemudian populasinya turun menjadi 76 ekor per kilometer persegi dan pada tahun 1998 hanya tersisa 26 ekor per kilometer persegi (www.kompas.com, 2012). Yaki (Macaca nigra) dan Dihe (Macaca nigrescens) saat ini telah dianggap sebagai hama bagi para petani. Jika menjelang musim panen terutama jagung, kedua jenis primata ini sering turun ke lahan-lahan milik petani untuk merusak dan menjarah hasil-hasil panen. Akibat kerugian yang ditimbulkan maka tidak jarang satwa-satwa primata tersebut ditembak dan kemudian dagingnya dijual di pasar atau dikonsumsi sendiri. Dokumentasi jenis satwa liar yang diperdagangkan disajikan dalam Gambar 1.
261
Gambar 1. (a) Yaki Macaca nigra; (b). Jenis tikus; (c). Tembung (Strigocurcus celebensis); (d). Patola (Phyton reticulates).
Yang unik dari kebudayaan di Minahasa adalah sisa tulang-tulang yang berasal dari hewan liar tersebut biasanya digunakan sebagai aksesoris dalam baju adat perang yang biasanya dipakai oleh prajurit dalam tarian “Kabasaran atau Cakalele”. Semakin lengkap jumlah tulang atau ornamen binatang yang digunakan biasanya menunjukkan derajat kepemimpinan dalam tarian tersebut. Ornamen bagian satwa liar yang utama dan harus ada adalah paruh burung rangkong atau taon (Rycticeros cassidix) untuk tarian perang ini biasanya ditampilkan dalam upacara-upacara adat Minahasa
seperti
Upacara
Adat
Watu
Pinabetengan
diselenggarakan pada tanggal tujuh bulan tujuh dalam upacara adat yang lainnya (Wenas, 2007).
262 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
yang
rutin
setiap tahunnya atau
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
Gambar 2. Pakaian adat Minahasa dengan menggunakan bagian tubuh satwa liar sebagai perhiasan (Minahasa traditional dress with the animal body as atribute).
Jenis-jenis aves atau burung memiliki daya tarik tersendiri untuk dipelihara, burung memiliki keindahan suara dan bulu yang mampu menarik minat para pehobi burung. Burung paruh bengkok seperti jenis kakatua dan nuri merupakan jenis khas yang tersebar luas khususnya di wilayah Timur Indonesia. Burung paruh bengkok memiliki beberapa keunggulan selain keindahan bulunya, burung dari keluarga Psittacidae ini mampu diajar untuk berbicara. Pelabuhan Manado merupakan muara bagi perdagangan burung paruh bengkok, kapal-kapal yang berasal dari pulaupulau kecil di sekitar Pulau Sulawesi seperti Sangihe, Talaud, Ternate dan Halmahera
biasanya
membawa
serta
burung-burung
untuk
diperjualbelikan. Tidak hanya burung yang berasal dari pulau-pulau terdekat, burung yang berasal dari wilayah paling Timur Indonesia pun kadang bisa ditemukan di pelabuhan Manado yaitu wilayah Papua dan sekitarnya. B. Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang diminati oleh sebagian masyarakat, sehingga kegiatan penangkapannya di alam akan terus berlanjut. Penangkapan yang terjadi didasarkan pada nilai yang disebut sebagai nilai ekonomi. Menurut teori Karl Marx, selama sumber
263
daya alam belum ada campur tangan manusia maka sumber daya alam itu tidak memiliki nilai namun jika segala sesuatu dapat diperjualbelikan pasti memiliki nilai (Suparmoko, 2007). Jika dilihat dari sisi ekonomi maupun konservasi, kerugian Indonesia akibat perdagangan tumbuhan dan satwa secara ilegal sangat besar. Indonesia merupakan produsen utama produk fauna, kerugian yang dialami adalah hilangnya sumber daya alam serta kerugian dari sisi ekonomi akibat penyelendupan dan pemutihan (wildlife laundering). Kerugian dari sisi ekonomi nampaknya tidak dapat dibandingkan dengan kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati. Beberapa bagian-bagian tubuh satwa diselundupkan seperti trenggiling, penyu, harimau sumatera dengan tujuan utama adalah negara Timur. Untuk wilayah Sulawesi Utara perdagangan daging satwa liar kemungkinan hanya berlaku secara lokal yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Sulawesi Utara sendiri. Namun untuk jenis-jenis aves/burung umumnya memiliki jalur perdagangan yang lebih luas hingga ke internasional. Sebagai contoh burung Nuri Talaud (Eos histrio). Nuri Talaud merupakan salah satu spesies endemik Sulawesi Utara dari Kepulauan Sangihe-Talaud. Walaupun jenis tersebut dilindungi, masuk dalam daftar Appendix I CITES dan dikategorikan sebagai spesies terancam punah (endangered), burung ini banyak diperjualbelikan ke wilayah Filipina melalui transaksi jalur laut dan wilayah Singapura melalui Pelabuhan Manado dengan harga yang cukup bervariasi.
Nilai harga pasar untuk
jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan di wilayah Sulawesi Utara disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Harga pasar jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Lokal Babirusa/ Babi Putih Babi hutan Anoa dataran rendah Anoa dataran tinggi Rusa
Nama Latin Babyrousa babyrussa
Bentuk Daging
Harga Pasar (Rp) 25.000/kg
Sus celebensis Bubalus depressicornis Bubalus quarlesi
Daging Daging
26.000 – 30.000/kg 30.000 – 40.000/kg
Daging
30.000 – 40.000/kg
Cervus timorensis
Daging
15.000 – 20.000/kg
264 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
No 6. 7. 8.
Nama Lokal Kuskus beruang/kuse Tembung
13.
Musang Sulawesi Musang biasa Tupai Paniki / kalong hitam Cecadu pisang besar Paniki Pallas
14. 15.
Kalong Sulawesi Kalong Kecil
16. 17.
Kalong Abu-abu Kalong kepala emas Codot roset kelabu Codot jentinck Nyap Sulawesi Codot Sulawesi
9. 10. 11. 12.
18. 19. 20. 21. 22.
Nama Latin Aliurops ursinus
Bentuk Daging
Harga Pasar (Rp) 35.000 – 40.000/ekor
Strigocuscus celebensis Macrogalidia musshenbrockii Viverra tangalunga Scirus notalus Pteropus alecto
Daging
35.000 – 40.000/ekor
Daging
40.000 – 50.000/kg
Daging Daging Daging
40.000 – 50.000/kg 10.000 – 25.000/ekor 15.000 – 20.000/ekor
Macroglossus minimus Nyctimene cephalotes Acerodon celebensis Pterocarpus Hypomelanus Pteropus griseus Pteropus pumilus
Daging
15.000 – 20.000/ekor
Daging
15.000 – 20.000/ekor
Daging Daging
15.000 – 20.000/ekor 5.000 – 10.000/ekor
Daging Daging
5.000 – 10.000/ekor 5.000 – 10.000/ekor
Rousettus amplexicaudatus Rousettus bidens Rousettus celebensis Cynopterus luzoniensis Paruromys dominator Bunomys fratorum Echiothtrix leucura
Daging
5.000 – 10.000/ekor
Daging Daging Daging
5.000 – 10.000/ekor 5.000 – 10.000/ekor 5.000 – 10.000/ekor
Daging
8.000 – 15.000/ekor
Daging Daging
8.000 – 15.000/ekor 8.000 – 15.000/ekor
Maxomys hellwaldii
Daging
8.000 – 15.000/ekor
Rattus hoffmanni
Daging
8.000 – 15.000/ekor
Macaca nigra
Daging
30.000 – 60.000/potong 30.000 – 60.000/potong 10.000 – 15.000/potong 25.000/kg
27.
Tikus biasa sulawesi Pamusan Tikus duri Sulawesi/Tarem Lesoq Lati Sulawesi/Rente Tikus perut kelabu/Mea Yaki
28.
Dihe
Macaca nigrecens
Daging
29.
Soa-soa/ biawak Ular piton/patola
Varanus salvator
Daging
Phyton reticulatus
Daging
23. 24. 25. 26.
30.
265
No 31. 32.
Nama Lokal Penyu hijau Penyu sisik
33.
Penyu belimbing Burung taon Kangkareng Sulawesi Gosong Filipina Mandar dengkur Mandar padi sintar Weris/Mandar padi zebra Maleo
34. 35. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Nama Latin Chelonia mydas Eretmochelys imbricata Dermochelys coriacea Rhyticeros cassidix Penelopide exharratus Megapodius cumingii Aramidopsis plateni
Bentuk Daging Daging
Harga Pasar (Rp) 18.000 – 25.000/kg 18.000 – 25.000/kg
Daging
18.000 – 25.000/kg
Daging Daging
10.000 –25.000/ekor 10.000 – 25.000/ekor
Daging Daging
10.000 – 25.000/ekor 10.000/ekor
Gallirallus striatus
Daging
10.000/ekor
Gallirallus torquatus
Daging
5.000 – 8.000/ekor
Macrocephalon maleo Porphyrio porphyrio Dendrocycna arcuata
Daging & Telur Daging Daging
5.000 – 8.000/ekor
Gallus gallus
42.
Mandar besar Belibis kembang Ayam hutan
43. 44.
Gemak loreng Nuri Talaud
Turnix suscitator Eos histrio
Daging & hidup Daging Hidup
45.
Lorius lory
Hidup
46.
Nuri Kepala Hitam Nuri Maluku
Lorius domicella
Hidup
47.
Nuri bayan
Eclectus roratus
Hidup
48.
Kasturi Ternate
Lorius garrulus
Hidup
49.
Betet Kelapa
Hidup
50.
Kakatua putih
Tanygnathus lucionensis Cacatua galerita
51.
Serindit Sulawesi Kakatua jambul merah
Loriculus exilis
Hidup
Cacatua moluccensis
Hidup
52.
Hidup
266 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
10.000/ekor 10.000 – 15.000/ekor 50.000 – 100.000/ekor 10.000 – 25.000/ekor 300.000 – 500.000/ekor 500.000 – 800.000/ekor 200.000 – 400.000/ekor 200.000 – 400.000/ekor 400.000 – 750.000/ekor 200.000 – 400.000/ekor 300.000 – 1.000.000/ekor 100.000 – 200.000ekor 500.000 – 1.000.000ekor
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
No 53.
Nama Lokal Perkici dora
Nama Latin Trichoglossus ornatus
Bentuk Hidup
54.
Pergam hijau
Ducula aena
Hidup
55.
Burung Beo
Gracula religiosa
Hidup
56.
Burung Kepodang Gelatik Jawa Jalak tunggir merah Kringkring bukit
Oriolus chinensis
Hidup
Padda Oryzivora Scissirostrum dubium
Hidup Hidup
Prioniturus platurus
Hidup
Kringkring dada kuning
Prioniturus flavicans
Hidup
57. 58. 59. 60.
Harga Pasar (Rp) 100.000 – 250.000/ekor 100.000 – 200.000/ekor 700.000 – 1.000.000/ekor 200.000 – 700.000/ekor 10.000 – 20.000/ekor 80.000 – 100.000/ekor 200.000 – 400.000/ekor 200.000 – 400.000/ekor
Jenis-jenis mamalia, reptila dan primata biasanya diperjualbelikan dalam kondisi sudah mati dan terpotong-potong sedangkan untuk burung sebagian besar dijual dalam kondisi hidup yaitu sebagai peliharaan. Bagian yang dijual dalam bentuk daging mencapai 69%, sedangkan dijual dalam keadaan hidup mencapai 29%, sedangkan bagian lain seperti telur hanya 2%. Jika di lihat dalam tabel kisaran harga pasar terlihat harga cukup bervariasi. Harga tertinggi adalah untuk satwa liar jenis burung seperti Nuri dan Kakaktua yang dijual untuk dipelihara dengan harga hingga mencapai jutaan rupiah.
Perbandingan Jumlah Bagian Satwa Liar yang Diperdagangkan
Daging
29%
Telur 2%
69%
Hidup
267
Secara global perdagangan satwa liar ilegal telah berkembang dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi laju kepunahan satwa liar di Indonesia. Dari grafik perbandingan jumlah bagian satwa liar yang diperdagangkan, daging atau satwa dalam keadaan mati memiliki peringkat tertinggi untuk wilayah Sulawesi Utara, dengan tujuan untuk dikonsumsi. Data yang dihimpun dari Biro Pusat Statistik (2011), sebenarnya Provinsi Sulawesi Utara memiliki perkembangan yang cukup maju dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Indonesia karena Sulawesi Utara masuk dalam enam besar provinsi dengan jumlah penduduk miskin di bawah 10% bersama Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Bali dan Kalimantan Selatan. Data ini tentunya cukup mengekspresikan bahwa secara ekonomi masyarakat Sulawesi Utara dapat memenuhi kebutuhan sumber protein hewani seperti daging, telur atau ikan. Bahkan Sulawesi Utara sendiri memiliki potensi perairan laut yang cukup tinggi dengan hasil yang melimpah. Sebenarnya, apa yang menjadi motivasi masyarakat Sulut dalam mengkonsumsi daging satwa liar? Apakah tingkat konsumsi protein hewani masyarakat masih rendah sehingga perlu mencari alternatif daging satwa liar? Data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut (2010) dalam Pattiselanno (2011), menjelaskan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masyarakat per gram per kapita per hari adalah 4.80% atau sekitar 80% dan tidak berbeda jauh dengan program rekomendasi pemerintah yaitu sebesar 6 gram per kapita per hari. Belum lagi ditambah dengan tingkat konsumsi hasil perikanan, kemungkinan bisa mencapai target 90%. Namun hal ini tentunya kembali lagi pada pola konsumsi masyarakat Sulawesi Utara yang mungkin telah mendarah daging bahwa daging satwa liar memiliki cita rasa yang lebih unggul dibandingkan dengan daging hewan ternak lainnya. Sehingga diperlukan sebuah pemahaman bahwa jika hal ini berlangsung terus menerus tidak mustahil beberapa satwa unggulan Sulawesi Utara ini akan punah oleh masyarakat Sulawesi Utara sendiri.
268 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
C. Status Konservasi Jenis Satwa Liar yang Diperdagangkan Beberapa jenis satwa yang teridentifikasi diperdagangkan di Sulawesi Utara sebagian besar adalah jenis satwa yang dilindungi. Berikut ini disajikan status perlindungan terhadap berbagai jenis satwa liar yang diperdagangkan di Sulawesi Utara yaitu berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, status perlindungan menurut IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resource) yang dibedakan menjadi sembilan kategori konservasi yaitu Punah (Extinct/EX); Punah di alam liar (Extinct in the wild/EW); Kritis atau sangat terancam punah (Critically endangered/CR); Terancam (Endangered/EN); Rentan (Vulnerable/VU); Hampir terancam (Near Threatende/NT); Risiko rendah (Least Concern/LC); Data kurang (Data Deficient/DD); Tidak dievaluasi (Not Evaluated/NE), dan status perdagangan menurut CITES dalam dua kategori Appendix I dan Appendix II. Tabel 3. Status konservasi jenis satwa liar yang diperdagangkan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Lokal Babirusa/ Babi Putih Babi hutan Anoa dataran rendah Anoa dataran tinggi Rusa Kuskus beruang/kuse Tembung Musang Sulawesi Musang biasa Bajing besar Sulawesi Paniki / kalong hitam
Nama Latin Babyrousa babyrussa
Status Perlindungan PP No. 7 Tahun IUCN CITES 1999 √ VU Appendix 1
Sus celebensis Bubalus depressicornis
√
NT EN
Appendix 1
Bubalus quarlesi
√
EN
Appendix 1
Cervus timorensis Aliurops ursinus
√ √
VU VU
-
Strigocuscus celebensis Macrogalidia musshenbrockii Viverra tangalunga Rubrisciurus rubriventer Pteropus alecto
√ √
VU VU
-
-
LC VU
-
-
LC
Appendix 2
269
No 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Nama Lokal Cecadu pisang besar Paniki Pallas Kalong Sulawesi Kalong Kecil Kalong Abu-abu Kalong kepala emas Codot roset kelabu Codot jentinck Nyap Sulawesi Codot Sulawesi Tikus biasa sulawesi Pamusan Tikus duri Sulawesi/Tarem Lesoq Lati Sulawesi/Rente Tikus perut kelabu/Mea Yaki Dihe Soa-soa / biawak Ular piton/patola Penyu hijau Penyu sisik Penyu belimbing Burung taon Kangkareng Sulawesi Gosong Filipina Mandar dengkur Mandar padi sintar Weris/Mandar padi zebra Maleo
Nama Latin Macroglossus minimus
Status Perlindungan PP No. 7 Tahun IUCN CITES 1999 LC -
Nyctimene cephalotes Acerodon celebensis Pteropus hypomelanus Pteropus griseus Pteropus pumilus
-
LC LC LC DD NT
Appendix 2 -
Rousettus amplexicaudatus Rousettus bidens Rousettus celebensis Cynopterus luzoniensis Paruromys dominator
-
LC
-
-
VU LC LC LC
-
Bunomys fratorum Echinothrix leucura
-
LC LC
-
Maxomys hellwaldii
-
LC
-
Rattus hoffmanni
-
LC
-
Macaca nigra Macaca nigrescens Varanus salvator Phyton reticulatus Chelonia mydas Eretmochelys imbricata Dermochelys coriacea Rhyticeros cassidix Penelopide exharratus
√ √ √ √ √ √ √
CR VU LC VU EN CR CR VU VU
Appendix 2 Appendix 2 Appendix 2 Appendix 2 Appendix 2 Appendix 2
Megapodius cumingii Aramidopsis plateni Gallirallus striatus
√ -
LC VU LC
-
Gallirallus torquatus
-
LC
-
Macrocephalon maleo
√
EN
Appendix 1
270 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
No
Nama Lokal
41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
Mandar besar Belibis kembang Ayam hutan Gemak loreng Nuri Talaud Nuri Kepala Hitam Nuri Maluku Nuri bayan Kasturi Ternate Betet Kelapa
51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
Kakatua putih Serindit Sulawesi Perkici dora Pergam hijau Burung Beo Burung Kepodang Gelatik Jawa Jalak tunggir merah Kringkring bukit Kringkring dada kuning Kakatua jambul merah
59. 60. 61.
Nama Latin Porphyrio porphyrio Dendrocycna arcuata Gallus gallus Turnix suscitator Eos histrio Lorius lory Eos bornea Eclectus roratus Lorius garrulus Tanygnathus lucionensis Cacatua galerita Loriculus exilis Trichoglossus ornatus Ducula aena Gracula religiosa Oriolus chinensis Padda oryzivora Scissirostrum dubium
Status Perlindungan PP No. 7 Tahun IUCN CITES 1999 LC LC LC LC √ EN Appendix 1 LC LC √ LC VU √ NT √ √ √ √ -
LC NT LC LC LC LC VU LC
-
Prioniturus platurus Prioniturus flavicans
-
LC LC
-
Cacatua moluccensis
√
VU
Appendix 1
Dalam tabel di atas terlihat bahwa sebanyak 24 spesies yang diperdagangkan di wilayah Sulawesi Utara adalah spesies dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Sedangkan berdasarkan kategori dari IUCN versi 3.1 perbandingan jumlah satwa berdasarkan status konservasinya dapat digambarkan dalam grafik berikut ini.
271
33
35
JUMLAH SPESIES YANG DIPERDAGANGKAN
30 25 20 15
15 10
5
3
5 0
0
EX
EW
4 1
0
DD
NE
0 CR
EN
VU
NT
LC
KATEGORI IUCN VERSI 3.1 TAHUN 2012
Gambar 3. Grafik Perbandingan Jumlah Jenis yang Diperdagangkan Berdasarkan Status Konservasi Menurut IUCN Versi 3.1 Tahun 2012
Grafik di atas memperlihatkan bahwa kategori kekritisan tertinggi untuk jenis satwa yang diperdagangkan di Sulawesi Utara adalah kategori kritis atau sangat terancam punah sebanyak tiga spesies yaitu Yaki (Macaca nigra), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), sebanyak lima spesies berada pada kategori genting atau menghadapi resiko kepunahan di alam liar untuk spesies Anoa dataran rendah dan dataran tinggi (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi), Penyu hijau (Chelonia mydas), Maleo (Macrocephalon maleo) dan Nuri Talaud (Eos histrio).
Sebanyak 15 spesies berada dalam kategori
rentan dan empat spesies berada dalam kategori hampir terancam. Walaupun jumlah spesies dengan kategori resiko rendah memiliki jumlah terbanyak yaitu 33 spesies bukan berarti bahwa spesies tersebut lepas dari ancaman kepunahan jika pemanfaatannya tidak didukung dengan usaha pelestariannya di alam. Sedangkan berdasarkan kategori CITES sebanyak
272 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
enam spesies masuk dalam daftar lampiran atau appendix 1 dan delapan jenis masuk dalam kategori appendix 2. D. Berbagai Tantangan dalam Mengatasi Perdagangan Satwa Liar Perdagangan satwa liar tidak dirasakan ternyata cukup memberikan kerugian besar bagi negara, berbagai upaya dilakukan mulai dari menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa yang berisi tentang daftar jenis tumbuhan yang satwa dilindungi. Selain itu, Indonesia melalui Kementerian Kehutanan mengikat kerjasama internasional dalam memberantas perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal dengan membentuk “ASEAN Wildlife Enforcement Network”. Sejak tahun 1987 Indonesia juga telah menjadi anggota konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan dan Satwa liar CITES. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, menyantap daging satwa liar lebih mengarah pada tingkat kesukaan bukan karena kebutuhan. Pendekatan persuasif sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa hilangnya satwa liar berarti pula hilangnya keanekaragaman hayati. Selain diberikan pemahaman terkait dengan pentingnya keanekaragaman hayati, pengambilan satwa liar langsung dari alam baik untuk dikonsumsi atau dipelihara tidak lepas dari adanya gangguan penyakit yang dapat disebabkan oleh hewan-hewan liar atau yang dikenal sebagai “zoonosis”. Suartika (2010) menjelaskan berbagai macam jenis penyakit yang dapat berpindah ke manusia yang berasal dari hewan liar dengan berbagai proses. Sebagai contoh kontak manusia dan satwa primata, kejadian zoonosis yang mungkin terjadi adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), wabah ebola yang pertama kali ditemukan pada manusia akibat konsumsi daging kera besar. Penyakit SARS yang disebabkan oleh virus corona dari karnivora kecil seperti musang dan tikus. Reservoir virus West Nile adalah burung-burung liar dan pertama kali diintroduksi ke AS pada tahun 1999 dimana virus ini menjadi penyebab wabah pada burung yang terus berlanjut dan berpindah ke manusia dan kuda. Dan ditambah dengan kejadian flu burung yang tidak jarang berakhir dengan kematian manusia. Peran pemerintah di sini sangat
273
diperlukan untuk melakukan seleksi terhadap daging satwa liar yang dikonsumsi masyarakat melalui uji-uji kesehatan makanan/daging yang hingga sampai saat ini belum ada informasinya. Upaya
selanjutnya
adalah
memberikan
pengetahuan
kepada
masyarakat tentang status hukum satwa liar melalui kegiatan kampanye perlindungan satwa agar masyarakat peduli terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Selain itu, pemerintah daerah perlu berusaha untuk melakukan upaya peningkatan produksi sektor perikanan dan peternakan yang nantinya diharapkan akan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi daging satwa liar. Selain itu, langkah penegakan hukum dalam mengatasi perburuan ilegal perlu dipertegas dan dibarengi dengan pengembangan secara terus menerus teknik atau metode penangkaran satwa liar yang dilindungi maupun yang terdaftar dalam Apendiks I CITES. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Penelitian menunjukkan bahwa sedikitnya sebanyak 61 jenis satwa liar diperdagangkan di Sulawesi Utara. Pengelompokan berdasarkan taksa diperoleh kelompok mamalia dan aves memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu 44%, untuk kelompok primata sebesar 9% dan untuk reptilia sebanyak 3%. 2. Berdasarkan bentuk yang dijual diperoleh informasi dalam bentuk daging sebanyak 69%, dalam keadaan hidup 29% dan dalam bentuk lainnya seperti telur hanya 2%. K elompok mamalia, reptilia dan primata biasanya dijual dalam kondisi sudah mati dan terpotong-potong. Sedangkan jenis aves sebagian dijual dalam kondisi hidup namun ada juga yang disajikan dalam kondisi sudah mati. 3. Hasil
evaluasi
status
konservasi
terhadap
satwa
liar
yang
diperdagangkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dari 61 jenis, sebanyak 24 jenis merupakan jenis yang dilindungi. Berdasarkan daftar lampiran CITES, sebanyak 6 jenis masuk dalam daftar appendix 1 dan 8 jenis masuk dalam appendix 2. Menurut
274 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Identifikasi Jenis-Jenis Satwa Liar……. Diah Irawati Dwi arini
kategori IUCN, sebanyak 33 jenis dikategorikan sebagai jenis berisiko rendah (LC), 3 jenis pada kategori sangat terancam punah (CR), 5 jenis masuk dalam kategori terancam (EN), 15 jenis masuk dalam kategori rentan (VU), 4 jenis masuk dalam kategori hampir terancam (NT) dan 1 jenis masuk dalam kategori kurang data (DD) sehingga diperlukan evaluasi untuk jenis tersebut. B. Saran Melihat banyaknya jumlah jenis satwa liar yang diperdagangkan di wilayah Sulawesi Utara ini menjadi sebuah tanda peringatan akan awas bahaya kepunahan yang sudah di depan mata. Kepedulian masyarakat akan bahaya kepunahan terhadap satwa liar di alam perlu ditingkatkan demi terjaganya keanekaragaman hayati di wilayah Sulawesi Utara. Pengembangan
teknik-teknik
penangkaran
dan
domestikasi
satwa
diharapkan dapat menjadi solusi agar masyarakat tidak lagi mengambil satwa liar dari alam sehingga dapat mengurangi laju kepunahannya. DAFTAR PUSTAKA , 2012. Monyet hitam diburu dan dikonsumsi. www.kompas.com . Diakses tanggal 25 September 2012. Biro Pusat Statistik, 2011. Sulawesi Utara dalam angka. www.sulut.bps.go.id. Diakses tanggal 25 September 2012. Lee, R.J. Riley, J. Merrill, R., 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Wildlife Conservation Society bekerjasama dengan Natural Resources management . Jakarta. Pattiselanno, 2011. Kuliner Manado – Minahasa mengancam keanekaragaman hayati?. http://fpattiselanno.wordpress.com . Diakses tanggal 26 September 2012. Saroyo, 2010. Konsumsi mamalia, burung dan reptil liar pada masyarakat Sulawesi Utara dan aspek konservasinya. Jurnal Biologos I (1): 26-30.
275
Suartika, K. 2010. Daging hewan liar. www.kesmavetsatwaliar.com . Diakses tanggal 25 September 2012. Sumarto, S., 2010. Biologi Konservasi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi. Manado Sumarto, S. & T. Tallei. 2010. Climbing Tangkoko Mountain: Conservation Education Medium. Moeka Publishing. Jakarta. Suparmoko I, 2007. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta. Wenas, J. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Sulawesi Utara.
276 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
STATUS DOMESTIKASI MERBAU (Intsia bijuga O.Ktze) DI INDONESIA1 Jafred E. Halawane BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Manado Telp: (0431) 3666683, email:
[email protected]
ABSTRAK Domestikasi diartikan sebagai sesuatu (jenis/spesies) yang semula tidak dikenal, dijadikan atau diambil dan didatangkan sehingga lebih dikenal, diambil dari sebaran alami dan ditempatkan disuatu tempat yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang baru. Lebih sederhana domestikasi merupakan proses dimana ada proses evolusi yang dipengaruhi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Di Indonesia, proses domestikasi (sampai pada kegiatan pemuliaan) telah dilakukan terhadap jenis tanaman kehutanan antara lain seperti : Pinus merkusii, Acacia mangium, Eucalyptus pellita, Melaleuca cajuputy, jenis-jenis Dipterocarpaseae, Alstonia scholaris, Falcataria molucana, Araucaria cunninghamii, Toona sureni dan Intsia bijuga. Namun demikian pemuliaan jenis merbau (Intsia bijuga) belum semaju jenis-jenis yang telah disebutkan di atas. Lambatnya proses domestikasi jenis merbau dipengaruhi oleh potensinya di alam yang cukup melimpah sehingga ada ketergantunggan pemenuhan kebutuhan kayu merbau pada tegakan alam tanpa dimbangi dengan proses budidaya. Pemanenan dengan sistem disgenik selection atau yang dipanen hanya pohon – pohon yang baik sedangkan yang ditinggalkan adalah pohon-pohon yang tidak baik secara kualitas genetiknya, sehingga jika tidak segera dilakukan konservasi sumberdaya genetik dan pemuliaan merbau maka materi genetik yang bagus akan habis dipanen sebelum dilestarikan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang status dan keberadaan jenis merbau, sejauh mana domestikasi terhadap jenis ini telah dilakukan dan strategi pengembangannya untuk menghadapi masa yang akan datang. Kata kunci : Domestikasi, merbau, potensi dan pelestarian.
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
277
I. Pendahuluan Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan
hewan dari
kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi
objeknya.
Berkaitan
dengan
tumbuhan,
dikatakan
telah
terdomestikasi apabila sejumlah penampilannya mengalami perubahan dan menjadi tergantung pada campur tangan manusia dalam pertumbuhan dan perbanyakan keturunannya. Domestikasi juga diartikan sebagai suatu (jenis/spesies)
yang
semula
tidak
dikenal,
dijadikan/diambil
dan
didatangkan sehingga lebih dikenal, diambil dari sebaran alami dan ditempatkan di suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang baru. Domestikasi merupakan proses dimana ada proses evolusi yang dipengaruhi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Pada awalnya proses domestikasi yang dilakukan lebih pada tanaman pertanian
(penghasil
pangan),
namun
demikian,
sejalan
dengan
perkembangan kebudayaan dan upaya pemenuhan kebutuhan manusia, proses domestikasipun telah dilakukan terhadap tanaman non pertanian seperti tanaman kehutanan (penghasil kayu) untuk rumah dan produk lain yang berbahan baku kayu, serta tanaman non kayu untuk pemenuhan kebutuhan pakaian, obat-obatan dan kebutuhan non kayu lainnya. Di Indonesia, proses domestikasi (sampai pada kegiatan pemuliaan) telah dilakukan terhadap jenis tanaman kehutanan antara lain seperti : Pinus merkusii, Acacia mangium, Eucalyptus pellita, Melaleuca cajuputy, jenisjenis Dipterocarpaceae, Alstonia scholaris, Falcataria molucana, Araucaria cunninghamii, Toona sureni dan Intsia bijuga. Namun demikian pemuliaan jenis merbau (Intsia bijuga) belum semaju jenis-janis yang telah disebutkan di atas. Hal ini di sebabkan pada awalnya merbau hanya ditanam untuk tujuan koleksi tanpa mengikuti kaidah-kaidah pemuliaan sedangkan untuk tujuan pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik baru dimulai pada beberapa tahun terakhir.
278 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
Bahasan domestikasi pada tulisan ini lebih terfokus pada jenis merbau. Walaupun telah dimanfaatkan sejak lama, namun demikian proses domestikasi jenis ini baru mulai dilakukan. Hal ini disebabkan karena merbau (I. bijuga) yang dimanfaatkan sejak zaman dahulu untuk pemenuhan kebutuhan manusia masih bersumber dari potensi alam tanpa melakukan penanaman atau kegiatan budidaya. Sebelum dilakukan proses domestikasi maka beberapa informasi penting tentang jenis yang akan didomestikasi, seperti: center of origin, penyebaran dan habitat, hubungan kekerabatan (variasi dan jarak genetik) dan data lain sebagai penunjang kegiatan domestikasi sangat perlu untuk diketahui. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang status dan keberadaan jenis merbau, sejauh mana domestikasi jenis ini telah dilakukan dan strategi pengembangannya untuk menghadapi masa yang akan datang. II. Deskripsi Merbau A. Morfologi Merbau. Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) merupakan tumbuhan berkayu yang tergolong dalam famili Caesalpiniaceae, subfamili Caesalpinoidae. Spesies ini dikenal dengan nama perdagangan merbau, kwila dan ironwood ( kayu besi). Merbau dikenal di beberapa negara dengan nama yang berbedabeda, seperti: merbau, Kayu besi (Indonesia); Ipil (Semenanjung Malaysia); ironwod,
borneoteak
(Inggris);
ipil/ipi
(Fiilipina);
Inzia
(Italia);
moluks/ijzehout (Belanda); chayo, show, kebuk (pohnpei); Cohu, faux teck (Prancis); dort (Palau); fehi (Tonga); fesi (rotuma); ifilele (Samoa); ifit, ifet, ipil (Guam dan Kepulauan Mariana); cohu (Celandia Baru); kubok, kubuk(kepulauan marshall); kivili, huhula, rurula, gugura (Kepulauan Salomon); vesi, vehi, vesiwai, vesidina (Fiji); praduu thahe, lumpho thehe (Thailand) (Piskaut, 2006). Nama lokal merbau di beberapa daerah di Papua antara lain : Rang/tangbie (Skou-Jayapura), pakvem (Njou-Jayapura), barbie babilli (Sentani-Jayapura), bat (Komtoek- Jayapura), djem (Hattam- Manokwari), plam (Amberbaken-Manokwari), paseh (Asmat- Merauke), osa (WaropenSerui) dan kaboei (Numfor-Biak). (Tokede dkk., 2006)
279
Merbau tergolong spesies pohon raksasa di hutan tropika basah dengan tinggi total mencapai 40 m, tinggi bebas cabang mencapai 30 m, diameter setinggi dada dapat mencapai 200 cm, batang pohon tumbuh agak tegak tidak mencapai silindris sempurna dan memiliki akar papan (banir). Rata-rata tinggi banir mencapai 2 m dengan lebar 2 m dan tebal 10 cm. kulit batang bagian luar yang mati tebalnya berkisar 0,5 – 1,0 mm dengan warna kelabu hingga coklat muda, tebal endodermis mencapai 5-10 mm, berwarna kuning sampai coklat pada penampang melintang dan warna kuning sampai coklat di bagian dalam. Bentuk tajuk merbau umumnya tidak beraturan (Tokede dkk.,2006 dalam Mahfudz, 2011). Merbau memiliki 1-2 pasang daun per tulang daun (rachis). Bunganya merupakan bunga majemuk dalam bentuk malai, tangkai utama 5-18 cm, panjang tajuk bunga 5-18 cm, buah berbentuk polong, bulat atau berbentuk agak panjang lebih kurang 8,5 – 23 cm, lebar buah 4-8 cm, satu buah berisi 1-8 biji. Biji berbentuk bulat pipih berwarna coklat tua kemerah-merahan. Musim berbunga dan berbuah merbau pada beberapa lokasi mempunyai waktu yang hampir bersamaan. Untarto (1996), menyebutkan bahwa musim berbunga merbau pada hutan Gunung Meja, Pami dan Nuni Manokwari terjadi pada bulan Januari.
Yuniarti (2000) menyebutkan benih siap
dipanen setelah masak fisiologis, yang ditandai dengan warna buah coklat tua sampai kehitam-hitaman. Kulit buahnya sudah keras dan benih sudah berwarna coklat tua kemerah-merahan. Kisaran potensi produksi buah per pohon adalah 72-81 buah dan potensi produksi benih per pohon adalah antara 358-407 butir benih. B. Habitat dan Penyebaran. Intsia bijuga sering ditemukan di daerah pantai dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun.
Tumbuh dominan di hutan hujan tropis
dataran rendah. Di Papua, baik di hutan alam primer maupun hutan alam sekunder, pada umumnya jenis ini tumbuh berasosiasi dengan jenis-jenis lain seperti Intsia palembanica Miq., Pometia pinnata Forst., Calopyllum inophyllum L., dan Palaquium amboinensis Burck. I. bijuga tumbuh baik
280 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
pada berbagai tipe tanah, tetapi tidak pada gambut dengan iklim A-D (Martawijaya et al., 2005; Mahfudz et al., 2006). Tokede dkk.(2006), mengemukakan bahwa pada umumnya I. bijuga tumbuh pada habitat berpasir dan berbatu, terutama pada tanah-tanah endapan di hutan dataran rendah. I.bijuga dapat tumbuh pada tanah-tanah lembab yang kadang tergenang air dan dapat tumbuh pada tanah tanah kering, tanah berpasir, tanah berbatu, baik pada kondisi tanah datar maupun miring. Daerah penyebaran merbau beriklim A-D menurut tipe iklim Schimidt and ferguson. Di Papua merbau (I. bujuga) tumbuh sec ara alami, bercampur dengan jenis pohon lain di hutan tropika basah. Pada hutan – hutan belukar dan hutan rimba tua di dataran rendah sampai pada elevasi 600 m dpl. D i tanah Papua, wilayah penyebaran I. bujuga meliputi Daerah Kepala Burung, yaitu Manokwari ( Sidei, Oransbari, Wandoswaar, Prafi, Bintuni, Babo, Wariki dan Boutiga) dan Sorong (Teminabuan, Ayamaru, P. Batanta dan P. Salawati) (Kuswandi, dkk., 1993) di pantai Utara Papua, I. bijuga dapat dijumpai di Kabupaten Jayapura (Demta, Sarmi, Sentani, Skou, Tannusa, Borowai, Bahongko dan Kemtuk), Kabupaten Biak Numfor (P. Biak dan P. Numfor), Kabupaten Serui (P.Serui dan P.Waropen) kabupaten Nabire dan sebelah Utara Kabupaten Fak-Fak (Mahfudz, 2011). Sedangkan di maluku penyebaran Merbau meliputi P. Halmahera, P. Bacan, P.Obi dan P.Seram.
Berdasarkan data sebaran I.bijuga maka tampak
dengan jelas bahwa potensi yang paling besar terdapat pada wiliyah bagian timur Indonesia dimulai Papua hingga Maluku (Tabel 1). Menurut Hasil penelitian Mahfudz (2011), keragaman genetik 14 populasi I. bijuga (populasi Haltim, Waigeo, Nabire, Seram, Wasior, Oransbari, Manimeri, Jayapura, Muskona, Sarmi, Carita, Babo, Timika dan Waropen) yang dianalisis dengan menggunakan penanda genetik isozym, menunjukkan bahwa keragaman genetik merbau berkisar 0,365 sampai 0,442 dengan keragaman genetik tertinggi terdapat pada populasi sarmi (0,430 -0,442) dan terendah pada populasi wasior (0,365-0,391) dengan rata-rata keragaman genetik 0,409. Dikemukakan pula bahwa total keragaman genetik dari ke empat belas populasi masih besar (HT= 0,438) sebagian besar keragaman didistribusikan di dalam populasi, yaitu sebesar 0,409
281
atau 93,38% dan sisanya sebesar 0,029 atau 6,62 % didistribusikan di antara populasi. Keragaman genetik yang lebih besar di dalam populasi disebabkan oleh populai merbau telah tumbuh secara alami sebagai bagian dari habitat hutan di Papua yang besar dengan luasan mencapai 6 juta ha (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2007 dalam Mahfudz, 2011). Sedangkan keragaman genetik yang rendah disebabkan oleh proses aliran gen (gene flow). Aliran gen dapat berasal dari individu pohon sendiri seperti sistem perkawinan dan lingkungan seperti bentang alam dan kondisi habitat (Lowe dkk., 2004 dalam Mahfudz, 2011). Dikemukakan pula bahwa jarak genetik antar pasangan populasi berkisar antara 0,008 (Nabire-Oransbari) dan 0,173 (Haltim-Waropen). Sedangkan hubungan kekerabatan antar populasi yang didasarkan pada nilai jarak genetik antar populasi yang dianalisis dengan metode UPGMA. Berdasarkan hasil analisis maka ke empatbelas populasi tersebut dibagi menjadi empat kelompok utama.Kelompok pertama terdiri dari populasi haltim, Waigo, Nabire, Oransbari dan Wasior. Kelompok ke-2 terdiri dari populasi Seram, Sarmi dan Jayapura. Kelompok ke-3 terdiri dari populasi Manimeri, Muskona, Carita dan Babo.Kelompok ke empat terdiri dari populasi Timika dan Waropen. Kelompok pertama terbagi menjadi 2 sub kelompok, sub kelompok pertama terdiri dari populasi Haltim dan waigo; sub kelompok kedua terdiri dari populasi Nabire, Oransbari dan Wasior. Kelompok kedua terbagi menjadi 2 sub kelompok. Sub kelompok pertama terdiri dari populasi Seram dan Sarmi; sub kelompok kedua terdiri dari populasi Jayapura. Kelompok ketiga terbagi menjadi 2 sub kelompok. Sub kelompok pertama terdiri dari populasi Manimeri dan Muskoma; Sub kelompok kedua terdiri dari populasi Carita dan Babo. Sedangkan populasi yang berasal dari Papua Tengah membentuk kelompok tersendiri yaitu populasi Waropen dan Timika.
282 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
Keterangan : (1) Haltim, (2) Waigo, (3) Nabire, (4) Seram, (5)Wasior, (6)Oransbari, (7)Manimeri, (8) Jayapura, (9) Muskona, (10) Sarmi,(11) Carita, (12) Babo, (13) Timika dan (14) Waropen.
Gambar 1. Dendogram hubungan kekerabatan antara 14 populasi merbau berdasarkan jarak genetik menurut Nei (1972) (Mahfudz 2011).
C. Potensi dan Manfaat Kayu Merbau Beberapa kalangan menilai bahwa potensi kayu merbau di Papua sebenarnya rendah. Latumahina (2003) dalamMalik et al. (2005) menyebutkan bahwa potensi kayu merbau layak tebang dalam hutan produksi Papua adalah 10-11 pohon/ha. Hal ini juga dipertegas oleh aktivis Conservation International (CI) dan World Wild Foundation (WWF) yang menyatakan bahwa potensi kayu merbau di Papua rendah. Seiring dengan eksploitasi yang terus menerus, maka dalam beberapa tahun terakhir produksi kayu merbau cenderung terus menurun (lihat Tabel 1). Menurut Martawijaya et.al. 2005. Didasarkan pada sifat kuat (I,II) dan awet (I,II), kayu merbau saat ini dianggap sebagai jenis kayu paling berharga di daerah Asia Tenggara, dan biasanya dimanfaatkan untuk bahan bangunan rumah, jembatan, perkapalan, perabot rumah, veneer, jendela, pintu, dan lain-lain. Secara tradisional jenis kayu ini banyak digunakan oleh masyarakat lokal untuk bahan ukiran, perahu, dan bahan bangunan rumah tradisional.
283
Tabel 1. Potensi Kayu Merbau Di Papua Menurut Kabupaten.
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2003) dalam Malik et.al. (2005) Keterangan: *) Luas hutan berdasarkan jumalah luas HPH. *) N adalah jumlah pohon.
Tabel 2. Jumlah produksi kayu bulat di Papua dalam Tahun 1994-2003
Merbau sebagai jenis yang potensial dan bernilai ekonomi tinggi sehingga eksploitasinya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menurut Kayoi (2009) dalam Mahfudz (2011), wilayah yang berpotensi mempunyai tegakan merbau pada hutan produksi di Papua mencapai 5.615.137 ha dengan potensi merbau berdiameter > 50 cm sebesar 13,7 m3/ha. Dikemukakan pula bahwa dengan potensi yang ada, produksi kayu bulat
Provinsi Papua setiap
tahunnya berkisar
antara 462.327–
3
556.367m /tahun dengan luas areal tebangan 77.117-87.509 ha/tahun. Sampai saat ini belum dilakukan pembangunan hutan tanaman sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu merbau masih diperoleh dari tegakan alam. Hal ini disamping dapat mengurangi potensi alam merbau juga dapat
284 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
menyebabkan menurunnya potensi keragaman genetik merbau. Walaupun pembangunan hutan tanaman untuk tujuan produksi belum dilakukan namun
penanaman merbau dalam skala arboretum maupun skala
penelitian seperti plot-plot konservasi ex-situ telah dilakukan. Penanaman merbau dalam bentuk arboretum telah dilakukan sejak zaman Belanda (1960-an) di Manokwari. Penanaman dalam skala arboretum juga telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari di hutan penelitian 1 Angresi. Sedangkan untuk tujuan penelitian telah dilakukan oleh Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, dengan membangun pertanaman uji coba dalam bentuk konsevasi ex-situ, di Bondowoso dan Gunung Kidul masing-masing seluas 3,2 ha (Mahfudz, 2009). Berdasarkan data di atas maka untuk menjaga kelestarian jenis merbau, sangat penting untuk dilakukan kegiatan domestikasi, baik untuk tujuan penelitian lebih lanjut maupun tujuan pembangunan hutan tanaman untuk mengurangi ketergantungan pada potensi hutan alam. III. Strategi Domestikasi yang Telah Dilakukan Telah dijelaskan di atas bahwa sejak zaman dahulu kayu merbau telah dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia, proses domestikasi jenis ini juga telah dilakukan sejak tahun 1960-an, namun demikian domestikasi yang dilakukan pada saat itu masih pada tahap yang paling sederhana yakni penanaman yang dilakukan dengan menggunakan benih dari tegakan alam tanpa melakukan proses seleksi atau tanpa menggunakan kaidah–kaidah pemuliaan dan hanya untuk tujuan arboretum. Beberapa kegiatan penelitian yang mengarah kepada kegiatan domestikasi baru dimulai sekitar delapan tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertanaman plot konservasi ex-situ di Bondowoso dan Gunung Kidul (Mahfudz, 2011). Penelitian lain yang mengarah kepada kegiatan mendukung upaya pemuliaan dan konservasi merbau juga telah dilakukan, seperti penelitian analisis keragaman genetik merbau, yang dilakukan terhadap beberapa populasi dengan menggunakan analisis isoenzim. Penelitian-penelitian tersebut antara lain adalah : Studi keragaman genetik pada 6 populasi merbau di wilayah Papua Barat, Papua
285
bagian Utara dan Maluku oleh Yudohartono (2008), Studi keragaman genetik pada 4 populasi merbau (Atedo dan Kahale di Nusa Tenggara Timur, Kerom dan manokwari di Papua) oleh Halim (2008), Variasi genetik beberapa
populasi
merbau
(Intsia
bijuga
O.Ktze)
berdasarkan
penandaizosim oleh Yudohartono (2008), Analisis keragaman genetik pada 4 populasi merbau (Manokwari, Nabire, Ternate dan Carita) oleh Rimbawanto dan Widyatmoko (2006) dan analisis keragaman genetik 14 populasi yang terdiri dari populasi Haltim, Waigo, Nabire, Seram, Wasior, Oransbari, Manimeri, Jayapura, Muskona, Sarmi, Carita, Babo, Timika dan Waropen oleh Mahfudz (2011). Studi variasi antar provenan secara molekuler juga telah dilakukan untuk I. bijuga tetapi dengan jumlah provenan yang masih terbatas (Halim, 2008). Kegiatan domestikasi yang mengarah pada tahap pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik masih tergolong baru mulai dilakukan, namun demikian langkah yang telah ditempuh sudah sangat tepat. Hal ini disebabkan karena dalam menunjang kegiatan pemuliaan informasi tentang keragaman genetik (jumlah variasi genetik), diferensiasi genetik (perbedaan variasi genetik antar populasi) dan jarak genetik (hubungan kekerabatan antar populasi) merupakan komponen yang sangat penting untuk diketahui. Kegiatan penelitian yang merupakan aplikasi kegiatan pemuliaan dalam hal ini pembangunan plot uji keturunan merbau pertama kali baru dibangun pada tahun 2007 menggunakan 24 famili yang berasal dari Maluku di Wanagama Jogjakarta, sedangkan informasi domestikasi dengan tujuan untuk produksi (hutan tanaman) sampai saat ini belum ada atau produksi kayu merbau masih mengandalkan potensi dari alam. IV. Pemecahan Masalah dan Strategi Domestikasi Ke depan Domestikasi jenis merbau (I. bijuga) pada saat ini memang belum maju seperti yang telah dilakukan terhadap beberapa jenis tumbuhan hutan yang ada Indonesia, baik domestikasi dengan tujuan untuk produksi kayu maupun tujuan non kayu lainnya. Terlambatnya pelaksanaan domestikasi terhadap jenis merbau selain karena pertumbuhan merbau yang lambat sehingga mengurangi minat masyarakat untuk melakukan kegiatan
286 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
penanaman, merbau juga memiliki potensi yang cukup tinggi di habitat aslinya sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu orang lebih memilih mengambil langsung dari alam daripada menanam. Akibat ketergantungan pada potensi alam tanpa dilakukan penanaman menyebabkan potensi merbau di habitat aslinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Masalah yang dimungkinkan terjadi
dengan adanya eksploitasi yang terus dilakukan adalah menurunnya keragaman genetik merbau. Tree Conservation Information Service (2000) mengemukakan bahwa the United Nations Environment Programme-World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC) menunjukkan bahwa sudah termasuk kategori rawan (VU A1cd) dan ada keinginan dari beberapa pihak untuk memasukkannya dalam APENDIKS III CITES (Tokede dkk., 2006, Tong P.S dkk., 2009 dalam Mahfudz, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan merbau semakin memprihatinkan di populasi alaminya, dengan demikian berdasarkan data di atas maka kegiatan domestikasi merupakan suatu langkah penting yang harus dan segera dilaksanakan demi kelestarian jenis merbau. Langkah yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi masalah merbau adalah dengan pembangunan hutan tanaman merbau sebagai antisipasi ketergantungan terhadap potensi alam dan penyelamatan terhadap sumberdaya genetik yang masih tersisa. Untuk mewujudkan hal ini maka perlu adanya kegiatan pemuliaan dalam rangka penyediaan benih unggul merbau, sehingga hutan tanaman merbau yang nantinya akan di bangun memiliki kualitas dan produktivitas yang baik. Selain harus segera dilakukan pembangunan hutan tanaman, langkah penting lain yang perlu dilakukan adalah membangun konservasi sumberdaya genetik untuk menyelamatkan materi genetik yang masih ada di alam. Hal ini untuk mengantisipasi eksploitasi yang selama ini dilakukan, yang bersifat disgenik selection atau yang dipanen hanya pohon–pohon yang baik sedangkan yang ditinggalkan adalah pohon pohon yang tidak baik secara kualitas genetiknya, sehingga jika tidak segera dilakukan konservasi sumberdaya genetik dan pemuliaan merbau maka materi genetik yang bagus akan habis dipanen sebelum
287
dilestarikan, dan yang tersisa untuk dimanfaatkan hanyalah materi genetik yang tidak baik. Beberapa penelitian analisis keragaman genetik yang sudah dilakukan merupakan awal yang baik untuk mendukung kegiatan konservasi sumberdaya genetik dan pemuliaan merbau karena telah memberikan informasi tentang status dan keberadaan sumberdaya genetik merbau yang masih tersisa dialam. Innformasi yang diberikan cukup mewakili populasi merbau yang ada di alam karena populasi yang merupakan sampel penelitian berasal dari beberapa kabupaten yang merupakan sebaran alami merbau, baik yang terdapat di Papua maupun Maluku. Informasi ini harus segera dimanfaatkan demi kelestarian merbau karena konservasi sumber daya genetik yang telah dibangun belum mewakili sumber daya genetik yang ada di habitat alaminya. V.
Penutup. Berdasarkan bahasan di atas, beberapa hal yang perlu dilakuan dalam
kaitan dengan kegiatan domestikasi merbau adalah : 1. Merbau merupakan jenis potensial dan bernilai ekonomi tinggi yang perlu didomestikasi demi kelestariaannya. 2. Domestikasi merbau masih sederhana dan baru mengarah ke pemuliaan. 3. Diperlukan langkah serius dan sesegera mungkin dalam konservasi sumber daya genetik dan pemuliaan demi penyelamatan sisa materi genetik merbau berkualitas baik yang ada di populasi alam. DAFTAR PUSTAKA. Halim, R.M.A.E.L., 2008. Variasi Genetik dalam dan antar Populasi Merbau dengan Analisis Isosim. Skripsi Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Indrioko, S. 2007. Bioteknologi untuk Pemuliaan Pohon. Modul Bahan Ajar Program Studi Ilmu Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.
288 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Status Domestifikasi Merbau……. Jafred E. Halawane
Tuheteru, F.D. 2010. Keragaman dan strategi konservasi genetik Jenis merbau (intsia bijuga (colebr.)O. Kuntze) di Papua.Mitra vol V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor Mahfudz, S. Pudjiono, T. P. Yudohartono, P. M. Utomo dan B. A. Suripaty. 2006. Merbau dan Upaya Konservasinya. Puslitbang Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan. Bogor Mahfudz, S. Pudjiono, T. P. Yudohartono. 2010. Status konservasi merbau di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil-hasil Bioteknologi dan Pemuliaan pada Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Hlm. 3-10. Mahfudz, 2011. Keragaman Genetik Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) dan Implikasinya bagi Program Pemuliaan. Disertasi Doktor, Program Studi Ilmu Kehutanan, Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Jogjakarta. (naskah tidak dipublikasikan). Rimbawanto A. dan Widiatmoko AYPBC 2006. Keragaman genetik empat populasi Instia bijuga berdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3 No.3 .Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Jogjakarta. Yudohartono, T.P. 2008, Variasi genetik beberapa populasi merbau (Intsia bijuga O,Ktze) berdasarkan penanda isosim. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Purwobinangun, Jogjakarta.
289
290 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
KELIMPAHAN RELATIF JEJAK ANOA (Bubalus spp.) DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA NANTU PROPINSI GORONTALO 1 Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Anoa (Bubalus spp.) adalah satwa endemik Sulawesi yang menjadi falgship species khususnya bagi wilayah Tenggara. Berbagai faktor menjadi penyebab semakin langkanya anoa di alam termasuk kerusakan habitat dan tingkat perburuan. Informasi yang berkaitan dengan kondisi habitatnya maupun populasinya di alam khususnya di wilayah Utara dan Barat masih sangat minim. Sebagai salah satu kawasan konservasi di propinsi Gorontalo, Suaka Margasatwa (SM.) Nantu memiliki arti yang cukup penting untuk mendukung keberadaan anoa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghimpun data mengenai kelimpahan relatif anoa yang dihitung dengan menggunakan jumlah jejak (sample track count) pada kawasan SM. Nantu bagian Selatan. Dua blok digunakan untuk pengamatan yaitu blok Hatibi dan Adudu. Pengamatan jejak dilakukan pada panjang jalur 500 meter dengan lebar kanan kiri jalur adalah 10-20 meter. Sedangkan jarak antar jalur yang digunakan adalah 500 meter yang dilakukan untuk mengurangi bias terhadap jejak yang dihitung. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik parametrik. Berdasarkan hasil uji beda t-test terhadap kedua blok pengamatan diketahui bahwa data jejak pengamatan tidak berbeda nyata karena nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0.918 lebih besar dari nilai α = 0.01. Kondisi ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh luasnya daerah jelajah (home range) di kawasan Nantu bagian Selatan. Kata kunci : Anoa, kelimpahan relatif, nantu.
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012.
291
I. Pendahuluan Anoa (Bubalus spp.) merupakan salah satu satwa endemik Sulawesi yang keberadaannya kini mulai langka. Berbagai faktor yang menjadi penyebab menurunnya populasi satwa ini adalah kondisi habitatnya yang semakin sempit, karena diketahui bahwa anoa merupakan salah satu jenis satwa yang sangat sensitif terhadap perubahan dan gangguan habitat, serta sebagai mamalia terbesar di daratan Sulawesi, satwa ini membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas. Tingginya perburuan terhadap anoa untuk dikonsumsi dagingnya turut memberikan andil positif dalam laju kepunahannya. Sebagai salah satu satwa ungulata, anoa berkerabat dekat dengan bangsa sapi atau kerbau. Bentuk kepala menyerupai kepala sapi (Bos), kaki dan kuku menyerupai banteng (Bos sondaicus). Pada kaki bagian depan (metacarpal) berwarna putih atau mirip sapi bali namun mempunyai garis hitam ke bawah. Tanduk mengarah ke belakang menyerupai penampang yang bagian dasarnya tidak bulat seperti tanduk sapi melainkan menyerupai bangun segitiga seperti tanduk kerbau. Sifatnya yang agresif dan sukar diprediksi membuat satwa ini tidak mudah untuk dibudidayakan sebagai hewan ternak. Anoa merupakan satwa kebanggaan (flagship species) bagi Propinsi di Sulawesi Tenggara, memiliki karakter yang kharismatik (berukuran besar, mudah diingat, langka dan endemik). Tanduknya yang runcing, panjang dan lurus merupakan senjata andalan yang digunakan oleh anoa untuk bertahan dan menyerang dari suatu hal yang dianggap musuh dan mengusik ketenangannya. Secara internasional, oleh IUCN anoa masuk dalam Red Data Book sebagai spesies yang Genting (endangered). Sanderson (2004) menjelaskan bahwa, populasi anoa di dunia kini hanya tinggal 4.000 hingga 5.000 ekor. Dalam CITES, anoa juga dimasukkan dalam Appendix I yang artinya satwa tersebut tidak boleh diperdagangkan. Di Indonesia, anoa dilindungi berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya serta PP No. 7 tahun 1999 yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
292 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
Anoa merupakan native species Sulawesi, walaupun ketenarannya lebih banyak didengar di bagian Tenggara pulau Sulawesi. Beberapa penelitian yang terkait dengan anoa baik mengenai populasi/kelimpahan dan kondisi habitatnya, lebih banyak dilakukan di wilayah Sulawesi Tenggara (termasuk Pulau Buton), Selatan dan Tengah. Untuk Wilayah Barat dan Utara informasi mengenai spesies ini masih sangat minim. Padahal laju perburuan liar terhadap satwa anoa di wilayah ini cukup membahayakan bagi keberadaan anoa di alam. Sebagai salah satu wilayah konservasi di Propinsi Gorontalo, SM. Nantu menjadi habitat yang sangat berarti bagi anoa. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 537/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999 dengan luas sebesar ± 31.215 Ha sebagai tempat yang dikhususkan bagi pelestarian babirusa (Babyrousa babyrussa). Tujuan penelitian ini adalah sebagai upaya untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan kelimpahan anoa di habitat alaminya sehingga diharapkan dapat melengkapi data yang sudah terhimpun hingga saat ini. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan November 2010 pada Kawasan Suaka Margasatwa Nantu Bagian Selatan (Blok Hatibi dan Blok Adudu) seluas 3.300 Ha. Secara geografis, SM. Nantu terletak pada 1220 08’ 00” – 1220 23’ 00” Bujur Timur dan 000 57’ 00” – 000 46’ 00” Lintang Utara. Kawasan SM. Nantu terletak dalam Sub DAS Nantu, DAS Paguyaman dan secara administratif SM. Nantu mencakup wilayah Kecamatan Sumalata dan Kecamatan Tolangohula Kab. Gorontalo serta Kecamatan Tilamuta dan Kecamatan Wonosari (pemekaran Kecamatan Paguyaman) di Kabupaten Boalemo. Sebagian besar kawasan SM. Nantu merupakan daerah dataran rendah dan sebagian lagi memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 1.500 m dpl. Berdasarkan peta tanah tinjau
293
Kabupaten Gorontalo yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Agroklimat Bogor, jenis tanah di SM. Nantu sebagian besar didominasi oleh tanah hutan coklat dengan ordo yang umum dijumpai adalah Inceptisol dan Ultisol. Batuan induk yang dijumpai di wilayah DAS Paguyaman adalah batuan aluvium atau endapan bahan halus dan kasar yang berasal dari koral, batuan sedimen dan batuan malihan, batu liat, batu debu, batu gamping koral, batu granit dan batu granodiorit (Dunggio, 2005). Pada kawasan SM. Nantu terdapat sungai utama yaitu Sungai Paguyaman yang bermuara di Teluk Paguyaman. Terdapat juga sungai lainnya, seperti Sungai Nantu di sebelah selatan dan Sungai Tamilo di sebelah barat. Sebagai satu kawasan pelestarian alam, SM. Nantu memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berbagai jenis flora fauna khas Sulawesi menjadi penghuni di wilayah ini. Jenis flora yang banyak dijumpai adalah pangi (Pangium edule), linggua (Pterocarpus indicus), nantu (Palaquium sp.), bayur (Pterospermum sp.), leda (Eucalyptus deglupta) dan sebagainya. Berbagai jenis satwa juga dapat dijumpai seperti babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus sp.), babi hutan sulawesi (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), monyet hitam Gorontalo (Macaca heckii),
tangkasi
(Tarsius
spectrum),
kakatua
hijau
(Tanygnatus
sumatranus), kumkum hijau (Ducula aenea) dan sebagainya (Lee et al., 2001). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jejak anoa dan faktor yang mempengaruhinya baik kondisi habitat anoa maupun perilaku satwa tersebut di Suaka Margasatwa Nantu. Peralatan yang dipergunakan terdiri atas adalah kompas, meteran, pita ukur, termometer, pita penanda (flagging tape), Global Positioning System (GPS), gunting stek, kantung spesimen, kaliper, kamera, lembar isian data dan alat tulis menulis.
294 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
C. Prosedur Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode tidak langsung yaitu melalui penghitungan terhadap jejak kaki (sample track count). Metode sample track count merupakan sebuah survey yang menggunakan wilayah contoh (sampling). Pada kegiatan ini hal pertama yang dilakukan adalah membuat jalurjalur transek. Pengamatan dan penghitungan dilakukan di sepanjang jalur transek tersebut. Jumlah jalur transek yang digunakan di masing-masing blok pengamatan adalah sebanyak 4-5 jalur, dengan panjang masingmasing jalur adalah 500 meter dengan lebar kanan-kiri jalur adalah 10-20 meter. Sedangkan jarak antar jalur yang digunakan adalah 500 meter, hal ini dilakukan untuk mengurangi bias dan resiko kesalahan dalam penghitungan jejak. Setiap panjang 25 meter, jejak dihitung serta diukur panjang dan lebar kaki baik kaki depan maupun kaki belakang. Dengan asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut panjang dan lebar kuku kaki depan kanan adalah sama dengan kaki depan kiri, panjang dan lebar kuku kaki belakang kanan adalah sama dengan kaki belakang kiri, setiap individu anoa memiliki ukuran lebar dan panjang yang berbeda, jejak kaki dalam satu jalur dinyatakan sebagai satu individu dengan ukuran yang diambil adalah ukuran rata-rata. D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan metode statistik parametrik. Menurut Priyanto (2008) menjelaskan bahwa analisis deskriptif merupakan analisis yang menekankan pada pembahasan datadata dan subyek penelitian dengan menyajikan data secara sistematik. Metode statistik parametrik merupakan metode analisis data dengan menggunakan parameter tertentu dalam hal ini adalah rata-rata jejak. Kelimpahan
relatif
jejak
anoa
di
SM.
Nantu
dihitung
dengan
membandingkan nilai rata-rata jejak pada masing-masing blok pengamatan menggunakan pengujian varian satu jalur (One Way ANOVA). Uji ini
295
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata untuk lebih dari dua kelompok sampel. Jika ada perbedaan, rata-rata manakah yang lebih tinggi. Data dihitung dengan menggunakan program SPSS 13, untuk selanjutnya dikaitkan dengan kondisi yang berpengaruh terhadap besar rata-rata kelimpahan jejak. III. Hasil dan Pembahasan A. Data Jejak Anoa pada Lokasi Pengamatan Blok
Pengamatan Hatibi menurut
informasi dari masyarakat
merupakan salah satu tempat anoa dapat dijumpai. Di wilayah ini, ditemukan tegakan Seho (Pigafetta elata) yang merupakan salah satu jenis tumbuhan pakan anoa dan tergolong sebagai salah satu jenis endemik Sulawesi. Ketinggian tempat di lokasi ini didominasi pada 500-600 m dpl. Dan sebagian besar berada pada topografi landai sampai agak curam (hingga > 45%). Penghitungan jejak di lokasi ini hanya dapat dilakukan pada empat jalur pengamatan atau sekitar 2 km. Kondisi topografi yang curam tidak memungkinkan untuk dilakukan pengamatan dan pembuatan jalur secara sistematik. Namun demikian, diharapkan pengambilan sampel jejak pada lokasi ini mampu mewakili kelimpahan anoa khususnya di Blok Hatibi. Jumlah jejak di blok pengamatan Hatibi berjumlah 79 jejak yang menurut klasifikasi Van Strein (1983) dalam Alikodra (1990), dapat digolongkan menjadi 40 jejak merupakan jejak dewasa, 29 merupakan jejak remaja dan 10 merupakan jejak anak.
Sehingga diperoleh nilai rasio
berdasarkan kelas umur, anak : remaja : dewasa adalah 1:3:4. Jumlah jejak yang ditemukan paling banyak adalah 26 jejak yaitu pada jalur ke empat dan paling sedikit adalah 14 jejak pada jalur ke dua. Jumlah jejak pada masing-masing jalur pengamatan dan klasifikasinya disajikan dalam Tabel 1.
296 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
Tabel 1. Data jejak yang dijumpai di Blok Hatibi Stasiun Pengamatan
Hatibi
∑
Koordinat
Jumlah Data Jejak Anoa
X
Y
Alt (m dpl)
1
427232
93460
602
8
7
3
18
2
427734
93455
611
8
5
1
14
3
426711
93473
632
8
9
4
21
4
427232
93460
602
16
8
2
26
-
-
-
40
29
10
79
Transek
D
R
A
Jumlah Jejak
Keterangan : D (Dewasa); R (Remaja); A (Anoa)
Blok Adudu yang merupakan lokasi pengamatan kedua memiliki kondisi topografi yang relatif datar dibandingkan dengan blok Hatibi. Tidak hanya anoa, berbagai jenis satwa liar pun dapat dijumpai dengan mudah seperti babirusa, babi hutan, biawak serta berbagai jenis burung. Blok Adudu berada tepat di sepanjang Sungai Nantu. Jalur pengamatan di wilayah ini berjumlah 5 jalur yang ditempatkan secara sistematik yaitu masing-masing panjang jalur 500 meter. Jumlah jejak anoa yang ditemukan memiliki perbandingan yang cukup signifikan yaitu sebanyak 101 jejak. Jumlah jejak terbesar ada pada jalur dua sebanyak 31 jejak dan paling kecil sebanyak 11 jejak yaitu pada jalur satu. Jumlah jejak tersebut kemudian dapat diklasifikasikan sebagai berikut sebanyak 63 jejak merupakan anoa dewasa, 30 merupakan jejak remaja dan 8 sebagai jejak anak. Rasio perbandingan jejak anak : remaja : dewasa adalah 1:4:8. Data selengkapnya mengenai jumlah jejak pada masingmasing jalur pengamatan disajikan dalam Tabel 2.
297
Tabel 2. Data jejak yang dijumpai di Blok Adudu Koordinat
Stasiun Pengamatan
Adudu
Transek
Alt
Jumlah Data Jejak Anoa Jumlah
X
Y
(m dpl)
D
R
A
1
419692
87282
56
10
1
-
11
2
420222
87166
104
15
15
1
31
3
420733
87085
81
13
3
4
20
4
421248
87164
86
11
6
2
19
5
421773
87219
107
14
5
1
20
-
-
-
63
30
8
101
∑
Jejak
Keterangan : D (Dewasa); R (Remaja); A (Anoa)
Jejak anoa, mudah dibedakan dengan jejak satwa ungulata lainnya seperti babi hutan, babi rusa dan rusa. Pada lokasi pengamatan di Blok Adudu banyak jejak anoa dijumpai pada kondisi bertumpukan dengan jejak satwa lainnya seperti babi hutan dan babirusa. Hal ini berarti, jalur yang digunakan oleh satwa anoa digunakan juga oleh satwa lainnya. B. Kelimpahan Relatif Anoa Data terkait dengan kelimpahan sangat dibutuhkan oleh pengelola. Kelimpahan satwa khususnya jumlah maupun kepadatannya seringkali digunakan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan kawasan baik terkait perencanaan maupun kegiatan evaluasi. Alikodra (1990) menjelaskan bahwa kepadatan dan jumlah populasi sangat penting diketahui karena akan menunjukkan kualitas lingkungannya dalam hal daya dukung dan prospek kelestarian satwa. Kelimpahan didefinisikan sebagai besarnya populasi dengan suatu unit ruang dan umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau volume. Di lapangan, kelimpahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kelimpahan relatif (relative density) dan kelimpahan absolut (absolute density). Kelimpahan absolut dinyatakan dalam jumlah individu per hektar sedangkan kelimpahan relatif dinyatakan untuk membandingkan jumlah individu satwa dengan semua jenis satwa dalam suatu kawasan.
298 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
Kelimpahan yang tinggi akan mengindikasikan bahwa kawasan tersebut dapat memenuhi syarat yang diperlukan suatu populasi untuk hidup dan berkembang, makan, minum dan berlindung (Sejati, 2004 dalam Mahmud, 2009). Sebelum, membuat suatu kesimpulan terhadap nilai kelimpahan relatif, diperlukan suatu uji yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
perbedaan letak jalur yang ada di Blok Hatibi dan Adudu
terhadap jumlah jejak anoa yang ditemukan. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda t-test. Uji beda t-tes dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan rata-rata dua sampel dengan standart eror dari perbedaan ratarata dua sampel. Dalam uji beda t-test, diperlukan dua asumsi yang harus dipenuhi yaitu asumsi normalitas dan kesamaan varian (homogenitas). Kenormalitasan suatu data akan diketahui jika nilai residual (εij) dalam setiap perlakuan (grup) yang terkait dengan nilai pengamatan Yi harus terdistribusi secara normal. Jika nilai residual terdistribusi secara normal maka nilai Yi pun akan berdistribusi normal. Dampak ketidaknormalan yang disertai dengan ragam yang heterogen akan dapat menyebabkan permasalahan yang cukup serius. Dalam penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah metode uji goodness of fit namun dalam SPSS uji ini diterjemahkan dengan uji kolmogorov smirnov. Uji ini merupakan uji hipotesis untuk membandingkan suatu himpunan frekuensi yang diharapkan dengan frekuensi yang diperoleh dari suatu distribusi. Dalam pengujian normalitas, hipotesis yang digunakan adalah data pengamatan jejak berdistribusi normal (H0) dan data pengamatan jejak tidak mengikuti distribusi normal (H1) dengan signifikansi α = 0.01. Dari hasil pengujian diketahui bahwa, nilai sig yang diperoleh sebesar 0.819 lebih besar dari nilai α = 0.01, maka kesimpulannya H0 diterima yang berarti data yang diambil yaitu data pengamatan jejak anoa di Kawasan SM. Nantu bagian selatan mengikuti distribusi normal. Asumsi kedua yaitu kesamaan varian (homogenitas). Homogenitas memiliki pengertian ragam dari nilai residual bersifat konstan. Asumsi homogenitas mensyaratkan bahwa distribusi residu untuk masing-masing
299
kelompok harus memiliki ragam yang sama. Dalam prakteknya, berarti bahwa nilai Yij pada setiap level variabel independen masing-masing beragam di sekitar nilai rata-ratanya. Ragam nilai residual dan ragam data pengamatan dalam grup yang sama seharusnya homogen. Terdapat beberapa alternatif tes formal untuk menguji apakah data sudah memenuhi asumsi kehomogenen atau belum yaitu uji Bartlett’s, Hartley’s, Cochran, dan Levene’s. Untuk penelitian ini, uji kehomogenan data pengamatan jejak anoa menggunakan uji yaitu Levene’s. Hipotesis yang digunakan pada uji homogenitas adalah data pengamatan jejak di kawasan SM. Nantu bagian selatan memiliki varian yang tidak berbeda (H0) dan data pengamatan jejak di kawasan SM. Nantu memiliki varian yang berbeda (H1). Dengan menggunakan nilai sig pada α = 0.01 diperoleh bahwa H0 diterima karena nilai sig output yang diperoleh adalah sebesar 0.849 (lebih besar dari nilai α = 0.01). Artinya bahwa data pengamatan jejak di kawasan SM. Nantu bagian Selatan memiliki varian yang tidak berbeda. Setelah pengujian asumsi normalitas dan homogenitas terpenuhi maka pengujian untuk mengetahui pengaruh perbedaan letak jalur terhadap jumlah jejak anoa yang ditemukan melalui uji beda t-test. Uji ini akan membandingkan nilai mean kedua kelompok yang berbeda (independen). Pengujian dimulai dengan menentukan hipotesa yaitu H0 untuk kedua ratarata sampel tidak berbeda dan H1 untuk kedua rata-rata sampel berbeda. Perhitungan dengan program SPSS diperoleh nilai sig untuk uji beda t-test sebesar 0.918. Karena nilai tersebut lebih besar daripada nilai α = 0.01 maka H0 diterima yang berarti menolak H1. Artinya bahwa rata-rata pada kedua sampel data jejak di Blok Adudu dan Hatibi adalah tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan kelimpahan anoa pada dua blok pengamatan disajikan dalam Tabel 3.
300 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
Tabel 3. Hasil perhitungan kelimpahan anoa di masing-masing blok Blok
N
Mean
Std Dev.
Std. Error
Sig.
t hit
Pengamatan
t tabel
Hatibi
4
19.7500
5.05800
2.52900
Adudu
5
20.2000
7.12039
3.18434
0.918
-0.106
2.998
Dari hasil pengujian tersebut maka diketahui bahwa kelimpahan relatif jejak anoa di kawasan SM. Nantu bagian selatan adalah sebesar 19.9 jejak. Keberadaan anoa sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya baik kondisi fisik maupun biotiknya,
ditambah luasnya daerah jelajah anoa yaitu
sebesar 500 Ha (Mustari, 2003) maka dimungkinkan kondisi ini dapat terjadi. Nilai kelimpahan relatif tersebut diperkirakan masih tergolong sangat kecil jika dibandingkan keberadaan satwa lain yang mendiami SM Nantu. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan masyarakat desa sekitar yang menyatakan bahwa intensitas perjumpaan anoa di SM Nantu yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini diperkuat juga dari pengakuan masyarakat desa sekitar yang menyatakan bahwa beberapa tahun yang lalu anoa masih dapat dijumpai tidak jauh dari tempat tinggal mereka, namun saat ini telah menghilang sama sekali dan hanya dapat ditemukan jauh di dalam hutan SM. Nantu.
Dari hasil pengamatan
diketahui faktor utama penyebab menurunnya jumlah populasi anoa di SM Nantu adalah hampir sama dengan beberapa daerah lain dimana diketahui terdapat keberadaan anoa di dalamnya, yaitu tingginya tingkat perburuan liar oleh masyarakat terhadap satwa ini dan deforestasi terhadap tempat habitatnya menjadi lahan perkebunan serta akibat aktifitas illegal loging. Berdasarkan informasi yang didapat anoa banyak diburu, karena memiliki daging yang empuk, harga yang cukup mahal dan juga dipercaya dapat menambah vitalitas. Selain itu tanduknya juga biasa dimanfaatkan sebagai hiasan rumah dan senjata tajam. Semakin menurunya populasi anoa selain disebabkan kedua faktor tersebut, juga dikarenakan faktor hambatan perkembangan jumlah populasi satwa ini sendiri. Faktor hambatan ini
301
menyebabkan lambatnya penambahan jumlah individu anoa dari waktu ke waktu. Beberapa faktor tersebut antara lain : Pola Hidup Soliter Berbeda halnya dengan satwa lain yang hidup dalam suatu kelompok besar, anoa lebih senang menyendiri atau hidup dalam kelompok keluarga kecil, umumnya hanya ditemukan satu ekor, kadang dua ekor dan jarang dijumpai tiga ekor dalam satu kelompok. Hal ini dimungkinkan yang menyebabkan perkembangbiakannya menjadi lambat, karena kurangnya intensitas pertemuan antar anoa dewasa dalam ruang habitat yang terlalu luas untuk melakukan perkawinan. Sebagai hewan yang sangat soliter, anoa juga membutuhkan perhatian yang lebih karena rentan terhadap gangguan hewan lain salah satunya Ular Phyton yang menjadi salah satu predator alami yang mengancam keberadaan satwa ini. Pendeknya Masa Birahi Pendeknya masa birahi satwa ini kemungkinan juga merupakan salah satu penyebab sulitnya terjadi perkawinan. Untuk betina kematangan seksual dicapai pada umur 2-3 tahun. Walaupun masa birahi anoa belum diketahui secara pasti, namun dimungkinkan masa birahi yang pendek ini juga perlu menjadi bahan pertimbangan penyebab kurang berkembangnya populasi anoa di wilayah SM Nantu, mengingat umur mereka yang berkisar 20-25 tahun, dengan periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan hanya satu anak, Adanya Ketidakseimbangan Perbandingan Jumlah Anoa Jantan dan Betina Apabila jumlah anoa jantan jauh lebih banyak dari betinanya, maka kemungkinan akan terjadi persaingan antar anoa jantan untuk berebut pasangan. Hal ini mengakibatkan perkembangbiakan yang lambat sehingga menghambat pertumbuhan populasi. Ketidakseimbangan perbandingan jumlah jantan dan betina ini dapat dilihat dari hasil pencatatan perbandingan jejak kaki satwa ini di SM.Nantu (Tabel 3).
302 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
Tabel 3. Perbandingan jumlah jejak jantan dan betina di Suaka Margasatwa Nantu bagian selatan Stasiun Pengamatan
Transek 1
HATIBI
2
10 8
5 5
3
12
5
4
12
12
42
27
1
10
1
2
20
8
3
10
6
4
11
6
5
12
7
63
28
∑
ADUDU
∑
Jumlah Data Jejak Anoa Dewasa dan Remaja Jantan Betina
Dari tabel tersebut dapat diketahui prosentase perbandingan jumlah jejak anoa jantan dan betina adalah sebesar 66% : 34%, sehingga terbukti pengaruh faktor tidak seimbangnya sebaran jumlah jantan dan betina dimungkinkan merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembangan jumlah populasi anoa di SM Nantu. Ketidakseimbangan jumlah jejak anoa yang ditemukan juga diungkapkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tikupadang,dkk di Cagar Alam Faruhumpenai Sulawesi Selatan. Di lokasi ini ditemukan jejak kaki betina sejumlah 42 jejak sedangkan jejak jantan hanya sebanyak 27 jejak, sehingga hal ini lebih memperkuat kemungkinan di atas. Sensitifitas Tinggi Anoa merupakan satwa yang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan, terutama manusia. Sedikit gangguan saja akan membuat satwa ini mengalami stress yang selanjutnya dapat menyebabkan terganggunya proses perkembangbiakan bahkan dimungkinkan berujung pada kematian. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Nur M bahwa selama beberapa hari pernah mencoba memelihara anak anoa yang ukurannya sebesar anak
303
kambing. Berdasarkan pengalamannya diketahui bahwa satwa tersebut sangatlah gesit, bahkan saat akan diberi makan dan minumpun bertambah meronta dan menendang. Setelah 4 hari mencoba memeliharanya, akhirnya tidak mengalami perubahan dan diputuskan untuk dilepaskan kembali. Sikapnya yang sangat sensitif tersebut kemudian menjelaskan mengapa upaya pemeliharaan satwa ini di luar habitat alaminya termasuk di kebun binatang tidak dapat diterapkan. Membiarkan anoa hidup di alam liar merupakan cara terbaik demi menjaganya tetap lestari. Terjadinya Perkawinan Keluarga Kejadian perkawinan antar anggota keluarga atau biasa disebut dengan inbreeding yang terjadi pada anoa dimungkinkan cukup tinggi. Sepeti telah banyak diketahui inbreeding dapat menurunkan kualitas reproduksi dan kecenderungan mengalami kegagalan yang lebih dominan. Terjadinya pekawinan antar keluarga ini dikarenakan jumlah anoa yang sedikit dan terpisah-pisah dalam areal yang cukup luas. Kegagalan perkembangbiakan inilah kemungkinan yang juga menyebabkan lambatnya jumlah populasi satwa ini di wilayah konservasi SM Nantu. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Kelimpahan relatif anoa pada kawasa SM. Nantu bagian selatan diperkirakan sebanyak 19.9 individu. 2. Beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab lambatnya perkembangan populasi anoa di SM. Nantu adalah pola hidup soliter, pendeknya masa birahi, ketidakseimbangan perbandingan jumlah jantan dan betina, sensitifitas tinggi, dan terjadinya perkawinan keluarga. B. Saran Usaha dalam rangka mempertahankan keberadaan populasi anoa perlu terus ditingkatkan dengan menindak tegas para pemburu anoa serta pihak penadahnya dan peningkatan kegiatan penyuluhan terhadap
304 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kelimpahan Relatif Jejak Anoa……. Diah Irawati Dwi Arini dan Arif Irawan
masyarakat sehingga timbul kesadaran secara tidak langsung oleh masyarakat untuk ikut menjaga keberadaan satwa ini. DAFTAR PUSTAKA Bismark M. dan Gunawan H., 1996, Pola habitat dan struktur sosial anoa dataran rendah di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohi Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Kehutanan Volume X Nomor 1. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Ghazali I., 2000, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Undip. Gunawan H., 1998. Struktur Vegetasi dan Status Populasi Satwaliar di Kompleks Hutan Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Buletin Penelitian Kehutanan Ujung Pandang Volume 3 Nomor 2 . Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Mustari A.H., 2010. Perilaku Anoa (Bovidae: Bubalus spp.). Jurusan Konsevasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Nur M., 2010, Anoa Fauna langka Khas Sulawesi hampir punah dari habitatnya, http://green.kompasiana.com Pujaningsih R.I., 2007, Melestarikan yang bermanfaat dan memanfaatkan yang Lestari, http://ardana.blogspot.com Tikupadang H., dkk. 1994. Habitat dan populasi anoa dataran tinggi (bubalus quarlesi K. Mackinnon) di Cagar Alam Faruhumpenai di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Volume VIII nomor 1. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
305
306 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN ENCLAVE PINOGU TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTIWAKTU PERIODE 1994 - 20121 Diah Irawati Dwi Arini BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Manado Telp: (0431) 3666683, email:
[email protected]
ABSTRAK Pinogu merupakan wilayah Enclave Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Wilayah ini dipercaya dulunya sebagai sebuah kerajaan tempat asal muasal penduduk Gorontalo pertama kali bermukim. Perkembangan enclave Pinogu semakin pesat seiring dengan waktu. Pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat yang berdampak pada peningkatan kebutuhan akan lahan menyebabkan adanya kegiatan yang akan mengarah pada pembukaan hutan baik di dalam wilayah enclave dan tidak menutup kemungkinan merambah hingga ke kawasan hutan TNBNW. Penelitan ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk tutupan lahan di dalam wilayah enclave Pinogu serta perubahan tutupan lahannya pada periode tahun 1994-2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah aplikasi teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dengan melakukan analisis citra Landsat TM dan ETM+ menggunakan klasifikasi visual dan panduan dari google earth. Hasil identifikasi citra satelit menghasilkan delapan kelas tutupan lahan yaitu hutan, lahan budidaya, sawah, pemukiman, semak, badan air, awan dan bayangan awan. Pemantauan terhadap perubahan tutupan lahan menunjukkan adanya pengurangan secara signifikan pada luas tutupan lahan hutan dari tahun 1994 hingga 2012 yaitu dari 1.235,76 Ha menjadi 76,67 Ha atau berkurang sebesar 42.40% dan sudah mengarah hingga ke kawasan TNBNW. Sedangkan wilayah budidaya/kebun, areal persawahan, pemukiman dan badan air mengalami peningkatan luas masing-masing 395,75 Ha, 34.03 Ha, 5,35 Ha dan 31,96 Ha. 1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
307
Kata Kunci : Enclave, Pinogu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, satelit, tutupan lahan.
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Pinogu merupakan enclave yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Baik dari jumlah penduduknya, kegiatan masyarakat serta perubahan status wilayah administratifnya dari desa menjadi kecamatan. Terdiri dari empat desa yaitu Pinogu, Bangio, Pinogu Permai dan Dataran Hijau dengan jumlah penduduk saat ini mencapai 2.040 jiwa (Prasetyo,
2011). Enclave Pinogu masuk dalam Kabupaten Bone
Bolango, Provinsi Gorontalo yang letaknya jauh di pedalaman hutan dan dikelilingi oleh jajaran pegunungan. Pinogu berjarak kurang lebih 30 km dari Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur yang menjadi satu-satunya pintu gerbang menuju Pinogu. Menurut
kepercayaan
masyarakat
Gorontalo, Pinogu
dulunya
merupakan sebuah kerajaan yang dikenal sebagai tempat awal mula orang Gorontalo pertama kali bermukim. Kerajaan ini telah berdiri sejak tahun 1.500 dan hingga saat ini bukti-bukti peninggalan sejarah masih dapat dijumpai berupa makam raja-raja. Penetapan Pinogu sebagai enclave memiliki dasar yang sangat kuat. Sebelum Taman Nasional Bogani ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 731/Kpts-II/1992 dengan luas mencapai 287.115 Ha, pemukiman beserta segala aktivitas masyarakat Pinogu telah ada semenjak dahulu dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Sehingga kawasan ini ditetapkan sebagai enclave yang menurut definisi Kementerian Kehutanan sebagai lahan (bukan kawasan hutan) yang dimiliki oleh pihak ketiga yang terletak dalam kawasan hutan (Dephut, 2007). Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan hutan sedikit banyak akan mempengaruhi perubahan tutupan lahan khususnya kawasan hutan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan di sekitar kawasan
308 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
konservasi diantaranya adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia (Darmawan, 2002). Sedangkan Khalil (2009) menyatakan faktor yang mempengaruhi perubahan lahan di kawasan Hutan Adat Citorek Jawa Barat diantaranya perubahan sosial ekonomi masyarakat seperti pertambahan penduduk, tingkat pendidikan
dan
mata
pencaharian.
Ditambahkan
Wijaya
(2004)
menjelaskan bahwa terjadinya perubahan penutupan lahan di suatu wilayah
antara
lain
pertumbuhan
penduduk,
mata
pencaharian,
aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Masyarakat yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan tinggal di kawasan hutan memiliki peluang yang sangat besar untuk menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan khususnya lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan budidaya. Pertumbuhan jumlah penduduk serta minimnya akses terhadap dunia luar di Enclave Pinogu membuka peluang bagi masyarakat Pinogu untuk mengeksplorasi segala potensi yang ada yaitu dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya alam termasuk sumberdaya lahan dan hutan.
Kebutuhan sumberdaya alam dimanfaatkan untuk kegiatan
bercocok tanam seperti kebun, sawah, atau pertanian lahan kering, pembukaan wilayah untuk pemukiman dan sebagainya. Bahkan pada tahun 2012
ini
Pemerintah Daerah
Bone
Bolango
sedang
giat-giatnya
mempromosikan produk lokal yaitu kopi khas Pinogu sebagai produk unggulan
daerah
yang
memang
asli
dari
daerah
tersebut
(www.bappeda.bonebolango.org, 2012) serta ditambah dengan adanya program pembangunan akses jalan dari Pinogu menuju Desa Tulabolo sejauh 40 kilometer yang saat ini sedang berlangsung. Konsekuensi yang dapat diprediksi dari kegiatan ini adalah kebutuhan masyarakat akan lahan semakin meningkat sehingga dapat menimbulkan tekanan terhadap perubahan kawasan hutan menjadi lahan budidaya tidak terkecuali zona inti kawasan TNBNW yang letaknya tepat berdampingan dengan batas Enclave Pinogu. Terbukanya akses jalan, di satu sisi memberikan peluang bagi masyarakat Pinogu untuk dapat berinteraksi dengan dunia luar namun
309
di lain pihak juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati di wilayah akibat semakin tingginya aktivitas manusia di dalam kawasan hutan TN. Bogani Nani Wartabone. Kegiatan pemantauan terhadap perubahan tutupan lahan khususnya dalam skala luas saat ini telah berkembang pesat melalui data penginderaan jauh. Pemanfaatan citra satelit dewasa ini telah banyak membantu manusia dalam segala bidang terutama untuk mendukung pembuatan informasi spasial dan tata ruang dikarenakan sifat data yang selalu terbarui, akurat dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain dapat digunakan untuk skala luas dan memudahkan pekerjaan di lapangan, data citra satelit dapat tersedia dan disajikan secara time series atau multi waktu. Salah satu citra satelit yang banyak digunakan di Indonesia adalah Citra Landsat yang awalnya dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dan menjadi program tertua dalam sejarah observasi bumi yaitu sejak tahun 1972 yang dimulai dengan peluncuran Landsat-1. Pada tahun 1999, Landsat 7 diluncurkan dengan membawa sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) + scanner untuk mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral yaitu band 1,2, 3 adalah sinar tampak dan band 4, 5 dan 7 merupakan infra merah dekat dengan resolusi 30 x 30 meter, sedangkan band 6 adalah infra merah thermal yang memiliki resolusi spasial 120 x 120 meter. Hermawan (2008) menjelaskan nilai radiasi dalam satelit tersebut dinyatakan dalam nilai digital dengan rentang 0-255. Sensor ini merekam permukaan bumi setiap 16 hari sekali dengan luas liputan satuan citra (scene) adalah 175 x 185 kilometer dan memiliki kemampuan ketinggian orbit 705 kilometer. Aplikasi dari data Landsat TM maupun ETM+ telah banyak
dirasakan seperti pemetaan penutupan lahan, pemetaan
penggunaan lahan, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut dan sebagainya. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi terkait dengan tipe-tipe penutupan lahan di Enclave Pinogu serta mendeteksi
310 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
perubahan tutupan lahan di Enclave Pinogu dalam rentang waktu tahun 1994 ~ 2012 dengan menggunakan aplikasi citra satelit Landsat 7 TM dan ETM+. II. Metode Penelitian A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Flora dan Fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado untuk kegiatan koleksi citra Landsat 7 TM dan ETM+ untuk Path/Row 112/60 serta kegiatan analisis citra. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu Bulan Juni – September 2012. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software Arc GIS 10 dan ERDAS 9.1. Sedangkan bahan yang digunakan terdiri atas Peta digital Batas Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Peta batas Enclave Pinogu dan Peta jaringan jalan.
Citra Landsat Enclave Pinogu yaitu Landsat dengan
Path/Row : 112/60 tahun koleksi 1994, 2002 dan 2012. Untuk koleksi data citra Landsat tahun 2012, dilengkapi dengan beberapa citra Landsat tambahan yaitu Citra Landsat 112/60 tahun 2010 dan 2011. Hal ini dilakukan karena pada tahun 2003 hingga saat ini sensor Landsat-7 mengalami kerusakan SLC off yang berdampak pada hasil gambar yang mengalami striping atau kekosongan data pada sejumlah pikselnya. C. Metode Penelitian 1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan merupakan tahap awal penelitian. Datadata berupa peta digital diperoleh dari Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berupa Peta batas kawasan, peta enclave Pinogu dan peta jaringan jalan. Sedangkan data citra Landsat 7 diperoleh secara gratis dengan mendownlod pada situs www.glovis.com pada Path/Row : 112/60 tahun 1994 hasil perekaman tanggal 7 Desember, tahun 2002 hasil perekaman 21 September dan tahun 2012 hasil perekaman tanggal 20
311
Januari dan 5 Februari. Citra Landsat yang diperoleh tersebut sudah terkoreksi secara geometris dan dalam proyeksi koordinat Universal
Gambar 1. Peta lokasi penelitian enclave Pinogu Taman Nasinal Bogani Nani Wartabone
Transverse Mercator (UTM) 51 N.
312 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
2. Tahap Koreksi Radiometrik Citra Landsat Citra Landsat yang telah terkoreksi secara geometris masih perlu dilakukan koreksi pada tampilan visualnya melalui koreksi radiometrik. Jaya (2005)
menjelaskan
bahwa
koreksi
radiometrik
bertujuan
untuk
mendapatkan citra dengan tampilan visual yang lebih baik sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi fitur-fitur dengan melakukan penajaman kontras. Koreksi radiometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Histogram Matching. Wulandari (2011) menjelaskan bahwa Histogram matching merupakan sebuah metode dalam pengolahan citra yang mencakup penyesuaian warna antar dua gambar yang menggunakan histogram. Tujuan dari proses ini adalah memudahkan interpreter dalam melakukan klasifikasi tutupan lahan khususnya untuk metode klasifikasi visual. 3. Tahap Analisis Citra Landsat Analisis citra landsat dilakukan melalui klasifikasi visual dengan metode digitasi on screen dengan terlebih dahulu melakukan pemotongan citra pada lokasi penelitian atau proses subset image. Kegiatan dimulai dari pengenalan tutupan lahan berdasarkan perbedaan rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, situs dan asosiasi diantara piksel-piksel, dokumentasi lapangan serta citra satelit dalam google earth dan dilanjutkan dengan pendeliniasian atau memberi batas antara penutupan lahan yang berbeda secara langsung pada monitor komputer. Kombinasi saluran atau band yang digunakan dalam format RGB (Red-Green-Blue) 5-4-3 agar diperoleh warna komposit yang paling jelas dari setiap kelas penutupan lahan. D. Analisis Data Data yang dihasilkan berupa tipe tutupan lahan dan luas penutupan lahan di Enclave Pinogu periode tahun 1994~2012 yang akan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.
313
III. Hasil dan Pembahasan A. Kondisi Umum Desa Pinogu Pinogu atau dahulu dikenal dengan nama Pinogumbata atau Pilohumbala yang dalam bahasa Suwawa berarti perkelahian konon merupakan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh dua orang bersaudara yaitu Raja Pulumoduyo di wilayah Suwawa dan Raja Mooduto di wilayah Bolaang Mongondow. Peperangan untuk memperebutkan kekuasaan wilayah diakhiri dengan tewasnya raja Pulumoduyo tepat di lokasi Desa Pinogu Lama saat ini. Kerajaan ini diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1500, kompleks makam raja-raja Kerajaan Suwawa masih dapat dijumpai di daerah hulu sungai Bulawa yaitu di kaki bukit Sinandaha (tempat bersandarnya kapal/pelabuhan) yang berjarak sekitar satu hari perjalanan dari desa Pinogu yang sekarang. Situs peninggalan lain yang bisa ditemui adalah makam Raja Moluadu dan Istrinya Ratu Sendena di hulu Sungai Bone sekitar satu jam perjalanan dari Desa Pinogu. Pinogu diyakini sebagai tempat cikal bakal munculnya penduduk Gorontalo, sehingga tidak jarang orang menyebut Pinogu sebagai kota Gorontalo Tua. Dahulu Pinogu hanya sebuah wilayah kerajaan kecil yang kemudian berkembang pesat menjadi desa dan akhirnya akan ditetapkan sebagai kecamatan. Desa Pinogu sendiri berada di jantung kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Untuk mencapai lokasi desa Pinogu terdapat tiga cara yaitu melalui udara menggunakan helikopter, atau berjalan kaki melewati hutan dan lereng gunung selama kurang lebih dua belas hingga empat belas jam atau dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp. 500.000,00 sekali jalan. Kehidupan masyarakat Desa Pinogu kini dapat dikatakan cukup modern walaupun memiliki akses jalan yang sangat terbatas. Jarak antara Desa Pinogu dengan Desa Tulabolo yang merupakan pintu gerbang menuju Desa Pinogu sekitar 30 kilometer berupa jalan setapak.
314 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
Gambar 2. Suasana Desa Pinogu (www.google.co.id)
Desa Pinogu memiliki tanah yang subur. Terletak di hamparan lembah yang datar di antara gunung-gunung, udara yang sejuk serta air yang melimpah sehingga tidak heran orang yang pernah berkunjung ke Pinogu menyebut Pinogu sebagai “Surga yang Terpencil”. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Pinogu adalah petani. Hasil-hasil pertanian umumnya hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau dijual hanya di untuk kalangan penduduk Desa Pinogu saja seperti sayur-sayuran biasanya oleh masyarakat hanya ditanam di sekitar pekarangan rumah dan untuk dimanfaatkan sehari-hari. Buah-buahan, coklat dan kopi sebenarnya merupakan produk yang mendominasi hasil budidaya masyarakat di Enclave Pinogu namun keterbatasan dalam memasarkan hasil produknya keluar wilayah masyarakat hanya menjual pada tengkulak-tengkulak dengan harga yang tidak semestinya. Sebagai usaha meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya daerah tertinggal,
Pemerintah
Daerah Bone Bolango saat ini melakukan promosi produk unggulan daerah yaitu kopi khas Pinogu yang konon memiliki aroma dan cita rasa yang melebihi kopi-kopi yang saat ini di jual di pasaran. Kegiatan ini ditunjang dengan program pembangunan jalan sepanjang 40 kilometer yang
315
menghubungkan Desa Tulabolo dan Desa Pinogu yang saat ini sedang berlangsung. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan pembangunan jalan yang memotong kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ini hanya diberikan ijin pembangunan jalan selebar dua meter tanpa kegiatan pengaspalan jalan. B. Tutupan Lahan Enclave Pinogu Tahun 1994 – 2012 Penutupan lahan (Land Cover) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang terkait dengan jenis dan kenampakan obyek di atas permukaan bumi (Lillesand et al, 2004). Penutupan lahan sendiri dipisahkan dari definisi penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan lebih terkait dengan aktifitas ekonomi dan fungsi ekonomi dari sebidang lahan. Pengetahuan tentang penutupan maupun penggunaan lahan sangat penting bagi kegiatan perencanaan, pengelolaan, pemodelan dan pemahaman tentang sistem kebumian. Informasi penutupan lahan dapat dikenali melalui penginderaan jauh. Pemantauan perubahan penutupan lahan merupakan sebuah proses mengidentifikasi
perubahan
suatu obyek
atau fenomena dengan
menggunakan paling sedikit dua citra yang diperoleh dalam waktu yang berbeda. Deteksi terhadap perbedaan penutupan lahan berdasarkan perbedaan pantulan spektral vegetasi, tanah maupun air. Pantulan spektral pada vegetasi yang berdaun sehat akan berwarna hijau yang dipengaruhi oleh pigmen yang terkandung dalam tumbuhan yaitu klorofil. Klorofil banyak menyerap energi pada panjang gelombang 0.45-0.6 μm. Tanah mempunyai pantulan yang meningkat secara monoton terhadap peningkatan panjang gelombang. Pnurunan pantulan terjadi pada gelombang 1.4 μm, 1.9 μm, dan 2.,7 μm akibat pengaruh kelembaban tanah, tekstur tanah, kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi dan kandungan bahan organik. Sedangkan pada air, kharakteristik pantulan adalah sifat penyerapan tenaga pada spektrum inframerah pantulan. Air jernih akan memantulkan sekitar 10% pada berkas sinar biru dan hijau, hanya sedikit sekali pada berkas sinar merah dan tidak ada sama sekali pada spektrum inframerah (Lillesand dan
316 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
Kiefer, 1990). Berikut ini ditampilkan data citra satelit Landsat 7 enclave Pinogu tahun 1994, 2002 dan 2012.
A
C
B
Keterangan Gambar A : Citra Landsat Enclave Pinogu Tahun 1994 B : Citra Landsat Enclave Pinogu Tahun 2002 C : Citra Landsat Enclave Pinogu Tahun 2012
Gambar 3 . Citra Landsat Enclave Pinogu Tahun 1994-2012
Hasil interpretasi visual dengan menggunakan elemen-elemen penafsiran tutupan lahan pada lokasi Enclave Pinogu menghasilkan delapan kelas penutupan lahan yaitu hutan, kebun/lahan budidaya, sawah, pemukiman, badan air, semak belukar, awan dan bayangan awan. Hutan dalam citra satelit landsat biasanya ditampilkan dalam warna hijau tua dan memiliki tekstur kompak. Namun terkadang memiliki warna yang lebih terang dan sulit dibedakan dengan kelas semak belukar, perbedaan kelerengan sangat berpengaruh terhadap pantulan sinar matahari dan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan warna yang lebih terang pada kelas hutan. Untuk kelas sawah di tampilkan dalam warna biru yang menandakan adanya warna air namun memiliki pola yang cukup berbeda dengan kelas badan air. Yang termasuk kelas badan air adalah sungai dan danau. Kelas kebun didefinisikan sebagai segala bentuk lahan budidaya seperti kebun kopi, coklat, ladang atau pertanian lahan kering. Pemisahan
317
kelas kebun untuk masing-masing jenis cukup sulit dilakukan karena luasnya yang relatif kecil. Kelas kebun biasanya menampilkan dua warna yaitu warna merah untuk kelas kebun seperti pertanian lahan kering dimana kenampakan citra satelit lebih didominasi oleh warna tanah dan warna hijau atu kuning terang yang menandakan adanya vegetasi yang tumbuh seperti kopi, coklat dan sebagainya. Kelas pemukiman digambarkan seperti warna kebun, hanya saja memiliki susunan yang lebih teratur. Beberapa tampilan bentuk-bentuk penutupan lahan di Enclave Pinogu yang ditampilkan oleh citra satelit Landsat dan Citra satelit Ikono pada resolusi 1x1 meter dari google earthi disajikan dalam gambar-gambar berikut ini. Tabel 2. Berbagai kelas penutupan lahan enclave Pinogu Bentuk Tutupan Lahan Hutan dan semak belukar
Tampilan Citra Satelit Landsat 7
Lahan Budidaya / Kebun/Lahan Pertanian
Pemukiman / lahan terbangun
318 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tampilan Citra Satelit Ikonos
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
Sungai / Badan Air
Sawah
Hasil klasifikasi penutupan lahan di Enclave Pinogu tahun 1994 hingga 2012 disajikan dalam gambar berikut ini.
A
B
Keterangan Gambar A : Penutupan Lahan Enclave Pinogu Tahun 1994 B : Penutupan Lahan Enclave Pinogu Tahun 2002 C : Penutupan Lahan Enclave Pinogu Tahun 2012
Gambar 4 . Peta Penutupan Lahan Enclave Pinogu Tahun 1994 ~ 2012
319
Tabel 1. Luas penutupan lahan enclave Pinogu 1994 - 2012 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Klasifikasi Tutupan Lahan Hutan Kebun/lahan budidaya Semak Belukar Sawah Pemukiman Badan Air Awan Bayangan Awan Jumlah Total
1994 Ha 1235.76 1526.01
2002 % 42.40 52.36
0.00
2012
Ha 974.41 1774.54
% 33.43 60.89
Ha 768.67 1903.11
% 26.37 65.30
8.29
0.38
0.00
0.00
63.64 39.81 49.28 0.00 0.00
0.00 2.18 1.37 1.69 0.00 0.00
74.56 51.80 29.56 0.00 1.33
2.56 1.78 1.01 0.00 0.05
97.67 63.80 81.24 0.00 0.00
3.35 2.19 2.79 0.00 0.00
2914.50
100.00
2914.50
100.00
2914.50
100.00
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Pinogu didominasi oleh penutupan lahan pada kelas lahan budidaya berupa pertanian lahan kering dan kebun. Pada tahun 1994 luas lahan budidaya mencapai 1.526,01 Ha atau 52.36% ditambah dengan areal persawahan sebesar 63.64 Ha atau 2.18%, tutupan lahan hutan seluas 1.235,76 Ha atau sebesar 42.40 Ha. Luas pemukiman 39.81 Ha atau 1.37 % dari luas Enclave Pinogu. Pada tahun 2002, enclave Pinogu masih di dominasi oleh lahan budidaya dan areal persawahan yang mengalami peningkatan luas dari tahun 1994. Luas lahan budidaya dan areal persawahan sebesar 1849.10 Ha, diikuti dengan tutupan hutan sebesar 974.41 Ha dan pemukiman 51.80 Ha. Pada tahu 2012, lahan budidaya dan areal persawahan mengalami peningkatan luas lahan menjadi 2000.78 Ha dan masih mendominasi tutupan lahan enclave Pinogu, hutan menempati urutan ke dua dengan luas sebesar 768.67 Ha dan pemukiman sebesar 63.80 Ha.
320 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
C. Perubahan Tutupan Lahan Enclave Pinogu Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa perubahan penutupan lahan secara signifikan terjadi pada tutupan lahan hutan yang tahun mengalami penurunan luas dari tahun ke tahun. Sedangkan lahan budidaya, areal
persawahan
dan
pemukiman
mengalami
peningkatan
luas.
Perbandingan luas masing-masing tutupan lahan dari tahun ke tahun disajikan dalam Gambar 4.
% Luas Tutupan Lahan
70
65,30 60,89
60 50 40 30
Tahun 1994 Tahun 2002 Tahun 2012
52,36 42,40 33,43 26,37
20 10 0
0,000,280,00
2,182,563,35
1,371,782,19
0,000,000,00
0,000,050,00
1,691,012,79
Kelas Tutupan Lahan Enclave Pinogu
Gambar 5. Perbandingan Kelas Tutupan Lahan Tahun 1994~2012
Dari gambar grafik di atas terliihat bahwa hutan mengalami penurunan luas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1994 luas hutan mencapai 1.235,76 Ha dan dalam waktu 18 tahun yaitu pada tahun 2012 luasnnya menjadi 768,67 Ha atau Berkurang sebesar 467,09 Ha. Peningkatan terjadi pada kelas tutupan lahan budidaya, areal persawahan dan pemukiman hanya saja peningkatan luas areal persawahan dan pemukiman tidak terlalu signifikan seperti terjadi pada luas lahan budidaya. Pada tahun 1994, luas lahan budidaya sebesar 1,526,01 Ha dan pada tahun 2012 menjadi 1903,11 Ha atau meningkat seluas 377,10 Ha. Areal persawahan mengalami peningkatan luas sebesar 34,03 Ha dari 63.64 Ha pada tahun 1994 menjadi 97,67 Ha pada tahun 2012. Pemukiman meningkat dari 39,81 Ha menjadi 63,80 Ha. Penambahan luas juga terjadi pada kelas badan air dalam hal ini
321
sungai. Pada tahun 1994, luas sungai yang teridentfikasi di citra satelit hanya seluas 49,28 Ha, menurun pada tahun 29.56 Ha dan meningkat luasannya pada tahun 2012 menjadi 81,24 Ha. Hasil pantauan dari citra satelit menunjukkan bahwa terjadi perubahan bentuk sungai di wilayah enclave Pinogu. Sungai Bone yang merupakan sungai utama di Pinogu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama bagi kegiatan pengairan persawahan dan kolam-kolam ikan air tawar. Perubahan bentuk sungai terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakat yang lebih memilih sistem pertanian dekat dengan sumber-sumber air seperti sungai.
Gambar 6. Perubahan pola sungai akibat aktivitas masyarakat
Pertambahan jumlah penduduk di Desa Pinogu yang ditandai dengan meningkatnya jumlah pemukiman dan berdampak meningkatkan pula aktivitas masyarakat Desa Pinogu untuk memanfaatkan lahan budidaya dengan melakukan pembukaan hutan di dalam kawasan enclave. Berdasarkan tumpang tindih (overlay) peta tutupan lahan hutan Enclave Pinogu 1994 ~ 2012 dan batas Enclave Pinogu. Kegiatan pembukaan hutan
322 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
oleh masyarakat saat ini mulai mengarah ke kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone seperti terlihat dalam Gambar 6.
Gambar 7. Peta Perubahan Tutupan Lahan Hutan Enclave Pinogu 1994 ~ 2012.
Dari peta terlihat bahwa hutan dalam wilayah enclave Pinogu mengalami pengurangan luas hutan dan perambahan kawasan hutan TN. Bogani Nani Wartabone seperti yang terlihat dalam lingkaran biru pada peta. Perubahan lahan hutan khususnya enjadi wilayah budidaya banyak terjadi di bagian bawah batas enclave Pinogu dan Kawasan TN. Bogani Nani Wartabone terutama yang berbatasan dengan Sungai Bone. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit Landsat wilayah Enclave Pinogu teridentifikasi sebanyak delapan kelas penutupan lahan terdiri atas Hutan, lahan budidaya, areal persawahan, pemukiman, semak belukar, badan air, awan dan bayangan awan.
323
2. Pada periode 1994 hingga 2012, tutupan lahan di enclave Pinogu mengalami perubahan terutama kelas hutan yang mengalami penurunan luas yang cukup signifikan dari 1.235,76 Ha menjadi 768,67 Ha. Penambahan luas secara signifikan terjadi pada kelas tutupan lahan budidaya yaitu 1.526.01 pada tahun 1994 bertambah menjadi 1.903,11 Ha pada tahun 2012 demikian juga untuk areal persawahan dan pemukiman masing-masing 63,64 Ha dan 39,81 Ha pada tahun 1994 meningkat menjadi 97,67 Ha dan 63.80 Ha pada tahun 2012. B. Saran 1. Perlu dilakukan kegiatan lanjutan berupa pemantauan perubahan tutupan lahan secara kontinyu khususnya di wilayah TNBNW dengan menggunakan aplikasi citra satelit. 2. Perlu dilakukan kegiatan ground check agar citra hasil klasifikasi memiliki nilai akurasi. 3. Kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di Enclave Pinogu berdasarkan pantauan citra satelit telah mengalami perluasan hingga ke kawasan hutan TN. Bogani Nani Wartabone dan dikhawatirkan akan menjangkau pada zona inti kawasan. Sehingga kegiatan ground check dan patroli di lapangan oleh petugas sangat diperlukan. DAFTAR PUSTAKA Bapeda Bone Bolango. 2012. Kopi khas Pinogu, branding pembangunan ekonomi lokal yang bakal mengglobal. (www.bappeda.bonebolango.org) diakses tanggal 5 Oktober 2012. Darmawan A. 2002. Perubahan Penutupan Lahan di Cagar Alam Rawa Danau [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 Tahun 2007. Tukar Menukar Kawasan Hutan. Jakarta.
324 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Perubahan Tutupan lahan Enclave Pinogu……. Diah Irawati Dwi Arini
Hermawan, I. 2008. Deteksi Perubahan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menggunakan Citra Landsat Multiwaktu. Skripsi. Bogor : Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jaya, I. N. S. 2005. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Laboratorium Inventarisasi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Khalil B. 2009. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation, Fifth Ed. John Wiley and Sons, New York. Prasetyo, A. 2011.“Inilah Riwayat Tentang Pinogu”. http.www.regionalkompas.com . Diakses tanggal 5 Oktober 2012 Wijaya CI. 2004. Analisis Perubahan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa Barat menggunakan Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wulandari, R. 2011. Pemodelan Spasial Deforestasi Di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat Periode 2000-2010. Skripsi. Bogor : Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
325
326 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Daya Dukung Ekosistem Mangrove bagi Burung……. Hadi Warsito
DAYA DUKUNG EKOSISTEM MANGROVE BAGI BURUNG1 Hadi Warsito BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI Jl. Inamberi Susweni Kotak Pos 159 Manokwari Papua Barat Telp. (0986) 213437 Fax. (0986) 213441
I. Pendahuluan Darsidi (1986), bakau atau mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh di antara garis pasang surut, dan dapat pula di pantai karang, dataran koal yang berlumpur dengan dicirikan antara lain: tidak terpengaruh oleh pasang surut, tidak mempunyai struktur tajuk, dan pohonnya dapat mencapai tinggi 30 m. Ekosistem
mangrove tidak
terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor edafis sangat mempengaruhi kondisi lingkungan, termasuk salinitas atau kadar garam (Kusmana, 1997). Ekosistem ini bersifat unik dan berfungsi ganda dalam lingkungan hidup, karena adanya pengaruh lautan dan daratan, sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika, sifat kimia dan sifat biologi.
Meskipun
demikian mangrove merupakan ekosistem yang sangat mudah rusak, jika terjadi perubahan pada salah satu unsur pembentuknya maka seluruh sistem akan terganggu, sehingga sering dikenal sebagai fragile ecosystem. Secara umum, ekosistem mangrove mempunyai beberapa keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan dan kesehatan serta lingkungan yang dibedakan menjadi lima, yaitu fungsi fisik, fungsi kimia, fungsi biologi, dan fungsi lain (wana wisata)
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
327
(Bengen,
1999;
Arief,
1994).
Ekosistem
mangrove
juga
sebagai
tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama spesies burung/aves dan mamalia (Hamilton dan Snedaker, 1984). Peran penting dalam ekosistem mangrove sangat mempengaruhi keberadaan beberapa jenis burung air yang memanfaatkan daerah tersebut. Dimana siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan oleh satwa. II.
Ekosistem dan Formasi Hutan Mangrove Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi
(maximum spring tide) sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level) (Supriharyono, 2007). Menurut Mc.Gill (1958) dalam Supriharyono (2007) hampir 75% tumbuhan mangrove hidup di antara 350LU-350LS, dan terbanyak terdapat di kawasan Asia Tenggara. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987). Sementara Bengen (1999) menuliskan, tercatat sebanyak lebih kurang 202 spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 49 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit dan satu spesies sikas. Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem mangrove didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas atau pnematofora (Ewusie, 1990). Sedangkan yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap salinitas atau kadar garam dalam ekosistem mangrove, spesies tumbuhan disebut halophytes obligat (Vickery, 1984). Nybakken (1988), tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup di perairan dangkal, daya adaptasi meliputi: 1. Perakaran lebih pendek dan melebar luas dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjamin kokohnya batang. 2. Berdaun kuat dan banyak mengandung air.
328 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Daya Dukung Ekosistem Mangrove bagi Burung……. Hadi Warsito
3. Mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam. Dari segi ekologi, ekosistem mangrove merupakan habitat unik dan paling khas yang banyak hal berbeda dengan habitat-habitat lainnya. Formasi tumbuhan/vegetasi mangrove dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, dimana tumbuhan tersebut mempunyai tingkat toleransi terhadap salinitas dan fluktuasi permukaan air laut di pantai (Indriyanto, 2006). Pembagian tersebut menurut Indriyanto (2006) meliputi; 1. Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp. 2. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp., termasuk di dalamnya dapat dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp. 3. Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp., kadang dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp. 4. Jalur transisi mangrove dengan hutan dataran rendah dari spesies Nypa fruticans. III. Daya Dukung Hutan Mangrove Bagi Burung Beberapa satwa dapat dijumpai di kawasan hutan mangrove, dimana satwa memanfaatkan hutan mangrove untuk melakukan aktifitasnya. Burung adalah salah satu dari beberapa jenis satwa yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat melakukan aktifitas, baik mencari makan, bermain dan berkembang biak. Ekosistem mangrove juga sebagai tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama spesies burung/aves dan mamalia (Hamilton dan Snedaker, 1984). Peran penting dalam ekosistem mangrove sangat mempengaruhi keberadaan beberapa jenis burung yang memanfaatkan daerah tersebut. Jenis burung dari kelompok remutuk (Rhipiduridae), kuntul (Egretta sp.), Cangak (Ardea spp.) dan Pecuk (Phalacrocoradae) sering ditemukan dapat
329
kawasan hutan tersebut. Collias dan Collias (1984), suatu jenis burung sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dari predator dan gangguan dari faktor fisik lingkungan seperti suhu harian, curah hujan dan kecepatan angin. Beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dan berkembang biak. Jenis tumbuhan mangrove yang memiliki tajuk yang tinggi dan kerapatan sedang merupakan tempat yang disukai beberapa jenis burung yang terdapat di kawasan hutan mangrove. Tajuk yang tinggi kemungkinan dimanfaatkan agar terhindar dari serangan pemangsa atau predator yang dapat menjadi ancaman bagi burung. Sedangkan pada vegetasi yang memiliki kerapatan sedang, kemungkinan untuk memudahkan dalam pergerakan burung dan adanya sinar matahari yang dibutuhkan oleh burung masih dapat diperolehnya. Burung cenderung berkumpul dan berkonsentrasi dalam mencari makan pada suatu daerah, dimana keberadaan mangsa mereka mudah untuk diperoleh. Jenis-jenis mangsa utama yang disukai oleh burung di daerah mangrove antara Bivalvia, Gastropoda, Crustaceaa, Polychaeta dan Pisces (Holwes et al., 2004). Jenis-jenis tersebut biasa terdapat dalam air berlumpur dalam kawasan mangrove yang memanfaatkan serasah yang telah terdekomposer. Siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan oleh satwa. Mann (1982), melaporkan bahwa daun-daun mangrove mempunyai kadar protein hanya sekitar 6,1%, namun dalam kurun waktu sekitar 12 bulan, kandungan proteinnya dapat mencapai 22%. Proses penguraian akan lebih cepat bila serasah daun tersebut jatuh ke air, dalam kurun waktu enam bulan kandungan proteinnya dapat meningkat dari 5% menjadi 21% (Odum dan Health, 1975). Proses dekomposer tersebut mempengaruhi keberadaan jenis hewanhewan pemakan detritus pada umumnya didominasi oleh invertebrata, terutama krustacea dan beberapa spesies ikan yang disinyalir sebagai destrivorus (pemakan destritus). Macne (1968), hewan yang hidup di
330 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Daya Dukung Ekosistem Mangrove bagi Burung……. Hadi Warsito
perairan mangrove dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu burrowing spesies (hidupnya meliang) dan epifauna (di atas subrat). Hewan peliang didominasi oleh krustacea, bivalva dan satu genus ikan, sedangkan untuk epifauna meliputi gastropoda dan beberapa kepiting, terutama dari genera Sesarma dan Uca yang paling melimpah. Daya dukung hutan mangrove bukan hanya sebagai tempat berlindung dan berkembang biak, namun ketersediaan sumber pakan dari jenis–jenis destrivorus yang relatif mudah diperoleh dari kawasan hutan mangrove karena cukup melimpah keberadaannya. mangrove
Suburnya ekosistem hutan
sering menjadi tempat pemijahan (spawing ground),
pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari beberapa jenis ikan atau hewan–hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah hewan-hewan air, selain hewan-hewan seperti kepiting, moluska dan invertebrata lainnya yang hidup dik awasan tersebut. Demikian pula pada jenis udang-udangan dan ikan yang keberadaannya di hutan mangrove dipengaruhi oleh arus pasang surut. Kemelimpahan sumber pakan yang ada di hutan mangrove ini, yang dapat membuat beberapa jenis burung menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai sumber pakan atau mencari makan (feeding ground), sehingga keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan dan dapat mendukung kelangsungan hidup beberapa jenis burung di kawasan hutan mangrove tersebut. IV. Kesimpulan 1.
Ekosistem mangrove bersifat unik dan berfungsi ganda dalam lingkungan hidup, karena adanya pengaruh lautan dan daratan, sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika, sifat kimia dan sifat biologi.
2.
Dari segi ekologi, ekosistem mangrove merupakan habitat unik dan paling khas yang banyak hal berbeda dengan habitat-habitat lainnya.
331
3.
Siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan oleh satwa.
DAFTAR PUSTAKA Arief. A. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Bengen, D.G.1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor; Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB Collias, EN. Dan E.C. Colias. 1984. Nest Building and Bird Behaviour. Pricenton University Press. Darsidi, A. 1986. Perkembangan pemanfaatan hutan bakau di Indonesia. Pros.Sem. Bakau III.LIPI-Dephut_Perhutani Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Usman Tanuwidjaja. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Howes, J., David B., and Yus R.N. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor. Wetlands Intrnational-Indonesia Programme. Hamilton, L.S dan S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management, Commission on Ecology, IUCN. Paris France Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Bogor Jurusan Mangemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Mann. K.H. 1982. Ecology of Coastal waters: a systems approach, 322p. In Anderson, D.J., P. Greic-Smith, and F.A. Pitelka (eds) Studies in ecology, vol 8. Univesity of California Press, California. Macne, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forest in the Indo-West-Pasific region. Adv. Mar. Biol. 6:73-270. Nontji. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
332 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Daya Dukung Ekosistem Mangrove bagi Burung……. Hadi Warsito
Odum, W.E., and E.J. Heald. 1975. The respon of mangrove to man-induced environmental stress., pp: 52-62. In Furguson wood, E.J and R.E. Johannes (eds.) Tropical Marine Pollution. Amsterdam. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plant. John Wiley and Sons. New York. HLM. 56-76. Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
333
334 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kebun Benih Komposit sebagai Salah Satu Solusi……. Sugeng Pudjiono
KEBUN BENIH KOMPOSIT SEBAGAI SALAH SATU SOLUSI MENDAPATKAN BENIH UNGGUL YANG PRAKTIS UNTUK MENDUKUNG KEBERHASILAN PENANAMAN1 Sugeng Pudjiono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kebutuhan benih unggul sangat diperlukan untuk mendapatkan tegakan hutan yang berkualitas. Keberhasilan penanaman 1 milyar pohon memerlukan investasi yang besar, jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu penggunaan benih unggul diharapkan akan menghasilkan panen di kemudian hari yang memuaskan. Pembangunan kebun benih komposit merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan benih unggul dalam skala produksi yaitu benih unggul yang dihasilkan akan langsung digunakan untuk program penanaman. Kebun benih komposit yang merupakan kebun benih dalam kapasitas sebagai skala produksi benih unggul. Kebun benih ini dibangun dengan menggunakan gabungan beberapa individu ataupun famili unggul yang terbaik yang telah terseleksi dengan nilai rangking yang tinggi dari beberapa uji keturunan sub galur dan kemudian dibangun di dalam satu lokasi kebun benih yang sama yaitu kebun benih komposit sebagai produksi benih unggul. Kebun benih ini akan menghasilkan peningkatan genetik lebih besar dibandingkan dengan benih yang dihasilkan dari populasi yang sama tetapi tanpa dilakukan tindakan pemuliaan. Perbaikan genetik ini akan menjadi lebih meningkat lagi lebih besar apabila dibandingkan dengan benih yang dihasilkan dari populasi lokal. Kualitas produksi benih dari kebun benih Acacia mangium F1 yang dihasilkan akan mampu meningkatkan riap tegakan (MAI) 3 sebesar 41,7 m /ha/th.
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
335
I. Pendahuluan Benih yang bermutu dan unggul masih banyak diperlukan. Data yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan bahwa seluruh kebutuhan benih yang diperlukan sebanyak 2.373.798,10 kg, sedangkan kemampuan yang ada baru menghasilkan benih sebanyak 458.368,89 kg. Adapun luas areal yang akan ditanam sebanyak 1.770.000 ha, luas sumber benih 25.498,21 ha. (Dephut, 2007). Dengan demikian masih defisit benih yang cukup besar jumlahnya. Sementara itu Menteri Kehutanan menargetkan bisa menanam 1,5 milyar batang pohon dalam upaya merehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis di Indonesia pada tahun 2011. Luas lahan kritis di Indonesia saat ini mencapai 43 juta hektar, sementara kawasan hutan Indonesia luasnya mencapai 187 juta hektar (www.Kalimantan –news.com, 2011). Untuk mendapatkan tegakan hutan yang berkualitas maka dibutuhkan benih dari sumber benih yang unggul. Sekarang ini kebanyakan benih yang digunakan berasal dari sumber benih yang kualitasnya masih berasal dari Tegakan Benih Terindentifikasi (TBI) sampai Area Produksi benih (APB). Benih yang berasal dari TBI sebesar 70%, dari Tegakan Benih Terseleksi (TBS) sebesar 15%, dari APB 7%. Benih tersebut masih dikategorikan benih bermutu belum dikatakan benih unggul. Pada program penanaman hutan sebaiknya sumber benih yang digunakan minimal dari APB untuk dapat menghasilkan tegakan yang baik (Leksono, 2003). Benih unggul adalah benih yang dihasilkan dari sumber benih Tegakan Benih Provenans, Kebun Benih Semai, Kebun Benih Klon dan Kebun Pangkas. Adapun persentase sumber benih yang unggul tersebut persentasenya adalah demikian, Tegakan Benih Provenan 1%, Kebun Benih Semai 4%, Kebun Benih Klon 2% dan Kebun Pangkas 1%. Jadi baru 7% benih yang digunakan merupakan benih unggul (Dirjen BPDASPS, 2011). Salah satu jenis tanaman yang ditanam untuk program penanaman 1 milyar pohon adalah A. mangium. Kebutuhan benih A. mangium sebanyak 12.246,30 kg (Dephut, 2007). Kebutuhan sebanyak itu perlu dicukupi untuk mendapatkan tegakan hutan yang berkualitas dengan benih yang berkualitas dan bermutu unggul. Dari uraian di atas, maka pembangunan
336 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kebun Benih Komposit sebagai Salah Satu Solusi……. Sugeng Pudjiono
kebun benih semai komposit F3 Acacia mangium masuk kedalam bagian 4% yang dikategorikan sebagai penghasil benih unggul. Sekarang ini walaupun sudah banyak benih A. mangium yang dihasilkan untuk penanaman tetapi sebagian besar baru berasal dari sumber benih yang bermutu belum banyak yang berasal dari sumber benih unggul yang bersumber dari kebun benih. Penggunaan benih unggul A. mangium memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan produktivitas tegakan yang dihasilkan serta mampu memperpendek daur tegakan. Peningkatan kualitas genetik benih yang dimuliakan mencapai peningkatan volume 47% dari benih yang belum dimuliakan, sedangkan benih dari Kebun Benih generasi 2 dibanding dari Kebun Benih generasi 1 akan meningkat sebesar 15,8% (Hastanto, 2009). Penggunaan benih unggul dari kebun benih generasi pertama dibandingkan dengan APB A. mangium dari Subanjeriji perolehan genetik yang dicapai pada sifat volume 32-55%, tinggi bebas cabang 2,3-30%, bentuk batang 1,411%, diameter 8,7-15,5% dan tinggi 10-20% (Setyaji dan Nirsatmanto, 2009). Kebun benih semai komposit merupakan kebun benih populasi perbanyakan yang dapat diaplikasikan kepada pengguna dan benih yang dihasilkan merupakan benih dengan kualitas unggul. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah memberi gambaran perlunya benih unggul dari kebun benih komposit untuk mendapatkan tegakan hutan yang berkualitas. II. Pembangunan Sumber Benih yang Unggul Sumber benih merupakan tempat dimana koleksi benih dilakukan. Perbedaan potensi genetik yang dimiliki di antara sumber benih, seringkali sangat besar dan hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dan kualitas tegakan yang dihasilkan dalam program pembangunan hutan tanaman. Kegagalan dalam pembangunan hutan tanaman yang disebabkan oleh kesalahan dalam penggunaan sumber benih, besar kemungkinan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan akan kualitas sumber benih yang tersedia dan diinginkan oleh para pengguna. Kualitas sumber benih tersebut juga akan berpengaruh terhadap harga benih sehingga
337
terkesan lebih mahal.
Namun demikian, harga benih tersebut pada
umumnya tidak akan melebihi 5% dari biaya total pembuatan tanaman akan tetapi dapat menghasilkan tegakan dengan peningkatan yang jauh lebih besar. Beberapa jenis yang telah dilakukan program pemuliaan pohon secara intensif dapat meningkatkan hasil sampai dengan 300% (Leksono, 2003). Pembuatan sumber benih yang unggul melalui beberapa tahapan membutuhkan waktu panjang, biasanya setengah daur untuk jenis fast growing spesies atau sepertiga daur untuk jenis yang berdaur panjang (Slow growing species). Untuk mendapatkan sumber benih unggul salah satunya dengan melakukan pembangunan uji keturunan. Untuk menghemat waktu maka uji keturunan dikonversi menjadi sumber benih berupa kebun benih semai. Dengan demikian biasanya jarak tanam akhir tidak seragam hal ini dapat mengurangi keberhasilan pembuahan yang mengakibatkan benih yang diperoleh tidak maksimal dalam jumlahnya, hal tersebut merupakan salah satu faktor kekurangannya. III. Kelebihan dan Kemampuan Kebun Benih Komposit Kebun Benih Komposit F2 merupakan kebun benih dalam kapasitas sebagai skala produksi benih unggul. Kebun benih ini dibangun dengan menggunakan gabungan beberapa individu ataupun famili unggul yang terbaik (telah terseleksi dengan nilai rangking yang tinggi) dari beberapa uji keturunan F1 (sub galur F-1) dan kemudian dibangun di dalam suatu lokasi kebun benih yang sama (kebun benih komposit) sebagai produksi benih unggul. Kebun benih ini akan menghasilkan peningkatan genetik sebesar 13% dibandingkan dengan benih yang dihasilkan dari populasi yang sama (PNG, QLD) tetapi tanpa dilakukan tindakan pemuliaan. Perbaikan genetik ini akan menjadi lebih meningkat lagi sebesar 50% (63%) lebih besar apabila dibandingkan dengan benih yang dihasilkan dari populasi lokal (Subanjeriji-Sumatera Selatan). Kualitas produksi benih yang dihasilkan tersebut akan mampu meningkatkan riap tegakan (MAI) sebesar 41,7 m3/ha/th (Team Balai Litbang Pemuliaan Tanaman Hutan, 1998).
338 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kebun Benih Komposit sebagai Salah Satu Solusi……. Sugeng Pudjiono
Pembangunan
sumber
benih
berupa
kebun
benih
komposit
mempunyai kelebihan yang diperoleh berupa kepraktisan mendapatkan benih oleh pengelola/pengusaha di bidang kehutanan untuk mendapatkan benih unggul yang praktis.
Mengapa demikian, karena kebun benih
komposit bisa ditanam dengan menggunakan single tree plot. Hal ini untuk menghemat benih unggul yang terbaik. Yang kedua kebun benih ini sudah tidak perlu lagi dijarangi, karena merupakan kebun benih populasi perbanyakan. Benih yang dihasilkan dapat langsung digunakan karena tidak terjadi kawin kerabat. Dari penanaman single tree plot dan tidak adanya penjarangan dapat mengefektifkan lahan dan jumlah pohon persatuan luas lebih banyak bila dibandingkan dengan kebun benih yang berasal dari hasil konversi uji keturunan.
Para pihak pengguna biasanya lebih tertarik
membangun kebun benih komposit ini karena sudah tidak dilakukan penelitian pemilihan pohon plus, penjarangan dan lain sebagainya. Sampai dengan tahun 2011 telah dibangun Kebun Benih Semai Komposit F3 dengan materi genetik berupa benih yang berasal dari 10 famili-famili terbaik kebun benih-kebun benih F2 sub line (provenans) yaitu provenan A (famili 1-10) berasal dari Morehead, Bimadebun, Dimisisi, Arufi Village WP. Provenan B (famili 11-20) berasal dari Oriomo, Kini, Wipim WP. Provenan C (famili 21-30) berasal dari Claudie River, Coen. Provenan D (famili 31-40) berasal dari Pascoe river, Cassowary CK Iron Range. Pembangunan kebun benih komposit F3 ini dilakukan di Parungpanjang Bogor Jawa Barat seluas 3,2 hektar. Jumlah famili yang digunakan sebanyak 40 famili, masingmasing famili ditanam 50 bibit, jadi jumlah tanaman secara keseluruhan mencapai 2.000 tanaman.
Pada tahun kelima kebun benih komposit
tersebut sudah dapat diambil benihnya untuk produksi benih.
Tiap
tanaman menghasilkan benih sebanyak 0,056kg/pohon umur 10 tahun (Yuniarti dan Mulyanto, 1994), maka diperkirakan akan dihasilkan benih sebanyak 112 kg. Selain itu dibangun pula kebun benih semai komposit F3 yang serupa di Wonogiri Jawa Tengah seluas 2 hektar, dengan jumlah 40 famili masing-masing famili 30 tanaman, sehingga jumlah keseluruhan
339
tanaman 1.200 tanaman. Dengan perhitungan yang sama maka diprediksi akan dihasilkan benih sebanyak 67,2 kg. IV. Penutup Sekarang ini kesadaran pengguna benih sudah cukup besar sehingga perlu informasi dan pemahaman kelas sumber benih yang unggul. Pada umumnya pengguna hanya menanyakan benihnya bersertifikat atau tidak. Padahal di dalam sertifikat tersebut tercantum kelas sumber benih baru tingkat TBI, TBS maupun APB. Mungkin masih ada yang belum memahami arti sumber benih dan kebun benih. Oleh karena itu pengertian sumber benih dan klasifikasinya perlu dijelaskan sehingga kebenaran akan penggunaan benih unggul dapat diaplikasikan sesuai tujuannya. Sehingga penggunaan benih dari sumber benih yang berasal dari kebun benih komposit dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas tegakan hutan yang berkualitas untuk menunjang program penanaman 1 milyar pohon. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. 2007. Perkiraan kebutuhan benih untuk keperluan penanaman dan produksi benih setiap tahun di Indonesia. http:// www.dephut.go.id. Diakses 7 Pebruari 2012. Dirjen BPDASPS. 2011. Kebijakan sumber benih dan potensi kebutuhan benih untuk mendukung penanaman Satu Milyar Pohon. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih. Tema” Peran Sumber Benih Unggul dalam Mendukung Keberhasilan Penamana Satu Miyar Pohon” Yogyakarta, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknolgi dn Pemulaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
340 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Kebun Benih Komposit sebagai Salah Satu Solusi……. Sugeng Pudjiono
Hastanto, H. 2009. Peran benih unggul untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Kementrian Kehutanan. 2011. Kementrian kehutanan bangun 10 Ribu Kebun Bibit Rakyat. http://www.kalimantan-news.com. Diakses 7 Pebruari 2012. Leksono, 2003. Teknik penunjukan dan pembangunan sumber benih. Informasi Teknis. Vol 1. No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknolog dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Setyaji, T dan Nirsatmanto, A. 2009. Uji perolehan genetik terhadap hasil pemuliaan generasi pertama (F1) jenis Acacia mangium pada umur 7 tahun di Jawa Tengah. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Team Balai Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan. 1998. Hasil litbang pemuliaan pohon Balai Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan bekerjasama denga JICA dan prediksi riap volume di kebun benih uji keturunan Acacia mangium. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Tentang Teknologi Perbenihan dan Pemuliaan Pohon. 26-27 Maret 1998, Ambarukmo Palace Hotel Yogyakarta. Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yogyakarta. Yuniarti, N dan Mulyanto, Y. 1994. Identifikasi Sumber Benih Jenis Akasia (Acacia mangium Wild.) di Areal Pengumpulan Benih Subanjeriji, Sumatera Selatan.
341
342 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
ANALISIS KOMPARASI POLA INSENTIF DAN MODEL DAS MIKRO DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN1 Kristian Mairi Balai Penelitian kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Manado Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara empirik tingkat keberhasilan Rehabilitasi Hutan Lahan (RHL) yang diujicoba di lapangan. Ujicoba tersebut adalah pola Model DAS Mikro (MDM) dan pola insentif. Kedua pola RHL tersebut terdapat pada satu catchment area yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case studi) yang dilakukan dengan pendekatan metode dasar deskriptif analisis. Obyek kasus yang diamati dan dianalisis adalah masyarakat setempat dan kondisi hutan rakyat. Jumlah sampel masyarakat adalah sebesar 30% dari populasi yaitu 45 KK. Sedangkan intensitas sampling pola MDM sebesar 1,28% dan pola insentif sebesar 1,33% dari populasi hutan rakyat. Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random). Metode analisis yang digunakan adalah metode komparasi untuk memilih model yang terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan persentase tumbuh tanaman di lapangan pola insentif sebesar 49,31% sedang pola MDM sebesar 50,69%. Ratarata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola insentif sebesar 3,3580 m. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara persen tumbuh tanaman, tinggi dan diameter di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti.
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
343
Indikator biaya pembangunan tanaman per hektar relatif sama yaitu Rp. 3.539.250/Ha untuk pola insentif dan Rp. 3.496.000/Ha untuk pola MDM. Indikator manfaat langsung yang diterima masyarakat dari pola insentif lebih lebih besar yaitu Rp. 119.280.000, sedangkan dari pola MDM sebesar Rp. 23.320.000. Indikator dampak sosial pola insentif lebih banyak dirasakan masyarakat dari pola MDM. Indikator partispasi masyarakat pola insentif termasuk kategori sangat tinggi (82%) sedangkan pola MDM termasuk kategori tinggi (76%). Indikator eksistensi kelembagaan kelompok tani pola insentif lebih berkesinambungan dan terus berjalan pasca bantuan sedangkan pola MDM kelembagaan kelompok tani terputus/berhenti pasca proyek. Pola insentif RHL layak dilakukan dan dikembangkan karena memiliki sejumlah keunggulan komparatif dari pola MDM seperti manfaat langsung yang diperoleh masyarakat lebih besar, dampak sosial positif lebih banyak, partisipasi masyarakat lebih tinggi, dan eksistensi kelembagaan kelompok tani berkesinambungan, sedangkan indikator persen tumbuh, diamater dan tinggi tanaman tidak berbeda nyata. Kata Kunci : Analisis Komparasi, Insentif, Rehabilitasi Hutan.
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Kondisi hutan dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas. Untuk itu Departemen Kehutanan (Dephut) mengambil langkah-langkah implementatif
untuk mengejar laju ketertinggalan
deforestasi dan degradasi lahan. Salah satunya adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai sekarang. Namun sampai sekarang laju deforestasi dan degradasi lahan jauh lebih cepat dibanding dengan laju kemampuan merehabilitasinya. Salah satu penyebab utamanya adalah kurang berhasilnya kegiatan proyek penanaman/rehabilitasi hutan dan lahan. Kurang berhasilnya kegiatan RHL terletak pada penyusunan program yang sentralistik dan jenis perencanaan yang diacu adalah perencanaan instruktif
dan
perencanaan
pedoman
yang
bersifat
top
down.
Konsekuensinya pola yang diterapkan seragam untuk seluruh wilayah di
344 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
Indonesia, padahal permasalahannya sangat kompleks dan beragan karena kharakteristik wilayah sangat berbeda. Selain itu jiwa rimbawan petugas lapangan sudah terdistorsi oleh mental birokrasi yang cenderung resisten dengan perubahan dan di sisi lain mengorbankan kepentingan masyarakat lokal yang cenderung diam dan menerima apa adanya karena ketidakberdayaan mereka. Faktor lain yang menentukan berhasil tidaknya kegiatan pembangunan kehutanan di lapangan adalah sejauh mana pihak pengelola/pelaksana kegiatan mampu mengakomodir dan memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat setempat (perencanaan artikulatif). Karena gagal dalam pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, akan gagal pula upaya pengelolaan hutan termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Dengan
demikian
strategi
pembangunan
kehutanan
yang
berorientasi kepada kepentingan masyarakat menjadi suatu keharusan, bahkan sebenarnya sudah terlambat. Tetapi masih lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali (Simon, 2008). Untuk itu maka kegiatan penelitian ini dirancang untuk mengkaji secara empirik sejauh mana tingkat keberhasilan RHL pada tataran implementasi yang telah ada di lapangan. Penelitian ini difokuskan pada dua pola kegiatan RHL yang dilakukan secara bersama-sama di satu catchment area yang sama. Kedua pola RHL tersebut adalah pola Model DAS Mikro (MDM) yang dibangun oleh Balai Pengelolaan DAS (BP DAS) Saddang dan pola insentif yang dibangun oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (BP2TPDAS) Makassar. Kedua pola tersebut dianalisis dengan metode komparasi untuk memilih model yang terbaik. Indikator penilaian yang digunakan adalah (1) keberhasilan tumbuh tanaman di lapangan yang dinyatakan dalam persentase (%) tumbuh tanaman, diameter tanaman dan tinggi tanaman; (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan; (3) eksistensi kelembagaan kelompok tani sebagai lembaga lokal sebagai pewaris investasi; (4) jumlah biaya yang digunakan untuk membuat tanaman hutan rakyat per satuan hektar; (5)
345
kuantifikasi manfaat langsung yang dipereloh masyarakat dari kedua pola RHL; (6) dampak sosial yang ditimbulkan dari kedua pola RHL yang dilaksanakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keberhasilan RHL pola MDM yang diujicoba oleh BPDAS Saddang dan keberhasilan RHL pola insentif yang diujicoba oleh BP2TP DAS Makassar. Disamping itu untuk mendapatkan suatu model alternatif RHL dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan mengetahui secara baik kegayutan pola RHL dengan konsep pembangunan masyarakat yang berkelanjutan maka pola RHL rekomendasi hasil penelitian dapat diacu untuk diterapkan di lapangan agar tujuan RHL dapat tercapai secara optimal. B. Perumusan Masalah Penyebab
utama
kurang
berhasilnya
GNRHL
pada
tataran
implementasi adalah karena GNRHL masih dipersepsikan sebagai sebuah “proyek” yang seharusnya dipersepsikan sebagai gerakan moral nasional. Dengan persepsi demikian telah memposisikan dan memperlakukan masyarakat setempat sebagai buruh tanam yang hanya mendapatkan upah HOK (Hari Orang Kerja) sehingga masyarakat tidak merasa memiliki apa yang dikerjakannya. Selain itu persiapan piranti kelembagaan lokal sebagai pemegang estafet pasca proyek tidak dilakukan dengan serius. Dengan demikian sulit mendapatkan hasil kontinyu yang bisa dimanfaatkan sebagai pengikat kelembagaan lokal agar bisa eksis sepanjang tahun. Sebagai suatu pola alternatif, sistem insentif RHL dirancang berbeda dengan pola-pola yang selama ini diterapkan. Pola yang dimaksud adalah kompensasi atas semua biaya yang digunakan untuk pembangunan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Pembangunan fasilitas tersebut seperti instalasi air minum untuk rumah tangga yang bersumber dari hutan dan pembangunan mikro hidro electrik, lalu dikompensasikan ke dalam satuan biaya penanaman per hektar pada lahan kritis yang sudah ditetapkan. Jadi jumlah biaya pembangunan fasilitas umum tersebut
346 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
dihitung bersama masyarakat lalu disetarakan dengan luasan hektar yang akan ditanami secara swadaya oleh masyarakat. Sistem insentif ini dimaksudkan agar masyarakat mau dengan sungguhsungguh berpartisipasi dalam kegiatan RHL. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa pada dasarnya orang mau berpartisipasi dengan baik apabila memperoleh keuntungan (benefit). Oleh karena itu konsep kegiatan RHL dipadukan dengan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat. Salah satu hubungan logis pemanfaatan hasil hutan untuk kebutuhan dasar masyarakat di sekitar hutan adalah memanfaatkan hasil air yang melimpah dari hutan. Dengan adanya hubungan (link) langsung dan nyata dirasakan oleh masyarakat mengenai manfaat hutan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka maka secara alamiah akan membentuk kesadaran yang tinggi serta sikap yang ramah terhadap lingkungan bahkan menjadi sikap yang konservasif dan protektif terhadap lingkungan khususnya hutan. II.
Metode Penelitian
A.
Metode Dasar Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case studi) yang
dilakukan dengan pendekatan metode dasar deskriptif analisis. Obyek kasus yang diamati dan dianalisis adalah masyarakat dan kondisi biofisik. Masyarakat yang dimaksud adalah petani yang terlibat langsung dalam kegiatan RHL. Sedangkan kondisi biofisik yang dimaksud adalah: 1. Areal hutan rakyat unit satu seluas 25 Ha yang dibangun dari proyek pembangunan Model DAS Mikro (MDM) oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Saddang di Tana Toraja. 2. Ujicoba insentif RHL berupa pembangunan turbin, instalasi air bersih untuk masyarakat dan pembuatan demplot RHL hutan rakyat seluas 12 Ha.
347
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Sub DAS Mararin, Desa Pakkala, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Sub DAS Mararin merupakan bagian dari DAS Saddang yang terletak di bagian hulu. Sedangkan DAS Saddang merupakan DAS prioritas I di Indonesia (Dirjen RLPS, 2002). Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah: 1. Kedua obyek penelitian (RHL pola MDM dan RHL pola insentif) terdapat pada satu cathment area dalam satu desa. RHL pola MDM diprakarsai oleh BPDAS Saddang sedangkan RHL pola insentif diprakarsai oleh BP2TPDAS Makassar. 2. Kedua obyek penelitian dilaksanakan secara bersamaan pada tahun anggaran 2004. 3. Jenis tanaman yang ditanam juga sama yaitu uru (Elmerillia Sp), suren (Toona sureni), buangin (Casuarina junghuniana), jatih putih (Gmelina sp.), akasia (Acacia mangium), mangga (Mangifera indica) dan nangka (Arthocarpus integra). 4. Masyarakat yang terlibat di kedua kegiatan tersebut adalah masyarakat yang sama. C. Teknik Pengambilan Sampel Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Pakkala sebagai lokasi penelitian adalah 242 KK. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat yang terlibat langsung dan merasakan manfaat langsung dari kedua kegiatan yaitu sebanyak 150 KK. Jumlah sampel adalah sebesar 30% dari populasi yaitu 45 KK. Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random). Populasi hutan rakyat seluas 25 Ha untuk pola MDM dan demplot 12 Ha dari pola insentif. Sampel pola MDM yang diambil sebesar 1,28% dari populasi yaitu seluas 0,32 Ha (8 buah plot ukuran 20 m x 20 m). Sedangkan sampel pola insentif yang diambil sebesar 1,33% dari populasi yaitu seluas 0,16 Ha (4 buah plot ukuran 20 m x 20 m).
348 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
D. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data biofisik dan data sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Cara pengukuran dan pengumpulan data dilakukan sebagai berikut: 1. Data primer aspek biofisik meliputi data jenis tanaman, persentase tumbuh tanaman di lapangan, diameter dan tinggi tanaman. 2. Data primer aspek sosial ekonomi dan kelembagaan meliputi, jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk, tingkat konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, biaya dan manfaat kegiatan, tingkat partisipasi masyarakat, perkembangan kelembagaan lokal/kelompok tani yang ada serta pendapat dan persepsi masyarakat. 3. Data sekunder terdiri dari data topografi, penggunaan lahan, tanah, monografi
desa,
kecamatan
dalam
angka,
serta
laporan-
laporan/dokumen yang relevan,. 4. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran, observasi lapangan, wawancara semi terstruktur dan wawancara mendalam (deep interview). 5. Kegiatan wawancara dengan metode semi terstruktur yaitu menyiapkan tape recorder dan daftar pertanyaan sebagai panduan namun tidak kaku. E.
Analisis Data Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Untuk keperluan studi ini dilakukan tahapan analisis data sebagai berikut: 1. Analisis tabulasi, yaitu pengelompokan data berdasarkan beberapa kriteria untuk keperluan analisis selanjutnya. Hasil analisis tabulasi berupa tabel data yang menggambarkan hubungan variabel-variabel penelitian.
349
2. Analisis kuantitatif yang diperkuat dengan analisis finansial dengan konsep biaya, penerimaan, pendapatan, dan selisih biaya. 3. Data yang bersifat kualitatif dapat dianalisis dengan analisis deskriptif. Misalnya peran kelembagaan petani dapat dilihat dari manfaat yang dirasakan petani. Respon diukur dari tingkat partisipasi dalam setiap tahapan kegiatan RHL. 4. Analisis komparasi digunakan untuk membandingkan keberhasilan RHL yang diterapkan pada kedua pola yang diteliti yaitu pola MDM dan pola insentif. Indikator penilaian keberhasilan RHL yang digunakan dalam analisis komparasi antara pola MDM dan pola insentif RHL di tingkat lapangan adalah: 1. Menguji perbedaan rata-rata pertumbuhan (performances) tanaman di lapangan yaitu persen tumbuh, tinggi dan diameter tanaman dari kedua pola RHL yang diteliti digunakan Uji T sampel yang tidak berhubungan (Independent Sample T Test). (Santoso, S., 2006) 2. Tingkat partisipasi masyarakat didekati dengan analisis persentase (%) jumlah kehadiran/keterlibatan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan kelompok. 3. Eksistensi kelompok tani dinilai berdasarkan keberlanjutan aktifitas kelompok
dan
keberadaaan
organisasi
(struktur,
aturan
dan
administrasi), serta manfaat yang diperoleh anggotanya. Indikator aktifitas kelompok didasarkan pada adaya pertemuan berkala dan kerja kelompok. 4. Jumlah biaya yang digunakan untuk membuat tanaman hutan rakyat per satuan hektar dari kedua pola RHL. 5. Kuantifikasi manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari kedua pola RHL. 6. Identifkasi dampak sosial yang ditimbulkan dari kedua pola RHL.
350 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
III. Hasil dan Pembahasan A. Analisis Komparasi Ujicoba RHL Indikator yang digunakan dalam analisis komparasi ujicoba RHL pola insentif dengan pola MDM adalah analisis biaya, manfaat, persentase tumbuh tanaman, dampak sosial, tingkat partisipasi dan eksistensi kelembagaan kelompok tani. 1. Perbandingan Biaya Biaya yang dimaksud adalah jumlah biaya pembuatan tanaman yang dikeluarkan dalam satuan per hektar baik pola MDM maupun pola insentif. Biaya pembuatan tanaman Pola MDM sebesar Rp. 3.496.000,00/Ha, sedangkan pola insentif sebesar Rp. 3.539.250,00/Ha. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah biaya pembuatan tanaman pola insentif ternyata sedikit lebih besar dari pola MDM yaitu terdapat selisih Rp. 43.250,00/Ha. Selisih jumlah ini relatif sangat kecil sehingga tidak signifikan sebagai faktor yang menentukan dalam pertimbangan pemilihan pola RHL yang baik. Di samping itu besar kecilnya biaya yang digunakan tergantung pada jenis dan jumlah insentif yang digunakan. 2. Perbandingan Manfaat Langsung Secara finansial manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola MDM hanya berupa upah HOK yaitu sebesar Rp 25.000,00/hari. Jumlah upah HOK yang diterima masyarakat dalam pembuatan tanaman pola MDM seluas 50 Ha adalah sebesar Rp. 23.320.000,00. Manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola insentif adalah memperoleh listrik dari PLTMH dan air bersih rumah tangga. Berdasarkan hasil perhitungan kuantifikasi manfaat dari PLTMH diperoleh manfaat sebesar Rp. 38.880.000,00 Dengan asumsi bahwa manfaat dari PLTMH setara dengan jumlah rata-rata pembayaran rekening listrik PLN tiap bulan yaitu sebesar Rp. 30.000,00/bulan. Umur masa pakai (life time) PLTMH adalah 3 tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 36 KK. Sedangkan manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari instalasi air bersih adalah sebesar Rp. 80.400.000,00. Dengan asumsi bahwa manfaat
351
setara dengan jumlah rata-rata pembayaran rekening PDAM tiap bulan yaitu sebesar Rp. 20.000,00/bulan. Umur masa pakai (life time) instalasi air adalah 5 tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 67 KK. Berdasarkan hasil perhitungan manfaat kedua pola tersebut menunjukkan bahwa jumlah manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola MDM adalah sebesar Rp. 23.320.000,00 sedangkan manfaat dari pola insentif sebesar Rp. 119.280.000,00. Dengan demikian manfaat yang diperoleh masyarakat dari pola insentif jauh lebih besar dari pola MDM yaitu terdapat selisih Rp. 95.960.000.00 3. Perbandingan Keberhasilan Tanaman Penilaian keberhasilan tanaman di kedua pola RHL adalah dengan cara mengukur prosentase tumbuh tanaman di lapangan setelah berumur 5 tahun. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan secara nyata (significant) atau tidak antara parameter pertumbuhan tanaman di lapangan (performances tanaman ) pada kedua pola yang diteliti dilakukan uji T sampel yang tidak berhubungan (Independent Sample T Test) melalui program SPSS. Indikator penilaian performances tanaman adalah persen tumbuh, tinggi dan diameter tanaman baik pada pola MDM maupun pada pola insentif. Berdasarkan hasil uji T seperti pada Lampiran 1 diperoleh informasi bahwa: a. Rata-rata persen tumbuh tanaman di lapangan untuk pola MDM adalah 50,6963%, sedangkan untuk pola insentif sebesar 49,3050%. Uji T menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig. 2-tailed) persen tumbuh tanaman sebesar 0,894 > 0,05 maka berarti Ho diterima. Hal ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara persen tumbuh tanaman di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti. b. Rata-rata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola insentif sebesar 3,3580 m. Uji T menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig. 2-tailed) tinggi tanaman sebesar 0,248 > 0,05 maka
352 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
berarti Ho diterima. Hal ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara tinggi tanaman pada kedua pola RHL yang diteliti. c. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig. 2-tailed) persen tumbuh tanaman sebesar 0,660 > 0,05 maka berarti Ho diterima. Hal ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara diameter tanaman di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti. Berdasarkan hasil pengamatan dil apangan bahwa keberhasilan tanaman di kedua pola RHL ini termasuk kategori sedang karena faktor gangguan ternak akibat penggembalaan liar. Jumlah ternak sapi sebanyak 272 ekor, kerbau 146 ekor dan kambing 58 ekor sangat potensial merusak tanaman. 4. Dampak Sosial Bila ditinjau dari dampak sosial maka pola insentif lebih besar dampaknya. Dampak sosial yang paling nyata pembedanya yaitu kepercayaan makin meningkat, solidaritas dan rasa kebersamaan semakin meningkat, kesadaran masyarakat akan fungsi dan peran hutan makin meningkat, perubahan perilaku positif (proaktif dan protektif), perubahan pola hidup lebih sehat dan higienis, pengamanan hutan swakarsa, semangat gotong-royong meningkat, dan perubahan orientasi buruh menjadi pemilik. 5. Tingkat Partispasi Tingkat partisipasi masyarakat dapat diukur dari kehadiran anggota kelompok dalam kegiatan yang dilakukan. Dari laporan kelompok mararin diperoleh informasi bahwa tingkat kehadiran anggota kelompok dalam kegiatan pembangunan PLTMH, instalasi air bersih dan penanaman di lahan kritis sangat tinggi yaitu 86,67% dengan rentang antara 80% s/d 100 % dalam setiap tahapan kegiatan. Sedangkan tingkat kehadiran dalam setiap pertemuan dan rapat kelompok yang digelar tergolong tinggi yakni sebesar 74,34% dengan rentang antara 70% s/d 90%.
353
Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat di pola MDM termsauk kategori tinggi (76%). Hal ini disebabkan oleh pekerja yang boleh ikut kegiatan pembangunan hutan rakyat hanya anggota kelompok yang terdiri dari 25 KK. 6. Eksistensi Kelembagaan Kelompok Tani Eksistensi kelembagaan pola insentif sampai sekarang masih berlanjut. Hal ini nampak dari adanya aktifitas kelompok secara nyata seperti adanya kegiatan pencarian dana kelompok (ma’dana), adanya pertemuan rutin tiap tiga bulan, adanya iuran bulanan anggota, serta administrasi kepengurusan kelompok masih jalan. Sedangkan kelompok tani yang dibentuk pada saat kegiatan pembangunan hutan rakyat pola MDM hanya mampu bertahan selama setahun saja. Hal ini disebabkan karena setelah kegiatan pembuatan tanaman selesai maka tidak ada lagi aktifitas yang bisa dikerjakan secara kelompok. Motif masyarakat masuk menjadi anggota kelompok tani pada saat pembuatan tanaman hutan rakyat pola MDM adalah untuk mendapatkan
upah
harian/HOK
sebesar
Rp.
25.000,00
karena
dipersyaratkan oleh proyek MDM. Dengan demikian setelah tidak ada lagi aktifitas pekerjaan maka kelompok tersebut dengan sendirinya bubar. Berikut ini adalah ringkasan analisis komparasi RHL pola MDM dan pola insentif Tabel 1. Analisis komparasi ujicoba RHL Pola Insentif dengan Pola MDM No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Indikator Biaya Manfaat Persentase Tumbuh Tinggi Tanaman Diameter Tanaman Dampak Sosial Tingkat partisipasi Eksistensi Kelembagaan
Pola Insentif Rp. 3.539.250,/ Ha Rp. 119.280.000,49,3050 %
Pola MDM Rp. 3.496.000/Ha Rp. 23.320.000,50,6963 %
Keterangan Berbeda Berbeda tidak beda nyata
3,3850 m 6,2600 cm
4,1075 m 6,5963 cm
tidak beda nyata tidak beda nyata
Banyak Sangat Tinggi (82%) Berkesinambungan
Sedikit Tinggi (76%) Terputus
Berbeda Berbeda Berbeda
354 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
IV. Kesimpulan dan Saran A.
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis komparasi indikator keberhasilan RHL pola MDM dan pola insentif diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Indikator biaya pembangunan tanaman per hektar relatif sama yaitu
Rp.
3.539.250,00/Ha
untuk
pola
insentif
dan
Rp.
3.496.000,00/Ha untuk pola MDM. b. Persentase tumbuh tanaman pola insentif sebesar 49,31% sedang pola MDM sebesar 50,69%. Berdasarkan uji T indikator persen tumbuh tanaman tidak berbeda nyata antara Pola MDM dan Pola Insentif. c. Rata-rata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola insentif sebesar 3,3580 m. Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara tinggi tanaman pada kedua pola RHL yang diteliti. d. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara diameter di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti. e. Indikator manfaat langsung yang diterima masyarakat dari pola insentif lebih beragam dan lebih besar yaitu sebesar Rp. 119.280.000, sedangkan dari pola MDM masyarakat hanya mendapat upah HOK sebesar Rp. 23.320.000,00 f.
Indikator dampak sosial pola insentif lebih banyak dirasakan masyarakat dari pola MDM. Indikator partispasi masyarakat pola insentif termasuk kategori sangat tinggi (82%) sedangkan pola MDM termasuk kategori tinggi (76%).
g. Indikator eksistensi kelembagaan kelompok tani pola insentif lebih berkesinambungan dan terus berjalan paska bantuan sedangkan pola MDM kelembagaan kelompok tani terputus/berhenti paska proyek.
355
2. Pola insentif RHL layak dilakukan dan dikembangkan karena memiliki sejumlah keunggulan komparatif dari pola MDM seperti manfaat langsung yang diperoleh masyarakat lebih besar, dampak sosial positif lebih banyak; partisipasi masyarakat lebih tinggi, dan eksistensi kelembagaan kelompok tani berkesinambungan. Selain itu biaya pembangunan tanaman dan keberhasilan tanaman di lapangan relatif sama antara pola insentif dengan pola MDM. B. Saran Hal yang sangat penting diperhatikan dalam penerapan pola insentif RHL di lapangan agar kebehasilannya lebih tinggi adalah:
1.
Adanya kepastian kesepakatan/komitmen dengan masyarakat dalam hal jenis kegiatan, mekanisme insentif, manfaat, dan peran masingmasing sehingga ada kepecayaan (trust) di antara stake holders.
2.
Ada kompensasi langsung yang dirasakan masyarakat secara kolektif bila menjaga dan memelihara hutan seperti air bersih dan atau PLTMH gratis atau pembangunan infrastruktur lainnya yang ada hubungannya dengan kehutanan.
3.
Pola perencanaan dan implementasi harus berbasis masyarakat yaitu perencanaan insentif dan atau perencanaan artikulatif
4.
Proses pendampingan kelembagaan lokal terus-menerus dilakukan walaupun kegiatan pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa mengelola secara mandiri investasi/insentif yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 349/Kpts-II/2003, tanggal 16 Oktober 2003 tentang penyelenggaraanGNRHL dan Lokasi GNRHL tahun 2003. Anonim, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 369/Kpts-V/2003, tanggal 31 Oktober 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan dalam rangka Penyelenggaraan GNRHL tahun 2003.
356 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan Model DAS Mikro……. Kristian Mairi
Brutland, Gro Harlem. 1987. Our Common Future. World Comission on Environment and Development Bungin, B. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Darori. 2006. Potret Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Gagasan, Capaian dan Kebutuhan Re-orientasi Program. Prosiding Seminar Nasional: Arahan Pembentukan Unit Manajemen, Pembangunan Kelembagaan dan Pengembangan SDM dalam Program Gerhan di Indonesia. Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dengan Dirjen RLPS Dephut. Departemen Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT. Djogo, Tony, dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. Bahan Ajaran Agrofo restri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Fakih, 1995. Analisis CSIS, 1995:447 dalam San Afri Awang, 2005. Seri Bunga Rampai Hutan Rakyat. Petani, Ekonomi, dan Konservasi. Aspek Penelitian dan Gagasan. Debut Press. Yogyakarta. Hardjanto, Dodik R.N., Dudung Darusman. 2006. Pengembangan SDM sebagai Pendukung Keberhasilan Program GERHAN. Prosiding Seminar Nasional: Arahan Pembentukan Unit Manajemen, Pembangunan Kelembagaan dan Pengembangan SDM dalam Program Gerhan di Indonesia. Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dengan Dirjen RLPS Dephut. http://bpdasbarito.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf= 1&id=39. Diakses pada tgl 5 juni 2009-06-05 McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati: Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
357
Paembonan, S. 1982. Analisis Sistem Biofisik Daerah Aliran Sungai: Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Saddang Sulawesi Selatan. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Paimin, dkk. 2008. Sistem Perencanaan Pengelolaan Sub DAS Berbasis Sistem Karakterisasi Sub DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Putro, H.R, dkk. 2003. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Santoso, S. 2006. Seri Solusi Berbasis IT: Menggunakan SPSS Untuk Statistik Parametrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Sawit, M.H. 1994. Analisa Permintaan Pangan. Bukti Empiris Teori Rumah Tangga Pertanian. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian BTPDAS Surakarta. Vol. XLII No.1: 99 -120 Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Edisi Kedua. BIGRAF Publishing. Yogyakarta. Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sudibyo dan Sudayatna, 2002. Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Lestari. Mangrove Information Centre Projec. Kerjasama JICA dan Departemen Kehutanan. Sutopo, P.N. 2002. Pemanfaatan lahan marjinal: Peluang dan tantangan pengembangan lahan kering untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Jurnal Alami, volume 7. P3TPSLK - BPPTP. Jakarta
358 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Analisis Komparasi Pola Insentif dan DAS Mikro……. Kristian Mairi
Lampiran 1.
Independent sample T Test untuk indikator persen tumbuh tanaman, tinggi tanaman dan diameter tanaman pada pola MDM dan pola insentif.
T-Test Group Statistics Pola Yang Dibandingkan Persen Tumbuh Tinggi Tanaman Diameter
N
Std.
Std. Error
Mean
Deviation
Mean
MDM
8
50,6963
16,24658
5,74403
Insentif
4
49,3050
17,32651
8,66325
MDM
8
4,1075
1,11577
,39448
Insentif
4
3,3850
,41461
,20730
8
6,5963
1,34228
,47457
4
6,2600
,82175
,41087
MDM
Tanaman Insentif
359
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Persen Tumbuh
Tinggi Tanaman
Diameter Tanaman
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means Mean Difference
Std. Error Differenc e
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Sig.
t
,064
,805
,137
10
,894
1,39125
10,15188
-21,22854
24,01104
,134
5,742
,898
1,39125
10,39451
-24,32294
27,10544
1,228
10
,248
,72250
,58833
-,58839
2,03339
1,621
9,678
,137
,72250
,44564
-,27494
1,71994
,454
10
,660
,33625
,74089
-1,31455
1,98705
,536
9,272
,605
,33625
,62772
-1,07743
1,74993
1,521
1,052
,246
,329
360 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
df
Sig. (2tailed)
F
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
PENGARUH TINGKAT KERAPATAN NAUNGAN PADA BEBERAPA KELOMPOK PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI CEMPAKA WASIAN (Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy) DI PERSEMAIAN1 Arif Irawan, Hanif Nurul Hidayah, dan Jafred E. Halawane Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Elmerrillia ovalis (Miq) Dandy atau yang lebih dikenal dengan nama cempaka wasian merupakan salah satu jenis kayu pertukangan unggulan yang sangat digemari masyarakat di Sulawesi Utara. Tingginya permintaan terhadap kayu ini menuntut kita untuk bisa menjamin ketersediaan bibit cempaka wasian dengan kualitas pertumbuhan yang optimal. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai/tanaman adalah intensitas cahaya yang diperoleh dan juga nutrisi atau unsur hara yang diserap oleh tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki kebutuhan yang berbeda-beda untuk faktor intensitas cahaya ataupun unsur hara yang dibutuhkan. Pada penelitian ini, dilakukan percobaan beberapa taraf kerapatan naungan pada kelompok pemupukan untuk mengetahui pertumbuhan optimal semai cempaka wasian. Taraf kerapatan naungan yang digunakan adalah 55%, 65% dan 75%, sedangkan kelompok pemupukan yang dicobakan adalah tanpa pupuk, pupuk kandang dan pupuk NPK. Dari hasil pengamatan selama 5 (lima) bulan diperoleh hasil bahwa perlakuan naungan yang dianjurkan untuk dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian adalah pada tingkat kerapatan 55%. Sedangkan pengelompokan pemupukan pada percobaaan ini tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian. Kata kunci: cempaka wasian, naungan, pertumbuhan semai, pemupukan.
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
361
I. Pendahuluan Cempaka wasian (Elmerrillia ovalis (Miq) Dandy) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan unggulan yang sangat digemari masyarakat di Sulawesi Utara. Jenis kayu ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan rumah, meubel, interior ruangan, alat musik maupun kerajinan tangan. Keunggulan jenis kayu Cempaka wasian jika dibandingkan dengan kayu lain adalah bentuk tekstur kayunya yang khas. Selain itu, faktor keterikatan budaya masyarakat Minahasa dengan jenis kayu ini sudah terbentuk telah lama, terutama dalam hal kebutuhan pembuatan rumah adat woloan. Berbanding terbalik dengan tingkat kebutuhan kayu cempaka wasian, teknik budidaya jenis kayu kelas menengah ini masih sangat terbatas diketahui, utamanya pada tingkat persemaian. Selama ini, kendala yang dirasakan masyarakat khususnya penyedia bibit adalah tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam perbanyakan jenis. Cempaka wasian tergolong jenis tanaman yang cukup sensitif dalam pertumbuhannya. Selama ini belum banyak diketahui teknik untuk menghasilkan bibit dengan pertumbuhan yang optimal. Kebanyakan masyarakat hanya terfokus pada metode untuk meningkatkan prosentase hidup bibit tersebut. Salah satu unsur penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan semai/tanaman adalah keberadaan cahaya matahari. Cahaya matahari adalah sumber utama yang dibutuhkan tanaman dalam proses pembuatan energi atau zat makanan/glukosa, yaitu pada proses fotosintesis yang berlangsung atas peran cahaya matahari (photo = cahaya, synthesis = proses pembuatan/pengolahan) dengan menggunakan zat hara/mineral, karbondioksida dan air. Jumlah intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis berbeda antara tanaman yang satu dengan lainnya. Jika jumlah cahaya matahari yang diterima berlebihan akan berakibat sebaliknya terhadap tanaman tersebut. Cahaya matahari tidak lagi menjadi unsur utama dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, namun akan menjadi hal yang kontradiktif yaitu sebagai penghambat proses fotosintesis. Salah satu akibatnya adalah daun yang tumbuh tidak berwarna hijau, melainkan kuning pucat karena klorofil
362 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
tidak terbentuk. Akibat lain dari terjadinya kondisi ini adalah pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat yang ditandai dengan tinggi dan diameter tanaman yang mengalami pertumbuhan yang lambat. Pemberian pupuk merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan suatu semai/tanaman. Pupuk kandang yang merupakan bahan organik berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, mensuplai nitrat, sulfat dan asam organik untuk menghancurkan material, mensuplai nutrisi, meningkatkan daya ikat hara serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi organisme (Syukur dan Harsono, 2008). NPK merupakan pupuk majemuk yang terbuat dari campuran unsur N, P dan K yang sesuai untuk diaplikasikan pada tanah marginal dan dapat bersifat slow release. Penggunaan pupuk majemuk ini sering digunakan sebagai alternatif pemakaian pupuk tunggal sehingga bisa mengurangi biaya pemupukan.Setiap tanaman membutuhkan unsur hara yang berbedabeda tergantung pada umur tanaman, jenis tanaman dan iklim setempat (Hasibuan, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kerapatan naungan pada beberapa kelompok jenis pupuk yang digunakan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian di persemaian. II. Bahan dan Metode A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado, Sulawesi Utara pada bulan Januari s/d Mei 2012. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cempaka wasian yang diperoleh dari Desa Suluun, Kecamatan Suluun Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara yang dipanen pada bulan November 2012, top soil podsolik merah kuning, pupuk kandang, pupuk NPK, polybag, paranet, luxmeter, mistar dan kaliper. C. Metode Penelitian Buah cempaka wasian diunduh dengan cara memanjat pohon induk dan memotong beberapa ranting yang memiliki buah lebat. Buah yang
363
telah didapatkan diekstraksi dengan cara merendamnya dalam air selama 24 jam dan selanjutnya dikupas satu persatu untuk menghilangkan daging buahnya sehingga bersih. Benih hasil ekstraksi ditabur pada bak tabur yang telah disiapkan dengan media pasir. Semai yang telah berkecambah dan memiliki 2 (dua) daun dengan tinggi yang seragam disapih kedalam polybag.
Media tanam yang
digunakan dikelompokkan sesuai dengan perlakuan yang diterapkan dan selanjutnya ditempatkan di bawah paranet sesuai perlakuan faktor kerapatan naungan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan subsampling. Faktor perbedaan penggunaan pupuk menjadi faktor kelompok sedangkan perbedaan tingkat kerapatan naungan merupakan faktor perlakuan yang akan diamati. Kelompok pupuk dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu A0 : Tanpa pupuk; A1 : Pupuk kandang dan A2 : Pupuk NPK. Jumlah campuran media pupuk kandang yang digunakan masingmasing semai adalah tanah dan pupuk dengan perbandingan 3 : 1, sedangkan pupuk NPK diaplikasikan sebanyak 0,25 gr per media. Pemberian pupuk dilakukan secara berkala setiap 2 bulan sekali. Perlakuan kerapatan naungan dalam rancangan penelitian ini merupakan faktor yang akan menjadi fokus pengamatan, yang terdiri dari 3 taraf yaitu: B0 : paranet dengan kerapatan 55 % B1 : Paranet dengan kerapatan 65 % B2 : Paranet dengan kerapatan 75 %
364 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
Gambar 1. Semai cempaka wasian sesuai rancangan yang digunakan
Analisis data yang digunakan adalah analisis keragaman terhadap peubah pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, rata-rata penampang daun (panjang dan lebar) setelah lima bulan semai disapih. Jika analisis keragaman terhadap peubah-peubah tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata akan dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Untuk membantu menyelesaikan analisis statistik ini digunakan program SAS. III. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Berdasarkan hasil pengukuran pertumbuhan semai cempaka wasian yang diperoleh dari selisih pengukuran parameter awal dengan pengukuran pada umur 5 (lima) bulan diketahui beberapa nilai masing-masing parameter sebagai berikut : 1. Pertumbuhan Tinggi Semai Pertumbuhan tinggi semai setelah perlakuan perbedaan naungan selama 5 bulan menunjukkan adanya respon tinggi yang berbeda. Semai cempaka wasian yang berada pada kerapatan naungan 55% pada kelompok jenis pupuk NPK memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi yang paling besar yaitu 26,4 cm (Lampiran 1), sedangkan pertumbuhantinggi terkecil terdapat pada semai cempaka wasian yang diberi perlakuan naungan 75 % pada kelompok tanpa pemupukan. Analisis varians menunjukkan adanya pengaruh nyata pada taraf 0.05 untuk
perlakuan
naungan
terhadap
pertambahan
tinggi,
tetapi
365
pengelompokan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui nilai parameter pertumbuhan tertinggi akibat perlakuan kerapatan naungan terdapat pada perlakuan dengan naungan 55 % yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 19,163cm (lampiran 3), walaupun nilai ini secara statistik tidak berbeda dengan kerapatan naungan pada urutan terbaik kedua yaitu denggan perlakuan naungan 65 %. 2. Pertumbuhan Diameter Semai Semai cempaka wasian yang memiliki nilai pertumbuhan diameter tertinggi adalah semai yang diberi perlakuan kerapatan naungan 55% pada kelompok pupuk NPK (lampiran 1).Sedangkan nilai terendah didapatkan dari semai semai cempaka wasian dengan perlakuan kerapatan naungan 75% yang berada pada pengelompokan tanpa pupuk. Terdapat pengaruh yang sangat nyata akibat adanya perlakuan kerapatan naungan terhadap parameter pertumbuhan diameter.Sedangkan pengelompokan berdasarkan jenis pupuk tidak menghasilkan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjut menyatakan nilai parameter diameter tertinggi terdapat pada perlakuan naungan dengan kerapatan 55 % yaitu sebesar 0,206 cm. Nilai ini secara statistik berbeda dengan perlakuan lainnya, sehingga perlakuan masing-masing kerapatan naungan mempengaruhi hasil pertumbuhan diameter cempaka wasian secara signifikan. 3. Pertumbuhan Jumlah Daun Pertumbuhan jumlah daun yang memiliki nilai tertinggi adalah semai yang berada di bawah naungan 55 % pada kelompok tanpa pemupukan dan pupuk kandang serta dengan naungan 65 % pada kelompok pupuk NPK yaitu dengan nilai rata-rata sebanyak 7,5 daun (Lampiran 1). Tidak terdapat pengaruh yang nyata akibat adanya perlakuan kerapatan naungan dan pengelompokan
berdasarkan
jenis
pupuk
terhadap
parameter
pertumbuhan jumlah daun (Lampiran 2). 4. Pertumbuhan Penampang Daun (Panjang dan Lebar) Pertumbuhan panjang daun tertinggi terdapat pada semai cempaka wasian yang berada di bawah naungan 55 % pada kelompok pemupukan jenis NPK yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 10,56 cm (Lampiran 1).
366 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
Sedangkan pertumbuhan panjang daun terendah terdapat pada naungan 75 % pada kelompok tanpa pemupukan. Perlakuan pertumbuhan
naungan
memiliki
panjang
daun
pengaruh
semai
yang
cempaka
nyata
terhadap
wasian.Sedangkan
pengelompokan berdasarkan jenis pupuk tidak mengahasilkan pengaruh yang nyata (lampiran 2). Hasil uji lanjut menyatakan nilai parameter panjang daun terbaik terdapat pada perlakuan naungan dengan kerapatan 55 % yaitu sebesar 7,193 cm. Perlakuan naungan dengan tingkat kerapatan 55 % merupakan perlakuan terbaik karena berbeda secara statistik dengan perlakuan lainnya (lampiran 3). Semai cempaka wasian yang memiliki nilai pertumbuhan lebar daun tertinggi
terdapat
pada
naungan
dengan
kerapatan
55%
dan
pengelompokan pupuk jenis NPK yaitu sebesar 3,85 cm. Sedangkan semai cempaka wasian pada perlakuan naungan dengan kerapatan 75% pengelompokan tanpa pemupukan merupakan pertumbuhan semai terkecil yaitu sebesar 0,78 cm (lampiran 1). Perbedaan naungan memiliki pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan lebar daun semai cempaka wasian. Sedangkan pengelompokan berdasarkan jenis pupuk tidak menghasilkan pengaruh yang nyata (lampiran 2). Hasil uji lanjut menyatakan nilai parameter lebar daun terbaik terdapat pada perlakuan naungan dengan kerapatan 50% yaitu sebesar 2,863 cm. Perlakuan naungan dengan tingkat kerapatan 50% bukan merupakan perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan lebar daun semai cempaka wasian karena tidak berbeda secara statistik dengan perlakuan lainnya (lampiran 3). B. Pembahasan 1. Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa secara dominan kerapatan naungan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameterparameter yang diamati. Hal ini berkaitan langsung dengan intensitas, kualitas dan lama penyinaran cahaya yang diterima untuk tanaman melakukan proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Daniel et al. (1992) bahwa cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, kualitas dan lama penyinaran.
367
Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman sejauh mana berhubungan erat dengan proses fotosintesis. Dalam proses ini energi cahaya diperlukan untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan air untuk membentuk karbohidrat. Semakin besar jumlah energi yang tersedia akan memperbesar jumlah hasil fotosintesis sampai dengan optimum (maksimal). Untuk mengetahui pengaruh masing-masing parameter yang diamati secara lebih mendalam, berikut diuraikan penjelasan lebih lengkapnya Pertumbuhan Tinggi Semai. Tinggi semai cempaka wasian yang berada di bawah naungan dengan kerapatan 55% memiliki pertumbuhan yang paling baik dibandingkan perlakuan kerapatan lainnya.Dalam percobaan ini naungan dengan kerapatan 55% merupakan kerapatan yang paling rendah, sehingga cahaya matahari memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi. Soekotjo (1976) dalam Simarangkir (2000) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang. Pada umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman berbeda-beda. Semai yang berada di bawah naungan yang lebih rapat hidupnya akan terhambat karena tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk melaksanakan proses fotosintesis. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. (Suhardi et al, 1995). Sebagian dari jenisjenis Dipterocarpaceae dalam masa pertumbuhannya di waktu muda (tingkat anakan) membutuhkan cahaya berkisar antara 50–85 % dari cahaya total. Perlakuan kerapatan naungan 55% meskipun secara rata-rata menghasilkan pertumbuhan tinggi semai yang tertinggi namun secara statistik tidak berbeda dengan perlakuan kerapatan naungan 65%. Sehingga dapat dikatakan untuk menghasilkan pertumbuhan tinggi semai cempaka wasian yang optimal dapat digunakan kerapatan naungan 55% atau naungan 65%.
368 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
2. Pertumbuhan Diameter Semai Menurut Toumey dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) pertumbuhan
diameter
tanaman
berhubungan
erat
dengan
laju
fotosintesis. Hal ini berarti pertumbuhan diameter akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Daniel et al, (1992) menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman disebabkan oleh produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik ke arah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah. Pertumbuhan semai cempaka wasian memiliki pengaruh yang nyata terhadap perlakuan perbedaan kerapatan naungan yang diberikan. Naungan dengan kerapatan 55% merupakan kerapatan yang menghasilkan rata-rata pertumbuhan diameter tertinggi. Secara statistik masing-masing perlakuan tingkat kerapatan memiliki nilai yang berbeda, hal ini dapat dikatakan bahwa naungan dengan tingkat kerapatan 55% dapat menghasilkan pertumbuhan diameter semai cempaka wasian yang paling maksimal dibanding perlakuan lainnya. 3. Pertumbuhan Jumlah Daun Semai Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap daun-daun semai cempaka wasian di bawah naungan dengan kerapatan 75% diketahui secara umum daun mempunyai warna yang lebih gelap dibandingkan dengan tingkat kerapatan lainnya. Hal ini disinyalir karena daun-daun yang ternaungi mempunyai jumlah klorofil yang lebih banyak. Marjenah (2001) mengemukakan di tempat terbuka tanaman akan mempunyai kandungan klorofil yang lebih rendah dibandingkan pada tempat yang ternaungi. Pertumbuhan jumlah daun cempaka wasian memiliki pengaruh yang tidak signifikan berdasarkan tingkat kerapatan yang diberikan.Meskipun secara perhitungan terdapat kecenderungan perbedaan antar masingmasing perlakuan, namun secara nilai statistik pertumbuhan jumlah daun tersebut tidak berpengaruh secara nyata.
369
4. Pertumbuhan Penampang Daun (Panjang dan Lebar) Fitter dan Hay (1991) mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Keadaan seperti ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang menyatakan daun-daun yang mempunyai jumlah luas daun yang lebih besar mempunyai pertumbuhan yang besar pula (Marjenah, 2001). Hal ini sejalan dengan hasil percobaan semai cempaka wasian ini, dari hasil perhitungan diketahui pertumbuhan maksimal terdapat pada perlakuan naungan dengan kerapatan 55% yang berkorelasi secara positif terhadap parameter pertumbuhan semai lainnya (tinggi dan diameter). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui secara umum bahwa naungan memberikan efek yang nyata terhadap penampang daun semai cempaka wasian (panjang dan lebar). Secara sekilas dapat diketahui semai cempaka wasian yang ditanam di tempat dengan kerapatan naungan lebih rendah mempunyai daun yang lebih tebal daripada yang berada di tempat dengan kerapatan naungan lebih tinggi. Pengaruh pengelompokan jenis pupuk berdasarkan hasil percobaan ini adalah tidak nyata pada semua parameter yang diamati (lampiran 2). Hal ini disinyalir karena dosis yang digunakan antara pupuk NPK sebagai pupuk anorganik dan pupuk kandang sebagai pupuk organik sebanding dalam kandungan yang terdapat di dalamnya.
Dari segi keekonomisan
penggunaan pupuk NPK lebih dianjurkan untuk digunakan dengan dosis yang tepat (0,25 gr/semai). III. Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan pengaruh kerapatan naungan dan pengelompokan jenis pupuk yang diberikan dapat disimpulkan bahwa perlakuan naungan yang dianjurkan untuk dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian adalah pada tingkat kerapatan 55%. Hal ini karena pada tingkatan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan paling tinggi pada parameter tinggi semai, diameter semai, penampang daun (panjang dan lebar). Sedangkan pengelompokan pemupukan pada percobaan ini tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian.
370 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
DAFTAR PUSTAKA Daniel T. W, J.A. Helms and F.S. Baker, 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan).Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Fitter, A. H. and Hay, R. K. M. l992. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Diterjemahkan oleh Sri Andani dan Purbayanti. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Marjenah, 2001. Pengaruh perbedaan naungan di persemaian terhadap pertumbuhan dan respon morfologi dua jenis semai meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan ”Rimba Kalimantan” Vol. 6. Nomor. 2. Samarinda. Kalimantan Timur. Herdiana, N., Lukman, H.A., Mulyadi, K. dan Suhendar, T. 2008. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi pupuk daun terhadap pertumbuhan bibit meranti belangeran asal cabutan alam di persemaian. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5 (3) : 147–154. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Herdiana, N., Siahaan, H., dan Rahman, S. 2008. Pengaruh arang kompos dan intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5(3) : 139–146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Hasibuan, 2006. Pupuk dan Pemupukan. USU Press. Medan Syukur A. dan Harsono, E.S. 2008. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan NPK terhadap beberapa sifat kimia dan fisika tanah pasir Pantai Samas Bantul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 8(2): 138-145. Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis riap Dryobalanops lanceolata Burck pada lebar jalur yang berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. Suhardi, 1995. Effect of shading, Mycorrhiza inoculated and organic matter on the growth of Hopea gregaria Seedling. Buletin Penelitian Nomor 28. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
371
Widiharih, T. 2008. Modul Praktikum Rancangan Percobaan Lanjut. Laboratorium Komputasi Jurusan Matematika, FMIPA Undip. Semarang
372 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Pengaruh Tingkat Kerapatan Naungan pada Beberapa Kelompok……. Arif Irawan, Hanif N.H. & Jafred E. Halawane
Lampiran 1. Rata-rata pertumbuhan semai cempaka wasian umur 5 (lima) bulan Naungan (N)
Kelompok (K)
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
Jumlah Daun
Panjang Daun (cm)
Lebar Daun (cm)
A0
B0
9.66
0.163
7.50
5.188
1.900
A0
B1
21.43
0.183
7.50
7.988
2.838
A0
B2
26.40
0.273
7.38
10.563
3.850
A1
B0
9.13
0.104
6.38
3.963
1.588
A1
B1
12.19
0.100
6.75
4.650
1.738
A1
B2
14.09
0.176
7.50
6.588
2.463
A2
B0
4.29
0.041
5.13
2.425
0.788
A2
B1
4.69
0.050
7.00
3.925
1.438
A2
B2
12.73
0.136
6.89
5.661
2.075
Lampiran 2. Hasil analisis varians pertumbuhan semai cempaka wasian umur 5 (lima) bulan Nilai Kuadrat Tengah Sumber Variasi
Pertum buhan tinggi
Pertumbuhan diameter
Pertumbuhan Jumlah daun
Pertumbuhan rata-rata panjang daun
Pertumbuhan rata-rata lebar daun
Kerapata n Naungan
1298,01 1*
0,156**
15,389 ns
129,132*
17,810*
Kelompok
333,454 ns
0,026 ns
56, 263 ns
7,000 ns
Galat
154,024
0,007
10,675
1,613
3,431 ns
3,556
373
Lampiran 3. Hasil uji lanjut kerapatan naungan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian pada Umur 5 (lima) bulan Pertumbuhan Panjang Daun Semai
Pertumbuhan Lebar Daun Semai
No
Tingkat Kerapatan Naungan
Pertumbuhan Tinggi Semai
Pertumbuhan Diameter Semai
1.
N1 (Kerapatan 55 %)
19,163 a
0,206 a
7,913 a
2,863 a
2.
N2 (Kerapatan 65 %)
11,800 ab
0,127 b
5,067 b
1,9292 ab
3.
N3 (Kerapatan 75 %)
4,454 b
0,045 c
3,3167 b
1,1417 b
Catatan : Nilai pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Jarak Berganda
374 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
TINGKAT PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE1 Arif Irawan dan Hendra S. Mokodompit Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone selain berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam juga diupayakan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan, utamanya masyarakat yang berada di sekitarnya. Fungsi pemanfaatan ini sangat diharapkan dapat dijalankan oleh taman nasional dan dirasakan oleh masyarakat sekitar tanpa mengganggu fungsi pelestariannya. Kelestarian fungsi taman nasional dipengaruhi oleh aktifitas ekonomi masyarakat, kebiasaan dan cara pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Penelitian dilakukan pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), yaitu Desa Mengkang, Desa Lolanan, Desa Toraut, dan Desa Matayangan. Pengumpulan data mengenai tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat dilakukan melalui teknik wawancara dengan penentuan responden secara purposive random sampling sebanyak 30 responden tiap desa. Data dan informasi hasil wawancara dikompilasi dalam bentuk tabel frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat dari keempat desa terhadap kelestarian sumber daya hutan didominasi persepsi baik dan tingkat partisipasi aktif. Diketahui persentase
1
Makalah penunjang dalam seminar dan pameran hasil-hasil penelitian dengan tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan” diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BPDAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Post. Manado 23 Oktober 2012
375
responden yang memiliki persepsi baik sebesar 70,97%, sedangkan nilai persentase tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam menjaga sumber daya hutan sejumlah 60%. Sedangkan hubungan antara tingkat persepsi masyarakat yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone secara umum bersifat linier terhadap tingkat partisipasinya. Semakin baik tingkat persepsi masyarakat akan berpengaruh pada tingkat keaktifannya dalam menjaga kelestarian sumber daya hutan. Kata Kunci : persepsi, partisipasi, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
I. Pendahuluan Hutan didefinisikan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat yang sangat besar (Multiple Benefit) untuk memenuhi kebutuhan manusia baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa manfaat secara
langsung keberadaan hutan bagi masyarakat antara lain terkait dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, diantaranya sebagai penyedia kebutuhan bahan bakar, penyedia kayu untuk bahan bangunan, sebagai penyedia satwa, serta pemanfaatan hasil tambang yang ada di dalamnya. Tindakan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan secara langsung ini dapat berdampak positif maupun negatif terhadap keberadaan fungsi hutan itu sendiri. Sehingga perlu ditumbuhkan persepsi yang benar mengenai hutan dan manfaatnya. Dengan persepsi yang benar diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk ikut berpatisipasi menjaga keberadaan dan kelestarian hutan. Taman nasional merupakan salah satu contoh kawasan hutan yang memiliki fungsi peruntukan khusus, yaitu sebagai kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Selain fungsi tersebut taman nasional juga diharapkan dapat diberdayakan pemanfaatan sumber daya hayatinya secara lestari dengan tidak mengganggu keberadaan ekosistem di dalamnya. Salah satu
376 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
keunggulan taman nasional dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya adalah bahwa pengelolaannya didasarkan sistem zonasi. Adanya zonasi atau tata ruang yang didasarkan pada potensi biofisik kawasan, fungsi
ekologis,
sosial,
ekonomi
dan
budaya
masyarakat
yang
memungkinkan dibangunnya sistem pengelolaan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) adalah salah satu kawasan konservasi dengan luasan wilayah 287.115 ha yang secara administratif terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Kondisi topografi kawasan TNBNW bervariasi mulai dari datar, bergelombang, sampai berbukit dan bergunung pada ketinggian 501.970 m dpl. Sebagian besar wilayah atau sekitar 90% luas TNBNW mempunyai kelerengan 25-45%. Jenis-jenis tanah yang ditemukan di kawasan TNBNW meliputi latosol, podsolik, renzina, aluvial dan andosol. Tipe iklim di kawasan TNBNW berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson tergolong tipe A, B dan C. Curah hujan relatif merata sepanjang tahun dengan periode musim penghujan di bulan Nopember-Januari dan Maret-Mei, sedangkan periode kering pada bulan Agustus-September. Secara umum curah hujan rata-rata tahunan di Lembah Dumoga sebesar 1.700-2.200 mm/th, sedangkan di wilayah Gorontalo sebesar 1.200 mm/th. Di dalam kawasan TNBNW terdapat 4 tipe ekosistem utama, yaitu hutan sekunder, hutan hujan dataran rendah (hutan pamah), hutan hujan pegunungan rendah dan hutan lumut. Keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone selain berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam juga diupayakan dapat bermanfaat bagi masyarakat
luas,
sesuai
dengan
kondisi
fisik
wilayah
maupun
perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan, utamanya masyarakat yang berada di sekitarnya. Fungsi pemanfaaatan ini sangat diharapkan dapat dijalankan oleh taman nasional dan dirasakan oleh masyarakat sekitar tanpa mengganggu fungsi pelestariannya. Kelestarian fungsi taman nasional dipengaruhi oleh aktifitas ekonomi masyarakat, kebiasaan dan cara pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati lainnya. Oleh
377
karena itu pengetahuan tentang persepsi masyarakat dan sejauh mana tingkat partisipasinya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone adalah salah satu dasar yang dapat dijadikan acuan dalam mengelola kawasan ini, sehingga fungsi dasar tujuan pengelolaan taman nasional dapat tercapai. II. Metodologi Penelitian A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober–Desember tahun 2010 pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), yaitu Desa Mengkang, Desa Lolanan, Desa Toraut, dan Desa Matayangan. Desa-desa tersebut berkaitan langsung dengan kawasan Taman Nasional dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam seperti pengelolaan lahan, pertambangan dan pemanfaatan sumberdaya hayati hutan lainnya. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah masyarakat yang berada tepat berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : peta kerja berupa peta penutupan lahan dan peta batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, kuesioner, tally sheet, GPS, kamera, voice recorder, dan papan data. C. Prosedur Kerja Pengumpulan data primer mengenai persepsi dan partisipasi masyarakat dilakukan melalui wawancara disertai dengan kuesioner. Sedangkan data sekunder diambil dari monografi desa, informasi dari Balai Taman Nasional dan studi literatur. Responden yang dijadikan obyek ditentukan secara purposive random sampling sebanyak 30 responden tiap desa. D. Analisis Data Data dan informasi hasil pengamatan dikompilasi dalam bentuk tabel frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan
378 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
analisis deskriptif. Tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional di golongkan menjadi tiga yaitu: a. Persepsi baik : apabila mereka memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari. b. Persepsi sedang : apabila mereka menyadari dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan tetapi tidak memahami kalau sumberdaya tersebut perlu dikelola secara lestari agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan. c. Persepsi tidak baik : apabila jawaban responden masuk dalam kategori tidak sadar kalau dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan, atau ada kepentingan lain yang membuat mereka cenderung beranggapan bahwa tidak perlu menjaga kelestarian sumberdaya hayati hutan. Sedangkan bentuk partisipasi masyarakat digolongkan menjadi : a. Partisipasi aktif : apabila mereka secara sadar dan aktif telah dan akan melakukan upaya atau tindakan-tindakan untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumberdaya hayati hutan yang ada di sekitar desa mereka. b. Partisipasi pasif : apabila mereka berpikir bahwa harus dilakukan upayaupaya untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumberdaya hayati hutan di sekitar desa mereka, tetapi mereka tidak pernah terlibat aktif dan berharap agar pemerintah atau pihak lain yang melakukannya. c. Partisipasi negatif : apabila mereka tidak pernah berpikir untuk mempertahankan ketersediaan sumberdaya hayati hutan, sebaliknya justru selalu berupaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dengan merusak sumberdaya hayati hutan. III. Hasil dan Pembahasan A. Kharakteristik Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Masyarakat keempat desa yang menjadi lokasi penelitian di sekitar kawasan TNBNW didominasi oleh suku asli Mongondow, pendatang dari
379
Minahasa, Sanger dan Bugis serta transmigran dari Jawa dan Bali sejak tahun 1970-an (transmigran khusus di desa Matayangan). Mata pencaharian utamanya adalah petani dan buruh tani bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan sendiri. Selain itu mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai buruh panjat kelapa, buruh petik cengkeh (biasanya dilakukan di luar desa/daerah seperti di wilayah Minahasa), tukang angkut peralatan tambang dari desa ke lokasi galian, angkut tanah yang mengandung emas dari lokasi galian menuju tempat pengolahan emas serta beberapa menjadi pedagang kecil. Pekerjaan sampingan ini biasanya mereka lakukan selama menunggu masa tanam dan masa panen, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup karena hasil panen tidak memadai atau untuk mencari modal yang digunakan sebagai biaya pada masa tanam dan panen nanti. B. Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Hutan Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam hayati yang berorientasi untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sering berbenturan dengan misi perlindungan yang diemban kawasan konservasi. Menurut Davidoff (1988) dalam Saptorini (1989), persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan
untuk
menggolongkan
stimulus
yang
masuk
sehingga
menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat
terbentuk
setelah
berbagai
kegiatan,
yakni
proses
fisik
(penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui syaraf sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, pemrosesan informasi di otak). Setiap persepsi dipengaruhi faktor subjektif yang sangat kuat, jadi sangat dimungkinkan terjadi persepsi seseorang terhadap hal yang sama berbeda dengan persepsi orang lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi seseorang antara lain pelaku persepsi, target yang akan diamati, dan situasi (Robin, 1996). Persepsi menentukan lebih lanjut secara berbeda atas seseorang dengan yang lain, mengenai apa dan bagaimana yang akan mereka lakukan sebagai implikasinya.
380 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
Hasil wawancara terhadap 120 responden pada empat desa mengenai tingkat persepsi terhadap kelestarian sumber daya hayati hutan dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar dapat diketahui bahwa persentase tingkat ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan fungsi hutan secara langsung sebagai sumber penghidupan mereka adalah sangat tinggi. Dari seluruh responden diketahui 106 responden (88,33%) beranggapan setuju bahwa hutan merupakan sumber penghidupan bagi mereka, sedangkan 4 responden (3,33%) menyatakan tidak setuju dan 10 responden (8,33%) tidak tahu. 8,33%
3,33%
88,33%
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 1 : Hutan merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat
Gambar 1.
Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 1
Dari keempat desa dapat dilihat bahwa Desa Lolanan memiliki tingkat kepentingan terhadap hutan yang lebih tinggi dibanding tiga desa lainnya, hal ini disebabkan karena masyarakat Desa Lolanan telah sejak lama menggunakan lahan di kawasan Taman Nasional dengan luasan wilayah lahan yang tidak sedikit, sehingga menyebabkan tingkat persepsi ketergantungan masyarakat pada kawasan hutan cukup tinggi dalam memenuhi
kebutuhan
ekonomi
mereka
sehari-hari.
Permasalahan
mengenai penggunaan lahan dalam kawasan di Desa Lolanan ini sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan, hal ini
381
karena belum ditemukannya kesepakatan antara pihak yang berwenang dengan masyarakat Desa Lolanan yang sebagian besar masih menganggap lahan tersebut merupakan lahan warisan leluhur mereka.
Gambar 2. Lahan masyarakat Desa Lolanan
Selain pemanfaatan lahan, manfaat lain hutan secara langsung bagi masyarakat desa adalah pemanfaatan satwa liar seperti babi dan anoa yang terdapat di Desa Toraut dan Desa Matayangan, baik untuk dikonsumsi sendiri juga untuk diperjualbelikan. Pemanfatan hasil hutan lain yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adalah pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu. Pemanfaatan hasil hutan kayu diantaranya digunakan untuk bahan bagunan, kayu bakar, dan bahan obat-obatan, sedangkan hasil hutan non kayu yang bermanfaat secara ekonomi seperti rotan, bambu, aren, lebah madu, daun woka serta terdapat juga pemanfaatan telur maleo yang terdapat di Desa Matayangan. Untuk hasil wawancara pertanyaan poin kedua mengenai tingkat keberadaan fungsi hutan secara tidak langsung bagi masyarakat, diketahui 105 responden (87,5%) menyatakan setuju bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi mereka, selanjutnya 1 responden (0,83%) berpendapat tidak setuju, sedangkan 14 responden (11,67%) menyatakan tidak tahu.
382 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
11,67% 0,83% 87,50%
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 2 : Keberadaan hutan sangat penting bagi masyarakat
Gambar 3. Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 2
Tingginya tingkat kesadaran masyarakat keempat desa akan fungsi keberadaan hutan secara tidak langsung dipicu karena masyarakat telah banyak yang merasakan dampaknya. Keberadaan hutan secara tidak langsung ini diantaranya dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Mengkang, yaitu dalam hal penggunaan pembangkit listrik mikrohidro. Keterbatasan pasokan listrik dari pemerintah untuk Desa Mengkang, menuntut kepala desa untuk kreatif memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dengan adanya pembangkit listrik mikrohidro ini, Desa Mengkang dapat memenuhi kebutuhan listrik sendiri dan bahkan saat ini dijadikan sebagai salah satu percontohan desa mandiri di Sulawesi Utara.
Selain itu, pemanfaatan
fungsi hutan secara tidak langsung lainnya adalah penggunaan bendungan untuk irigasi sawah masyarakat yang ada di Desa Toraut, serta penggunaan air sehari-hari yang melimpah di empat desa tersebut.
383
Gambar 4. Pembangkit Listrik Mikrohidro di Desa Mengkang
Poin selanjutnya digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai perlunya pengaturan pemanfaatan sumber daya hayati hutan. Dari hasil tabulasi didapatkan jumlah responden yang setuju terhadap pertanyaan ini adalah sebesar 101 responden (84,17%), 2 responden (1,67%) menjawab tidak setuju dan yang berpendapat tidak tahu sejumlah 17 responden (14,17%). 14,17% 84,17%
1,67%
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 3 : Pemanfaatan sumberdaya hayati perlu diatur
Gambar 5.
Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 3
384 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
Dari nilai ini dapat terlihat bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang pengaturan pemanfaatan sumberdaya hayati hutan sudah sangat baik, karena mereka sadar jika pemanfaatan tersebut tidak diatur akan membahayakan mereka juga nantinya, semisal dalam hal ketersediaan air dan bahaya bencana alam yang akan mengintai. Pertanyaan berikutnya ingin mengetahui persepsi masyarakat mengenai tingkat kerusakan hutan akibat aktifitas chainsaw secara ilegal. Dari hasil kumulatif diketahui jumlah responden yang setuju sebesar 78 responden (65%), responden yang tidak setuju sebanyak 14 responden (11,67%) sedangkan yang menjawab tidak tahu sebesar 38 reponden (23,33%).
23,33%
65% 11,67%
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 4 : Aktivitas chainsaw merusak hutan
Gambar 6. Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 4
Hasil persepsi dari keempat desa mengenai aktifitas chainsaw yang dilakukan secara ilegal tersebut sudah cukup baik, dengan ditandai hasil jawaban dominan untuk menyetujuinya. Namun hal ini agak berbeda dengan kondisi di lapangan, terutama di Desa Toraut dan Matayangan. Jika di kawasan Desa Mengkang dan Desa Lolanan sangat minim adanya aktifitas chainsaw secara ilegal, dan kalaupun ada kegiatan tersebut hanya berskala kecil dan dilakukan secara perorangan. Tetapi di Desa Toraut dan Matayangan, aktifitas chainsaw secara illegal lebih berskala besar dan
385
cenderung dilakukan terang-terangan. Jika dibandingkan dengan persepsi masyarakat hal ini sangat bertolak belakang, dan setelah dilakukan pengamatan lebih mendalam ternyata pihak yang beraktifitas dalam kawasan tersebut rata-rata bukan merupakan warga masyarakat sekitar kawasan tetapi dari daerah lain dan diperkirakan berlangsung sudah cukup lama. Aktifitas di kawasan kedua desa ini tidak lagi dilakukan secara perorangan, tetapi sudah secara kelompok dan telah dikoordinasikan oleh pihak pengusaha kayu perorangan yang berasal dari luar desa. Hal ini menjadi tugas rumah bagi pihak yang berwenang untuk menegakkan aturan yang berlaku, sehingga nantinya tidak merugikan masyarakat yang sebenarnya sudah menyadari akan keberadaan fungsi hutan di sekitar mereka. Berikutnya, poin pertanyaan mengenai aktifitas penambangan emas liar yang dilakukan dalam kawasan Taman Nasional. Dari hasil perhitungan dapat diketahui jumlah responden yang setuju sebanyak 15 responden (12,5%), yang menyatakan tidak setuju sejumlah 69 responden (57,5%) dan 36 responden (30%) yang berargumen tidak tahu.
12,50%
30%
57,50%
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 5 : Aktifitas penambangan emas liar
Gambar 7. Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 5
386 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
Jumlah responden terbanyak yang berpendapat setuju dengan adanya penambangan emas liar adalah responden yang terdapat di Desa Toraut. Hal ini dikarenakan masyarakat telah merasakan adanya keuntungan dari penambangan emas liar di wilayah ini. Penambangan emas di wilayah Desa Toraut sudah sejak lama menjadi perhatian banyak pihak, karena selain penambangan tersebut merusak keberadaan Taman Nasional juga disebabkan sering terjadinya konflik horisontal antar penambang yang menimbulkan korban yang tidak henti-hentinya. Konflik di Desa Toraut berkaitan dengan tambang ini telah menjadi isu nasional dan sampai saat ini belum didapatkan solusi nyata yang dapat memuaskan semua pihak. Poin terakhir yang ingin diketahui dari hasil interview persepsi ini adalah mengenai pelestarian keberadaan hutan. Dari hasil pengolahan diketahui jumlah responden yang setuju sebanyak 106 responden ( 88,33%) sedangkan 14 responden (11,67%) menjawab tidak tahu.
11,67% 88,33%
Setuju
Tidak tahu
Pertanyaan 6 : Keberadaan hutan perlu dijaga kelestariannya
Gambar 8. Diagram hasil wawancara tingkat persepsi poin 6
Dari jumlah ini dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran masyarakat keempat desa sudah sangat baik. Semua responden tidak ada satupun yang berpendapat tidak setuju, hanya terdapat beberapa responden yang menjawab tidak tahu, hal ini dimungkinkan karena faktor tingkat
387
pengetahuan tiap responden dan sosialisasi dari pihak berwenang yang mungkin masih kurang. C. Partisipasi Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Hutan Partisipasi memiliki pengertian suatu keikutsertaan dalam suatu kegiatan baik dalam pernyataan maupun kegiatan. Partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang bersifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa berarti bahwa keikutsertaan dan peransertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sedangkan partisipasi
yang
dimobilisasikan
memilki
arti
keikutsertaan
dan
peransertanya atas pengaruh orang lain. Kurangnya kerjasama pemerintah dan partisipasi masyarakat yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) selama ini mengakibatkan upaya konservasi terhadap sumber daya hutan yang dilaksanakan pihak yang berwenang kurang berjalan secara optimal. Menurut Sastroputro (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat diantaranya adalah keadaan sosial, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitar. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap keberadaan sumber daya hutan di wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone digunakan empat parameter pertanyaan kepada responden yang telah terpilih. Dari hasil tabulasi pada poin pertama mengenai bentuk peran masyarakat dalam menjaga sumber daya hutan di wilayahnya, didapatkan 59 responden (49,17%) akan bertindak aktif untuk mencegah
adanya
pengambilan sumber daya hutan dari pihak luar desa mereka, sedangkan 36 responden (30%) bersikap pasif, dan 25 responden (20,83%) akan bersikap negatif.
388 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
20,83% 49,17% 30%
Aktif
Pasif
Negatif
Pertanyaan 1 : Bila orang luar daerah mengambil hasil hutan
Gambar 9. Diagram hasil wawancara tingkat partisipasi poin 1
Selanjutnya parameter kedua untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat yaitu dalam pembuatan aturan dalam pengambilan hasil hutan diperoleh sejumlah 53 responden (52,5%) akan ikut berperan aktif dalam pembuatan aturan tersebut, sebanyak 44 responden (36,67%) bersikap pasif dan 13 responden (10,83%) berkeinginan tidak berperan aktif dalam pembuatan aturan ini. 10,83% 52,50% 36,67%
Aktif
Pasif
Negatif
Pertanyaan 2: Pembuatan aturan pemungutan hasil hutan
Gambar 10. Diagram hasil wawancara tingkat partisipasi poin 2
389
Pertanyaan berikutnya digunakan untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat terhadap peran aktif mereka jika diadakan pembagian bibit bernilai ekonomi untuk ditanam di kawasan hutan. Dari hasil wawancara diketahui sebanyak 101 responden (84,17%) akan aktif dalam kegiatan ini, 16 responden (13,33%) menyatakan bersikap pasif, dan hanya 3 responden (2,5%) yang menyatakan tidak akan berpartisipasi. 2,50% 13,33% 84,17%
Aktif
Pasif
Negatif
Pertanyaan 3 : Bila dibagikan bibit pohon bernilai ekonomi
Gambar 11. Diagram hasil wawancara tingkat partisipasi poin 3
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa persentase tingkat antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi sangat tinggi, hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat telah menyadari kegiatan tersebut memiliki manfaat untuk menjaga kelestarian hutan dan ekosistem yang ada divdalamnya. Kegiatan ini telah dilaksanakan di Desa Mengkang melalui program penanaman di bawah koordinasi Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Diketahui dari peninjauan di lapangan tingkat partisipasi masyarakat di desa ini sangat tinggi, hal tersebut ditandai dengan dibentuknya kelompok-kelompok tani. Kegiatan ini dimulai dari pembibitan hingga penanaman pada daerah-daerah di dalam kawasan Taman Nasional yang dianggap perlu dilakukan penghijauan kembali. Bentuk kegiatan pembibitan yang telah dilakukan masyarakat Desa Mengkang dapat dilihat pada Gambar 12.
390 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
Gambar 12. Kegiatan pembibitan yang dilaksanakan masyarakat Mengkang
di Desa
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam hal tingkat keikutsertaannya untuk menanam pohon pada lahannya yang ada di dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan, didapatkan jumlah responden yang aktif untuk hal ini sebanyak 63 responden (52,5%), yang bersikap pasif sebesar 38 responden (31,67%) dan yang memandang negatif sebanyak 19 responden (15,83%). 15,83% 52,50% 31,67%
Aktif Pasif Negatif Pertanyaan 4 : Apakah menanam pohon hutan di lahan
Gambar 13. Diagram hasil wawancara tingkat partisipasi poin 4
391
Dari hasil wawancara pada poin ini dapat diketahui ternyata tidak semua masyarakat setuju dan akan bersikap aktif terhadap penanaman pohon hutan di lahannya, hal tersebut karena sebagian masih menganggap hasil yang diperoleh secara ekonomi masih lebih kecil dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan hasil yang telah diperoleh mereka saat ini dengan menanam tanaman cepat panen seperti tanaman cengkeh dan coklat. D.
Hubungan Tingkat Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasinya berkaitan dengan Kelestarian Sumberdaya Hutan Dari tabulasi hasil wawancara mengenai tingkat persepsi masyarakat
dari keempat desa terhadap kelestarian sumber daya hutan diketahui persentase responden yang memiliki persepsi baik sebesar 70,97%. Hal ini berarti sebagian besar masyarakat telah memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari.
Berdasarkan hasil
tabulasi tingkat partisipasi masyarakat dalam menjaga sumber daya hutan diketahui persentase jumlah responden yang akan berperan aktif sejumlah 60%. Nilai ini menandakan bahwa secara umum masyarakat telah menyadari dan akan berperan aktif dalam melakukan upaya atau tindakantindakan untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumberdaya hayati hutan yang ada di sekitar desa mereka. 16,53% 12,50%
70,97%
Baik Sedang Tidak baik Tingkat persepsi masyarakat terhadap kelestarian hutan
Gambar 14. Diagram hasil wawancara keseluruhan tingkat persepsi
392 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
12,50% 60,00%
27,50%
Aktif Pasif Negatif Tingkat partisipasi masyarakat terhadap kelestarian hutan
Gambar 15. Diagram hasil wawancara keseluruhan tingkat partisipasi Gambar 15. Diagram hasil wawancara keseluruhan tingkat partisipasi
Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui hubungan antara tingkat pesepsi masyarakat pada desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki hubungan yang linier terhadap tingkat partisipasinya.
Semakin baik tingkat
persepsi masyarakat
akan
berpengaruh pada tingkat keaktifannya dalam menjaga kelestarian sumber daya hutan.
Hal ini merupakan indikasi yang positif dalam mengelola
kawasan konservasi ini selanjutnya. IV. Kesimpulan dan Saran A.
Kesimpulan
1.
Kodisi mayarakat di keempat desa sekitar Taman Nasional yang diteliti adalah didominasi oleh suku asli Mongondow, pendatang dari Minahasa, Sanger dan Bugis serta transmigran dari Jawa dan Bali sejak tahun
1970-an
(transmigran
khusus
di
Desa
Matayangan).
Karakteristiik mata pencaharian masyarakat adalah petani dan buruh tani bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan sendiri. Selain itu mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai buruh panjat kelapa, buruh petik cengkeh (biasanya dilakukan di luar desa/daerah seperti di wilayah Minahasa), tukang angkut peralatan tambang dari desa ke lokasi galian, angkut tanah yang mengandung emas dari lokasi
393
galian menuju tempat pengolahan emas serta beberapa menjadi pedagang kecil. 2.
Tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat dari keempat desa sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terhadap kelestarian sumber daya hutan didominasi persepsi baik dengan tingkat partisipasi aktif. Diketahui persentase responden yang memilki persepsi baik sebesar 70,97%, sedangkan nilai persentase tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam menjaga sumber daya hutan sejumlah 60%. Hal ini menunjukkan sebagian besar masyarakat telah memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari. Selain itu, hal ini juga menandakan bahwa secara dominan masyarakat telah menyadari dan akan berperan aktif dalam melakukan upaya atau tindakan-tindakan untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumberdaya hayati hutan yang ada di sekitar desa mereka.
3.
Hubungan antara tingkat persepsi masyarakat desa di daerah Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone secara umum berbanding lurus terhadap tingkat partisipasinya. Semakin baik tingkat persepsi masyarakat akan berpengaruh pada tingkat keaktifannya dalam menjaga kelestarian sumber daya hutan.
B. Saran Mengingat tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat desa sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang secara umum telah baik dalam menjaga kelestarian sumber daya hutan, maka perlu kiranya lebih ditingkatkan peran masyarakat sekitar dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan Taman Nasional. DAFTAR PUSTAKA Djamali, R, A. 2004. Persepsi Masyarakat Desa Pantai terhadap Kelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Probolinggo). Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Institut Pertanian Bogor (tidak diterbitkan)
394 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyrakat……. Arif Irawan & Hendra S. Mokodompit
Masqudori. 2003. Persepsi Masyarakat Sekitar Randublatung terhadap Hutan dan Pengelolaannya dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sekitarnya. Tesis. Sekolah pasca Sarjana. UNDIP (tidak diterbitkan) Ngaken, P, O, et al, 2006. Sumberdaya Hayati Hutan (Studi Kasus di Dusun Pampli, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. CIFOR. Jakarta Rahmawaty. Khoirida. Siagaan, E. 2006. Persepsi Masyarakat terhadap Upaya Konservasi di Taman Hutan Raya Bukit Barisan. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Sumatra Utara (tidak diterbitkan) Robins, Stepent. 1996. Perilaku Organisasi. PT. Prenhalindo. Jakarta Saptorini. 1989. Persepsi Siswa SMA se Kotamadya Semarang mengenai Narkotika. Laporan Penelitian. IKIP Semarang Sastroputro S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan. Alumni. Bandung Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
395
MAKALAH PRESENTASI
397
398
PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN DI INDONESIA Prof. Dr. Mohammad Na’iem Fakultas Kehutanan UGM
399
400
401
402
403
404
405
406
407
408
409
410
411
412
KEMITRAAN DALAM PENGEMBANGAN JABON Hasan Direktur Utama PT. Serayu Makmur Kayuindo
413
414
415
416
417
418
PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI MINAHASA UTARA Ir. Joppi Lengkong Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa Utara
419
420
421
422
423
424
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT Abdurrahman Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan
425
426
427
428
429
430
DISKUSI Presentasi dan Diskusi Sesi I Moderator: Prof. San Afri Awang 1.
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman di Indonesia (Prof. Dr. Ir. Moh. Na’iem, M.Agr.Sc.) Hutan tanaman penting karena hasilnya dapat diperkirakan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya hutan terutama kayu. Hutan prospektif adalah hutan yang produktif, sehat dan bisa memberikan manfaat yang optimal. Upaya silvikultur yang baik diharapkan dapat meningkatkan volume produksi kayu. Strategi peningkatan produktivitas hutan dimulai dari tingkat genetik. Silin memanfaatkan kombinasi manipulasi lingkungan, manajemen pengendalian hama secara instentif dan manipulasi genetik. Beberapa jenis yang sudah diterapkan uji dan manipulasi genetik antara lain jati, shorea, dan pinus. Pembangunan hutan tanaman perlu untuk mendukung perekonomian negara, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. 2. Prospek Pengembangan Jabon untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman (Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For. Sc.) Sumberdaya hutan pernah menjadi tulang punggung perekonomian negara, potensi besar pasar ekspor kayu. Usaha kayu memiliki efek multiplier dalam bidang ekonomi dalam berbagai bentuk produk. Jabon adalah jenis cepat tumbuh, secara alami memiliki batang cenderung lurus dan multiguna. Terdapat dua jenis jabon yang merupakan jenis asli Indonesia yaitu jabon putih dan jabon merah. Walaupun mudah tumbuh diperlukan pemeliharaan intensif agar pada akhir daur diperoleh hasil panen yang maksimal. Jabon jenis pionir unggul dapat menjadi pilihan jenis untuk pembangunan hutan rakyat, perlu dukungan riset dan sosialisasi budidaya jabon. Diskusi Moderator: Hasil riset kehutanan perlu disosialisasikan secara lebih luas kepada masyarakat.
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 431
1. Pak Dadang (TNI AL) TNI AL membina Kelompok Masyarakat Pengawas yang anggotanya kelompok petani dan nelayan. Masyarakat kurang informasi tentang penanaman / budidaya, saran untuk melakukan sosialisasi langsung di lapangan. Peluang perusahaan kayu dan pasar kayu untuk menampung hasil kayu. Payung hukum yang jelas (surat dan administrasi) peredaran dan pemasaran kayu. 2. Pak Kim Young Cheol (Grup Korindo) Korindo Group Sedang mengembangkan HTI di Kalimantan, kayu pertukangan dan kayu lapis jenis Acacia mangium. Beliau ingin mengembangkan HTI jati di Sumbawa. Perusahaan kayu lapis mengalami kekurangan bahan baku sehingga terancam tutup, bagaimana dengan potensi jabon merah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut (dalam jangka waktu 5 tahun ke depan). 3. Pak Adi Susmianto (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi) Pembangunan hutan rakyat untuk mengatasi konflik, masuk dalam program rehabilitasi, jika bisa menjadi salah satu solusi konflik maka perlu melibatkan masyarakat Apakah teknologi transgenik sudah bisa diterapkan pada tanaman hutan? Riset pemuliaan sudah cukup banyak, namun masih kurang di bidang penanggulangan hama penyakit. Bagaimana mempercepat riset bidang hama penyakit? Jabon yang ditanam di lahan gambut, pada tahun ke empat pohon tersebut mati. 4. Pak Nyoman (Pusdalbanghut) Bagaimana sifat dan keunggulan kayu jabon? Apakah sudah ada insentif bagi perusahaan yang menerapkan silin? Apakah yang dimaksud dengan sistem multisilvikultur? Bagaimana perkembangan informasi kloning di bidang kehutanan? 5. Pak Didik Suharjito Klarifikasi perbandingan standing stock antara jati dan meranti di dalam makalah, apakah pertumbuhan jati lebih cepat daripada meranti?
432 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
6. Pak Kristian Mairi Prospek pengembangan jenis cempaka di Sulut, sosialisasi tentang tanaman hutan cukup gencar, program sentuh tanah sentuh air dan gerakan penanaman cempaka dan jabon. Bagaimana dengan harga jual kayu yang nyata di pasar? Berapa luas minimal lahan yang diperlukan untuk membangun industri kayu dan modal awal untuk investasi? Bagaimana dengan keberlangsungan pasar? Jaminan keamanan pemasaran kayu? 7. Pak Mance Sumolang (BP4K Tomohon) Informasi teknik budidaya jabon karena minat masyarakat cukup besar, namun dihadapkan pada pertanyaan saat pemasaran kayu (siapa yang akan membeli kayu tersebut). Masyarakat Tomohon sedang mengembangkan pohon Trema spp., walaupun bukan jenis unggulan yang banyak diteliti namun potensinya cukup menjanjikan. Moderator: filling gap dari antusias masyarakat di Sulut untuk menanam dan info dari pak Kim tentang kebutuhan bahan baku Tanggapan Pak Naiem 1. Respon untuk pernyataan dari Pak Dadang, hamparan pantai dengan tanah berpasir dapat ditanami jenis cemara udang dan nyamplung (pembelajaran dari Kebumen), manfaat nyata yang dirasakan selain perlindungan dari resiko bencana, hasil pertanian meningkat karena salinitas tanah menurun. 2. Untuk Pak Kim: hasil dari pemuliaan jenis bisa bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Jati kurang sesuai dikembangkan di Kalimantan Tengah karena kurang sesuai dengan faktor pendukung tumbuh. 3. Untuk Pak Adi: implementasi silin terbukti mengurangi akses masyarakat ke dalam kawasan hutan. Perlu analisis resiko sebelum memulai investasi. Insentif silin dalam bentuk aturan dari pemerintah namun pelaksanaannya belum konsisten. Multisistem silvikultur bukan sistem silvikultur tapi merupakan manajemen silvikultur dalam satu bentang lahan diterapkan beberapa sistem silvikultur. Kloning di kehutanan
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 433
belum diperlukan selama sumberdaya genetik berlimpah dan bisa diterapkan cara vegetatif. 4. Pak didik: riap hutan alam sangat kecil dibandingkan hutan tanaman (jati), sehingga standing stok jati bisa lebih tinggi dari shorea 5. Pak Nyoman: silin bisa diterapkan dimana saja termasuk hutan rakyat Tanggapan Pak Irdika 1. Pak Dadang: nelayan menanam pohon bukan untuk memenuhi pendapatan sehari-hari, namun untuk lompatan ekonomi. Biotrop menyediakan pelatihan budidaya lain. 2. Pak Kim: pemanfaatan serasah pohon saat land clearing sebagai pupuk kompos (penghematan pemupukan), perlu memperhatikan drainase di Kalimantan. 3. Jabon tidak bisa ditanam di lahan gambut (riset di Riau). Jenis ‘gempol’ sejenis jabon yang bisa ditanam di lahan tergenang. 4. Pak Kris: pemasaran tidak bisa dilepas begitu saja, jika berkooperasi untuk meningkatkan bargaining power, tidak ada kerugian menanam pohon. Moderator: bagaimana hasil riset diterapkan secara nyata di lapangan untuk menjawab permasalahan yang ada, termasuk menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui penyuluhan. Menanam pohon memiliki banyak manfaat dari segi lingkungan dan ekonomi. Presentasi dan Diskusi Sesi II Moderator: Dr. Martina Langi 1. Intensif Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman (Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF.) Tujuan silvikultur adalah meningkatkan manfaat hutan. Pilar intensif silvikultur meliputi pemuliaan tanaman dan genetik, manipulasi atribut lingkungan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanfaatan ruang. Peran litbang kehutanan dalam intensif silvikultur antara lain pembangunan sumber benih bersertifikat.
434 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
2. Kemitraan dalam Pengembangan Jabon Hulu-Hilir (Pak Hasan) Berbagi pengalaman tentang usaha penanaman jabon untuk kayu lapis, sistem penanaman secara tumpang sari dengan jenis tanaman sengon, jabon kayu afrika, gmelina dan kayu rakyat lainnya. Penanaman juga melibatkan masyarakat dengan cara binaan dan kemitraan dengan sistem bagi hasil 40% pemilik lahan dan 60% PT. Serayu. Pengusahaan kayu PT. Serayu juga melakukan pembinaan petani hutan dan sosialisasi keuntungan investasi kayu untuk jaminan masa depan. 3. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Pak Abdurrahman) IUPHHK-HTR seluas 0,16 juta ha luasannya jauh dibandingkan IUPHHK hutan alam padahal produksi kayu dari hutan alam terus menurun. HTR dibangun oleh masyarakat dengan penerapan sistem silvikultur sehingga produktivitasnya setara dengan hutan produksi. Kebijakan HTR meliputi aspek legal, resolusi konflik, akses ke lembaga keuangan dan akses ke pasar. HTR boleh diusahakan baik oleh perorangan maupun koperasi. Tanaman HTR adalah unggulan lokal dan jenis cepat tumbuh bernilai ekonomi tinggi. IUPHHK-HTR di Sulut 28.104 Ha di 6 kabupaten (2.408 unit, jumlahnya banyak karena ijin perorangan). 4. Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas (Arif Irawan S,Si; Dr. Mahfudz; Dr. Budi Leksono) Benih unggul dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor fisiologis dan faktor fisik. Stategi penyiapan benih unggul di BPK Manado adalah pembangunan demplot sumber benih jenis unggulan, penunjukan tegakan sumber benih. Diskusi Pertanyaan: 1. Pak Didik (IPB) Klarifikasi bagi hasil antara petani dan PT. Serayu, pembagian tersebut dari hasil panen atau dari keuntungan. Apakah petani yang bekerja mendapatkan upah? Posisi petani hanya menyewakan lahan? Perkembangan HTR sangat lambat, apa kendala yang dihadapi?
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 435
2. Pak Yopi Lengkong (Kepala Dishut Minahasa Utara) Apa jenis yang paling sesuai dengan usaha plywood? Banyak tanaman sengon, jabon, gmelina di Minut. 3. Pak James (Desa Airbanua, Talise) Bagaimana pembangunan hutan tanaman rakyat di pulau kecil agar tidak mengganggu lingkungan? Tanggapan: 1. Pak Hasan Dalam sistem kemitraan dimana lahan dimiliki oleh masyarakat, bagi hasil berdasarkan keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dipotong biaya pemanenan dan pengangkutan. Pegusahaan kayu PT. Serayu memperhatikan kondisi lingkungan (jenis tanah, elevasi, topografi, kesuburan). Sistem penanaman dilakukan secara multikultur untuk menghindari serangan hama penyakit. 2. Pak Bambang Trihartono Setiap tahun ada pembangunan demplot oleh Litbang kehutanan, pembangunan HTR dapat difasilitasi oleh BPK Manado dan BPDAS Tondano, sehingga penerapan intensif silvikultur tidak mengancam keberadaan pulau kecil. 3. Pak Abdurrahman Ada tiga fase pembangunan HTR yaitu pencadangan, penerbitan ijin, dan penanaman. Kendala yang dihadapi lebih banyak pada tahap penerbitan ijin yang prosesnya cukup rumit dan memakan waktu (permasalahan non teknis). Moderator: Pembangunan HTR dengan melibatkan masyarakat sangat memungkinkan, didukung oleh kebijakan dan iptek kehutanan.
436 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Presentasi dan Diskusi Sesi III Moderator: Dr. Ir. John Tasirin, MSc.F. 1. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kab. Minahasa Utara (Ir. Jopie Lengkong) Kabupaten Minahasa Utara luas daratan dan laut hampir sama, luas HTR 7.950 ha di 4 lokasi, diterbitkan ijin 5.576,25 ha. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan HTR di Minut adalah sebagian lokasi tidak sesuai dengan peta IUPHHK-HTR, sebagian anggota KTH tidak menggarap di lokasi IUPHHK-HTR, dukungan dana untuk perencanaan, monitoring dan pelaporan tidak dialokasikan pada Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa Utara. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah gmelina dan sengon. 2. Pengembangan HKm, HTR, HD di Pulau Jawa (Dr. Didik Suharjito) Salah satu tahapan yang penting adalah kejelasan hak penguasaan lahan, pembangunan infrastruktur untuk mempermudah akses pasar, insentif harga dari pihak swasta dan penguatan kelembagaan petani. Keberhasilan pembangunan hutan oleh petani sudah mendapatkan sertifikat ekolabel. Pengelolaan hutan turut memutar roda ekonomi masyarakat dengan berbagai kesempatan kerja yang muncul. Tak lupa diperlukan peran para pihak dalam fasilitasi pembangunan hutan (Dinas Kehutanan, Penyuluh, Perguruan Tinggi, dan LSM). 3. Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan (Yoppie Hidayanto) Burung Indonesia didirikan berdasarkan keragaman kekayaan jenis burung di Indonesia terutama jenis endemik. Tidak hanya bergerak di kawasan konservasi namun juga di kawasan produksi. Tahun 2007 muncul kebijakan yang memayungi IUPHHK-RE, memberikan ruang baru bagi Burung Indonesia. Restorasi ekosistem penting untuk diimplementasikan namun perlu dukungan kebijakan dan penelitian.
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 437
Diskusi Pertanyaan: 1. Pak Nyoman Bagaimana pemasaran hasil dari hutan rakyat di Minahasa Utara? Bagaimana korelasi tingkat kekayaan dengan pilihan menanam kayu. 2. …… Akses menuju lahan hutan rakyat, apakah ada hasil kajian berapa jarak terjauh yang masih bisa diusahakan oleh petani untuk membangun hutan rakyat? 3. Ibu Ning (BPTH Papua) Jenis- jenis kayu dalam industri penggergajian, produk apa saja yang bisa dihasilkan selain kotak kayu? Pada umur berapa bisa dipanen? Tanggapan: 1. Pak Jopie HTR baru mulai ditanam tahun 2011, baru mencapai 200 ha, ada peluang investasi perusahaan kayu lapis di Minahasa Utara dan lokasi yang sangat strategis di antara kota Manado dan kota Bitung. Budaya tanam kayu merupakan hal baru bagi masyarakat yang terbiasa menanam kelapa dan cengkeh. 2. Pak Didik Tingkat kekayaan terkait modal yang dimiliki untuk mengusahakan income lain selain dari kayu. Selain mahoni, banyak jenis untuk dikembangkan diantaranya jati. Aksesibilitas lokasi bersifat relatif, akses yang mudah akan meningkatkan kemauan petani untuk mengelola. Hasil kayu rakyat banyak ditujukan untuk penggunaan mebel, pelet, dan berbagai produk lain, tidak hanya dipasarkan di dalam negeri namun juga mencapai luar negeri. Sengon dapat dipanen mulai umur 4-5 tahun.
438 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Agenda Kegiatan Seminar Hasil-Hasil Penelitian 23-24 Oktober 2012 Hari Selasa, 23 Oktober 2012 WAKTU
ACARA
08.00-08.30
Registrasi
08.30-08.35
Pembacaan Doa
08.35-08.40
Laporan Penyelenggaraan
08.40-08.55
Sambutan Direktur Biotrop
08.55-09.10
Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan
09.10-09.40
Sambutan dan Pembukaan oleh Gubenur Sulawesi Utara
09.40-11.00
Field Trip (Kunjungan Ke Persemaian Permanen dan Penangkaran Flora Fauna)
Presentasi dan Diskusi Sesi I 11.00-11.15
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman di Indonesia Oleh : Prof. Dr. Ir. Moh. Naiem, M.Agr.Sc (UGM)
11.15-11.30
Prospek Pengembangan Jabon untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman Oleh : Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc (Seameo Biotrop)
11.30-12.00
Diskusi Sesi II
12.00-13.00
ISHOMA
Moderator : Prof.Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc (Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Pemberdayaan masyarakat)
Panitia
Presentasi dan Diskusi Sesi II 13.00-13.15
Intensif Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman Oleh : Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF ( Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan)
13.15-13.30
Kemitraan dalam Pengembangan Jabon (Hulu-Hilir) Oleh : Hasan (Direktur Utama PT. Serayu Makmur Kayuindo)
13.30-13.45
Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Oleh : Ir. Abdurrahman (Ditjen Bina Usaha Kehutanan)
13.45-14.00
Penyiapan Benih Unggul untuk Hutan Berkualitas Oleh : Arif Irawan, S.Si dan Dr. Ir. Mahfudz, MP (BPK Manado)
14.00-15.00
Diskusi Sesi II
Moderator : Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc (UNSRAT)
Presentasi dan Diskusi Sesi III
15.00-15.15
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Minahasa Utara Oleh : Ir. Joppi Lengkong (Kepala Dishut Kab. Minahasa Utara )
Moderator : Dr. Ir. John Tasirin, M.Sc.F (UNSRAT)
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 439
15.15-15.30
Pengembangan HKm, HTR, HD dan HR: Belajar dari Pengalaman di Jawa Oleh : Dr. Ir. Didik Suharjito, MS (IPB)
15.30-15.45
Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Oleh: Yoppie Hidayanto (Burung Indonesia)
15.45-16.15
Diskusi Sesi III
16.15-16.30
Pembacaan Rumusan
Tim Perumus
16.30-
Penutupan Acara Hari Ke-1
Panitia
Rabu, 24 Oktober 2012 WAKTU 08.00-08.30
ACARA Registrasi
PETUGAS Panita/MC
Presentasi dan Diskusi Sesi I
08.30-08.45
Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan di Sulawesi Utara Oleh : Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado)
08.45-09.00
Strategi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua : Konsep Sosial Budaya Masyarakat Oleh : Susan Trida Salosa, S.Hut, MA (Peneliti Muda BPK Manokwari)
09.00-09.15
Potensi Mangrove di Desa Air Banua dan Ragam Potensi Pemanfaatanya Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh : Ady Suryawan, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado)
09.15-09.30
Kajian Invasi Tumbuhan pada Lahan Basah Taman Nasional Wasur, Merauke Oleh : Sarah Yuliana, S.Hut, M.Si (Peneliti Muda BPK Manokwari)
09.30-10.30
Diskusi Sesi II
10.30-10.45
Rehat Kopi
Moderator : Ir. Harisetijono, M.Sc
Panitia
Presentasi dan Diskusi Sesi II 10.45-11.00
Mitigasi Bencana Sedimen Oleh : Hasnawir, S.Hut, MSc, P.hd (Peneliti Muda BPK Makassar)
11.00-11.15
Pendayagunaan Sagu Baruk sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan dan Pakan Ternak Oleh: Ir. Lay Abner, MS (Peneliti Utama Balai Penelitian Tanaman Palma)
11.15-11.30
Kekayaan Pelestarian dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua Oleh : Krisma Lekitoo, S.Hut., MSc. ( Peneliti Pertama BPK Manokwari)
440 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
Moderator : Ir. Henry Silka, M.Si.
11.30-11.45
Morfologi dan Preferensi Pakan Sampiri (Eos histrio) di Penangkaran Oleh : Anita Mayasari, S.Hut (Peneliti BPK Manado)
11.45-12.45
Diskusi Sesi II
12.45-13.45
ISHOMA
Panitia
Presentasi dan Diskusi Sesi III
13.45-14.00
Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan Keberadaan Pohon Inti dan Kondisi Permudaannya (Studi kasus di Areal Kerja IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua Oleh : Baharinawati Wilhan Hastanti, S.Sos, MSc. ( Peneliti Muda BPK Manokwari)
14.00-14.15
Analisis Ekonomi Tanaman Kayu dalam Lokasi Pertanaman Kelapa di Sulawesi Utara Oleh : Ir. La Ode Asir, M.Si (Peneliti Muda BPK Manado)
14.15-14.30
Kesesuaian Media Sapih terhadap Persentase Hidup Semai Jabon Merah (Anthocephallus Macrophyllus (Roxb.) Havil Oleh : Hanif Nurul Hidayah, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado)
14.30-14.45
Sifat Fisis Mekanis Kayu Pakoba dan Penggunaannya sebagai Jenis Endemik Lokal Sulawesi Utara Oleh : Lis Nurani, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado)
14.45-14.45
Diskusi Sesi III
14.45-16.00
Rehat Kopi
Panitia
16.00-16.15
Pembacaan Rumusan
Panitia
16.15-
Penutupan
Panitia
Moderator : Dr. Charles Kaunang
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 441
DAFTAR PESERTA NO
NAMA
INSTANSI
1
SH. Sarundajang
Gubernur Provinsi Sulawesi Utara
2
Mahfudz
Balai Penelitian Kehutanan Manado
3
Kim Young Cheol
Korindo Group
4
Muh. Naiem
Universitas Gadjah Mada
5
Bambang Purwantara
SEAMEO BIOTROP
6
Irdika Mansur
SEAMEO BIOTROP
7
Herry P.
SEAMEO BIOTROP
8
Ichraeni
Balai Penelitian Kehutanan Manado
9
Nyoman Yuliarsana
Pusat Pengendalian dan Pembangunan Kehutanan Regional IV
10
Edy S.
Balai Taman Nasional Bunaken
11
Didik Suharjito
Institut Pertanian Bogor
12
Yoppy Hidayanto
Burung Indonesia
13
Adi Susmianto
Pusat Litbang Konservasi dan rehabilitasi
14
Iman Santoso
Badan Litbang Kehutanan
15
San Afri Awang
Kementerian Kehutanan
16
Herry Rotinsulu
Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
17
A. Rahman
Direktorat Bina Usaha Kehutanan
18
Sudiyono
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara
19
Farhanah
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado
20
Hasan
Dirut. PT. Serayu Makmur KayuIndo
21
Endro S.
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
22
Bismark
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
23
Abner Lay
Balai Penelitian Palma Manado
24
Nolli Barri
Balai Penelitian Palma Manado
442 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
NO
NAMA
INSTANSI
25
Noldi Sulu
TVRI Manado
26
Micash
TVRI Manado
27
Wahyu Kuncoro
Balai Pengelolaan DAS Tondano
28
Agnitje R.
Universitas Sam Ratulangi
29
Yenata Novitasari
Balai Pemantapan Kawasan HutanWil. XV Gorontalo
30
Ferly Tumewan
Dinas Kehutanan Sulawesi Utara
31
Elisabeth R.
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Papua
32
Yuyun Saeful Uyun
Balai Taman Nasional Bunaken
33
Clara R. Irawati
Balai Taman Nasional Bunaken
34
Yenny R.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado
35
M. Situmea
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
36
Aswady Wuwu
Dinas Pertanian dan Kehutanan Bitung
37
Andi Baso Ikbal
Balai Penelitian Kehutanan Manado
38
F. Reni N
Balai Pengelolaan DAS Tondano
39
Roy Pandelangi
Dinas Kehutanan Kab. Minahasa Utara
40
Baharinawati
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
41
Pretty M.
PT. Newmont
42
Tugalan
Balai Pengelolaan DAS Ake Malamo
43
Muh. abidin
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
44
Harisetijono
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
45
Sukmarayu P. Gedoan
Universitas Manado
46
Ning Sri astuti
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Maluku Papua
47
Henry Silka
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
48
Mikke Trutce
Balai Penelitian Kehutanan Manado
49
Nurlita Indah Wahyuni
Balai Penelitian Kehutanan Manado
50
Angel Lenak
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 443
NO
NAMA
INSTANSI
51
Kusmayanti
Balai Taman Nasional Bunaken
52
Dadang K.
Lantamal VIII
53
Anita Masania
Kepala Lingkungan II Kima Atas
54
Amran Damal
Dinas Kehutanan Halmahera Barat
55
Nani Nurcahyawati
Balai Pengelolaan DAS Tondano
56
Valentino A.B.
PT. Sarana Kayu
57
Murkon
PT. Sarana Kayu
58
Ribka G. Montung
Kel. Kima Atas
59
Mochlis
Balai Besar Penelitian Dipterocarpa Samarinda
60
Suyanto
Balai Besar Penelitian Dipterocarpa Samarinda
61
Eva Betty Sinaga
Balai Penelitian Kehutanan Manado
62
Malombasi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
63
Santi Azis
Badan Koordinasi Penyuluh Gorontalo
64
Roviyana V. Hulurati
Badan Koordinasi Penyuluh Gorontalo
65
Amalia Mopangga
Badan Koordinasi Penyuluh Gorontalo
66
Elmo Seran
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XIV Palu
67
Musri Tade
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XIV Palu
68
Jonly Jemy K.
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XIV Palu
69
Herry Janto, S.
CV. Cendana Mas Sultra
70
Paimin
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
71
David Sompie
PT. Newmont Minahasa Raya
72
Hard Pollo
Universitas Sam Ratulangi
73
Budi Leksono
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
444 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
NO
NAMA
INSTANSI
74
Jimmy Rondonuwu
Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa Utara
75
Rahman K.
Direktorat Bina Usaha Kehutanan
76
James Oleh
Kelompok Tani Air Banua Minahasa utara
77
Boas Ganap
Kelompok Tani Air Banua Minahasa utara
78
Harwiyaddin Kama
Balai Penelitian Kehutanan Manado
79
Lastri V. Situmorang
Balai Penelitian Kehutanan Manado
80
Afandi Ahmad
Balai Penelitian Kehutanan Manado
81
W. kuswanda
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
82
Bambang S.
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
83
Marsisi Kadengkang
Desa Mengkang
84
Steve Tandayu
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sulawesi Utara
85
Hetty T
Manado Post
86
Vidi Widianto
Bina Usaha Hutan Tanaman
87
Muhajir
Balai Pengelolaan DAS Tondano
88
Wahyu
Balai Pengelolaan DAS Tondano
89
Muhammad Ansar
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi
90
Eano Batang
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi
91
Abraham
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi
92
Rani Ramli
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi
93
Yulia M.
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi
94
Lis Nurrani
Balai Penelitian Kehutanan Manado
95
Verinius Imanuel
Balai Pengelolaan DAS Tondano
96
Safrudin
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XIV Palu
97
Hasnawir
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
98
Baharuddin
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 445
NO
NAMA
INSTANSI
99
Novita Losu
Balai Penelitian Kehutanan Manado
100
Ady Suryawan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
101
Susan T. Salosa
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
102
Marthen D.
Balai Pengelolaan DAS Tondano
103
Iwan BP
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
104
Yermias Kafiar
Balai Penelitian Kehutanan manado
105
Krisma Lekitoo
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
106
Melkianus S. Diwi
Balai Penelitian Kehutanan manado
107
Verico Ngangi
PT. Tirta Investama
108
Rudy Suryadi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
109
Henry S.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
110
Ishak Ismail
Balai Penelitian Kehutanan Manado
111
Fandi
Balai Pengelolaan DAS Tondano
112
Supratman Tabba
Balai Penelitian Kehutanan Manado
113
Isdomo Yuliantoro
Balai Penelitian Kehutanan Manado
114
Arif Irawan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
115
Hanif Nurul Hidayah
Balai Penelitian Kehutanan Manado
116
Syahrul
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
117
Charles L. Kaunang
Universitas Sam Ratulangi
118
Endang Pudjihastuti
Universitas Sam Ratulangi
119
L.R. Ngangi
Universitas Sam Ratulangi
120
Astuti
Balai Penelitian Palma Manado
121
Mantje J. Sumolang
BP4K Tomohon
122
Daniel Palilu
Dinas Kehutanan Bolaang Mongondow Utara
123
Priyono
PT. Serayu Makmur Kayuindo
124
Moody C. Karundeng
Balai Penelitian Kehutanan Manado
446 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012
NO
NAMA
INSTANSI
125
Rinna Mamonto
Balai Penelitian Kehutanan Manado
126
Syamsir Shabri
Balai Penelitian Kehutanan Manado
127
Jakfari
BP4K Tomohon
128
Jaffray Mongko
BP4K Tomohon
129
Ruddy Mangka
BP4K Tomohon
130
Jantje Mengkey
BP4K Tomohon
131
Kristian Mairi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
132
Karlie Wurangian
Balai Pengelolaan DAS Tondano
133
Gidzon Mandova
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
134
Hatoni
Direktorat Bina Usaha Kehutanan
135
Claudia Canter
PT. Newmont Minahasa Raya
136
Robert L.
Manado Post
137 111 138 111 111 139 137 140
Herbeli Nures
Balai Pengelolaan DAS Tondano
Rinto H.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Lulus Turbianti
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Hendra S. Mokodompit
Balai Penelitian Kehutanan Manado
141
Obed Edom
Balai Penelitian Kehutanan Manado
142
Daun Leppe
Purna Tugas Balai Penelitian Kehutanan Manado
146
Yopi Golioth
YLP2S Manado
147
Frety Kaunang
Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango
148
Anna Witasari
ITTO CFM PD 001/10 Rev.2 (F)
149
Yenny P.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil. VI Manado
150
Lusje Anton
Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulut
151
Andri
Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulut
152
Yusuf
Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulut
153
M. Farid Fahmi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 | 447
NO
NAMA
INSTANSI
154
Agus Purwato
Balai Penelitian Kehutanan Manado
155
Sarah Yuliana
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
156
Arif Hasan
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
157
Esther Randa Bunga
Balai Penelitian Kehutanan Manado
158
Viola
Dinas Kehutanan Minahasa Selatan
159
John Tasirin
Universitas Sam Ratulangi
160
Harry Hilser
Selamatkan Yaki Manado
161
Jurri Lezakar
Dinas Kehutanan Minahasa Utara
162
Meijerf M.B.
Dinas Kehutanan Minahasa Utara
163
Ani Mariani
Balai Penelitian Kehutanan Manado
164
M.A. Langi
Universitas Sam Ratulangi
165
Sulastri
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
166
Ifa Zanty W.
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
167
Ferry Ferdinand
Balai Penelitian Kehutanan Manado
168
Ruli Said
Balai Penelitian Kehutanan Manado
169
Edwin L.
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
170
Venny Trides
Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulut
171
La Ode Asir
Balai Penelitian Kehutanan Manado
172
Jafaruddin
Balai Penelitian Kehutanan Manado
173
Sumarno N. Patandi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
174
Erwin Hardika Putra
Balai Pengelolaan DAS Tondano
175
Bambang Subatin
Balai Penelitian Kehutanan Manado
176
Anita Mayasari
Balai Penelitian Kehutanan Manado
177
Rombongan Gubernur Sulawesi Utara
± 15 orang
448 | Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012