ISBN : 978-979-028-417-3
Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2011
Semnastika Unesa 2011
“Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif” Surabaya, 22 Oktober 2011
Jurusan Matematika Kampus Ketintang Surabaya Telp : (031) 8297677 Email :
[email protected] Website : http://fmipa.unesa.ac.id, http://semnastikaunesa.wordpress.com
Universitas Negeri Surabaya Diterbitkan Oleh: Unesa University Press 2011
i
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
Penerbit: Unesa University Press – 2011 vi, 32 hal, 369 hal, 307 hal ISBN : 978-979-028-417-3
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Penerbit, sebagian atau selurhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotoprint, mikrofilm dan sebagainya.
ii
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
EDITOR Manuharawati Yuni Yamasari Asmunin Affiati Oktaviarina Budi Priyo Prawoto
iii
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Kata Pengantar
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas petunjuk dan rahmat- Nya, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika telah selesai disusun. Prosiding ini antara lain memuat (a)makalah utama, (b) kumpulan makalah pendidikan matematik, (c) kumpulan makalah matematika dari Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika yang diselenggarakan pada tanggal 22 Oktober 2011 oleh jurusan Matematika FMIPA Unesa. Kami menyadari bahwa prosiding ini dapat diwujudkan berkat kerjasama, partisipasi, dan bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan prosiding ini dan terselenggaranya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan pada prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat baik untuk pendidik matematika, matematikawan, pemerhati pendidikan matematika dan pengguna matematika serta pembaca untuk saling belajar dan bertukar ilmu pengetahuan.
Surabaya, 22 Oktober 2011 Tim Editor
iv
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................ iv Daftar Isi ........................................................................................... v Makalah Utama ............................................................................... vi Makalah Pendidikan Matematika................................................vii Makalah Matematika....................................................................x
v
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Makalah Utama
Aplikasi Graf pada Penetapan Frekuensi .......................................................... 1 A. N. M. Salman ................................................................................................. 1 Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif melalui PMRI ........................................................................................................................ 8 Siti M. Amin ....................................................................................................... 8 Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah (JUCAMA) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa ........... 14 Tatag Yuli Eko Siswono................................................................................... 14
vi
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Aplikasi Graf pada Penetapan Frekuensi A. N. M. Salman Kelompok Keahlian Matematika Kombinatorika, FMIPA-ITB Jalan Ganesa 10 Bandung 40132, Indonesia Email:
[email protected] Goresan garis dan titik berwarna. Rangkai fakta menuju model sederhana. Atasi interferensi dengan strategi nyata. Frekuensi terdistribusi dalam keoptimalan logika.
Penggunaan alat komunikasi tanpa kabel (wireless communication), seperti radio, televisi, dan telepon seluler, meningkat cepat pada beberapa tahun terakhir dan diperkirakan pada tahun-tahun mendatang akan tetap terjadi peningkatan bahkan akan sangat tinggi. Untuk itu, diperlukan kemampuan yang baik dalam manajemen penetapan frekuensi (frequency assignment), dengan tujuan agar terjadinya interferensi dapat dihilangkan, dan dengan menggunakan selang frekuensi seminimal mungkin. Tingkat dari interferensi bergantung kepada beberapa hal, antara lain jarak antara satu pemancar (transmitter) dengan pemancar yang lain, posisi geografis dari pemancar, kekuatan dari sinyal, dan kondisi cuaca. Suatu saluran komunikasi terdiri dari satu pemancar dan satu (atau lebih) penerima (receiver). Pemancar membangun dan memancarkan gelombang elektromagnetik yang diterima oleh penerima. Gelombang elektromagnetik memiliki: frekuensi, amplitudo, dan fase. Dua gelombang yang memiliki frekuensi yang sama, bergantung kepada fase dari dua gelombang tersebut, akan saling berinterferensi. Dalam hal ini, dua gelombang akan saling memperlemah satu dengan yang lain. Karena itu, diperlukan usaha untuk mengatur perbedaan frekuensi dari beberapa saluran komunikasi yang dipancarkan pada suatu daerah yang sama. Masalah yang muncul adalah bagaimana mengatur frekuensi yang digunakan sedemikian rupa sehingga selang frekuensi yang terpakai dapat dibuat seminimal mungkin dan interferensi dapat dijaga pada tingkat yang dapat ditoleransi. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu dikembangkan metode dan perangkat lunak untuk penetapan frekuensi yang baik dan ekonomis pada beberapa pemancar radio. ‘Baik’ diartikan tidak terjadi interferensi, dan ‘ekonomis’ diartikan selang frekuensi yang digunakan harus seminimal mungkin. Suatu graf sederhana dapat dipandang sebagai sebuah sistem (V,E) dengan V adalah himpunan tak-kosong dan E adalah himpunan yang memuat beberapa pasangan tak-terurut atau u , v disingkat uv, dengan u , v V dan u v. Unsur di V disebut titik dan unsur di E disebut garis. Sebagian masalah manajemen penetapan frekuensi dapat dimodelkan sebagai masalah pewarnaan graf (graph coloring). Pemancar dimodelkan sebagai titik pada graf. Sedangkan interferensi yang mungkin terjadi di antara dua pemancar dimodelkan sebagai garis dari dua titik yang berkorespondensi. Pewarnaan graf klasik adalah pemetaan dari himpunan titik graf ke himpunan warna (yang biasanya diwakili oleh subhimpunan bilangan asli) dengan syarat bahwa titik yang bertetangga harus menerima warna yang berbeda. Banyak warna minimum yang diperlukan agar ada pewarnaan graf G disebut bilangan kromatik, dilambangkan dengan (G ) . Masalah bagaimana mengatur penetapan frekuensi pada pemancar-pemancar sehingga interferensi dapat dijaga pada ‘tingkat yang dapat diterima’ telah melahirkan variasi pada pewarnaan graf. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dari definisi yang
1
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
diberikan kepada: interferensi, saluran frekuensi yang dianggap sama, dan tingkat interferensi yang dapat diterima (lihat [H80], [L99]). Sebagian besar dari variasi ini sangatlah sulit untuk diselesaikan (NP-hard problem). Karena itu, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah mengembangkan heuristic algorithms untuk mendapatkan solusi yang ‘cukup baik’ secara efisien (yakni dalam polinomial time). Pendekatan lain adalah pegembangan teori untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah penetapan frekuensi. Pendekatan ketiga yang dilakukan adalah penentuan kelas-kelas khusus dari masalah umum sehingga solusi dari masalah tersebut pada kelas-kelas yang ditentukan dapat diselesaikan secara polinomial. Dalam [BFGW03] Broersma dkk. memberikan suatu model umum yang dapat digunakan untuk memodelkan beberapa masalah pewarnaan. Model umum tersebut sebagai berikut. Diberikan graf G1 dan G2 dengan sifat bahwa G1 adalah subgraf pembangun dari G2 . Tentukan pewarnaan pada G2
yang memenuhi
batasan jenis 1 pada G1 , dan batasan jenis 2 pada G2 . Banyak masalah pewarnaan, yang merupakan model dari masalah manajemen penetapan frekuensi, mengikuti model umum di atas, diantaranya: distance-2 coloring problem, radio coloring problem, radio labeling problem, dan -backbone coloring problem [B03]. Distance-2 coloring adalah pewarnaan titik dari graf sehingga titik-titik yang berjarak 1 atau 2 memperoleh warna berbeda. Radio coloring adalah pewarnaan titik dari graf sehingga titik-titik yang bertetangga memperoleh warna dengan selisih tidak kurang daripada 2 dan titik-titik yang berjarak 2 memperoleh warna berbeda. Radio labeling adalah pewarnaan titik dari graf sehingga setiap titik memperoleh warna berbeda dan titik-titik yang bertetangga memperoleh warna dengan selisih tidak kurang daripada 2. Sejumlah makalah yang memuat penelitian tentang bentuk-bentuk pewarnaan di atas telah dihasilkan. Hasil-hasil yang terkait dengan distance-2 coloring problem di antaranya dapat dibaca pada [BBGH01a] dan [BBGH01b]. Pada [BKTL00], [CK96], [FKK01], dan [FNPS01] dapat ditemukan hasil penelitian tentang radio coloring problem. Sedangkan hasil penelitian mengenai radio labeling problem dapat dibaca pada [GY92] dan [HLS98]. Kami lebih memfokuskan perhatian pada -backbone coloring problem. Ide tentang pewarnaan -backbone dikemukakan pertama pada tahun 2003 oleh Broersma dkk. [BFGW03]. Misalkan H adalah subgraf pembangun (backbone) dari graf G. Suatu pewarnaan graf f dikatakan pewarnaan -backbone untuk (G , H ) jika setiap pasang titik yang bertetangga di H memperoleh warna-warna yang berbeda paling sedikit sebesar . Banyak warna minimum yang diperlukan agar ada pewarnaan -backbone untuk (G , H ) disebut bilangan pewarnaan -backbone, dilambangkan dengan BBC (G, H ) . Perhatikan graf G dengan backbone M yang memiliki garis-garis dengan warna merah seperti pada Gambar 1. Graf G memiliki bilangan kromatik 3 (perhatikan angka di samping setiap titik). Bilangan pewarnaan -backbone untuk (G , H ) adalah 3 + (perhatikan warna dari setiap titik).
2
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
3
2
1 3
2
1 3
2
1 Gambar 1 Graf G dengan matching backbone M
Pewarnaan -backbone dapat dipakai sebagai model dari suatu manajemen penetapan frekuensi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: ada bagian tertentu dari jaringan (backbone) yang lebih krusial (terjadinya interferensi lebih besar) jika dibandingkan dengan bagian lainnya. Dalam pemodelan sistem komunikasi, backbone adalah bagian dari jaringan yang sangat sibuk (hot spots). Ini bearti kita harus memberikan perbedaan frekuensi yang lebih besar pada bagian backbone dibandingkan dengan bagian lainnya. Misalkan G (V , E ) adalah graf terhubung. Subgraf pembangun H (V , E H ) disebut tree backbone, path backbone, star backbone, matching backbone, atau ncomplete backbone dari G jika H , berturut-turut, adalah pohon, lintasan, koleksi dari bintang yang tidak beririsan, matching, atau koleksi dari graf lengkap berorde n yang tidak beririsan. Selanjutnya perhatikan definisi dari nilai-nilai berikut:
(k ) maks{BBC (G, T ) | T adalah tree backbone dari G , dan (G ) k}; (k ) maks{BBC (G, P) | P adalah path backbone dari G, dan (G ) k}; (k ) maks{BBC (G , S ) | S adalah star backbone dari G, dan (G ) k }; ( k ) maks{ BBC (G , M ) | M adalah matching backbone dari G , dan (G ) k }.
untuk sebarang graf G dengan backbone H berlaku BBC (G, H ) (G ) . Pada tahun 2003 Broersma dkk. [BFGW03] menentukan semua Jelas
bahwa
nilai dari 2 (k ) dan 2 (k ) . Secara ‘kasar’ dapat dikatakan bahwa nilai tersebut bertambah, berturut-turut, sebesar 2k dan 3k/2. Kemudian, kami [BFMPSY09] menemukan nilai (k ) dan (k ) untuk semua
2 . Secara ‘kasar’ dapat diketahui bahwa nilai tersebut bertambah, berturut-turut, dengan faktor perkalian 2 1 / dan 2 2 /( 1) dari bilangan kromatik (G ) . Hasil lengkapnya dituliskan dalam Teorema 1 dan Teorema 2. Teorema 1 [Broersma, Fujisawa, Marchal, Paulusma, Salman, Yoshimoto, 2009] Misalkan 2, maka fungsi (k ) memenuhi nilai berikut: a) (2) 1 ;
3
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
3k 2; 2 c) untuk 2 1 k 2 dengan 2, (k ) k 2 2; d) untuk 2 2 k 2 1 dengan 3, (k ) k 2 2; e) untuk k 2 dengan 3, (k ) 2k 1; b) untuk 3 k 2 3, (k )
k
f) untuk k 2 1, (k ) 2k . Teorema 2 [Broersma, Fujisawa, Marchal, Paulusma, Salman, Yoshimoto, 2009] Misalkan 2, maka fungsi ( k ) memenuhi nilai berikut: a) untuk 2 k , (k ) k 1; b) untuk 1 k 2 , (k ) 2k 2; c) untuk k 2 1, (k ) 2k 3; d) untuk k t ( 1) dengan t 2, (k ) 2t ; e) untuk k t ( 1) c dengan t 2 dan 1 c f) untuk k t ( 1) c dengan t 2 dan
3 , (k ) 2t 2c 1; 2
3 c , (k ) 2t 2c 2. 2
Untuk dapat menentukan relasi antara bilangan kromatik dan bilangan pewarnaan -backbone dari graf-graf dengan suatu kelas backbone diperlukan dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan batas atas ‘terbaik’ dari bilangan pewarnaan -backbone. Untuk itu, graf dipartisi menjadi k himpunan bebas (independent set) dan selanjutnya dicari batas atas dari bilangan pewarnaan tersebut dengan memanfaatkan sifat-sifat yang ada pada himpunan bebas dan juga dengan memperhatikan sifat-sifat dari graf backbone. Himpunan V ' V (G ) dikatakan himpunan bebas jika G tidak memuat garis dengan kedua titik ujungnya di V '. Tahap kedua adalah menentukan batas bawah ‘terbaik’ dari bilangan pewarnaan -backbone. Cara yang dilakukan adalah mengkonstruksi graf yang memiliki bilangan pewarnaan -backbone yang sama dengan batas atas terbaik. Pada [BFMPSY09] kami juga menuliskan hasil penelitian terhadap graf planar, yakni graf yang dapat digambarkan pada bidang tanpa ada sepasang garis yang bersilangan. Teorema Empat Warna (Four Color Theorem) menyatakan bahwa semua muka pada graf planar dapat diwarnai dengan menggunakan paling banyak empat warna sedemikian rupa sehingga tidak ada muka yang bersisian memperoleh warna yang sama. Ini bearti bahwa bilangan kromatik graf planar tidak lebih dari 4. Selanjutnya, dengan menggunakan Teorema 2 diperoleh BBC 2 (G , M ) 6 dengan G adalah graf planar dan M adalah matching backbone. Diduga 6 bukanlah merupakan batas atas yang terbaik, tetapi batas atas tersebut tidak mungkin diturunkan menjadi 4 karena ada graf planar dengan matching backbone seperti ditunjukkan pada Gambar 2 memiliki bilangan pewarnaan -backbone sebesar 5.
4
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Gambar 2 BBC2 (G, M ) 5 Pada [BMPS09] kami memfokuskan perhatian pada graf split. Graf split adalah graf yang himpunan titiknya dapat dipartisi menjadi himpunan bebas dan clique (setiap pasang titik pada himpunan tersebut bertetangga di grafnya). Graf split diperkenalkan oleh Hammer dan Földes [HF77]. Salah satu contoh graf split dapat dilihat pada Gambar 1. Graf split merupakan kelas graf yang menarik. Dari sebarang graf dapat dikonstruksi suatu supergraf yang merupakan graf split dengan cara memperhatikan suatu himpunan bebas maksimum dari graf tersebut dan menambahkan beberapa garis sehingga terbentuk clique dengan anggota semua titik di komplemen himpunan bebas maksimum tersebut. Bilangan pewarnaan -backbone untuk graf split yang dihasilkan dengan backbone yang sama pada graf semula merupakan suatu batas atas dari bilangan pewarnaan -backbone untuk graf asal dengan backbone yang diberikan. Pada [BMPS09], kami tentukan batas atas terbaik untuk graf split dengan star backbone dan matching backbone. Batas atas terbaik bilangan pewarnaan -backbone untuk graf split dengan star backbone dituliskan pada teorema berikut. Teorema 3 [Broersma, Marchal, Paulusma, Salman, 2009] Misalkan 2 dan G (V , E ) adalah graf split dengan (G ) k 2. Untuk sebarang star backbone S (V , E S ) berlaku:
untuk (k 3 dan 2) atau (k 4 dan 2); k BBC (G, S ) k 1 untuk yang lain. Batas atas tersebut adalah batas atas terbaik ( ketat ). Selanjutnya, perhatikan masalah keputusan (decision problem) berikut. Masalah 1 “Misalkan 2. Diberikan graf G dengan backbone H , dan bilangan asli , apakah BBC (G, H ) ?” Tentu saja, masalah ini secara umum merupakan suatu masalah NP-complete. Pada [S08] dan [BFMPSY09] kami mempelajari masalah ini untuk beberapa backbone. Dapat ditunjukkan bahwa untuk masalah ini terjadi loncatan kompleksitas dari polynomially solvable ke NP-complete antara m dan m 1 untuk suatu m yang cukup kecil bergantung kepada H dan . Pernyataan negatif pada dua teorema berikut dibuktikan dengan melakukan reduksi dari suatu masalah NP-complete yakni graf k-colorability ([GJ79]). Teorema 4 [Salman, 2008] a) Masalah 1 adalah polynomially solvable jika ( n 1) dan H adalah ncomplete backbone.
5
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
b) Masalah 1 adalah NP-complete jika ( n 1) 1 dan H adalah n-complete backbone. Teorema 5 [Broersma, Fujisawa, Marchal, Paulusma, Salman, Yoshimoto, 2009] a) Masalah 1 adalah polynomially solvable jika 1 dan H adalah star backbone. b) Masalah 1 adalah NP-complete jika 2 dan bahkan jika H dibatasi maching backbone. Sebagai penutup, disajikan beberapa masalah terbuka yang terkait dengan pewarnaan -backbone untuk bahan kajian selanjutnya [S05]. Untuk sebarang graf G dengan tree backbone T, BBC 2 (G, T ) bisa sebesar
2 (G ) 1 . Bagaimana dengan BBC (G , T ) untuk 3 ? Berapakah batas atas terbaik untuk bilangan pewarnaan -backbone terbesar untuk graf planar dengan tree backbone, path backbone, star backbone, atau matching backbone? Bagaimana karakteristik pewarnaan -backbone dari graf G dengan backbone yang lain, misalnya koleksi dari graf lengkap atau koleksi dari graf grid? Bagaimana dengan kompleksitas komputasi perhitungan pewarnaan -backbone? Lebih khusus, untuk kelas graf dan backbone apa saja masalah menjadi polinomial dan untuk apa saja merupakan masalah NP-complete?
Daftar Pustaka [BKTL00] H.L. Bodlaender, T. Kloks, R.B. Tan, J. van Leeuwen, -coloring of graphs, Proceedings of STACS 2000, Springer LNCS 1770 (2000) 395-406. [BBGH01a] O.V. Borodin, H.J. Broersma, A. Glebov, J. van den Heuvel, Stars and bunches in planar graphs. Part I: Triangulations, Discrete Analysis and Operations Research 8 (2) (2001) 15-39. [BBGH01b] O.V. Borodin, H.J. Broersma, A. Glebov, J. van den Heuvel, Stars and bunches in planar graphs. Part II: General planar graphs and colorings, Discrete Analysis and Operations Research 8 (4) (2001) 9-33. [B03] H.J. Broersma, A general framework for coloring problems: old results, new results, and open problems, Proceedings of the Indonesia-Japan Joint Conference on Combinatorial Geometry and Graph Theory (2003). [BFGW03] H.J. Broersma, F.V. Fomin, P.A. Golovach, G.J. Woeginger, Backbone colorings for networks, Proceedings of the 29th International Workshop on GraphTheoretic Concepts in Computer Science (WG 2003), LNCS 2880 (2003) 131-142. [BFMPSY09] H.J. Broersma, J. Fujisawa, L. Marchal, D. Paulusma, A.N.M. Salman, K. Yoshimoto, -backbone colorings along pairwise disjoint stars and matchings, Discrete Mathematics 309 (2009) 5596-5609. [BMPS09] H.J. Broersma, L. Marchal, D. Paulusma, A.N.M. Salman, Backbone colorings along stars and matchings in split graphs: their span is close to the chromatic number, Discussiones Mathematicae Graph Theory 29 (2009) 143-162. [CK96] G.J. Chang, D. Kuo, The L(2,1)-labeling problem on graphs, SIAM Journal on Discrete Mathematics 9 (1996) 309-316. [FKK01] J. Fiala, T. Kloks, J. Kratochvíl, Fixed-parameter complexity of -labelings, Discrete Applied Mathematics 113 (2001) 59-72. [FNPS01] D.A. Fotakis, S.E. Nikoletseas, V.G. Papadopoulou, P.G. Spirakis, Hardness results and efficient approximations for frequency assignment problems and the radio coloring problem, Bulletin of the European Association for Theoretical Computer Science EATCS 75 (2001) 152-180.
6
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
[GJ79] M.R. Garey, D.S. Johnson, Computers and Intractability, A Guide to the Theory of NP-Completeness, W.H. Freeman and Company, New York (1979). [GY92] J.R. Griggs, R.K. Yeh, Labelling graphs with a condition at distance 2, SIAM Journal on Discrete Mathematics 5 (1992) 586-595. [H80] W.K. Hale, Frequency assignment: Theory and applications, Proceedings of the IEEE 68 (1980) 1497-1514. [HF77] P.L. Hammer, S. Földes, Split graphs, Congressus Numerantium 19 (1977) 311315. [HLS98] J. van den Heuvel, R.A. Leese, M.A. Shepherd, Graph labeling and radio channel assignment, Journal of Graph Theory 29 (1998) 263-283. [L99] R.A. Leese, Radio spectrum: a raw material for the telecommunications industry, Progress in Industrial Mathematics at ECMI 98, Teubner, Stuttgart (1999) 382396. [S05] A.N.M. Salman, -Bacbone colorings of graphs: known results and open problems, Proceeding of International Conference on Applied Mathematics 05 (2005) 131-140. [S08] A.N.M. Salman, The computational complexity of -backbone coloring of graphs with n complete backbones, Journal of Combinatorial Mathematics and Combinatorial Computing 65 (2008) 177-180. Mathematical and Physical Sciences 22 (1988) 445-455.
7
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif melalui PMRI Siti M. Amin Dosen Jurusan Matematika, FMIPA Unesa
Abstrak Saat ini banyak sekali informasi yang beredar di masyarakat. Informasi tersebut seringkali bertentangan satu sama lain. Agar seseorang dapat memilah dan memilih informasi dengan tepat diperlukan kemampuan berpikir kritis. Di samping informasi yang banyak, keadaan di sekitar kita juga sering berubah. Untuk menghadapi perubahan tersebut, seseorang seringkali harus melakukan reorientasi dan beradaptasi agar dapat hidup sejalan dengan perubahan yang terjadi. Dalam melakukan reorientasi dan beradaptasi diperlukan kemampuan berpikir kreatif. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Makalah ini tidak akan membahas berpikir kritis, berpikir kreatif, dan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) secara teoritis, tetapi akan menguraikannya secara praktis.
Kata kunci: berpikir kritis, berpikir kreatif, PMRI.
1.
Pendahuluan
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Depdiknas, 2006). Di masyarakat pencari tenaga kerja juga sering mencantumkan kemampuan berpikir kreatif sebagai syarat yang harus dimiliki pencari pekerjaan. Misal: Komunikatif, Kreatif, Inisiatif, dan Team Work; Teliti, Komunikatif, Team Work, Jujur, Kreatif, Inisiatif, dan Tertib Administrasi; Komunikatif, Team Work, Disiplin, Kreatif dan Inisiatif, Penampilan menarik/Rapi; Kreatif dan Inovatif, dalam menghasilkan ide-ide & konsep ... (Jawa Pos, 24 September 2011). Baik dari kurikulum maupun dari kehidupan masyarakat kreativitas menjadi tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi. Kreativitas jelas terungkap secara eksplisit dalam kedua hal tersebut. Kemampuan berpikir kritis terungkap secara eksplisit juga dalam kurikulum, tetapi tidak dalam iklan pencari tenaga kerja. Meskipun demikian tidak berarti pencari tenaga kerja tidak mensyaratkan kemampuan berpikir kritis bagi para calon karyawannya. Bagaimana seseorang akan dapat berinisiatif dan berinovasi, seperti yang disyaratkan para pencari tenaga kerja, kalau calon tenaga kerja tidak kritis. Jadi kemampuan berpikir kreatif dan kritis
8
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
menjadi hal mutlak yang harus dimiliki para pencari kerja. Kemampuan berpikir kreatif dan kritis juga diperlukan oleh para wirausahawan agar dapat bersaing dalam dunia usaha dan dunia industri. Tidak hanya itu, untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi setiap hari semua orang perlu mempunyai kemampuan keduanya. Masalahnya, dapatkah kemampuan berpikir kreatif dan kritis tumbuh dengan sendirinya? Memang ada orang yang diberi kemampuan berpikir kritis dan kreatif oleh Sang Pencipta. Tetapi tidak sedikit orang yang tidak diberiNya. Karena itulah guru mempunyai kewajiban untuk melatihkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis kepada para siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran Matematika yang dapat melatihkan kemampuan tersebut adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia. Pada pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan PMRI, peserta didik berkegiatan untuk menemukan kembali matematika. Hal ini disebabkan karena PMRI memandang matematika sebagai hasil kegiatan dan olah pikir manusia. Matemtika tidak diberikan dalam bentuk jadi kepada siswa. Pembelajaran Matematika di sekolah bertolak dari temuan peserta didik, sehingga pelajaran matematika menjadi menyenangkan dan tidak menakutkan. Dalam pembelajaran matematika dengan PMRI ada kegiatan refleksi dan diskusi tentang temuan peserta didik. Kegiatan itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Makalah ini membahas pembelajaran Matematika dengan
pendekatan PMRI yang dapat melatih siswa untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis. 2.
Pembahasan
Pembelajaran berikut dilaksanakan di Kelas XI Teknik Penyiaran Program Pertelevisian SMKN 10 Surabaya dengan Standar Kompetensi (SK): Menerapkan konsep barisan dan deret dalam pemecahan masalah; Kompetensi Dasar (KD): Mengidentifikasi pola, barisan, dan deret bilangan; dan Indikator: membuat berbagai macam pola menggunakan sedotan dan kancing baju dengan cara sendiri, menemukan ciri-ciri barisan serta mempresentasikannya di depan kelas.
9
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Pembelajaran dilaksanakan selama 2 40menit. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka Continuing Education (CE) bagi guru-guru di Kota Madya Surabaya. Kegiatan itu merupakan kerjasama antara Unesa dengan Pemerintah Kota Madya Surabaya Untuk mengaitkan pembelajaran yang lalu dengan yang akan datang (kegiatan apersepsi), guru mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan pengoperasian 1 bilangan rasional. Contoh: Berapakah 2 + (-5); 32; (-2) – 5 ; ( )3 . Selanjutnya 2
untuk memotivasi siswa, guru meminta siswa untuk menduga motif yang tidak terlihat pada suatu baju batik yang dipakai oleh salah seorang pengamat dan menanyakan pada siswa mengapa mereka dapat menduga motif tersebut. Salah satu jawaban siswa adalah: ”Karena ada polanya.” Berdasarkan jawaban siswa itulah, guru memberitahukan bahwa pembelajaran pada hari itu tentang pola bilangan. Guru juga memberitahukan bahwa untuk pembelajaran pada hari itu, guru menyiapkan kancing baju dan potongan sedotan yang dapat digunakan siswa untuk membuat pola. Pola yang dibuat siswa dapat menggunakan kancing atau potongan sedotan. Untuk mencatat hasil yang dibuat, siswa diminta untuk mengisi tabel berikut. No.
Pola
Banyak Kancing/Potongan Sedotan
Dugaan Banyak Kancing/Potongan Sedotan Berikutnya
Dari kegiatan apersepsi dan memotivasi siswa, terlihat bahwa guru memulai pembelajaran dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan dipelajari siswa. Guru memulai pembelajaran dengan meminta siswa untuk menyelesaikan masalah kontekstual (pembuatan pola). Masalah kontekstual yang diajukan guru tersebut berasal dari dunia nyata yang terdapat di sekitar siswa. Penggunaan dunia nyata merupakan karakteristik pertama PMRI. Guru kepada
membagikan kelompok
kelengkapan siswa.
belajar Untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan guru, siswa bekerja dalam kelompok. Setiap
Gambar 1. Siswa mulai
10
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
kelompok terdiri dari 5 – 6 siswa. Siswa terlihat antusias, serius, tenang dan bekerjasama untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Semua siswa dalam kelas tersebut yang terlibat dalam pembelajaran. Percakapan yang terdengar di antara mereka adalah percakapan yang terkait dengan tugas yang diberikan guru. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat tangan semua siswa menyentuh media dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan guru. Siswa menggunakan kelengkapan belajar yang disedikan guru untuk membuat pola. Beragam pola dibuat siswa. Foto berikut menunjukkan keberagaman tersebut.
Gambar 2. Siswa membuat satu macam pola
Gambar 4a. Siswa membuat beberapa macam pola dari sedotan
Gambar 3. Siswa membuat beberapa macam pola dari kancing
Gambar 4b. Siswa membuat beberapa macam pola dari sedotan
Dari keempat foto tersebut terlihat bahwa pola yang dibuat siswa sangat beragam. Gambar 2 dan 3 menunjukkan pola yang dibuat siswa menggunakan kancing. Gambar 4a dan 4b menunjukkan pola yang dibuat siswa menggunakan menggunakan potongan sedotan. Meskipun Gambar 2 dan 3 menunjukkan pola yang dibuat dari kancing, tetapi pola yang mereka buat berbeda. Begitu juga yang
11
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
ditunjukkan oleh Gambar 4a dan 4b. Keberagaman pola yang dibuat siswa tersebut menunjukkan kreativitas siswa dalam membuat pola. Berdasarkan pola yang dibuatnya siswa menemukan berbagai barisan bilangan, antara lain: 1, 3, 6, 10, .... 2, 4, 6, 8, .... 8, 13, 18, 23, .... 4, 7, 10, 13, .... Selama siswa membuat pola, guru berkeliling di kelas sambil mengajukan pertanyaan untuk melatih siswa berpikir kritis. Pertanyaan yang diajukan guru, antara lain: ”Bagaimana kalau salah satu kancing atau potongan sedotan diambil dari pola yang mereka buat?”; ”Mengapa kalian membuat pola memanjang?”; ”Bagaimana kalau pola dilanjutkan ke dua arah?” (Sambil menunjuk arah atas dan kanan.) Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru, siswa berusaha untuk memikirkan hal lain yang mungkin dilakukannya. Dengan berpikir kritis itu muncullah pola lain yang merupakan kreativitas kelompok. Pola yang dibuat siswa menunjukkan adanya model yang dikembangkan sendiri oleh siswa dan hal ini menunjukkan karakteristik PMRI yang kedua (penggunaan model). Setelah semua kelompok selesai membuat pola, guru menunjuk kelompok yang menghasilkan pola berbeda untuk mempresentasikan hasilnya di depan kelas secara bergantian. Guru juga meminta siswa lain untuk memberikan masukan atau mengajukan pertanyaan. Sebagian pertanyaan yang diajukan siswa kepada temannya menyerupai pertanyaan yang diajukan guru ke kelompoknya saat mereka bekerja kelompok. Selama belajar siswa juga selalu berpikir, berpikir, dan berpikir untuk membuat aneka ragam pola yang mereka kembangkan sendiri. Berdasarkan pola yang dikembangkan siswa, guru mengajak siswa untuk mencermati pola bilangan yang terjadi dan menentukan ciri-cirinya, serta menduga bilangan berikutnya. Hal ini menunjukkan karakteristik PMRI yang ketiga (penggunaan produksi dan konstruksi). Produksi di sini adalah produksi yang dilakukan siswa. Dalam pembelajaran itu, siswalah yang mengkonstruk pola bilangan.
12
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Saat siswa bekerja kelompok dan presentasi terjadilah interaktivitas (karakteristik PMRI yang keempat). Interaksi yang terjadi tidak hanya antara guru dan siswa serta antara siswa dengan siswa, tetapi juga antara siswa dengan kelengkapan belajar (pada pembelajaran kali ini: kancing dan sedotan). Siswa belajar dari hal konkrit ke abstrak secara berangsur-angsur dan mencoba untuk dapat memahami apa yang dipikirkan temannya. Di sini siswa belajar bahwa kebenaran tidak tunggal dan apa yang dipahami siswa tidak selalu berasal dari gurunya. Gurupun di sini juga belajar untuk memahami apa yang dipikirkan siswa. Karakteristik PMRI kelima ditunjukkan oleh adanya keterkaitan bangun-bangun geometris dengan bilangan.
3.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa dapat ditumbuhkembangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PMRI. Karakteristik PMRI sangat sesuai untuk melatih siswa dalam berpikir kritis dan kreatif. Dengan latihan, diharapkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis siswa dapat ditumbuhkembangkan. Untuk itu penulis merekomendasikan agar para guru mau mencoba pendekatan PMRI untuk topik yang lain agar siswa dapat berpikir kritis untuk menyering informasi dan berpikir kreatif untuk melakukan reorientasi dan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
4.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.: 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jawa Pos, Sabtu 24 September 2011, halaman 13
13
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah (JUCAMA) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Tatag Yuli Eko Siswono FMIPA UNESA
Abstrak Kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang harus diberikan pada semua siswa. Kemampuan tersebut akan memberi bekal kepada siswa menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya, baik masalah yang berkaitan dengan materi pelajaran maupun masalah kehidupan sehari-hari. Kenyataan di lapangan, kemampuan tersebut kurang mendapat perhatian karena keterbatasan informasi tentang bagaimana cara mengupayakan mendorong sekaligus meningkatkan kemampuan tersebut. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana model pembelajaran matematika berbasis pengajuan dan pemecahan masalah matematika (jucama) yang dirancang khusus untuk dapat meningkatkan kemampuan tersebut.
Kata Kunci: pemecahan masalah, pengajuan masalah, berpikir kreatif 1. Pendahuluan Pembelajaran matematika di kelas umumnya masih banyak yang menekankan pemahaman siswa tanpa melibatkan kemampuan berpikir kreatif. Siswa tidak diberi kesempatan menemukan jawaban ataupun cara yang berbeda dari yang sudah diajarkan guru. Guru sering tidak membiarkan siswa mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri
terhadap
konsep
matematika.
Dengan
demikian,
siswa
tidak
dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Padahal, pada Peraturan Menteri No 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik (siswa) mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Karena peraturan menteri tersebut merupakan dasar untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),
maka pembelajaran matematika di sekolah perlu
mengembangkan strategi-strategi pembelajaran yang mendorong kemampuan berpikir kreatif tersebut. Selain itu, kemampuan berpikir kreatif diperlukan dalam menghadapi masalah sehari-hari. Perkembangan tehnologi dan informasi tidak lepas dari kemampuan berpikir kreatif manusia. Dengan demikian semua bidang atau mata pelajaran termasuk matematika, perlu mengembangkan model maupun strategi pembelajaran yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
14
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Berpikir kreatif jarang ditekankan pada pembelajaran matematika karena model pembelajaran yang diterapkan cenderung berorientasi pada pengembangan pemikiran analitis dengan masalah-masalah yang rutin. Model pembelajaran matematika yang khusus berorientasi pada upaya pengembangan berpikir kreatif matematis jarang ditemukan. Guru di sekolah lebih mengajarkan matematika secara hafalan dengan menggunakan masalah rutin (Davis, 1984). Davis (1984) menjelaskan 6 alasan mengapa pembelajaran matematika perlu menekankan pada kreativitas , yaitu: (1) matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3) guru perlu dapat merespon pada kontribusi yang asli dan mengejutkan yang dibuat orang lain (termasuk siswa), (4) pembelajaran matematika dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak termotivasi dan kemampuannya menjadi rendah, (5) Kadang keaslian merupakan sesuatu yang perlu diajarkan, seperti membuat pembuktian asli dari teorema-teorema, (6) Kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya. Orientasi pembelajaran matematika saat ini cenderung lebih menekankan pada pengajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua aspek berpikir itu merupakan suatu kesatuan. Berpikir kreatif dalam matematika diartikan sebagai kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi tetapi masih dalam kesadaran (Pehkonen, 1997). Tuntutan hasil pendidikan termasuk matematika dapat diterapkan dalam kehidupan atau mendukung kecakapan hidup (life skill). Kemampuan berpikir kreatif tidak hanya meningkatkan kecakapan akademik, tetapi juga kecakapan personal (kesadaran diri dan ketrampilan berpikir) dan sosial. Model pembelajaran matematika berbasis pengajuan dan pemecahan masalah yang disingkat model jucama memberikan arahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif tersebut. Model tersebut dikembangkan melalui penelitian pada tahun 2008-2009. Model pembelajaran diartikan sebagai suatu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Komponen model pembelajaran ini mengikuti Joyce dan Weil (1992), terdiri dari (1) sintaks, (2) sistem sosial, (3) prinsip reaksi, (4) sistem pendukung, dan (5) dampak instruksional dan dampak pengiring. Pada model ini terdapat kegiatan yang melibatkan tugas-tugas pemecahan dan pengajuan masalah matematika.
15
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Berpikir Kreatif dan Kreativitas dalam Matematika Pengertian berpikir kreatif atau kreativitas sering saling dipertukarkan artinya. Pengertian masing-masing yang beraneka ragam juga sulit untuk dicari kesepakatannya. Isaksen (2003) menggambarkan 4 bidang kreativitas dalam diagram Venn untuk menekankan sifat hubungan dan pengertian kreativitas.
Pendekatan untuk memahami kreativitas. Individu Karakteristik orang
Proses Operasi-operasi performa
Produk Manfaat (outcome)
Konteks Iklim, budaya, Dorongan
Gambar 1: Hubungan Pendekatan Kreativitas
Isaksen menjelaskan bahwa apabila keempat pendekatan itu digunakan secara bersama, maka akan diperoleh keuntungan yang sangat besar dalam meninjau kreativitas atau tinjauannya semakin lengkap dan menyeluruh. Pengertian yang menekankan produk misalkan, Pehkonen (1997) menggunakan definisi Bergstom (ahli neurophysiologi) yang menyebutkan bahwa kreativitas merupakan kinerja (performance) seorang individu yang menghasilkan sesuatu yang baru dan tidak terduga (creativity as performance where the individual is producing something new and unpredictable). Pengertian kreativitas yang menekankan pada aspek pribadi, misalkan Sternberg (dalam Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan dan keseimbangan, dan integrasi intelektual secara umum. Gaya kognitif atau intelektual menunjukkan kelonggaran dan keterikatan pada konvensi, menciptakan aturan sendiri, melakukan hal-hal dengan cara sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu berstruktur, senang menulis, merancang dan ketertarikan terhadap jabatan yang menuntut kreativitas. Dimensi kepribadian atau motivasi meliputi kelenturan, toleransi, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan resiko yang sudah diperkirakan. Pengertian yang menekankan faktor pendorong atau dorongan secara internal, misalkan dikemukakan Simpson (dalam Munandar, 1999) bahwa kemampuan kreatif merupakan
16
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
sebuah inisiatif seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk mendobrak pemikiran yang biasa. Kreativitas tidak berkembang dalam budaya yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru. Pengertian yang menekankan proses, misalkan Solso (1995) menjelaskan kreativitas diartikan sebagai suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi. Dalam bermacam-macam definisi yang disebutkan di atas terdapat komponen yang sama, yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau memperhatikan kebaruan. Cropley (dalam Haylock, 1997) menjelaskan bahwa terdapat paling sedikit dua cara utama menggunakan istilah kreativitas. Satu sisi, kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari berpikir atau fungsi mental yang sering disebut berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas digunakan untuk menunjukkan pembuatan (generation) produk-produk yang dipandang (perceived) kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau musik. Dalam pengertian pengajaran anak-anak di sekolah, Cropley cenderung pada istilah pertama tersebut dan mengambil pendirian bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli (original), berdaya cipta (inventive), dan ide-ide baru (novelty). Pendefinisian ini menekankan pada aspek produk yang diadaptasikan pada kepentingan pembelajaran. Pengertian kreativitas dalam pembahasan ini ditekankan pada produk berpikir untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna. Jadi, kreativitas merupakan suatu produk berpikir (dalam hal ini berpikir kreatif) untuk menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide atau gagasan yang “baru” (Ruggiero, 1998; Evans, 1991; Infinite Innovation Ltd, 2001). Tulisan ini akan menyebutkan secara saling tukar antara kreativitas dan berpikir kreatif dengan menekankan bahwa kreativitas adalah produk dari kemampuan berpikir kreatif atau berpikir kreatif menghasilkan suatu kreativitas. Dalam memandang berpikir kreatif terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika (Johnson, 2002), dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif (De Bono dalam Barak dan Doppelt, 2000). Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar faktafakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap
17
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah. Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum. Bishop (dalam Pehkonen, 1997) menjelaskan bahwa seseorang memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika, yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat logis.
Pandangan ini lebih
melihat berpikir kreatif sebagai suatu pemikiran yang intuitif daripada yang logis. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif tidak didasarkan pada pemikiran yang logis tetapi lebih sebagai pemikiran yang tiba-tiba muncul, tak terduga, dan di luar kebiasaan. Pehkonen (1997) memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktik pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Pengertian ini menjelaskan bahwa berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif untuk menghasilkan ide-ide. Oleh karena itu, dalam berpikir kreatif dua bagian otak akan sangat diperlukan. Keseimbangan antara logika dan intuisi sangat penting. Jika menempatkan deduksi logis terlalu banyak, maka ide-ide kreatif akan terabaikan. Dengan demikian untuk memunculkan kreativitas diperlukan kebebasan berpikir tidak di bawah kontrol atau tekanan. Pandangan ini lebih mengarah pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif. Pada pembahasan ini, berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut merupakan salah satu indikasi dari berpikir kreatif dalam matematika, yaitu dalam memecahkan dang mengajukan masalah matematika.
3. Pemecahan dan Pengajuan Masalah Matematika Dalam usaha mendorong berpikir kreatif dalam matematika digunakan konsep masalah dalam suatu situasi tugas. Guru meminta siswa menghubungkan informasi-informasi yang diketahui dan informasi tugas yang harus dikerjakan, sehingga tugas itu merupakan hal baru bagi siswa (Pehkonen, 1997). Jika ia segera mengenal tindakan atau cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, maka tugas tersebut merupakan tugas rutin. Jika tidak, maka merupakan masalah baginya. Jadi konsep masalah membatasi waktu dan individu.
18
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Masalah bagi seseorang bersifat pribadi/individual. Masalah dapat diartikan suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seorang individu atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Dengan demikian ciri suatu masalah adalah: (1) individu menyadari/ mengenali suatu situasi (pertanyaan-pertanyaan) yang dihadapi. Dengan kata lain individu tersebut mempunyai pengetahuan prasyarat. (2) Individu menyadari bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan (aksi). Dengan kata lain menantang untuk diselesaikan. (3) Langkah pemecahan suatu masalah tidak harus jelas atau mudah ditangkap orang lain. Dengan kata lain individu tersebut sudah mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah itu meskipun belum jelas. Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Pengajuan masalah (problem posing) matematika merupakan tugas yang meminta siswa untuk mengajukan atau membuat soal atau masalah matematika berdasar informasi yang diberikan, sekaligus menyelesaikan soal atau masalah yang dibuat tersebut. Pengajuan masalah dapat diberikan setelah atau sebelum siswa menyelesaikan suatu masalah matematika. Pemecahan masalah diajarkan dan secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang dalam kurikulum matematika, karena pemecahan masalah memiliki manfaat (Pehkonen,1997), yaitu: (1) mengembangkan keterampilan kognitif secara umum, (2) mendorong kreativitas, (3) pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4) memotivasi siswa untuk belajar matematika. Berdasar penjelasan tersebut, maka pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreativitas sebagai produk berpikir kreatif siswa. Pada Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran matematika (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 mei 2006 tentang standar isi) disebutkan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Karena mencakup masalah yang divergen, maka pemecahan masalah yang dianjurkan dalam standar isi dapat digunakan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Selain pemecahan masalah, pendekatan pengajuan masalah juga dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa. Evans (1991) mengatakan bahwa formulasi masalah (problem formulation) dan pemecahan masalah menjadi tema-tema
19
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
penting dalam penelitian kreativitas. Langkah pertama dalam aktivitas kreatif adalah menemukan (discovering) dan memformulasikan masalah sendiri. Penjelasan itu menunjukan bahwa secara umum kemampuan berpikir kreatif dapat dikenali dengan memberikan tugas membuat suatu masalah atau tugas pengajuan masalah. Tugas pengajuan masalah matematika banyak ragamnya. Terdapat tugas yang bersifat open-ended dengan meminta siswa menuliskan sebarang masalah yang dipikirkannya tanpa batas dari isi ataupun konteks matematika. Sebagai contoh dalam Leung (1997), Ellerton menunjukkan siswa Australia yang diminta menuliskan suatu masalah yang sulit dan Winograd menunjukkan siswa Amerika Serikat diminta membuat soal cerita.. Tugas lain bersifat semi-open dan berkaitan dengan persepsi subjek terhadap suatu masalah atau struktur matematika. Dunlap (2001) menjelaskan bahwa pengajuan masalah sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, tetapi masih merupakan suatu alat valid untuk mengajarkan berpikir matematis. Moses (dalam Dunlap, 2001) membicarakan berbagai cara yang dapat mendorong berpikir kreatif siswa menggunakan pengajuan masalah. Pertama, memodifikasi masalah-masalah dari buku teks. Kedua, menggunakan pertanyaanpertanyaan yang mempunyai jawaban ganda. Masalah yang hanya mempunyai jawaban tunggal tidak mendorong berpikir matematika dengan kreatif, siswa hanya menerapkan algoritma yang sudah diketahui. Kedua cara tersebut dapat digunakan secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2005; Siswono & Novitasari, 2007; Siswono & Ekawati, 2009) Pada tahun 2008 dikembangkan pembelajaran yang menfokuskan pada kedua hal tersebut dinamakan model JUCAMA (pengajuan dan pemecahan masalah).
4. Model Pembelajaran Matematika JUCAMA Model pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif adalah suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Model ini didasarkan pada lima teori utama, yaitu (1) Teori Piaget, (2) Teori Vygotski, (3) Teori Bruner, (4) Teori tentang Pemecahan dan Pengajuan Masalah, dan (5) Teori tentang Berpikir Kreatif. Selain didukung itu juga didukung dengan hasil-hasil penelitian yang relevan.
20
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Garis besar Teori Piaget menjelaskan bahwa: a. Pengetahuan berasal dari adaptasi individu pada lingkungannya. Proses mengetahui menjadi suatu kasus khusus dari asimilasi (situasi baru dan objek baru menjadi struktur-struktur bentukan) dan akomodasi (modifikasi struktur-struktur menjadi karakteristik baru dari objek-objek). Perkembangan intelektual terjadi melalui konstruksi aktif dari pengetahuan yang dimiliki individu. Berdasar pandangan ini, maka pembelajaran seharusnya memberi kesempatan siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri berdasar pengetahuan yang berasal dari adaptasinya dengan lingkungan. Pengajuan masalah memberikan kesempatan pada siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri berdasar pengetahuan yang dimiliki. Siswa membuat soal (masalah) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. b. Perkembangan intelegensi dan pengetahuan terdiri dari empat tahap, yaitu sensori motor (0-2 tahun), pre-operasional (2-7 tahun), kongkrit (7-12 tahun), formal (12 tahun sampai seterusnya). Tahap sensori adalah seorang bayi yang mengenal dunianya melalui tindakan dan informasi inderawi. Tahap pra-operasional adalah tahap seorang anak mulai mampu belajar secara simbolis yang masih terbatas dan hanya satu arah, belum dapat berpikir mundur atau membalik langkah-langkah. Tahap operasi konkrit adalah tahap seorang anak menyadari tentang stabilitas logis dunia fisik, menyadari bahwa elemen-elemen dapat diubah atau ditransformasikan, tetapi mempertahankan karakteristik aslinya, dan memahami perubahan-perubahan yang dapat dibalik. Tahap formal adalah tahap seorang individu mampu melihat bahwa situasi riil dan yang benar-benar dialami hanyalah salah satu diantara beberapa kemungkinan situasi. Perkembangan intelektual ini mendasarkan pada perkembangan biologis seorang individu. Implikasi teori ini terhadap model JUCAMA adalah perlunya memperhatikan tingkat perkembangan anak dalam memberikan masalah maupun memberikan informasi untuk pengajuan masalah. Masalah harus memperhatikan kompleksitas yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, dan konteks yang menjadi lingkungan anak. c. Piaget (dalam Muijs & Reynolds, 2008) mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana anak berpikir harus melihat perkembangan kualitatif dari kemampuan mereka mengatasi masalah. Berpikir kreatif
merupakan tingkat tertinggi dalam
pembagian tingkat berpikir (Krulik & Rudnick, 1995). Untuk mengembangkan kemampuan tersebut menggunakan konsep masalah sebagai suatu situasi tugas, yaitu dengan pengajuan dan pemecahan masalah (Pehkonen,1997). Jadi tugas pemecahan
21
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
dan pengajuan masalah sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak, termasuk berpikir kreatif. Garis besar Teori Vygotsky dijelaskan sebagai berikut: a. Anak hanya mampu memahami level bawah psedokonsep atau konsep spontan. Psedokonsep adalah dalam kejadian-kejadian ketika anak menggunakan label-label konsep dengan benar tetapi tampak tidak disadari definisi kriterianya. Konsep spontan adalah suatu konsep yang dikonstruk oleh anak yang sebagian besar berdasar pengalamannya sendiri. Tugas pemecahan dan pengajuan masalah dapat sebagai sarana mengidentifikasi kemampuan siswa terhadap suatu konsep, yaitu apakah mereka masih berada pada level psedokonsep atau konsep spontan? b. Vygotsky mengembangkan 5 fungsi kognitif utama: bahasa, berpikir, persepsi, perhatian, dan memori. Siswa berhasil dalam memecahkan masalah dan tugas-tugas memori tergantung pada integrasi dari satu atau lebih fungsi-fungsi perkembangan. Pada tugas pemecahan dan pengajuan masalah terjadi interaksi lima fungsi kognitif utama. Bahasa muncul pada penyusunan kalimat soal yang dapat dipahami dan dikerjakan. Berpikir muncul pada proses penyelesaian maupun perumusan soal yang dapat diselesaikan. Persepsi terjadi pada usaha memahami masalah dan informasi untuk menyelesaikan maupun membuat soal. Perhatian muncul dari konteks dan isi materi soal yang dipilih dan memori muncul untuk memilih konsep atau materi yang sesuai dengan masalah atau informsi yang diberikan. c. Penggunaan simbol-simbol dalam memecahkan masalah diperoleh siswa melalui interaksi sosial. Setiap fungsi dalam perkembangan kultural siswa tampak pada level sosial dan level individu; antara orang-orang (interpsikologi) dan dalam anak (intrapsikologi). Agar terjadi interaksi sosial dalam memecahkan maupun mengajukan masalah perlu dibuat kelompok yang memungkinkan siswa berbagi pengetahuan maupun strateginya. Kelompok sebaiknya tidak terlalu besar ( 2-3 anggota) dengan kemampuan heterogen. Tujuan kelompok tersebut adalah mengubah konsep-konsep spontan anak melalui imbangan ilmiah (scientific counterparts). d. Perkembangan pengetahuan memerlukan intervensi orang dewasa dalam pemikiran anak. Tanpa mediasi secara simbolik, pemikiran siswa akan berada pada level yang rendah. Zone of proximal development (zone perkembangan proksimal) adalah sebuah kawasan antara tingkat perkembangan aktual sebagai ditentukan oleh pemecahan masalah yang independen dan tingkat perkembangan potensial sebagai ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan lebih pasangan-pasangan yang mampu (capable). Berdasar
22
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
pandangan tersebut berarti bahwa tugas pemecahan masalah maupun pengajuan masalah dapat menjadi bentuk intervensi terhadap pemikiran ana, sehingga anak sampai mencapai tingkat perkembangan potensial. e. Vygotsky seperti Bruner menggunakan ide scaffolding (penopang) untuk menjelaskan bagaimana guru dan pasangan yang mampu mengarahkan siswa membantu mereka memahami tingkat pemahaman lebih lanjut. Dalam belajar peran guru, orang dewasa, atau teman sebaya membantu membawa pengetahuan anak pada tingkat yang lebih tinggi. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan penopang (scaffolds) yang tidak dibutuhkan lagi oleh anak setelah proses pembelajaran selesai. Kemampuan memecahkan masalah maupun berpikir kreatif merupakan pengetahuan yang nanti diperlukan ketika masih di sekolah maupun setelah usai pendidikan. Tugas-tugas pemecahan masalah maupun pengajuan masalah di kelas dapat menjadi penopang anak mencapai tingkat kemampuan memecahkan masalah yang lebih tinggi. Garis besar Teori Bruner menjelaskan bahwa: a. perkembangan intelektual dikarakteristik oleh peningkatan kemampuan seorang individu memisahkan respons-responsnya dari stimuli yang dekat dan yang khusus. Karena perkembangan intelektualnya, seseorang belajar menunda, merestruktur, dan mengontrol respons-respons dari kumpulan stimulus khusus. Perkembangan kemampuan untuk menginternalisasi kejadian-kejadian luar ke dalam strutur mental berkorespondensi dengan lingkungan pebelajar dan yang membantu pebalajar dalam menggeneralisasi dari contoh-contoh khusus (Bell, 1981).
Berdasar pandangan
tersebut dengan pemecahan dan pengajuan masalah yang dapat dikatakan sebagai stimuli akan memicu perkembangan intelektual individu. Kemampuan memecahkan maupun mengajukan masalah dipengaruhi oleh lingkungan pebelajar. b. Dipengaruhi oleh Vigotsky, Bruner menyatakan bahwa komunikasi interpersonal perlu untuk perkembangan kemampuan. Berdasar pandangan ini berarti dalam belajar harus diberikan
kesempatan
untuk
berkomunikasi
interpersonal,
seperti
diberikan
kesempatan siswa menyampaikan hasil tugasnya. c. Perkembangan kognitif menjadikan cara-cara berbeda untuk merepresentasikan suatu pengetahuan (dunia). Mode representasi tersebut terdiri dari enaktif, ikonik, simbolik. Enaktif adalah kemampuan mewujudkan dunia melalui tindakan (respons-respons motorik yang sesuai). Ikonik adalah merepresentasikan dunia melalui bayanganbayangan dan dapat menggunakan bahasa. Informasi ditata dalam bentuk gambar sebagai bayangan-bayangan mental. Siswa dikatakan berada pada tingkat ini jika ia mampu mengubah tindakan-tindakan dengan suatu bayangan. Simbolik adalah
23
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
kemampuan untuk merepresentasikan dan menata informasi melalui symbol-simbol bahkan tindakan-tindakan dan bayangan-bayangan seperti suatu kata sebagai simbol. Berdasar pandangan tersebut masalah maupun informasi sebagai fokus proses belajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan diarahkan agar siswa dapat melakukan manipulasi nyata secara langsung, menggunakan bayangan, maupun simbolik. d. Pemikiran Bruner tentang kurikulum spiral: setiap materi dapat diajarkan dengan efektif dalam beberapa bentuk yang bijaksana secara intelektual pada setiap anak di setiap tingkat perkembangan. Isi kurikulum bergantung pada cara (mode) representasi. Materi-materi yang prinsip dapat dipahami anak seiring level kekomplekskannya. Belajar tidak menunggu kesiapan (kedewasaan) siswa, tetapi secara aktif diintervensi. Tugas pemecahan maupun pengajuan masalah disesuaikan dengan materi yang dikuasai anak dan mempertimbangkan tingkat perkembangannya. e. Bruner sama dengan Piaget menekankan pentingnya tindakan dan pemecahan masalah. Dalam pembelajaran seharusnya memperhatikan pengalaman dan konteks yang membuat siswa sanggup dan mampu untuk memperlajari (kesiapan/ readiness). Kurikulum seharusnya diatur sedemikian hingga dapat dengan mudah dicapai (spiral organisation). Pengajaran seharusnya didesain yang memungkinkan ekstrapolasi di bawah informasi yang diberikan/diketahui (O’Malley, tanpa tahun). Dalam pemecahan dan pengajuan masalah perlu mempertimbangkan pengalaman, konteks, kompleksitas, dan memungkinkan ekstrapolasi terhadap pemahaman siswa (artinya dapat digunakan untuk mempelajari aplikasi maupun pengembangan konsepnya). Garis besar teori berpikir kreatif yang berkaitan dengan matematika ringkasnya bahwa pengertian berpikir kreatif di sini adalah sebagai suatu kesatuan kombinasi kemampuan berpikir logis dan divergen yang diindikasikan dengan kemampuan kefasihan (fluency), fleksibilitas, dan kebaruan (novelty). Hasil penelitian menunjukkan peran pemecahan maupun pengajuan masalah dalam mendorong berpikir kreatif dalam pembelajaran matematika. Hasil Penelitian yang dilakukan Siswono (2005) menunjukkan bahwa pengajuan masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika yang berkaitan dengan garis dan sudut.
Penelitian
Siswono & Novitasari (2007) tentang kemampuan berpikir kreatif melalui pemecahan masalah tipe ”What’s Another Way” juga menunjukkan kemampuan berpikir kreatif siswa meningkat. Kemampuan dalam hal kefasihan dan kebaruan menunjukkan kenaikan yang relatif mencolok tetapi fleksibilitas masih rendah.
24
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Hasil penelitian yang telah dilakukan meskipun tidak menunjukkan perubahan yang fantastis tetapi memberi indikasi terhadap perubahan kemampuan berpikir kreatif siswa, sehingga dapat diterapkan secara kontinu dan bertahap dalam pembelajaran matematika di sekolah. Model JUCAMA memiliki tujuan instruksional yang penting, yaitu: 1. Meningkatkan hasil belajar siswa terutama dalam memecahkan masalah. yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Hal tersebut sesuai dengan fokus pembelajaran matematika sampai saat ini yang terdapat pada kurikulum yang menekankan pada kemampuan memecahkan masalah. 2. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kreatif yang diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah matematika. Indikator kemampuan berpikir kreatif sebenarnya beragam sesuai dengan pengertian dari berpikir kreatif itu sendiri, tetapi yang umum dan banyak digunakan dalam matematika adalah ketiga kriteria tersebut. Model JUCAMA juga mempunyai tujuan yang tidak langsung, antara lain: 1. Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep lain dan pengalaman siswa sehari-hari. 2. Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah dipelajari atau dengan kata lain mendorong untuk belajar mandiri. 3. Melatih mengkomunikasikan ide secara rasional atau bernalar, karena dituntut untuk menjawab masalah secara divergen. Sintaks adalah suatu pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap keseluruhan rangkaian kegiatan pembelajaran. Sintaks tersebut menunjukkan dengan jelas kegiatan yang dilakukan guru dan siswa. Sintaks dari bermacam-macam model umumnya memiliki komponen yang sama dalam urutannya, yaitu pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Pendahuluan digunakan untuk menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Selain dilakukan apersepsi maupun menjelaskan tujuan, materi prasyarat yang harus dikuasai. Hal ini didasarkan pada Teori Bruner bahwa dalam pembelajaran seharusnya memperhatikan pengalaman dan konteks yang membuat siswa sanggup dan mampu untuk mempelajari atau prinsip kesiapan belajar. Pada kegiatan inti berdasar Teori Piaget maupun Bruner, maka siswa perlu diberi kesempatan
mengkonstruksi
pengetahuannya
sendiri
aktif
melalui
pengetahuan pemecahan
dan
berdasar
pengalaman
pengajuan
masalah
atau yang
mempertimbangkan perkembangan intelektualnya maupun mode representasinya. Selain itu, berdasar teori Vigotsky maupun Bruner, maka diperlukan kesempatan komunikasi
25
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
interpersonal untuk perkembangan kemampuan. Jadi siswa perlu diberikan kesempatan presentasi atau mengkomunikasikan idenya dengan siswa lain maupun dengan guru. Guru atau siswa lain sebagai scaffolding (penopang) untuk mengarahkan siswa membantu mereka memahami tingkat pemahaman lebih lanjut. Jadi digunakan ide Vygotsky dan Bruner dalam proses ini. Kegiatan terakhir dari sintaks JUCAMA adalah penutup yang meliputi kegiatan merangkum pokok-pokok pelajaran dan latihan tindak lanjut. Merangkum adalah suatu upaya merepresentasikan pengetahuan seekonomis mungkin, agar mudah dipelajari lebih lanjut dan menunjukkan kemampuannya terhadap suatu materi. Hal tersebut sesuai dengan teori Bruner tentang keekonomisan representasi yang tertinggi, yaitu simbolik. Dalam menyusun sintaks model tersebut perlu juga mempertimbangkan variasi langkahlangkah pemecahan dan pengajuan masalah matematika. Langkah pemecahan masalah yang umum berdasar Polya (1973), yaitu memahami masalah (understanding the problem), merencanakan penyelesaian (devising a plan), melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan memeriksa kembali (looking back). Langkah tersebut dimodifikasi oleh Krulik & Rudnick (1995) yang terdiri dari membaca dan berpikir (read and think), mengeksplorasi dan merencanakan (explore and plan), menyeleksi suatu strategi (select a strategy), mencari suatu jawaban (find an answer), dan merefleksi dan memperluas (reflect and extend). Modifikasi lain dilakukan oleh Artzt & Armour dalam Artzt & Yaloz-Femia (1999), yaitu membaca (read), memahami (understand), mengeksplorasi (explore), menganalisis (analize), merencanakan (plan), mengimplemntasikan (implement), memverifikasi (verify), memperhatikan (watch), dan mendengarkan (listen). Ketiga langkah pemecahan masalah tersebut garis besarnya sama hanya yang lain memperinci dari langkah Polya (1973). Langkah tersebut bergabung langkah pengajuan masalah akan menempati kegiatan inti dari sintaks model JUCAMA yang dikembangkan. Strategi pengajuan masalah yang dikembangkan oleh Brown & Walter (1990) terdiri langkah, yaitu: memilih suatu tema (level 0), mendaftar atribut-atribut. (level 1), bagaimana jika tidak (What-if-not-ing/ level 2), pengajuan pertanyaan atau masalah (level 3), dan menganalisis masalah (level 4). Silver dan Cai (1996:292) menjelaskan langkah pengajuan masalah (problem posing) dalam tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu: (1) pengajuan pre-solusi (presolution posing) yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan, (2) pengajuan didalam solusi (within-solution posing), yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan, dan (3) pengajuan setelah solusi (post solution posing), yaitu seorang siswa memodifikasi
26
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru. Kedua pendapat tersebut mengaitkan pengajuan masalah dengan pemecahan masalah, meskipun pada pengajuan pre-solusi tidak secara langsung dikaitkan pemecahan masalah. Kaitan pengajuan masalah dengan pembelajaran menurut Menon (1996:530-532) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :
(1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tadi. (2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya. Nanti soalsoal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal tersebut ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa tergantung minat siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu. (3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah oleh Polya. Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi seperti siswa dibuat berpasangan. Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan penyelesaiannya. Soal tanpa penyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan lain atau dalam satu pasang. Siswa diminta mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasar penyeelsaian yang dibuatnya. Berdasar langkah yang terdapat pada pemecahan dan pengajuan masalah tersebut, maka dirumuskan sintaks model JUCAMA sebagai berikut.
Fase 1.
Menyampaikan
Aktivitas/Kegiatan Guru tujuan
mempersiapkan siswa.
27
dan Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi siswa, dan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Mengorientasikan siswa pada
Memberikan
masalah
yang
sesuai
tingkat
masalah dan mengorganisasikannya untuk
perkembangan anak untuk diselesaikan atau meminta siswa mengajukan masalah berdasar
belajar.
informasi ataupun masalah awal. Meminta siswa bekerja dalam kelompok atau individual dan mengarahkan siswa membantu dan berbagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya.
3. Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok.
Guru membimbing dan mengarahkan belajar secara efektif dan efisien.
4. Menyajikan hasil penyelesaian
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
pemecahan dan pengajuan masalah.
menetapkan suatu kelompok atau seorang siswa dalam menyajikan hasil tugasnya.
5. Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
Memeriksa kemampuan siswa dan memberikan umpan balik untuk menerapkan masalah yang dipelajari pada suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah sehari-hari.
Prinsip reaksi adalah memberikan gambaran kepada guru tentang cara memandang dan merespons apa yang dilakukan siswa. Dalam model ini guru dipandang sebagai fasilitator atau mediator yang membantu siswa mengkonstruk pemahamannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan teori Bruner dan Vigotsky bahwa dalam belajar peran guru, orang dewasa, atau teman sebaya membantu membawa pengetahuan anak pada tingkat yang lebih tinggi. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan penopang (scaffolds) yang tidak dibutuhkan lagi oleh anak setelah proses pembelajaran selesai. Siswa tidak dipandang sebagai kertas kosong, tetapi seseorang yang berpengetahuan akibat adaptasi secara individual terhadap lingkungannya. Siswa dibantu untuk menjangkau daerah kemapuan potensialnya yang lebih tinggi. Sistem pendukung dari model pembelajaran adalah suatu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya suatu model, seperti setting kelas, sistem instruksional, perangkat pembelajaran, fasilitas belajar, dan media belajar. Setting kelas yang diperlukan pada model ini adalah kelas memungkinkan siswa bergerak dan berdikusi antar anggota atau kelompok lain. Sistem pengajarannya dapat secara klasikal maupun kelompok-kelompok kecil. Perangkat pembelajaran dapat menggunakan buku siswa atau lembar kegiatan siswa (LKS) yang di dalamnya memuat masalah yang dipilih untuk memicu proses pemecahan maupun pengajuan masalah. Masalah yang dibuat seyogyanya yang divergen baik pada cara maupun jawaban penyelesaian. Pemberian masalah harus dimulai dari yang sederhana meningkat menjadi yang kompleks. Pada awal diberi masalah yang divergen pada jawaban, kemudian jika siswa
28
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
menyadari bahwa jawaban suatu masalah matematika dapat tidak tunggal, dilanjutkan pada soal divergen pada cara penyelesaian. Setelah dipahami dan disadari benar, baru ditingkatkan pada soal yang divergen pada cara maupun jawaban. Pemberian masalah yang divergen, ditujukan agar mendorong kemampuan berpikir kreatif. Untuk menilai siswa kemampuan siswa digunakan penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2008) sebagai berikut. Tingkat Tingkat 4 (Sangat Kreatif) Tingkat 3 (Kreatif) Tingkat 2 (Cukup Kreatif) Tingkat 1 (Kurang Kreatif) Tingkat 0 (Tidak Kreatif)
Karakteristik Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.
Penjenjangan tersebut dapat menjadi rubrik penilaian dalam mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada rubrik tersebut akan terlihat bagaimana pemahaman konsep siswa yang ditunjukkan dengan ketepatan siswa menyelesaikan tugas. Karena tugas yang diberikan merupakan pemecahan masalah, maka fokus dalam pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan dari mata pelajaran matematika. Pada pembahasan ini, kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memberi jawaban masalah yang beragam dan benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa membuat masalah sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila jawabanjawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam pengajuan masalah, beberapa masalah dikatakan beragam, bila masalah itu menggunakan konsep yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi dengan atribut-atribut yang berbeda atau masalah yang umum dikenal siswa setingkatnya. Misalkan seorang siswa membuat persegipanjang dengan ukuran berbeda, soal pertama menanyakan keliling persegi panjang dan soal kedua menanyakan luasnya. Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan masalah yang mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda. Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada
29
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep matematika atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat pengetahuannya. Ketiga indikator tersebut digunakan sebagai dasar pengkategorian karakteristik berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika.
5. Penutup Model pembelajaran apapun baiknya tidak akan berarti jika tidak dengan sentuhan kemampuan dan keyakinan guru. Bila guru memandang bahwa kemampuan berpikir kreatif penting dan perlu ditekankan dalam pembelajaran, serta yakin model tersebut akan memberi dampak nyata, maka implementasi di kelas menjadi suatu keharusan. Kesabaran dan konsistensi guru menerapkan model ini akan memberikan pengalaman dan upayaupaya perbaikan terhadap model ini menjadi lebih baik. Model ini memiliki keunggulan nyata dalam peningkatan kemampuan berpikir kreatif sekaligus penguasaan siswa, tetapi juga memiliki kekurangan seperti persiapan memilih masalah yang tepat memerlukan waktu lama. Bila tidak jeli, model ini seolah-olah mendorong memberikan tugas-tugas siswa yang kompleks agar terlihat kreativitasya. Padahal tidak demikian, soal atau masalah yang baik adalah yang sesuai dengan keperluan dan menggali kemampuan berpikir kreatif yang lebih luas. Model ini lebih memberi kesempatan siswa menyelesaikan soal secara individual daripada kerja kelompok. Pada penerapannya aspek kebaruan maupun fleksibilitas merupakan kunci utama berpikir kreatif. Aspek kebaruan bukan berarti hal-hal yang benar-benar baru bagi siswa atau menemukan suatu metode penyelesaian yang baru. “Baru” di sini merupakan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang umum dikenal atau melebihi tingkat pendidikan yang dimiliki siswa saat itu. Fleksibilitas juga merupakan komponen kunci yang menjadi ciri dari berpikir kreatif yang sulit dikembangkan secara mendadak.
30
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
Bagi para guru yang patut dicatat adalah bagaimana mengimplementasikan model jucama secara kontinu, sehingga membiasakan siswa dengan masalah-masalah yang divergen yang sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat.
6. Daftar Pustaka Artzt, A.F., & Yaloz-Femia, S. 1999. Mathematical Reasoning During Small-Group Problem Solving. In Stiff, L.V, & Curcio, F.R (Eds). Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. Reston, Virginia: NCTM, p.115-126 Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2. http://scholar.lib.vt.edu/ejournals. Download 27 Desember 2004 Brown, Stephen I. & Walter, Marion I. (1990). The Art of Problem Posing. Lawrence Erlbaum Associates, Publisher: Hillsdale, New Jersey Davis, Robert E. (1984). Learning Mathematics. The Cognitive Science Approach to Mathematics Education. Sidney: Croom helm Australia Pty Ltd. Dunlop, James. (2001). Mathematical Thinking. http://www.mste.uiuc.edu/courses/ ci431sp02/students /jdunlap/ WhitePaperII Download November 21, 2003 Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati: South-Western Publishing Co. Haylock, Derek. (1997). Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002 Infinite innovation. Ltd. 2001. (2001). Creativity and Creative Thinking. http://www. brainstorming.co.uk/tutorials/ tutorialcontents.html. Download 13 April 2001 Isaksen, Scott G. (2003). CPS: Linking Creativity and Problem Solving.. www.cpsb.com. Download 22 Agustus 2004 Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay. California: Corwin Press,Inc Joyce, Bruce, Weil, Marsha, Showers Beverly. (1992). Models of Teaching. Needham Heights, Massachussetts: Allyn and Bacon Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights: Allyn & Bacon Leung, Shukkwan S. (1997). On the Role of Creative Thinking in Problem posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X Munandar, S.C. Utami.(1999). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Menon, Ramakrishnan .(1996). .Mathematical Comunication through StudentConstructed Question. Teaching Children Mathematics, V.2, N.9, May 1996, h.530-532. Pehkonen, Erkki (1997). The State-of-Art in Mathematical Creativity. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002 Polya , (1973). How To Solve It. Princetown, NJ: Princetown University Press Ruggiero, Vincent R. (1998). The Art of Thinking. A Guide to Critical and Creative Thought. New York: Longman, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing.
31
Semnastika – Unesa “Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif”, Surabaya 22 Oktober 2011 ISBN No. 978-979-028-417-3
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002 Silver, Edward A and Cai, Jinfa (1996).”An Analysis of Arithmetic Problem Posing By Middle School Students”. Journal For Research In Mathematics Education, Volume 27. No. 5, p. 521-539 Siswono, Tatag Y. E. (2005). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005. ISSN 1410-1866, hal 1-9. Siswono, Tatag Y. E., dan Kurniawati, Yeva. (2005). Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Pengajuan Masalah dengan Informasi Gambar: Penerapan Model Wallas.. Jurnal terakreditasi “Matematika atau Pembelajarannya”. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang. Tahun XI, Nomor 1, April 2005. ISSN 0852-7792, hal. 52-67. Siswono, Tatag Y.E., Novitasari, Whidia. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Melalui Pemecahan Masalah tipe ”What’s Another Way”. Jurnal Pendidikan Matematika “Transformasi”. ISSN 1978-7847, Volume 1 Nomer 1 Oktober 2007, hal. 45-61 Siswono, Tatag Y.E. (2008). Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika “Mathedu”. ISSN 1858-344X, Volume 3 Nomer 1 Januari 2008, hal. 41-52 Siswono, Tatag Y. E., Ekawati, Rooselyna (2009). Implementasi Pembelajaran Matematika Berorientasi Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Laporan Penelitian Strategi Nasional. Surabaya: Lembaga Penelitian Unesa Solso, Robert L. (1995). Cognitive Psychology. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasan
32