Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PENGEMBANGAN SOFT SKILLS MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS BISNIS BERBASIS KONTEKS PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI MANAJEMEN UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN DALAM ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Rino Sardanto Program Studi Manajemen Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected]
ABSTRAK Sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk perguruan tinggi harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Proses pembelajaran di perguruan tinggi seharusnya mampu membentuk mahasiswa memiliki kemampuan teknis berkenaan dengan bidang ilmu yang mereka pelajari (hard skills) dan kemampuan non-teknis di luar bidang ilmu yang mereka perlukan di dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat (soft skills). Namun, kenyataanya sebagian besar proses dan evaluasi pembelajaran yang dilakukan dosen saat ini masih menekankan pada pencapaian kompetensi hard skills, dan kurang memperhatikan pencapaian kompetensi soft skills. Melalui pembelajaran bahasa Inggris Bisnis berbasis konteks, dimana pembelajaran yang meminta pendidik mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan nyata yang dialami sehari-hari oleh peserta didik sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakatnya, hal ini dalam rangka menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk berkompetisi di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Kata kunci: soft skills, model pembelajaran konteks
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Banyak perubahan yang terjadi pada tatanan dunia baru di abad ke-21 dewasa ini. Salah satunya adalah perdagangan bebas dan semakin terbukanya peluang kerjasama antarnegara. Perubahan tersebut nenimbulkan persaingan yang makin ketat dalam hal penyiapan tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian, kualitas SDM merupakan salah satu faktor penentu terpenting dalam mencapai keberhasilan program pembangunan. SDM yang berkualitas akan mampu mengelola sumber daya lainnya dengan baik dan efisien. Dalam menghadapi persaingan di era MEA yang cepat berubah diperlukan kesiapan SDM yang memiliki kualifikasi seperti: (1) mempunyai daya saing secara terbuka dengan bangsa lain; (2) adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan kondisi baru; (3) mampu belajar bagaimana belajar; (4) memiliki berbagai keterampilan yang mudah dilatih ulang; dan (5) memiliki dasar-dasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Lima kualifikasi diatas sesuai dengan pendapat Wagner (2008) mengemukakan tujuh keterampilan agar seseorang mampu bertahan dalam tata dunia baru, yakni: (1) critical thinking and problem solving; (2) collaboration across networks and leading by influence; (3) agility and adaptability; (4) initiative and entrepreneurialism; (5) effective oral and written communication; (6) accessing and analyzing information; and (7) curiosity and imagination. Dalam memenuhi kualifikasi diatas Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda calon tenaga kerja merupakan tanggung jawab dunia pendidikan. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Melalui pendidikan, akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas, produktif, dan mampu bersaing. Untuk itu, mahasiswa sebagai produk pendidikan dituntut memiliki delapan kompetensi pokok yakni: (1) communication skills; (2) critical and creative thinking; (3) inquiry/reasoning skills; (4) interpersonal skills; (5) multicultural/multilingual literacy; (6) problem solving; (7) information/ digital literacy; dan (8) technological skills. Jika dicermati dari delapan kompetensi lulusan tersebut, kompetensi 1-6 merupakan soft skills, sedang kompetensi 7 dan 8 hard skills. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional, Bab I, Pasal 1 Ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan (soft skill), pengendalian diri (soft skill), kepribadian (soft skill), kecerdasan (hard skill), akhlak mulia (soft skill), serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Pasal-pasal dalam UU Sisdiknas tersebut mengamanatkan agar semua kegiatan pendidikan di negeri ini diarahkan pada upaya mengembangkan kesadaran diri setiap peserta didik agar secara aktif mengembangkan potensi kecerdasan yang ada pada dirinya serta upaya memberikan penjaminan (assurance) agar pengembangan potensi kecerdasan diri para peserta didik bisa berhasil. Potensi kecerdasan diri yang harus dikembangkan secara aktif oleh peserta didik dengan bimbingan para pendidik tidak hanya terkonsentrasi pada kecerdasan intelektual akademis tetapi juga kecerdasan karakter (soft skill) yang justru sangat diperlukan untuk kesuksesan karier peserta didik dalam masyarakatnya. Persyaratan soft skills juga diamanatkan dalam Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang mengacu pada Perpres No.08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bahwa aspek penting yang dinilai yang mencakup knowledge (pengetahuan), skills (ketrampilan), dan attitude (sikap kerja) merupakan rujukan bagi dunia pendidikan dan lembaga pelatihan dalam merumuskan kurikulum dan program pelatihan, bagi lembaga sertifikasi profesi dalam melaksanaan sertifikasi kompetensi (uji kompetensi) dan merumuskan lingkup (skema sertifikasi), dan bagi dunia industri dalam proses rekruitment terutama terkait dengan pengakuan tingkat kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000 dalam Mendiknas, 2010) ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skills dan sisanya 80 persen soft skills. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” soft skills daripada hard skills. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Selama ini yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia hanya menghargai prestasi akademis (hard skill) peserta didik, dan tidak pernah mengembangkan dan menghargai prestasi pengembangan karakter (soft skill) peserta didik. Selain itu,mimpi setiap pendidik adalah bahwa lulusan tidak hanya harus ahli dalam bidang tertentu tapi matang kepribadian dengan secara seimbang dipadukan dengan pendidikan.Karakteristik ini tercermin dalam soft skill, bukan di hard skill (Schulz B, 2008) . Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan ini telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab adanya kesenjangan keterampilan antara lulusan satu dengan lainnya, dan masalah ini perlu ditangani serius (Nathan, 2008). Untuk mengembangkan soft skill tersebut secara keseluruhan tentunya tidak cukup hanya dilakukan oleh mahasiswa selama mengikuti periode perkuliahan, tapi harus berlangsung terus menerus tidak berhenti setelah periode proses pembelajaran formal selesai. Untuk itu beberapa aspek penting yang menunjang keberhasilan mahasiswa dalam menempuh pembelajaran dikelas , yaitu; keberanian mengemukakan pendapat (rasa percaya diri), kemandirian belajar (independent), comunication skills, dan kerjasama Dalam kegiatan penelitian ini adalah upaya pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan, sehingga dapat diarahkan kepada sustainable development, yaitu pengembangan diri yang terus menerus. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab III Pasal 4 Ayat 3 menyebutkan Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan (to make people civilized, untuk membangun bangsa yang berkarakter) dan pemberdayaan (empowering) peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. UNESCO pada sidangnya tahun 2005 memberikan rekomendasi agar pendidikan selalu diarahkan kepada sustainable development, yaitu pengembangan diri yang terus menerus. Pendidikan yang baik harus menghasilkan lulusan yang selalu haus akan pengetahuan dan pengembangan dirinya. Oleh karena itu ukuran keberhasilan sebuah proses pembelajaran tidak cukup hanya diukur dengan seberapa tinggi prestasi yang telah dicapai sampai saat berakhirnya proses pembelajaran yang diikuti, tapi harus diukur pula secara predictive seberapa tinggi tingkat sustainability kegiatan belajar mandiri untuk pengembangan potensi dirinya. Dalam pelaksanaannya, pengembangan berbagai potensi kecerdasan yang sustainable tentunya menjadi tugas setiap bidang studi. Pembelajaran dalam Bidang Studi Bahasa Inggris, selain memfasilitasi pengembangan kemampuan berkumunikasi dalam bahasa Inggris dan memfasilitasi pengembangan berbagai potensi soft skills melalui proses pembelajaran bahasa Inggris, juga harus menanamkan motivasi intrinsik yang kuat agar setelah selesai mengikuti proses pembelajaran, peserta didik terus berusaha meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan potensi soft skillnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pengetahuan kita adalah kelemahan proses pembelajaran. Dalam proses belajar mahasiswa kurang didukung dalam mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas memaksa mahasiswa mampu untuk menghafal informasi dan menyimpan beberapa informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang dihafal dan dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, ketika mahasiswa lulus dari perguruan tinggi, mereka kurang dalam teori dan juga mereka miskin dalam aplikasi (Sanjaya, 2010).
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Metode pembelajaran yang biasa dilakukan oleh dosen adalah metode konvensional, akibatnya mahasiswa tidak memahami materi pelajaran. Tidak sedikit mahasiswa merasa bosan dan lelah untuk belajar. Itu bisa membuat hasil belajar mahasiswa menurun. Dosen dapat membuat mahasiswa merasa tertarik dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan media yang menarik karena penggunaan media pengajaran dan pembelajaran dan keinginan untuk menghasilkan semangat yang baru, dan stimulasi dalam belajar bahkan membawa intervensi psikologi pada mahasiswa (Sudjana, 2004). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran di perguruan tinggi yang mampu membentuk mahasiswa memiliki kemampuan soft skills di akhir masa pembelajaran, sehingga ketika mereka lulus dan memasuki dunia kerja mereka telah dibekali dengan kemampuan akademis sesuai bidang keahliannya dan ketrampilan intrapersonal dan interpersonal yang akan mereka butuhkan di dunia kerja. Untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh dosen dalam model pembelajaran, maka penulis memberikan alternatif pembelajaran kontekstual untuk merespon tuntutan ini dimana pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademik mereka dalam berbagai konteks untuk memecahkan simulasi atau masalah dunia nyata, baik sendiri maupun dengan orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi oleh dosen bahasa Inggris strategi mengajar, pengetahuan tentang industri, dan strategi memenangkan persaingan global bagi mahasiswa dengan tetap memegang teguh jati diri dalam koridor sopan santun sebagai orang Indonesia. 2. Kajian Pustaka a. Soft Skills Istilah soft skills menurut Simpson (2006) muncul dari dua sumber, Pertama, dari pihak pemberi kerja yang merasa perlu untuk mengidentifikasi faktor-faktor non teknis dan non tradisional serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh pekerja untuk berhubungan dengan orang lain. Kesadaran akan pentingnya ketrampilan berhubungan dengan orang lain tersebut didasarkan pada perubahan dalam dunia bisnis dan industri yang awalnya berfokus pada industri manufaktur menjadi industri jasa dimana soft skills ini berperan penting didalamnya. Kedua, istilah soft skills muncul dari sebuah proyek yang dilakukan oleh European Social Fund (dalam Simpson, 2006) dimana didapat istilah soft skills yang merupakan ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai soft outcomes. Dimana soft outcomes digambarkan sebagai sesuatu yang sulit atau tidak mungkin untuk diukur. Sedangkan Klaus (2007) menyatakan bahwa “soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational”. Hal ini sejalan dengan pendapat Tripathy (2006), yang menyatakan bahwa soft skills adalah kemampuan yang bersifat afektif yang dimiliki seseorang, selain kemampuan atas penguasaan teknis formal intelektual suatu bidang ilmu yang memudahkan seseorang untuk diterima di lingkungan hidup dan lingkungan kerja meliputi: awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management. Sailah (2008) membagi soft skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” ”mengatur” diri sendiri. Intrapersonal skills sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai berhubungan dengan orang lain. Adapun Interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Sharma (2009), menyebutkan bahwa soft skills adalah seluruh aspek dari generic skills yang juga termasuk elemenelemen kognitif yang berhubungan dengan non-academic skills. Ditambahkan pula bahwa, berdasarkan hasil penelitian, tujuh soft skills yang diidenfikasi dan penting dikembangkan pada peserta didik di lembaga pendidikan tinggi, meliputi; keterampilan berkomunikasi (communicative skills), keterampilan berpikir dan menyelesaikan masalah (thinking skills and Problem solving skills), kekuatan kerja tim (team work force), belajar sepanjang hayat dan pengelolaan informasi (long life learning and Information management), keterampilan wirausaha (entrepreneur skill), etika, moral dan profesionalisme (ethics, moral and professionalism), dan keterampilan kepemimpinan (leadership skills). b. Pembelajaran berbasis konteks Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang mengkaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata, untuk mendorong pembelajar membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan dengan pembelajran kontekstual ini mendorong pengajar untuk memilih atau mendesain lingkungan pembelajaran, yaitu memadukan sebanyak mungkin pengalaman belajar, seperti lingkungan sosial, budaya dan psikologi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris bisnis, penggunaan topik kehidupan sehari-hari, topik manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, keuangan, surat bisnis, interview pekerjaan, keuangan dsb. sebagai bahan praktik berkomunikasi di kelas maupun di luar kelas akan membantu peserta didik mengembangkan soft skills sekaligus membantu mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Konsep dasar pendekatan kontekstual ini diperkenalkan pertama kali tahun 1916 oleh John Dewey, yang mengetengahkan bahwa kurikulum dan metodologi pembelajaran seharusnya erat berhubungan dengan minat dan pengalaman mahasiswa. Proses belajar akan lebih efektif bila pengetahuan baru yang diberikan kepada mahasiswa berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki mahasiswa sebelumnya (Suyanto, 2003: 2). Dewey tidak menyetujui konsentrasi pembelajaran pada pengembangan intelektual terpisah dari pengembangan aspek kepribadian. Di negaranegara maju gerakan untuk mengkaitkan kegiatan di dunia pendidikan sekolah dengan kegiatan di dunia kerja telah lama mendapat perhatian besar sehingga mendorong dilaksanakannya proses pendidikan dalam setting yang memungkinkan mahasiswa berinteraksi langsung dengan pengalaman nyata. 3. Elemen pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Constructivism), bertanya
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment) dan refleksi (reflection), ketujuh komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Constructivism Constructivism merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas dalam konteks yang terbatas, kemudian berkembang. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu sehingga hal itu mampu memberikan makna dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, yaitu pengalaman nyata dalam bentuk berbahasa. Ciri khas paradigma pembelajaran konstruktivisme adalah keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal, dan gaya belajar tiap-tiap siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila mereka mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya b. Questioning Questioning merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Pembelajaran berbasis CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa, termasuk juga dalam membimbing dan mengarahkan pengetahuan siswa dalam berbahasa Inggris Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru diarahkan untuk: (1) mengetahui apa yang telah diketahui siswa; (2) membangkitkan rasa ingin tahu; (3) memusatkan perhatian siswa pada suatu objek pembelajaran; (4) merangsang respons siswa; (5) memicu pertanyaan-pertanyaan selanjutnya; (6) menyegarkan kembali apa yang telah dipelajari; dan (7) mengetahui apakah siswa sudah memahami materi yang disajikan.. c. Inquiry Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pembelajaran yang menggunakan inquiry menciptakan situasi yang memberikan kesempatan kepada siswa sebagai ilmuwan sehingga mereka betul-betul belajar. Siswa harus mampu mengamati dan mempertanyakan sebuah fenomena, mereka mencoba menjelaskan fenomena yang diamati, menguji kebenaran penjelasan mereka, kemudianmenarik kesimpulan d. Learning Community Learning community adalah sekelompok orang yang terlibat dalam kegiatan belajar yang memahami pentingnya belajar, baik belajar secara individual maupun berkelompok agar mereka dapat belajar lebih mendalam. Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberikan informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya, sekaligus minta informasi yang diperlukan. e. Modeling Dalam pembelajaran tersebut, guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan memanfaatkan gerak mata (scanning). Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa mengamati guru membaca dan membolak-balikkan teks. Gerak mata guru menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan demikian, siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” f.
Authentic Assesment Penilaian authentic menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang ditunjukkan oleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi dapat juga teman sesama siswa,atau orang lain. Authentic assessment adalah bagian dari pembelajaran kontekstual yang meliputi berbagai bentuk penilaian yang mencerminkan bagaimana siswa belajar, bagaimana prestasi belajarnya, bagaimana motivasi dan sikapnya dalam semua kegiatan pembelajaran di kelas g. Reflection Reflection merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran CTL. Reflection merupakan cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dikatakan pada masa yang lalu. Siswa memahami, menghadapi, menghayati, dan mengendapkan hal yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan dan revisi dari pengetahuan sebelumnya. Melalui pembelajaran yang mengkaitkan dengan konteks kehidupan nyata tersebut akan dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih baik yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajarnya, sebagaimana diungkapkan oleh Owens (Joko Sulianto, 2011) yang menyatakan bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat dan ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh. 4. Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and development (R&D). Menurut Gay (1990), pendekatan research and development (R&D) digunakan tidak untuk menguji teori, tetapi untuk mengembangkan dan memvalidasi perangkat-perangkat yang digunakan di sekolah agar bekerja dengan efektif dan siap pakai. Produk-produk berupa subject special pedagogy (SSP) dalam penelitian ini, dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan berdasarkan spesifikasi pembelajaran berbasis konteks untuk pengembangan softskills. Beranjak dari pertimbangan pendekatan sistem bahwa pengembangan asesmen tidak akan terlepas dari konteks pengelolaan maupun pengorganisasian belajar, maka dipilih model spiral sebagaimana yang direferensikan oleh Cennamo dan Kalk (2005:6). Dalam model spiral ini dikenal 5 (lima) fase pengembangan yakni: (1) definisi (define), (2) desain (design), (3) peragaan (demonstrate), (4) pengembangan (develop), dan (5) penyajian (deliver). Define
Outcomes
Design Demonstrate Develop
Activities
Deliver
Learner
Evaluation
Assessm ent
Gambar 1. Lima Fase Perancangan Pengajaran Model Spiral diadaptasi dari „Five phases of instructional design‟ dari Cennamo dan Kalk, (2005:6)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Keterangan : Menunjukkan fase-fase pengembangan Menunjukkan arah proses pengembangan Fase-fase itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: a. Fase definisi (define), pada fase ini pengembang memulai menentukan lingkup kegiatan, outcomes, jadwal dan kemungkinan-kemungkinan untuk penyajiannya. Fase kegiatan ini menghasilkan usulan kegiatan pengembangan berupa rancangan identifikasi kebutuhan, spesifikasi tujuan, patok duga keberhasilan, produk akhir, strategi pengujian efektivitas program dan produk. b. Fase perancangan (design), meliputi garis besar perencanaan yang akan menghasilkan dokumen rancangan pengajaran dan asesemen. c. Fase peragaan (demonstrate), fase ini merupakan kelanjutan untuk mengembangkan spesifikasi rancangan dan memantapkan kualitas sarana dan media pengembangan produk paling awal, dengan hasil berupa dokumen rinci tentang produk (storyboards, templates dan prototype media bahan belajar). d. Fase pengembangan (develop), fase ini adalah fase lanjutan yaitu melayani dan membimbing pebelajar dengan hasil berupa bahan pengajaran secara lengkap, kegiatan intinya adalah upaya meyakinkan bahwa semua rancangan dapat digunakan bagi pengguna dan memenuhi tujuan. e. Fase penyajian (deliver), fase ini merupakan fase lanjutan untuk menyajikan bahan-bahan kepada klien dan memberikan rekomendasi untuk kepentingan kedepan; hasil dari fase ini adalah adanya kesimpulan sukses tidaknya rancangan produk yang dikembangkan bagi kepentingan pengguna dan dari tim yang terlibat. B.
HASIL DAN PEMBAHASAN Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan soft skills dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Karena itu muatan pendidikan soft skills dalam penelitian ini diarahkan agar mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona:1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behaviour baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality (Piaget, 1967; Kohlberg; 1976; Eisenberg-Berg; 1981). Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk peserta didik menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati diantaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya kreatifitas/kecakapan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain (Megawangi et.al, 2005). Dalam mengembangkan soft skills tersebut, digunakan pembelajaran berbasis konteks. Pada dasarnya semua pendekatan, strategi, atau teknik pembelajaran yang menghubungkan dengan pengalaman kehidupan nyata para siswa merupakan elemen pembelajaran berbasis konteks. Tujuh elemen pokok yang menandai pembelajaran berbasis konteks, dan berupaya dikembangkan dalam penelitian ini adalah, constructivistics, questioning, inquiry, learning community, modeling, authentic assesment, dan reflection. Ke 7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” elemen tersebut saling terkait dan elemen constructivistic menjadi elemen utama yang menjiwai ke 6 elemen lainnya. a. Constructivism Pada pembelajaran bahasa Inggris Bisnis dengan constructivistic, keaktifan dan keterlibatan mahasiswa dalam proses belajar sesuai dengan tahapan kemampuan, pengetahuan awal, dan gaya belajar masing-masing dengan bantuan pendidik sebagai fasilitator yang mengarahkan, memonitor, dan membantu saat mahasiswa mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya. Pembelajaran bahasa Inggris Bisnis berhasil mengembangkan potensi mahasiswa karena mahasiswa mengambil peran besar sejak awal proses pembelajarannya. Peran keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran dimulai dari kesadarannya akan manfaat belajar untuk hidupnya di masa mendatang karena sejak awal tujuan pembelajaran dinegosiasikan dengan mahasiswa sehingga tujuan itu menjadi milik, cita-cita, impian yang kuat dalam diri masing-masing mahasiswa . Selain menanamkan pengertian tentang manfaat bahasa Inggris dalam kehidupan terutama dalam menghadapai tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), mahasiswa didorong mau belajar keras dengan menanamkan kesadaran bahwa, setiap keberhasilan gemilang yang dicapai seseorang selalu dicapai dengan semangat baja atas dasar impian, cita-cita, tujuan yang tertancap kuat dalam lubuk hatinya b. Questioning Dalam pembelajaran bahasa Inggris, asking questions in English mulai dari yang paling sederhana What is this?Where, when, Why, dan How adalah cara yang sangat efektif untuk belajar berkomunikasi. Dalam pembelajaran speaking, kegiatan banyak bertanya akan melancarkan kemampuan berbicara dan melancarkan kemampuan mendengarkan jawaban. Jangan harap seseorang akan bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar kalau dia tidak pernah mau bertanya atau tidak pernah mau menjawab pertanyaan orang lain. Jangan harap kelas Bahasa Inggris akan menghasilkan kemampuan berbicara bagi para peserta didiknya kalau pendidiknya tidak pernah mau bertanya, tidak pernah mau memberi peluang untuk bertanya, atau tidak pernah menjawab pertanyaan. Dalam pembelajaran menulis, kegiatan bertanya sangat membantu mengembangkan gagasan atau memfokuskan gagasan untuk kemudian ditulis. Dalam pembelajaran membaca, kegiatan tanya jawab akan membantu mengaktifkan schemata peserta didik terhadap topik yang dibahas dalam text dan membantu peserta didik melakukan kegiatan komunikasi multi arah antara peserta didik dengan pendidik dan dengan text. Kemampuan bertanya dan kemampuan memberikan jawaban yang kritis dan jelas tapi sopan dan menyejukkan sesuai dengan budaya jawa (landep tanpo natoni, pinter tanpo ngguroni, menang tanpo ngasorake, keneng iwake tanpo mbutekake banyune, kata orang Jawa) tidak hanya memerlukan kemampuan bahasa yang baik tapi juga memerlukan kemampuan interperesonal dan kematangan emosional yang perlu dikembangkan tidak hanya bagi peserta didik tapi juga para pendidik. Dengan pola ini, kita semua yang merasa belum mampu bertanya atau menjawab pertanyaan dengan jelas dan sopan segera berusaha meningkatkan kemampuan dan karakter dirinya. Pertanyaan oleh peserta didik juga bisa dijadikan dasar assessment perkembangan kompetensi Bahasa Inggris dan perkembangan kematangan emosional peserta didik, sehingga pendidik bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk melanjutkan proses pembelajaran yang lebih mengoptimalkan keberhasilan belajar peserta didik. Sekali lagi perlu diingat bahwa mengajar bahasa Inggris bukan saja meningkatkan kemampuan berkomunikasi dalam
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Bahasa Inggris tetapi juga mengembangkan kepribadian peserta didik agar bisa berkomunikasi dengan jelas dan sopan sehingga diterima oleh masyarakatnya. c. Inquiry Pembelajaran bahasa Inggris bisnis berpendekatan inquiry memberi peluang dan tantangan kepada mahasiswa untuk banyak berusaha menemukan sendiri berbagai konsep dan teori business letter melalui kegiatan mencari, mencoba, mempraktekkan, mengamati, dan menyimpulkan. Untuk memfasilitasi pembelajaran inquiry, diberikan kegiatan eksperimen membuat surat bisnis pada perusahaan. Pembelajaran berdasar inquiry menitikberatkan hasilnya pada kemampuan dan pembiasaan belajar (Learning how to learn) secara mandiri yang sustainable, yang diharapkan bisa terus dilakukan oleh mahasiswa dalam pengembangan dirinya secara terus menerus bisa dilakukan oleh siswa dalam pengembangan diri setelah lulus dari sekolah. Dalam pembelajaran berkomunikasi bahasa Inggris berdasar inquiry, peserta didik tidak diajari pola-pola kalimat, atau tatacara berkomunikasi yang baik untuk dihafalkan dan kemudian dipraktekkan, tetapi didorong untuk menemukan sendiri pola-pola kalimat atau tatacara berkomunikasi yang baik melalui banyak kegiatan praktik menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam Bahasa Inggris. Kelas Bahasa Inggris yang tidak diwarnai banyak praktik berkomunikasi berbahasa Inggris oleh peserta didik, kelas bahasa Inggris yang didominasi ceramah tentang Bahasa Inggris oleh pendidiknya tidak akan menghasilkan ketrampilan berbahasa Inggris bagi peserta didik, tapi akan lebih banyak menghasilkan pengetahuan tentang Bahasa Inggris bagi peserta didiknya. d. Learning community Pembelajaran bahasa Inggris bisnis berbasis konteks mendorong siswa membentuk satu “Masyarakat Belajar”. Dalam “Masyarakat Belajar” itu, seluruh anggota bertanggung jawab atas perkembangan belajar setiap anggota kelompoknya. Mereka diarahkan untuk berupaya membuat seluruh anggota kelas mencapai tujuan pembelajaran secara bersama-sama dengan cara belajar bersama, saling bertanya dan menjawab, saling membantu, tidak ada yang mendominasi dan tidak ada kompetisi. Dalam “Masyarakat Belajar”, setiap mahasiswa percaya bahwa setiap anggota kelompok memiliki pengalaman dan pengetahuan penting yang dia sendiri tidak atau belum memilikinya. Setiap pengalaman layak dikomunikasikan baik secara lisan (untuk dibicarakan dan didengarkan) maupun tertulis (untuk ditulis dan dibaca). Semua anggota yakin bahwa apabila pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota itu saling dipertukarkan, maka seluruh anggota akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kaya. Penggalakan sistim belajar dengan “Masyarakat Belajar” didorong oleh kenyataan di dunia bahwa orang yang sukses dalam karir saat ini bukan orang yang unggul dalam bersaing tetapi orang yang unggul dalam bekerjasama dengan orang lain seperti karakter CEO TOP yang saya sebutkan di atas. Dalam kerangka contoh yang lebih luas adalah dunia melihat bahwa kita bangsabangsa di dunia ini tidak bisa hidup sendiri. Kita bangsa-bangsa di dunia ini tidak mampu menyelesaikan persoalan dunia ini sendirian. Perdamaian di dunia ini belum bisa terwujud karena kita belum mampu bekerjasama dengan baik. Persaingan yang selama ini menjadi pegangan dalam arena hidup di dunia ini telah dirasakan saling merugikan. e. Modeling Dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis konteks, cara belajar tidak hanya pemberian instruksi oleh dosen kepada mahasiswa, tetapi harus langsung
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
f.
didemonstrasikan di depan mahasiswa agar menjadi model belajar bagi mahasiswa. Dalam hal ini contoh menerima dan menanggapai complain pelangggan dalam bisnis, dengan cara menggunakan perlu diberi pengalaman menggunakan useful expression dalam bertelepon. Kelemahan siswa dalam bahasa Inggris adalah mencari kata yang sesuai dengan situasi, untuk itu perlu diberi contoh cara menemukan makna kata dari kamus bahasa Inggris, misalnya, perlu diberi model langsung oleh pendidik. Pendidik menunjukkan cara membuka kamus Bahasa Inggris, menemukan halaman yang berisi kata yang sedang dicari, memberi contoh bagaimana mengucapkan kata tersebut, dan bagaimana memilih makna yang tepat untuk text yang sedang dibaca. Pendidik yang tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar tidak mungkin berhasil meningkatkan kemampuan berbicara para peserta didiknya. Begitu juga dalam ketrampilan Bahasa Inggris lainnya; menyimak, membaca, dan menulis. Dengan kata lain, kelas bahasa Inggris yang diasuh oleh pendidik yang tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik akan sulit diharapkan berhasil. Authentic assessment Karena paradigma constructivistic yang dipakai dalam proses pembelajaran bahasa Inggris bisnis, maka tujuan pembelajaran dirubah dari berorientasi pada hasil yang berupa penghafalan informasi faktual, dari transfer informasi oleh guru ke siswa (transmission-oriented), ke orientasi proses yang menekankan pengembangan ketrampilan belajar. Dalam praktek pembelajaran Bahasa Inggris bisnis, maka alternatif yang tepat untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang berbasis konteks adalah authentic assessment yang dilakukan oleh masing-masing guru di sekolah seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XVI, Pasal 58, Ayat 1: Penilaian hasil belajar mahasiswa dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar mahasiswa secara kesinambungan. Beberapa ciri khas authentic assessment adalah (1) assessment tidak dipisahkan dari proses pembelajaran, oleh karena itu authentic assessment dilakukan secara on going sepanjang berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (2) hasil assessment bisa dipakai untuk memperbaiki proses pembelajaran karena yang dihasilkan adalah informasi akurat (dengan tingkat reliabilitas yang tinggi) tentang kemajuan hasil belajar, tentang motivasi mahasiswa , sikap mahasiswa terhadap kegiatan belajar (O‟Malley & Pierce, 1996:4), dan tentunya juga tentang perkembangan karakter mahasiswa , (3) tugas yang diberikan kepada mahasiswa untuk authentic assessment tidak berbeda jauh dari apa yang dilakukan mahasiswa ketika belajar dan ketika menggunakan ketrampilannya dalam kehidupan nyata. Beberapa contoh teknik authentic assessment yang terkenal adalah performance assessment, portfolios, dan student-self assessment. Dalam performance assessment, peserta didik bisa ditugasi untuk mendemonstrasikan suatu kegiatan yang telah dipelajari, memecahkan masalah, memberikan laporan lesan, memberikan contoh tulisan, melakukan kegiatan proyek perorangan atau kelompok, atau melakukan pameran karyanya. Atas dasar tugas itulah kemajuan belajar, ketrampilan, sikap dan motivasi, dan nilai-nilai karakter peserta didik dikembangkan dan dievaluasi. Dalam proses penilaian dengan performance assessment ini siswa diajak bersama-sama menilai (O‟Malley & Pierce, 1996:5). Dalam portfolio assessment, penilaian tentang kemajuan belajar, ketrampilan, sikap, motivasi pengembangan nilai-nilai pembentuk karakter peserta didik dilakukan atas kumpulan hasil karya peserta didik, yang berupa contoh tulisan, catatan harian, gambar dengan komentar dalam bahasa Inggris, komentar pendidik atau peserta didik lain, yang telah disusun oleh peserta didik
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” sendiri yang dianggap terbaik oleh peserta didik (O‟Malley & Pierce, 1996:5). Dalam portfolio assessment keterlibatan peserta didik sangat besar, yakni menyusun sendiri karyanya yang paling baik yang siap untuk dinilai. g. Reflection Refleksi adalah evaluasi terhadap efektifitas kegiatan yang telah dilakukan sendiri. Pendidik mengevaluasi efektifitas kegiatan mengajar yang telah dilakukan, peserta didik mengevaluasi efektifitas strategi belajar yang telah dilakukan. Mengevaluasi efektifitas berarti melihat kegiatan mana yang belum tepat atau yang belum membawa hasil optimal dan harus diperbaiki atau ditingkatkan. Refleksi hanya bisa dilakukan oleh pendidik yang ingin berkembang dalam kariernya sebagai seorang pendidik profesional, oleh peserta didik yang memiliki komitmen untuk berhasil dalam belajar. Mengidentifikasi kesalahan dirinya atau yang dilakukannya menjadi kunci bagi kemajuan diri karena dari kesalahan itulah dia bisa berusaha menjadi lebih efektif, pendidik bisa merevisi kegiatannya dengan yang lebih efektif, peserta didik bisa merevisi strategi belajarnya dengan yang lebih efektif. Refleksi bisa dilakukan sendiri secara perorangan (pendidik mengevaluasi diri sendiri, masing-masing peserta didik mengevaluasi diri sendiri) atau secara kelompok. Misalnya refleksi tentang kegiatan mengajar oleh pendidik dievaluasi oleh peserta didik yang ada dalam kelasnya atau dievaluasi oleh pendidik dari kelas lain. Refleksi tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak berani melihat kekurangan diri sendiri atau kesalahan dalam kegiatan mengajarnya, atau tidak mau menerima kritik dari orang lain. Bahkan teman kritis (critical friend) sangat penting peranannya dalam kegiatan refleksi untuk membantu menunjukkan kelemahan tiap orang. Refleksi juga tidak berguna bagi orang yang tidak mau belajar dari kesalahannya sendiri, karena untuk bisa maju (melakukan kegiatan yang lebih efektif) kekurangan harus diperbaiki, tidak boleh terulang. Pendidik atau peserta didik yang terlatih melakukan refleksi akan memiliki kemapuan metakognisi yang tinggi, yaitu yang mampu mengevaluasi sendiri efektitas cara berfikirnya, kegiatan atau strategi yang dilakukannya, keputusan yang diambilnya, serta mampu memperbaiki sendiri kekurangannya. Pada tabel berikut ini merupakan gambaran hubungan antara pembelajaran bahasa Inggris berbasis konteks dengan pengembangan soft skills. Tabel 1 Hubungan pembelajaran konteks dengan soft skills Pembelajaran Berbasis Konteks Pengembangan Softskills Mahasiswa diajak terlibat secara aktif Kemandirian, keberanian mengemukakan melakukan Pendapat kegiatan proses pembelajaran Diciptakan suasana yang membantu Ketelitian, kemampuan menganalisis mahasiswa melihat langsung manfaat pembelajaran Diciptakan kegiatan yang memungkinkan Kerjasama, saling menghargai, toleransi mahasiswa belajar dari mahasiswa yang lain melalui kerja kelompok atau kerja tim Kegiatan pembelajaran dihubungkan Kepekaan terhadap lingkungan, dengan kegiatan di dunia nyata atau kemampuan menganalisis dan sintesis, dihubungkan dengan isu yang kemampuan beradaptasi dengan disimulasikan dengan masalah konkret lingkungan, kemampuan menghubungkan sekitar diri mahasiswa Kegiatan Pembelajaran bertujuan Pengembangan karakter secara umum mengembangkan kemampuan akademis
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” dan karakter secara simultan Mahasiswa didorong untuk berperan aktif Tanggung jawab, kedisiplinan, keberanian dan pertanggung jawab dalam meminitor mengambil resiko, menghormati peran dan mengembangkan kemajuan belajar orang tua dan guru mereka sendiri dan melaporkan perkembangannnya kepada pendidik dan orang tuanya Proses pembelajaran selalu dirancang Kemampuan belajar dari pengalaman dan dengan memanfaatkan konteks kehidupan kenyataan, kepekaan terhadap lingkungan, mahasiswa yang sangat variatif dan senang belajar, dan komprehensif dalam berangkat dari pengetahuan awal menentukan solusi mahasiswa Perkembangan hasil pembelajaran Pengembangan diri terus menerus mahasiswa dimonitor dengan berbagai cara (continous development), kemampuan secara comprehensive untuk melihat mengevaluasi diri (self evaluation) kemajuan hasil belajar serta efektifitas strategi pembelajaran yang digunakan. Pendidik bertindak sebagai fasilitator yang Kemampuan komunikasi dengan orang memberi informasi, memberi contoh, dewasa, keberanian bertanya, keberanian membimbing, mengarahkan, memonitor mengambil tindakan dengan bimbingan perkembangan hasil pembelajaran guru mahasiswa Lingkungan pembelajaran diupayakan Menyadari manfaat lingkungan sekitar sedinamis mungkin, bervariasi, dan menyenangkan Mahasiswa dan pendidik didorong untuk Berani mengambil resiko, berani mencoba secara kreatif melakukan inovasi teknik teknik baru dalam proses pembelajaran pembelajaran yang lebih aktif, efisien, dan menggairahkan Proses pembelajaran yang membuat Menyadari keterampilan proses sama mahasiswa mencintai kegiatan belajar sama pentingnya dengan hasil belajar pentingnya dengan hasil pembelajaran yang dicapai siswa Mahasiswa didorong untuk melaksanakan Kemampuan beradaptasi dan belajar dalam kegiatan pembelajaran dalam berbagai berbagai situasi setting dan konteks Sumber : Adaptasi dari conceptual framework, University of Georgia College of Education, Contextual teaching and Learning Project Keunggulan pembelajaran berbasis konteks dalam pencapaian soft skills siswa pada tingkat characterization (karakterisasi) ditunjukkan dari kemauan siswa untuk berusaha untuk memberikan hasil diskusi kelompok yang terbaik dan mengerjakan kuis yang diberikan untuk meningkatkan skor kelompoknya. Aktivitas siswa yang lebih banyak dalam pembelajaran di kelas dapat memudahkan siswa untuk memahami materi yang dipelajari sehingga hasil belajar siswa lebih baik daripada siswa yang cenderung berperan pasifdalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Martinis (2007) bahwa peran aktif dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran mendorong tercapainya suatu indikator dari kompetensi dasar yang telah dikembangkan dari materi pokok.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” C. Kesimpulan Berdasarkan evaluasi keterlaksanaan sintaks pembelajaran, maka ketujuh komponen yang menandai pembelajaran berbasis konteks (constructivistics, questioning, inquiry, modelling, learning community, authentic assesment, dan reflection) dapat dikembangkan dengan baik dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian dengan pokok bahasan. Kegiatan belajar yang dilakukan dengan berbasis konteks, menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi/proses pengembangan nilai. Hal ini menumbuhkan soft skills pada diri mahasiswa melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas pembelajaran, lingkungan kampus, dan tugastugas di luar kampus. Identifikasi softskills yang berhasil dikembangkan adalah; keterampilan sosial dalam bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain, kerja keras, keberanian mengemukakan pendapat, keberanian berbicara, ketelitian dan tanggung-jawab. Walaupun model ini bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali, namun harus disadari bahwa penerapan model pembelajaran tersebut memberikan arah yang lebih kompetitif bagi lulusan sehingga diharapkan mereka akan menjadi sumber daya manusia pembangunan yang bermutu dan mempunyai : 1) kompetensi personal dan interpersonal, 2) kompetensi penguasaan iptek, 3) kompetensi produktifitas dan, 4) kompetensi penyelesaian masalah. Pada akhirnya kita selalu berharap, bahwa Indonesia menjadi sebuah negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya, mengingat krisis global yang melanda dunia dengan persaingan kompetitif, adalah tugas besar bagi kita, melalui inovasi penerapan model pendidikan dan pengajaran, untuk mampu menemukan solusi yang terbaik untuk mampu menghadapi tantangan global dalam wawasan ASEAN 2015 yang sarat akan pasar bebas sehingga mampu di antisipasi dampak terburuk bagi masyarakat kita secara umum dengan meningkatkan daya saing lulusan yang tinggi. .
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” DAFTAR PUSTAKA
Conceptual framework, University of Georgia College of Education, Contextual Teaching and Learning Project (http://www.coc. Uga.edu/ctl/ framework.html) diakses 21 Januari, 2016 Cennamo, K. And Kalk, D. 2005. Real World Instructional Design. Canada: Thomson Learning, Inc. Eisenberg-Berg, N., & Neal, C.( 1981). The effects of person of the protagonist and costs of helping on children's moral judgement. Personality and Social Psychology Bulletin, 7, 17- 23. Gay, L.R. (1990). Educational Evaluation and Measurement: Com-petencies for Analysis and Application. Second edition. New York: Macmillan Publishing Compan. Joko Sulianto. 2011. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan berpikir Kritis pada siswa Sekolah Dasar. http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1867: pendekatan-kontekstual-dalampembelajaran- matematika-untuk-meningkatkanberpikir-kritis-pada-siswa-sekolahdasar& catid=159:artikel-kontributor. Diakses 11 Maret 2014 Klaus, P. (2007). The Hard Truth about Soft Skills . New York: Harper Collins Publisher Kasihani, E.K. dan Suyanto. 2003. Contextual Teaching and Learning (CTL): dalam Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Makalah disajikan pada TOT „Contextual Teaching and Learning’ Bidang Studi Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Kohlberg, L..(1976). “Moral Stages and Moralization. The Cognitive-Developmental Approach.” Moral Development and Behavior: Theory, Research and Social Issues. Thomas Lickona (ed) News York: Holt, Rinehart, Winston Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books. Martinis, Y. 2007. Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Tim Gaung Persada Press. Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. 2005. Pendidikan Holistik.Indonesia Heritage Foundation. Cimanggis Nathan, S. & Taylor, N. 2008. Linking Cooperative Education and Education for Sustainability: A New Direction for Cooperative Education? Asia Pacific Journal of CooperativeEducation. Vol. 4 (1): 1-8. O‟Malley, J.M. Pierce, L. V. 1996 Authentic Assessment For English language Learner, Practical Approaches for Teachers. Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Piaget, J. (1967/1971). Biology and knowledge: An essay on the relation between organic regulations and cognitive processes. Chicago: University of Chicago Press. Peraturan Presiden No 08 tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2011 Sailah, I. (2008). Pengembangan Soft skills di Perguruan Tinggi . Tim Kerja Pengembangan Soft skills Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi : Jakarta Sanjaya, W. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; 2010 Sharma, A. (2009) Professional Development for Teachers. http://schoolofeducators.com/2009/02/ importance-of-soft-skills-development- in education. Diakses tanggal 21 Maret 2016. Schulz, B. 2008. The Importance of Soft Skills: Education Beyond Academic Knowledge. NAWA Journal of Language and Communication. Vol. 2 (1): 146-154. Simpson, Simon J.A. (2006). The Measurement and Recognition of Soft Skills : Developing a Common Standard?. http:// www.surrey.ac.uk/politics/cse/M-and-R of Soft Skills. pdf. Diakses tanggal 12 Maret 2016. Sudjana, N. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar baru Algesindo; 2004.
Tripathy. (2006). When Going Gets Tought, The Soft Get Going. http://www.selfgrowth.com/articles/Tripathy1 .html Diakses pada tanggal 15 April 2016 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. Wagner, Tony. 2008. The Global Achievement Gap. New York: Basic Books .