Proses Kreatif Koreografi Karya Tari ‘Subur’ Dwi Maryani Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jl. Ki Hajar Dewantara 19, Kentingan, Jebres, Surakarta 57126 ABSTRACT This paper describes the creative process of choreography of fat people. It also explains that a dancer with a fat posture is not always unpleasant. A fat person is more represented, in a positive way of thinking, with “subur” person. The questions to be discussed are: how is the character of dance movement of the fat people? And how is the choreography of the fat people in order to be looked beautiful and attractive? The creative process has been conducted through analyzing self dance movements and comprehending someone’s painting works. The result of the study shows that dances which are performed by fat people can also be looked attractive, smooth and beautiful. Keywords: creative process, choreography
ABSTRAK Tulisan ini menguraikan proses kreatif koreografi orang bertubuh gemuk. Tulisan ini juga menjelaskan bahwa seorang penari bertubuh gemuk tidak selalu jelek. Orang yang gemuk, dalam pengertian positif, lebih banyak diartikan dengan orang yang ‘subur’. Permasalahan yang diangkat ialah bagaimana karakter gerak tarian orang bertubuh gemuk? Serta bagaimana koreografi orang bertubuh gemuk agar kelihatan indah dan menarik? Proses kreatif dilakukan melalui penelaahan gerak-gerak dari diri sendiri serta pemahaman terhadap karya seni lukis seseorang. Hasil kajian menunjukkan bahwa tarian yang ditampilkan oleh orang gemuk bisa juga terlihat menarik, halus, dan indah.
Kata kunci: proses kreatif, koreografi
PENDAHULUAN Sardono W. Kusumo, dalam suatu kesempatan perkuliahan mengemukakan bahwa setiap penari akan selalu dipengaruhi oleh permasalahan masa lalu dan pandangan masa depannya sebagai manusia. Pernyataan tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa usaha serta proses pencarian lewat pergumulan permasalahan yang
tengah dihadapi. Pada akhirnya pengkarya menemukan jati diri masing-masing dan ternyata hampir semua berangkat dari persoalan pribadi. Atas saran Sardono W. Kusumo, penulis diharapkan mampu mencari solusi tentang tari dan penari, di antaranya penari yang berpostur gemuk. Karya Tari ‘Subur’ berangkat dari pencarian jati diri, yang dikembangkan melalui proses pen-
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013
ciptaan yang panjang. ‘Subur’ yang dimaksudkan di sini merupakan konotasi dari bentuk tubuh yang gemuk. ‘Subur’ menjadi pilihan karena dirasa lebih tepat dan lebih luas sebagai penunjuk pengganti kata ‘gemuk’. Kesuburan memiliki makna ganda, utamanya bagi tubuh manusia, dapat diartikan sebagai subur rejeki, pengalaman jiwa, atau subur dalam bentuk tubuh (gemuk) yang dimaknai dengan konotasi makmur dan serba kecukupan (Alma M Hawkins, 2002: 6-7). Dalam kehidupan masyarakat Jawa, subur, dimaknai sebagai lahan (tanah) garap yang mampu memberikan hasil bumi bagi kehidupan sepanjang hayat. Pada wilayah ini kemudian muncul legenda Dewi Sri, yaitu penggambaran wanita sebagai dewi kesuburan. Pada kenyataannya memang kesuburan lahan pertanian menjadi sesuatu yang penting dalam masyarakat Jawa. Subur selalu dibutuhkan dan dirindukan keberadaannya karena merupakan simbol kemakmuran hidup. Orang yang bertubuh subur (gemuk) pada realita sekarang menjadi problematika bagi kaum perempuan. Masalah itu muncul ketika trend wanita cantik sekarang adalah wanita dengan sosok atau bentuk tubuh yang langsing. Oleh karena itu para wanita gemuk secara tidak langsung tersingkir dari bidang-bidang yang mengagungkan pencitraan cantik era modern sekarang. Misalnya, wanita gemuk tidak masuk dalam jajaran elit para model khususnya dan dunia entertain pada umumnya. Wanita gemuk juga tersingkir secara alami dari dunia tari yang mengandalkan gandar (tubuh ideal penari Jawa yang langsing, semampai, dan luwes) (Suharno, 2009: 42-48). Anggapan dan hukum alam itu memang tak mungkin dihindari oleh wanita gemuk. Menurut hemat penulis, tubuh hanyalah wadah bagi jiwa. Tubuh gemukkurus-cacat bukanlah utama, yang paling penting adalah bagaimana jiwa yang “ber-
322 teduh” dalam tubuh itu dapat beradaptasi dengan baik dan benar dalam kehidupan masyarakat. Bukan persoalan bentuk secara fisik, tetapi lebih pada mentalitas yang tertanam pada jiwa seseorang. Hal ini akan lebih memudahkan orang menerima kondisi fisik secara utuh apa adanya, terutama bagaimana mereka mampu berpikir positif terhadap kondisi yang dihadapinya. Realita ini diharapkan mampu menunjukkan bahwa kegemukan justru dapat dipandang sebuah keindahan, sebab jalan untuk mencapai sebuah keindahan adalah dengan melalui kejujuran dan kepasrahan. Dengan begitu terasa dapat menampakkan kemuliaan jiwa (Muji Sutrisno, 2010: 1923). Pernyataan ini penulis alami sebagai seorang pengajar tari yang tengah gelisah menghadapi kenyataan bahwa semakin lama tubuh menjadi semakin gemuk, terutama setelah melahirkan. Penulis tidak pernah menyesal dan menyalahkan dengan proses kehamilan dan melahirkan, karena ini kodrat wanita. Menyadari bahwa substansi dari spirit kehidupan adalah kemuliaan jiwa sehingga siapapun, di manapun, dan kapanpun dengan kejujuran serta kepasrahan, semua bisa menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan. Melalui karya Tari ‘Subur’, penulis ingin menyampaikan bahwa menjadi orang gemuk bukanlah hal yang buruk. Tetapi justru mempunyai keunikan dengan kegemukannya. Oleh karena itu, bagi orang gemuk tidak perlu minder dan harus percaya diri. Orang gemuk dapat membawakan dirinya dengan baik dan dapat diterima oleh lingkungan masyarakat. Penari dengan postur gemuk tidak selalu jelek, bisa luwes dan bahkan memiliki daya tarik, indah, dan enak ditonton. Bertolak dari itu kemudian penulis mempelajari tentang tubuh sendiri. Bagaimana tubuh yang gemuk itu bisa berbicara sehingga tampak keindahan dan
323
Maryani: Proses Kreatif Koreografi
daya tarik. Kemudian mulai berlatih dengan beberapa orang teman yang semuanya memiliki tubuh gemuk. Mereka bergerak tanpa malu-malu, walau kelihatan lucu, namun tampak percaya diri dan sangat menikmati gerak-geraknya. Dalam proses itu kemudian timbul ide mencari gerak dalam lukisan-lukisan orang-orang gemuk. Dalam proses pencarian itu, muncul pertanyaan-pertanyaan, bagaimana mencari karakter gerak dari tubuh gemuk? Bagaimana koreografi orang-orang gemuk itu supaya kelihatan indah dan menarik? Proses panjang itulah yang kemudian diharapkan menemukan titik akhir dari proses perjalanan membuat karya Tari ‘Subur’ ini.
PEMBAHASAN
Ide Garap Penari dengan postur tubuh gemuk tidak selalu jelek, namun bisa menarik, bisa luwes bergerak, indah, dan enak ditonton. Keunikan yang dimiliki oleh tubuh gemuk barangkali tidak dimiliki oleh orang yang bertubuh kurus. Kegemukan bukanlah aib tetapi harus dipahami dan disyukuri, hal ini merupakan salah satu rahmat yang tak terbantahkan dari Tuhan.
Gagasan Bentuk tubuh yang ideal adalah bentuk tubuh langsing, tinggi, seperti tergambar dalam cerita film dan sinetron, atau model. Apakah wanita gemuk tidak mungkin menjadi daya tarik? Gagasan karya tari ini berawal dari pendekatan terhadap wanita berbadan gemuk, dengan segala permasalahan penyertanya. Kemudian melakukan proses kreatif untuk mencari sesuatu yang cocok untuk
ditampilkan, ditarikan, dan disuguhkan. Sesuai dengan kondisi sebagai wanita gemuk yang mempunyai keinginan dan semangat untuk berbuat dan menyuarakan kegelisahan yang tidak sesuai dengan keinginan karena lingkungan. Kegelisahan demikian sudah merasuk dalam mental dan spiritual setiap wanita. Dengan demikian, penulis ingin mengangkat tingkah laku keseharian orang-orang gemuk dalam sebuah karya seni sebagai bahasa ungkap keindahan bukan lagi kegelisahan.
Tema Karya Tari ‘Subur’ memiliki tema ‘Tubuh gemuk dalam seni pertunjukan’. Eksplorasi gerak ini bertujuan untuk mencari karakter tubuh-tubuh gemuk yang akhirnya ditemukan keindahan dan keunikan. Keunikan ini justru ditampilkan dalam gerak-gerak keseharian dan gerak-gerak orang-orang gemuk di berbagai tempat. Termasuk juga menampilkan pose-pose dari lukisan.
Bentuk Garap Karya ini merupakan pencarian gerak bagi tubuh-tubuh gemuk di dalam seni pertunjukan, terutama tari. Sejak merasakan kegelisahan terhadap potensi tubuh gemuk yang semakin terjepit oleh tuntutan terhadap profesi pengajar tari dan sebagai penari, hingga munculnya kesadaran terhadap jati diri. Penulis berupaya mencari solusi dengan cara mengumpulkan orang-orang yang bertubuh gemuk diajak berproses bersama mencari kemungkinankemungkinan gerak. Proses itu ternyata membuka tabir kreativitas penulis, tidak disangka gerak-gerak orang bertubuh tambun itu ternyata memiliki keunikan. Proses kreatif itu kemudian berlan-
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013
jut ketika bertemu dengan seorang pelukis wanita, Wara Anindyah, yang ternyata juga sedang tertarik memilih objek lukisan orang-orang bertubuh gemuk. Di dalam lukisan tubuh-tubuh gemuk itu ternyata terlihat lebih menonjol. Akhirnya, proses pencarian gerak dan konsepsi lukisan disatukan menjadi sebuah karya tari yang berjudul ‘Subur’ (Daruni, 1977: 65-73).
Proses Penciptaan Karya Sejak kegelisahan terhadap bentuk tubuh yang semakin membesar dan merasa tidak nyaman selama mengajar di jurusan tari, mulailah penulis mencari programprogram pelangsing tubuh yang sesuai, namun semua upaya itu gagal, tetap gemuk dan akhirnya sampai pada tingkatan penulis tidak peduli, apakah tubuh ini gemuk atau tidak. Kehidupan harus tetap dan terus dijalani, tanpa harus bersitegang memikirkan bentuk tubuh yang semakin gemuk. Gemuk atau tidak, penulis tetap harus percaya diri, tidak minder, tampil berani, dan selalu berupaya lebih baik dalam menempatkan diri di lingkungan kerja ataupun lingkungan masyarakat. Dari pengalaman tersebut, penulis mencoba untuk memanfaatkan kegelisahan tentang kegemukan dengan menerapkan dan merespons keadaan sekitar, merespons apa yang sedang diperbincangkan atau popular tentang kegemukan di media yang berkembang saat ini. Ternyata banyak hal yang menarik serta banyak persoalan tentang kegemukan yang perlu digali dan dipahami. Berbagai percobaan gerak menuntut kekuatan individual penari, yang masing-masing tidaklah sama kualitas dan kekuatannya, sampai kemudian memunculkan pembatas ruang agar postur tubuh yang gemuk bisa lebih ditonjolkan. Frameframe pembatas ruang itu terinspirasi dari
324 lukisan Wara Anindyah, yang dengan polos mengatakan bahwa dengan lukisan yang gemuk/besar lebih mampu menampilkan karakter dalam objek lukisan lebih tegas, pewarnaannya juga bisa ditonjolkan. Karya ini terinspirasi dengan garap ruang seperti yang disuguhkan dalam lukisan berbingkai. Garap ruang yang dituangkan dalam bingkai-bingkai diolah sebagai ruang gerak untuk meniti perjalanan kehidupan meraih cita-cita dalam diri seorang wanita. Ruang yang terbingkai tersebut, baik dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan sosial, difungsikan sebagai pembatas ruang dan pembeda situasi. Bingkai-bingkai dalam ruang dan luar ruang tersebut menggambarkan, sebuah tatanan kehidupan yang dalam setiap bingkainya, mempunyai karakter yang berbeda, namun satu sama lain saling menunjang dan, saling berinteraksi. Ruang publik, yang digambarkan dengan keberadaan penari di luar bingkai adalah ruang pribadi dalam kaitannya dengan tatanan kehidupan sosial di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya karya tari ‘Subur’ bukan mutlak merupakan sebuah ekspresi lukisan ke dalam seni pertunjukan. Sementara hubungan antara koreografer dan pelukis, bukan merupakan satu-satunya ruang untuk bersosialisasi. Terlebih pada perkembangan perjalanan proses karya tari ini, melahirkan interaksi timbal-balik, yang keduanya saling mendukung dan mengisi. Yakni sama-sama terinspirasi untuk melukis dan menari, meskipun medianya berlainan (antara lukisan dan seni pertunjukan), namun objeknya sama-sama orang yang bertubuh besar. Demikian halnya dengan musik sebagai pendukung karakter dan penguat dalam pertunjukan ini. Musik dimanfaatkan bukan sebagai ilustrasi, tetapi ketika bahasa tubuh sudah tidak mampu mengekspresikan ide-gagasan, musik dan media lain
325
Maryani: Proses Kreatif Koreografi
(tata busana dan make-up yang mengacu pada lukisan Wara Anindyah) diharapkan mampu menjadi unsur pendukung utama. Artinya, keseluruhan sajian ini tidak dapat dikotak-kotakkan, melainkan semuanya merupakan kesatuan utuh sebagai sebuah pertunjukan, yang tidak saja berpijak dan mengacu karakter tokoh yang ada dalam lukisan, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Pertemuan pertama dengan Wara Anindyah, ternyata ada kesamaan kesepahaman terhadap problematik kegemukan. Hal ini dibuktikan dengan kelancaran ide-ide yang mengalir dalam proses karya Tari ‘Subur’. Sementara Wara Anindyah juga mengakui, setelah pertemuan itu, ia terinspirasi untuk melukis dengan tema-tema baru yang bermunculan memasuki wilayah imajinasinya, dan kini sudah menghasilkan beberapa luksian. Menurut budayawan Danarto, lukisan Wara Anindyah memiliki pancaran aura kuat dan bergaung panjang. Sardono, W. Kusumo menganggap ada daya performance yang mengikat. Politisi Laksamana Sukardi menyukai rasa karikarturistiknya, jurnalis Fikri Jufri menilai sangat problematis dan dilingkari misteri, inilah Frieda Kahlo dari Indonesia. Sementara tak sedikit kaum feminis merasa terwakili aspirasinya (Wara Anindiyah, 2001: 79). Adapun urutan proses perjalanan penciptaan karya Tari ‘Subur’ adalah sebagai berikut:
Gb. 1 Lukisan Wara Anindya berjudul Badai Asmara (Dokumen Dwi Maryani 2004)
sur keunikan tersendiri. Dilihat dari hasil karya lukisan, pelukis wanita Wara Anindyah banyak menggunakan objek orang gemuk. Menurut Wara pilihan itu untuk mengekspresikan makna lebih, bahwa dengan menggunakan objek orang-orang besar lebih bisa menampilkan karakter, garis wajah, bentuk tubuh, serta pewarnaan yang lebih tegas (Wara Anindyah, wawancara 15 Maret 2003).
Kerja Studio di Padmosusastran Observasi Penulis berulang kali melakukan wawancara dan mendokumentasikan lukisannya. Kemudian mengamati secara langsung hasil lukisan yang kebanyakan objeknya adalah orang gemuk. Dari hasil observasi di studio tersebut, dapat ditemukan makna bahwa di balik badan yang gemuk ada un-
Setelah memilih beberapa penari yang bertubuh gemuk, kemudian mengajak berlatih bersama dengan mengeksplorasi sesuai kemampuan masing-masing. menggunakan alat bantu pot bunga dari besi, dingklik (Jawa) dan batang pohon besar dengan ukuran panjang dua meter dan diameter 20 cm. Dari proses tersebut ditemukan kesan
326
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013
Gb. 2 Lukisan Wara Anindyah berjudul Wanita Terindah (Dokumen Dwi Maryani 2004)
Gb. 3 Proses di Sanggar Padmosusastro Solo (Dokumen Dwi Maryani 2003)
bahwa orang gemuk mampu melakukan keseimbangan gaya tubuhnya, walaupun dengan menggunakan media pot bunga peraga merasa kesulitan untuk bergerak, karena ruang gerak yang sangat terbatas.
sulitan bergerak di air dan batu-batu yang besar, namun justru ketika para penari menemukan kesulitan dimunculkan suatu keindahan tersendiri.
Kerja Studio di Alam Terbuka
Kerja di Studio
Pencarian lokasi sungai sengaja dilakukan, terutama yang banyak batu-batu besar. Lokasi tersebut akhirnya ditemukan di daerah Jenawi. Proses di tempat ini adalah mencoba mencari keselarasan obyek yang berhubungan dengan alam. Dengan menggunakan media yang ada di alam terbuka tersebut berupa bebatuan dan air, para penari melakukan gerakan meloncat, memanjat di bebatuan serta di air. Di tempat tersebut penari mengalami ke-
Gb. 4 Proses alam terbuka di daerah Balong, Jenawi (Dokumen Dwi Maryani 2003)
Di pendopo Gendon Humardani, penulis berlatih dengan alat bantu atau property berupa kasur dan busa (spon) dengan tebal 50 cm, serta ban dalam yang besar dari roda truk. Dengan alat bantu tersebut peraga melakukan gerakan mengolah tubuhnya. Dari latihan tersebut ditemukan keunikan tubuh peraga dengan melihat lekuk-lekuk tubuhnya sewaktu berada di atas kasur busa. Sedangkan ketika menggunakan ban dalam truk, menemukan kelenturan tubuh yang terjaga.
327
Maryani: Proses Kreatif Koreografi
Gb. 5 Proses kreatif di Studio Sono Seni Kemlayan, Solo (Dokumen Dwi Maryani 2003)
Gb. 6 Pertunjukan kolam air di halaman Teater Besar (Dokumen Dwi Maryani 2004)
Pada kesempatan selanjutnya penulis berproses dengan bantuan seorang model penari berusia muda namun memiliki tubuh yang besar. Dalam proses tersebut model melakukan eksplorasi dengan menggunakan alat peraga kursi. Hasil yang diperoleh dalam melakukan gerak dengan menggunakan kursi tersebut, ternyata sangat diperlukan konsentrasi lebih, agar keseimbangan tetap terjaga. Dari peragaan tersebut ditemukan keunikan gerak, yaitu seperti bola yang menggelinding, mengayun, dan keseimbangan.
bagai pembatas antar waktu, ruang yang terbatas, dan tak terbatas sampai keseluruhan struktur garap karya Tari ‘Subur’ ini.
Teater Besar STSI Surakarta Selama satu bulan sampai pada hari pelaksanaan ujian, dilakukan latihan secara terus menerus di gedung Teater Besar. Di tempat inilah segala kemungkinan terjadi, sampai pada perwujudan taman, ruang pamer lukis, dan bentuk ruang bingkai-bingkai untuk para penari se-
Struktur Garap Karya Tari ‘Subur’ Pertunjukan karya Tari ‘Subur’, meliputi empat bagian pertunjukan. Pertunjukan pertama adalah sebuah taman dengan kolam, bertempat di halaman gedung Teater Besar STSI Surakarta; kedua, pameran lukisan Wara Anindyah di lobi Gedung Teater Besar; ketiga, dua buah layar di kanan kiri panggung utama untuk pemutaran film pendek, lebih kurang 10 menit; keempat, adalah panggung utama Teater Besar STSI Surakarta. Penjelasan ketiga bagian pertunjukan tersebut adalah sebagai berikut :
Bagian Pertama: Taman Halaman
Gb. 7 Pertunjukan di Lobi Teater Besar (Dokumen Dwi Maryani 2004)
Di area taman, yakni halaman gedung, pertunjukan dimulai. Di taman
328
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013
dengan kolam air serta bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang asri, para penari dengan pakaian yang terbuat dari plastik memasuki kolam, bermain-main air, dan mandi di malam hari. Pertunjukan di taman ini terinspirasi dari lukisan Wara Anindyah berjudul Surga Bagi Kaum Hawa. Di taman ini penari mengeksplorasi apa yang ada di dalam kolam.
Bagian kedua: Ruang Pamer Lukis di Lobi Berlangsung secara kontinyu penonton menuju ruang pamer lukis Wara Anindyah dan pertunjukan kedua berlangsung. Pamer lukis ini diibaratkan sebagai museum lukis Wara Anindyah, yang memamerkan lukisan sebanyak 62 buah. Di sela-sela pamer lukis ini ada penari anak-anak yang kesemuanya berpostur tubuh gemuk, menari di sela-sela lukisan. Penari cilik ini sebagai gambaran kebahagiaan, kemurnian, dan ketulusan dunia bocah, dimaksudkan sebagai dibukanya lembaran kehidupan, sebagai awal untuk mengikuti pertunjukan berikutnya. Bersamaan dengan tarian anak-anak ini terdengar alunan nyanyian perempuan dengan postur tubuh yang gemuk pula.
Bagian Keempat: Sebuah Pertunjukan di Panggung Utama Di panggung utama terlihat tujuh buah bingkai besar, di dalamnya terdapat orangorang gemuk, dengan posisi diam seperti layaknya sebuah lukisan. Kemudian mereka bergerak secara perlahan, sebagai penggambaran keindahan, keberanian, kemandirian, ketegasan para wanita yang bertubuh gemuk. Pada proses garap lukis di panggung yang diwakili oleh bingkai dari penari serta pemusik, yang tersulit adalah posisi pemusik dan penari. Kesulitannya adalah bagaimana membentuk sebuah fakta menjadi imaji, dari garap seni lukis yang berdimensi antara dimensi menjadi sebuah bentuk 3 dimensi. Pada akhirnya penonjolan lebih diutamakan pada maju mundur penari dan gerak yang disesuaikan dengan frame yang ada, sedangkan untuk musik diupayakan tetap konstan. Tokoh dalam lukisan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kejelasan kepada karakter bentuk tubuh yang gemuk, yang ada dalam imaji lukisan menjadi kenyataan. Hal ini menyiratkan sebuah protesnya orang-orang gemuk, yang dianggap sulit untuk melakukan aktivitas keseharian. Padahal aktivitas keseharian bukan terbentuk karena kegemukan, melainkan sangat
Bagian Ketiga: Dual Layar di kanan kiri Panggung Utama Sebagai jembatan menuju ke bagian ketiga, pada paroh kedua sewaktu melihat pamer lukis diperdengarkan suara 2 syair Kahlil Gibran yang berjudul Nyanyian Indah dan Jiwa penonton diarahkan untuk memasuki gedung pertunjukan sudah tersaji dua buah layar putih yang memutar slide dan film berisi tentang realitas dan aktivitas orang-orang gemuk dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Durasi kurang lebih 10 menit.
Gb. 8 Pentas di Panggung Utama di Teater Besar (Dokumen Dwi Maryani 2004)
329
Maryani: Proses Kreatif Koreografi
bergantung kepada karakter manusianya, bukan karena bentuk tubuh. Hal ini membuktikan, bahwa ternyata orang gemuk mampu melakukan apa-apa yang biasa dilakukan oleh selayaknya orang biasa. Pada bagian ketiga ini diakhiri dengan lukisan yang berjalan dari arah kanan menuju ke kiri panggung. PENUTUP Pertemuan dengan seorang pelukis wanita Wara Anindiyah menambah pemahaman dalam melakukan proses kreatif karya Tari ‘Subur’, di antaranya tentang pengalaman pelukis terhadap bentuk tubuh yang besar, sebagai objek lukisan dan juga make up wajah pada kegiatan-kegiatan pentas pertunjukan. Dengan objek gemuk, pelukis tersebut ternyata lebih mampu mengekspresikan karakter tokoh, menampilkan garis-garis tubuh yang lebih lugas, serta rias dan busana dengan pewarnaan yang lebih tegas. Banyak hal yang ditemukan pada saat melakukan proses karya Tari ‘Subur’. Ternyata pesona postur tubuh gemuk bukan hanya pada penampilan fisik semata, melainkan juga pada karakter pribadi masing-masing yang sangat beragam, kebiasaan makan minum, keterbatasan gerak tubuh, perbedaan antara kemauan gerak, dan kenyataan gerak yang dihasilkan, pemanfaatan setting dan atau panggung, penggunaan kostum, make up dan masih banyak lagi ditemukan keterbatasan, yang merupakan kelebihan dalam karya Tari ‘Subur’ justru memperkaya ruang kreativitas.
Daftar Pustaka Dwi Maryani 2004 ‘Subur’, Deskripsi Kertas Karya Tugas Akhir. Surakarta: Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta Daruni 1997 ‘Ekspresionisme Dalam Tari’, dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Mahaguru, Editor: AM. Hermien Kusmayati. Hawkins, Alma M. 2002 Bergerak Menurut Kata Hati, Terj. Prof. Dr. I Wayan Dibya, pengantar Sal Murgiyanto. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Muji Sutrisno, SJ 2010 Ranah-ranah Estetika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, cetakan I Wara Anindyah 2007 Melukis Mengolah Sukma. Yogyakarta: Yayasan seruni Suharno 2009 PotretPerempuan Jawa dalam Primbon dan Limbukan, dalam buku “Pesona Perempuan Dalam Sastra dan Seni Pertunjukan, Ed.: Endang Caturwati. Bandung: Sunan Ambu Press. STSI Bandung