KISAH PENGANGKATAN ADAM SEBAGAI KHALIFAH MENURUT PENAFSIRAN SYEIKH MUHAMMAD ABDUH ( STUDI DALAM TAFSIR AL- MANAR )
DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS- TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT- SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA USHULUDDIN
OLEH : SOFIERDI 10432025243
PROGRAM S.1 JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011
ABTRAKSI
Skripsi ini berjudul “ Kisah Pegangkatan Adam Sebagai Khalifah Dalam Al- Qur an Menurut Penafsiran Syeikh Muhammad Abduh ( Studi Dalam Tafsir Al- Manar ) “. Penulis sengaja mengambil tema ini karena penulis merasa tema ini cukup menarik untuk diteliti. Kisah Adam tidak memiliki fakta historis sehingga tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, ketika kita berbicara tentang kisah Adam maka kita tidak bisa berbiacara atas dasar fakta sejarah, kerena tidak ada bukti untuk itu, tetapi kita harus berbicara atas dasar keimanan, kerena AlQur an telah memaparkannya. Syeikh Muhammad Abduh adalah seorang mufassir dan pembaharu pemikiran, yang memiliki banyak perbedaan dengan para mufassir terdahulu. Bahkan banyak dari buah pikirannya yang ditentang oleh para mufassir. Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan kisah Adam lebih berbicara masalah filsafat manusia dari pada kisahnya itu sendiri sebagai suatu fakta historis. Bahkan dia condong menganggap kisah Adam itu sebagai peristiwa yang tidak benarbenar terjadi, melainkan sebagai kisah simbolik, kisah yang menyimbolkan eksistensi karakter dasar internal manusia. Inilah yang melatar belakangi dan menarik perhatian penulis untuk mengangkat “ Kisah Pengangkatan Adam Sebagai Khalifah Dalam Al- Qur An Menurut Penafsiran Syeikh Muhammad Abduh ( Studi Dalam Tafsir Al- Manar ) dengan rumusan bagaiman penafsiran Syeikh Muhammad Abduh tentang kisah penciptaan Adam dalam surah Al- Baqarah ayat : 30- 35. Untuk mewujudkan hal ini penulis berusaha mengetengahkan pemikiran Abduh dengan metode Content Analysis ( analisis isi ), yang lebih mengdepankan analisis rasional dan teoritik, dengan menjadikan Al- Qur an dan Tafsir Al- Manar yang memiliki corak penafsiran Adabiy wa Ijtima’i ( sastra Budarya Kemasyarakatan ) sebagai data Primer dan buku- buku lainya yang memiliki hubungan sebagai mdata Sekunder. Adapun kesimpulan yang penulis peroleh adalah bahwa Logika berpikir ‘Abduh dalam penafsirannya tentang kisah Adam menampakkan secara kuat logika Aristoteles dan mendemonstrasikan model hermeneutika filosofisnya Gadamer, sehingga Abduh berpendapat bahwa Manusia mempunyai potensipotensi bawaan baik positif maupun negatif dalam menjalani eksistensi kehidupannya. Kedua potensi itu tidak bisa dihilangkan dari diri manusia karena keduanya berproses secara dialektik mewujudkan otonomi manusia secara moral. Dengan karakter dasar seperti inilah manusia ditetapkan sebagai aktor-aktifkosmis, atau dalam bahasa al-Qur’an. Khalifah di muka bumi ini.
Demikianlah akhir dari studi ini dan kepada semua pihak penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempuranaan penelitiaan ini, akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya.
Dosen Pembimbing
Drs. Ali Akbar, MIS
penulis
Sofierdi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL PENGESAHAN NOTA DINAS MOTTO PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR TRANSLITERASI ARAB KE LATIN ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
A. Latar Belakang ………………………………….…………………………
1
B. Alasan Pemilihan Judul ………………………………………………….… 10 C. Penegasan Istilah …………………………………………………………... 11 D. Rumusan dan Batasan Masalah ……………………………………… …... 12 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………………..... 12 F. Kajian Kepustakaan .,……………………………………………………..
13
G. Metode Penelitian ………………………………………………………...
15
H. Sistematika Penulisan …………………………………………………….
17
BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYEIKH M. ABDUH ................. 19 A. Biografi dan Kelahiran Syeikh Muhammad Abduh ..................................... 19 B. Pendidikan Muhammad Abduh ....................................................................
23
C. Karya-karya Syeikh Muhammad Abduh .....................................................
24
D. Sosio-Budaya dan Psikologi Masa Muhammad Abduh ............................... 25 E. Syeikh Muhammad Abduh dan Pembaharuan Pemikiran Tafsir ................ 28 F. Sumbangan Abduh Dalam Bidang Tafsir ………………….……………… 35 G. Metode Tafsir Muhammad Abduh ………….…………………………….. 37 1. Metode Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an ….…………………….
37
2. Perbandingan antar metode……….…………………………………..
41
3. Corak khusus penafsiran Muhammad Abduh ……….……………....
43
BAB III TAFSIR MUHAMMAD ABDUH TENTANG KISAH PENGANGKATAN ADAM SEBAGAI KHALIFAH DALAM SURAH ALBAQARAH AYAT 30-35 …………………………………………………...
45
A. Deskripsi Kisah Adam dalam Surah al-Baqarah ……….…………………
45
B. Penafsiran ‘Abduh: Karakter Filosofis Manusia dari Kisah Adam dalam Membentuk Insan Kamil ……………….…………………………....…….. 50
BAB IV ANALISIS : PENAFSIRAN ABDUH …………………..………
62
A Penafsiran Abduh dalam Perspektif Hermeneutika ……………………….……..
62
B. Beberapa Catatan Kritis …………………………………….……………
69
BAB V PENUTUP …………………………………………………………..
75
A. Kesimpulan ……………………………………………………………….
75
B. Saran-saran …………………………………….………………………….. 76
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah adalah kisah yang unik dan menarik untuk dibahas. Dikatakan unik karena kisah ini berbeda dengan kisah nabi-nabi lainnya yang masih dimungkinkan untuk dilacak kebenarannya dengan fakta historis, karena kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah sangat sulit, bahkan mustahil, untuk dibuktikan secara faktual sebagai peristiwa yang benarbenar terjadi. Kejadian itu merupakan kredo historis semata, yang untuk sebatas diyakini dan tidak untuk dibuktikan.1 Oleh karena itu, sebagian mufassir menganggapnya sebagai kisah yang benar terjadi dan sebagian yang lain menganggapnya hanya sebagai kisah simbolik.2 Dipandang sebagai primordial karena ia sering diyakini sebagai asal-usul manusia ketika diajukan pertanyaan siapa sebenarnya “bapak tunggal”. Tidak mengherankan jika diasumsikan bahwa
1
Untuk membuktikan adanya Adam secara fisik sampai sekarang memang belum dapat dibuktikan. Tidak ada satu hasil penelitian atau kesaksian pun bahwa seseorang telah berhasil menemukan kerangka tubuh, kuburan atau mengatakan bahwa seseorang ada hubungannya dengan Adam secara genetikal tanpa terputus-putus. Memahami Adam lebih sulit dari pada memahami zaman dinosaurus meskipun Adam sendiri diyakini lebih terakhir datang ke dunia dari pada zaman jurrasic yang dihuni oleh berbagai macam dinosaurus. Binatang-binatang besar itu dapat dibuktikan keberadaannya berdasarkan fosil yang telah ditemukan. Namun bagi seorang Adam adalah sangat sulit (bukan tidak mungkin) untuk menemukan kerangkanya, karena Adam itu diciptakan hanya sendiri. Karena itu keyakinan adanya Adam karena dia diinformasikan oleh AlQuran yang diyakini kebenarannya dan merupakan petunjuk bagi semua orang. Karena al-Quran berfungsi sebagai petunjuk, maka orang ingin menggali sejarah Adam berdasarkan petunjuk tersebut. Dengan demikian bahwa Adam itu ada dalam rangkaian sejarah manusia meskipun sampai sekarang belum dapat ditemukan kerangkanya. HS. Hasibuan, Adam Di Antara Keyakinan dan Pembuktian. (Padang: Artikel, 2008), h. 2. 2 Sebagian pendapat menyatakan bahwa nabi Adam A.S. dalam Al-Qur’an bukanlah kisah nyata dalam sejarah umat manusia. Ia adalah legenda (dongeng). Adam A.S. dalam Al- Qur’an bukan dimaksudkan menunjuk nama seseorang manusia yang konkret, tapi merupakan sebuah konsep tentang manusia itu sendiri. Lihat: Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur’ Tinjauan Sejarah Adam A.S. Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: h. 224-232.
1
penggalian makna eksistensial manusia dalam tradisi agama semitik selalu menyinggung atau tidak lepas dari pembahasan tentang kisah Adam. Ketika Allah akan menciptakan Adam terjadi dialog yang sangat serius di antara Allah, Malaikat dan Iblis tentang keinginan Allah untuk menjadikan seorang Khalifah di permukaan bumi. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 30 – 45 : ֠ ִ☺ !" #ִ֠$ % &'( )* + , ⌧./ ִ0 1 1+234 ֠ #"ִ5 6 7 8 9: $ 7 ;<=> .#? 9: @A .B> C 4D 7 E D + ;$ FG ;⌧ HAI>K ⌧L <M☺ NO PQ R< K ִA 1 ֠ 2 #S M# 8 7 TF U3;☺ 5 &XYZ 0S [ \ִ]+ 4 4D .M^)* + ִ6 4_ `S5a (S9ִ 0c 4 # ִ☺ + 34d e K 8 4D ִ☺Bf g 4hF@ ִR U (S),4_ %i ֠ < I &XkZ 1+34 ֠ ִA l ִ (e;f TF 0S [ D , mF 7 D l )M☺ # 1 ִAQK InK 8 #op ִ5 + qa]= r + &XsZ ֠ #\ִ] d ? S;6t u K 8 (S vwD .M^ g 1 D x☺ S5R g e K 8 (S vwD .M^ g ֠ (S 8 "5֠ 8 (S4 y 2 #S M# 8 I /⌧z S{ 3 |>> + &'( )* + #S [ 8 7 U ;<(A5 7 (S)l4_ U3#|) &XXZ l 5֠ | 1+ ;<@~Bf + \ִ]|ִ 1+. ;<ִ~I> •F €`] ( • ‚ 8 :ִ )Bf + U֠⌧_ 0$ 7 ƒ„… . + &XZ , 5֠ #\ִ] d ? M$4 Bf + InK 8 ִA#† ִ‡ Ql 6 r + T⌧4_ ִ6, 7 + <⌧z ;ˆ /ִH ִ☺) ‰ y TF … Y/ ִR …ִ~‰Š + K34 ) 0$ 7 %i •‹ y@ + &X Z Terjemah : "dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.' Mereka
berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'" (QS. al-Baqarah: 30). Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orangorang yang benar!" (31). Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (32). Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (33). Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (34). Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.(35) Tengku Dahril, memaknai ayat di atas sebagai sebuah informasi mengenai peristiwa sejarah lahirnya manusia sebagaimana ungkapannya:
“Peristiwa sejarah yang sangat luar biasa itu antara lain asal-muasal kejadian manusia. Dalam Al Qur’an, Allah dengan tegas menyampaikan bahwa manusia pertama yang diciptakan-Nya adalah Adam AS. Nabi Adam lah bapak seluruh manusia sejagat. Nabi Adam diciptakan Allah dari unsur tanah yang diberi bentuk. Setelah sempurna kejadian fisiknya, barulah Allah meniup roh ke dalam jasad itu, hingga menjadilah dia manusia yang sempurna (jasmani dan rohani). Dari situlah kehidupan manusia pertama bermula dan akan berakhir apabila roh yang telah ditiupkan itu dipisahkan kembali dari jasadnya.”3 Namun demikian,
kajian Adam sebagai manusia pertama sudah mulai
dikeragui oleh orang banyak. HS. Hasibuan misalnya memandang bahwa Adam bukanlah manusia pertama hal ini didasarkan pada pertanyaan Malaikat terhadap Tuhan, bahwa apa yang akan diciptakan Tuhan itu menurut persfektifnya akan mendatangkan kehancuran dan pertumpahan darah. Pertanyaan inilah kata Hasibuan yang mengindikasikan bahwa Malaikat sudah pernah melihat hal yang serupa sebelumnya sehingga dia katakan bahwa manusia akan berbuat kerusakan. Tetapi Allah katakan bahwa Allah lebih tahu dari apa yang diketahui Malaikat (dari apa yang dilihatnya sebelumnya). Selain itu menurut Hasibuan penemuan fosil-fosil tentang manusia yang hidup puluhan bahkan ratusan juta tahun yang lewat memberikan infromasi bahwa manusia itu lebih tua dari pada Adam. Hanya saja bentuk dan struktur otak mereka yang agak berbeda dengan Adam dan keturunannya. Akhirnya kalau begitu Adam menurut Hasibuan adalah streotip manusia pertama yang telah dilengkapi kecerdasan dan peradaban.4
3
Tengku Dahril, Belajar dari Sejarah, (Riau: Makalah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Riau, 2008), h. 2. 4 HS. Hasibuan, Eksistensi dan Kisah Adam dalam Persfektif Filosofis dan Historis, (Padang: IMA Madina Padang, 2009), h. 3.
Namun penelitian ini bukanlah bermaksud mengkaji apakah Adam sebagai manusia pertama atau tidak, sehingga perdebatan itu tidak akan dilanjutkan dalam pembahasan seterusnya. Secara umum dialog tersebut (Q.S al-Baqarah: 30-35) pada intinya adalah upaya sanggahan --kalau tidak boleh dikatakan protes-- dari Malaikat tentang adanya penciptaan Adam, dan pengingkaran Iblis tentang eksistensi kebesaran manusia sebagai Khalifah. Kitab suci al-Quran memuat hal ini tentu ada makna tersendiri yang luar biasa dari adanya dialog itu, karena dialog tersebut bukanlah dialog biasa, tetapi dialog yang sangat besar artinya terhadap kepemimpinan di bumi. Adanya perbedaan pendapat dalam konteks kekinian bisa saja terjadi, apalagi dalam wacana pemikiran demokratis. Tetapi adanya dialog yang berakhir secara ofensif dan defensifnya Malaikat dan Iblis dengan Allah SWT., bukanlah kajian duniawi tetapi sesungguhnya hal itu adalah kajian yang gaib yang perlu untuk dirasionalisasi. Tetapi yang menjadi masalah adalah keberanian mereka mempertanyakan atau menentang konsep Allah, yang seakan-akan mereka ragu dan khawatir dengan kemampuan dan pengetahuan Allah. Atau apakah Allah sengaja mensiasati semuanya ini dengan maksud ingin menunjukkan bahwa seperti itu pulalah eksistensi manusia di bumi setelah dia diciptakan yang penuh dengan perdebatan dan dialog. Mengajukan pertanyaan ini bukan berarti tidak yakin dengan dialog tersebut laksana Malaikat dan Iblis protes terhadap firman Allah. Pertanyaan ini diajukan hanya sekedar untuk mengetahui makna yang ada dalam kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah.
Kajian kisah pengangkatan Adam telah banyak dilakukan oleh para mufassir untuk mengetahui makna yang terkandung dari dialog tersebut. Bermunculan tafsir5 dengan pendekatan dan corak yang berbeda dan khas sesuai dengan pemahaman, pengetahuan, budaya dan corak pemikiran masing-masing. Adanya tafsir terhadap ayat-ayat al-Quran khususnya yang mutasyabihat dengan sendirinya membuka dan mengembangkan cakrawala dan wacana pemikiran umat Islam. Salah satu di antara penafsir yang melakukan kajian terhadap ayat di atas adalah Muhammad Abduh (1226-1323 H/1849-1905 M)6. Dia adalah seorang tokoh pembaruan Islam, murid Jamaluddin al Afgani. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji pendapat Muhammad Abduh tentang kisah Adam tersebut yang termuat dalam Tafsir al-Manar. Ketertarikan peneliti untuk menjadikan Abduh sebagai tokoh sentral yang akan dijadikan obyek penelitian tentu didasarkan pada alasan dan pertimbangan tertentu. Di antara alasan dan pertimbangan yang dimaksud adalah: (1) Muhammad Abduh adalah pelopor kebangkitan pemikiran Islam dalam bidang pemikiran7 dan pembaharuan Islam8, (2) ketika banyak para
5
Dalam bahasa Arab kata tafsir berasal dari kata-kata al-fasr yang berarti: penjelasan atau keterangan, yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Kata tafsir sebagai istilah, dikalangan para ulama mempunyai dua makna. Pertama adalah penjelasan atau keterangan dan yang kedua adalah mengandung pengertian bahwa tafsir merupakan bagian dari ilmu badi’ yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat. Tafsir sangat diperlukan karena setiap orang mengemukakan fikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang kadang-kadang tidak akan dapat dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul dengan kalimat-kalimat lain yang bersifat menjelaskan. Lihat: Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 5. 6 Ahmad Amin, Zu’ama’u al-Islah fi al-‘Ashr al-Hadits, terj A. Mujib K(Pustaka Firdaus: Jakarta, 1989,) h. 63. 7 Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhaddtsin, terj Novrianto Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.125. 8 Pembaharuan dalam Islam berawal dari pemikiran seorang pujangga besar Ibnu Taimiyah (1263-1328 H), dengan semboyan al-Muhyi atsar al-Salaf. Semboyan tersebut bertujuan kembali kepada Al-quran dan Hadits, dan perilaku sahabat al-khulafah al-Rasyidin. Dalam hal ini ia menonjolkan Ahmad Ibnu Hambal, yang senantiasa gemar mempraktekkan ijtihad, dan sangat anti terhadap kemusyrikan, bid’ah dan khurafat. Lihat; Lothrop Stodard, The New World Of Islam,
penafsir yang melakukan penafsiran berdasarkan aturan-aturan normatif, dengan senantiasa mengkaitkan tafsir dengan kemampuan memahami makna nahwu, sharaf atau alat lainnya untuk memahami al-Quran, maka Muhammad Abduh keluar dari aturan normatif itu, sehingga dengan moderat dia membuat cara penafsirannya sendiri, (3) baginya penafsiran mestilah lebih banyak menggunakan akal pikiran, kata hatinya dan diperkuat dengan hadits-hadits yang betul-betul shahih, (4) kepercayaan kepada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah)9, 5) Pandangan-pandangan Abduh sering kali amat rasional sehingga terasa ia telah mempersempit wilayah gaib,10 itu pulalah yang mempengaruhi dia untuk memberikan penafsiran secara bebas sesuai dengan kata fikiran dan hatinya.
Charles Scribner’s Sons, New York, 1912, diterjemahkan oleh: Tujimah, at. Al., Dunia Baru Islam, h. 297. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini, didukung penuh dan dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1350), kemudian disebarluaskan oleh Muhammad Abdul Wahab alNajdi (1115-1206H). Lihat Ahmad Amin, Zu’ama’u al-Islah fial-‘Ashr al-Hadits, Maktabah alNahdhah al-Meshriyah, Kairo, cet, IV, 1979, h. 8-17. Pembaharuan diaktifkan lagi oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahab itu, yang menekankan pada reaksi terhadap paham tauhid yang telah rusak oleh ajaran yang menyusup ke dalam ajaran Islam. Harun Nasution menyebutkannya sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam. Lihat: Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Cet, VIII, 1991, h. 23. Istilah ini, tentunya lebih tepat ketimbang pembaharuan, yang terkesan penggantian semua yang lama. Setelah Muhammad ‘Abdul al-Wahab wafat, ideidenya tersebut disebarluaskan oleh Ibnu Su’ud dan putranya ‘Abdal ‘Aziz. (lihat Ibid, h. 25). AlTajdid atau pembaharuan tersebut berawal dari bersentuhannya kembali ilmu pengetahuan modern dengan dunia Islam. Jamaluddin Al-Afghani (1254-1314H/1813-1897M) membakar semangat pembaharuan Islam dengan menyerukan Pan Islamisme. Dan dengan adanya pan Islamisme ini Muhammad Abduh (1226-1323H/1849-1905) menyebarkan pemikiran rasionalnya, yang disebut dengan pembaruan pemikiran. 9 Di dalam Kitab Risalah Al-Tauhid ia menyebutkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Analisa penulis-penulis Barat bahwa Islam mundur karena menganut paham jabariah (fatalisme) dapat ia setujui karena dikalangan awam Islam yang demikian, menurut hematnya, memang terdapat. LIhat: Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 66. 10 M. Quraish Shihab, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Kesitemawaan dan Kelemahannya), (Jakarta: 1994 ) h. 33.
Muhammad Abduh memaknai tafsir sebagai upaya memahami al-Qur’an dengan kaca mata agama sebagai pedoman bagi manusia dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka disitulah maksud dari tujuan tafsir alQur’an itu. Sementara cara memahami dan menafsirkan al-Qur’an hanyalah media, wasilah, metode untuk mencapai tujuan.11 Namun karena penafsirannya yang amat rasional dan senantiasa keluar dari kebiasaan (para penafsir) maka banyak di antara para mufassir yang menyoroti tafsirnya itu bahkan menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan tafsir Abduh, yang dinilai terlalu berani, vulgar, dan kurang mengindahkan aturan-aturan penafsiran sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena itu Abduh mengatakan bahwa kejumudan merupakan alasan yang menyebabkan Islam mundur.12 Dan kebiasaan yang terjadi selama ini adalah karena umat Islam-termasuk para mufassir sebelumnyasenantiasa berkutat pada aturan tradisi dan kejumudan dan tidak mau keluar dari sistem yang tidak baik itu. Tafsir Muhammad Abduh tentang kisah Adam yang terlihat sangat rasional itu adalah: 1. Abduh memandang bahwa pemberitahuan Tuhan kepada Malaikat tentang rencana-Nya menciptakan Khalifah, berarti bumi dengan segala hukum alam yang ada didalamnya disiapkan untuk manusia untuk dikelola dan dikembangkan sehingga manusia mencapai kesempurnaan. 2. Pertanyaan Malaikat kepada Tuhan bahwa manusia sebagai Khalifah di bumi akan menyebabkan pertumpahan darah, merupakan gambaran dari potensi yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan hal itu. Abduh
11
M. Masykur Abdillah, Pengantar Ilmu Tafsir, (Makalah: Internet 4 Maret 2009), h. 5. Kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi fahm jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam berpegang teguh pada tradisi. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) h. 62. 12
3.
4. 5.
6.
berpendapat bahwa Malaikat itu sendiri adalah natural of power (hukumhukum alam) atau dia sebut juga dengan bisikan hati nurani. Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama semua benda merupakan penjelasan bahwa manusia memiliki potensi untuk mengenali semua alam materil dan memiliki kemampuan dalam mengambil manfaatnya. Ketidakmampuan Malaikat dalam menjawab pertanyaan Allah merupakan gambaran bahwa adanya keterbatasan dari hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat kepada manusia menunjukkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan hukum-hukum alam tersebut demi mengembangkan alam ini melalui pengetahuan tentang sunnatullah. Kengganan Iblis untuk sujud, menunjukkan kelemahan manusia dan ketidakmampuannya untuk menundukkan jiwa kejahatan atau menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang mengantarkan kepada perselisihan, perpecahan, agresi, dan permusuhan di bumi.13 Dari
penafsiran
tersebut
terlihat
bahwa
Abduh
mencoba
merasioanalisasikan14 setiap makna dari ayat tentang kisah pengangkatan Adam. Dia mencoba keluar dari pengertian tekstual menjadi pengertian kontekstual dan filosofis. Dia menafsirkan al-Qur’an sebagai sumber hidayah dan petunjuk termasuk kisah Adam merupakan petunjuk untuk diketahui manusia secara umum. Selain itu Abduh juga memposisikan al-Quran sebagai sebuah informasi yang rasional dan dapat dikaji, dimengerti difahami secara rill dan aktual. Dengan demikian masalah-masalah yang cenderung gaib dalam al-Quran menurut penafsir lama, ditampilkan oleh Abduh menjadi lebih konkrit dan jelas. Dari penafsiran Abduh yang rasionalis itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pandangannya terhadap kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah yang tidak akan habis penafsirannya sepanjang masa. Penulis ingin mengetahui tentang :
13
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Kairo: Dar al Manar, 1367 H), Juz I, h.
266. 14
Rasionalnya Abduh menafsirkan tentang kisah Adam menurut Abdul Halim Mahmud sebenarnya disadarinya atau tidak, penafsirannya telah dipengaruhi oleh teori evolusi yang ketika itu tersebar secara luas di Eropa, bahkan ke seluruh penjuru dunia.
1. mengapa Abduh memiliki pemikiran rasional khususnya dalam menfasirkan kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah. 2.
mengapa Abduh cukup berani menafsirkan al-Quran dengan pendekatan akal yang amat rasional sementara kondisi dan cara berfikir para ulama tafsir pada waktu itu belum ada yang serasional dia.
3. sosio-historis dan motivasi Abduh untuk mengenalkan tafsir secara rasional. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dikaji lebih lanjut dalam pembahasan lebih lanjut. Secara metodologis, langkah awal yang akan penulis lakukan dalam mengkaji tentang kisah Adam adalah mendeskripsikan penafsiran ‘Abduh mengenai kisah tersebut yang diperkaya oleh pendapat penafsir sebelumnya. Langkah selanjutnya berusaha menganalisis penafsiran ‘Abduh dalam perspektif filsafat dan hermeneutika.
B. Alasan Pemilihan Judul Kajian tentang Kisah Pengangkatan Adam Sebagai Khalifah Dalam Al-Qur an Menurut Penafsiran Syeikh Muhammad Abduh (Studi Dalam Tafsir Al-Manar), dipilih berdasarkan beberapa alasan berikut: a. Muhammad Abduh adalah pelopor kebangkitan pemikiran Islam dalam bidang pemikiran dan pembaharuan Islam, karena itu corak pemikirannya sebagai pembaharu diduga sangat berbeda dengan pemikir pendahulunya. b. Biasanya para penafsir senantiasa menggunakan aturan-aturan normatif, dalam menafsir, seperti persyaratan perlunya memahami ilmu nahwu, sharaf atau alat lainnya untuk memahami al-Quran, maka Muhammad Abduh keluar dari aturan normatif itu, sehingga dengan moderat dia
membuat tata cara penafsirannya sendiri yang lebih banyak menggunakan akal pikiran, kata hatinya dan diperkuat dengan hadits-hadits yang betulbetul shahih. c. Muhammad Abduh berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah), karena itu pandangan-pandangan Abduh tentang kisah Adam sering kali amat rasional sehingga terasa ia telah mempersempit wilayah gaib. d. Kisah Pengangkatan Adam sebagai Khalifah tetap menjadi kajian yang menarik untuk dikaji sebab masalah Adam tidak memiliki petunjuk atau nash al-Quran yang pasti tentang bagaimana sejarahnya, karena itu maknanya akan berbeda seiring dengan perubahan zaman dan sudut pandang penelitinya. e. Sepanjang yang penulis ketahui bahwa kajian tentang kisah Pengangkatan Adam dalam al-Quran menurut penafsiran Syeikh Muhammad Abduh (studi terhadap tafsir al-Manar) sudah ada yang menulisnya dalam tulisantulisan lepas seperti artikel, tetapi belum ada yang merumuskannya dalam sebuah penelitian yang lebih mendalam seperti tesis dan skripsi, karena itu menurut penulis kajian ini masih pantas dan layak untuk dilanjutkan.
C. Penegasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami maksud yang terkandung dalam rangkaian judul penelitian ini, maka penulis akan menerangkan beberapa istilah yang digunakan sebagai berikut: a. Kisah Kisah adalah cerita, (riwayat, dsb) dalam kehidupan seseorang dsb;15. Kisah yang dimaksud disini adalah peristiwa tentang kejadian Nabi Adam.
15
Ibid, h. 443.
b. Penafsiran Penafsiran berasal dari kata-kata tafsir yang berarti: penjelasan atau keterangan, yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas.16
Sedangkan penafsiran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimaknai sebagai proses, perbuatan, cara menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas; kupasan.17 Dengan demikian yang dimaksud penafsiran dalam skripsi ini adalah upaya yang dilakukan untuk menjelaskan arti sesuatu yang terdapat dalam al-Quran. c. Khalifah Khalifah adalah pemimpin umat Islam, wakil nabi setelah beliau wafat. Yang dikmaksud disini adalah pemimpin di atas sekalian makhluk ciptaan Allah di permukaan bumi. Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul tersebut adalah pendapat atau penjelasan tentang pengangkatan
Nabi Adam sebagai Khalifah di muka bumi menurut seorang
penafsir modern dan rasional yang bernama Syeikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al- Manar. D. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan dan batasan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana penafsiran Muhammad Abduh tentang Kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah dalam surah al-Baqarah: 30-35
16
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Quran, op.cit., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 882. 17
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitiaan ini adalah untuk mengetahui bagaimana penafsiran Muhammad Abduh tentang Kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah dalam surah al-Baqarah ayat : 30-35 2. Kegunaan Penelitian a. Sebagai pengembangan khazanah ilmu pengetahuan ke-Islaman, khususnya
dalam ilmu tafsir
b. Sebagai sumbangan ilmiah bagi Umat Muslim pada umumnya dan secara khusus bagi civitas akademika UIN SUSKA Pekanbaru. c. Untuk memenuhi syarat- syarat guna mencapai gelar sarjana S1 pada Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN SUSKA Riau.
F. Kajian Kepustakaan Kajian tentang tafsir yang memfokuskan pembahasan tentang kisah Nabi Adam dalam al-Quran secara lebih mendalam belumlah ada. Namun demikian, secara umum kajian yang berkaitan dengan skripsi tersebut dapat ditemukan sebagai berikut: Muhammad Husayn al-Dzahabiy misalnya, telah menulis satu kitab tentang Tafsir wa al-Mufassirin, yang membahas tentang metode, pendekatan, corak, dan karakteristik penafsiran Muhammad Abduh ( 1845- 1905 M ).18 Kitab tersebut berbeda dengan apa pembahasan yang akan diuraikan oleh penulis karena kitab 18
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al Haditsah, 1968) jilid III h. 125.
tersebut tidak mengkaji tentang tafsir kisah pengangkatan Nabi Adam sebagi Khalifah dalam al-Quran. Selain itu Abdullah Mahmud Syahatah19 mengkaji tentang berbagai aspek yang terkait dengan metodologi tafsir Syaikh Muhammad Abduh. Kitab ini pun tidak membahas tentang kisah Adam, tetapi memfokuskan pada hal-hal yang bersifat penafsiran metodologis. Di sisi lain Harun Nasution20 membahas tentang pembaharuan Islam dalam bidang pemikiran. Hanya saja buku tersebut lebih banyak menyoroti tentang ide-ide dan gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa pemikir Islam termasuk Muhammad Abduh. Buku ini hanya akan dijadikan rujukan untuk mengetahui sejarah hidup Muhammad Abduh. Kemudian Gamal al-Banna21 menulis tentang Evolusi Tafsir, yang menguraikan tentang pembagian tafsir alManar antara Muhammad Abduh dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Dia juga menguraikan tentang pengaruh tafsir Abduh keseluruh dunia. Serta mencap bahwa Muhammad Abduh adalah seorang rasionalis al-Azhar yang belum ada tandingannya. Jelas bahwa buku tersebut sangat berbeda dengan fokus kajian penulis. Untuk menambah referensi penulis juga akan menggunakan buku Ahmad Asy Syirbasi22 dalam hal mendudukkan pengertian tafsir dan kegunaannya dalam memberikan rumusan tentang penafsiran. Sayyid Quthb ( 1906- 1965 M )23, menguraikan tentang Muhammad Abduh sebagai orang yang sangat anti terhadap 19
Abdullah Mahmud Syahatah, Manhaj al-Iman Muhammad Abduh Fi Tafsir al_Quran, terj. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 109-105. 20 Lihat: Harun Nasution, op.cit., 21 Gamal al-Banna,op.cit., h. 226. 22 Ahmad Asy Syirbashi, Sejarah Tafsir Quran,op.cit., h. 76. 23 Sayyid Quthb, Kasha’ish al-Tashawwur al-Islamy terj. (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), h. 79.
kejumudan dan anti terhadap kebiasaan hidup khurafat. Tulisan tersebut lebih banyak berbicara tentang istimbath hukum dan peranan akal dalam memahami syari’at Allah. Buku ini hanya digunakan sebagai referensi untuk mengungkap sejarah hidup Muhammad Abduh dan pengalaman sosialnya. Sementara itu Ahmad Darbi24 juga menulis tentang metodologi istinbath hukum Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manar mengenai hukum Islam. Tulisan tersebut hanya mengkaji tentang tata cara dalam menetapkan istimbat hukum menurut Muhammad Abduh dan tidak mengkaji tentang tafsir kejadian Adam. Dalam hal menguraikan tentang Kisah Nabi Adam, Alim Roswantoro25 yang menulis tentang interpretasi ‘Abduh mengenai karakter filosofis manusia dari Kisah Adam. Selanjutnya M. Quraish Shihab menulis tentang persoalan penafsiran metaforis atas fakta-fakta tekstual yang menceritakan tentang penafsiran kejadian Nabi Adam.26 Dari beberapa rujukan di atas terlihat bahwa belum ada satu tulisan pun yang menguraikan secara khusus mengenai pembahasan tentang penafsiran Muhammad Abduh tentang Kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah di dalam al-Quran. Karena itu kajian ini dianggap pantas dan layak untuk dibahas lebih lanjut dalam penelitian yang komprehensif.
G. Metode Penelitian
24
Ahmad Darbi, Metodologi Istinbath Hukum Muhammad ‘Abduh Dalam Tafsir AlManar Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006, h. 357. 25 Alim Roswantoro, Interpretasi Tentang Kisah Adam dalam Tradisi Tafsir Islam, (Jakarta: Artikel, 2008) 26 M. Quraish Shihab, Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual, (Jakarta: Makalah, 2009), h. 2.
1. Jenis dan Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Artinya bahwa pengumpulan data penelitian ini berasal dari berbagai literatur hasil penelitian dan buku-buku. Kajian library research ini lebih mengedepankan analisis rasional dan teoritik dari pada uji empirik, oleh karena itu metode penulisan yang digunakan adalah metode content analysis (analisis isi). Menurut Imam Munawir27 menyadur pendapat Goode dan Hatt content analysis banyak membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan media komunikasi. Analisis isi28 sering kali disebut sebagai analisis dokumen yang mencoba menelaah secara sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-dokumen sebagai sumber data. Baik catatan-catatan, buku, surat kabar, maupun dokumen lainnya secara tertulis merupakan bagian dari media komunikasi.
2. Teknik Pengumpulan Data Upaya
yang
dilakukan
oleh
penulis
dalam
pengambilan
data,
menggunakan literatur primer yaitu al-Quran dan tafsir al-Manar sedangkan literatur skunder yaitu buku-buku penunjang. Dari data primer ini akan diambil ayat yang di dalamnya terdapat kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah, disamping itu juga diupayakan menganalisis hadis-hadis yang berkaitan dengan kejadian Adam. Untuk mengetahui makna dan maksud dari kata-kata atau term-
27
Imam Munawir, Metode-Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, T,t), h.
28
Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),
396. h. 133.
term dari ayat maupun hadits, penulis menggunakan kamus bahasa Arab. Sumber data yang berasal dari buku-buku skunder di antaranya: Manhaj al-Iman Muhammad Abduh Fi Tafsir al-Quran, (Abdullah Mahmud Syahatah: tt), Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Harun Nasution: 1975)
Evolusi Tafsir, (Gamal al-Banna: 2004),
Sejarah Tafsir Quran, (Ahmad Asy Syirbashi: 1994), Kasha’ish al-Tashawwur al-Islamy (Sayyid Quthb: 1968),
Metodologi Istinbath Hukum Muhammad
‘Abduh Dalam Tafsir Al-Manar Hukum Islam, (Ahmad Darbi: 2006), ditambah dengan buku pendukung lainnya.
3. Teknik Pengolahan (analisis) Data Data yang terkumpul dari berbagai sumber baik primer maupun skunder kemudian dianalisa dengan pendekatan analisis konten. Analisis isi pada penelitian ini di susun dengan langkah-langkah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Noeng Muhajir, yaitu: 1) menerangkan dan menjelaskan teks yang ada sesuai dengan hasil rancangan yang ditentukan, 2) rancangan tersebut diproses dengan cara sistematis sesuai dengan kategori dan klasifikasi, 3) proses pembahasan masalah dianalisis berdasarkan deskripsi yang dimanifestasikan sebelumnya, dan 4) dari analisis perkembangan tersebut diambil kesimpulan secara umum.29
H. Sistematika Penulisan
29
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 50.
Skripsi yang berjudul “Kisah Pengangkatan Adam Sebagai Khalifah Dalam al-Quran Menurut Penafsiran Syeikh Muhammad Abduh (Studi Dalam Tafsir Al-Manar)” ini akan ditulis dengan sistematika sebagai berikut: Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan pemilihan judul, penegasan Istilah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. Memuat tentang biografi dan beberapa pemikiran syeikh Muhammad Abduh yang terdiri dari, kelahiran dan pendidikan syeikh Muhammad Abduh, dan beberapa pemikiran Syeikh Muhammad Abduh tentang tafsir dan sunbangannya pada dunia tafsir. Bab III. berisikan pemaparan tentang penafsiran Muhammad Abduh tentang kisah Adam dalam al-Quran yaitu penafsiran Muhammad Abduh tentang Kisah Pengangkatan Adam sebagai Khalifah dalam surah al-Baqarah: 30-35. Bab IV. Merupakan analisis dari data-data yang dikemukakan pada bab III, yang terdiri dari tiga bagian yaitu, latar belakang kultur dan psikologi yang mempengaruhi sehingga Muhammad Abduh berpikir demikian, analisis penafsirannya dengan pendekatan hermeneutika dan filsafat serta beberapa catatan kritis menyangkut penafsirannya itu. Bab V. Merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran tentang kajian dan penelitian serta kesimpulan.
BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYEIKH MUHAMMAD ABDUH
A.
Biografi dan Kelahiran Syeikh Muhammad Abduh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah lahir di Mesir tahun 1849 di
sebuah desa bernama Mahallat Nasr. Daerah ini berada di kawasan Sibrakhait Propinsi al-Bukhairoh Mesir.1 Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari Turki. Ibunya bernama Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa yang sama dengan Umar bin Khattab.2 Kelahiran Muhammad Abduh diiringi dengan kekacauan yang tejadi di Mesir. Pada waktu itu, penguasa Muhammad Ali mengumpulkan pajak dari penduduk desa dengan jumlah yang sangat memberatkan.3 Akibatnya penduduk desa yang kebanyakan petani itu kemudian selalu berpindah-pindah tempat untuk menghindari beban-beban berat yang dipikulkan atas diri mereka itu.4 Orang tua Muhammad Abduh juga demikian. Ia selalu pindah dari desa satu ke desa lainnya. Itu dilakukannya selama setahun lebih. Setelah itu barulah ia menetap di Desa Mahallat Nasr. Di desa ini ia membeli sebidang tanah.5 Ketika Muhammad Abduh berusia 15 tahun ayahnya kawin lagi dan dikaruniai banyak anak. Hal ini menempatkan Abduh hidup dalam suatu keluarga yang didiami lebih dari seorang istri dan anak-anak yang berlainan ibunya.
1
Abdullah Muhammad Syahatah, op.cit., h. 3. Syaikh Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid (Risalah Tauhid), Terjemah Oleh Firdaus AN, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 7. 3 Ahmad Rasyid, Peta Pemikiran Islam Rasional, (Medan, Artikel, 1999), h. 20. 4 Ibid 5 Ibid, h. 21. 2
19
Keadaan rumah tangga semacam ini besar pengaruhnya terhadap pemikiran Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir. Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Proses pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran kepada seorang guru agama di Masjid Thantha untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dari Syekh Ahmad tahun 1862.6 Ia belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh tersebut yang terkenal dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat belajar di sana, ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak bisa ia pahami Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai alQur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah. Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa kitab hadits lainnya.7 Berawal dari pertemuan dengan pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Pada usia 16 tahun, Abduh menikah. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Thantha setelah mendapat nasihat dari pamannya tersebut. Setelah menyelesaikan studi di Thantha., beliau
6
Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 49. 7 Manî’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2003) cet. 2, hal. 242.
melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran yang diterapkan kepada para mahasiswa yang hanya mengikuti pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Namun demikian, di al-Azhar Abduh juga mengagumi beberapa Masyayikh. Diantaranya adalah Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagianya. Abduh
juga
mengagumi
sosok
Muhammad
al-Basyumi
yang
banyak
mencurahkan perhatiannya dalam bidang sastra dan bahasa. Pada usia yang ke-26 tahun, Muhammad Abduh telah mampu menulis secara mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Selain itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar al-Ahram, yang tulisannya tidak disukai oleh para pengajar di al-Azhar. Namun kerena kemampuan ilmiahnya dan pembelanya, yaitu Syeikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang waktu itu mejabat Syeikh al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan peringkat tertinggi dalam usia 28 tahun (1877 M) Setelah tamat dari Al-Azhar, Muhammad Abduh kemudian mengajar di almamaternya dan Darul Ulum, di samping itu juga dia mengajar di rumahnya. Di antara buku yang diajarkannya adalah buku Akhlak karangan Ibnu Maskawih, buku Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizote yang diterjemahkan oleh Al-Thanthawi.
Selang beberapa tahun kemudian (1879), Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir, dan Abduh sendiri diasingkan di desa kelahirannya hingga akhirnya ia menyusul al-Afghani ke Paris. Di sana mereka menerbitkan Jurnal Islam “alUrwah al-Wutsqa” atau The Firmest Bond, yang bertujuan menentang penjajahan barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh meninggalkan Paris menuju Beirut (Libanon) dan mengajar disana sembari mengarang beberapa kitab. Hasil karyanya antara lain adalah Risalah at-Tauhid, Syarh Nahjul Balaghah (komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib), menerjemahkan karangan al-Afghani: ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyîn (bantahan terhadap orang-orang yang tidak percaya eksistensi Tuhan), dan Syarah Maqamat Badi’ az-Zaman alHamazani. Ketika Jamaluddin Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Taufiq, Muhammad Abduh juga dibuang ke luar kota Cairo. Pada tahun
1880 Muhammad Abduh
diperbolehkan kembali ke Cairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqa’ Al-Misriyah. Pada waktu berada di bawah pimpinan Muhammad Abduh surat kabar ini tidak hanya menyiarkan berita-berita resmi tetapi juga memuat artikel-artikel tentang kepentingan nasional Mesir. Selama masa hidupnya, Abduh sangat membenci dan menentang sikap Taqlid yang menghegemoni umat Islam saat itu. Hal ini sebenarnya mulai dia rasakan semenjak menginjakkan kakinya di al-Azhar, dimana dia mendapati terpolanya 2 sudut pemahaman; yaitu kaum mayoritas yang penuh taqlid dan
hanya mengajarkan kepada para siswanya pendapat-pendapat ulama’ terdahulu dan sekedar dihafal. Sementara kaum minoritas adalah mereka yang suka akan pembaruan Islam (pola tajdid) yang mengarah pada penalaran dan pengembangan rasa.8 Pada 11 Juli 1905 Masehi, Muhammad Abduh menghembuskan nafas terakhir di rumah sahabatnya, Muhammad Bek Raban, di Ramel Iskandariah, dan dikebumikan di tempat kelahirannya..
B. Pendidikan Muhammad Abduh Pendidikan pertama yang di tekuni oleh Muhammad Abduh adalah belajar al-Qur’an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di Masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistem belajar yang dirasakan sangat membosankan, ia akhirnya memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Siybral khit yang merupakan seorang yang berpengetahuan luas dan pengamal ajaran tasawuf. Selanjtunya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo dan berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1877. Pada tahun 1871 Masehi, ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, Abduh sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang digelar oleh Syeikh Jamaluddin. Disamping itu dia juga sering mengikuti halaqah-halaqah non-formal 8
1 h. 34.
M. Quraish Shihab, Studi Kritis atas Tafsir al-Manâr, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet.
dan mendengarkan pelajaran langsung di rumah al-Afghani. Maka secara alami, Abduh juga ikut terpengaruh dan menyebarkan corak pemikiran Afghani. Dari kedekatannya inilah Jamaluddin al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari tasawwuf (dalam arti sempit), kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.9
C. Karya-karya Syeikh Muhammad Abduh Selain tulisan dan karangan-karangan lepasnya yang tersebar di berbagai majalah dan surat kabar, beberapa karya Muhammad Abduh sepanjang hayatnya adalah sebagai berikut: -
Risalah al-Waridah (Kairo, 1874) : menyangkut bidang ekonomi dan politik
-
Hasyiyah ’ala dawani li al-’Aqaid al-’Adudiyah (Kairo, 1876) : menyangkut tasawuf dan mistik.
-
Al-Radd ’ala al-Dahriyyin (Beirut, 1886) : sebuah salinan dari Jamaluddin al-Afghani untuk menyerang materialisme historis.
-
Syarah Nahj al-Balaghah (Beirut, 1885) : sebuah uraian mengenai karangan Sayyidina Ali, khalifah keempat.
-
Syarah Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani (Beirut, 1889)
-
Risalah al-Tauhid
-
Syarah Kitab al-Basyir al-Nasriyyah fi ’ilmi al-Mantiq (Kairo, 1898)
9
Shalah Zaky Ahmad, Qâdatu al-Fikr al-Arabiy, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) cet. 1, hal. 111.
-
Taqrir fi Islah al-Mahakim al-Syari’ah (Kairo, 1900)
-
Al-Islam wa al-Nasriyyah ma’a al-ilmi wa al-madaniyyah (Kairo, 1902)
-
Tafsir Juz ’Amma dan Surah al-’Asr.
D. Sosio-Budaya dan Psikologi Masa Muhammad Abduh Pada sub bab ini penulis ketengahkan setting historis dari lahirnya ide dan pemikirannya, karena arah dan kecendrungan pemikiran serta produk pemikiran seseorang sangat di pengaruhi oleh lingkup sosial-budaya dimana ia hidup dan dibesarkan. Dengan memahami latar belakang ide dan gagasan seseorang, dapat menjadi dasar bagi orang lain untuk menilai dan memilah serta menemukan alasan; mengapa seseorang berpikir demikian?. Asumsi yang paling mendasar untuk menganalisis pemikiran seseorang adalah bahwa untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap suatu teks itu, keberadaan konteks yang ada di seputar teks tersebut tidak boleh dinafikan begitu saja. Dengan bahasa lain lingkup sosial budaya di seputar teks akan sangat menentukan makna teks. Bagaimana teks tersebut harus dibaca dan seberapa jauh teks tersebut harus dipahami. Teks yang sama dalam waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata penafsir yang berbeda; bahkan seorang yang sama sekalipun dapat memberi pemaknaan teks yang sama secara berbeda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda; di sinilah letaknya nilai
penting perhatian dan telaah terhadap konteks dan setting historis yang membentuk alas pikir seorang penafsir.10 Muhammad ‘Abduh yang lahir di Mesir pada tahun 1849 dan meninggal pada tahun 1905 adalah pribadi dan pembaharu besar muslim yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Keadaan rumah tangga keluarga sederhana bapaknya yang didiami oleh dua isteri dan anak-anak berlainan ibu membawa pengaruh bagi pikiran ‘Abduh tentang perbaikan masyarakat. ‘Abduh terkenal sebagai seorang yang cerdas dan kritis. Kekeritisan ‘Abduh membawa kepada kesimpulan bahwa sistem dan kinerja pengajaran di alAzhar tidak dinamis karena cenderung reproduksi-statis daripada produksi-aktif. Dia mengatakan tentang kritik pengajaran tersebut: “kepada para mahaswiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.” Namun, di perguruan tinggi ini, melalui perkenalannya dengan Syaikh Hasan at-Tawil, ia mendapat pengajaran dan mengenal dengan baik filsafat Ibnu Sina dan logika Aristoteles, yang tidak diajarkan di al-Azhar. Bersama gurunya Jamaluddin al-Afghani pula ia membangkitkan umat Islam untuk menghadapi koloni-koloni asing di tanah airnya, dan menggugah semangat mereka untuk tampil sejajar dengan bangsa lain di dunia. Untuk maksud ini, ‘Abduh menitikberatkan seruannya pada beberapa hal, seperti dituturkan oleh ‘Abd ar-Razaq, yaitu membebaskan pikiran umat dari belenggu taqlid, sehingga
10
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani (Yogyakarta: Qalam, 2007) h. 51.
tidak taken for granted terhadap suatu pendapat tanpa argumentasi yang masuk akal, menjelaskan masalah agama sejalan dengan sains karena kebenaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran akal, dan memahami agama dengan mendudukkan al-Qur’an sebagai sumber hidayah. Demikian
secara
ringkas
di
antara
aktivitas
‘Abduh
merespon
lingkungannya. Sisi psikologi masa ‘Abduh adalah lingkungan negaranya yang terjajah di mana ia menemukan kejumudan berpikir dari umat Islam, di satu pihak, dan sisi negatif negara asing yang menjajah, di lain pihak. Namun, lawatannya ke Eropa telah menyadarkannya akan sisi lain dari negara asing yang positif, yaitu mobilisasi peradaban dan semangat ilmiah. Aspek positif inilah yang menyemangatinya untuk membahasakan kembali pesan-pesan al-Qur’an agar kepasifan umat Islam bisa dirubahnya menjadi umat yang aktif-dinamis. Inilah jiwa
masa
‘Abduh.
Rasionalitasnya
adalah
refleksi
dari
semangatnya
menginspirasi umat untuk bergerak. Masyarakat tempat ‘Abduh tinggal dan besar yang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar di Eropa itu digambarkan oleh Sayyid Qutb11 sebagai masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta berlandaskan khurafat. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang 11
Sayyid Qutub, op.cit., h. 67.
mendewakan rasio, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu, ditambah lagi dengan kecaman-kecaman tajam yang dilontarkan oleh orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.
E. Syeikh Muhammad Abduh dan Pembaharuan Pemikiran Tafsir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, tidak hanya terbatas memperbaiki sistem pendidikan, tetapi juga dalam bidang lain. Salah satu diantaranya adalah dalam bidang tafsir, yang terkenal dengan Tafsir Al-Manar adalah hasil karya Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha yang mempunyai corak baru dalam tafsir. Corak tafsir yang dikembangkan tersebut dinamai oleh para mufassirin “Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i”( Sastra Budaya Kemasyarakatan). Tafsir ini menurut Al-Zahabi adalah sebuah corak baru dalam dunia tafsir. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tidak lagi menampilkan kebiasaan lama mengalihkan manusia dari hidayah Al-Qur’an, akan tetapi menampilkan corak lain yang berorientasi kepada corak baru yaitu; suatu corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan-penjelasan nash-nash Al-Qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian membentuk suatu pengertian yang menjadi tujuan pokoknya dan selanjutnya dikaitkan dengan persoalan-persoalan kehidupan kemasyarakatan12. Diantara prinsip Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, AlQur’an menjadi pokok yang menjadi dasar segala mazhab dan aliran keagamaan, bukannya mazhab-mazhab dan aliran yang menjadi pokok, dan ayat-ayat Al12
Karel A. Steen Brink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1984,) h. 143-147.
Qur’an hanya dijadikan pendukung mazhab-mazhab tersebut.13 Kecuali itu, Muhammad ‘Abduh membuka lebar pintu ijtihad. Menurutnya dengan membuka pintu ijtihad akan memberi semangat dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya14. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Muhammad ‘Abduh mempunyai beberapa prinsip pokok. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a.
Menganggap setiap surat dalam Al-Qur’an sebagai suatu kesatuan ayatayat yang serasi. Prinsip ini dijadikan sebagai dasar dalam memahami arti ayat Al-Qur’an. Dengan cara ini keduanya bermaksud membantah kritikankritikan para orientalis yang mencela susunan ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka anggap bercampur baur, sebab tidak disusun menurut topik-topik tertentu15. Disamping itu keduanya bermaksud menolak cara penafsiran yang ditempuh para mufassir terdahulu yang memisahkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan penafsiran beliau menyangkut firman Allah dalam surat al-Fajr ayat 1-2 : ⌧ Terjemah : “ Demi fajar (1) Dan malam yang sepuluh (2) ” Dalam ayat ini, keduanya mengatakan bahwa pengertian “Fajr” adalah bersifat umum disetiap masa yakni waktu dimana cahaya siang menjelma ditengah-tengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian
13
Muhammad ‘Abduh, Tafsir Surat al-Fatihah, (Kairo: Dar Wa Makhtabi al-Syaib, t.t.) h.
5. 14
Ahmad Amin, Zuama al-ishlah fi al-ashr al-hadism Maktabat al-nahdat al-Misshriyat, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, t. t.) h. 225. 15 Abdullah Mahmud Syahatah, op.cit., h. 35-36.
mengusik kegelapan malam. Makna “alif dan lam“ pada kata al-fajr terkandung dalam pengertian tersebut diatas. Adapun arti Layal ‘Asyr harus dipahami dengan makna-makna tertentu yang serasi dan mirip keadaannya dengan kalimat sebelumnya yaitu al-fajr. Untuk itu maka makna layal ‘Asyr adalah malam-malam dimana cahaya bulan mengusik kegelapan malam-malam berikutnya. Menurut Abduh, bahwa keserasian makna kedua ayat tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu: pertama adalah antara pengertian al-fajr dan layal ‘Asyr dari segi masingmasingnya mengusik kegelapan hingga akhirnya terjadi terang yang merata sampai malam hari. Kedua dalam layal ‘Asyr, bulan (pada sepuluh malam tertentu) mengusik kegelapan, namun akhirnya ia dikalahkan oleh kegelapan tersebut sehingga terjadi kegelapan yang merata16. b.
Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum. Inti dari prinsip ini adalah bahwa kandungan dan petunjuk Al-Qur’an bersifat umum dan berkelanjutan terus sampai hari kemudian. Ajaran-ajaranya, janji dan ancamanya, serta berita baik dan buruknya, tidak ditunjukkan pada perseorangan atau induviduinduvidu tertentu tapi bersifat universal17. Prinsip-prinsip ini lah yang ia jadikan landasan dan kaedah. Sebagai contoh dapat dikemukakan penafsiran dalam surat al-lail ayat 15 dan 17 :
16
Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma (Beirut: Dar wa Mathabi‟
al-Sya‟b, t.t,) h. 60. 17 Abdullah Mahmud Syahatah, op.cit., h. 45.
!"#$ִ ) * +, 3
ִ&
(
./ ⌧01(֠34
5
657 4
ִ8
9:< = > 6
Terjemah : “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka(15), Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman) (16), Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu (17)
Kata Asyqa dan atqa dalam keduanya ayat ini dianggap sebagai kalimat-kalimat yang mencakup semua orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, sehingga kata al-asyqa bukan ditunjukan pada Umayyah bin Khalaf, seperti yang diriwayatkan oleh sebab nuzul ayat ini. Tetapi alasyqa menunjuk kepada tiap orang yang berdosa walaupun berpredikat mukmin. Sedangkan al-atqa tidak hanya menunjuk Abu Bakar al-Siddik, seperti menunjuk kepada setiap orang mukmin yang memiliki istiqamat, atau orang pernah melakukan dosa tertentu lalu bertaubat dan menyesali dosa-dosanya18. b.
Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan syariat Islam. Dalam hal ini ‘Abduh mengatakan: “saya ingin Al-Qur’an menjadi pokok, kepadanya disadarkan segala mazhab dan pandangan keagamaan, bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok, dan ayat-ayat al-Qur’an hanya dijadikan pendukung untuk mazhab-mazhab tersebut19. Selanjutnya ‘Abduh dan Rasyid
18 19
Ridha
mengkritik
pendapat-pendapat
Muhammad Abduh, op.cit., h. 80. Muhammad Rasyid Ridha, Al-manar op.cit., Juz V, h. 119.
sebahagian
ulama
(Mufassirin) yang mengatakan bahwa ada ayat-ayat yang musykil dan sukar dipahami, hanya karena ayat tersebut tidak sejalan dengan pandangan mazhab mereka. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah penafsiran surat al-nisa ayat 43 tentang Tayammum, bagi keduanya tayamum itu dibolehkan bagi mufasir meskipun ia mendapatkan air dan mampu menggunakan air tersebut. Pandangan ini bertentangan dengan mazhab lain yang hanya membolehkan tayamum ketika ketiadaan air dan ketidakmampuan menggunakan air karena halangan tertentu seperti sakit. Dalam hal ini ‘Abduh dan Ridha mengatakan bahwa ketiadaan air hanya menjadikan syarat kebolehan tayamum bagi orang yang berhadas besar dan kecil. Adapun bagi mufasir tidak disyaratkan ketiadaan air seperi yang berlaku pada orang sakit.20 Penafsiran tersebut menurut keduanya dapat dipahami dari redaksi ayat termaksud tanpa mengkaitkan pandangan mazhab yang bermacam-macam. d.
Penggunaan akal yang bebas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bertitik tolak dari prinsip ini keduanya berkeyakinan bahwa akal dan wahyu adalah alat dan sumber untuk mendapatkan petunjuk, dengan demikian maka pengertian ayat-ayat Al-Qur’an harus sejalan akal fikiran manusia. Dan jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal, maka itu adalah akibat dari pemikiran-pemikiran sendiri yang sebelumnya telah memilki pendapat-pendapat atau ide-ide tertentu, yang kemudian diusahakan untuk disesuaikan dengan pengertian ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi
20
M. Quraisy Syihab, op. cit,. h. 14.
hakekatnya bukan bersifat akal dan wahyu yang berbeda, tetapi pemikiran yang memiliki latar belakang tertentu itulah yang berbeda dengan ayatayat Al-Qur’an21. e. Memerangi dan memberantas taklid. Prinsip ini erat hubungannya dengan prinsip ketiga diatas seperti diketahui bahwa ‘Abduh dan Ridha, dalam rangka pembaharuannya berupaya dengan keras untuk memberantas Taklid, dan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya untuk memberi semangat dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya. Bahkan ‘Abduh sendiri mengatakan bahwa tema pokok dari dakwahnya adalah tertuju pada dua hal yaitu, (1) Pembebasan akal dari belenggu taklid. (2) Pembaharuan dan perbaikan-perbaikan uslub-uslub bahasa Arab, baik yang digunakan dalam bahasa resmi maupun yang dipraktekkan dalam komunikasi masyarakat umum22. f. Mendorong penelitian ilmiah dan penalaran, serta menerapkan metode ilmiah, dan hasil penemuan ilmu pengetahuan di masanya dijadikan dasar argumen dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengan prinsip ini nampaknya ‘Abduh dan Ridha seolah-olah ingin mempertemukan antara teori-teori ilmiah ataupun hasil peradaban Barat dengan Al-Qur’an. Setidak-tidaknya, keduanya ingin memberikan jastifikasi Al-Qur’an terhadap teori-teori ilmiyah itu. Salah-satu teori ilmiyah yang dianut ‘Abduh dan Ridha adalah teori perkembangan dan evolusi manusia. Teori ini jelas pengaruhnya
21 22
M. Rasyid Ridha, op.cit., Juz 1. h. 281-284.
Mani”Abd Al-Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 1978), h. 312.
ketika menafsirkan kisah penciptaan Adam. Dalam kaitan ini keduanya tidak menerima pandangan jumhur ulama bahwa Adam adalah manusia yang pertama. Alasanya ialah karena hal tersebut sejalan dengan ide perkembangan dan evolusi manusia, oleh karena itu kedua ayat yang menegaskan tentang hal diatas harus di pahami secara metaforis23. g. Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham. Ayatayat mubham adalah hal-hal yang disebut secara sepintas oleh Al-Qur’an dan tidak dijelaskan secara rinci sehingga menimbulkan kesamaran tentang makna atau hakekatnya. Misalnya “sapi“ yang disebut pada surat al-Baqarah ayat 58, “anjing“ yang menyertai ashhab al-kahf dalam surat al-Kahf ayat 18, dan “rezeki“ yang terdapat pada surat Ali Imran. Dalam persoalan-persoalan seperti ini Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha tidak memperpanjang bahasannya, seperti yang dilakukan ulama tafsir lainnya yang berusaha memberikan indentifikasi dan uraian mengenai hakekat makna dari hal-hal tersebut meski dengan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sahihnya. h. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsir al-ma’sur dan menolak israiliyat24. Yang dimaksud dengan al-ma’sur disini adalah tafsir yang berdasarkan riwayat-riwayat baik hadits maupun qaul sahabat, Jadi tafsir ayat dengan ayat juga merupakan bahagian dari tafsiran al-ma’sur. Sikap Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha yang sangat berhatihati terhadap hadits Nabi khususnya yang menyangkut penafsiran suatu 23
Al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III, (Kairo: Dar al-Kitab al-Hadis, 1962), h.
24
A. M. Syahatah, op.cit., h. 161.
226.
ayat adalah karena ia melihat kenyataan bahwa hadits-hadits seperti itu banyak yang dha’if dan bahkan bertentangan satu sama lain. Disamping itu banyak diantara hadits-hadits tersebut tidak termakan oleh akal pikiran.25
F. Sumbangan Abduh Dalam Bidang Tafsir Ketika menelisik tentang apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir, maka akan menemukan sebuah karyanya dalam bidang tafsir terkenal yaitu Tafsir Juz Amma (juz 30 dari urutan mushaf). Tafsir yang disusun oleh Abduh atas musyawarah dari anggota “Jam’iyyah Khairiyyah al-Islamiyyah” itu diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para pengajar Jam’iyyah, dalam memberikan pemahaman terhadap para murid tentang arti dan kandungan makna dari surat-surat yang telah mereka hafal dalam juz 30. Disamping itu Abduh juga berharap agar karyanya ini bisa menjadi corong perbaikan kerja dan akhlaq mereka. Tafsir “Juz Amma” ini selesai dikerjakannya tahun 1321 H di negeri Maghrib. Selain itu kita juga dapat menemukan tafsir detailnya tentang surat “alAshr”, yang pernah beliau sampaikan dalam berbagai macam muhadharah dan sebagai bahan pelajaran untuk para ulama’ di kota al-Jazair pada tahun 1321 H/1902 M. Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa; “dia membacakan tafsir dari satu surat al-Ashr ini dalam waktu 7 hari, dan setiap kali pertemuan tidak kurang dari 2 jam atau 1 jam setengah”.26
25
A. Majid A. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir terj.(Yogyakarta: Qalam, 1997) h. 153. 26 Muhammad Husain al-Dzahabi, op,cit., jilid 2, h. 371-372.
fi
al-‘Ashr
al-Hadis,
Pada sisi yang lain dapat ditemukan berbagai macam karya Abduh dalam bentuk studi tafsir, yang di dalamnya ia mencoba mengobati dan memberikan solusi atas berbagai macam isykaliyyat Qur’an, dan juga memberikan pembelaan atas skeptisme terhadap isykaliyyat tersebut. Hal ini dapat kita tengok dalam penjelasannya tentang tafsir surat an-Nisa’ ayat 78-79 . Beliau telah menggabungkan kedua ayat tersebut dan menyepakatkannya atas beberapa qaul yang menyatakan bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan. Yaitu menisbatkan perbuatan manusia kepada Allah pada satu waktu, dan perbuatan manusia kepada sesama hamba pada waktu yang lain.27 Secara tertulis dan khusus memang tidak mendapati Muhammad Abduh menyusun sebuah kitab tafsir 30 juz lengkap, sebagaimana para mufassir lainnya. Namun jejak pemikiran dan konsep beliau dalam bidang tafsir dapat terlihat dari setiap pelajaran yang beliau sampaikan dalam perkuliahan di al-Azhar kepada para muridnya. Walaupun Abduh menyampaikan pelajaran tafsir dengan tanpa tercetak atau tertulis sedikitpun, namun tidak kesulitan mendapatkan jejak peninggalan beliau dalam bidang tafsir. Hal itu disebabkan karena salah satu murid beliau, Muhammad Rasyid Ridha selalu mencatat poin-poin penting yang beliau sampaikan di sela-sela muhadharahnya. Pada tahap selanjutnya, apa yang sudah dihafal oleh Rasyid Ridha dan ia tulis lalu ia koreksikan ulang kepada Abduh untuk diteliti, sebelum akhirnya diterbitkan dalam majalah al-Manâr.28 Demikianlah beberapa poin pokok dari apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir. Walaupun karya (tafsir yang tertulis) ini 27
Lebih lanjut lihat: “al-A’mâl al-Kâmilah li al-Imâm Muhammad Abduh”, Tahqîq wa Taqdîm Dr. Muhammad Imarah, Jilid 5, tentang tafsir surat an-Nisâ’. 28 Muhammad Husain al-Dzahabi, op.cit., h. 372-373.
terhitung sedikit bagi sosok Abduh yang kaya ilmu dan pengetahuan, namun secara riil Abduh memberikan perubahan yang besar bagi perkembangan tafsir.
G. Metode Tafsir Muhammad Abduh 1. Metode Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an Menurut Abduh, mempelajari dan menggali tafsir al-Qur’an secara mendalam bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan ia termasuk bidang yang paling sulit namun sangat penting. Titik kesulitan tersebut menurutnya berawal dari beberapa hal. Diantaranya adalah; karena al-Qur’an merupakan “kalâm samâwi” atau “sabda langit” yang diturunkan dari haribaan Tuhan semesta alam kepada hati penutup para nabi, Muhammad SAW, dan ia mengandung begitu banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan yang agung. Maka tidak akan mungkin bisa menemukan mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya, kecuali orang-orang yang mempunyai hati bersih dan akal yang cemerlang.29 Meskipun demikian, dalam hal ini Muhammad Abduh adalah satusatunya ulama’, diantara sekian banyak ulama’ al-Azhar, yang secara terang-terangan menyerukan dakwahnya kepada pembaharuan dan pembebasan diri dari belenggu Taqlid. Maka ia menggunakan kebebasan akalnya dalam setiap tulisan-tulisannya maupun penelitiannya. Abduh tidak menempuh dan mengikuti terhadap sesuatu yang ia anggap baku dan kaku dari pemikiran serta statemen-statemen para pendahulunya. Sehingga
29
Manî’ Abdul Halim Mahmud, op.cit., h. 244.
dari situ muncullah gagasan-gagasan serta ide Abduh yang dianggap kontroversial dan sangat kontras dengan pemikiran para ulama’ sebelumnya. Banyak dari kalangan ulama’ Mesir yang marah dan geram dengan sikap Abduh tersebut. Namun tidak sedikit pula para pengikut dan muridnya yang telah banyak mengikuti jejaknya. Kemerdekaan akal dan revolusi Abduh terhadap pola pemikiran lama ini memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai macam metode yang ia terapkan, termasuk dalam bidang tafsir. Diantara beberapa aspek yang membedakan Abduh dengan kebanyakan mufassirin sebelum dan sezamannya karena ia telah mengambil dasar tersendiri yang ia jadikan sebagai landasan dan alat bedah dalam menafsirkan al-Qur’an. Landasan Abduh dalam penafsiran adalah bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap al-Qur’an, yang merupakan pondasi dasar agama, dengan berbagai macam kandungannya yang dapat mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab menurut Abduh, inilah tujuan tertinggi dari al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan lain yang menyertainya merupakan konsekuensi atau aksi lanjutan dan jalan untuk mencapai tujuan itu. Setelah Abduh menetapkan landasan dasar ini dalam ranah penafsiran, ia beranjak mengkritik kelalaian para mufassirin dari tujuan utama ini, yaitu tentang apa yang ada dalam al-Qur’an -dari petunjuk dan bimbingan- lalu mereka perluas pembahasan tafsir mereka kepada bentuk lain dari segi balaghah, nahwu, perbedaan-perbedaan dalam hukum fikih,
dan berbagai macam maqashid yang dinilali oleh Abduh, dengan itu justru dapat menghamburkan maksud asli dari kitab suci, sekaligus mengarah kepada egoisme dan fanatisme terhadap kepentingan madzhab masingmasing. Akibat dari dominasi nafsu kepentingan tersebut dikhawatirkan akan membuat mereka alpa akan makna yang hakiki dari al-Qur’an. Menanggapi
fenomena
ini,
Syeikh
Muhammad
Abduh
mengklasifikasikan corak penafsiran menjadi dua bagian: Pertama penafsiran yang kering dan jauh dari ruh ketuhanan sekaligus kitab-Nya. Yang ia maksud di sini adalah penguraian atau perincian per kata, lalu kedudukan kalimat dalam i’rab, dan penjelasan dari apa yang diisaratkan oleh kandungan ungkapan-ungkapan serta isyarat dari disiplin ilmu tersebut. Abduh berkata: “model atau corak penafsiran yang seperti ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai tafsir. Akan tetapi, ini adalah bentuk dari semacam latihan dan ujian dalam sebuah disiplin ilmu seperti nahwu, ma’ani, dan lain sebagainya. Kedua adalah metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir dengan memahami maksud sebuah ucapan, Hikmah at-Tasyrî’ fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm (dalam bentuk yang dapat menarik hasrat hati), lalu menggiringnya pada aktualisasi dalam perbuatan nyata dan menemukan petunjuk yang tersirat dalam setiap kalam atau sabda. Maka dari sini diharapkan akan dapat merealisasikan firman Allah; al-Qur’an sebagai “Hudan wa Rahmatan” dan semisalnya, dari berbagai macam sifat al-Qur’an (yang dinyatakan oleh Abduh; “inilah tujuan utama yang tersirat dalam kegiatan membaca dan menafsirkan al-Qur’an”).
Selanjutnya, secara lebih rinci Muhammad Abduh juga membagi tingkatan tafsir menjadi dua bagian: Pertama tingkatan yang terendah, adalah model tafsir yang hanya menjelaskan secara global apa yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran Allah dan penyucian-Nya. Lalu dapat menghindarkan nafsu dari perbuatan jelek, dan menariknya untuk berbuat kebaikan (baca: Q.S al-Qamar: 17). Kedua tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a)
memahami hakikat makna per kata yang terkandung dalam al-Qur’an, dengan syarat seorang mufassir harus mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya dari perkataan dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.) b) memahami berbagai macam gaya bahasa. Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir diharapkan mampu memahami gaya bahasa dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang tinggi. Tingkatan ini dapat dicapai dengan mempelajari dan menerapkan rumusrumus atau kaidah “kalam baligh” serta dibarengi dengan pendalaman corak sastra, dan menjaga agar bisa selaras dengan makna yang tekandung dalam teks, c) mengetahui ilmu sosiologi. Di dalam al-Qur’an banyak kita temukan ayat yang berbicara tentang kondisi sosial masyarakat , kisahkisah sejarah umat manusia, dan sunnatullah dalam diri manusia, yang menjadikan ilmu sosiologi itu penting untuk dipelajari, d) mengetahui konteks dimana dan bagaimana al-Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui sisi-sisi al-Qur’an sebagai petunjuk pada masa kenabian, dimana al-Qur’an diwahyukan, e) mengetahui sejarah perjalanan Nabi
SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan perbuatan mereka dalam ibadah dan mu’amalah. Tujuan utama yang termaktub dalam kegiatan membaca tafsir adalah penggabungan syarat-syarat tersebut, agar bisa mencapai target purna yaitu mendapatkan pemahaman akan arti sebuah ungkapan Tuhan. Di samping itu juga untuk mendapatkan pemahaman tentang hikmah pensyariatan akidah dan hukum dalam bentuk yang bisa menarik hati, sekaligus mengantarkannya pada perbuatan nyata atas pantulan cahaya petunjuk yang tersimpan dalam al-Qur’an. Adapun tujuan hakiki dari semua usaha tersebut adalah untuk mencari petunjuk dari al-Qur’an al-Karim.30
2. Perbandingan antar metode Berangkat dari beberapa uraian di atas, setidaknya dapat diketahui metode seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Maka jika dikomparasikan dengan empat metode tafsir yang sudah ada; tahlili (analitik), ijmâli (global), muqârin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik), dapat dianalisa bahwa Abduh lebih cenderung membuat metode sendiri yang tidak berkutat pada salah satu dari keempat metode itu. Metode tahlili; tentu saja Abduh tidak murni menggunakan metode ini, karena yang dikehendaki oleh metode analitik adalah dengan menjelaskan setiap kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat; yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, 30
Manî’ Abdul Halim Mahmud, op.cit., h. 245-246.
dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat; yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma ahlak dan lain sebagainya. Sementara metode ijmâli; metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode pertama (dalam hal menafsirkan al-Qur’an dari ayat per ayat). Namun perbedaannya terdapat pada penjelasan yang detail dan rinci pada metode pertama, sementara metode ijmâli tidak menjelaskan per ayat secara detail dan tuntas. Maka Abduh tidak termasuk memakai metode ini karena beliau belum sempat menghasilkan kitab tafsir secara tuntas 30 juz. Lalu metode muqârin atau muqâranah; tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Jika kita tengok ulang, maka Muhammad Abduh terlihat jarang menggunakan metode ini, terlebih dengan memberikan perbandingan antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir. Adapun metode maudhu’i; Muhammad Abduh juga tidak menempuh metode ini karena yang dimaksudkan di sini adalah penyusunan tafsir dengan mengumpulkan ayat-ayat yang se-tujuan menjadi satu bab sesuai tema/topik yang ditentukan. Sementara selama mengajar di al-Azhar beliau hanya sempat mengajarkan tafsir mulai dari awal al-Qur’an (surat al-Fatihah) pada bulan Muharram 1317 H dan selesai hingga surat an-Nisa’ ayat 126, pada pertengahan Muharram 1323 H.31
31
Muhammad Husain al-Dzahabi,op.cit., h. 372.
Metode penafsiran Abduh memang cukup susah untuk dianalisa dan dikategorikan. Pasalnya beliau memang belum pernah secara khusus menulis satu kitab tafsir secara utuh. Namun setidaknya dapat diketahui lebih jauh tentang metodologi tafsir Muhammad Abduh lewat corak yang ia hadirkan dalam beberapa kajian tafsirnya.
3. Corak khusus penafsiran Muhammad Abduh Bukan hanya seorang mufassir, bahkan setiap orang pun (yang mengetahui bahasa arab) ketika membaca al-Qur’an, maka maknanya akan jelas di hadapannya. Namun tatkala ia membacanya sekali lagi, tidak menutup kemungkinan ia akan mendapati makna lain yang berbeda dari makna
pertamanya.
Demikian
seterusnya
hingga
Abdullah
Darraz
mengatakan dalam an-Naba’ al-Adzim sebagai berikut: “Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil ketika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan mendapatkan yang lebih banyak dari apa yang kita lihat”. Oleh karena itu, setiap penafsir akan menghasilkan corak penafsiran yang
berbeda
tergantung
latar
belakang
keilmuan,
kondisi
sosial
kemasyarakatan, aliran kalam, madzhab fikih, kecenderungan sufisme mufassir itu sendiri, sehingga akan menghasilkan berbagai macam corak dan warna penafsiran al-Qur’an. Beberapa corak yang muncul antara lain Corak Sastra Bahasa32, Corak Filsafat dan Teologi33(12), Corak Penafsiran Ilmiah,
32
Tafsir dengan corak ini bisa kita lihat seperti Tafsir “al-Kasysyâf” karya alZamakhsyari
Corak
Fikih(13),
Corak
Tasawuf(14)
dan
Corak
Sastra
Budaya
inilah
(Corak
Sastra
Budaya
Kemasyarakatan.(15) Adapun
corak
yang
terakhir
Kemasyarakatan) yang digagas dan didengungkan pertama kali oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh ingin menguak dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat al-Qur’an yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi berbagai macam penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, namun enak didengar.
33
Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, Atsar at-Tathawwur al-Fikri fi at-Tafsîr fi alAshr al-Abbasi, (Beirut: Mu’assasah ar-Risâlah,) hal. 281-289.
BAB III TAFSIR MUHAMMAD ABDUH TENTANG KISAH PENGANGKATAN ADAM SEBAGAI KHALIFAH DALAM SURAH AL-BAQARAH AYAT 30-35
A. Deskripsi Kisah Adam dalam Surah al-Baqarah Tulisan ini mengambil surah al-Baqarah karena ‘Abduh hanya sempat menafsirkan al-Qur’an sampai surah an-Nisa’ ayat 129 yang disampaikannya dalam bentuk ceramah di Masjid al-Azhar Kairo, yang kemudian ditulis melalui konsultasi oleh Rasyid Rida, surah al- Baqarah ayat 30- 35 : ֠ ִ☺ !" #ִ֠$ % &'( )* + , ⌧./ ִ0 1 1+234 ֠ #"ִ5 6 7 8 9: $ 7 ;<=> .#? 9: @A .B> C 4D 7 E D + ;$ FG ;⌧ HAI>K ⌧L <M☺ NO PQ R< K ִA 1 ֠ 2 #S M# 8 7 TF U3;☺ 5 &XYZ 0S [ \ִ]+ 4 4D .M^)* + ִ6 4_ `S5a (S9ִ 0c 4 # ִ☺ + 34d e K 8 4D ִ☺Bf g 4hF@ ִR U (S),4_ %i ֠ < I &XkZ 1+34 ֠ ִA l ִ (e;f TF 0S [ D , mF 7 D l )M☺ # 1 ִAQK InK 8 #op ִ5 + qa]= r + &XsZ ֠ #\ִ] d ? S;6t u K 8 (S vwD .M^ g 1 D x☺ S5R g e K 8 (S vwD .M^ g ֠ (S 8 "5֠ 8 (S4 y 2 #S M# 8 I /⌧z S{ 3 |>> + &'( )* + #S [ 8 7 U ;<(A5 7 (S)l4_ U3#|) &XXZ l 5֠ | 1+ ;<@~Bf + \ִ]|ִ 1+. ;<ִ~I> •F €`] ( • ‚ 8 :ִ )Bf + U֠⌧_ 0$ 7 ƒ„… . + &XZ , 5֠ #\ִ] d ? M$4 Bf + InK 8 ִA#† ִ‡ Ql 6 r + T⌧4_ ִ6, 7 + <⌧z ;ˆ /ִH ִ☺) ‰ y TF
… Y/ ִR K34 ) 0$ 7 %i •‹ y@ Terjemah :
…ִ~‰Š + &X Z
+
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."( 30). Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orangorang yang benar!( 31). Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha45mengetahui lagi Maha Bijaksana( 32). Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"(33 ). Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orangorang yang kafir.( 34). Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.(35)
Kisah Adam tersebut dinarasikan pada masa-masa akhir di Mekkah. Dalam ayat diatas terdapat banyak pertanyaan dan kontroversi diantara para penafsir, mengapa Allah memberitahukan rencana-Nya kepada para Malaikat untuk menciptakan Khalifah di bumi, bagaimana para Malaikat tahu bahwa keturunan
Adam
akan
membuat
kerusakan,
mengapa
mereka
boleh
mempertanyakan kehendak dan kebijaksanaan Allah, bagaimanakah Khalifah Allah itu diciptakan, dan mengapa dia begitu cepat melanggar aturan Allah untuk tidak mendekati syajarah, siapakah syaitan atau Iblis itu dan bagaimana dia bisa masuk ke dalam Jannah itu dan menjerumuskan Adam dan Zauj-nya.
Selain ayat diatas ada beberapa surah yang menarasikan kisah Adam, diantaranya : 1. Surah al- Isra’ ayat 61- 65 : , +
5֠ ⌧e ִ☺ 1+ ;<;'Bf \ִ]|ִ 1+. ;<ִ~I> •F €`] ( ֠ ;<;'Bf 8 4 M$ִ☺ In ִ0 l,] • & kZ ֠ ִA Ž? 4 8 +⌧/ ִR • ֠yD + In 7`…TO t # %Z Z% •(…Q0 8 • ‘ ’(3 ? ִ☺ ]Y + “” l )MH•* .–H Ž—?v 5 mF ˜⌧] ֠ & sZ ֠ B ִR + $ִ☺ ִAִ5 A Ba;6l 7 “™ š 0aQlִ6ִ† ( 4_4 D+ •ִ† ☯4D+ •ִ† +l 35 (3Q7 & XZ ‡X• . )Bf + &$ 7 In5 œ ŽBf + S9ˆ 7 ִA (3I• B M† 8 S9(: # ִA / ?NO =$ Ba;6 _ ⌧y % Y { 3 7)* + < )* + (S5RM< # • 7 #S5R;< 5 ? ;$ œ /‰Š + mF + #…4z & Z QU • ] e # €` ] Ba 6 ] [ ⌦$ œ ;f • • ¡⌧_ ִA … ˜⌧/=O & Z Terjemah : Dan (ingatlah), tatkala kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali Iblis. dia berkata: "Apakah Aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" ( 61). Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan Aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil". ( 62 ). Tuhan berfirman: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, Maka Sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. ( 63). Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.(64 ). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".( 65 ) 2. Surah Thaha ayat 115- 127
M< D KM< 6 # + ‘ \ִ]+ 4 $ 7 #"(e ֠ 0¢=‰ l (S M<=6FG –H l7• # &kk Z l 5֠ ⌧e ִ☺ 1+ ;<;'Bf + \ִ]|ִ 1+. ;<ִ~I> •F ☯] ( • ‚ 8 &kk Z , @ #\ִ] d ? QU +⌧/ ִR ;< # ִAy =† • T⌧ ֠HC4£Qlִ†X…¤#? 0$ 7 Qlִ~ + + ¥MŠ ) &kk¦Z QU ִA mF 8 §356 7 9: TF • …5 &kkZ ִA K 8 TF 1+@ ִ☺M@ 9: TF •¢ִ M© &kk©Z , 3Bf 3 H ] ;$ œ /‰Š + ֠ #\ִ] d ? ("ִR ִA‡ ;] 8 • # …ִ~⌧y +5? r + AA #7 mF • (A ? &ksYZ T⌧TO g 9ˆ 7 MSִ< A ִ☺£Hu ִ☺;65{ 4(3ִf . • ZU ⌧.=• ? ִ☺9(: # $ 7 Yª Ql 6 r + • +¢I« # #\ִ]+ 4 –H— • 3 B &kskZ `S5a H e ŽM† + –H 0‹ Ž H / # •ִ<ִR &kssZ ֠ œ AR + ִ6l 7 ☺5/ • R 1 (S4 @©5 ¬-5 A ;< # 1 Q7 š S@eQ, ® g ? ¢v† ¯7 •˜<5R &$ִ☺ ִp Ay + ִ•+ִ<5R T⌧ "=© ? TF • ¥MŠ C &ksXZ M$ 7 ' …M# 8 $ # •X…•O QU š –#8 D , Š] 5 7 ֠, lIk – #…@Š FG ’(3 ? ִ☺ ]Y + • ִ☺M# 8 &ksZ ֠ YU‹ 0a %¢† :I°ִH • ִ☺M# 8 M< ֠ @n,4_ +,:…=• &ks Z ֠ ִA {⌧/⌧_ ִAŽ 8 ,) ?+ 4 9 ☺]=> , 1 ִA {⌧/⌧_ \(3 / + •¢I‰l5 &ks Z Terjemah : Dan Sesungguhnya Telah kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat. (115.). Dan (Ingatlah) ketika kami Berkata kepada Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", Maka mereka sujud kecuali Iblis. ia membangkang. ( 116). Maka kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya Ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. (117). Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, ( 118). Dan
Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".(119) Kemudian Syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" ( 120). Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia( 121). Kemudian Tuhannya memilihnya Maka dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. ( 122). Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (123). Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".( 124). Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, Mengapa Engkau menghimpunkan Aku dalam keadaan buta, padahal Aku dahulunya adalah seorang yang melihat?"Allah berfirman: "Demikianlah, Telah datang kepadamu ayatayat kami ( 125.). Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari Ini kamupun dilupakan".( 126.) 3. Surah al- Hijir ayat 26- 30 : < l ִ0 0$ I>±n€ + $ 7 " I• I M$ ¯7 rš •⌧3 ²U3#,B>Q7 &s Z QUD 6 r + H , ִ0 $ 7 #"(e ֠ $ 7 K ’3;☺>> + &s¦Z ֠ ִA ִ☺ A³ ִ0 +´… Š µ $ ¯7 " I• I M$ ¯7 ršִ☺ִH ²U3#,B>Q7 &sZ + š –H)?`3ִf @n¤⌧. K H] $ 7 ¢& 1+3#5 –H %„
5 ִ☺ + (S;6¶ @O U3#5 • R 8 &XYZ
Terjemah : Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. ( 26). Dan kami Telah menciptakan Jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. ( 27). Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk, ( 28). Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. ( 29 ). Maka bersujudlah para Malaikat itu semuanya bersama-sama,( 30) Kecuali Iblis. ia enggan ikut besama-sama (Malaikat) yang sujud itu.( 31
Kisah Adam yang diceritakan pada tiga ayat di atas memiliki pebedaan redaksi, dialog pada QS. surah al-Isra’ ayat 61- 65 menceritakan tentang perintah penghormatan kepada Adam, dan berlanjut pada dialog pembangkangan Iblis. Pada QS. Surat Thaha ayat 115- 126 ceritanya dimulai pada peringatan akan perjanjian antara Allah dan Adam yang kemudian Adam melupakannya setelah diperingatkan akan bahaya godaan syeitan. Pada surah al- Hijir ayat 26- 31 variasinya yang utama adalah kisah dimulai dengan penciptaan Adam yang menekankan unsur materiil asal manusia tanpa menyebutkan doa penyesalan Adam.1 Ayat- ayat diatas tidak menceritakan tentang pengangkatan Adam sebagai Khalifah secara terang seperti dalam surah al- Baqarah ayat 30- 35. Dari uraian diatas penelitian ini hanya akan berkonsentrasi pada QS. Al- Baqarah ayat 30-35. Al-Qur’an memang berbicara masalah-masalah seperti penciptaan Adam dan Zauj-nya, sujudnya para Malaikat dan membangkangnya Iblis, pengusiran Adam dan Zauj-nya karena melanggar perintah Allah dan seterusnya, tetapi itu sangat singkat dan al-Qur’an masih banyak meninggalkan hal-hal yang tak terjawab. Banyaknya teka-teki inilah yang menyebabkan sampai sekarang interpretasi kisah Adam ini justru semakin rumit daripada menemukan “benang merah”. Dalam problematika ini, ‘Abduh, seperti yang akan kita lihat, tidak ingin
1
Dr. Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia,( Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta, 2009), Cet. I, h. 110.
bertele-tele terperangkap dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan seperti yang dipaparkan oleh para interpreter sebelumnya. Tafsir-tafsir klasik memang lebih banyak terjebak ke dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan di atas yang dihindari ‘Abduh. ‘Abduh tampaknya lebih cenderung berusaha mencari celah lain untuk menangkap apa sebenarnya pesan fundamental yang disampaikan Allah lewat kisah Adam ini, sehingga manusia dapat mengambil hidayah darinya.
B. Penafsiran ‘Abduh: Karakter Filosofis Manusia dari Kisah Adam dalam Membentuk Insan Kamil Tafsir kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah oleh ‘Abduh menunjukkan suatu pergeseran interpretatif dari anggapan kisah tersebut sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi secara historis berubah menjadi anggapan bahwa ia hanyalah kisah simbolik semata. ‘Abduh memang tidak secara eksplisit menyebutnya simbolik, tetapi dari kandungan interpretasinya kita bisa menyimpulkan demikian. Berbeda dengan mufassir pendahulunya
yang
mencurahkan perhatian perhatian pada pemaknaan beberapa term dalam rangkaian kisah tersebut, seperti makna Khalifah, Malaikah, al- Jannah, as- Sujud dan Iblis. Asumsi dasarnya tentulah kisah- kisah itu secara keseluruhan merupakan kisah yang pernah terjadi pada satu kurun waktu, dan teks kisah tersebut dapat diartikan secara literal.2 Mereka sibuk mencari jawaban siapa sebenarnya secara person Iblis dan malaikat itu, ‘Abduh lebih suka memaknai keduanya sebagai sifat-sifat dasar atau ruh-ruh yang menjadi jati diri manusia.
2
Ibid., h.111.
‘Abduh tidak pernah menyebut Adam sebagai nama person tetapi lebih menyebutnya sebagai manusia secara umum. Berikut ini kita akan lihat bagaimana interpretasinya atas kisah tersebut. Bagi ‘Abduh dalam kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah itu telah ditetapkan suatu tamsil oleh Tuhan mengenai pesan tertentu yang lebih mendasar dan hakiki. Taqrir at-tamsil dari kisah ini adalah bahwa Allah hendak menjadikan manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini. Ayat 30 dari surah al-Baqarah yang berbicara tentang pemberitahuan Allah kepada para malaikat tentang rencana penciptaan Khalifah dipahami oleh ‘Abduh sebagai ‘ibarah tentang adanya suatu tempat yang namanya bumi dengan segala hukum alamnya yang menjadi ruhruhnya dan keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan dari mereka sehingga mengejawantah berbagai macam makhluk yang telah disiapkan oleh Allah untuk dihuni oleh suatu makhluk, yaitu manusia, sebagai pengelolanya atau sebagai aktor-aktif-kosmisnya, sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia ini.3 Pertanyaan Malaikat kepada Allah tentang sifat Khalifah yang dapat merusak dan menumpahkan darah di bumi adalah gambaran tentang potensi dalam
diri
manusia
untuk
melakukan
hal-hal
tersebut4.
Potensi
ini
mengindikasikan bahwa manusia dalam berbuat mendasarkan diri pada ikhtiyarnya atau pilihan-pilihan bebasnya (free will). Potensi diri ini tidak bertentangan dengan arti kekhalifahan, melainkan justru merupakan kualitas-kualitasnya. Pemberitahuan Allah kepada Adam mengenai nama-nama segala sesuatu (ayat 31) mengandung penjelasan tentang kemampuan manusia secara potensial 3 4
Tafsir al-Manar, op.cit., h. 281. Ibid, h. 1-2.
untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam alam materi ini, serta kemampuannya untuk mengolah dan mengambil manfaatnya.5 Ini berarti bahwa manusia dalam menjalani hidupnya mengandalkan konstruksi-konstruksi ilmu yang dibangunnya karena potensinya mengenal dan mengidentifisir sifat-sifat dasar dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan bumi ini. Pengajuan pertanyaan-pertanyaan tentang asma’a kullaha kepada para malaikat dan ketiadaan jawaban mereka (ayat 31 dan 32) menunjukkan keterbatasan ruh-ruh atau hukum-hukum alam yang mengatur alam ini. Dari interpretasi ini tampak bahwa ‘Abduh menafsirkan Malaikat dalam relasinya dengan kehidupan bumi ini dengan natural power atau hukum-hukum alam. Karena ia menyebutnya ruh-ruh yang mengatur alam ini.6 Perintah Allah kepada Adam untuk memberitahukan kunci jawaban mengenai asma’a kullaha itu (ayat 33) 7menunjukkan bahwa hanya manusialah yang diberi potensi oleh Allah sebagai aktor-aktif-kosmis di muka bumi ini. Sujudnya para malaikat kepada manusia (ayat 34) adalah ‘ibarah tentang taskhir hazihi al-arwah wa al-quwa kepada manusia supaya ia dapat memanfaatkan mereka demi mengembangkan kehidupan melalui pengetahuan tentang sunnah Allah.8 Sampai di sini, ‘Abduh memahami Malaikah dalam relasinya dengan bumi atau alam materi sebagai hukum alam. Muncul pertanyaan, lalu bagaimana arti Malaikah dalam relasi internalnya dengan manusia? Seperti disitir Quraish Shihab
5
Ibid, Ibid, h. 280-284. 7 M. Quraish Shihab, op.cit., h. 38. 8 Opcit, h. 285- 286. 6
bahwa ‘Abduh tidak hanya menafsiri Malaikah dengan “hukum alam” tetapi juga “bisikan hati nurani”. Pengertian yang kedua inilah yang barangkali merujuk pada relasi metaforis Malaikah dengan manusia. ‘Abduh sendiri berargumentasi bahwa apabila manusia mengamati dirinya sendiri maka di dalam dirinya ia selalu merasakan pergumulan psikis antara mengikuti bisikan-bisikan untuk berbuat baik dan buruk. Inilah yang disebut dengan “jiwa” manusia. Oleh karenanya ia menamakan bisikan-bisikan nurani itu dengan Malaikah. Kemudian
mengenai
keengganan
Iblis
untuk
sujud
(ayat
34)
mengimplikasikan kelemahan dan ketidakmampuan manusia untuk menundukkan ruh basyar atau menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang mengantar kepada perselisihan, perpecahan, agresi, dan permusuhan.9 Dari interpretasi ini jelas bahwa dalam diri manusia ada potensi Malaikah (bisikan-bisikan baik yang berarti sepadan dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan atau tidak menyalahi sunnah Allah) dan potensi Iblis (bisikan-bisikan kotor untuk berbuat jahat, atau menyalahi aturan-aturan kehidupan). Perintah Allah kepada Adam dan Zauj-nya untuk mendiami Jannah dan larangan untuk tidak mendekati syajarah ( ayat 35) ditafsiri ‘Abduh secara simbolik. Jannah menurut ‘Abduh bukanlah tempat seperti diperdebatkan dalam tafsir klasik tetapi merupakan lambang kebahagiaan dan kenikmatan, sedangkan syajarah adalah lambang asy-syarr dan mukhalafah, atau kejahatan dan perselisihan. ‘Abduh tidak menyebut bahwa Zauj adalah Hawa yang dicipta dari tulang rusuk Adam yang paling lemah. Memang ada isyarat bahwa Adam
9
Ibid,
diciptakan dari tanah kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakan Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari hadis. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai istri Adam sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur an.10 Satu- satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan ialah QS. Al- Nisa ayat 1, yaitu: 9 < #S4 — • u ִ< { xˆ ☯4D I> ± • ֠yD + \֠ ( )* (S4 / [
g ? PQ Q, + 1+3@ · + ֠yD + 4 * $ ¯7 ‘` . K ³ ִ0 9ˆ 7 ִ6ִ† ִ‡ |9ˆ 7 ,Fִ֠$ +,:… ˜⌧_ • 1+3@ Q + yD + U34 4D I> ¸ H + • QU yD + U֠⌧_ le] ֠ &kZ
Terjemah : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.(1) Akan tetapi maksud ayat diatas masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat ini masih umum. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa yang dimaksud dengan ”diri yang satu”( u ִ< yang ditunjuk pada kata ganti (dlamir )”daripadanya”( yang dimaksud dengan “pasangan” (
{
` . K), siapa 9ˆ
7 ) dan apa
ִ6ִ† ִ‡ ) dalam ayat diatas,
kkitab- kitab tafsirdari kalangan jumhur seperti Tafsir al- Qurthubi,al- Mizan, Ibn Katsir, Ruh al- bayyan, al- kasysyaf, al- Maraghi, dll menafsirkan kata “nafs al-
10
Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al- Qur an (Jakarta: Dian Rakyat, 1999), Cet. I, h.217.
wahidah” dengan Adam, dlamir “daripadanya” dengan “dari bagian tubuh Adam”, dan kata zaujaha (pasangan)menunjuk pada Hawa,istri Adam.11Abduh menolak menafsirkan Adam dan Hawa seperti penafsiran diatas dengan alasan 1. Ayat ini diawali dengan Yaa Ayyuhannas (wahai sekalian manusia), berarti ditujukan kepada semua manusia tanpa membedakan agama, sedangkan Adam sebagai manusia pertama tidak diakui oleh semua orang. 2. Makna an- Nafs, Abduh mengutip pendapat para filosof yang menganggap an- Nafs dan al- Ruh mempunyai arti yang sama, yaitu sesuatu yang bersifat non-materi. Jadi, tidak bisa diartikan dengan Adam yang konotasinya materi 3. Silsilah Adam dan Hawa sebagai nenek moyang manusia lebih dikongkritkan dalam agama Yahudi, mitos seperti ini tidak perlun diikuti oleh umat Islam.12 Agar terhindar dari penafsiran
yang saling bertentangan dalam
menafsirkan term- term sehingga al- Quran jauh dari pungsinya sebagai petunjuk maka abduh berusaha menafsirkan al- Qur an serasional mungkin, dalam menafsirkan Adam dan Zaujnya ( Hawa), Abduh hanya menafsirkan bahwa manusia adalah berpasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suami dan isteri, layaknya kenyataan yang kita temui dalam kehidupan manusia. Mengikuti bisikan kotor untuk memakan syajarah ditafsikan oleh Abduh dengan jatuhnya manusia ke dalam kerugian, kerusakan dan lain sebagainya, atau berarti hilangnya kebahagian dan kenikmatan. Untuk bisa kembali kepada 11 12
Ibid, h. 218 Ibid, h. 225
keadaan-keadaan positif, manusia diberi ilham (kalimat) untuk bertaubat, meninggalkan kesalahan yang pernah ia perbuat dan kembali kepada bisikanbisikan dan obsesi-obsesi mulia dan positif. Untuk ini Allah telah memberikan hidayah-Nya agar manusia bisa mengikuti jalan Jannah-Nya. Sementara itu dari sisi lain, ’Abduh melihat karakter manusia dari filsafat pengangkatan Adam. Dalam pandangan ’Abduh, Adam adalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan13. Dalam memandang kisah pengangkatan Adam, ’Abduh melihat kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan
yang
tidak
terbatas.
Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah)) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya. Pada masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan kesempurnaannya yang hakiki (“bersatu denganNya”). Sedangkan jika yang terjadi adalah evolusi regresif maka
13
HS. Hasibuan, Eksistensi dan Kisah Adam Historis,op.cit., h. 3-18.
dalam Persfektif Filosofis dan
manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang ternak.14 Setelah Tuhan mengangkat Adam sebagai Khalifah, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang “nama-nama” segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena “perlakuan” Tuhan yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes Malaikat tersebut, Tuhan pun kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para Malaikat, lalu Tuhan menyuruh Malaikat untuk sujud kepada Adam. ’Abduh menyatakan, sujudnya Malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas Malaikat bukanlah karena rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.15 Satu hal yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia dan pengangkatannya sebagai Khalifah menurut ’Abduh, yaitu hanya manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya16, sebagaiman dalam QS. Al- Ahzab ayat 72. Oleh karena manusia memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan, kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya 14
Ibid. Ibid 16 Tafsir al-Manar, op.cit., h. 284. 15
sekedar sebagai Khalifah-Nya, melainkan juga pengemban amanah-Nya, dan penjaga karunia-Nya yang paling berharga17. Beliau memandang, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah kehendak bebas. Kemudian manusia terbagi ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam tahap makhluk yang biasa (being), yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki kesamaan arti dengan istilah l’etre en soi atau being in self (ada dalam diri) dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering in self adalah modus keberadaan manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif), dan tanpa tujuan. L’etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai “seonggok” benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian “telah menjadi” (becoming). Atau dengan kata lain insan adalah keberadaan manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu bergerak dinamis. Konsep insan dalam pemikiran ’Adam identik dengan konsep l’etre pour soi atau being for self (ada untuk diri). L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l’etre en soi. L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang sempurna.
17
Ibid
Selanjtunya ia melihat, manusia sempurna atau manusia ideal adalah Khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk melakukan pertarungan “di dalam dirinya sendiri”, dan berakhir dengan kemampuan manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah. Lebih jauh ia melihat, manusia ideal adalah manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah memenangkan pertarungan atas belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur busuk, sebagai representasi Iblis. Manusia ideal, adalah manusia yang telah terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi dari “dua infinita”. Menurut ‘Abduh manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang mampu memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia adalah khalifah Allah yang komitmen terhadap tiga anugerah Allah kepadanya, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Manusia ideal adalah khalifah Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul beban amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan “pemegang amanahNya”.
Manusia menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh. Menurutnya, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan umat manusia, dan dengannya ia akan “menemukan” Tuhan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia, sembari di saat yang sama ia terus melakukan “hubungan mesra” dengan Tuhan sebagaikekasihnya. Abduh dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog dan riya. Ilmu tidak membuat keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen. Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.
BAB IV ANALISIS : PENAFSIRAN ABDUH A Penafsiran Abduh dalam Perspektif Hermeneutika
Ketika seorang penafsir akan melakukan kerja penafsiran, pasti ia akan terlibat dengan tiga unsur utama; memahami, menafsirkan dan mewartakan makna al-Qur’an. Dengan memposisikan diri seperti itu, maka seorang interpreter bisa digambarkan sebagai Hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa di langit untuk disampaikan kepada umat manusia1. Dalam tradisi agama samawi, tugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan langit ke dalam bahasa manusia mungkin lebih tepat dipresentasikan
oleh
para
Rasul.
Bahkan,
Sayyid
Hossein
Nasr
mengindentifikasikan sosok Hermes dengan Nabi Idris as2. Oleh karena itu kedudukan Hermes dalam keyakinan Yunani kuno sama dengan kedudukan para nabi dalam Islam. Sebagai pengemban misi untuk menyampaikan isi dan makna dari pesan al-Qur’an, maka dunia seorang interpreter adalah dunia makna. Sedangkan makna al-Qur’an yang digeluti oleh seorang penafsir, memiliki tiga kategorisasi tingkatan makna ; makna yang merupakan absraksi firman Tuhan, makna yang merupakan isi dari bentuk kebahasan suatu masyarakat, dan makna yang merupakan isi komunikasi Tuhan dengan manusia sebagai sasaran utamanya.
1
Fakhruddin Faiz, op.cit., h. 81. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007) h. 73. 2
62
Bagi seorang penafsir dalam upayanya untuk memperoleh ketiga tataran makna tersebut secara komprehensif, memerlukan adanya pengolahan yang tepat dua aspek penafsiran, yaitu teks dan konteks, dan disisi lain bagaimana penafsiran itu diselaraskan dengan budaya yang sedang berkembang, dan itulah kontekstualisasi.3 Kata hermeneutika berasal bahasa Yunani hermeneueiun yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran”. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap utusan dewa bagi manusia4. Seiring dengan perjalanan waktu, hemeneutika mengalami transformasi makna dari kata kerja yang berarti “menafsirkan” menjadi sebuah metodologi penafsiran. Secara sederhana hermeneutika dapat di defenisikan sebagai “metode dalam mahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, al-Qur’an. Dalam tradisi hermeneutika dikenal dua model, yaitu hermeneutika yang past-oriented dan future-oriented.5 Yang pertama sering disebut hermeneutika metodologisme dengan semangat reproduksi makna teks dan yang kedua disebut hermeneutika filosofis yang fokusnya pada produksi makna. Yang pertama diwakili oleh Dilthey dan Schleiermacher yang mengutamakan rekonstruksi makna teks dengan mengakumulasi wawasan grammatical side of interpretation dan wawasan tentang karakter author dengan memakai penelitian mengenai deatildetail kehidupannya dan periode di mana ia hidup (psychological side of interpretation), sehingga makna yang dimaksudkan author bisa digali seobjektif 3
Fakhruddin Faiz, op.cit., h. 82. Op cit, h.18. 5 Fakhruddin Faiz, op.cit. 4
mungkin. Dengan demikian, hermeneutika jenis ini menganggap miliu here and now interpreter atau knower sebagai sumber negatif. Yang kedua tokoh besarnya adalah Hans-Georg Gadamer yang mengenalkan hermeneutika dengan pengertian berkebalikan dengan hermeneutika yang pertama6. Bagi Gadamer justru prejudices yang lekat dalam tradisi here and now dari interpreter menjadi sumber positif dan tidak perlu merekonstruksi secara objektif makna teks masa lampau, karena masa lampau sudah tak cocok lagi dengan masa kita sekarang. Teks dianggap sumber untuk dimaknai secara produktif melalui “pintu awalnya” tradisi yang kita diami, dan produksi makna baru yang sesuai dengan “atmosfir” zaman kita dan antisipasi masa depan adalah ciri hermeneutika filosofis Gadamer.7 Melihat penafsiran ‘Abduh tentang kisah Adam kita bisa menyimpulkan bahwa ‘Abduh sebenarnya memiliki semangat hermeneutika filosofis. Karena ia mengesampingkan fakta objektif kisah Adam itu dan condong mementingkan pencarian makna baru yang tersembunyi di balik kisah tersebut, bukan seperti tradisi reproduksi atau rekonstruksi interpreter terdahulu. Produksi makna ini dimaksudkan supaya kisah itu dapat dimengerti oleh para pembaca modern dan bisa dimengerti sesuai “atmosfir” kekinian dan kedisinian kita. Pemaknaan metaforis dari malaikat yang secara klasik diartikan suatu makhluk konkret menjadi natural power, dari Iblis yang secara klasik dimaknai sebagai suatu makhluk konkret menjadi sifat potensial manusia untuk berbuat jahat dan seterusnya adalah suatu pemaknaan yang sama sekali baru bahkan dianggap kontroversial, tetapi justru pemaknaan seperti inilah, menurut saya, yang pas 6 7
Ahmad Syukri Saleh, op.cit., h. 77-79. Ibid,. h. 79-83.
untuk era kontemporer seperti sekarang ini. Pemaknaan ini lebih memberi kekuatan antisipatif merespon masa depan daripada masa lampau. Dari interpretasi ‘Abduh tentang Malaikah dan Iblis dalam kisah Adam ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tafsir ‘Abduh bergerak bebas meninggalkan tradisi klasik penafsiran yang selalu lebih fall-captive ke dalam perdebatan mengenai person malaikah dan Iblis. Berbeda dengan tradisi klasik, ‘Abduh lebih menganggap keduanya mempunyai makna kiasan metaforis dari pada personperson. Dalam penilaian
Munzir Hitami, interpretasi Abduh seperti itu,
dikarenakan keinginannya yang kuat untuk menyesuaikan interpretasinya terhadap ayat-ayat tersebut dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masanya, yang dalam hal ini teori evolusi Darwin, sehingga ia meninggalkan interpretasi para pendahulunya8. Pada masanya, teori evolusi memang menjadi wacana yang meluas setelah dikemukakan oleh Jean B. de Lamarck (1744-1829) dan dikembangkan oleh Charles R. Darwin (1809-1882). Meskipun teori evolusi pada masa Abduh masih merupakan hipotesis ilmiah yang belum terbukti, namun justeru itu wacananya terangkat dan menjadi perbincangan para ilmuan biologi dan zoologi. Pada sisi lain, perbedaan penafsiraanya itu dengan interpreter sebelumnya karena kesadaran akan gagasan tentang Adam sebagai manusia pertama itu sebagai legenda kuno yang masuk ke dalam kitab suci, baik perjanjian lama, maupun al-Qur’an9
8
Munzir Hitami, Menangkap Pesan-pesan Allah ; Mengenal Wajah-wajah Hemeneutika Al-Qur’an Kontemporer (Pekanbaru: SUSKA Press, 2005) h. 137. 9 Ibid.,
Interpetasi Abduh ini sangat berbeda jauh dengan penafsiran ulama-ulama sebelumnya. Sebagai contoh, kita ambil bagaimana pandangan
at-Tabari10
tentang kisah ini. Dia berpendapat bahwa Iblis adalah salah satu dari kelompok Malaikah yang disebut al-Kinu yang diciptakan dari api. Iblis juga disebut alHaris, dan dia merupakan salah satu penjaga surga. Malaikah lainnya diciptakan dari cahaya. Para jin diciptakan dari api yang tak berasap dan manusia dari tanah. Para jin adalah penghuni bumi yang pertama; merekalah yang menyebabkan kerusakan dan pertumpahan darah. Setelah Iblis berhasil mengalahkan mereka, dia mulai takabur. Dia berkata kepada dirinya, “aku telah melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh siapapun.” Tetapi Allah tahu isi hatinya, sementara Malaikah lainnya tidak tahu. Karena itu, Allah mengatakan kepada mereka, “Aku hendak menjadikan Khalifah di muka bumi”. Dari interpretasi ini dapat dimengerti bahwa Allah tidak berfirman kepada seluruh Malaikat melainkan hanya kepada Malaikat yang sedang bersama Iblis. Menanggapi interpretasi Abduh ini, Quraish Shihab mengatakan dengan kritis: “sekiranya pendapat Abduh diterima, maka kita tentu tidak dapat memahami bahwa seluruh Malaikat adalah sama dengan hukum-hukum alam dan nurani manusia, atau bahwa dampak kerjanya hanya terbatas pada hukum-hukum sebab akibat, karena jika demikian apa makna kehadiran Malaikat Jibril membawa wahyu-wahyu al-Qur’an. Apakah kehadirannya itu cerminan dari nurani Nabi Muhammad saw.? Kalau demikian, apakah ini tidak akan mengantarkan kepada
10
Lebih jauh lihat penafsiran Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ra’wil Ayi alQur’an. Mengenai kisah Adam. Diterjemahkan oleh Ahsan Askan (Jakarta : PUSTAKA AZZAM, 2007) h. 516. dan seterusnya.
pernyataan bahwa al-Qur’an adalah hasil renungan jernih dan nurani Nabi Muhammad saw?. Tentu saja Abduh tidak akan berpendapat demikian”. 11
Jika kita buka tafsir klasik lainnya, kita akan menemukan interpretasi yang berkutat pada persoalan yang sama, meskipun mereka berbeda paham dengan atTabari mengenai siapa Iblis dan Malaikah tetapi pada dasarnya mereka sama, yaitu sama-sama berdebat mengenai Iblis dan Malaikah sebagai person. Penafsiran model at-Tabari itu justru menggiring kita kepada kebingungankebingungan dan cenderung tidak bisa menangkap pesan fundamental dari kisah Adam tersebut. Dari problematika ini, kita bisa menghargai usaha interpretasi metaforis ‘Abduh. Mengenai perintah Allah kepada Adam dan Zauj-nya untuk mendiami Jannah dan larangan untuk tidak mendekati syajarah ditafsiri ‘Abduh secara simbolik. Jannah menurut ‘Abduh bukanlah tempat seperti diperdebatkan dalam tafsir klasik tetapi merupakan lambang kebahagiaan dan kenikmatan, sedangkan syajarah adalah lambang asy-syarr dan mukhalafah, atau kejahatan dan perselisihan. ‘Abduh tidak menyebut bahwa Zauj adalah Hawa yang dicipta dari tulang rusuk Adam yang paling lemah. Dia hanya menafsiri bahwa manusia adalah berpasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suami dan isteri, layaknya kenyataan yang kita temui dalam kehidupan manusia. Riffat Hassan12 ketika mengomentari Zauj, dia membawanya kepada issu gender dan menegaskan bahwa Zauj itu tidak dicipta dari tulang rusuk Adam yang
11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol I (Jakarta : Lentera Hati, 2000) h. 141.
seolah menunjukkan inferioritas perempuan dalam visi al-Qur’an. Justru Injil, menurutnya, yang dengan eksplisit menyebut bahwa Eve (istilah Injil untuk Hawa) dicipta dari Adam’s rib dan bahwa ia inferior dibanding Adam. Dalam penelitian dari segi bahasa, dia menunjukkan bahwa kata Zauj itu adalah maskulin. Persamaan kata Inggrisnya yang paling akurat adalah “mate”. Pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa Adam tidak secara pasti “man” dan Zauj tidak secara pasti “woman”. Kemudian dia sampai pada pernyataan yang sama dengan ‘Abduh bahwa “Adam and Zauj must have been a pair”, artinya manusia itu layaknya ciptaan-ciptaan lainnya yang berpasangan harus dimengerti sebagai hidup berpasangan, laki-laki dan perempuan. Jadi, Adam dan Zauj menurut versi al-Qur’an tidak berbicara masalah superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam tulisannya ini, Riffat Hassan juga mengupas pandangan tafsir-tafsir klasik dan modern tentang kisah Adam dalam Bible13. Dalam tradisi tafsir Injil klasik sama dengan tradisi penafsiran klasik dalam Islam, mereka juga terjebak dalam perdebatan panjang mengenai person para tokoh dalam kisah tersebut. Dalam tradisi the deutero-Pauline, misalnya, ditemukan bahwa Adam dan Hawa benar-benar memakan “buah terlarang”. Dalam konteks gender, mereka kuat memegangi pendapat bahwa Eve dicipta dari tulang rusuk Adam yang membawa kepada pengertian “negative non-egalitarian attitude toward women”. Sikap-sikap
12
Riffat Hassan, “Made from Adam’s Rib”, dalam Women’s and Men’s Liberation, edited by Leonard Grob, Riffat Hassan and Haim Gordon. New York, (London: Greenwood Press, 1991) h. 24. Selanjtunya dapat dilihat dalam Metodologi Tafsir Kontemporer oleh A. Syukri Saleh. 13 Ibid,
seperti ini ditemukan dalam interpreter-interpreter seperti St. John Chrysostome, Ambrosiaster, dan khusunya pada tulisan-tulisan St. Augustine.14
B. Beberapa Catatan Kritis Membaca interpretasi ‘Abduh atas kisah Adam di atas membawa kita kepada konklusi bahwa dia menangkap pesan fundamental universal dari kisah itu, yaitu bahwa melalui kisah tersebut al-Qur’an berbicara masalah potensi dasar internal dari manusia. Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai potensi dasar internal yang sama. Dia berpendapat bahwa kisah Adam lebih berbicara masalah human essence. Kesimpulan ‘Abduh, entah telah memberi pengaruh atau tidak, tidak jauh berbeda dengan pandangan Iqbal15 seperti yang diungkapakannya sebagai berikut : “Memang, dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan asal-usul manusia sebagai makhluk hidup, al-Qur-an sering menggunakan kata "Bashar" atau Insan, bukan Adam, dalam kapasitasnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Tujuan dari Qur-an lebih terjamin dengan penghilangan nama yang tepat untuk disebutkan dalam narasi al- Kitab Adam dan Eva. Adam digunakan lebih sebagai konsep daripada sebagai nama manusia secara individu.” Hampir senada dengan Iqbal, Riffat Hassan juga mengatakan “Kita mungkin menerima bahwa istilah "Bashar" dan Insan mengacu pada semua manusia, tanpa spesifikasi khusus, tetapi istilah Adam digunakan jauh lebih selektif. Hal ini mengacu pada konsep Adam sebagai wakil dari manusia, sadar diri, berpengetahuan, dan secara moral bersifat otonom”.
14
Ibid, Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. (Lahore: Kitab Bhavan, 1962) h. 48. Lihat A. Syukri Saleh, op.cit., h. 77-80. 15
Inilah versi modern dari interpretasi tentang kisah Adam dalam dunia Islam. Di Barat atau tradisi Bible juga ditemukan beberapa kecenderungan atau versi baru mengenai interpretasi kisah ini. Di antaranya, kisah kejatuhan Adam dimaknai sebagai asal-usul eksistensi agama. Karena sebenarnya waktu Adam masih ada di surga, dia tidak mengenal atau mengetahui sedikit pun tentang pengalaman agama. Nurcholis Madjid, berasumsi bahwa kejatuhan Adam menjadi sebab diturunkannya kalimat atau petunjuk hidup yang benar yang diturunkan kepada mereka yang dapat dipandang sebagai bentuk pertama “ajaran ketundukan” (Arab, din, agama)16. Mencermati logika ‘Abduh dalam menginterpretasikan kisah Adam di atas tampak dengan jelas pengaruh logika Aristoteles. Tidak heran jika interpretasinya menonjolkan abstraksi-abstraksi rasional
yang begitu bebas. Aristoteles
mengajarkan pembedaan antara substansi dan aksidensi dalam memahami suatu realitas. Substansi mengacu pada benda itu sendiri atau thing in itself, sedangkan aksidensi mengacu pada kualitas-kualitas atau sifat-sifat yang mendefinisikan thing in itself tersebut. Misalnya, melihat kucing, maka kita sebenarnya hanya bisa memahami kucing dari kualitas-kualitas yang melekat pada kucing itu sendiri seperti mengeong, berkaki empat, berbulu, berkumis, dan lain sebagainya, sementara kucing itu sendiri sebagai independent thing tidak mungkin untuk bisa diverbalkan in toto, kecuali secara demonstratif kita tunjuk. 16
Ibid,
Di antara tiga kata kunci dari kisah Adam adalah manusia, Malaikat, dan Iblis. Dalam interpretasi ‘Abduh tampak jelas bahwa manusia adalah substansinya, sementara Malaikat dan Iblis adalah aksidensialnya, atau kualitaskualitas yang melekat dan inheren dalam diri manusia. Dengan mengatakan bahwa Malaikat dan Iblis adalah, dalam relasinya dengan manusia, bisikanbisikan qalbu positif dan negatif, ‘Abduh ingin menegaskan bahwa manusia adalah diri yang secara moral memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk,
karena
ia
berkemampuan
mengetahui
masalah
kehidupan
dan
memecahkannya melalui formulasi ilmu. Berarti manusia adalah diri yang otonom, yang menggunakan ikhtiyar-nya dalam berbuat. Dengan model berpikir seperti ini, ‘Abduh menjadikan kisah Adam sebagai medium lewat mana kita bisa menangkap pesan Tuhan yang hakiki mengenai karakter terdalam-fundamental dari manusia. Penafsiran kisah Adam model ‘Abduh ini konsisten dengan pendiriannya mendudukkan al-Qur’an sebagai sumber hidayah yang bisa memproyeksikan umat Islam ke depan dalam menyongsong masa depannya. Keberanian ‘Abduh melakukan penafsiran secara majaz dan tamsil terhadap beberapa hakikat dari kebenaran syara’ di atas, bahkan pengertian yang dikemukakannya itu tidak pernah dikenal bangsa ‘Arab sendiri pada masa turunnya wahyu, menunjukkan prinsipnya bahwa wahyu dan akal adalah sejalan. Model rasionalisasi ‘Abduh ini pernah dipraktekkan oleh ulama Mu’tazilah -karena alasan ini pulalah ‘Abduh sering disebut sebagai neo-Mu’tazilah. Namun seperti ditegaskan oleh Syihatah17, motif yang melatarbelakangi ‘Abduh dalam hal
17
Syahatah, op.cit., h.33.
ini sama sekali bukan untuk mendukung suatu mazhab tertentu, melainkan sekedar untuk mendekatkan Islam dan ajaran-ajarannya kepada kalangan intelektual masa kini yang hanya bisa menerima dan meyakini apa yang dapat dicerna oleh akal mereka. Kita
sebenarnya dapat
dan penganut-penganut
memahami
alirannya
dalam
motivasi
Muhammad
menggunakan
Abduh
akal seluas-luasnya
ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah ghaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal yang bersifat
supra-rasional, sebagaimana
ditemukan
kemudian dalam
perkembangan pemikiran selanjutnya.18
18
Penta'wilan yang parah adalah yang semata-mata mengandalkan penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan- pertimbangan kebahasaan. Dr. (medis) Mustafa Mahmud memahami larangan Tuhan pada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan mengadakan "hubungan sexual." Bukti yang dijadikan dasar pertimbangannya adalah, Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah) pohon tersebut (mengadakan hubungan sex) mereka tanpa busana dan berusaha menutupi auratnya dengan daundaun surga, ketika itu mereka merasa malu. Perasaan malu akibat terlihatnya alat kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan hubungan sexual. Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau sekedar menyebutnya. Kedua, Redaksi Firman Allah sebelum mereka mendekati pohon tersebut adalah dalam bentuk dual ("Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini," QS. al-Baqarah: 35), tetapi setelah mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat berbentuk plural atau jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain" (Q.S. al-Baqarah: 36). Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua (Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan sex tersebut. (13) Apa yang dikemukakan di atas hemat kita bertentangan dengan teks ayat-ayat al-Qur'an serta kaidah-kaidah kebahasaan. Pertama, ayat al-Qur'an menggambarkan bahwa keadaan tanpa busana terjadi setelah atau akibat dari memakan buah pohon terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Mustafa Mahmud. Kedua, Kosakata "pohon" dita'wilkan atau dipahami secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya "daun-daun surga" difahami secara hakiki. Ketiga, Di sisi lain bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh dr. Mustafa Mahmud. Contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat alQur'an, apalagi penta'wilan ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga penguasaan
Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks
keagamaan
khususnya
tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah
kemanusiaan dan hal-hal ghaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu). Tapi tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian! Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak harus dita'wilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang dianggap dipahami akal. Karena kalau hal tersebut
harus
jarang ditemukan pemahaman-pemahaman yang tak dengan kaidah-kaidah
logis
dipaksakan hanya
sehingga maka
tak
bertentangan
kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan hakikat
keagamaan. Terlepas dari pro dan kontra dilihat dari segi semiotika atau ilmu perlambang, ‘Abduh melihat bahwa kisah Adam sebenarnya merupakan tanda bagi makna petanda, yaitu karakter dasar manusia yang secara moral otonom karena potensinya menjatuhkan pilihan bebasnya. Beberapa pemikir Barat mutaakhir juga mengakui bahwa al-Qur’an penuh dengan tanda-tanda. Salah satu yang mengatakan hal ini adalah Karen Amstrong19. Ia mengatakan bahwa alQur’an banyak menggunakan perumpamaan (masal) untuk menjelaskan suatu
bahasa Arab. Lihat Dr. Mustafa Mahmud, Al-Qur’an Muhawalah li Fahmi ‘Ashriyy, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1970)
19
Karen Amstrong. A History of God (London: Mandarin, 1963) h. 85.
kenyataan ultim, karena kenyataan itu sulit untuk diterangkan, sehingga perlu diverbalkan dalam bentuk simbol-simbol. Dari pembahasan ini kita bisa menggarisbawahi perbedaan cara pandang terhadap kisah Adam antara ‘Abduh dan interpreter-interpreter sebelumnya. ‘Abduh memandang kisah Adam sebagai wacana utuh mengenai diskursus eksistensi manusia, sedangkan interpreter-interpreter pendahulunya memilah kisah Adam ke dalam segmen-segmen pembahasan seperti diskusi mengenai Iblis, malaikah, Adam, dan seterusnya. Membaca penafsiran ‘Abduh terlepas dari abstraksi rasionalnya yang bebas tentang kisah itu membuat kita lebih mudah mengambil petunjuk yang relevan dengan realitas kehidupan kita, bagaimana kita harus merespon kehidupan di depan mata kita. Sebaliknya membaca penafsiran para mufassir pendahulunya membawa kita kepada pengandaian-pengandaian dalam bayangan kita mengenai dunia, jin, iblis, dan malaikat yang begitu abstrak dan tak terkait langsung dengan masalah-masalah konkret kehidupan yang kita hadapi.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan kisah Adam lebih berbicara masalah filsafat manusia dari pada kisahnya itu sendiri sebagai suatu fakta historis. Bahkan dia condong menganggap kisah Adam itu sebagai peristiwa yang tidak benar-benar terjadi, melainkan sebagai kisah simbolik, kisah yang menyimbolkan eksistensi karakter dasar internal manusia. Manusia menurut ‘Abduh mempunyai potensi-potensi bawaan baik positif maupun negatif dalam menjalani eksistensi kehidupannya. Kedua potensi itu tidak bisa dihilangkan dari diri manusia karena keduanya berproses secara dialektik mewujudkan otonomi manusia secara moral. Dengan karakter dasar seperti inilah manusia ditetapkan sebagai aktor-aktif-kosmis, atau dalam bahasa al-Qur’an. Khalifah di muka bumi ini. Logika berpikir ‘Abduh dalam penafsirannya tentang kisah Adam menampakkan secara kuat logika Aristoteles terutama konsep ten cathegories-nya. Ini terlihat dari pemposisian manusia sebagai substansi dan term-term lainnya seperti Malaikah dan Iblis sebagai aksidensinya. Dari perspektif hermeneutika, interpretasi ‘Abduh mengenai kisah Adam ini mendemonstrasikan model hermeneutika filosofisnya Gadamer, yang diwarnai dengan kentalnya produksi makna baru yang memproyeksikan kepentingan kesinambungan pemaknaan dari ‘Abduh atas al-Qur’an sebagai sumber hidayah.
75
B. Saran-saran Apa yang penulis simpulkan diatas menyangkut penafsiran Muhammad Abduh tentang kisah pengangkatan Adam sebagai Khalifah dalam surah alBaqarah ayat 30- 35 adalah suatu analisis sederhana yang didasari atas data-data yang ada sehingga dibutuhkan suatu penelitan mendalam yang lebih sempurna dalam bentuk tesis. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap penafsirannya itu, namun sebagai sebuah proses pemikiran, kita menghargai jerih payah yang dilakukannya demi untuk menampilkan Islam yang rasional terhadap orang-orang yang salah dalam memahami ajaran Islam, khususnya orang-orang Orientalis. Ketidak puasan terhadap penafsirannya itu lebih bijaksana jika diekspresikan ke dalam sebuah tulisan yang sifatnya bandingan dari respon yang bersifat emosional. Satu hal yang ingin penulis saran kan dalam menaggapi penafsirannya itu bahwa suatu penafsiran itu hendaklah selalu sesuai dengan kaedah kebahasaan serta makna yang di tampung dalam sebuah kata, sehingga serasional apapun suatu interpretasi tidak keluar dari koridor kebahasaan. Terakhir kepada kawankawan yang berminat membaca skripsi ini penulis mengharapkan kritikan yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Mahmud Syahatah, Manhaj al-Iman Muhammad Abduh Fi Tafsir al_Quran, (Kairo: Haiat al-Mishriyyah, tt), h. 109-105 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Ahmad Amin, Zu’ama’u al-Islah f ial-‘Ashr al-Hadits, (Kairo: Maktabah alNahdhah al-Meshriyah, 1979,) Abdul Halim Mahmud, Al Islam wa Al’Aql, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1966) Ahmad Darbi, Metodologi Istinbath Hukum Muhammad ‘Abduh Dalam Tafsir AlManar Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006, Alim Roswantoro, Interpretasi Tentang Kisah Adam dalam Tradisi Tafsir Islam, (Jakarta: Artikel, 2008) Abdullah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Iman Muhammad Abduh Fi al-Tafsir al Quran, (Kairo: Nasyr al-Rasail, tt) Ahmad Rasyid, Peta Pemikiran Islam Rasional, (Medan, Artikel, 1999), Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,998) Al-Zahabi, Al-tafsir wa al-mufassirun, Juz III, Dar al-kitab al-hadis, al-qahorat, 1962, A. Majid A. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-tafsir fi al-ashr al-hadis, (Beirut:Dar al-fikr,, 1973,) Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007) al-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ra’wil Ayi al-Qur’an. Mengenai kisah Adam. Diterjemahkan oleh Ahsan Askan (Jakarta : PUSTAKA AZZAM, 2007) Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani (Yogyakarta: Qalam, 2007) Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhaddtsin, terj Novrianto Kahar dengan judul Evolusi Tafsir, (Jakarta: Qisthi Press, 2004)
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Hans Georg Gadamer, Truth and Metho, terj Donald Marshall (New York : Continuum Publishing Company, 1994) HS. Hasibuan, Adam Di Antara Keyakinan dan Pembuktian. (Padang: Artikel, 2008) Eksistensi dan Kisah Adam dalam Persfektif Filosofis dan Historis, (Padang: IMA Madina Padang, 2009) Imam Munawir, Metode-Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, T,t), Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur’ Tinjauan Sejarah Adam A.S. Jurnal Karen Amstrong. A History of God (London: Mandarin, 1963) Karel A. SteenBrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1984,) Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. (Lahore: Kitab Bhavan, 1962) M. Quraish Shihab, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Kesitemawaan dan Kelemahannya), (Jakarta: 1994 ) -Tafsir al-Mishbah vol I (Jakarta : Lentera Hati, 2000) -Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual, (Jakarta: Makalah, 2009), h. 2 M. Masykur Abdillah, Pengantar Ilmu Tafsir, (Makalah: Internet 4 Maret 2009) Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Kairo: Dar al Manar, 1367 H), Munzir Hitami, Menangkap Pesan-pesan Allah ; Mengenal Wajah-wajah Hemeneutika Al-Qur’an Kontemporer (Pekanbaru: SUSKA Press, 2005) -Revolusi Sejarah Manusia (Yogyakarta: PT.LKiS Pelangi Sejahtera, 2009) Muhammad Husayn al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar alKutub al Haditsah, 1968)
Manî’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2003) Muhammad ‘Abduh, Tafsir Surat al-Fatihah, (Kairo: Dar Wa Makhtabi al-Syaib, t.t.) Muhammad ‘Abduh Tafsir al-Qur’an al-karim, Juz amma (Beirut: Dar wa mathabi‟ al-sya‟b, t.t,) -Risala al-Tauhid (Risalah Tauhid), Terjemah Oleh Firdaus AN, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, Atsar at-Tathawwur al-Fikri fi at-Tafsîr fi al-Ashr al-Abbasi, Beirut: Mu’assasah ar-Risâlah, Mustafa Mahmud, Al-Qur’an Muhawalah li Fahmi ‘Ashriyy, (Kairo: Dar alMa’arif, 1970) Nasaruddin Umar, Argumen kesetaraan jender Perspektif Al- Qur an (Jakarta: Dian Rakyat, 1991) Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi (Suatu Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologis Islam), Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa dalam Falsafah dan Kalam pada Fak. Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) Riffat Hassan, “Made from Adam’s Rib”, dalam Women’s and Men’s Liberation, edited by Leonard Grob, Riffat Hassan and Haim Gordon. New York, (London: Greenwood Press, 1991) Sayyid Qutub, Kasa’ish at-Tasawwur al-Islamiy (Kairo : Dar al-Ma’rifah, 1968) Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), Sayyid Quthb, Kasha’ish al-Tashawwur al-Islamy (Kairo: Dar al-Kutub, 1968), Shalah Zaky Ahmad, Qâdatu al-Fikr al-Arabiy, ‘Ashr al-Nahdhah al-Arabiyyah 1798/1930, (Kairo: Dâr Sa’ad al-Shabah, 1993) Tengku Dahril, Belajar dari Sejarah, (Riau: Makalah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Riau, 2008), h. 2 Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002