PROBLEMATIKA DALAM PELAKSANAAN KENDALA PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI SURAKARTA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : PETRUS DAMIANUS DIDIT FEBRIYANTO E1105017
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PROBLEMATIKA DALAM PELAKSANAAN KENDALA PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI SURAKARTA
Disusun oleh : PETRUS DAMIANUS DIDIT FEBRIYANTO NIM : E 1105017
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
Edy Herdyanto, S.H.,M.H. NIP. 195 706 291 985 031 002
ii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) PROBLEMATIKA DALAM PELAKSANAAN KENDALA PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI SURAKARTA
Disusun oleh : PETRUS DAMIANUS DIDIT FEBRIYANTO NIM : E 1105017 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Selasa Tanggal : 02 Februari 2010
TIM PENGUJI 1. BAMBANG SANTOSO, S.H.,M.Hum.
: ...................................................
Ketua 2. KRISTIYADI, S.H.,M.Hum
: .....................................................
Sekretaris 3. EDY HERDYANTO, S.H.,M.H. NIP. 195 706 291 985 031 002
: ..................................................... Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196 109 301 986 011 011
iii
MOTTO
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alfa Edison) Kemenangan yang pertama dan terbaik adalah menaklukkan diri sendiri; ditaklukkan diri sendiri di antara segala hal yang lain, adalah yang paling memalukan dan baik (Plato) Kebanggan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tapi bangkit kembali setiap kita jatuh (Confusius) Keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut tetapi melakukannya (Montaigne) Persahabatan adalah hal tersulit untuk dijelaskan di dunia ini. Dan bukan soal apa yang anda pelajari di sekolah. Tetapi, apabila anda tidak pernah belajar makna persahabatan, anda benar-benar tidak belajar apapun (M. Ali) Tempat untuk berbahagia itu di sini. Waktu untuk berbahagia kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia (Robert G. Ingersoll)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
specially dedicated for:
TUHAN YESUS KRISTUS, atas segala karunia-Nya BAPAK, IBU, & ADIKKU TERCINTA, thanks for loving me TYAS ANGGRAINI AGUNG, thanks for loving me BAPAK & IBU DOSEN FAKULTAS HUKUM UNS.
REKAN-REKAN MAHASISWA 2005, atas semangatnya buatku
v
KATA PENGANTAR Dengan menyebut Nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang serta diiringi rasa syukur atas keajaiban Tuhan Yang Maha Esa, Penulis Hukum ( Skripsi ) yang berjudul “Kendala Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta dapat penulis selesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. H. Much. Syamsulhadi, Sp. KJ. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku pembimbing penulisan skripsi dan selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 4. Kepada segenap jajaran Kejaksaan Negeri Surakarta Ibu RR. Rahayu Nur Raharsi, S.H., Ibu Hasrawati Musytari,S.H, yang telah membantu penulis sampai penulisan hukum (skripsi) dapat penulis selesaikan. 5. Kepada segenap jajaran Kepolisian Kota Besar Surakarta Ibu AKP Sri Rahayu yang telah membantu penulis sampai penulisan hukum (skripsi) dapat penulis selesaikan. 6. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum selaku pembimbing akademis, atas nasihat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. 8. Bapak Lego Karjoko S.H., M.H dan Bapak Teguh Santoso, S.H, M.Hum (almarhum) yang banyak membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini.
vi
9. Bapak dan Ibuku tercinta yang tak henti-hentinya memberi dukungan moril dan materiil serta belai kasih sayang seiring doa yang selalu dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa demi kelancaran penulis selama belajar di Fakultas Hukum UNS. 10. Temen-temenku : Reza, Putu, Bragas, Dwi, Gesit, Dimas, Aryanto, Anton, Ronggo, Adit, dan sahabat-sahabatku yang lain (maaf tidak menyebutkan satu persatu, banyak sih) yang selalu mendukung dan membantu penulis selama menempuh proses belajar di Fakultas Hukum UNS & terus jaga kekompakkannya y, ditunggu kumpulnya lagi. 11. Pacarku : Tyas Anggraini Agung yang tetap setia mendampingiku dan menyelesaikan masalahku. 12. Teman-temanku futsal (maaf tidak bisa menyebutkan satu-persatu), keep solo futsal ya boy, cayooo. 13. Teman-teman pecinta alamku : Timbul, Adi, Ema, Andre, Rangga, Lutung, dan lain sebagainya (maaf tidak menyebutkan satu-persatu) yang semakin semangat aja menjelajahi alamnya Indonesia. 14. Rekan-rekan angkatan 2005, 2006, 2007 semuanya keep fight!!! Tetap rukun & smangat ya... 15. Semua pihak dan semua media yang tak dapat penulis sebutkan semua matur nuwun…. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, Februari 2010 Penulis
Petrus Damianus Didit Febriyanto
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL
...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ..........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO
...................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................
v
KATA PENGANTAR
...................................................................................
vi
DAFTAR ISI
...................................................................................
viii
ABSTRAK
...................................................................................
x
PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Perumusan Masalah.....................................................................
4
C. Tujuan Penelitian.........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian.......................................................................
5
E. Metode Penelitian .......................................................................
6
F. Sistematika Skripsi .....................................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
14
A. Kerangka Teori ...........................................................................
14
BAB I.
BAB II.
1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan...........................................................................
17
2. Tinjauan Umum Tentang Penuntutan Dan Penuntut Umum.....................................................................................
20
3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ..................................................
21
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................
37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................
39
A. Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan viii
Orang (Human Trafficking) Di Surakarta .................................
39
1. Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta.................................................... 2
39
Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang Dihadapi Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta...........................
42
B Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta……....
45
BAB IV. PENUTUP ........................................................................................
49
A. Simpulan ......................................................................................
49
B. Saran ............................................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
58
ix
ABSTRAK PETRUS DAMIANUS DIDIT FEBRIYANTO. E1105017. PROBLEMATIKA DALAM PELAKSANAAN KENDALA PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta dan upaya-upaya dalam mengatasi problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan dilihat dari jenis penelitiannya termasuk jenis penelitian hukum empiris. Lokasi penelitiannya adalah pada Kepolisian Kota Besar Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sumber data diperoleh melalui studi pustaka dan keterangan-keterangan yang diperoleh melalui wawancara secara bebas terpimpin dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara, sedangkan untuk menganalisa data, penulis menggunakan model analisis interaktif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) telah ditemukan, bahwa kendala tersebut bersumber pada unsurunsur tindak pidana itu yang dalam arti yang sebenarnya yaitu unsur-unsur dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) harus terpenuhi semua,jika tidak maka belum dapat dikategorikan dalam tindak pidana itu, Sedangkan upaya yang dilakukan penyidik dan penuntut umum terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) juga telah terjawab, upaya tersebut dilakukan dengan cara menerapkan undang-undang yang lain jika suatu tindak pidana tersebut tidak dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Sehingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum dapat diterapkan. Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Sedangkan manfaat praktis penelitian ini memberikan data atau informasi tentang penjelasan mengenai kendala penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) maupun upaya penyidik dan penuntut umum mengatasi tindak pidana tersebut, serta hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama.
x
ABSTRACT
PETRUS DAMIANUS DIDIT FEBRIYANTO. E1105017. PROBLEMATIC BARRIERS IN THE IMPLEMENTATION OF THE INVESTIGATION AND PROSECUTION OF HUMAN TRAFFICKING IN SURAKARTA. Faculty of Law. University of Sebelas Maret Surakarta. Thesis. 2010 This study aims to describe the problem in the implementation constraints in the investigation and prosecution of human trafficking, and the efforts to overcome the problem of implementation constraints of investigation and human trafficking in Surakarta This research is descriptive research, and visits from the goal, including empirical legal research. Research location is in Kepolisian Kota Besar Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta. Types of data used are primary data and secondary data. Sources of data obtained through the literature study and information obtained through interviews guided freely based on a list of questions that had been prepared. Data collection techniques used are literature studies and interviews, while to analyze the data, the authors use the model of interactive analysis. Based on these research results obtained within the constraint that the investigation and prosecution of human trafficking have been found, that the constraints are derived from elements of the crime in the strict sense of the elements of human trafficking must be fulfilled all, otherwise it can not be categorized in crime, while the efforts made and the prosecutor's investigator in human trafficking has also been answered, the effort done by applying the laws of another if a criminal act can not be categorized into human trafficking. Thus Act No. 21 of 2007 on Eradication of Trafficking in Persons can not be applied. The benefits of this research is theoretically thought to contribute to the development of legal science, especially concerning human trafficking. While the practical benefits of this research provides the data or information about the explanation of the constraints of investigation and prosecution of human trafficking and efforts to investigators and public prosecutors handle these crimes, as well as writing the results are expected to assist and provide input and additional knowledge to the interested parties on issues same.parties on the same issue.
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan, demikianlah penegasan yang terdapat dalam UUD 1945. Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana digariskan adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin kedudukan yang sama dan sederajat bagi setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep negara hukum ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Segala Warga Negara kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Semua warga Negara Indonesia secara mutlak mendapat jaminan kepastian hukum serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Disamping menjadi jaminan hidup manusia, hukum juga mempunyai sifat mengatur dan memaksa, dimana hukum merupakan peraturan-peraturan hidup yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh dan mentaatinya. Tujuannya adalah agar tercipta keadilan dan ketentraman dalam masyarakat, dan mengurangi tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Pengaturan mengenai tata cara dan pelaksanaan penegakan hukum acara pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Pasal 2 KUHAP telah diatur mengenai ruang lingkup berlakunya undang-undang tersebut, yang berbunyi : “undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara pelaksanaan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. Sehingga dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum apabila terjadi suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun
xii
aparatur negara, maka harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut, yaitu aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat Penyidik dan Penuntut sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti membuat terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Penyidikan dan Penuntutan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Perdagangan orang/manusia yang popular dengan istilah human trafficking adalah suatu bentuk proses pemaksaan dan eksploitasi yang berhubungan erat, bukan saja dengan isu-isu migrasi, namun juga dengan isu-isu gender, perburuhan, hak-hak asasi manusia, dan isu-isu keamanan. Kejahatan trafficking bersifat kompleks. Hal ini disebabkan oleh faktor sosial yang kompleks dan multi dimensional. Oleh sebab itu, penanggulangan kejahatan itu harus dilakukan secara komprehensif, baik pencegahan terjadinya tindak pidana itu melalui kebijakan sosial dan ekonomi (ante factum), maupun kebijakan penindakan terhadap pelakunya melalui mekanisme penegakan hukum (post factum). Disadari, bahwa kebijakan penindakan melalui mekanisme penegakan hukum memiliki daya cegah yang terbatas. Oleh sebab itu, instrumen hukum administrasi dan hukum pidana administrasi diefektifkan untuk mencegah atau menutup peluang terjadinya tindak pidana itu dan instrumen hukum pidana diefektifkan untuk menindak pelakunya (Steve Cook, 2005:03). Dalam berbagai kasus, orang-orang yang diperdagangkan seringkali dipekerjakan pada sektor-sektor yang berbahaya, pekerjaan terlarang, dijadikan sebagai kurir narkoba, pekerja jermal, sebagai penari atau pengantin pesanan, pekerja bar, untuk kerja paksa, pengemis bahkan dijadikan korban eksploitasi
xiii
seksual dalam bentuk pornografi dan prostitusi. Salah satu contoh kasus seperti di bawah ini (Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, 2004 : 127) : Rozak Trihartono Nugroho, delapan tahun, siang itu tengah dalam perjalanan pulang dari pertandingan sepakbola bersama-sama temannya di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tiba-tiba seorang pemuda botak dan beranting memanggil mereka. Kedatangan pemuda tak dikenal itu membuat Rozak dan teman-temannya ketakutan, mereka berlarian terbiritbirit. Rozak, bocah berkulit gelap ini tersandung. Rozak kemudian dengan mudah dibawa pemuda itu ke dalam mobil. Murid kelas dua Sekolah Dasar Negeri Kebayoran Utara 09 ini sempat berontak. Tetapi sapu tangan berbius yang dibekapkan ke dalam hidung membuat Rozak terkulai tak sadarkan diri. Rozak disekap di sebuah gedung bersama 20 bocah lainnya. Di tempat itu Rozak dan teman senasib lainnya diberi latihan mengamen, mengemis, serta menjadi joki three in one. Pusat-pusat keramaian ibukota seperti Jatinegara, Monas, Bendungan Hilir, Slipi, Blok M dan Tanah Abang, akhirnya menjadi tempat kegiatan Rozak sehari-hari. Bocah ini harus menyetor antara Rp 25.000,- hingga Rp 50.000,- kepada pemuda botak dan beranting tadi setiap hari. Nasib baik masih memihak Rozak. Dia hanya tiga bulan tersiksa seperti itu. Seorang tetangga melihat Rozak sedang mengamen di sebuah halte bus di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Keesokan harinya, Sikah dan Adi (orang tua korban) menjemput Rozak dan Rozak sempat berontak dan seakan tidak mengenali kedua orang tuanya. Rozak adalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin seratus anak yang diculik dan dipaksa menjadi mesin uang bagi jaringan penculikan anak di Jakarta. Selama dalam penguasaan penculik, Rozak diajari kata-kata kotor dan disiksa seperti disulut rokok. Ini adalah salah satu contoh perdagangan orang. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji, mempelajari, memahami, dan meneliti secara mendalam mengenai kendalakendala yang dihadapi oleh Penyidik dan Penuntut di Surakarta dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tersebut dan mengambil judul:
PROBLEMATIKA
PENYIDIKAN
DAN
DALAM
PENUNTUTAN
PELAKSANAAN TERHADAP
KENDALA
TINDAK
PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI SURAKARTA. B. RUMUSAN MASALAH
xiv
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah yang ditetapkan dalam penulisan hukum (Skripsi) ini adalah : 1. Apakah problematika dalam pelaksanaan kendala yang dihadapi penyidik dan penuntut umum dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta? 2. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai solusi atas masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perorangan dari penulis. Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan dari penulisan hukum (Skripsi) ini adalah : 1. Tujuan Obyektif. a Untuk mengetahui problematika dalam pelaksanaan kendala yang dihadapi penyidik dan penuntut umum dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. b Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. 2. Tujuan Subyektif a Meningkatkan kualitas penelitian penulis dan pengetahuan penulis serta mengetahui kesesuaian antara teori yang didapat penulis dari perkuliahan. b Untuk memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berkaitan dengan problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta
xv
c Memperoleh data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat mencapai gelar sarjana dibidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang penulis harapkan dalam penulisan hukum (Skripsi) ini ada 2, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis. a Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. b Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis. a Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada semua pihak terkait dengan problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. b Untuk memberikan informasi dan mengetahui problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. E. METODE PENELITIAN Penelitian adalah untuk kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakberatan dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten ” (Soerjono Soekanto, 2006 : 42).
xvi
Dengan demikian metode penelitian adalah ilmu untuk mengungkapkan dan menerangkan gejala-gejala sosial dalam kehidupan manusia, dengan mempergunakan prosedur kerja yang sistematis, teratur, tertib dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sedangkan metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta sebagaimana keadaan sebenarnya. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang pada awalnya yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian di lanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto 2006, 52-53). 2. Sifat Penelitian Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). Metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang ini dengan jalan mengumpulkan data dan menyusun atau mengklasifikasikannya seterusnya menganalisa dan menginteprestasikan untuk kemudian diperoleh suatu hasil. Berkaitan dengan pengertian mengenai jenis penelitian di atas maka penulis hendak memaparkan tentang problematika dalam pelaksanaan kendala yang dihadapi penyidik dan penuntut umum dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta yang sekaligus untuk mengetahui upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi kendala penyidikan
xvii
dan penuntutan dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tersebut. 3. Lokasi Penelitian Untuk kepentingan identifikasi dan analisa akan dilaksanakan pengumpulan data dengan mengadakan penelitian di Kepolisian Kota Besar Surakarta dan di Kejaksaan Negeri Surakarta.
4. Jenis Data Data yang digunakan penulis untuk menyusun penulisan hukum ini dapat digolongkan sebagai berikut: a
Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber primer atau sumber utama yang berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber data yang bersangkutan, yakni dari Kepolisian Kota Besar Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta.
b
Data Sekunder Yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi bahan-bahan dokumenter, tulisan ilmiah dan sumber-sumber tertulis lainnya. Dapat ditambahkan pendapat dari Soerjono Soekanto bahwa data-data sekunder ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 2006 : 12).
5. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
xviii
a
Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian.
b Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka, termasuk di dalamnya literatur, peraturan perundang-undangan, dokumendokumen, tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006 : 11). 6. Teknik Pengumpulan Data Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang penulis teliti, maka melakukan studi lapangan dan studi kepustakaan yaitu: a
Studi Lapangan Merupakan suatu penelitian dengan penelitian secara langsung terjun ke lapangan untuk mendapat data-data dan keterangan-keterangan yang diperlukan. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data melalui penelitian lapangan adalah wawancara. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data keterangan yang diperoleh dengan mengadakan tanya jawab memakai daftar pertanyaan kepada obyek yang diteliti. Jenis wawancara yang penulis gunakan adalah wawancara terarah yaitu wawancara yang telah ditentukan pelaksanaannya, telah diatur catatan-catatan
dan
keterangan-keterangan
pertanyaan
yang
telah
ditentukan pokok permasalahannya serta membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa. b
Studi Kepustakaan
xix
Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menginfentariskan dan mempelajari bahan-bahan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku tulisan-tulisan dan dokumendokumen lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. Dalam setiap penelitian di samping metode yang tepat dan alat pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat pengumpulan data sangat berpengaruh obyektivitas hasil penelitian. 7. Teknik Analisis Data Analisa
data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, ketegorisasi, dan satuan uraian dasar. Mengingat data yang terkumpul adalah data kualitatif, maka dalam mengolah data dan menganalisisnya peneliti menggunakan analisis data kualitatif dan analisis data interaktif. Menurut Soerjono Soekanto, yang dimaksud dengan analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986: 250). Dalam proses analisis terdapat tiga komponen utama, dimana ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan menentukan hasil akhir analisis. Adapun tiga komponen tersebut adalah : a
Reduksi Data Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnot. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian.
b
Sajian Data
xx
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya. c
Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. (HB. Sutopo. 2002: 91-93) Menurut H.B. Sutopo skema cara kerja analisis data interaktif tersebut adalah sebagai berikut (H.B. Sutopo, 2002 : 96):
Pengumpulan data
Sajian data
Reduksi data
Penarikan simpulan/verifikasi Gambar 1 Model Analisis Interaktif Aktifitas yang dilakukan dengan proses siklus antara komponen – komponen tersebut menghasilkan data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka hasilnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data-data yang diperoleh.
xxi
F. SISTEMATIKA SKRIPSI Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi penulisan hukum ini dapat dibagi menjadi empat bab dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dikemukakan tentang Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran dari Permasalahan yang dibahas dalam penelitian hukum ini. Kerangka teori terdiri dari beberapa tinjauan yaitu Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Penuntut Umum antara lain : Pengertian Penyelidik, Penyidikan, Penuntutan, dan Penuntut Umum, Tugas dan Wewenang Penyidik maupun Penuntut Umum. Kemudian yang kedua mengenai Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking) yang isinya antara lain: Pengertian Perdagangan Orang dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking).
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini terdiri dari dua pokok pembahasan, pertama dari problematika dalam pelaksanaan kendala yang dihadapi penyidik dan penuntut umum dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta, kedua dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi problemática dalam pelaksanaan kendala
xxii
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. BAB IV
PENUTUP Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A
Kerangka Teori 1
Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan
xxiii
a
Pengertian Penyelidik dan Penyelidikan Penyelidik ialah pejabat Polisi negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHAP). Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tidak ada instansi atau pejabat lain yang dapat melakukan penyelidikan kecuali oleh instansi atau pejabat Polisi Republik Indonesia. Dengan demikian, jaksa atau pejabat lain tidak diperkenankan melakukan penyelidikan, kecuali dalam hal di atur dalam undang-undang khusus. Penyelidikan merupakan suatu bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sebelum dilakukan penyelidikan. Penyelidikan berasal dari kata ”selidik” yang berarti memeriksa dengan seksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan
diartikan
sebagai
pemeriksaan,
penelitian,
atau
pengawasan. Menurut sistem KUHAP, penyelidikan bukanlah tindakan yang serta merta dilakukan oleh penyidik, tetapi penyidikan didahului oleh penyelidikan. Sedangkan penyelidikan itu sendiri bertujuan untuk mengumpulkan segala data dan fakta untuk menentukan apakah suatu peristiwa merupakn suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan demikian apakah akan dilakukan penyidikan atau tidak terhadap suatu tindak pidana ditentukan oleh hasil penyelidikan. Dari penjelasan di atas, ”penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan ”penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi ”penyidikan”. Penyelidikan meruupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan ”merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang
xxiv
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
pemeriksaan
surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum” (M.Yahya Harahap, 2000: 101). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 angka 5 KUHP). b
Tugas dan Wewenang Penyelidik Tugas penyelidik adalah melaksanakan penyelidikan, yaitu
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang adanya sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan peyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Nico Ngani; I Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani, 1984: 20). Wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : 1) Karena kewajibannya mempunyai wewenang : a)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b)
Mencari keterangan dan barang bukti;
c)
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
d)
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan istilah ”tindakan lain” yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP adalah
xxv
tindakan dari penyidikan untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : (1)
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
(2)
Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
(3)
Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
(4)
Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
(5)
Menghormati hak asasi manusia.
2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : a)
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
c
b)
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c)
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d)
Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Pengertian Penyidik dan Penyidikan Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang siberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Secara etimologis istilah “penyidikan” merupakan padanan kata Bahasa Belanda “opsporing”, dari Bahasa Inggris “investigation” atau dari Bahasa Latin “investigatio”, penyiasatan atau siasat dari bahasa Malaysia. (Andi Hamzah, 2000:118). Sedangkan pengertian Penyidikan adalah serangkaian penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
xxvi
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Tujuan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan-keterangan berupa (H. Rusli Muhammad, 2007 :58-60): 1) Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi; 2) Waktu tindak pidana yang dilakukan; 3) Tempat terjadinya tindak pidana; 4) Dengan apa tindak pidana dilakukan; 5) Alasan dilakukannya tindak pidana; 6) Pelaku tindak pidana.
d
Tugas dan Wewenang Penyidik Tugas
penyidik
adalah
melaksakan
penyidikan,
yaitu
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Nico Ngani; I Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani, 1984: 21). Disamping itu penyidik juga mempunyai tugas: 1) Membuat berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakannya; 2) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum atau jaksa; penyidik yang dari pegawai negeri sipil menyerahkannya dengan melalui penyidk yang dari pejabat kepolisian negara. (Nico Ngani; I Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani, 1984: 21).
xxvii
Wewenang penyidik diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) Kewenangan menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; Adalah wajar jika penyelidik di beri kewenangan untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri sebab bagaimana mungkin penyelidik dapat melakukan pemeriksaan mencari keterangan dan bukti-bukti jika kewenangan tersebut tidak dimiliki. Menyuruh berhenti tidak diperlukan surat suruhan. Menyuruh berhenti bukan untuk suatu pemeriksaan perkara melainkan untuk sekedar mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan identitas diri. d) Kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan penyitaan; e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) Kewenangan penghentian penyidikan; j) Kewenangan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; Kewenangan ini adalah kewenangan yang sangat kabur dan tidak jelas. Pengertian ”tindakan lain” dalam kewenangan ini dijelaskan dalam penjelaan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
xxviii
KUHAP,
yaitu
tindakan
penyelidik
untuk
kepentingan
penyelidikan dengan syarat: (1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (2) Selaras
dengan
kewajiban
hukum
yang
mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan; (3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; (5) Menghormati hak asasi manusia. 2
Tinjauan Umum Tentang Penuntutan Dan Penuntut Umum a
Pengertian Penuntutan Dan Penuntut Umum Lembaga kejaksaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memiliki tugas pokok dalam rangka penegakan hukum adalah melakukan penuntutan dan tugas-tugas lain yang diberikan undangundang. Mengenai pengertian penuntutan atau vervolging terdapat dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang menyatakan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pengertian Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh keuatan hukum tetap (Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP). Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (6) huruf b KUHAP memberikan definisi Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
xxix
Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum Berdasarkan asas dominus litis yang dianut dalam KUHAP, maka apabila diklarifikasikan lebih detail dan sistematis dalam rangka melakukan dan mempersiapkan penuntutan secara eksplisit tugas dan wewenang penuntut umum berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP Pasal 14 adalah sebagai berikut : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) Mengadakan
prapenuntutan
apabila
ada
kekurangan
pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan
ayat
(4),
dengan
memberi
petunjuk
dalam
rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) Memberikan perpanjangan penahanan melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) Membuat surat dakwaan; 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurai ketentuan undang-undang ini; 10) Melaksanakan penetapan hakim. 3.
Tinjauan Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
xxx
a
Pengertian Perdagangan Orang Dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas oarang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dalam hal ini bentuk-bentuk eksploitasi itu meliputi kerja paksa, atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melaui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakni bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang atau sering dikenal dengan human trafficking adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang). Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun tidak terorganisir. Tindak pidana perdagangan orang bahkan
xxxi
melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelanggara
negara
yang
menyalahgunakan
wewenang
dan
kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara. b Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Dalam hal ini tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yaitu (Pasal 19-Pasal 24 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang) : 1) Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain; Yang dimaksud dengan dokumen negara dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran dan surat nikah (penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang). Yang dimaksud dengan dokumen lain dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait (penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang). 2) Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang;
xxxii
3) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas persidangan dalam tindak pidana perdagangan orang; 4) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang; 5) Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan; 6) Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan : a)
Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
b)
Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c)
Menyembunyikan pelaku;
d)
Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
c Penyebab Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) timbul karena (L.M. Gandhi dan Hetty A. Geru, 2006 : 207-208) : 1) Kultur (Pengetahuan, Norma, Nilai) a) Penduduk masih bodoh dan mudah ditipu; b) Tidak tahu bahaya trafficking, tidak tahu melapor, dan tidak tahu tujuan pekerjaan. 2) Kepribadian Sosial a) Haus kasih sayang orangtua, perceraian, patah hati anak lahir tanpa ayah, kekrasan terhadap perempuan; b) Pola hidup konsumerisme, orangtua berhutang, gaya, modern; c) Menganggap tabu jika terungkap, sudah salah anggap biasa, trauma, rasa bersalah, kawin kontrak, tabu mengungkap aib;
xxxiii
d) Malas, ingin kaya dengan mudah; e) Cepat tergoda, pengaruh televisi/iklan; f) Ingin lihat luar daerah dan ingin mencoba hal baru; g) Ekonomi keluarga tidak cukup. 3) Struktur Sosial a) Tidak ada lapangan pekerjaan, tidak ada ketrampilan; b) Gereja, pemerintah, tokoh masyrakat kurang peduli; c) Germo tidak ditindak, ada perusahaan hiburan, hukuman ringan; d) Orang tua sakit, orang tua malas. 4) Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Penyidikan dan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking), yaitu sebagai berikut (Steve Cook, 2005:2943): a) Tujuan Kebijakan Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Human Trafficking Kebijakan penyidikan dan penuntutan tindak pidana human trafficking mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut: (1) Perlindungan terhadap korban; (2) Mengungkap perbuatan pidana yang dilakukan pelaku dan orang lain yang terlibat dalam proses rekrutmen dan eksploitasi dari orang-orang ditrafik dan menggulung organisasi ilegal di belakangnya; (3) Menyita keuntungan yang diperoleh dari kejahatan; (4) Prevensi umum dan khusus. b) Unsur-Unsur Human Trafficking Di dalam tindak pidana human trafficking mempunyai beberapa unsur yaitu sebagai berikut (Steve Cook,2005:43-46):
xxxiv
(1) Tipu daya/muslihat (deception). Tipu daya/muslihat dapat berupa janji-janji palsu (rangkaian kata-kata bohong) perihal sifat-jenis pekerjaan, upah yang akan diterima atau kondisi kerja di tempat kerja. (2) Ancaman atau penggunaan kekerasan fisik atau seksual. Berkenaan dengan human trafficking untuk pelacuran dan ancaman kekerasan misalnya dapat digunakan untuk pekerja seks mengejar target pendapatan minimum setiap harinya sebelum ia diperkenankan untuk berhenti bekerja. (3) Pekerja menemukan dirinya berada dalam situasi serupa perbudakan dan/atau pekerja dijual kepada/dibeli oleh majikan. (4) Penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Penciptaan secara sadar situasi ketergantungan, misalnya dengan menyalahgunakan ketidaktahuan pekerja akan bahasa dan/atau budaya dari negara di mana ia ditempatkan. Termasuk juga menyita dan menahan surat-surat identitas atau uang pekerja atau memberikan surat-surat palsu. (5) Intimidasi dan/atau penggunaan ancaman melakukan tindakan balasan jika korban dan/atau keluarganya dan/atau anak-anak korban menolak bekerjasama atau melawan. (6) Ancaman untuk menyebarkan informasi kepada keluarga atau masyarakat tempat tinggal pekerja perihal kegiatan pelacuran yang dilakukan jika ia melawan. (7) Diberikan surat identitas palsu dengan tujuan menciptakan ketergantungan. (8) Penculikan
dalam
hal
ini
seseorang
ditransportasikan dan ditahan di luar kehendaknya.
xxxv
ditangkap,
(9) Perampasan atau pembatasan kebebasan seseorang pekerja dengan cara mengunci pekerja di ruang pekerja, membatasi kebebasan bergeraknya hanya dalam ruang terbatas saja. (10) Penahanan upah atau penolakan untuk membayar upah pekerja dengan berbagai alasan secara tidak masuk akal. (11) Penahanan paspor dan/atau surat-surat identitas lainnya dengan maksud agar pekerja tersebut tidak bisa melarikan diri. (12) Pengambilan, penyitaan atau perampasan dari barang-barang milik pribadi pekerja tersebut dan tidak dikembalikan kepada pekerja sekalipun telah diminta. (13) Ancaman melaporkan pekerja kepada pihak yang berwajib dengan alasan pekerja tersebut tidak tetap (ilegal). (14) Pekerja secara paruh waktu atau sepenuhnya bekerja hanya untuk melunasi utangnya (debt bondage). c) Penanganan Kasus-Kasus Human Trafficking Dalam penanganan kasus-kasus human trafficking ini diperlukan beberapa unsur sehingga penangannya bisa tertata dengan baik, penangan tersebut meliputi : (1) Unit-Unit Polisi dan Penuntut Umum Yang Khusus Mengingat kompleksitas kejahatan human trafficking dan posisi rentan korban, maka direkomendasikan agar di kepolisian dibentuk unit-unit khusus untuk menangani kasuskasus demikian, seperti misalnya unit kepolisian yang bekerja di RPK (Ruang Pelayanan Khusus). Rekomendasi serupa berlaku juga pada tingkat kejaksaan. Sedianya ada satu unit penuntut umum
yang secara khusus bertanggungjawab
menangani kasus-kasus human trafficking. Jaksa tersebut akan sekaligus bertanggungjawab untuk membina dan memelihara hubungan kerjasama dengan aparatur negara lainnya.
xxxvi
Unit-unit khusus dalam kepolisian dan kejaksaan haruslah memahami benar karakteristik kejahatan human trafficking. Mereka, dengan demikian juga dapat difungsikan sebagai ”unit pelayanan informasi” bago kantor-kantor kepolisian di tempat lain atau bagian lain, serta bagi Jaksa Penuntut Umum lainnya. (2) Pendampingan dan Pelayanan Korban Satu komponen yang sangat menentukan keberhasilan pendeteksian, investigasi (penyidikan) dan penuntutan tindak pidana human trafficking ialah kesediaan pihak korban untuk membantu dan mendukung penuntutan. Kesediaan tersebut terkait erat dengan perlindungan keselamatan dan privasi korban, ketersediaan informasi dan pelayanan, perlakuan yang secara umum diberikan oleh aparat kepolisian dan pihak berwenang lainnya, dan resiko bagi korban untuk ditangkap, ditahan, dituntut ke muka pengadilan atau dideportasi berkenaan dengan pelanggaran hukum yang telah mereka lakukan. Resiko demikian muncul sebagai bagian tidak terpisahkan dari posisi mereka sebagai korban kejahatan human trafficking, yaitu mencakup pelanggaran ketentuan imigrasi, keterlibatan
dalam
industri
seks
dan/atau
penggunaan
dokumen-dokumen palsu. Oleh karena itu, perlakuan pelayanan dan perlindungan yang diberikan kepada korban harus dipandang sebagai begian penting yang menentukan efektivitas penanganan kasus-kasus human trafficking. (3) Indikator Human Trafficking Upaya memerangi human trafficking dimulai dengan kecermatan kita mengenali indikator tindak pidana human trafficking. Indikator-indikator berikut ini, yang dilandaskan
xxxvii
pada penyidikan tindak pidana dapat membantu mengenali kasus human trafficking : (a) Indikator Umumnya yaitu : (i)
Orang yang berpeluang menjadi korban atau calon korban ternyata tidak menerima upah sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan atau dibayar sejumlah kecil dari seharusnya ia terima;
(ii) Calon korban tidak mengelola sendiri upah yang ia terima tetapi menyerahkan ke pihak ketiga; (iii) Adanya ikatan utang piutang atau calon korban berkewajiban membayar ke pihak ketiga; (iv) Pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak; (v) Calon korban tidak diperkenankan berhenti bekerja; (vi) Isolasi/pembatasan kebebasan untuk mengadakan dan memelihara kontak dengan orang-ornag lain; (vii) Ditahan atau tidak diberikannya pelayanan kesehatan, makanan memadai; (viii) Ancaman penggunaan kekerasan; (ix) Pada calon korban ditemukan tanda-tanda kekerasan; (x) Calon korban harus bekerja pada kondisi yang buruk; (xi) Calon korban tidak mengurus sendiri perjalanan, visa, maupun paspor; (xii) Calon korban tidak memegang sendiri surat-surat indentitas diri atau dokumen perjalanannya; (xiii) Calon korban menggunakan surat identitas palsu; (xiv) Calon korban takut dideportasi. (b) Indikator Khususnya yaitu : (i)
Calon korban mendapatkan bagian sangat kecil upah yang umumnya dibayarkan dalam bisnis pelacuran;
(ii) Calon korban diharuskan mendapatkan penghasilan dalam jumlah tertentu perhari;
xxxviii
(iii) Penglelola bordil atau pihak ketiga telah membayar ongkos transfer bagi calon korban; (iv) Tempat calon korban dipekerjakan berubah-ubah. (4) Memulai Penyidikan Jika ada indikasi telah terjadi tindak pidana human trafficking, maka penyelidikan harus dimulai untuk memastikan adanya bukti permulaan yang cukup. Untuk
memulai
penyidikan
dan/atau
penuntutan,
kiranya tidak diperlukan adanya laporan atau pengaduan resmi dari korban. Sekalipun demikian, pada umumnya adanya keterangan korban menjadi sangat penting dalam konteks pengumpulan bukti-bukti yang diperlukan. (5) Keahlian Profesional dan Kerjasama Upaya memerangi human trafficking membutuhkan, di samping ”mata yang terbuka lebar-lebar”, juga pengetahuan dan keahlian profesional, pengumpulan dan kerjasama yang memadai di antara ragam aparat kepolisian dan di antara kepolisian, kejaksaan, dan
lembaga-lembaga pemerintah
maupun swadaya masyarakat yang berkecimpung di bidang pendampingan korban. Satu syarat penting lainnya adalah adanya keseragaman kebijakan di antara pihak pemerintah, pengadilan dan kepolisian, termasuk ke dalamnya itikad baik untuk bekerja sama dalam bertukar informasi maupun pemberian bantuan lainnya demi kepentingan penegakan hukum.
xxxix
(6) Gugus Tugas atau Unit Multi Disipliner Penyidikan kasus human trafficking sebaiknya ditangani oleh gugus tugas atau unit yang multi disipliner, dengan mana dapat dijalin kerjasama yang baik dengan dinas atau departemen lainnya. Bagaimana komposisi keanggotaan unit tersebut akan bergantung pada kasus konkrit yang dihadapi dan keahlian khusus yang dibutuhkan. Berhadapan dengan kejahatan terorganisir (organized crime), maka direkomendasikan untuk melibatkan personil yang
memang
ahli
menangani
kasus-kasus
demikian.
Spesialisasi keahlian lainnya yang mungkin dapat dilibatkan mencakup pakar-pakar atau petugas yang ahli dalam bidang keuangan dan perbankan, penanganan korban tindak pidana kesusilaan, bidang hukum perburuhan, migrasi dan hukum yang berkaitan dengan itu. (7) Penuntutan Indikasi adanya tindak pidana human trafficking haruslah diikuti dengan penyelidikan/penyidikan, dan bila memungkinkan, dilanjutkan dengan penuntutan. Surat dakwaan dapat dibuat dengan merujuk pada sejumlah ketentuan pidana sebagaimana
tercantum
dalam
KUHP,
seperti
human
trafficking, pemerasan, penganiayaan, perkosaan, perampasan kebebasan/kemerdekaan secara tidak sah, dll. Di dalam surat dakwaan, sejumlah ketentuan pidana yang
berbeda
dapat
didakwakan
secara
kumulatif.
Kemungkinan ini harus diingat tatkala penanganan perkara tindak pidana human trafficking berada dalam penyidikan. Proses penyidikan dan penuntutan menjadi sangat penting bila menyangkut korban anak-anak, yakni mereka yang belum mencapai usia 18 tahun. Dalam hal tindak pidana human
xl
trafficking yang melibatkan pelaku dan/atau korban di tempat yang
berbeda-beda,
maka
direkomendasikan
untuk
mengkonsentrasikan penyidikan dan penuntutan di dalam satu wilayah saja, yakni untuk mencegah terjadinya fragmentasi (perpecahan) informasi dan terhentinya upaya penyidikan. (8) Sanksi Sanksi (hukuman) apa yang dapat dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum akan tergantung pada spesifikasi perkara yang bersangkutan. Spesifikasi atau karakteristik perkara di sini mencakup antara lain : (a) Jumlah korban; (b) Tingkat kerugian-materiil dan immateriil yang diderita korban; (c) Kenyataan bahwa terdakwa telah melakukan pelanggaran hukum untuk memperkaya dirinya sendiri atau untuk mencari keuntungan finansial; (d) Umur dan latar belakang korban; (e) Kematian atau diakibatkannya luka atau cacat berat pada korban; (f) Tingkat kekejian atau kelicikan perbuatan dari terdakwa; (g) Jangka waktu di dalam mana human trafficking telah dilakukan; (h) Cara-cara penggunaan ancaman kekerasan atau paksaan dalam kasus-kasus khusus; (i) Tingkat pengorganisasian para pelaku tindak pidana human trafficking. Jika dipandang perlu, penyitaan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan, juga dapat dituntutkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) KUHAP, keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat dikenakan penyitaan. Jika dipandang perlu, maka juga sanksi administratif seperti
xli
penutupan usaha atau pencabutan izin dapat dimintakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sekalipun sanksi pidana efektif untuk menghukum pelaku kejahatan perorangan, sanksi finansial dan administratif dapat juga menjadi sangat efektif jika yang dihadapi adalah agen atau perusahaan yang terlibat dalam kejahatan human trafficking. Sebabnya adalah karena sanksi demikian langsung ditujukan kepada kepentingan ekonomi mereka. Pengenaan sanksi finansial atau administratif dapat mempunyai fungsi pencegahan yang penting. d) Perlindungan Saksi Dan Korban Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini (Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang). Perlindungan saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang Pasal 44 sampai dengan Pasal 55 disebutkan sebagai berikut : (1) Sanksi dan/atau korban beserta keluargannya tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44 ayat (1)); (2) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (Pasal 45 ayat (1));
xlii
(3) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi atau korban tindak pidana perdagangan orang (Pasal 46 ayat (1)); (4) Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (Pasal 47); (5) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi (Pasal 48 ayat (1));
Restitusi itu berupa ganti kerugian atas (Pasal 48 ayat (2)) : (a)
Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
(b)
Penderitaan;
(c)
Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
(d)
Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(6) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang (Pasal 51 ayat (1)); (7) Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat tujuh hari setelah permohonan diajukan (Pasal 53);
xliii
(8) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 54 ayat (1)); (9) Dalam hal korban dalah warga negara asing yang berada di Indonesia,
maka
pemerintah
Republik
Indonesia
mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia (Pasal 54 ayat (2)); (10) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksu dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain (Pasal 55).
xliv
B Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Perdagangan orang
Pelaku dan Korban Penyidikan (POLRI)
UU No. 21 Tahun 2007
Penuntutan
KUHAP
(Kejaksaan)
UU No. 13 Tahun 2006
Kendala
Upaya Mengatasi
Gambar 2 Skematik Kerangka Pemikiran
xlv
Maraknya praktek tindak pidana perdagangan orang terutama di Indonesia membuat resah masyarakat maupun membuat banyak kerugian di berbagai pihak terutama yang menjadi korban. Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahtan yang teroganisasi dan tidak terorganisasi baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa maupun negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tindak Pidana perdagangan orang (human trafficking) timbul dan berkembang disebabkan oleh adanya kesempatan dari pelaku untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, seperti yang tercantum dalam pembahasan sebelumnya.
Dalam
menindaklanjuti
pemberantasan
tindak
pidana
perdagangan orang diperlukan peran aparat penegak hukum seperti penyidik yaitu Polisi negara Republik Indonesia dan dari pihak penuntut yaitu Kejaksaan. Kedua pihak aparat penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya perlu juga dilengkapi beberapa dasar aturan hukum. Dasar aturan hukum tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, KUHAP, dan UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pihak penyidik maupun penuntut bisa timbul kendala dalam penangannya. Dalam menghadapi kendala tersebut pihak penyidik maupun penuntut harus cermat dan segera mencari upaya dalam penanganannya sehingga akan timbul suatu hukum yang diinginkan dalam artian memunculkan suatu pemecahan kasus yang adil dan benar. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana perdagangan orang bisa tercapai dengan baik. BAB III
xlvi
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta 2. Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang dihadapi Penyidik Dalam Menangani
Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Human
Trafficking) Di Surakarta Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan di Kepolisian Kota Besar Surakarta melalui wawancara dengan AKP Sri Rahayu pada tanggal 17 November 2009 telah memperoleh hasil bahwa dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana yang khususnya tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta telah diketemukan kendala, sehingga dalam pelaksanaan penyidikan tersebut menjadi terhambat. Hambatan tersebut bertumpu pada unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai unsur-unsur tindak pidana itu. Dalam hal ini jika suatu berkas dalam penyidikan tindak pidana tersebut belum lengkap (P19) ataupun belum mencakup semua unsur dari tindak pidana tersebut maka belum dapat diketegorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Jika tindak pidana tersebut sudah mencakup semua unsurnya, maka dapat dikatakan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan dapat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Perdagangan Orang. Oleh karena itu unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) harus terpenuhi semuanya, sehingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu dapat diterapkan. Dalam unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dimaksud tersebut di atas meliputi sebagai berikut ini : a Tipu daya/muslihat (deception).
xlvii
Tipu daya/muslihat dapat berupa janji-janji palsu (rangkaian katakata bohong) perihal sifat-jenis pekerjaan, upah yang akan diterima atau kondisi kerja di tempat kerja. b Ancaman atau penggunaan kekerasan fisik atau seksual. Berkenaan dengan trafficking untuk pelacuran dan ancaman kekerasan misalnya dapat digunakan untuk pekerja seks mengejar target pendapatan minimum setiap harinya sebelum ia diperkenankan untuk berhenti bekerja. c Pekerja menemukan dirinya berada dalam situasi serupa perbudakan dan/atau pekerja dijual kepada/dibeli oleh majikan. d Penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Penciptaan secara sadar situasi ketergantungan, misalnya dengan menyalahgunakan ketidaktahuan pekerja akan bahasa dan/atau budaya dari negara di mana ia ditempatkan. Termasuk juga menyita dan menahan surat-surat identitas atau uang pekerja atau memberikan surat-surat palsu. e Intimidasi dan/atau penggunaan ancaman melakukan tindakan balasan jika korban dan/atau keluarganya dan/atau anak-anak korban menolak bekerjasama atau melawan. f Ancaman untuk menyebarkan informasi kepada keluarga atau masyarakat tempat tinggal pekerja perihal kegiatan pelacuran yang dilakukan jika ia melawan. g Diberikan surat identitas palsu dengan tujuan menciptakan ketergantungan. h Penculikan dalam hal ini seseorang ditangkap, ditransportasikan dan ditahan di luar kehendaknya. i Perampasan atau pembatasan kebebasan seseorang pekerja dengan cara mengunci pekerja di ruang pekerja, membatasi kebebasan bergeraknya hanya dalam ruang terbatas saja. j Penahanan upah atau penolakan untuk membayar upah pekerja dengan berbagai alasan secara tidak masuk akal.
xlviii
k Penahanan paspor dan/atau surat-surat identitas lainnya dengan maksud agar pekerja tersebut tidak bisa melarikan diri. l Pengambilan, penyitaan atau perampasan dari barang-barang milik pribadi pekerja tersebut dan tidak dikembalikan kepada pekerja sekalipun telah diminta. m Ancaman melaporkan pekerja kepada pihak yang berwajib dengan alasan pekerja tersebut tidak tetap (ilegal). n Pekerja secara paruh waktu atau sepenuhnya bekerja hanya untuk melunasi utangnya (debt bondage). Di samping itu penyidik juga mengalami kendala yang lain, kendala tersebut disebabkan karena tidak adanya keberanian dari korban maupun saksi untuk melaporkan kejadian tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tersebut kepada pihak penyidik dengan alasan adanya suatu ancaman ataupun hal yang tidak diinginkan dari pelaku yang membuat korban maupun saksi menjadi takut untuk melapor. Selain tidak adanya keberanian untuk melapor, penyidik juga mengalami kesulitan dalam melakukan penyidikan dengan alasan tidak ada laporan yang jelas dari saksi maupun korban. 2. Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang dihadapi Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Surakarta melalui wawancara dengan RR. Rahayu Nur Raharsi, S.H pada tanggal 19 November 2009 telah memperoleh hasil yang hampir sama dengan peneletian yang dilakukan di Kepolisian Kota Besar Surakarta bahwa dalam melakukan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta telah diketemukan kendala, sehingga dalam pelaksanaan penuntutan tersebut menjadi terhambat. Hambatan tersebut juga bertumpu pada tidak terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai unsur-unsur tindak pidana itu. Dalam hal ini jika hasil penyidikan tindak pidana tersebut belum lengkap (P19) ataupun belum
xlix
mencakup semua unsur dari tindak pidana tersebut maka belum dapat diketegorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Jika suatu tindak pidana tersebut sudah memenuhi unsurnya, maka dapat dikatakan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan dapat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Perdagangan Orang. Dalam unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dimaksud tersebut di atas meliputi sebagai berikut ini : a Tipu daya/muslihat (deception). Tipu daya/muslihat dapat berupa janji-janji palsu (rangkaian katakata bohong) perihal sifat-jenis pekerjaan, upah yang akan diterima atau kondisi kerja di tempat kerja. b Ancaman atau penggunaan kekerasan fisik atau seksual. Berkenaan dengan trafficking untuk pelacuran dan ancaman kekerasan misalnya dapat digunakan untuk pekerja seks mengejar target pendapatan minimum setiap harinya sebelum ia diperkenankan untuk berhenti bekerja. c Pekerja menemukan dirinya berada dalam situasi serupa perbudakan dan/atau pekerja dijual kepada/dibeli oleh majikan. d Penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Penciptaan secara sadar situasi ketergantungan, misalnya dengan menyalahgunakan ketidaktahuan pekerja akan bahasa dan/atau budaya dari negara di mana ia ditempatkan. Termasuk juga menyita dan menahan suratsurat identitas atau uang pekerja atau memberikan surat-surat palsu. e Intimidasi dan/atau penggunaan ancaman melakukan tindakan balasan jika korban
dan/atau
keluarganya
dan/atau
bekerjasama atau melawan.
l
anak-anak
korban
menolak
f Ancaman untuk menyebarkan informasi kepada keluarga atau masyarakat tempat tinggal pekerja perihal kegiatan pelacuran yang dilakukan jika ia melawan. g Diberikan surat identitas palsu dengan tujuan menciptakan ketergantungan. h Penculikan dalam hal ini seseorang ditangkap, ditransportasikan dan ditahan di luar kehendaknya. i Perampasan atau pembatasan kebebasan seseorang pekerja dengan cara mengunci pekerja di ruang pekerja, membatasi kebebasan bergeraknya hanya dalam ruang terbatas saja. j Penahanan upah atau penolakan untuk membayar upah pekerja dengan berbagai alasan secara tidak masuk akal. k Penahanan paspor dan/atau surat-surat identitas lainnya dengan maksud agar pekerja tersebut tidak bisa melarikan diri. l Pengambilan, penyitaan atau perampasan dari barang-barang milik pribadi pekerja tersebut dan tidak dikembalikan kepada pekerja sekalipun telah diminta. m Ancaman melaporkan pekerja kepada pihak yang berwajib dengan alasan pekerja tersebut tidak tetap (ilegal). n Pekerja secara paruh waktu atau sepenuhnya bekerja hanya untuk melunasi utangnya (debt bondage). Berdasar 139 KUHP, dikatakan bahwa setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dikenal dengan istilah P-21 (berkas dinyatakan lengkap) ataupun telah memenuhi syarat formil dan materiil. Oleh karena itu walaupun pelaku, korban maupun saksi tindak pidana tersebut ada tetapi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan dalam tindak pidana tersebut tetapi dikenakan pasal yang memenuhi unsureunsurnya atau undang-undang lain. Dari berbagai tindak pidana yang ada kaitannya dengan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta, sejauh ini hanya menerapkan pasal dalam KUHP yaitu Pasal 296. Dalam hal ini pasal tersebut li
tidak menyebutkan secara terperinci mengenai unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang (human trafficking), oleh karena itu pengaturannya tidak begitu tegas seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu penuntut umum juga mempunyai kendala lain, dijelaskan bahwa kendala penuntut umum tersebut hanya mempelajari hasil penyelidikan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tidak bertemu langsung dengan korban sehingga secara materiil penuntut umum perlu secara cermat menentukan tujuan unsur eksploitasi maupun unsur lain yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang harus dapat dibuktikan di persidangan atupun akibat yang ditimbulkan bahwa korban tereksploitasi maupun akibat lain yang timbul dalam tindak pidana tersebut. C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta Dalam mengatasi problematika pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pada intinya sama yaitu diperlukan adanya undang-undang yang lain (juncto) yang dalam hal ini jika suatu perkara tersebut unsur-unsurnya tidak dapat masuk ataupun belum lengkapnya unsur tersebut ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking), maka jalan satu-satunya diberlakukannya undang-undang yang lain yang sesuai dengan tindak pidana tersebut. Misalkan ada suatu kasus tentang penipuan terhadap seseorang, dalam hal ini unsur tindak pidana perdagangan orang tersebut hanya satu saja yaitu penipuan, maka hanya dikenakan pasal dalam KUHP tepatnya Pasal 378. Dalam penerapan ke dalam undang-undang lain dapat juga dipergunakan dua undang-undang, yang dalam artian undang-undang tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain sehingga diharapkan kemungkinan terkecil tidak adanya kekeliruan dalam penjatuhan hukuman terhadap para pelakunya dan membuat para pelakunya menjadi jera. Untuk mengetahui pembuktian mengenai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang ada di Surakarta sampai saat ini belum ada suatu tindak pidana dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human
lii
trafficking) tetapi hanya dikategorikan ke dalam tindak pidana lain yang kebanyakan sanksi hukumannya diatur dalam KUHP. Dengan itu penulis mengambil suatu contoh kasus tindak pidana yang terbaru yang belum dapat dikategorikan ke Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tetapi hanya dikategorikan tindak pidana yang ada dalam KUHP, yaitu sebagai berikut ini : Terdakwa I Dewi Wijayanti Hantoro bersama-sama melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan dengan terdakwa I Suratno alias Sinyo, pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009 sekitar pukul 13.00 Wib atau setidak-tidaknya disekitar waktu itu di bulan Maret 2009 bertempat di Hotel Kartika Sari, Jebres, Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia belum dewasa. Sebelum kejadian pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009 sekitar pukul 10.00 Wib kedua korban Arni Susilowati dan Rahayu Susanti meminta tolong kepada Ambar Wulan Agustinus untuk mencarikan laki-laki yang bisa memberikan uang imbalan melayani hubungan sex, Ambar kemudian menhubungi terdakwa I dengan menjelaskan bahwa ada temannya yang membutuhkan uang agar dicarikan laki-laki yang mau memberinya uang dengan imbalan sex, oleh terdakwa I menhubungi terdakwa II agar dicarikan laki-laki yang bersedia memberikan uang dengan imbalan sex, keduanya dan terdakwa II menyanggupi dan langsung memesan dua kamar di Hotel Kusuma Kartika Sari yang berada di Jl. Ir. Sutami Surakarta (nomor kamar tidak diingat lagi), selanjutnya sekitar pukul 13.00 Wib terdakwa I menjemput Arni Susilowati dan Rahayu Susanti di rumah Ambar kemudian berboncengan tiga menuju ke hotel, di hotel ketiganya bertemu terdakwa II yang saat itu sedang menunggu tamunya (laki-laki yang ingin membayar kedua korban) dan tak lama kemudian kedua lakilaki yang akan membayar kedua korban dating, selanjutnya terdakwa I mengantar Arni Susilowati (lahir 25 Februari 1990) dan Rahayu Susanti (14 April 1991) yang keduanya belum dewasa pada kedua laki-laki yang sudah menunggu dalam kamar yang berbeda, selanjutnya di kamar tersebut
liii
Arni Susilowati dan Rahayu Susanti melakukan layaknya hubungan suami isteri dan setelah selesai keduanya diberikan uang imbalan masing-masing sebesar Rp. 300.000,- selanjutnya terdakwa I meninta kepada kedua korban sebesar Rp. 150.000,- sebagai imbalan telah mencarikan laki-laki atau mengacarakannya. Setelah uang tersebut diterima, kedua terdakwa masing-masing menerima uang sebesar Rp. 150.000,- dan merekapun meninggalkan hotel tersebut pulang ke rumah masing-masing, dimana uang tersebut terdakwa I pergunakan untuk membeli susu dan keperluan lainnya dan sisa Rp. 5000,- sedangkan terdakwa II uang tersebut rencananya akan dipergunakan untuk membayar arisan dan angsuran sepeda motor namun belum sempat dibayarkan langsung ketangkap. Perbuatan para terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 295 ayat (1) ke 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Kasus di atas adalah murni kasus penyertaan atau dengan kata lain perbuatan yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan, dan penganjur. Oleh karena itu tidak dapat diketegorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan tidak bisa dikenakan sanksi-sanksi yang ada dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tetapi hanya dapat dikenakan Pasal 295 ayat (1) ke 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dalam mengatasi problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan juga diperlukan peningkatan peran serta dalam sosialisasi dalam mengungkap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memberikan informasi apabila menemukan peristiwa ataupun kejadian yang diduga berindikasikan tindak pidana tersebut. Juga dapat memotifasi terhadap korban ataupun saksi dalam memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya kepada penyidik maupun penuntut umum guna memperlancar penanganannya.
liv
BAB IV PENUTUP A.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang secara rinci telah penulis sampaikan pada Bab III, maka sebagai penutup dapat ditarik simpulansimpulan yang dapat memberikan gambaran secara ringkas mengenai kendala penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Surakarta. Simpulan-simpulan tersebut meliputi :
lv
1
Problematika Pelaksanaan Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta a Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang dihadapi Penyidik Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta Kendala tersebut bertumpu pada unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai unsur-unsur tindak pidana itu. Dalam hal ini jika suatu berkas dalam penyidikan tindak pidana tersebut belum lengkap (P-19) ataupun belum mencakup semua unsur dari tindak pidana tersebut maka belum dapat diketegorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Jika tindak pidana tersebut sudah mencakup semua unsurnya, maka dapat dikatakan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan dapat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Perdagangan Orang. Oleh karena itu unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) harus terpenuhi semuanya, sehingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu dapat diterapkan. Di samping itu penyidik juga mengalami kendala yang lain, kendala tersebut disebabkan karena tidak adanya keberanian dari korban maupun saksi untuk melaporkan kejadian tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tersebut kepada pihak penyidik dengan alasan adanya suatu ancaman ataupun hal yang tidak diinginkan dari pelaku yang membuat korban maupun saksi menjadi takut untuk melapor. Selain tidak adanya keberanian untuk melapor, penyidik juga mengalami kesulitan dalam melakukan penyidikan dengan alasan tidak ada laporan yang jelas dari saksi maupun korban. b Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Yang dihadapi Penuntut Umum Dalam
Menangani
Tindak
Pidana
Trafficking) Di Surakarta
lvi
Perdagangan
Orang
(Human
Kendala tersebut juga bertumpu pada tidak terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengenai unsur-unsur tindak pidana itu. Dalam hal ini jika hasil penyidikan tindak pidana tersebut belum lengkap (P-19) ataupun belum mencakup semua unsur dari tindak pidana tersebut maka belum dapat diketegorikan ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking). Jika suatu tindak pidana tersebut sudah memenuhi unsurnya, maka dapat dikatakan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan dapat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Perdagangan Orang. Selain itu penuntut umum juga mempunyai kendala lain, dijelaskan bahwa kendala penuntut umum tersebut hanya mempelajari hasil penyelidikan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tidak bertemu langsung dengan korban sehingga secara materiil penuntut umum perlu secara cermat menentukan tujuan unsur eksploitasi maupun unsur lain yang ada dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang harus dapat dibuktikan di persidangan atupun akibat yang ditimbulkan bahwa korban tereksploitasi maupun akibat lain yang timbul dalam tindak pidana tersebut. 2
Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Problematika Dalam Pelaksanaan Kendala Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Di Surakarta Dalam mengatasi problematika dalam pelaksanaan kendala penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pada intinya sama yaitu diperlukan adanya undang-undang yang lain (juncto) yang dalam hal ini jika suatu perkara tersebut unsur-unsurnya tidak dapat masuk ataupun belum lengkapnya unsur tersebut ke dalam tindak pidana perdagangan orang (human trafficking), maka jalan satu-satunya diberlakukannya undang-undang yang lain yang sesuai dengan tindak pidana tersebut. Misalkan ada suatu kasus tentang penipuan terhadap seseorang, dalam hal ini unsur tindak pidana perdagangan orang tersebut hanya satu saja yaitu penipuan, maka hanya dikenakan pasal dalam KUHP tepatnya
lvii
pasal 378. Dalam penerapan ke dalam undang-undang lain dapat juga dipergunakan dua undang-undang, yang dalam artian undang-undang tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain sehingga diharapkan kemungkinan terkecil tidak adanya kekeliruan dalam penjatuhan hukuman terhadap para pelakunya dan membuat para pelakunya menjadi jera. Dalam mengatasi kendala penyidikan dan penuntutan juga diperlukan peningkatan peran serta dalam sosialisasi dalam mengungkap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memberikan informasi apabila menemukan peristiwa ataupun kejadian yang diduga berindikasikan tindak pidana tersebut. Juga dapat memotifasi terhadap korban ataupun saksi dalam memberikan keterangan yang sejelasjelasnya kepada penyidik maupun penuntut umum guna memperlancar penanganannya. B.
Saran 1
Diharapkan adanya sosialisasi dari berbagai instansi yang berwenang terutama aparat penegak hukum kepada masyarakat mengenai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang khususnya di Surakarta, sehingga orang awam menjadi mengerti tentang tindak pidana perdagangan orang (human trafficking).
2
Perlu adanya koordinasi antar penegak hukum, instansi pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun masyarakat umum dalam mengungkapkan indikasi adanya tindak pidana perdagangan orang (human trafficking).
lviii
DAFTAR PUSTAKA Buku Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta : Sinar Grafika. HB. Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. H. Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Jurnal Perempuan untuk pencerahan dan kesetaraan. 2004. Mengapa mereka diperdagangkan?. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. L.M. Gandhi Lapian dan Hetty A. Geru. Trafiking Perempuan dan Anak. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia M.Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP edisi kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani. 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana Seri Satu Bagian Umum Dan Penyidikan. Yogyakarta : Liberty. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Steve Cook. 2005. Pedoman Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Trafficking Dan Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan lix
Hukum. Jakarta : International Organization For Migration Mission In Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
lx