PRITA ISTRI KITA KARYA : ARIFIN C. NOER SOALNYA RUMAH ITU TIDAK BEGITU BESAR MESKIPUN TIDAK KECIL AMAT, SEHINGGA RUANG DI MANA MEREKA MAKAN JUGA MEREKA PERGUNAKAN SEBAGAI RUANG TENGAH. TAPI MAKSUD SAYA SEMENTARA INI KITA ANGGAP DULU SUNGGUH-SUNGGUH SEBAGAI RUANG MAKAN. TAPI JANGAN SEGERA MENGIRA DI SANA KITA AKAN MENDAPATKAN SEBUAH KULKAS, APALAGI : ----- BAHKAN KITA TIDAK AKAN MENJUMPAI BARANG-BARANG YANG UMUMNYA DIPERGUNAKAN OLEH ORANG-ORANG KAYA. YA, BISA KALIAN BAYANGKAN SENDIRI RUMAH SEORANG GURU, YANG SAYA MAKSUDKAN ADALAH SEORANG GURU SEKOLAH MENENGAH DI INDONESIA DEWASA INI. KALAU SEKARANG KALIAN MELIHAT PADA ARLOJI, BAGI YANG PUNYA MAKSUD SAYA, TENTU KALIAN AKAN MELIHAT BAHWA WAKTU SEKARANG MENUNJUKKAN JAM SETENGAH SATU SIANG, YA 12.30 WIB. SAYA AGAK BISA MEMASTIKAN MEMANG, SEBAB PEREMPUAN MUDA ITU SUDAH TERBIASA MENYEDIAKAN MAKAN SIANG SUAMINYA PADA SAATSAAT SEPERTI SEKARANG. LIHATLAH, MALAH PEREMPUAN MUDA ITU BARU SAJA KE LUAR DARI DAPUR DAN MEMASUKI RUANG ITU. IA MEMBAWA SEBAKUL KECIL NASI YANG MASIH MENGEPULKAN ASAP. CEMBERUT BETUL DIA. TANPA SEDIKITPUN SEMANGAT IA MENARUH BAKUL DI ATAS MEJA MAKAN (RENDAH MUTUNYA TENTU SAJA). Salah saya! Kesalahan saya yang terbesar selama ini. Salah saya! Selalu membayang-bayangkan hidup ini. IA MASUK LAGI KE DAPUR. IA AKAN MEMBUAT SAMBAL DI ATAS COET. KITA HANYA MENDENGAR SUARANYA SAJA. Saya tahu! Tapi itu urusan pribadi saya! --- memang sering kau ngomong, bahkan terlalu sering. Hidup ini bukan untuk dibayang-bayangkan. Hidup ini bukan untuk diimpi-impikan. Hidup ini untuk dijalani. Untuk disaksikan. Untuk dirasakan. Dilihat dengan mata. Didengar dengan telinga. --- ya, tapi itu urusan saya pribadi, kau dengar? Congek! Siapapun tidak berhak menghalangi saya melamun ataupun mengenangkan sesuatu. Ya, juga kau. Kaupun tak berhak melarang atau menghalangi saya mengenangkan, membayangkan bekas pacarpacar saya. Juga tak ada hakmu melarang saya melamunkan hidung Si Beni Brewok itu. Itu hak saya! IA KELUAR LAGI DARI DAPUR ITU MEMBAWA COET BERISI SAMBAL. Betul, saudara-saudara. Itu hak tiap-tiap orang. Hak azasi manusia. Sauadara, saudarapun tidak berhak atas dunia sunyi seseorang. Dan apakah bisa? Itu rahasia. Dan saudara-saudara akan menjadi pembohong besar kalau
sekarang berani mengatakan saudara tidak pernah melamun. Dan siapa yang kuasa melarang saudara-saudara mengerjakan pekerjaan edan itu? Dalam keadaan begini saya ingin mabuk saja dengan menelan semua sambal itu. Saya tahu sambal itu merangsang nafsu makan. Tapi saya tidak perlu diransang. Tanpa sambal itu saya sanggup menelan sekaligus nasi sebanyak itu. Nasi. Nasib! Ya, nasib. Bah, nasib! Setiap siang yang panas di meja ini selalu ada sambal yang panas. Ini bukan lagi perangsang. Sungguh-sungguh lauk untuk makan. Tiap hari. Tidak. Tiap saat! Apakah ini tidak berarti saya menuntaskan alkohol berbotol-botol sepanjang hidup? Ini penipuan mentah-mentah namanya. Cuma sebulan sejak lebih dari dua tahun saya menjadi istrinya, pernah makan agak lumayan. Malah tidak penuh sebulan, dua puluh tiga hari. Itulah bulan pertama saya seranjang dengan laki-laki itu. Maksud saya Mas Broto. Barangkali saudara-saudara menyangka saya berdusta? Mengada-ada? IA MENGANGKAT SEBUAH PIRING YANG TERLETAK DI MEJA. Tempe. Dan Cuma lima kerat. Yang lima kerat lagi saya simpan untuk nanti malam. IA MENGANGKAT SEBUAH PINGGAN (RANTANG). Sayur bening. Daun bayam. Masih lumayan. Kalau tanggal dua puluh, daun singkong bukan mustahil. Saya tidak perduli apakah diantara saudara-saudara ada pejabat pemerintah atau polisi. Saya tidak perduli apakah juga di sini ada pemimpin partai.. juga saya tidak perduli apakah di sini kebetulan ada pemimpin agama atau ulama atau malaikat. Saya hanya akan berkata bahwa semua ini gila-gilaan! Apakah dunia sekarang tidak waktunya untuk anak-anak orang lain, sementara dia sendiri tidak mempunyai seorang anakpun. Mengajar dari pagi sampai siang, dari siang sampai sore. Malam terpaksa ia pergunakan untuk kursus supaya bisa beranjak dari nasib jeleknya. SEKONYONG TERDENGAR SEBUAH LAGU DARI RADIO. SEKONYONG PEREMPUAN ITUPUN MENGUBAH SIKAP. IA MENJADI LEMBUT. IA MULAI BISA LAGI MERASAKAN GETARAN ANGIN LEMBUT SIANG HARI. BERSERI WAJAHNYA LEBIH DARI ITU, IA TURUT BERSENANDUNG SEKARANG. Dulu saya bayangkan betapa bahagianya hidup saya. Saya bayangkan betapa nikmatnya bangun pagi-pagi menyediakan sarapan, menunggu dengan berdebar-debar kedatangan suami dari mengajar, makan siang bersama Mas Broto, mandi bersama Mas Broto, tidur siang bersama Mas Broto, jalan-jalan senja hari, makan malam bersama Mas Broto dan akhirnya tidur dalam pelukan Mas Broto. TERTAWA KECIL IA. Geli. Alangkah menggelikan waktu Mas Broto menyatakan cintanya pada saya. Saya ingat betul. Di pasar malam. Di tengah keramaian kok sempatsempatnya ia mencurahkan isi hatinya. Dikatakannya : “Jeng.....” Yang pertama Cuma itu karena ia lalu menelan ludahnya. Jaelas sekali. Naik nafsu barangkali. Kemudian ia mengulangi hal itu ketika kami sampai dekat tontonan ledek ketek, itu tontonan kera menari dari Jawa. Dia memang aneh sekali. Kurang bisa menguasai dirinya. Lekas gugup. Seharusnya dia bisa mencari tempat yang lebih
sesuai untuk mengucapkan kata-kata cinta. Tapi ketika sampai di tempat tontonan kera itu, rupanya ia tidak bisa lagi menahan gelora perasaannya. Dia bilang dengan suara gemetar, seperti penderita malaria ; lain wajahnya. Katanya : “Jeng, kau sangat manis”. Urat di leher saya terasa tidak normal lagi, gemetar sekali saya, tapi saya goda dia : “Apa iya?” Dia lebih gemetar. Udara dari lobang hidugnya keras berdesah. LAGU YANG TADI SUDAH HABIS. DAN TIDAK LAMA KEMUDIAN TERDENGAR SEBUAH LAGU LAGI. Itulah kesalahan saya. Justru itu! Kalau dulu saya tidak pernah membayangkan begitu indahnya hidup ini, mungkin saya tak akan pernah mengomel serupa ini. Ya, mungkin saya akan bisa tenang menunggu kedatangannya siang ini di muka sana. Tapi karena dulu saya membayangbayangkan betapa lezatnya makan siang bersama Mas Broto, saya jadi selalu kecewa setiap kali saya melihat sambal itu. RADIO MATI TIBA-TIBA. Mati radio itu. Biarkan saja. Radio itu bukan kami punya. Itu radio tetangga. Alah, apalagi radio. Kami sempat membeli pakaian yang bagus saja sudah Alhamdulillah. Sebenarnya lelaki itu bisa saja membeli radio kalau dia mau tapi dia pengecut yang sukar untuk bisa diampuni. Kan dia mengajar di SMP Partikulir kalau sore? Suatu ketika ada seorang juragan yang datang kemari. Kalian mengerti sendiri saja apa latar belakangnya kalau ada seorang juragan datang ke rumah seorang guru. Juragan itu punya anak yang bengalnya seperti setan keranjingan. Memang setan anak itu. Di tengah kelas anak itu bermain kartu bersama teman-temannya. Nah, juragan itu datang kemari karena mengharapkan suami saya bisa menolong anaknya naik kelas. Sudah umum, tentu saja juragan itu membawa amplop. Tapi suami saya seorang pengecut yang bodoh seperti kerbau. Dia menolak amplop itu sementara ia berjanji akan menolongnya. Sungguh-sungguh tak bisa diampuni dia. Untung saja kemudian saya dengar anak setan itu betulbetul tidak naik kelas. TIBA-TIBA RADIO MULAI TERDENGAR LAGI. KALI INI BUNYINYA SANGAT KERAS SEKALI SEHINGGA MENYAKITKAN TELINGA. Sombong betul tetangga yang satu itu. Apa dia pikir cuma dia yang punya telinga? Marah saya. Seminggu yang lalu saya bertengkar dengan suami saya lantaran tetangga yang sok itu. Coba saja. Saya baru saja menelentangkan tubuh di atas ranjang batu itu, saya selalu menyebutnya begitu untuk ranjang besi kuno yang jelek itu. Ya, baru saja saya telentangkan badan saya tahu-tahu tetangga itu mengeraskan bunyi radionya. Saya sudah tidak bisa lagi menahan diri. Hampir saya meloncat ke dapur untuk mengambil palu. Untung saja tangan Mas Broto cukup kuat menahan saya. Kalau tidak, remuk atap rumahnya. Eh, Mas Broto malah membela tetangga itu. Kalian tahu apa yang dikatakan suami saya? “Jeng, sabar.....” “Sabar-sabar apa?”. Saya bilang. “Kalau kau terus-terus.....begini, kita tak akan pernah punya tetangga”.
“Apa kita diberi makan tetangga?”. Bertolak pinggang saya: ya, persetan tetangga. Kalau dia menghina kita tak perduli tahu kita siapa dia. Tidak perduli tetangga. Tidak perduli jendral. Karena begitu marahnya sampai-sampai saya berteriak. “Apa kau tidak merasakan bagaimana dia menghina kita dengan radionya?” Apa suami saya bilang? “Itu bukan penghinaan, Jeng”. “Bukan penghinaan?”. Mata saya melotot. “Itu namanya kemurahan. Dengan memperdengarkan radionya sekeras itu tentu mereka maksudkan supaya kita pun turut menikmatinya”. Katanya. Uuuh, begitu geram saya, sehingga jari saya hampir putus saya gigit. Lalu saya berteriak lebih keras. “Kau memang batu. Batu. Kau tidak punya perasaan. Kau tidak pernah merasakan bagaimana mereka menghina kita dengan baju-bajunya yang baru, dengan perhiasannya, bahkan ketika ia memakai gigi emas ia selalu bertengger saja di jendela”. Lalu saya menangis. Dan kalian tahu apa yang dikerjakan suami saya? Kalian tahu? Saya lihat kemudian dia sudah mendengkur. Tidur. Kerbau. DENGAN SEDIH IA MELANGKAH KE PINTU ARAH MUKA. IA MENANGIS KINI. Kalau duduk sedang kemelut begini, saya selalu membayangkan saya bisa minggat saja dari sini. Dulu saya bayangkan, saya akan bisa tidur dengan nyaman dalam pelukan Mas Broto, sekarang kenyataanya saya seperti tidur dalam sebuah terali dengan seekor harimau. Dia buas tapi juga seperti cacing. Lekas gugup, nafasnya bau, tapi tak punya tenaga seperti orang sakit-sakitan. Betulbetul bisa gila saya kalau terus-terusan begitu. Sudah terlampau sering saya ludahi potretnya dalam album itu ketika dia tak ada. Saya bahkan bayangkan kalau saya bisa minggat barangkali saya akan bisa tidur di atas ranjang yang penuh bunga. RADIO KINI MEMPERDENGARKAN ACARA PILIHAN PENDENGAR. IA CAIR LAGI KINI. Dulu sewaktu saya masih berpacaran dengan Mas Beni Brewok itu, saya kerap berkirim-kiriman lagu lewat radio. Jangan bilang-bilang ya? Saya beri tahu kalian. Sebenarnya waktu pacaran itu saya sudah bercium-ciuman dengan Mas Beni. Yang pertama kali dalam becak. Tapi jelas suami saya tidak pernah tahu hal itu karena tak pernah saya beri tahu. LAGU DALAM RADIO ROMANTIS SEKALI. Di rumah bapak saya ada juga radio, meskipun Cuma radio roti. Setiap hari kamis siang, ya seperti ini, telinga saya rapatkan pada radio itu dengan hati dag dig dug. Kalau terdengar penyiar berkata : “Kemudian lagu in juga diminta oleh Mas Beni Sungkowo ditujukan kepada Dik Prita Kartika Sekota dengan ucapan : kapan kita berenang lagi?”. Oh, hancur hati saya. Oh, betapa menyenangkan berpacaran dalam kolam di pemandian itu. Mas Beni adalah
seorang lelaki yang tinggi besar dan brewok. Dalam pakaian mandi, dadanya nampak hitam karena begitu lebat simbarnya. Lucu. Tapi galak. Dari beberapa teman saya dengar sekarang ia masuk tentara. Pangkatnya kopral kalau tak salah. Terus terang, setengah bulan yang lalu saya lihat dia di jalan dekat pemandian itu. Dia mengendarai sepeda motor. Sayang sekali dia tidak melihat saya. Terus terang saya katakan, sebenarnya dia mencintai saya setengah mati. Ya, sekalipun dia kerap berganti pacar. Tapi saya yakin, cintanya yang murni hanya untuk saya seorang. Dia pernah membisikkan di telinga saya : “Dik Prita, kalau di dunia yang fana kita tak sempat berjumpa, pasti di sorga kita kan tetap bersama”. Ah, sayang sekali Tuhan tak mempertemukan kami. SEKONYONG KEGELISAHAN YANG SANGAT MENYERANG DIRINYA NAFASNYA PENDEK-PENDEK DAN SELURUH BARANG DI SEPUTARNYA DIPANDANGINYA DENGAN GERAKAN MATA YANG SANGAT CEPAT. DIA KELIHATAN SEKALI SESAK NAFAS. MIMIK KEBENCIAN TERTERA DI WAJAHNYA. DIA SEPERTI HENDAK MENGHANCURKAN KE EMPAT DINDING ITU. TAPI SEKONYONG PULA IA BERUBAH. IA SEPERTI MEMBEKU KINI. IA MERASAKAN TUBUHNYA SEPERTI KAPAS KINI. bonceng di atas sepeda motornya, ah........! Betapa anggunnya bonceng di atas sepeda motor dengan seorang tentara yang gagah, seorang kopral..... TERDENGAR SUARA SEPEDA MOTOR FADE IN STOP. YA. TENTU SAJA CUMA DALAM PIKIRAN PEREMPUAN ITU. SEGERA SAJA IA MEMBETULKAN DIRINYA DAN SEGERA PERGI KE KAMAR MUKA. OFF STAGE. Mas Beni! ----Lama nian kita tak pernah bersua----Mas Beni sekarang sombong ----Sombong. Beberapa hari yang lalu saya lihat Mas naik sepeda dekat pemandian, tapi Mas diam saja----Pura-pura makan tahu. Pura-pura tidak tahu ----TIDAK LAMA KEMUDIAN DIA DENGAN MAS BENINYA MUNCUL DARI KAMAR MUKA. Kenapa segan-segan Mas, suami saya tidak di rumah. Jam berapa sekarang? ----Masih agak lama baru dia pulang ----PEREMPUAN ITU MEMANDANGI “LELAKI” ITU DENGAN MESRA. KEMUDIAN MEREKA BERCIUMAN. Kau tampak tambah gagah Mas. Kau sungguh-sungguh jantan dunia ----PEREMPUAN ITU MERABA PUNDAK MAS BENINYA DENGAN MESRA DAN BERNAFSU. Kau terlalu tega Mas. Kenapa kau tidak merebut aku dari Mas Broto? ----Saya kira dulu kau mencintai saya, ----Tidak. Kau tidak sayang pada Prita. Kau pasti benci pada Prita. Kau pasti benci pada Prita ----PEREMPUAN ITU DENGAN MANJA MELEPASKAN TANGANNYA DARI PUNDAK MAS BENINYA. DAN MENJAUH DAN DUDUK DI SALAH SEBUAH KURSI. MAS BENINYA MENGIKUTI DAN KEMUDIAN BERDIRI DI BELAKANGNYA.
Kau tega. Kau tega. Kau tega.----Kau tega membiarkan saya makan sambal setiap hari. ----Kau tega membiarkan saya makan sayur bayam setiap hari. ----Kau tega membiarkan saya makan sayur daun singkong setelah tanggal duapuluh setiap bulan.----Kau tega membiarkan saya dihina oleh tetangga yang bergigi emas itu. ---Kau tega membiarkan saya tidur seranjang dengan seekor harimau bertenaga cacing itu. ----Kau tega. Kau tega. Kau tega. ----Betul? Oh! TANGAN PEREMPUAN PADA BENI BREWOK SEKARANG. Sungguh? Oh, Mas, kau membuat saya ingat kolam itu. Mas Beni. ----KEMBALI MEREKA BERCIUMAN. BERKALI-KALI MEREKA BERCIUMAN. KEMUDIAN MEREKA REBAH DI KURSI MALAS. NAFSU MEREKA SAMPAI PADA TITIK PUNCAK KULMINASI. MEREKA BERGULAT SEPERTI BINATANG DI SANA. SUNGGUH-SUNGGUH ALAMIAH. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN PEREMPUAN DAN LELAKI ITU MELEPASKAN LELAHNYA. DAN SEMENTARA ITU MAS BENI MENUTURKAN SUATU RENCANA PRITA MENDENGARKAN DENGAN ASYIKNYA SEHINGGA TAMPAK IMPIAN MENGGERAK-GERAKKAN MATANYA. Alangkah indahnya. Ya, Mas. Bukan hanya di sorga tapi di duniapun kita akan tetap bersama. Hidup seranjang mati seliang, itulah semboyan percintaan kita, Mas.----- (BANGKIT DUDUK). Betul? Oh saya jadi ingat cerita wayang, bagaimana Noroyono melarikan Dewi Rukmini. ----SEKONYONG PEREMPUAN ITU BANGKIT SENDIRI. Minggat ke Jakarta Mas? Oh, Kresnoku! Kresnoku! Kresnoku! ----DIA DALAM PELUKAN MAS BENI KINI. Rumah bagus. Pakaian bagus. Meja makan dengan makanan yang lezatlezat. Kamar tidur yang penuh wewangian. Sungguh-sungguh nirwana. ----Mas, kita tak boleh menunggu lama-lama. ----Kenapa mesti bulan depan? Kenapa mesti menanti lama? Jangan perdulikan. Apakah kua akan terus membiarkan selama sebulan saya makan sambal terus-terusan? Mas, rasakanlah apa yang kurasakan. Ingatlah janji-janji kita. Pegang teguhlah semboyan percintaan kita. ----Tidak, Mas. Tidak. Tak tahan saya sudah. Pingsan saya setiap kali mencium bau apak rumah ini. Tahan saya. Mas. Tirulah perbuatan Kresno. Bagi Kresno tak ada tembok yang tinggi yang sanggup menghalangi cintanya pada Dewi Rukmini.----Sekarang tak ada seorangpun yang kuasa menghalangi saya. Kemauan saya bulat-bulat penuh sudah. ----Tidak. Mas. Dulu memeng bapak saya masih berhak turut campur atas diri saya, sekarang tidak lagi. Tidak siapapun. Sekarang tak ada lagi yang perduli apakah kau malas bersembahyang apakah tidak. Sekarang tak ad lagi yang boleh menghalangi saya memilih laki-laki, entah laki-laki itu suka baca kitab suci apakah suka baca buku-buku silat. Sekarang aku kau punya, Mas. Kau punya. ----kau hanya. Penuh. Pasrah. Rela. Tanpa syarat apa-apa. ----- kenapa kau diam
saja? Kau malah diam? Hilangkah semangat Kresno itu? Hilangkah? (MENANGIS) Oh, saya ini memang Klenting Kuning yang malang. Oh, saya ini memang Bawang Putih yang malang. Apakah saya harus menceburkan diri ke laut seperti yang dilakukan Dewi Surati? ----- Kau masih diam? Saya sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa seorang perempuan harus lebih berani dari pada seorang lakilaki. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti. Apa yang ada dibalik tubuhmu yang besar tegap itu Mas? Angin? Oh, rupanya kau tak lebih Cuma Sengkuni! ----Jengkel betul saya! ----- DUDUK PEREMPUAN ITU. Ya? (BANGKIT) ----- Betul? ----- Kau tidak main-main? ----- Oh, saya senang sekali. Senang sekali mendengarnya. Senang. Senang. Senang sekali. Oh, ---- Oh, kau memang Kresnoku. Kau sungguh-sungguh Kresno. Jangan bicara apaapa lagi. Tak ada lagi gunanya kata. Perbuatan nyata yang harus ada. Ayolah. Jakarta. Ayolah. Rumah bagus. Ayolah. Pakaian bagus. Ayolah. Makanan lezat. Ayolah. Ranjang kencana. Ranjang kahyangan. Ayolah. Nafas bahagiaku berdesah. Ayolah. ----KETUKAN PADA PINTU. PEREMPUAN ITU TERPERANJAT DAN PUCAT. Mas Beni! KETUKAN PADA PINTU, KEDUA TANGANNYA PADA MULUTNYA. IA SERASA HENDAK PINGSAN. Dia! Tuhan. KETUKAN PADA PINTU. PEREMPUAN ITU TERDUDUK DI KURSI MALAS DAN MENANGIS SANGAT PARAH SEKALI. Kalian pasti mengerti sudah. Ketukan itu ketukan suami saya ----- saya menyesal sekali kenapa tak berpikiran demikian. PEREMPUAN ITU MENANGIS PARAH. Salah saya. Kesalahan saya yang terbesar selama ini. Karena saya selalu membayang-bayangkan hidup ini. KETUKAN PADA PINTU. Tapi saya yakin siapapun pernah berpikiran demikian dalam hidupnya. Kalian tentu sudah tahu apa yang sebaiknya saya perbuat sekarang. Sebagai istri yang baik saya akan menghapus air mata saya seakan saya tidak habis menangis. DIHAPUSNYA AIR MATANYA. Kemudian saya akan berlaku seakan saya tak pernah berpikiran apa-apa. Saya akan menyambut suami saya dengan manis dan mesra seolah-olah saya tak pernah membayangkan apa-apa. KETUKAN PADA PINTU. Sebentar, sayang! TERDENGAR SUARA LAKI-LAKI. OFF STAGE. Prita! SERAYA MENGUCAPKAN KATA-KATA MESRA PEREMPUAN ITU MELANGKAH CEPAT. DAN KALAU DIA MENINGGALKAN RUANG MAKAN DAN RUANG TENGAH ITU MENUJU KAMAR MUKA MAKA TANDANYA SELESAILAH SANDIWARA SINGKAT INI.
Naskah ini diketik ulang dari majalah Budaya Jaya nomor 10 tahun ke dua Maret 1969.