Prinsip Hukum Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Masyarakat Banjar Gt. Muzainah Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari The legal principles of women position in the Banjar community customary law are reflected from the legal norms used in the division of inheritance in lembaga damai (peace institute) by means of peaceful settlement (islah /faraid islah). The process in the so called lembaga damai shows how women position is recognized as heir. This study is conducted to identify the legal norms of inheritance and the legal norms of women position in the Banjar community customary law. This study employs normative methods which data is drawn from primary, secondary and tertiary legal materials and from in depth interviews with the key informant. The result of the study shows that the Banjar legal norms on inheritance which is implemented in the lembaga damai is executed with peace settlement (islah/faraidh islah). Women are recognized as heir and their part of inheritance is relative—can be larger than men, can be equal to men, or can be less than men. This relative magnitude of inheritance indicates that the principle of divine, the principal of benefit and balance which it all rest on “maslahah mursalah” proposition are well applied. Keywords: Lembaga Damai, islah and faraidh islah, principle of divine, benefit and balance. Prinsip-prinsip hukum kedudukan perempuan dalam hukum adat masyarakat Banjar terlihat pada norma-norma hukum yang dipergunakan dalam pelaksanaan pembagian warisan pada “lembaga damai” dengan cara islah dan faraid-islah. Proses pada lembaga damai ini memperlihatkan bagaimana perempuan diakui kedudukannya sebagai ahli waris dan besarnya bagian warisannya. Penelitian bertujuan menemukan norma hukum waris dan prinsip-prinsip hukum kedudukan perempuan dalam hukum waris adat masyarakat Banjar tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, dengan meneliti bahan hukum primer dan sekunder serta tertier yang ditunjang dengan data dari hasil wawancara bersama “key informan”. Dengan studi dokumentasi hasilnya dianalisa dengan menginterpretasikan bahan yang dikumpulkan secara kualitatif dengan logika deduktif, yaitu beranjak dari penemuan norma hukum adat dan kemudian menarik prinsip-prinsip hukumnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa norma hukum waris adat masyarakat Banjar terdapat dalam “lembaga damai” yaitu dilakukan dengan cara islah dan faraid islah, kedudukan hukum perempuan diakui sebagai ahli waris dan besarnya bagian bersifat relatif, yaitu bisa lebih besar dari laki-laki, bisa sama dengan laki-laki dan bisa lebih sedikit dari laki-laki. Relatifnya bagian warisan tersebut ditemukan dalam penelitian adanya prinsip-prinsip Ketuhanan, prinsip kemanfaatan dan prinsip keseimbangan yang semuanya bersandarkan pada dalil “maslahah mursalah”, sehingga hukum waris adat masyarakat Banjar tidak membedakan kedudukan hukum perempuan dengan kedudukan hukum laki-laki. Kata kunci: Lembaga damai, islah dan faraid islah, prinsip Ketuhanan, kemanfaatan dan keseimbangan
Pendahuluan Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari-Juni 2014, 15-35
15
Gt. Muzainah Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum yang terbentuk dan mengikat bagi masyarakat adat. Keberadaannya tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh kembang masyarakat adat tersebut, oleh karena itu hakikinya hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis. Oleh karena sifatnya yang tidak tertulis tersebut, maka hukum adat mempunyai tingkat internalisasi yang dalam bagi masyarakat adat, sehingga tingkat kepatuhan atau ketaatannya sangat tinggi. Tumbuh dan berkembangnya hukum adat dalam masyarakat adat telah memberikan gambaran tentang tatanan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat dalam mengatur kehidupan mereka. Pemahaman yang seperti ini telah menyadarkan kepada mereka yang meneliti hukum adat, bahwa dalam hukum adat tersebut terkandung hakikat kehidupan yang sangat dalam, yang di dalamnya terdapat kristalisasi dari berbagai keyakinan dan ideologi masyarakat tersebut yang hanya bisa difahami atau dimengerti dengan melihat secara kasuistis pada masyarakat adat tersebut. Kristalisasi berbagai nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam hukum adat itulah yang menjadikan hukum adat dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat adat dengan tingkat kesadaran yang tinggi. Kandungan substantif hukum adat yang seperti itu, maka hukum adat diyakini tidak hanya mengatur hubungan para anggota masyarakat hukum adat, akan tetapi juga mengatur hubungan dengan alam dan Tuhannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dalam tradisi masyarakat hukum adat selalu disertai
16
Kedudukan Perempuan
dengan berbagai upacara adat dan persembahan-persembahan (selamatan). Hukum adat dimaknai oleh masyarakat hukum adat secara mendalam, bukan hanya dalam perspektif normatif formal semata sebagaimana terhadap hukum positif. Keberadaan hukum adat yang melekat pada kehidupan masyarakat adat dimaknai sebagai ”roh” dari kehidupan masyarakat adat, sehingga aspek normatif yang terwujud dalam petuahpetuah ”tetuha” atau tokoh adat hanyalah refleksi dari keyakinankeyakinan kehidupan yang mereka yakini untuk mewujudkan keselamatan, kedamaian dalam kehidupan masyarakat adat tersebut. Pemaknaan hukum dalam perspektif hukum adat yang seperti inilah yang menjadikan hukum adat itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari hari, karena hukum adat bagian sistem kehidupan mereka secara keseluruhan dalam kehidupan. Pengingkaran terhadapnya berarti telah mengingkari kehidupan itu sendiri yang harus mereka tegakan, dan mekanisme penegakan hukum adatpun menjadi unik yang tidak semata berorientasi kepada mereka yang melanggar hukum adat tersebut, akan tetapi juga berorientasi pada pengembalian keseimbangan dalam sistem kehidupan itu sendiri. Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang ada pada masyarakat adat bertujuan mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tenteram dalam masyarakat, dengan adanya kedamaian dan ketenteraman itulah akan tercipta keadilan hukum bagi mereka. Dalam hal ini pemaknaan keadilan lebih terarah pada keseimbangan dari berbagai aspek dalam tatanan nilai-nilai kehidupan
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
yang diyakini untuk keselamatan kehidupan individu dan masyarakat, bahkan sampai kepada dimensi spritual. Keadilan bagi masyarakat adat merupakan gambaran tatanan keseimbangan menyatunya kehidupan individual kepada sistem keseimbangan alam semesta sebagai suatu tatanan yang integral yang tidak terpisahkan. Dengan demikian nilai-nilai keadilan yang ditegakan tidak ditujukan kepada keadilan invidual, melainkan keadilan bagi masyarakat dan sistem nilai alam semesta. Masalah keadilan dalam hukum adat secara umum dapat pula dilihat dalam kajian keadilan hukum secara umum sebagai masalah yang telah memiliki sejarah pemikiran yang panjang, karena tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno. Walaupun keadilan dalam hukum adat berbeda konsepnya seperti yang ada dalam kajian-kajian keadilan dalam hukum secara umum. Seperti yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas (Filsuf Hukum Alam) membedakan keadilan dalam dua kelompok, yaitu keadilan umum (Justitia Generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus dilaksanakan demi kepentingan umum. Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan antara keadilan distributive (Justitia Distributiva), keadilan komutatif (Justitia Commutative) dan keadilan vindikatif (Justitia Vindicativa). Keadilan distributive adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Dalam hukum adat, keadilan memiliki makna yang lebih luas, yang tidak hanya diterjemahkan atau
Gt. Muzainah dimaknai dalam aspek material saja, yaitu cita-cita keadilan masyarakat, tetapi juga menyangkut pula keadilan bagi keseimbangan alam semesta dan spritualitas masyarakat adat. Terlebih lebih lagi kalau dilihat dari teori-teori hukum adat yang berorientasi kepada pemberlakuan hukum agama bagi penganutnya dalam masyarakat adat tersebut. Keberadaan hukum adat dalam masyarakat adat berfungsi menyatukan seluruh anggota masyarakat dalam satu kesatuan cita hukum untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta terciptanya keseimbangan dengan alam semesta dan nilai-nilai spritualitas masyarakat. Kedudukan fungsinya yang demikian itu, maka hukum adat lebih dari sekedar menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adat, akan tetapi juga sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai budaya dan spritualitas masyarakat. Hukum waris adat adalah salah bagian dari hukum adat secara keseluruhan, dan yang ada dalam hukum adat ini tidak mengenal adanya pembidangan hukum seperti dalam ilmu hukum umumnya. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum privat dengan hukum publik, kedua bidang hukum seperti ini telah menyatu dalam aturan hukum adat. Oleh karena itu pada saat pembahasan hukum waris, maka yang diketahui hanyalah bagian dari hukum adat. Masyarakat Indonesia secara sosial dan secara hukum sangat beragam, sehingga mengakibatkan kondisi hukum waris yang berlaku juga bersifat plularistis. Pluralistis yang dimaksudkan adalah terdapatnya berbagai sistem hukum waris yang berlaku, yaitu sistem hukum waris Barat (berdasar Burgelijk Wetboek), sistem hukum waris Islam, dan sistem
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
17
Gt. Muzainah hukum waris Adat. Masing-masing sistem hukum waris tersebut berbeda pengaturannya, dalam sistem hukum waris barat yang merupakan ahli waris adalah laki-laki dan perempuan dengan tidak membedakan hak nya terhadap warisan tersebut. Ketentuan waris yang juga banyak diyakini oleh masyarakat Indonesia adalah hukum waris Islam. Hukum waris lslam ketentuannya bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadist Rasulullah saw juga Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu segala hal yang menyangkut ketentuan mengenai warisan diatur berdasarkan sumber hukum tersebut. `Ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur‟an Surah An Nisaa ayat 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, diantaranya bagian seorang anak lakilaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dari ibu bapak, bagi masing-masingnya 1/6 dari harta yang ditinggalkan, dan seterusnya. Ketentuan kedudukan ahli waris dalam hukum juga dapat dilihat dalam hukum waris adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Dalam hal mengenai kedudukan ahli waris, hukum adat melihatnya atas sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat tersebut. Dengan demikian maka bentuk dan sistem hukum waris masyarakat adat sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah
18
Kedudukan Perempuan
diketahui di Indonesia secara umum setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Dengan demikian untuk mengetahui serta mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia, haruslah terlebih dahulu mengetahui sistem kekeluargaan tersebut. Adapun sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Indonesia terdapat tiga sistem, yaitu sistem patrilineal, matrilineal dan bilateral. Ketiga sistem keturunan ini mempunyai karakter dan sifat-sifat kekeluargaan yang unik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Permasalahan pengaturan hukum waris adat yang berlaku di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas terletak pada pengaturan yang didasarkan pada sistem kekerabatan. Pada sistem kekerabatan menentukan kedudukan ahli waris yang dilihat dari jenis kelamin atau gender para ahli waris. Kedudukan ahli waris berdasar sistem kekeluargaan yang dianut, ini dapat dinilai bersifat diskriminatif, karena pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal hanya laki-laki saja yang berkedudukan sebagai ahli waris, sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan perempuan, yang berkedudukan sebagai ahli waris hanya pihak perempuan. Berbeda dengan sistem kekeluargaan bilateral atau parental, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berkedudukan sebagai ahli waris. Konstitusi mengakui keberadaan hukum adat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 B UUD 1945 telah menunjukkan: “Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Jaminan konstitusi tersebut sepanjang hukum adat itu masih hidup, dan hukum adat sesuai dengan perkembangan masyarakat serta sesuai dengan prinsip
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan dan pengakuan terhadap keberadaan hukum adat sebagaimana disebutkan di atas, menujukkan bahwa hukum adat dalam sistem hukum nasional dijamin dan dihormati dengan syarat realitas dan syarat idealis. Secara realitas hukum adat tersebut hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, sedangkan secara idealis hukum adat tersebut adalah hukum adat yang sesuai dengan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia dan oleh karenanya keberlakuannya diatur dalam perundang-undangan. Pengakuan konstitusi terhadap hukum adat yang seperti inilah yang kemudian menjadikannya hukum adat sebagai salah satu sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional. Oleh karenanya penggalian terhadap hukum adat mempunyai urgensi yang tak tertolak secara normatif, dalam kerangka pembinaan hukum nasional. Masyarakat Banjar dalam konteks sosiologis merupakan masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang religius. Oleh karena itu nilai-nilai yang dianut dan tercermin dalam kehidupan sehari hari menunjukkan perilakuperilaku pengamalan ajaran agama Islam, termasuk diantaranya mengenai perkawinan dan warisan. Suasana yang religius ini tentunya berakar dalam tradisi masyarakat Banjar itu sendiri yang tidak terlepas dari pandanganpandangan sosial budaya yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Banjar. Pemahaman yang seperti ini, secara sosiologis untuk dapat memahami apa-apa yang dilakukan, diyakini dan dijadikan norma oleh masyarakat Banjar hanya dapat difahami kalau dilakukan penelitian secara langsung atau masuk langsung dalam masyarakat Banjar tersebut.
Gt. Muzainah Konsep-konsep yang digunakan mungkin saja ada kesamaan konsep dengan masyakat lainnya di Indonesia atau bahkan di dunia, tetapi latar belakang sejarah dan kondisi sosial dan spiritual yang melatar belakanginya tentu berbeda. Dengan kata lain terhadap suatu “konsep” yang sama sekalipun, terdapat perbedaan dalam spirit pada konsep tersebut. Perbedaan ini hanya dapat difahami dan dirasakan pada saat masuk langsung ke objek penelitian pada masyarakat Banjar tersebut. Karakter melekatnya agama Islam dalam masyarakat Banjar tersebut, sejalan dengan pengertian hukum adat yang telah digariskan dalam seminar hukum adat tahun 1976. Hal ini perlu ditegaskan dalam melihat hukum adat yang ada di Kalimantan Selatan, karena dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Mallincrodt yang disebutnya dengan Adatrecht van Borneo pada dasarnya adalah hukum adat Dayak yang bukan beragama Islam. Begitu pula Van Vollenhoven dalam pembagian wilayah berlakunya hukum adat (Adatrechtskring) menyebutkan Adatrechtskring Borneo yang dimaksudkannya adalah hukum adat Dayak, dan untuk orang Banjar Melayu dimasukannya ke dalam kelompok Adatrechtskring Melayu. Penekanan karakter agama Islam dalam membahas hukum adat Banjar berarti memasuki pembahasan dalam hukum adat tentang hubungan antara agama (Islam) dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hubungan antara agama (Islam) dengan hukum adat telah lama menjadi objek kajian oleh para ahli hukum, sebab dalam kerangka ini sebagaimana diketahui terdapat teori-teori yang dilahirkan oleh para ahli hukum tersebut. Ada teori yang saling bertentangan, yaitu teori
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
19
Gt. Muzainah receptio in complexu dan receptie theorie, serta receptio a contrario. Penelitian bidang hukum waris adat yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin (Tahun 1980), yang menyimpulkan bahwa “hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Banjar pada dasarnya adalah hukum Islam”. Sementara Hasil penelitian tersebut ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (tahun 1980), hasilnya menyimpulkan bahwa „hukum yang berlaku adalah hukum adat yang telah banyak mendapat pengaruh dari hukum Islam”. Begitu pula hasil penelitian Tim Puslit Unlam menyimpulkan bahwa “Hukum Adat yang berlaku dikalangan suku Banjar banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam”. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh H.Aberan pada tahun 1999. Terhadap masyarakat Banjar yang ada di Kota Banjarmasin menyimpulkan, bahwa “hukum kewarisan yang berlaku bagi masyarakat muslim Kota Banjarmasin adalah hukum Islam dan hukum adat, akan tetapi hukum adat yang berlaku disini tidak bertentangan dengan hukum Islam”. Terakhir penelitian yang dilakukan Ahmadi Hasan tahun 2005, dengan judul “Adat Badamai”, interaksi hukum Islam dengan hukum adat pada masyarakat Banjar”. Hasil kesimpulan penelitian ini adalah tentang penyelesaian sengketa dengan “adat berdamai”. Pembahasan berikut ini akan mengemukakan tentang prinsip-prinsip hukum kedudukan perempuan dalam hukum waris adat masyarakat Banjar, prinsip prinsip hukum dimaksud adalah abstraksi dari norma hukum waris adat yang berlaku pada masyarakat Banjar dan dari prinsip-prinsip itu dilihat bagaimana kedudukan hukum perempuan. Kedudukan perempuan dalam artian pengakuan terhadap
20
Kedudukan Perempuan
perempuan sebagai ahli waris dan hakhak yang didapatkannya dalam proses pembagian harta warisan. Pembahasan Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Adat Banjar Pembahasan tentang kedudukan perempuan dalam hukum waris adat, tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai hukum waris adat. Karena kedudukan perempuan dalam hukum waris adat adalah salah satu bagian dari hukum waris adat secara keseluruhan. Hukum waris adat pada dasarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya atau kepada keturunannya. Menurut Ter Haar,”.... het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het boeiende, eeuwige process van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen van generatie op generatie”. artinya, “...hukum waris adat adalah peraturan-peraturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad keabad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Soepomo juga menegaskan kembali bahwa, "Hukum waris adat membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas lndonesia yaitu bercorak “ke Indonesiaan” sebagai tumbuh dan berkembangnya hukum adat tersebut. Hukum waris adat itu berbeda dengan
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
hukum lslam dan hukum Barat, sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran Bangsa lndonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup. Pandangan pandangan yang “khas” dan diyakini kebenaran normatifnya oleh masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari berbagai ketentuan yang terdapat dalam sub sub bagian masalah dalam hukum waris adat tersebut, seperti dalam masalah harta warisannya. Harta warisan dalam hukum waris adat tidak merupakan satu kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris. Dengan demikian harta warisan menurut hukum adat tidak semata mata dilihat dari aspek nilai ekonomisnya seperti pada hukum waris barat pada umumnya, akan tetapi terdapat harta warisan yang mempunyai nilai immaterial yang tidak dapat ditentukan nilai ekonomisnya, seperti barang barang pusaka yang dianggap “bertuah” atau mesti dipelihara oleh ahli waris tertentu. Ciri khas lainnya, selain tidak dapat dinilai secara ekonomis, pada jenis-jenis tertentu harta warisan adat ada juga yang tidak boleh dijual yang nantinya dapat disatukan nilai ekonomisnya dengan harta warisan lainnya, sehingga harta jenis ini tidak dapat dibagi bagi sebagaimana harta yang mempunyai nilai ekonomis. Harta warisan jenis ini justeru dipelihara keberadaannya tanpa dibagi, dan hanya penguasaannya diserahkan kepada salah seorang ahli waris yang dianggap
Gt. Muzainah dapat menjaga harta warisan tersebut. Dalam masyarakat Banjar harta warisan jenis ini termasuk seperti harta warisan dalam bentuk “kitab-kitab”. Dilihat dari aspek sistem pewarisan, maka terdapat beberapa macam sistem pewarisan dalam hukum waris adat, yaitu : sistem keturunan, sistem pewarisan individual, sistem pewarisaan kolektif dan sistem pewarisan mayorat, (mayorat laki-laki atau mayorat perempuan, tergantung sistem kekeluargaan yang dianut). Sistem pewarisan keturunan dapat dibedakan dalam 3 corak : Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak atau ayah. Dalam sistem ini kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan perempuan dalam sistem pewarisannya. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu atau perempuan. Pada sistem ini kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam sistem pewarisannya. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari kedua garis keturunan orang tua yaitu dalam sistem bilateral ini menarik garis keturunan dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi bapak dan sisi ibu (laki-laki dan perempuan). Sistem parental atau bilateral ini dapat dikatakan sistem gabungan dari kedua sistem pewarisan di atas, sehingga dalam sistem pewarisannya menempatkan laki-laki dan perempuan (ayah dan ibu) pada kedudukan yang sama. Sistem warisan individual, atau disebut juga sistem perseorangan, adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Sistem individual ini
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
21
Gt. Muzainah banyak berlaku dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatannya parental. Kebaikan dari sistem ini bahwa dengan pemilikan secara pribadi, maka waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan bagiannya untuk dapat dipergunakan sebagai modal kehidupan. Sedangkan kelemahan dari sistem pewarisan individual ialah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Berbeda dengan sistem pewarisan individual, sistem pewarisan dengan sistem kolektif mengatur sistem pewarisan yang mana harta warisan atau harta peninggalan diteruskan dan atau dialihkan kepemilikannnya dari pewaris kepada ahli waris sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi penguasaan atau kepemilikannya. Sistem kolektif menentukan harta warisan tidak dibagi bagi kepada individu ahli waris, melainkan dimiliki secara bersama-sama. Adapun pada setiap waris berhak atau diberikan hak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Dengan demikian terhadap harta warisan tidak dilakukan pembagian, akan tetapi dimiliki atau dikuasai secara kolektif dan kepada ahli waris diberikan hak-hak seperti mengusahakan harta warisan, atau mendapatkan hasil dari penguasahaan tersebut, sehingga harta warisannya dalam hal ini masih utuh. Sistem pewarisan kolektif ini pada dasarnya tidak membedakan kedudukan laki-laki dan atau perempuan, atau tidak melihat dari sisi gender ahli waris dan pewaris. Adapun yang menjadi pertimbangan dalam mengelola dan menikmati hasil dari harta warisan adalah kemampuan dan ahli waris dan
22
Kedudukan Perempuan
kemanfaatan bagi ahli waris dari hasil usaha harta warisan tersebut. Dalam hal ini siapapun ahli warisnya, baik itu laki laki ataupun perempuan kalau dinilai mampu mengusahakan harta warisan, maka dialah yang menjadi pihak dipercaya untuk mengelola atau mengusahakan harta warisan tersebut. Penelaahan terhadap sistem mayorat akan menunjukkan juga pada dasarnya atau sesungguhnya sistem mayorat ini adalah juga sistem pewarisan kolektif atau bagian dari sistem pewarisan kolektif. Hanya saja dalam sistem mayorat ini penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Pada sistem mayorat terdapat dua macam sistem, yaitu mayorat laki-laki dan mayorat perempuan. Pada sistem yang mayorat laki-laki telah menempatkan kedudukan laki laki di atas kedudukan perempuan, akan tetapi dalam mayorat perempuan, maka kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada kedudukan laki laki. Oleh karena itu pada sistem pewarisan mayorat dapat disimpulkan bahwa kedudukan laki laki dan perempuan adalah seimbang. Sistem kekeluargaan dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal pada dasarnya menempatkan pihak laki-laki lebih dominan dalam masyarakat tersebut. Hal ini berdampak pula dalam sistem pewarisannya. Dalam sistem patrilineal ini kedudukan perempuan bukan sebagai ahli waris. Dengan demikian kedudukan perempuan baik sebagai istri (janda), maupun anak kandung bukanlah dikategorikan sebagai ahli waris. Secara singkat dapat dikatakan dalam
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal ini tidak mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris. Kajian-kajian untuk mengetahui perbedaan peran dan kedudukan laki laki dengan perempuan dalam perspektif gender akan melihatnya dari dua aspek, yaitu aspek pengakuan dan aspek akses. Pada aspek pengakuan adalah aspek normatif yang dalam konsep sosial bagaimana suatu masyarakat mengakui keberadaan, kedudukan dan hak hak perempuan dalam masyarakat. Pandangan ini dipengaruhi oleh tata nilai yang berlaku pada masyarakat tersebut. Sedangkan pada sisi akses, peran dan kedudukan perempuan dilihat seberapa besar tata nilai masyarakat memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan dalam mengambil keputusan dalam suatu kebijakan yang diambil pada proses kehidupan masyarakat. Pembahasan mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat adat, juga bisa dilihat dalam perspektif gender seperti itu. Pertama akan dilihat bagaimana kedudukan perempuan tersebut dalam masyarakat adat, khususnya yang berkenan dengan masalah warisan. Sebagaimana yang dibahas terdahulu, bahwa pengakuan terhadap kedudukan perempuan dalam hukum waris adat sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Begitu pula terhadap akses perempuan dalam proses musyawarah pembagian waris juga sangat tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian baik dari sisi pengakuan maupun dari sisi akses, maka kedudukan perempuan dalam hukum waris adat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Gt. Muzainah Pemahaman terhadap pengakuan dan akses dari perempuan dalam hukum waris adat tersebut tidaklah bersifat mutlak “hitam putih” atau “linear”, karena dalam beberapa kasus tertentu walaupun perempuan diakui kedudukannya dalam sistem kekerabatan tertentu, akan tetapi ada pembatasan-pembatasan akses pada saat terjadinya proses pembagian warisan. Permasalahan akses bagi perempuan dalam proses pembagian warisan, sama pentingnya dengan pengakuan akan kedudukan perempuan dalam hukum waris adat tersebut. Karena kalau perempuan mendapatkan akses dalam proses pembagian warisan tersebut, maka perempuan tidak hanya dapat memperjuangkan hak normatifnya, akan tetapi juga berperan untuk memberikan pertimbanganpertimbangan dalam menentukan pembagian warisan tersebut. Hal ini lebih-lebih dalam masyarakat adat yang umumnya lebih mempercayakan perempuan untuk merawat orang tuanya, yang kelak orang tua inilah yang akan meninggalkan harta warisan. Bagaimana permasalahan kedudukan perempuan ini dalam hukum waris pada masyarakat Banjar. Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa kedudukan perempuan dalam hukum waris adat sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan dalam masyarakat hukum adat tersebut. Oleh karena itu dengan sendirinya harus dilihat terlebih dahulu sistem kekerabatan masyarakat Banjar sebelum membahas dan menganalisa kedudukan perempuan dalam masyarakat adat Banjar tersebut. Masyarakat Banjar atau masyarakat adat Banjar menganut sistem kekeluargaan yang bersifat sistem kekeluargaan bilateral atau parental, sehingga dalam masyarakat
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
23
Gt. Muzainah Banjar kedudukan perempuan dan lakilaki sama-sama berkedudukan sebagai ahli waris. Oleh karena itu, sebatas pengakuan terhadap ahli waris perempuan, maka sebagai masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan bilateral atau parental, dalam masyarakat Banjar telah mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris, baik itu ahli waris dalam kapasitas “janda” ataupun dalam kapasitas “anak” sebagai ahli waris. Sifat uniknya kedudukan perempuan dalam hukum waris adat masyarakat Banjar ini akan terlihat dari sisi akses dan bagian yang didapatkan dari harta warisan tersebut yang ada kaitannya dengan hukum agama yang dianut oleh masyarakat Banjar. Pada proses pembagian warisan pada masyarakat Banjar terdapat peran tokoh masyarakat yang disebut “tetuha kampung” atau “tuan guru” atau “abah guru”, yaitu tokoh yang dianggap mengetahui permasalahan agama, termasuk dalam masalah warisan. Posisi sentral tokoh masyarakat ini menjadikannya sangat berperan dalam proses penentuan ahli waris dan proses pembagian warisan. Adapun adat yang berlaku pada masyarakat Banjar, manakala terjadi peristiwa hukum yang membawa akibat hukum pada adanya hak waris, maka pihak keluarga akan mendatangi tokoh masyarakat ini untuk berkonsultasi, sekaligus meminta pendapat tentang siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dan besarnya bagian masing-masing. Umumnya yang mendatangi tokoh masyarakat ini adalah laki-laki atau saudara tertua yang ada dikeluarga, oleh karena itu akses perempuan terhadap tuan guru atau tokoh masyarakat ini lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, sehingga ada dalam beberapa kasus informasi yang diberikan oleh pihak yang
24
Kedudukan Perempuan
berkonsultasi ke tuan guru ini menjadi tidak seimbang. Karakter agama Islam tersebut tentunya membawa konsekwensi apakah dalam permasalahan pembagian warisan berlaku pula syariat Islam, yaitu apakah pembagian waris antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan mengacu kepada ketentuan yang tertuang dalam Al-Qur‟an sebagaimana yang diatur dalam Qur‟an Surah An Nisa ayat (11) yang menentukan bahwa “lakilaki memperoleh bagian dua kali dari bagian perempuan”. Hasil penelitian menunjukan dalam masyarakat Banjar ternyata diperoleh data bahwa bagian perempuan tidak selalu menerima bagian harta warisan yang lebih sedikit dari pada pihak laki-laki. Dalam menerima harta warisan bisa dikualifikasi sebagai berikut (a) Perempuan mendapatkan bagian lebih sedikit dari pada bagian laki-laki; (b) Perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan bagian laki-laki; (c) Perempuan mendapatkan bagian yang lebih besar dari bagian laki-laki. Adanya variasi bagian harta warisan terhadap perempuan yang seperti ini disebabkan oleh adanya penetapan bagian harta warisan didasarkan kepada asas atau prinsip “manfaat” atau “kemanfaatan”. Asas kemanfaatan dalam proses pembagian harta warisan ini adalah suatu prinsip yang melihat kepada kemanfaatan dari harta warisan tersebut, artinya terhadap harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris, dilihat dari sekian ahli waris, maka ahli waris mana yang paling mengandung aspek kemanfaatannya. Kemanfaatan ini dilihat : (a) Siapa dari ahi waris yang paling memerlukan atau membutuhkan harta warisan tersebut dalam menjalani kehidupannya. (b) Siapa dari ahli waris yang paling banyak berperan dalam memelihara pewaris (orang tuanya) pada
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
saat pewaris sakit atau sudah tua. Disamping itu juga dilihat ahli waris mana yang banyak melayani kehidupan pewaris selama hidup. Kemanfaatan juga dilihat dari sifat harta peninggalan tersebut, hal ini biasanya berkaitan dengan barang-barang produktif atau barang pusaka yang akan mempunyai manfaat kalau harta peninggalan tersebut diserhkan kepada ahli waris yang dapat memanfaatkannya. Seperti perahu besar (jukung tiung), perahu kecil (jukung bedagang di pasar terapung) dan keris-keris, serta kitabkitab. Berdasarkan prinsip kemanfaatan tersebut, sesungguhnya dalam masyarakat Banjar tidak membedakan kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam menerima harta warisan, termasuk dalam proses pembagian warisannya. Oleh karena kedudukan perempuan sepenuhnya diakui sebagai ahli waris, dan kemudian bagian yang didapatkannya dapat saja justeru lebih besar dari pada bagian laki-laki sebagaimana dijelaskan dengan variasi di atas. Kedudukan perempuan sebagai ahli waris setara dengan kedudukan laki-laki. Mereka sama-sama berkedudukan sebagai ahli waris. Uraian mengenai hukum waris adat masyarakat Banjar tersebut di atas akan dapat dilihat dalam tataran teori-teori yang berkenaan dengan pertautan antara hukum adat dengan hukum agama, karena dari berbagai pendapat tentang pertautan antara hukum adat dan agama tersebut menjadi perdebatan secara akademis yang tidak selesai sampai sekarang. Maksudnya pada setiap daerah di Indonesia ini (termasuk masyarakat adat Banjar) telah mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga penelitiannya terus berkembang untuk mendapat hasil
Gt. Muzainah yang terbaru dari kondisi berlakunya hukum adat pada masyarakat. Ketentuan-ketentuan normatif yang diyakini kebenarannya dan secara sadar dilaksanakan sebagai hukum yang berlaku (“gelding recht”), hukum waris adat Banjar tersebut juga dapat ditarik asas asas hukum nya. Oleh karena itu dengan pola fikir dari norma ke asas, uraian berikutnya akan menginventarisir prinsip-prinsip hukum waris adat pada masyarakat Banjar tersebut. Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Kaitan Dengan Teori Pertautan Antara Hukum Agama dan Keberlakuan Hukum Adat Teori pertautan antara agama dan hukum adat ini pada akhirnya menjadi titik tolak untuk melihat bagaimana kedudukan perempuan dalam hukum adat, karena pandangan-pandangan nilai-nilai yang menjadi norma dalam hukum adat adalah hasil dari adanya pertautan antara hukum agama dan hukum adat. Dengan kata lain untuk memahami norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Adat, maka harus dimulai dengan melihat bagaimana norma-norma itu tumbuh dan berkembang dari “pergulatan” antara hukum adat dengan hukum agama. Kajian-kajian adanya saling mempengaruhi antara hukum adat dengan hukum agama ini telah terjadi dalam suatu proses sejarah yang panjang dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia, termasuk kehidupan masyarakat adat Banjar. Oleh karena itu pada saat mengkaji kedudukan perempuan dalam masyarakat adat Banjar, maka “pergulatan” antara hukum adat dengan agama dapat memberikan jawaban atas bagaimana norma-norma yang berlaku menurut hukum agama dan norma-norma yang
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
25
Gt. Muzainah berlaku dalam hukum adat saling mempengaruhi dalam memandang kedudukan hukum perempuan. Teori pertautan antara hukum agama dan hukum adat sebagaimana yang dijelaskan terdahulu yang sangat popular dalam hukum adat adalah teori “recectio in complexu”, “teori receptio” dan “teori recentio a contrario”. Ketiga teori ini telah memiliki dasar pandangan masing-masing dalam melihat pertautan antara hukum adat dengan hukum agama yang berlaku di Indonesia. Teori “receptio in complexu” oleh para penggagasnya secara tegas menyebutkan“Receptio in complexu oleh bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh kaum Islam dan hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk sesuatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jika dapat dibuktikan bahwa 1 (satu) atau beberapa bagian, adat-adat seutuhnya atau bagian-bagian kecil sebagai kebalikannya, maka terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam hukum agama itu; dan bahwa penyusun ajaran itu mau mengakui bukti penyangkal itu adalah suatu tanda, bahwa ia telah mempunyai penglihatan serta menghargai setinggitingginya kesadaran hukum nasional dari “rakyat berkulit sawo” dari raja Belanda”. Keberadaan Teori receptio in complexu ini kalau dianalisa dari hukum waris masyarakat Banjar dapat dikategorikan menganut teori ini. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang agamis, yang selalu melekat ciri sebagai penganut agama Islam. Nilainilai ajaran Islam sudah dilaksanakan pada proses pembagian warisan dengan meminta petuah dari Tuan Guru, yang
26
Kedudukan Perempuan
mana petuah Tuan Guru ini memberlakukan hukum agama, yaitu ketentuan yang terdapat dalam AlQuran. Selanjutnya pada proses pembagiannya mempergunakan lembaga “damai” dengan cara “islah” yang realitasnya ketentuan dalam petuah Tuan Guru dilaksanakan berbeda sesuai dengan hasil islah. Untuk melihat bagaimana kedudukan perempuan dalam hukum adat Banjar, maka akan dilihat bagaimana norma yang ditetapkan oleh “Tuan Guru” dalam lembaga pembagian warisan yang disebut Lembaga “bedamai” tersebut. Dari norma yang ditetapkan pada lembaga “bedamai” tersebut, kemudian dilihat bagaimana dalam proses pelaksanaan pada cara “islah” saat pembagian warisan dilakukan. Kedudukan perempuan dari norma yang ditetapkan dalam lembaga “bedamai” atau “damai” tersebut, terlihat jelas norma yang dipakai adalah norma hukum agama Islam dengan mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur‟an. Norma tersebut mengakui kedudukan perempuan dalam warisan, artinya perempuan diakui kedudukannya sebagai ahli waris. Pengakuan kedudukan perempuan sebagai ahli waris, oleh norma pembagiannya diatur berapa hak perempuan tersebut. Untuk ini sesuai dengan ketentuan hukum agama (AlQur‟an), masyarakat Banjar mengakui bahwa bagian perempuan adalah lebih sedikit dari pada bagian laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan terdahulu didasarkan kepada objektivitas masyarakat yang menempatkan laki-laki dalam tanggungjawab yang besar dalam kehidupan di masyarakat. Analisis dari perspektif teori receptio in complexu tersebut,
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
menggambarkan bahwa dalam masyarakat Banjar telah berlaku hukum agama, dan adanya norma pembagian yang menyimpang dianggap tidak bertentangan dengan norma agama karena adanya dalil “kemaslahatan” dalam hukum agama itu sendiri. Oleh karena itu pandangan yang menyatakan proses islah sebagai suatu yang dibenarkan dalam agama telah mewarnai pelaksanaan hukum-hukum agama pada masyarakat Banjar. Kecuali dalam hal ini adanya padangan bahwa hasil dari proses islah itu sebagai suatu yang bertentangan dengan norma agama Islam, maka pembahasannya akan menyentuh teori “receptie”. Teori receptie ini menyatakan dengan tegas bahwa hukum yang hidup dan berlaku bagi rakyat lndonesia terlepas dari apa pun agama yang dianutnya, hukum mereka adalah hukum adat. Sedangkan hukum Islam meresepsi ke dalam dan berlaku sepanjang dikehendaki oleh hukum adat. Mencermati pandangan teori receptif ini dapat disimpulkan bahwa fenomena hukum adat dan hukum agama adalah 2 (dua) hal yang berbeda. Hukum adat yang menentukan kapan dan dalam hal apa hukum Islam dapat diberlakukan. Keberadaannya pun dengan demikian tidak selalu bertolak belakang, namun dapat berhadaphadapan, Dengan demikian, konflik adalah suatu hal yang sangat mungkin di antara keduanya. Pernyataan yang tegas terjadinya pemilahan antara hukum adat dengan hukum agama dari teori “receptie” ini, maka sangat sulit memadankannya dengan hukum adat yang berlaku pada masyarakat Banjar. Artinya dengan prinsip yang seperti itu, teori receptie ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menganalisa hukum adat yang berlaku pada masyarakat Banjar. Walaupun
Gt. Muzainah sebagaimana yang dijelaskan di atas mungkin saja terjadi perbedaan pendapat mengenai dipakainya cara “islah” dalam lembaga “perdamaian” pada saat proses pembagian warisan. Berdasarkan uraian tersebut, maka urgensi menganalisa kedudukan perempuan dalam hukum adat Banjar berdasarkan teori receptie ini menjadi tidak relevan. Karena pembagian warisan dengan lembaga “Damai” melalui proses islah adalah didasarkan kepada ajaran agama Islam yang telah menyerap pula ketentuan hukum adat sebagai karakteristik lokalnya. Dan ini berarti adanya pengakuan kedudukan hukum perempuan dalam proses pembagian waris pada hukum adat Banjar didasarkan oleh ajaran Islam dan norma hukum adat yang berlaku pada masyarakat Banjar tersebut, dan norma hukum adat ini dipandang sebagai norma yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ajaran atau faham yang dianut oleh teori receptie ini secara “contrario” ditolak oleh teori “receptio a contrario”, bahwa hukum adat adalah resapan dari kesusilaan yang sebagian terbesar bersumber pada ajaran agama. Dengan demikian, pemurnian atau pemilahan hukum agama dengan hukum adat merupakan tindakan yang sangat keliru. Tegas-tegas dinyatakannya bahwa pemisahan ini dapat diartikan sebagai tindakan yang mengingkari Al-Quran dan Iman Islam. Secara a contrario hukum lslam adalah ketentuan yang utama yang harus diberlakukan termasuk dalam kasus perselisihan. Akan lebih baik lagi penyelesaian dilakukan pada peradilan agama yang sepenuhnya terpisah dari pengadilan umum dan ada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Hukum adat adalah suatu ketentuan yang berbeda dan tidak secara serta-merta dapat
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
27
Gt. Muzainah diberlakukan/dicampuradukkan dengan hukum Islam sehingga keduanya harus tetap terpisah. Ketentuan hukum agama bersifat mutlak dan hukum adat baru dapat diberlakukan kalau tidak bertentangan dengan hukum agama Islam. Konteks khusus teori “receptio a contrario” ini keselarasannya dengan hukum adat pada masyarakat Banjar dapat saja bersifat tidak mutlak, kalau islah itu dianggap sebagai lembaga yang tidak selaras dengan hukum Islam, karena terdapat aliran yang “keras” dalam memahami ketentuan syariat, dan dinyatakan bahwa islah adalah lembaga yang mengakali hukum syari‟at. Prinsip-prinsip hukum waris adat Banjar dapat dirumuskan dengan mengabstraksikan bagaimana norma hukum waris pada saat masyarakat Banjar melakukan proses pembagian warisan tersebut, termasuk dalam hal ini bagaimana pengakuan kedudukan hukum perempuan dan hak-hak perempuan dalam hasil akhir proses pembagian warisan tersebut. Keberadaan lembaga bedamai dengan cara islah adalah menjadi karakteristik norma hukum adat pada masyarakat Banjar, hukum waris adat pada masyarakat Banjar bermuara pada lembaga bedamai dengan cara islah. Proses pembagian warisan pada hukum waris masyarakat Banjar prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut : (a) Terjadi Peristiwa Hukum Warisan, (b) Masuk ke Lembaga Damai (c) Melakukan Islah dengan meminta petuah Tuan Guru, (d) Petuah Tuan Guru dinyatakan diterima sebagai ketentuan normatif, (e) Dilanjutkan dengan islah pembagian harta warisan, (f) Dasar pertimbangan saat islah pembagian harta warisan ini didasarkan kepada kegunaan atau kemanfaatan, kemaslahatan, dan kontribusi ahli waris
28
Kedudukan Perempuan
kepada pewaris, (g) Hasil islah menghasilkan pembagian harta warisan yang bersifat relatif. Proses ini menjadi norma yang berlaku pada masyarakat Banjar, dan dari proses ini dapat ditarik prinsip-prinsipnya, yaitu prinsip yang berlaku pada saat meminta petuah kepada Tuan Guru dan prinsip-prinsip yang berlaku pada saat proses ishlah pembagian harta warisan. Prinsipprinsip tersebut dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip : Prinsip Spritual atau KeTuhanan Prinsip spiritual atau ketuhanan ini adalah satu prinsip dalam kehidupan secara umum dan khususnya pada bidang hukum waris, masyarakat Banjar memandang penetapan dan pembagian warisan dijalankan atas dasar melaksanakan syariat agama, sehingga kegiatan tersebut akan mendapatkan ridho dari Yang Kuasa. Oleh karena itu pada saat adanya peristiwa yang menyebabkan adanya warisan, maka orang yang pertama diminta petuah adalah “tuan Guru” yang tidak lain adalah tokoh agama sebagai tempat meminta nasihat akan masalah warisan yang dihadapi. Terdapat keyakinan dalam masyarakat Banjar, kalau masalah warisan ini adalah masalah yang “sensitif” untuk diselesaikan secara aturan agama untuk mendapatkan keberkahan hidup, karena diyakini kecurangan atau keserakahan dalam masalah warisan akan membuat hidupnya tidak berkah atau sial yang nanti akan membawa kemudharatan dikemudian hari. Prinsip Kemanfaatan Prinsip atau asas kemanfaaatan ini adalah suatu prinsip yang melihat kepada manfaat dari suatu norma hukum bagi manusia. Dalam ajaran
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
utilitarian, maka asas mamfaat menjadi pilar penting dari hukum dan bahkan menjadi satu diantara tiga nilai dasar hukum (kegunaan). Asas manfaat ini terlihat pada saat masyarakat Banjar melakukan proses pembagian harta warisan, yaitu yang menjadi dasar adalah kemanfaatan harta warisan bagi ahli waris. Asas manfaat dalam hukum waris masyarakat Banjar ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi kemanfaatan harta warisan dan sisi daya guna manfaat bagi ahli waris atas harta warisan tersebut. Pada sisi yang pertama, lebih melihat pada sisi harta warisan ditujukan kepada ahli waris yang kurang beruntung secara ekonomi kehidupannya, sehingga dipandang lebih bermanfaat untuk diberikan kepadanya. Sedangkan pada sisi kemanfaatan harta warisan bagi ahli waris adalah sisi kompetensi untuk mengelola harta warisan agar tetap bernilai ekonomis. Prinsip keseimbangan atau kesetaraan Prinsip keseimbangan atau kesetaraan ini mengandung dua makna, yaitu (a) keseimbangan atau kesetaraan dalam aspek kedudukan antara para ahli waris, dan (b) keseimbangan atau kesetaraan dalam kontek kontribusi dari ahli waris kepada pewaris. Pada keseimbangan yang pertama, hukum waris masyarakat Banjar tidak membeda-bedakan ahli waris dari sisi kedudukan sosial dan jenis kelaminnya. Hal ini tergambar dalam proses islah, sehingga setiap ahli waris mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan harta warisan yang lebih banyak atau lebih sedikit. Sedikit atau banyak itu ditentukan dalam islah yang didasarkan atas keikhlasan atau kerelaan masing masing ahli waris yang didasarkan pada asas manfaat
Gt. Muzainah sebagaimana yang dijelaskan di atas. Pada keseimbangan yang kedua, adanya perbedaan mendapatkan harta warisan didasari pada kontribusi dari ahli waris terhadap pewaris. Kontribusi tersebut adalah berupa pelayanan atau kedekatan dari ahli waris pada pewaris, seperti memelihara pewaris, merawat pewaris, dan satu rumah dengan pewaris. Dari kontribusi terhadap pewaris itulah kemudian oleh para ahli waris lainnya dalam proses islah diberikan bagiannya yang lebih besar dengan cara memberikan bagian ahli waris lainnya kepada ahli waris yang mempunyai kontribusi tersebut. Dengan demikian keseimbangan kontribusi ini akan melahirkan pembagian yang tidak merata, akan tetapi dipandang sebagai keadilan karena kontribusinya yang menjadi konsep “bakti” terhadap orang tua. Nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat Banjar, yang tertuang dalam prinsi-prinsip tersebut di atas dapat sebagai sumbangan pemikiran dalam kerangka pembinaan hukum waris Nasional. Dalam pembinaan hukum nasional itu sendiri salah satu sumbernya atau bahkan menjadi sumber utama adalah mempergunakan nilai-nilai hukum yang hidup dari masyarakat. Menjadikan hukum yang hidup didalam masyarakat menjadi sumber dalam pembinaan hukum nasional adalah sejalan dengan teori hukum responsif, yang menyatakan suatu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat adalah hukum yang ada pada masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan yang besar dan partisipasi penuh kelompok-kelomok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap kepentingan
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
29
Gt. Muzainah seluruh elemen, baik segi masyarakat ataupun segi penegak hukum. Hasil dari produk tersebut mengakomodir kepentingan rakyaat dan penguasanya. Prinsip chek and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika kehidupan masyarakat. Temuan-temuan mengenai asas spiritual, asas kemanfaatan dalam membagi harta warisan, asas keseimbangan atau kesetaraan dalam menentukan hak kewarisan telah mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan yang seimbang. Hal ini berarti dalam hukum waris adat Banjar terkandung nilai-nilai yang hakiki yang kebaikan nilainya bersifat universal. Nilai-nilai inilah yang dalam kerangka pembinaan hukum waris nasional dijadikan sumber untuk pembentukan hukum waris nasional. Penutup/Simpulan
Kedudukan Perempuan
kepada gender, melainkan didasarkan kepada kondisi objektif tentang harta peninggalan dan kontribusi ahli waris terhadap pewaris. Oleh karena itu besarnya bagian perempuan bersifat relatif, yaitu bisa lebih besar dari lakilaki, bisa lebih kecil dari laki-laki dan atau bisa sama dengan laki-laki. d. Pada lembaga “damai” dengan cara islah ini dikembangkan prinsip-prinsip yang menjadi jiwa hukum (legal spirit) untuk melakukan pembagianwarisan, yaitu prinsip ketuhanan, prinsip kemanfaatan dan prinsip keseimbangan. Daftar Bacaan Abdurrahman. 1984. Beberapa Catatan Tentang Undang-Undang Sultan Adam Ditinjau dari Perspektif Hukum, Hukum Islam dan Hukum Adat Banjar. Makalah pada simposium tentang UndangUndang Sultan Adam. Banjarmasin: Fakultas Hukum Unlam.
Prinsip-Prinsip hukum kedudukan perempuan dalam hukum waris adat masyarakat Banjar terlihat dalam proses pembagian harta warisan pada lembaga “damai” dengan cara islah tersebut, yaitu : -----------------, 2007. Hukum Adat dalam Perkembangan Pluralisme Hukum a. Perempuan diakui di Indonesia, Makalah pada kedudukannya sebagai ahli waris, Seminar Tentang Pluralisme karena didasarkan kepada ketentuan Hukum dan Tantangannya Bagi faraid (hukum waris Islam), baik atas Pembentukan Sistem Hukum dasar petuah tuan guru ataupun atas Nasional. Badan Pembinaan pengetahuan ahli waris; Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI di Makasar, 1-2 Mei. b. Akses perempuan dalam lembaga “bedamai” sangat terbuka dan -----------------,1995. Ilmu Hukum Teori Hukum dan Ilmu Perundangtidak dibedakan dengan ahli waris lakiUndangan. Bandung: Citra Aditya laki, bahkan dalam “harta Bakti. parpantangan” aksesnya lebih besar -----------------,1978. Kedudukan Hukum daripada pihak laki-laki. Adat dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional. Bandung. c. Besaran bagian masingmasing ahli waris tidak didasarkan
30
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
-----------------, 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademi Presindo. -----------------,1989. Perkembangan Pemikiran tentang Pembinaan Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. -----------------, 1989. Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835. Banjarmasin: STIH-Sultan Adam. 1951. Adatrechtbunde; XIII, “OendangOendang Soeltan Adam (1835)” (sGravenhege : Martinus Nijhoff). Affandi, Ali. 1985. Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing Dalam Pembinaan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara. Ahmadi. 1997. “Adat Badamai Pada Masyarakat Menurut UndangUndang Sultan Adam (Suatu Telaah Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat Dalam Upaya Pembinaan Hukum Nasional)” Thesis, Program Magister (S-2) Ilmu Hukum UII, Jogjakarta. , 2007. Adat Badamai, Interaksi Hukum Islam dengan Hukum Adat Pada Masyarakat Banjar. Banjarmasin: Antasari Press. Anshari, H. Endang, Saifuddin. 1977. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press. Allot, Antony. 1980. The Limit of Law. London : Butterworths Azra, Azyumardi. 1985. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII. Bandung: Mizan. Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York: Academic Press. Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Definitions of The Terms and Phrases of American
Gt. Muzainah and English Jurisprudence Ancient and Modern. Sixthh Edition, ST. Paul. Minn. West Publishing. BPHN dan Unlam. 1978. Seminar Lembaga-Lembaga Hukum Adat Kalimantan Selatan. Banjarmasin. BPHN. 1976. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta. --------,1978. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta. --------,1977. Simposium Pola Umum Perencanaan Hukum dan Perundang-Undangan. Bandung: Bina Cipta. --------,1977. Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini. Banjarmasin. Budiarto, Ali. 2002. Kapita Selekta Hukum Adat (Suatu Pemikiran Baru Prof. Koesno). Jakarta: Ikahi Press. Bruggink, J.J.H.. 1996. Refleksi Hukum, Terj. B. Arief Sidharta. Cet. II, Bandung: Refika Aditama, Citra Adiya Bakti. C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. VIII, Jakarta: Balai Pustaka. Darmodiharjo, Darji, Shidarta. 1994. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia. Daud Ali, Muhammad. 1984. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press. Departemen Agama RI. 1974. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Yayasan Penyelenggara
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
31
Gt. Muzainah
Kedudukan Perempuan
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an. Jakarta: Intermasa. Diibul Bigha mustafa. 1995. Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis. Semarang: As-Syifa. Dijk, Van. Terjemahan Mr. A. Soehardi. Djojodigoeno. 1950. Menyandra Hukum Adat. Yayasan Fonds UGM. Djubaedah, Neng. 1998. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim di Indonesia Suatu Harapan. Mimbar Hukum No. 40 Al-Hikmah dan DITBINBAPERA. Echols, John M dan Hassan Shadaly. 1987. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta, Cet. XV. Farran, Sue, Comparative Legal Sistem, Course Materials, LA318, University of South Pacific dalam Historcal development of different legal sistem, legal imperialism and the global reach of legal families: The Law of any sistem is based of legal tradition Generally law changes very slowly. Gultom, Lodewijk. 2007. Politik Hukum Kemajemukan Masyarakat dalam pembangunan Sistem Hukum Nasional. Disampaikan dalam Seminar tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya bagi Pembentukan Sistem Hukum Nasional. Unhas, Makasar, 30 April-2 Mei.
Hukum Keluarga Islam Indonesia dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Press. Hapip, Abdul Djebar. 1997. Kamus Bahasa Banjar – Indonesia. Edisi III/1997. Banjarmasin: Grafika Wangi. Hapip, Jebar. 1999. Kamus Bahasa Banjar. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat Press. Hartono, C.E.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. Hartono, Sunaryati. Cf. C.F.G. 2006. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional. Bandung: Citra Aditya Bakti. _______. 1991. Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. Hazairin. 1968. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas. Hilman. 1983. Sejarah Hukum Adat Banjar Indonesia. Bandung: Alumni. Hoocker. 1985. Adat Law in Modern Indonesia. Sidney. Karim, Muchit A. (ED). 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Hadikusuma, Hilman. 1993. Hukum Keagamaan. Jakarta: Waris Ada. Bandung: Citra Kementerian Agama RI. Aditya. ,1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Di Koesnoe, Muhammad. 1959. Kedudukan Indonesia. Bandung: Mandar Hukum Adat di Kemudian Hari. Maju. Jakarta: Pustaka Rakyat. Halim, A. Ridwan. 1987. Hukum Adat -----------------------,1975. Perkembangan dalam Tanya Jawab. Jakarta: Hukum Adat Setelah Perang Dunia Ghalia Indonesia. II dalam Rangka Pembaharuan Halim, Abdul. 2002. Ijtihad Kontemporer: Hukum Nasional. Simposium Sejarah Hukum. BPHN. Kajian Terhadap Beberapa Aspek
32
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Kedudukan Perempuan
Koesno dan Suhardiman, Kartohadiprodjo. 1968. “Hukum Nasional, Beberapa Tjatatan”. Bandung. Koesno. 1996. Hukum Adat. Surabaya: Umbhara Press. Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta. Kusumaatmadja, Mochtar dan Sidharta, B. Arief. 2000. Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Buku I Bandung: Alumni. Lukito, Retno. 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS. M. Hadjon, Philipus. 2000, Pengkajian Ilmu Hukum. Lokakarya Metode Pendidikan Hukum. Malang: Fakultas Hukum Universitas Merdeka. Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Mallincrodt. 1928. Het Adatrecht van Borneo I-II. M. Dubbeldeman, Leiden. Manan, Bagir. 2005. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FS UII Press. Manulang, E Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antonomi Nilai. Jakarta: Kompas. Muhammad, Busarf. 1994. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita.
Gt. Muzainah Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika. Noorlander. 1935. Bandjarmasin en de Companie in de Tweede Helft der 18de Eeuw., Leiden: M. Dubbeldeman. Nonet, Philippe dan Philippe Selznick. 2007. Law and Society in Transition; Toward Responsive Law. terj. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Bandung: Nusa Media. Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. ______, Hukum Responsif Dalam Konsep Indonesia dalam Hukum Responsif. ---------. 2004. Ilmu Hukum (Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan). Surakarta : Universitas Muhamadiyah. Ras, J.J. 1966. Hikayat Banjar A Study In Malay History. The Hague Graphy: Martinus Nijhoof. Rasjid, Lili., 2005. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia dalam Hukum Responsif. Vol. 1. 01 No. 01. Review Jurnal Hukum: Padjadjaran. Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra. 1996. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saleh, Idwar. 1985. Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin serta Wilayah Disekitarnya sampai dengan Tahun 1950. Banjarmasin.
, 1986. Asas-asas Hukum Adat, (Suatu Pengantar). Jakarta: Salman, Otje, Soemadiningrat, H.R. Pradnya Paramita, Cet. VI. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum , 1961. Pengantar Hukum Adat. Jakarta: Waris. Bandung: Alumni. Balai Buku Ikhtiar. Muhibbin, Moh., dan Abdul Wahid. ,2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis 2009. Hukum Kewarisan Islam,
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
33
Gt. Muzainah
Kedudukan Perempuan
Terhadap Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat. Bandung: Alumni. ,1993. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Bandung: Alumni. Salman, Otje., dan Anthon F. Susanto. 2008. Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Cet. IV, Bandung: Reflika Aditama. Saviqny, Friedrich. Karl von dalam Law as a Manifestation of the Spirit of the people in History. Sidharta, B. Arief. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Cet. II. Bandung: Mandar Maju. Soejatman, Kartono. 2000. Dalam Media Angkasa No. 11 Agustus Tahun X. Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Edisi ke-3 disusun kembali oleh Soerjono Soekanto. Jakarta: Rajawali Press. Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko. 1981. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. ----------, 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. ----------,1988. Identifikasi Hukum Positif Tidak Tertulis Melalui Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Cet. I. Jakarta: Ind-Hill-Co.
Soepomo. 1987. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. _______. 1996. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Sudiyat, Iman. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty. Suparman, Eman. 2007. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW. Cet. II, Bandung: Refika Aditama. Syahrani, Riduan. 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Cet III, Bandung : Citra Aditya Bakti. Taneko, Soleman B. 1983. Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang. Bandung: Eresco. ,1987. Hukum Adat suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang., Bandung: Eresco. Thalib, Sajuti. 1985. Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara. ,2002. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Cet VII. Jakarta: Sinar Grafika. Usman, Gazzali. 1989. Orang Banjar dalam Sejarah. Banjarmasin: University Lambung Mangkurat Press. Utrecht, E. 1966. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Buku Ichtiar. Wignjodipuro, Surojo. 1982. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Cet. IV. Jakarta: Gunung Agung. , 1988. Peranan Hukum Adat Untuk Menata Hubungan Kerja dalam ,1970. Kedudukan dan Peranan Hukum Masyarakat Industri. Seminar Adat Di Indonesia. Jakarta: Masa Depan Hukum Adat. Kurnia Esa. Yogyakarta: Fakultas Hukum. ,1986. Penelitian Hukum Kualitatif. Bandung: Alumni. Wignjosoebroto, Soetandyo. 1995. . 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Sebuah Pengantar ke Arah Raja Grafindo Persada. Perbincangan tentang Pembinaan
34
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
Gt. Muzainah
Kedudukan Perempuan
Penelitian Hukum dalam PJP II. Makalah di sampaikan dalam seminar Akbar 50 tahun kemerdekaan, Jakarta, BPHN : Departemen Kehakiman. , 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Winata, Frans Hendra. 1999. “Harapan Masyarakat atas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum”. dalam J. Babari & Nur Fuad, eds., Indonesia Menuju Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Jakarta: Gandi. Vollenhoven, C, Van. 1994. Adatrecht in Indonesia. Jakarta: Inis. -----------,1907. Het Adatrecht van Nederlansthindie. -----------,1906. Het Adatrecht van Nederlandsh Indie. J. Brill. Leiden. -----------,1906. The global reach of legal families: The Law of any sistem is based of legal tradition Generally law changes very slowly.
Peraturan Per Undang-Undangan : Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 sampai Perubahan Ke empat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Internet: http://arwansabditama.blogspot.com/2 009/01/masa-depanpergumulan-pemikiran.html http://muliadinur.wordpress.com/2008 /06/02/hukum-responsif/ http://www.freelists.org/post/ppi/ppiin dia-Produk-Hukum-dan-Keadilanmasyarakat.
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. II No. 1, Januari–Juni 2014, 15-35
35