Potensi Pengembangan Alfalfa……………
(Renan.dkk)
POTENSI PENGEMBANGAN ALFALFA (Medicago sativa L)SEBAGAI BAHAN PANGAN DAN PAKAN TERNAK Renan Subantoro, Lutfi Aris Sasongko Fakultas Pertanian, Universitas Wahid Hasyim Jl. Menoreh Tengah X/22, Sampangan, Semarang 50236. *
Email:
[email protected]
Abstract Crops alfalfa (Medicago sativa L) is often called a lucerne or medic purple longday plant species, so the flowering process is strongly influenced by the long irradiation . In order to produce flowers and seeds need extra illumination at night , in order to obtain a higher exposure than the critical point . Alfalfa crops in Indonesia was not easy to produce flowers and seeds are formed . At this time there has been no research on the effects of long exposure to the optimum alfalfa seed production, both in quantity and quality. Materials used in this study are three varieties of seed alfalfa (Medicago sativa L) covers multiking1 , vernal and common. The research using a completely randomized design with three replications. Research a factorial experiment with the treatment of various kinds of varieties of alfalfa and Rhizobium with three replications .in conclusion, alfalfa is a sub- tropical crops that can grow and produce flowers and seeds in Indonesia . With the addition of long- day treatment that alfalfa is capable of producing flowers and seeds . The length of the treatment is also supported by the location of the crops that are grown in the lowlands so that the temperature is relatively supportive for flowering and seed formation . Alfalfa crops were grown in Indonesia also have a good enough quality nutrients that can be utilized as raw material for medicine and fodder . Key Word : alfalfa, long day plant, long day, flower, seed
PENDAHULUAN Alfalfa yang sering disebut lucerne atau medic purple merupakan tumbuhan liar yang berasal dari hutan, sebelum dibudidayakan oleh manusia. Habitat asli tumbuhan ini berada di pegunungan mediterania di sebelah barat daya Asia.Tanaman ini dari Asia mulai diperkenalkan ke Eropa oleh bangsa Persia sekitar tahun 490 SM. Perkembangan selanjutnya membawa tumbuhan ini menjadi tanaman yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak sapi oleh masyarakat Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Korea. Kualitas hijauan yang rendah pada ternak ruminansia mengakibatkan rendahnya produksi susu maupun daging sapi, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alfalfa menurut terminology Arab mempunyai arti sebagai“Bapak dari semua makanan” yang dipercaya sebagai tanaman obat yang berfungsi untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Alfalfa mempunyai kandungan gizi seperti protein, lemak, dan serat yang relatif rendah (Anonim-a, 2004 cit Parman, 2007). Menurut Layla (2005) cit Harnina dan Parman (2008) kandungan protein dan khlorofil yang tinggi sebesar empat kali lipat dibanding dengan tanaman sayur lainnya. Daun tanaman alfalfa banyak mengandung protein yang tinggi dan serat yang rendah sehingga sangat baik digunakan sebagai hijauan bagi ternak sapi atau ruminansia lainya, bahkan juga untuk manusia. Menurut Stochmal et al. (2001) cit Harnina dan Parman(2008) alfalfa mengandung flavonoid, apigenin, lutein glycosides dan adenosin. Dalam perkembangan ke depan bahwa alfalfa yang ditanam didaerah tropis dapat digunakan sebagai bahan baku obat dan pakan ternak.
Tanaman alfalfa merupakan jenis tanaman longday plant, sehingga proses pembungaan sangat dipengaruhi oleh lama penyinaran. Agar menghasilkan bunga dan biji perlu perlakuan khusus berupa tambahan penyinaran pada malam hari, untuk memperoleh penyinaran yang lebih tinggi dari titik kritisnya. Tanaman alfalfa di Indonesia ternyata tidak mudah untuk menghasilkan bunga dan terbentuk biji. Hal itu menyebabkan kesulitan
42
ISSN 2528-5912
untuk mendapatkan biji alfalfa yang diperoleh dari penanaman petani di Indonesia. Pada saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh lama penyinaran yang optimal terhadap produksi biji alfalfa, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Sehingga penelitian ini diujikan berbagai lama penyinaran terhadap kuantitas dan kualitas biji alfalfa. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Pelaksanaan penelitian mulai bulanMaret 2012 sampai dengan Juni 2012.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tiga varietas alfalfa (Medicago sativa L) meliputi multiking 1, vernal dan common. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Penelitian ini merupakan percobaan factorial dengan perlakuan berbagai varietas alfalfa dan macam Rhizobium dengan tiga ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembungaan Tanaman Secara klasik ada dua pendapat umum mengenai pembungaan tanaman yaitu : 1) bahwa inisiasi bunga pada tanaman tidak akan terjadi kecuali ada rangsangan (induksi) untuk berbunga, 2) bahwa tanaman selalu berpotensi untuk inisiasi bunga tetapi kadang tertekan oleh kondisi yang tidak sesuai. Pada praktiknya kedua pendapat ini didukung oleh beberapa temuan, misalnya perlakuan kalium nitrat dapat menginduksi pembungaan mangga di Filipina. Ditemukan juga tanaman yang berada pada kondisi yang tidak sesuai untuk pembungaan, beberapa zat penghambat pembungaan dan inisiasi bunga akan terjadi apabila zat penghambat tersebut dicegah, misalnya keberadaan giberelin menghambat berbagai tumbuhan (Efendi dan Khumaida, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan reproduktif atau pembungaan tergantung pada kondisi lingkungan tertentu. Ada tanaman yang sudah beradaptasi didaerah empat musim yang memerlukan periode suhu dingin sebelum mampu berkecambah. Proses ini disebut vernalisasi. Sedangkan jenis tanaman lain mengalami fenomena fotoperiodisma yaitu berbunga apabila telah dicapai panjang hari tertentu. Pada daerah tropis, pembungaan tanaman tahunan yang sudah melewati masa juvenil lebih banyak tergantung akan masa kering saat inisiasi bunga terjadi. Tanaman hari panjang berbunga pada musim semi ketika siang lebih panjang dari nilai kritikal tertentu, tanaman hari pendek berbunga pada akhir musim panas atau awal musim gugur ketika panjang siang lebih pendek dari nilai kritikal tertentu. Didaerah tropis, panjang hari relatif sama, sehingga tanamanya juga tergolong tanaman hari netral, yaitu akan berbunga bila mencapai tingkat kedewasaan tertentu tanpa tergantung pada panjang hari (Efendi dan Khumaida, 2011). Fisiologis Pembungaan Tanaman alfalfa Tanaman tertentu memanfaatkan factor lingkungan untuk memicu awal pembungaan. Lingkungan yang diduga memicu pembungaan antara lain cekaman kekeringan dengan mengurangi ketersediaan air 30-50% dari kapasitas lapangan. Kandungan kelembaban tanah yang sedang yang dikombinasikan dengan temperature udara yang tinggi diperlukan selama memproduksi biji (Goloborodko dan Bodnarcuk., 1998 cit Karag et al., 2009). Kelembaban tanah yang tinggi, merupakan praktek kegiatan budidaya yang tidak efektif untuk menghindari kerebahan tanaman penghasil biji dan kehilangan biji. Hasil penelitian Milosevic et al. (tanpa tahun) menunjukkan bahwa yang menentukan produksi biji alfalfa adalah suhu udara rata-rata dan maksimum serta radiasi sinar matahari, sedangkan yang menjadi factor pembatas adalah curah hujan.Tanaman alfalfa merupakan tanaman bertipe long day plant (Barnes, 1980; Helgason, dan Storgaard, 1987 cit Major et al., 1991), karena tanaman ini paling cepat berbunga pada panjang hari di atas titik kritisnya (McKee et al, 1972; Townsend, 1981 cit Major et al., 1991). Alfalfa merupakan tipe tanaman tahunan long day plant dan pertengahan garis lintang atau wilayah sub tropis seringkali tidak menghasilkan biji pada tahun pertama, ketika tahun 3-5 akan diperoleh biji generasi ke-2 sampai ke-3. Namun dengan penerangan cahaya terus-menerus akan diperoleh biji alfalfa yang dewasa pada umur 90 hari setelah tanam (Lisovskij dan Dolgushev, 1986 cit Sysoeva, M.I., et al., 2010). Kecepatan pertumbuhan alfalfa dibawah kondisi cahaya yang terusmenerus akan diiringi dengan peningkatan jumlah anakan dan bentuk pembungaan yang besar
Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta
43
Potensi Pengembangan Alfalfa……………
(Renan.dkk)
(Sysoeva et al., 2010). Hasil biji alfalfa lebih tinggi dibawah kondisi cahaya yang terus-menerus dibandingkan dengan 18 jam (Lisovskij dan Dolgushev, 1986 cit Sysoeva, M.I., et al., 2010). Biji yang ditanam dibawah kondisi cahaya yang terus-menerus mempunyai daya kecambah 88% (Sysoevaet al., 2010). Tanaman alfalfa yang ditanam di Yogyakarta mampu menghasilkan bunga pada umur 8 minggu setelah tanam. Perlakuan yang diberikan pada tanaman alfalfa dengan penambahan lampu TL 40 watt yang dinyalakan selama 5 jam mulai pukul 17.00 sampai dengan 23.00 malam hari. Sebagai jenis tanaman long day plant, alfalfa memerlukan penambahan panjang hari lebih dari 12 jam dari titik kritisnya untuk menghasilkan pembungaan dan produksi biji. Tanaman yang telah melewati basic vegetative phase, dengan induksi penambahan panjang hari maka tanaman alfalfa dapat berbunga dan menghasilkan biji. Bunga dan biji yang dihasilkan dalam penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar 1. dibawah ini (Subantoro, 2013). Berdasarkan pembahasan diatas menunjukkan bahwa tanaman alfalfa mampu memproduksi bunga dan biji di Indonesia dengan perlakuan tertentu. Kondisi tempat tumbuh juga mempengaruhi insiasi pembentukan bunga dan biji, secara umum untuk produksi pembungaan dan pembentukan biji membutuhkan lingkungan yang panas sehingga ditanam di dataran rendah. Alfalfa yang tumbuh di Indonesia juga mempunyai kualitas nutrisi yang cukup bagus, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun pakan ternak. Pada akhirnya, semoga tulisan bermanfaat bagi para pembaca dan petani maupun para peneliti.
Gambar 1. Bunga tanaman alfalfa(Sumber : Subantoro, 2013) Kadar Khlorofil dan Kualitas Kimia Nutrisi Alfalfa Grafik mengenai kualitas kimia nutrisi alfalfa dan daya kecernaannya dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini (Subantoro, 2013)
44
ISSN 2528-5912
Gambar 2. Nutrisi alfalfa(Sumber : Subantoro, 2013) Nilai nutrisi yang dianalisis menggunakan sampel komposit antara organ daun dan batang yang dapat dikonsumsi oleh ternak, demikian juga untuk nilai kecernaan bahan kering maupun kecernaan bahan organik.Walaupun berbeda tidak nyata, namun nilai tertinggi untuk protein kasar terdapat pada varietas Common sebesar 20,61%. Nilai tertinggi untuk lemak kasar terdapat pada Varietas Common sebesar 2,49 %. Nilai terendah untuk serat kasar terdapat pada Varietas Vernal sebesar 26,22%. Nilai tertinggi untuk kadar abu terdapat pada Varietas Vernal sebesar 12,46%. Nilai tertinggi untuk kadar air terdapat pada Varietas Multiking 1 sebesar 69,62% (Subantoro, 2013). Alfalfa mempunyai sejumlah besar sel yang larut dan mempunyai dinding sel paling sedikit dibandingkan pakan ternak lainnya (Tomicet al., 2001 cit Radovicet al., 2009). Menurut Lauriault et al. (2003) kualitas hay yang tinggi mengikuti karakteristik : protein kasar lebih tinggi 19%, ADF kurang dari 31 %, NDF kurang dari 40%, daun yang baik, dan bebas bahan campuran dari luar. Hasil penelitian pada tiga varietas alfalfa ini juga menunjukkan nilai protein kasar diatas 19%, sehingga termasuk kategori mempunyai kualitas tinggi.Dibandingkan dengan hijauan makanan ternak yang berasal dari rumput-rumputan maka alfalfa tetap lebih tinggi, kandungan protein rumput alam sebesar 10,20%, rumput tanam sebesar 10,20%, rumput gajah hawai sebesar 12,19%, rumput gajah afrika sebesar 13,19%, dan rumput raja sebesar 13,19% (Subantoro, 2013). Kandungan nutrisi hijauan Desmodiumcinereum yaitu kadar Protein Kasar 19,70%, Serat Kasar 34,85%, lemak 9,11%, abu 6,77% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 29,58% (Setiyaningsih et al., 2012 cit Sutrasno et al., 2009). Menurut McDonald (2002) cit Setiyaningsih et al. (2012), faktor yang mempengaruhi kandungan nutrisi hijauan yaitu spesies, pertumbuhan, tanah, iklim, pupuk dan faktor lain seperti jarak tanam dan intensitas injakan oleh ternak.
Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta
45
Potensi Pengembangan Alfalfa……………
(Renan.dkk)
Gambar 3. Kadar khlorofil alfalfa (Sumber : Subantoro, 2013) Secara umum menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar klorofil total pada umur 3, 5 dan 7 mst. Pada umur 7 minggu setelah tanam terjadi interaksi antara varietas alfalfa dengan macam rhizobium terhadap kadar klorofil total. Nilai tertinggi kadar klorofil total ditemukan pada Varietas Multiking 1 yang diinokulasi dengan Rhizobium Leucaena leucocephala, LCC dan Multistrain, Varietas Vernal yang diinokulasi dengan Rhizobium Multistrain, dan berbeda tidak nyata dengan semua kombinasi perlakuan lain kecuali Varietas Common tanpa inokulasi. Ada perbedaan yang tidak nyata antar varietas alfalfa dan antar macam rhizobium. Antar varietas alfalfa secara angka berbeda, nilai tertinggi pada varietas Multiking 1, diikuti vernal kemudian common. Antar macam rhizobium secara angka berbeda, nilai tertinggi terdapat pada Rhizobium Multistrain, kemudian LCC, Leucaena leucocephala dan yang terakhir adalah tanpa rhizobium (Subantoro, 2013). KESIMPULAN Sebagai kesimpulan pembahasan tersebut diatas, sehingga alfalfa merupakan tanaman sub tropis yang mampu tumbuh dan menghasilkan bunga dan biji di Indonesia. Dengan perlakuan tertentu yaitu penambahan panjang hari sehingga alfalfa mampu memproduksi bunga dan biji. Perlakuan panjang hari tersebut juga didukung oleh lokasi tumbuh tanaman yang berada pada dataran rendah sehingga suhu relatif mendukung untuk proses pembungaan dan pembentukan biji. Tanaman alfalfa yang tumbuh di Indonesia juga mempunyai kualitas nutrisi yang cukup baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat serta makanan ternak. Pada akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti. DAFTAR PUSTAKA Anonim-a, 1990. Cutting Management of Alfalfa, Red Clover, and Birdsfoot Trefoil.College of Agriculture Sciences Cooperative Extension.Pennsylvania State University. AOAC, 1970. Official Methode Analysis of Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist, Washington, DC. Harnina, S. dan S. Parman, 2008. Pertumbuhan, Kandungan Khlorofil dan Serat Kasar pada Defoliasi Pertama Alfalfa (Medicago sativa L) Akibat Pemupukan Mikorisa. Buletin Anatomi dan Fisiologi. UNNES. Semarang Karagić, D., Katic, S., Milic, D., Vasiljevic, S. and B. Milosevic, 2009.Alfalfa seed production in semi-humid climate of the southeast Europe.Institute of Field and Vegetable Crops. Serbia Parman, S., 2007. Kandungan protein dan Abu Tanaman Alfalfa (Medicago sativa L) setelah Pemupukan Biorisa. BIOMA. UNDIP Semarang
46
ISSN 2528-5912
Radovic, J., Skolovic, D. and J. Markovic, 2009. Alfalfa Most Important Perrenial Forage Legume in Animal Husbandry. Institute For Animal Husbandry. Biotechnology in Animal Husbandry 25 (5-6) :465-475. Belgrade Zemun.Republic of Serbia. Subantoro, R., 2013. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Alfalfa (MedicagosativaL) Dengan Perlakuan Macam Rhizobium Pada Media Tanam Tanah Regosol Asal Banguntapan. Thesis. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta Subantoro, R., Wahyuningsih, S. dan R.Prabowo, 2006. Pengaruh GA3, Kompos, Pupuk Organik Cair, dan TSP terhadap Pertumbuhan dan Kualitas serta Kuantitas Benih Alfalfa (Medicago sativa L). Balitbang Provinsi Jawa Tengah. Semarang Sysoeva, M.I., Markovskaya, E.F., and T. G Shibaeva, 2010. Plants under Continuoos Light : A Reveiw. Plant Stress. Petrozavodsk
Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta
47