Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
POLITIK HUKUM KESETARAAN KAUM PEREMPUAN DALAM ORGANISASI MASYARAKAT ISLAM DI INDONESIA Habib Shulton Asnawi Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45
[email protected] Abstrak In the normative level, generally all agreed to place women are equal to men, that is the position as humans, as well as the servant of Allah. Women are recognized to have a number of rights and freedoms, including the right to engage in politics, especially in the organization of the Islamic society. To strengthen the protection of women's rights, the government of Indonesia to make a policy or legislation (political law), both to improve policies of national legislation and policies ratified international law. However, when the policy (political law) or a pattern of gender relations between men and women drawn into operational a practical level, it appears that a long debate and a serious problem occurs. The rights of women experiencing prolonged discrimination, discrimination and marginalization occurs at the level of political rights and policies in the organization of Islamic society. In Indonesia, the rights of women in Islamic society organization, still have enough depth concerns. The pro and contra related to gender equality in Indonesia, particularly in the field of Islamic society organizations would affect the wheels of government in Indonesia, particularly in relation to the State of trademark law is the protection and freedom of human rights. Therefore, policies need to be related to equality between men and women both fair and legal. Kata kunci: Politik Hukum, Organisasi Masyarakat Islam, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan.
I. Pendahuluan Peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara formal tidak memuat hal-hal yang bersifat diskriminatif gender.1 Konsitusi Indonesia 1
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai analisis ilmu social oleh Ann Oakley dan sejak saat itu, gender dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu “gender”. Jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris tidak secara jelas dibedakan pengertian antara
67
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
tidak memuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam organisasi masyarakat Islam. Lihat saja, misalnya UUD 1945 Pasal 27, menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki memiliki persamaan hak hukum dalam semua bidang kehidupan, termasuk persamaan hak dalam bidak organisasi masyarakat (ormas perempuan Islam). Islam secara normatif-doktrinal, juga dengan tegas mengakui konsep kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.2 Islam menggambarkan manusia untuk memperhatikan konsep keadilan, keseimbangan, keserasian, keselarasian serta keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan yang sama sebagai hamba Tuhan. Sebagaimana Firman Allah dalam surat an-Nahl; [16]: 97, al-A’raf; [7]: 172, dan surat al-A’raf; [7]: 22. Ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender maupun urusan organisasi politik masyarakat Islam, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja.3 Konsep keadilan, kesetaraan serta persamaan dibidang publik kembali ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948,4 didalamnya termuat bahwa hak dan kebebasan sex dan gender. Sering kali gender dipersamakan dengan seks (jenis kelamain laki-laki dan perempuan). Lihat: Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 12. Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian alat kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu, yang bersifat permanen, tidak berubah, dan merupakan ketentuan Tuhan (kodrat). Oleh karena itu, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan peremouan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan anatara laki-laki dan perempuan secara social. Gender adalah kelompok atribut dan prilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Lihat juga, J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 334. 2 Lihat Q. S. al-A’raf : 19-24. 3 Habib Shulton Asnawi, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Mengembalikan Keadilan HAM Kaum Perempuan, dalam Jurnal al-Ahwal “Hukum Keluarga Islam”, (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka, 2011), hlm. 458. 4 DUHAM diresmikan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. DUHAM sebagai deklarasi universal bersifat umum tentang manusia, dan perempuan adalah anggota manusia itu sendiri. DUHAM dianggap sebagai deklarasi dunia yang
68
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
sangat perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama.5 Dari sini setidaknya ada dua hal yang bisa disimpulkan: Pertama, pengakuan secara umum atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tanpa membedakan jenis kelamin. Kedua, mengakuan atas kesejajaran hak dan keawajiban antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang.6 Secara normatif yuridis Islam dan konstitusi nasional serta Internasional di atas, tegas perlindunganya. Bahwa, berpolitik dalam organisasi masyarakat Islam merupakan sebuah kebebasan HAM yang dimiliki oleh semua umat, khususnya kaum perempuan. Namun dalam kenyataan empiris, kondisi kaum perempuan di Indonesia masih mengalami ketidak-adilan. Sehingga dalam realitas status dan peran perempuan diberbagai masyarakat hingga sekarang ini pada umumnya masih berada pada posisi dan kondisi yang belum mengembirakan. khususnya di bidang organisasi masyarakat Islam. Impikasi yang ditimbulkan bermacm-macam, diantaranya perempuan mengalami ragam ketidakadilan, marginalisasi, subordinasi, stereotip dan lain-lain.7 Dari latar belakang di atas, maka upaya perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan khususnya di bidang organisasi masyarakat Islam merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, segala bentuk diskriminasi, harus dihapuskan. Ini tentu sangat penting, jika dikaitkan dengan konsep negara hukum, karena ciri khsusus dari negara hukum adalah adanya jaminan terhadap HAM. Indonesia adalah negara hukum standar untuk kemajuan martabat kemanusiaan. Adapaun hak-hak di dalam DUHAM ini adalah: ha katas persamaan, kebebasan, keamanan setap orang, kebebasan dari segala perbudakan, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan, pengakuan setara dihadapan hukum, kebebasan berekspresi, berkeyakinan dan berpolitik. Lihat: A. Sri Wiyanti, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, (Jakarta: LSAM, 2004), hlm. 1 5
Saparinah Sadli, Hak Asai Perempuan Adalah Hak Asasi, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender, Uiniversitas Indonesia Jakarta, 2000), hlm. 1. 6 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Kasusu Gender dalam Tafsir Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 4. 7 Habib Shulton Asnawi, Hak Asasi Manusia dan Sholat: Studi Upaya Penegakan Keadilan Gender Kaum Perempuan dalam Sholat, dalam Jurnal Studi Gender dan Islam/MUSAWA , (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 73.
69
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.8 Kalimat tersebut menunjukan bahwa negara Indonesia merdeka akan dijalankan berdasarkan hukum, dalam hal ini adalah UUD sebagai aturan hukum tertinggi. Konsep negara hukum tersebut untuk membentuk pemerintahan negara yang bertujuan, baik untuk melindungi HAM secara undividual dan kolektif secara adil dan setara yang tercermin dalam kalimat: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”.9 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Lebih jauh, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Tentu ini menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk secara penuh menghormati, melindungi serta memenuhi hak-hak kaum di bidang organisasi masyarakat Islam di Indonesia.10 Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang hendak dijawab adalah bagaimanakah bentuk 8
UUD yang pernah berlaku di Indonesia menyatakan bahwa salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia. Negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Lihat: Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), hlm. 73-80. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menambahkan unsurunsur yang harus ada dalam suatu negara hukum, adalah: a). perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), b). pemisahan kekuasaan, c). setiap tindakan pemerintah harus didasarkan oleh peraturan perundang-undangan dan d). adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Lihat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN UI Jakarta, 1981), hlm. 19. 9 Mahfud MD, Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan Realita di Era Reformasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi”, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sabtu 8 September 2012 di Yogyakarta, p. 5. 10
Habib Shulton Asnawi (editor), Perlindungan HAM dalam Negara Hukum Indonesia: Studi Ratifikasi Konvensi Hak-hak Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities), dalam Jurnal SOSIO-RELEGIA, (Yogyakarta: (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial/LinkSAS), hlm. 21.
70
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
politik hukum (kebijakan) pemerintah Indonesia, dalam mensetaraakan dan menegakkan keadilan kaum perempuan dalam bidang organisasi masyarakat Islam, dan kendala-kendala apakah dalam menegakkan keadilan gender di Indonesia. II. Potret Keadilan Perempuan dalam Organisasi Masyarakat Islam Tidak dapat diingkari bahwa perempuan mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sesungguhnya perbedaan perempuan dan laki -laki hanyalah perbedaan biologis bukan fungsi kehidupan social, tetapi selama ini kebudayaan dibangun oleh laki-laki, maka norma dan peraturan disusun berdasarkan kepentingan laki-laki. Perempuan menjadi bagian dari laki-laki bukan merupakan mitra sejajar, akibatnya banyak ketidakadilan yang dialami perempuan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kaum perempuan sebagai pemimpin dalam komunitas agama, khususnya Islam sangat terbatas, itupun biasanya hanya dijumpai dalam komunitas atau instansi yang angota-anggotanya terdiri dari kaum perempuan sendiri, seperti organisasi perempuan Islam atau pesantren perempuan. Belum ada data yang menunjukan peremuan yang berhasil menjadi pemimpin pada organisasi atau komunitas agama yang anggotanya terdiri dari perempuan dan laki-laki, apalagi yang hanya terdiri dari kaum laki-laki. Selain itu, pada umumnya organisasi tempat dimana kaum perempuan tampil menjadi pemimpin hanyalah merupakan “organisasi sayap” (wing’s organizations) yang pada hakikatnya menjadi bagian dari organisasi induk yang note bene dipimpin oleh kaum laki-laki. Sebutlah beberapa cotoh misalnya, Organisasi Aisiyah, adalah organisasi masyarakat Islam yang merupakan hanya sayap atau bagian perempuan Muhammadiyah, Muslimat NU bagian dari perempuan dari Nahdlatul Ulama, dan Persistri adalah bagian perempuan dari Persis dan lain sebagainya.11 Eksistensi organisasi masyarakat Islam di Indonesia dalam kenyataan hanya merupakan sayap perempuan “women’s wing” dari organisasi laki-laki tentu saja tidak kuat. Sebab, kondisi demikian membuat organisasi masyarakat Islam kaum perempuan tidak bisa mandiri sepenuhnya, terutama dalam menentukanvisi dan misi organisasi masyarakat, 11
Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Kibar Press, 2008), hlm. 159.
71
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
demikian juga dengan program dan kebijakan organisasi. Organisasi masyarakat Islam kaum peremuan ini, akan selalu mengacu pada prinsip-prinsip yang digariskan oleh induknya, yakin organisasi masyarakat yang dipimpin oleh laki-laki. Kemudian dari aspek program, program-program organisasi mayarakat perempuan Islam di Indoneisa, pada umumnya masih berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan perempuan, seperti misalnya kebutuhan gizi ibu-ibu hamil. Dengan kata lain, program-proram yang ditawarkan oleh organisasi masyarakat perempuan Islam di Indonesia baru sampai pada tataran kebutuhan praktis perempuan yang bersifat jangka pendek, seperti sandang, pangan, kesehatan, perumahan dan social. Sementara program-program yang ditunjukan kepada kepentingan strategis perempuan, seperti kemampuan penyadaran, perubahan kedudukan dan status perempuan belum serius ditangani.12 Hal ini menimbulkan kritik bahwa, organisasi perempuan Islam belum mampu membedakan antara kepentingan perempuan dan isu gender (gender issues) yang menjadi kepedulian utama program pembangunan perempuan di dunia saat ini. Dengan demikian, tidak terlalu salah jika disimpulkan bahwa kegiatan organisasi perempuan Islam pada umumnya lebih berfokus kepada hal-hal yang bersifat kepentingan praktis (practical interest). Organisasi perempuan Islam belum lagi menyentuh hal-hal yang bersifat kepentingan strategis (srategcal interest). III.
Politik Hukum Kesetaraan Perempuan dalam Organisasi Masyarakaat Islam Politik hukum adalah “kebijakan” dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuan neara yang di cita-citakan. Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan tetap memperhatiakn nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara.13
12
Ibid., hlm. 160. Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 310-314. 13
72
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
Politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat dan atau telah dilaksakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia, yang dalam implementasinya meliputi:14 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaharuan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang diperlukan. 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum. 3. Dalam konteks Internasional, politik hukum dalam upaya melindungi HAM, pelaksanaan hukum setelah hukum dibentuk, pengawas dan pemberi sanksi atas pelanggar HAM. Khususnya melindungi HAM kaum perempuan. Secara lebih spesifik, Moh. Mahfud MD memberikan pengertian tentang politik hukum yang diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran serta ketidakadilan khususnya kaum perempuan. Dengan menyesuaikan pengertian Moh. Mahfud MD tersebut, maka Politik Hukum penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi kaum perempuan di Indonesia mencakup kebijakan negara tentang bagaimana kebijakan hukum tersebut dibentuk, dan bagaimana pula bentuk imlementasi dari peraturan tersebut.15 Dalam kontek kesetaraan serta keadilan organisasi masyarakat perempuan Islam di Indonesia, upaya pemerintah Indonesia adalah mera14
Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asas Manusia (HAM di Indonesia), dalam bahan bacaan mata kuliah Hukum dan HAM, program Magister Ilmu Hukum FH. UII, 2010, hlm. 1. 15
Muchtar Kusumatmadja mengartikan politik hukum sebagai kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaharuan hukum. Lihat, Muchtar Kusumatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 11-15. Solly Lubis juga mendefinisakn politik hukum sebagai kebijakan politik, yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lihat, Solly Lubis, Serba Serbi Politik Hukum, (Bandung: Bandar Jaya, 1989), hlm. 32.
73
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
tifikasi perjanjian Iternasional yang berkaitan dengan hak asasi perempuan yaitu CEDAW (Conventions on the elimination of All Discrimination against Women, yang kemudian lahir UU. No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Kaum Perempuan.16 Selain itu pemerintah Indonesia juga membentuk sebuah lembaga, guna menjadi wadah aspirasi kaum perempuan yang termarginalkan, khususnya terkait dengan ketidak adilan dalam konteks organisasi politik local atau organisasi masyarakat perempuan Islam. Lembaga itu adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK).17 Kebijakan lain oleh pemerintah dalam upaya keadilan kaum perempuan adalah pada September 2005 Indonesia telah ratifikasi terhadap Kovenan Hak Sipil Politik (International Convention on Civil and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Convention on Economic, Cocial and Cultural Rights/ICESCR). Yang kemudian lahir produk hukum. 1. UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya 2. UU. No. 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik. Pertimbangan disyahkannya kedua kovenan tersebut merupakan kesadaran baru pemerintah akan arti penting kedua kovenan bagi perlindungan kaum perempuan, khususnya keadilan dalam dalam kontek organisasi masyarakat perempuan Islam di Indonesia dan sekaligus kesadaran bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional. Walaupun Indonesia telah memeliki beberapa kebijakan peraturan perundang-undangan sebagai upaya perlindungan terhadap keadilan kaum perempuan, namun dalam realitas saat ini, masih banyak ditemukan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal jumlah perempuan di Indonesia semakin meningkat. Biro Pusat Statistik menyebutkan jumlah kaum perempuan sebanyak 101.628.816 atau sekitar 51 % dari total penduduk Indonesia. Kalaulah diprediksikan secara kuantitas lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Is16
Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian…, hlm. 168. www. http///file:///E:/psw/Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan28LBH-APIK, .htm. 06-08-2012. 17
74
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
lam, maka dapat dipastikan bahwa jumlah perempuan Islam di Indonesia tidak kurang dari 80 juta jiwa. Jumlah ini lebih besar dari total penduduk Negara-negara Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, jumlah fantastis kaum perempuan di Indonesia belum dapat diberdayakan semaksimal mungkin.18 Jumlah organisasi peremuan Islam di Indonesia yang jelas menurut Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), sebuah organisasi payung bagi organisasi perempuan Islam tingkat nasional yang berdiri pada 2 Juli 1967 yang menyebutkan bahwa tercatat sebanyak 62 organisasi perempuan Islam. Ke 26 organisasi tersebut adalah: 1. Aisyiah 2. Muslimat NU 3. Nasyiatul Aisyiah 4. Fatayat NU 5. Wanita Islam 6. Wanita Al-Irsyad 7. Kohati PB-HMI 8. Wanita Serikat Islam 9. Wanita Perti 10. Persatuan Organisasi Wanita Setanah Air 11. Buruh Perempuan Islam Indonesia 12. Wichdatul Muslimat 13. Ittihadul Muslimat 14. Ittihadul Muballighat 15. Persisteri 16. BKMT 17. Wanita GUPPI 18. Wanita PUI 19. Alumni KOHATI 20. MDI 21. Pengajian al-Hidayah 22. KP 23. Anggkatan Puteri al-Wasiliyah 24. Persaudaraan Muslimah 18
Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian…, hlm. 173.
75
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
25. Sepmiwati 26. Wanita Shufiyah Dari jumlah organisasi masyarakat Islam perempuan sebagaimana diatas pada umumnya merupakan hanya bagian dari organisasi Induk yang dicitrakan sebagai dunianya “laki-laki”, meskipun sifatnya sebagai badan otonom. Organisasi perempuan Islam tersebut merupakan “organisasi sayap” (wing’s organizations) yang pada hakikatnya menjadi bagian dari organisasi induk yang note bene dipimpin oleh kaum lakilaki.19 IV. Kendala-kendala dalam Menegakkan Keadilan Kaum Perempuan Upaya peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan telah tersirat dalam lima falsafah dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, dan garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pancasila sebagai cara dan falsafah hidup bangsa Indonesia, tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai status, hak, dan kewajiban, serta kesempatan yang sama di dalam keluarga dan masyarakat khususnya kesetaraan serta hak yang sama. Namun sampai saat ini banyak wanita yang masih terabaikan karena kurangnya informasi dan kurangnya menyadari hak-hak mereka sebagai warga negara.20 Secara umum masih sedikit yang menyadari dan memahami bahwa perempuan menghadapi persoalan yang gender spesifik, artinya persoalan yang hanya muncul karena seseorang atau satu kelompok orang menyandang gender perempuan. Masih banyak yang tidak bisa mengerti mengapa persoalan perempuan harus dibahas dan diperhatikan secara khusus. Hal ini terjadi karena kentalnya nilai-nilai laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai/norma di dalam masyarakat telah menetapkan bahwa sudah kodratnya perempuan merupakan “ratu dan pengurus rumah tangga”, sehingga pikiran-pikiran untuk memberi kesepatan kepada perempuan untuk beraktifitas di luar rumah tangga maupun ke-
19
Ibid., hlm. 174. Tjandraningsih Indrasari. Mengidentifikasi Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November. AKATIGA, 1996, hlm. 32. 20
76
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
putusan dalam kesehatan kaumnya sendiri dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat dan mengada-ada. 21 Sejumlah penelitian menemukan kenyataan bahwa kendala yang dihadapi oleh para politisi perempuan dalam organisasi masyarakat Islam di Indonesia dalam tugas-tugasnya adalah sebagai berikut: 22 1. Kendala individual dalam bentuk keterbatasan pendidikan dan pengalaman. Sejak awal politik serta berorganisasi selalu dicitrakan sebagai dunia laki-laki. Citra ini sedemikian kuat sehingga penampilan politik selalu memiliki wajah dan gaya hidup lakilaki. Sehingga, perempuan yang masuk area ini selalu mendapatkan pandangan dan bahkan stigma negative. Para perempuan itu selalu distigma sebagai perempuan ambisius, perempua tidak tahu diri, dan tidak sedikit yang menyebut mereka sebagai perempuan yang tidak bermoral. 2. Kendala structural. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu ber politik serta berorganisasi, karena perempuan tidak memiliki hak-hak berpolitik sebesar yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Tidak mendapatkan dukungan suami atau keluarga serta perempuan kurang memiliki rasa percaya diri karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. 3. Kedala kultural. Umumnya, para perempuan masih dibebani oleh peran-peran tradisional. Perempuan selalu diletakkan dengan lebel pemikul beban ganda, yakni beban domestic sebagai ibu atau istri atau anak perempuan yang harus mengurusi keluarganya. Sehingga dianggap tidak layak jika berorganisasi masyarakat Islam. 4. Aggapan rendah terhadap martabat perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk menjadi manusia yang paling bertakwa, termasuk perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan untuk menentukan segala apapun. Sayangnya ajara yang ideal dan luhur tersbut, khususnya berkaitan dengan relasi perempuan untuk menentukan kebebasannya dalam kesehatan tidak 21
Jack Donnely, Universal Human Rigts in Theori and Practice, (London: Cornell University Press, 2003), hlm, 78. 22
Dian Farricha, Sosiologi Hukum dan Gender, Interaksi Perempuan dalam Dinamika Norma dan Sosio Ekonomi, (Malang: Bayumedia Publising, 2010), hlm. 25.
77
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
terimplentasi dengan baik. Praktek berkaitan dengan posisi perempuan, khususnya menyangkut relasi gender pada umumnya sangat distortif dan bias. Kondisi itu dibangun berdasarkan pemahaman yang salah, yang disebabkan berbagai factor. Pertama, pemahaman tentang asal-usul penciptaan manusia dalam kitab-kitab fikih menjelaskan bahwa Nabi Adam as adalah manusia pertama yang di ciptakan Tuhan, sedangkan istrinya, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam as. Pemahaman demikian membawa implikasi yang luas dalam kehidupan kaum perempuan, di antaranya menimbulkan pandangan yang sangat marginal, subordinatif dan stereotif terhadap perempuan. Pemahaman bahwa Hawa selaku perempuan pertama tercipta dari bagian tubuh laki-laki, yaitu Adam as membawa kepada keyakinan bahwa perempuan memang pantas diposisikan sebagai subordinat laki-laki, serta perempuan pantas untuk di nikmati sepuasnya. Dia hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Perempuan bukanlah manusia utama, melainkan sekedar pelengkap, diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Konsekuensinya, perempuan tidak boleh meminta hak-haknya. Kedua, pemahaman tentang kejatuhan Adam dan Hawa dari surga. Pada umumnya para ulama mendakwahkan ajaran bahwa Adam as, jatuh dari surga akibat godaan Hawa, istrinya yang terlebih dahulu terpengaruh oleh iblis.23 Implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa perempuan itu hakikatnya adalah makhluk penggoda dan dekat dengan iblis. Kebnyakan penghuni neraka adalah kaum hawa, stereotipe ini membawa kepada sikap misogini terhadap perempuan. Sehingga kaum pria dengan sewenang-wenangnya memaksa kaum perempuan untuk melayaninya. Ketiga, pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Dimasyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak untuk menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lemah, serta akalnya pendek, selain itu perasaan perempuan sangat halus, sehingga dikhawatirkan tidak mampum mengambil keputusan secara tegas. Imlpikasi ini membawa dampak hak-hak kaum perempuan terabaikan dan perempuan dianggap tidak bisa mengambil keputusan.
23
78
Lihat Q.S. al-A’raf, 7: 20-22.
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
Ketiga contoh pemahaman tersebut selanjutnya membawa dampak kepada pendangan bahwa posisi serta kedudukan kaum perempuan memeng rendah, yakni lebih rendah dari pada laki-laki. Menarik untuk digaris bawahi disini adalah, bahwa pemahaman yang salah yang bias gender tersebut justru dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Akibatnya, dalam realitas empirik dimasyarakat khususnya masyarakat Islam Indonesia posisi perempuan pada umumnya masih subordinat dan marginal. 1. Factor budaya patriarkhi. Pengertian budaya patriakhi berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang me-nempatkan peranlaki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segalagalanya.Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandanganlaki-laki menjadi suatu norma.24 Budaya patriarkhi secara kuat memang berakar kuat pada zaman kerajaan dimanapun, yang corak produksi ekonominya adalah feodalisme.25 Budaya patriarkhi yang menguntungkan pihak laki-laki dan mengungkung pihak perempuan digugat sebagai budaya yang melanggengkan superioritas kukuasaan laki-laki yang secara psikologis melekat kepada keinginannya untuk menguasai perempuan. Budaya masyarakat Indonesia yang dilandasi agama, adalah budaya patriarkhis yang cenderung menempatkan laki-laki dalam posisi lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan. Cara berfikir patriarkhi ini mengakumulasi terciptalah cara berfikir ini masuk kedalam segala aspek kehidupan, sehingga menghegomoni dan dianggap wajar, alamiah dan dianggab kodrat.26 24
file:///E:/psw/Pengertian-budaya-patriakhi.htm. 06-08-2012. R. Tockary, “Catatan Singkat Tentang Konflik Etnis Agama di Indonesia”, dalam Konflik Komunal di Indonesia, (Jakarta-Leiden: INIS dan PBB, 2003), hlm. 53. 25
26
Imbas yang dirasakan oleh kau perempuan adalah: Misalnya ketidak-adilan pembagian kerja dalam keluarga antara bapak dengan ibu, dimana peran iburumahtangga sangat berat skali, para ibu rumahtangga bertanggung-jawab pada seluruh pekerjaan domestic dan untuk memnuhi pekerjaan itu tanpa ada batas waktunya, namun yang menjadi keperhatinan adalah dalam realita kehidupan ternyata ketidak adilan gender ini dilakukan secara tidak sadar karena hanya berdasarkan kebiasaan semata (lebih epat dikatakan bahwa terjadinya ketidak adilan berlangsung karena ketidaktahuan) yang secara social dianggap sebagai sesuat yang normal, wajar dan bersi-
79
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
2. Meskipun Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan sebagaimana diatas termasuk konvensi hak-hak erempuan. Namun konvensi serta peraturan-paraturan tersebut tidak disosialisasikan secara luas oleh masyarakat. Demikian pula tidak dilakukan upaya-upaya konkrit untuk mengimplementasikan ini kovensi ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui peraturan. V. Upaya yang Harus di Lakukan Oleh Pemerintah Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya mengembalikan keadilan kaum perempuan di Indonesia khususnya dalam bidang kekuasaan organisasi masyarakat Islam adalah membebaskan dari “Paradigma Patriarkhisme” ini merupakan langkah yang tepat, sejumlah kajian mengenai HAM menjelaskan bahwa hambatan pertama dalam menguatkan hak-hak kaum perempuan adalah faktor budaya. Masyarakat Indonesia masih sangat kuat penganut nilai-nilai budaya patriarkhi yang tentu sangat tidak kondusif bagi upaya penegak hak-hak perempuan.27 Fatalnya lagi karena budaya tersebut mendapatkan pembenaran dari ajaran agama serta peraturan perundangundangan atau perumus hukum, indikator dari budaya tersebut adalah: 1. Masyarakat kita masih menganut pendapat yang memberikan preferensi berdasarkan teks (jenis kelamin). Laki-laki dalam segala hal lebih diistimewakan atas perempuan, anak lak-laki lebih diutamakan dari pada anak perempuan. Budaya ini sudah mengental dimasyarakat dan terbawa keberbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik, bahkan juga mempengaruhi pemahaman keagamaan.28 2. Masyarakat kita masih menganut pandangan stereotib, bahwa perempuan itu lemah, rapuh, dan penggoda, serta pembawa mafat kodrati. Lihat, Santi Wijaya Hesti Utami, Kesetaraan Gender “Langkah Menuju Demokratisasi Desa, (Yogyakarta: IP. Lappera Indonesia, 2001), hlm. 6-7. 27
Habib Shulton Asnawi dkk. Hak Asasi Manusia di Indonesia; Kajian Terhadap Hak-hak Pendidikan Kaum Perempuan di Indonesia, dalam Ni’matul Huda dan Suparman Marzuki (ed.), (Yogyakarta: Pascasarjana FH UII dan FH UII Press, 2011), hlm. 139. 28
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia “Konsep dan Implementasinya, (Jakarta: Naufan Pustaka, 2010), hlm. 146.
80
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
lapetaka kehancuran. Masyarakat lebih melihat perempuan dari aspek fisik dan postur tubuh, yakni rata-rata memiliki tubuh yang lemah, kecil serta tidak berdaya. Padahal sejumlah hasil penelitian membuktikan bahwa perempuan dalam banyak hal jauh lebih kuat, lebih tekun dan lebih teliti dan lebih tahan terhadap stres. Yang lebih parah lagi adalah pandangan yang keliru ini kemudian mendapatkan pembenaran dari ajaran agama, yang mengatakan bahwa perempuan itu lemah akalnya (al-mar’at naqishat al-‘aqli wa ad-din) khususnya tentang larangan kaum perempuan untuk datang kemasjid, hal ini juga mendapat pembenaran serta penguatan dari ajaran agama. Para pakar menawarkan sejumlah solusi atau langkah-langkah mengubah budaya patriarkhis yang sudah berurat dalam tradisi dan nilai-nilai sosial masyarakat: 29 Pertama, membangun kesadaran bersama dimasyarakat, akan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan nilainilai kemanusiaan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna dan tidak ada yang membedakan diantara manusia terkecuali prestasi taqwanya.30 Maka tidak seorang pun yang mendapat memberikan penilaian terkecuali Tuham semata. Dimata Tuhan semua manusia adalah sama, setara, dan bersaudara. Karena itu, semua manusia memiliki hak-hak dan kebebasan asasi yang tidak boleh diganggu, dikurangi, atau dihilangkan oleh siapapun dan demi alasan apapun. Kedua, mensosialisasikan budaya kesetaraan sejak dirumah tangga melalui pola-pola pengasuhan anak yang demokratis, serta dimasyarakat melalui metode pembelajaran yang demokratis pada lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Ketiga, melakukan dekonstruksi terhadap ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan nilai-nilai patriarkhat. Menyebarluaskan ajaran agama yang apresiatif dan ekomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai demokrasi, dan nilai-nilai kedamaian. Keempat, diperlukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat tersebut sesuai dengan konteks masa kini, yang penuh dengan kemashlahatan 29
Ibid., 148. Lihat Q. S. al-Hujurat [49] : 13. ان اآ ا اArtinya “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. 30
81
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
serta penuh dengan keadilan HAM. Serta merevisi semua peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi upaya penegakan dan perlindungan serta keadilan HAM, khususnya keadilan HAM kaum perempuan. VI. Kesimpulan Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kaum perempuan di Indonesia khususnya dalam bidang organisasi masyarakat Islam masih mengalami ketidak-adilan. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil langkah politik hukum baru terkait dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia, serta pembentukan lembaga-lembaga keadilan kaum perempuan, namun upaya kesetaraan kaum perempuan di Indonesia khususnya di bidang organisasi masyarakat Islam masih belum dinikmati secara baik oleh kaum perempuan hingga saat ini. Organisasi masyarakat Islam di Indonesia hingga saat ini masih dikuasai oleh kaum laki-laki. Dan pada umumnya organisasi tempat dimana kaum perempuan tampil menjadi pemimpin hanyalah merupakan “organisasi sayap” (wing’s organizations) yang pada hakikatnya menjadi bagian dari organisasi induk yang note bene dipimpin oleh kaum laki-laki.
82
Habib Shulton Asnawi, Politik Hukum Kesetaraan Kaum Perempuan
DAFTAR PUSTAKA Dian Farricha, Sosiologi Hukum dan Gender, Interaksi Perempuan dalam Dinamika Norma dan Sosio Ekonomi, Malang: Bayumedia Publising, 2010 file:///E:/psw/Pengertian-budaya-patriakhi.htm. 06-08-2012. Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994 Habib Shulton Asnawi Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Mengembalikan Keadilan HAM Kaum Perempuan, dalam Jurnal al-Ahwal “Hukum Keluarga Islam”, Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka, 2011 Habib Shulton Asnawi, Hak Asasi Manusia dan Sholat: Studi Upaya Penegakan Keadilan Gender Kaum Perempuan dalam Sholat, dalam Jurnal Studi Gender dan Islam/MUSAWA , (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2011 Habib Shulton Asnawi dkk. Hak Asasi Manusia di Indonesia; Kajian Terhadap Hak-hak Pendidikan Kaum Perempuan di Indonesia, dalam Ni’matul Huda dan Suparman Marzuki (ed.), Yogyakarta: Pascasarjana FH UII dan FH UII Press, 2011
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana 2007. Jack Donnely, Universal Human Rigts in Theori and Practice, London: Cornell University Press, 2003 Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI Jakarta, 1981 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Muchtar Kusumatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006 R. Tockary, “Catatan Singkat Tentang Konflik Etnis Agama di Indonesia”, dalam Konflik Komunal di Indonesia, Jakarta-Leiden: INIS dan PBB, 2003. 83
Musãwa, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
Santi Wijaya Hesti Utami, Kesetaraan Gender “Langkah Menuju Demokratisasi Desa, Yogyakarta: IP. Lappera Indonesia, 2001 Saparinah Sadli, Hak Asai Perempuan Adalah Hak Asasi, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender, Uiniversitas Indonesia Jakarta, 2000 Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Kibar Press, 2008 Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia “Konsep dan Implementasinya, Jakarta: Naufan Pustaka, 2010 Solly Lubis, Serba Serbi Politik Hukum, Bandung: Bandar Jaya, 1989 Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asas Manusia (HAM di Indonesia), dalam bahan bacaan mata kuliah Hukum dan HAM, program Magister Ilmu Hukum FH. UII, 2010 Tjandraningsih Indrasari. Mengidentifikasi Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November. AKATIGA, 1996. Udiyo Basuki, Perlindungan HAM dalam Negara Hukum Indonesia: Studi Ratifikasi Konvensi Hak-hak Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities), dalam Jurnal SOSIO-RELEGIA, (Yogyakarta: (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial/LinkSAS) www. http///file:///E:/psw/Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan28LBH-APIK, .htm. 06-082012. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Kasusu Gender dalam Tafsir Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 1999
84