POLA DAKWAH PADA ‘MASYARAKAT SUKU TERASING’ DI KALIMANTAN SELATAN Zulfa Jamalie Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin
Abstrak Dakwah memiliki ruang lingkup yang luas. Karenanya, aktivitas dakwah tidak terbatas hanya pada sekelompok orang atau kawasan tertentu saja, tetapi bersifat menyeluruh. Salah satu kelompok masyarakat marginal yang patut untuk diperhatikan dakwah adalah masyarakat suku terasing yang dalam konteks lain terkadang disebut juga sebagai masyarakat daerah terpencil, masyarakat adat, atau masyarakat lokal. Diperlukan strategi atau pola dakwah yang berbasis kepada pemahaman dan karakteristik masyarakat lokal, sebab kehadiran dakwah bagi mereka diyakini tentu sangat diperlukan. Tidak hanya untuk memberikan perncerahan secara rohani (keagamaan), akan tetapi juga pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup. Data Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
1
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
menunjukkan bahwa di Kalimantan Selatan, sedikitnya terdapat 32.506 jiwa atau 7.724 KK (Kepala Keluarga) yang hidup terasing sehingga tahun 1990-an. Angka ini kemudian menurun pada tahun 2001, menjadi 5.724 KK. Mereka tersebar di delapan daerah, yakni Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Laut dan Kotabaru. Keterasingan hidup masyarakat terpencil tersebut disertai dengan tiga permasalahan utama, yakni perambahan hutan, sosial budaya, dan pemilikan tanah. Di samping itu keterasingan kehidupan mereka ditandai pula oleh kondisi kesehatan yang masih rendah atau tradisional, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat buta huruf yang masih tinggi, kurang gizi, tempat tinggal tak layak dan lingkungan yang tidak sehat, komunikasi dan kurangnya interaksi sosial dengan masyarakat yang lain, serta lemahnya tingkat pemahaman, penghayatan dan kehidupan beragama. Dalam konteks demikian, menarik untuk dipertanyakan, siapa masyarakat suku terasing dimaksud dan bagaimana pola dakwah terhadap mereka? Inilah yang hendak diuraikan dan menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini. Kata kunci: Pola dakwah, pemberdayaan masyarakat, dan masyarakat suku terasing. A. Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir dakwah mendapat kritik dan sorotan yang tajam dari sejumlah kalangan. Mereka mengkritik dan menilai bahwa aktivitas dan gerakan dakwah belakangan lebih menjadi sebuah kegiatan yang bisa dikatakan bersifat rutinitas. Dakwah secara normatif lebih banyak terfokus pada ceramah, hanya menyentuh kalangan masyarakat tertentu, berbicara halal haram, baik dan buruk, dosa dan pahala, sorga dan neraka, dan sebagainya. Potret dakwah yang demikian, menjadikan dakwah tidak populer dan pada akhirnya cenderung membuat masyarakat jenuh atau bosan dengan segala pesan yang disampaikan karena tidak menyentuh subtansi permasalahan yang mereka hadapi. Padahal
2
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
dakwah sebagai proyek raksasa harus tetap eksis dan survive; sehingga tidak terbayangkan apa yang yang bakal terjadi manakala aktivitas dan gerakan dakwah terhenti? Barangkali, Islam akan menjadi sesuatu yang mengawang-awang, tanpa dapat dibumikan dalam bentuk sikap dan prilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu di sisi lain, masyarakat sasaran dakwah (mad’u) sangatlah majemuk, mereka terdiri dari kalangan intelektual, pejabat, pengusaha sampai rakyat jelata. Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua, remaja, dan ada anak-anak, ada masyarakat kota (urban) dan ada masyarakat desa (rural), di samping masyarakat pinggiran (marginal) yang sering terlupakan, dengan berbagai problem kehidupan yang mereka hadapi. Padahal dalam konteks ini, dakwah mestinya bisa memberi jawaban dan solusi jitu atas aneka persoalan yang melanda kehidupan masyarakat. Jika pakar pendidikan Brasil Paulo Friere pernah mengemukakan gagasan brilian berkenaan dengan konsep “pendidikan yang membebaskan bagi manusia”, maka semestinya dakwahpun harus berorientasi pada “dakwah yang membebaskan manusia dari aneka problem kehidupan mereka”. Di mana, sebagai salah satu model gerakan perubahan sosial, dakwah sejatinya tidak melulu menangani masalah ceramah agama lewat mimbar atau pidato di depan audiennya. Namun lebih dari itu ruang lingkup dakwah yang luas telah membuka akses dan peluang yang besar untuk membangun dan memberdayakan masyarakat melalui karya nyata dalam gerakan dakwah sosial, yakni dakwah pembangunan masyarakat atau biasa pula disebut dengan istilah dakwah bilhal. Karena itu, mestilah dipahami bahwa kegiatan dakwah meliputi seluruh bidang kehidupan, tidak saja pada dimensi ritual (ibadah mahdhoh), tetapi juga pada dimensi sosial (muamalah, hablumminannas) yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, seni, budaya, lingkungan hidup dan semua bidang kehidupan manusia yang lain. Esensi dakwah dalam hal ini adalah mengadakan dan memberikan arah perubahan. Mengubah kondisi sosial dan budaya dari kezaliman ke arah keadilan, kebodohan ke arah kemajuan-kecerdasan, kemiskinan ke arah kemakmuran, keterbelakangan ke arah kemajuan. Karenanya dakwah harus selalu mengandung dimensi Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
3
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
perubahan, peningkatan dan development. Hal ini sejalan dengan sejarah kelahiran Islam, dengan dakwahnya Rasulullah mampu menggerakkan perubahan sosial secara mendasar dari zaman jahiliyah ke zaman Islam dengan segala dinamika perdabannya. Sementara, salah satu sasaran dari kegiatan dakwah sosial adalah dakwah terhadap ‘masyarakat suku terasing’. Sebagai mad’u (objek) dakwah masyarakat suku terasing merupakan salah satu dari kelompok masyarakat marginal, yakni masyarakat yang secara sosiologis dikatakan sebagai masyarakat yang terpinggirkan dari kehidupan perkotaan atau kehidupan perdesaan, akses pembangunan, ataupun fasilitas dan kehidupan yang layak, baik secara kultural maupun struktural. Dengan kata lain masyarakat marginal sering disebut sebagai periferal society, yakni kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam proses akumulasi modal, akses, dan segala kemajuan peradaban manusia modern, di samping tingkat pemahaman, sikap, dam persepsi tentang keagamaannya yang relatif masih rendah.1 Dengan demikian, tentu saja kehadiran dakwah sangatlah diperlukan oleh kelompok masyarakat suku terasing ini, dalam rangka untuk mengangkat citra dan memperbaiki derajat kehidupan mereka dalam berbagai bidang, baik agama, pendidikan, ekonomi, maupun sosial. B. Konsep Dakwah dan Masyarakat Suku Terasing Sebagaimana ditegaskan, fokus dan sentral tema dakwah tidak lagi hanya sekadar dialog tentang halal-haram, baik-buruk, wajib-sunnah dan seterusnya, akan tetapi dakwah juga harus digandengkan dengan persoalan lain yang lebih aktual, misalnya upaya dalam mengangkat harkat manusia, meningkatkan kesejahteraan (perekonomian) hidup umat, penguasaan ilmu dan teknologi, informasi dan komunikasi, kesehatan jiwa dan mental, ketentraman dan kedamaian, dan sebagainya. Maknanya, dakwah harus hadir dalam upaya pencerahan, pengembangan, pembangunan dan pemberdayaan umat. Sebab pada intinya dakwah tidak hanya 1
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 153.
4
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
semata-mata proses mengenalkan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga merupakan sebuah proses transformasi sosial, dengan sejumlah tawaran dan alternatif solusi-solusi bagi umat dalam mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi. Sebagaimana strategi dan pendekatan komprehensif yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah Saw manakala mendesain dan menggerakkan program serta agenda dakwah yang bermuatan pengembangan atau pemberdayaan umat serta berwawasan pembebasan dan problem solving. Karena itu, dakwah yang secara umum boleh diberi pengertian sebagai upaya untuk menyeru kepada keridhaan Allah Swt merupakan suatu usaha guna meningkatkan harkat kehidupan manusia dalam lingkungan yang mengitarinya, baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Dengan kata lain, pada intinya dakwah juga merupakan sebuah proses transformasi sosial, dengan sejumlah tawaran dan alternatif solusi-solusi bagi umat dalam mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi, sebagaimana strategi dan pendekatan komprehensif yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah Saw manakala mendesain dan menggerakkan program serta agenda dakwah yang bermuatan pengembangan atau pemberdayaan umat serta berwawasan pembebasan. Di mana untuk dapat melaksanakan dakwah yang seperti ini maka juru dakwah haruslah memahami empat pilar utama strategi pendekatan dakwah dengan baik, sebagaimana yang telah ditawarkan oleh Syukriadi Sambas, yakni tabligh dan ta’lim, irsyad, tadbir, dan tathwir.2 Pertama, Tadbir adalah adalah dakwah melalui pembangunan dan manajemen pembangunan masyarakat yang dilakukan dalam rangka perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas SDM, pranata sosial keagamaan serta menumbuhkan pengembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan kegiatan pokok seperti penyusunan kebijakan, perencanaan program, pembagian tugas dan pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta pengevaluasi dalam pembangunan masyarakat dari aspek perekonomian dan 2
Ibid., h. 34-35.
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
5
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
kesejahteraannya. Dengan kata lain tadbir berkaitan dengan dakwah melalui pembangunan untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Kedua, irsyad sebagai upaya penyuluhan dan konseling Islam dilakukan dalam rangka pemecahan masalah (problem solving) psikologis melalui kegiatan pokok-pokok, seperti bimbingan dan konseling pribadi, keluarga, dan masyarakat luas baik dalam rangka preventif (pencegahan) ataupun kuratif (pengobatan). Ketiga, tabligh dan ta’lim yang dilakukan sebagai upaya penerangan dan penyebaran pesan Islam dan dalam rangka pencerdasan serta pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok, sosialisasi, internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai ajaran Islam, baik dengan menggunakan sarana mimbar maupun media massa (cetak dan audio visual). Keempat, tathwir dilakukan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi keumatan, yakni pengembangan masyarakat yang dilakukan dalam rangka peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan masyarakat luas seperti kegiatan humaniora, seni budaya, penggalangan ukhuwah Islamiyah, pemeliharaan lingkungan, kesehatan, dan lain-lain. Dengan kata lain tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui pendekatan washilah sosial budaya atau dakwah kultural. Implementasi keempat metode ini harus dilaksanakan secara sinergis, simultan, terkoordinasi dan berkesinambungan, karenanya keterlibatan da’i secara langsung dalam pengentasan kemiskinan dan pencarian solusi dari serbaneka persoalan kehidupan yang sedang mereka hadapi sangat siginifikan. Tanpa pemahaman yang baik terhadap metodologi dan strategi dakwah, rasanya berat untuk berharap jika aktivitas dakwah yang dilaksanakan oleh juru dakwah mampu membawa masyarakat kepada kondisi pemberdayaan dan pencerahan yang diharapkan. Itulah sebabnya menjadi hal yang urgen dan signifikan jika para juru dakwah terlebih dahulu memahami seluk beluk dakwah guna menunjang kegiatan dakwahnya agar lebih profesional, bermutu, dan elegan. 6
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
Masyarakat terasing merupakan golongan suku bangsa yang terisolasi dan masih hidup dari berburu, meramu atau berladang padi dan umbi-umbian dengan cara ladang berpindah-pindah. Mereka membuka hutan atau lahan untuk bercocok tanam dengan cara membakar hutan. Biasanya mereka terhambat dari perubahan dan kemajuan karena isolasi geografi mereka. Namun kadang-kadang juga karena upaya-upaya mereka sendiri yang disengaja untuk menolak bentuk perubahan, seperti halnya orang Baduy di Banten Masyarakat suku terasing seringkali diidentifikasikan dengan masyarakat yang masih hidup dengan rata-rata tingkat pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang masih rendah. Suku terasing juga identik dengan kondisi yang sulit dijangkau baik secara geografi maupun kebudayaan. Mubyarto menyatakan bahwa istilah terasing identik dengan terbelakang, di mana kehidupan masyarakat yang terbelakang ditandai oleh rendahnya kondisi kehidupan dan penghidupan mereka baik di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, sandang, pangan, pengetahuan, pekerjaan dan sebagainya.3 Secara teritorial, istilah masyarakat suku terasing umumnya diartikan sebagai masyarakat yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakatmasyarakat lain yang lebih maju, sehingga bersifat terbelakang serta tertinggal alam pengembangan kehidupan ekonomi, politik, sosialbudaya, keagamaan dan ideologi.4 Karena itu oleh Departemen Sosial RI masyarakat yang tergolong sebagai masyarakat terasing adalah: 1. Masyarakat yang warganya masih hidup mengembara atau setengah mengembara, karena mata pencaharian hidup mereka yang pokok adalah meramu sagu, berburu, berkebun secara amat sederhana, karena lokasi wilayah tempat tinggal mereka terpencil, karena dianggap masih berkebudayaan primitif, walaupun mereka pernah didatangi oleh orang luar, mereka 3
Mubyarto, Masyarakat Terasing 1994–1997, (Yogyakarta: Aditya Media,
1994). 4
Departemen Sosial RI, Pembinaan Terhadap Masyarakat Terasing, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 1989), h. 1.
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
7
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
belum dibina secara maksimal, baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial keagamaan 2. Penduduk masyarakat yang masih hidup mengembara atau setengah mengembara, dan juga yang warganya sudah menetap, tetapi dianggap mempunyai kebudayaan yang masih primitif, dan walaupun dari sebagian mereka telah terpengaruh oleh unsurunsur kebudayaan dari luar yang lebih maju, namun sebagian besar masih mempunyai kebudayaan yang dinilai primitif. 5 Senada dengan pengertian dan indikator ini, masyarakat terasing dikatakan pula sebagai masyarakat yang yang keadaan sosial hidupnya, sosial ekonominya, dan peradabannya masih tergolong tingkat sederhana. Dilihat dari lokasi daerah atau tempat tinggalnya, biasanya mereka hidup di daerah-daerah sekitar pergunungan, di lereng-lereng bukit, di perdalaman hutan, serta pantai-pantai atau laut, dengan kondisi medan yang sulit dan berat sehingga mereka tidak bisa mengakses kemajuan kehidupan sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat yang lain.6 Karenanya, keadaan sosial budaya, sosial ekonomi, dan kebudayaan masyarakat terasing masih tergolong di tingkat kehidupan yang sederhana.7 Menurut Arba, sebagaimana dikutip oleh Asmuni Syukir tanda-tanda atau ciri-ciri masyarakat primitif (terasing) itu adalah mereka hidup terasing atau terisolasi dari dunia luar (isalement), kehidupannya tergantung kepada alam, kebudayaan atau peradaban mereka berjalan lambat (konservatif), dan mereka sukar membedakan antara masalah yang satu dengan masalah yang lain (diferensiasi).8 Lebih jauh Arba juga menjelaskan beberapa sifat yang umumnya dimiliki oleh masyarakat primitif, seperti adanya rasa solidarits yang besar, uniformitas anggota, pengakuan terhadap hak 5
Ibid., h. 2. Departemen Agama RI, Metodologi Dakwah kepada Suku Terasing, (Jakarta: Proyek Penerangan Bimbingan dan Dakwah/Khutbah Agama Islam, 1979), h. 8. 7 M. Zubir, Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Terasing, (Jakarta: Lembaga Dakwah, 1997), h. 1. 8 Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 80-81. 6
8
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
milik bersama, sehingga hak milik individu tidak jelas, serta pandangan terhadap nilai benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis.9 Pada tahun 1999 dipopulerkan istilah baru yang dianggap lebih tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat suku terasing tersebut, yakni Komunitas Adat Terpencil (KAT). Mereka biasanya hidup secara berkelompok, ada yang menetap secara permanen pada daerah tertentu, ada yang berpindah-pindah, dan ada pula yang menetap hanya untuk sementara (misalnya 1 musim), untuk kemudian berpindah ke daerah lain. Penamaan ini didasarkan pada Keppres Nomor 111 tahun 1999 yang mengartikan KAT sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pembangunan sosial, ekonomi maupun politik. 10 Secara operasional mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih terikat pada sumber daya dan habitatnya sehingga memerlukan program pembangunan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas. Mereka dicirikan oleh pemerintah sebagai kelompok yang hidup dalam kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar dengan ciri berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; mempunyai pranata sosial yang bertumpu pada hubungan kekerabatan dan pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau. Yang kedua adalah kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik dimana pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten (hanya untuk kepentingan sendiri), mempunyai peralatan dan teknologinya sederhana, ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi, dan terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Dalam Keppres ini, pemerintah tidak lagi melihat masyarakat terasing sebagai potensi pembuat atau penyandang masalah sosial, tetapi lebih pada konsep pemberdayaan yang menekankan pada 9
Ibid., h. 81-82. Direktorat Kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil, Panduan Umum Pengembangan Kesejahteraan Sosial KAT, (Jakarta: BKSN, 2000), h. 4. 10
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
9
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
pembangkitkan kesadaran akan kemandirian, sehingga kemudian dilaksanakan program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan KAT yang mandiri dan integrasi sosial melalui program dan usaha seperti memasukan perwujudan keadilan sosial; kelembagaan sosial yang belum berkembang baik karena eksploitasi ekonomi, politik, dan budaya; masalah perlindungan sumber daya masyarakat terasing; terisolirnya mereka secara geografis; dan pengenalan nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai KAT itu sendiri yang menyebabkan mereka tercerabut dari akar budayanya.11 Meskipun demikian, tidak semua arah kebijakan dan program yang berjalan sesuai dengan kenyataan, masih banyak kendala dan permasalahan penting yang dihadapi, seperti: masalah kesenjangan sistem sosial, budaya dengan masyarakat lainnya; masalah ketertinggalan dalam sistem sosial, sistem teknologi, dan sistem ideologi; serta masalah keterbelakangan dalam berbagai segi kehidupan dan penghidupan.12 Berdasarkan pengertian di atas, maka ada sejumlah ciri atau indikator yang bisa diidentifikasi dari masyarakat suku terasing atau KAT dimaksud, antara lain adalah: (1) lokasi yang menjadi tempat tinggal mereka terpencil atau terisolir, sehingga sulit untuk dijangkau (2) terbatasnya komunikasi atau hubungan dengan kelompok masyarakat yang lain (3) terbatasnya akses dan kemajuan pembangunan yang bisa mereka nikmati (4) tingkat kehidupan sosial dan ekonomi mereka yang masih rendah (5) tingkat pemahaman, sikap, dan persepsi tentang keagamaannya masih relatif rendah. Dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto, indikator atau ciri-ciri dari masyarakat suku terasing atau KAT ini pada umumnya adalah: 1. Hidup berkelana, menetap sementara atau menetap dalam kelompok terpencar. Hal ini karena komunitas adat terpencil itu kehidupannya sangat tergantung dengan alam sekitarnya dan pekerjaan mereka sebagai peladang berpindah dan berburu. 11
Ibid., h. 7. Direktorat Kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil, Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial KAT, (Jakarta: BKSN, 2000), h. 9. 12
10
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
2. Sumber penghidupannya tergantung dengan alam sekitarnya seperti berburu, meramu, menangkap ikan, dan bercocok tanam secara berpindah-pindah. 3. Perilaku hidup sehat masih sangat rendah yakni menyangkut kesehatan diri dan kesehatan lingkungannya yang kurang bersih. 4. Busana yang dipakai masih sangat sederhana dan ada yang sekadar menutup aurat. 5. Kondisi pemukiman yang tidak layak huni, seperti rumah yang tanpa ventilasi dan sering menyatu dengan gudang dan kandang ternak. 6. Tingkat pengetahuan dan teknologi (bercocok tanam dan pengolahan pangan) yang dikuasai masih sangat sederhana dan terbatas. 7. Sistem kepercayaan umumnya masih menganut animisme dan dinamisme. 8. Keterikatan pada sistem nilai dan adat istiadat sehingga cenderung bersikap tertutup dan sulit untuk menerima inovasi.13 Mengenai asal mula adanya masyarakat terasing ini setidaknya ada dua dugaan, yakni: 1. Dugaan yang menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa-sisa dari suatu penduduk lama yang memang tertinggal dan mendiami daerah-daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang; 2. Dugaan yang menganggap bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang, yang karena peristiwa-peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah-daerah yang terpencil sehingga mereka tidak mengikuti perkembangan dan kemajuan sekarang. Di seluruh kepulauan Indonesia, masih banyak terdapat masyarakat terasing yang berada tingkat perkembangan ekonomi dan sosial yang berbeda-beda. 14 Mereka hidup dalam kelompok-ke13
Mubyarto, op. cit., h. 17. Berdasarkan data yang ada, hingga tahun 1998 tidak kurang terdapat 227.377 KK atau 1.136.885 jiwa yang tersebar di 18 propinsi. Populasi “masyarakat terasing” kebanyakan berada di Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. 14
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
11
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
lompok kecil di hutan rimba, lereng gunung atau rawa-rawa luas yang terbentang antara Kepulauan Sumatera di bagian Barat hingga Papua, atau di Sulawesi dan Kalimantan. Kelompok-kelompok masyarakat terasing tersebut antara lain; orang Sakai yang mendiami daerah pinggir sungai Indragiri Riau, orang Kubu di Jambi, orang Akit atau Talang di hulu sungai Siak, Kampar, Mandan, dan Rokan. Kemudian orang Mentawai dan Enggano di Sumatera Barat, orang Dayak Punan di Kalimantan, orang Badui di Jawa Barat, orang To Pembuni dan To Seko di Sulawesi Selatan, orang Donggo di pergunungan Bima, orang Tugutil di Pulau Halmahera, orang Baham, Bauzi, Mek, Dani Asmat, Senggi, Arso di Papua, orang laut di Nusa Tenggara, dan lain-lain. Di Kalimantan Selatan, pada tahun 1990-an, terdapat sekitar 32.506 jiwa atau 7.724 KK (Kepala Keluarga) hidup terasing; kemudian berkurang jumlahnya pada tahun 2001 menjadi 5.724 KK. Mereka tersebar di delapan daerah, yakni Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Laut dan Kotabaru. Keterasingan hidup masyarakat terpencil tersebut disertai dengan tiga permasalahan utama, yakni perambahan hutan, sosial budaya, dan pemilikan tanah. Di samping itu keterasingan kehidupan mereka ditandai pula oleh kondisi kesehatan yang masih rendah atau tradisional, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat buta huruf yang masih tinggi, kurang gizi, tempat tinggal tak layak dan lingkungan yang tidak sehat, komunikasi dan kurangnya interaksi sosial dengan masyarakat yang lain, serta lemahnya tingkat pemahaman, penghayatan dan kehidupan beragama. Berdasarkan sebarannya, dari delapan kabupaten di atas, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu kabupaten dengan KAT Suku Dayak terbanyak, yaitu 22,17% dari seluruh komunitas. Sebagian besar KAT tersebut bertempat tinggal tersebar di sekitar lereng pergunungan Meratus, sehingga lebih umum mereka disebut dengan nama Suku Dayak Meratus. Suku ini terbanyak berada di wilayah Kecamatan Hantakan yang terdiri 10 desa, salah satu desa yang menjadi penelitian adalah Desa Haruyan Dayak karena di desa ini telah dibangun pemukiman sebanyak tiga lokasi. Desa ini terletak 176 km dari kota Banjarmasin (Kota Propinsi), atau dari kota kabupaten sepanjang 11 km. 12
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
C. Strategi Dakwah untuk Masyarakat Suku Terasing Kenyataan di atas pada akhirnya memerlukan pembinaan sosial kemasyarakat yang terus menerus, baik dari pemerintah sendiri maupun dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta organisasi sosial keagamaan yang berkepentingan untuk mengangkat derajat kehidupan mereka. Sementara, masyarakat terasing sebagai kelompok spesifik dan minoritas memerlukan pendekatan-pendekatan khusus, baik budaya, cara hidup, tingkat kesehatan, interaksi sosial, maupun kehidupan keagamaan. Karenanya kehadiran dakwah menjadi urgent dalam komunitas mereka. Secara umum, permasalahan dakwah yang melingkupi kehidupan masyarakat suku terasing ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, beberapa permasalahan dakwah yang bersifat ekstern terhadap suku terasing ini, di antaranya adalah; masalah pendidikan, masalah sistem kepercayaan, dan masalah mata pencaharian serta ekonomi. Kedua, permasalahan dakwah yang bersifat intern, misalnya materi dakwah yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi dan kehidupan masyarakat suku terasing; terkadang da’i tidak menguasai secara fasih bahasa, budaya, atau pun nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat suku terasing; terkadang timbul perasaan atau sikap yang kurang simpatik dari da’i, dan lain-lain. Adapun strategi dakwah sosial yang dapat diterapkan dalam rangka pembangunan masyarakat suku terasing ini, sebagaimana yang ditawarkan oleh Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, antara lain adalah: 1. Keterlibatan da’i secara langsung dalam pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan pencarian solusi dari serbaneka persoalan kehidupan yang sedang mereka hadapi 2. Manajemen pembangunan masyarakat yang baik dan teratur dalam rangka perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas SDM, pranata sosial keagamaan serta menumbuhkan pengembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat 3. Peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
13
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
realitas kehidupan masyarakat luas seperti kegiatan humaniora, seni budaya, penggalangan ukhuwah Islamiyah, pemeliharaan lingkungan, kesehatan, dan lain-lain 4. Melalui program jaring pengaman sosial (social safety net) yang lebih menyentuh persoalan kebutuhan primer dan berorientasi pada kesetiakawanan serta kepedulian sosial 5. Melalui pemberdayaan (empowerment) fungsi dan kerjasama institusi-institusi sosial yang memiliki visi, misi dan tugas yang sama dalam menangani problematika sosial kehidupan masyarakat 6. Melalui upaya kondisioning dalam pemahaman, sikap dan persepsi tentang keberagamaan dan pembangunan manusia seutuhnya 7. Membentuk jaringan kerjasama yang terkoordinir secara baik, sehingga tumpang tindih program dapat dihindari, hemat tenaga dan biaya yang dikeluarkan serta waktu yang lebih efisien. 15 Sedangkan Departemen Agama RI, dalam buku Metodologi Dakwah Kepada Suku Terasing, menawarkan beberapa aspek yang harus dipahami dan menjadi perhatian para juru dakwah dalam memberdayakan kelompok masyarakat ini, yakni aspek mata pencaharian, kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem pemukimam, pangan dan perumahan, kesehatan, pendidikan, kehidupan seni dan budaya, serta bahasa.16 Menurut Munir Mulkhan strategi utama dakwah (terlebih untuk masyarakat suku terasing) adalah dakwah pemecahan masalah, yang merupakan upaya demokratis bagi pengembangan dan peningkatan kualitas hidup sebagai bagian dari pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam menuntaskan berbagai persoalam kehidupan objektif. Karena, pada gilirannya menurut hemat Munir Mulkhan konsep dan strategi dakwah yang diarahkan pada problem solving atau pembebasan terhadap berbagai problem kehidupan umat di lapangan, terlebih pada kelompok masyarakat suku terasing 15 16
14
Asep Muhyiddin, dan Agus Ahmad Safei, op. cit., h. 155-156. Departemen Agama RI, op. cit., h. 13.
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
pada gilirannya nanti akan melahirkan tiga kondisi positif dalam diri sasaran dakwah, yakni: 1. Tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian umat serta masyarakat, sehingga berkembang sikap optimis dan dinamis; 2. Tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan dakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik dan ideal; 3. Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi dan budaya masyarakat yang lebih baik.17 Dengan kata lain, menurut Munir Mulkhan selanjutnya, strategi dasar dakwah sosial dan pembangunan tersebut harus bersifat terbuka dan dinamis bagi seluruh kelompok masyarakat, lembaga, maupun komponen-komponen yang terkait di dalamnya. Karena itu strategi dasarnya harus meliputi (1) aktivitas yang terencana dan terarah (2) proses kegiatan yang berkesinambungan dan bertahap (3) bertumpu pada modal dasar insaniah, alam dan kultural (4) berasas kerohanian, etika kodrati, dan sosial (5) kekuatan dan kemandirian (6) pemanfaatan teknologi tepat guna sebagai penunjang kesejahteraan hidup masyarakat.18 Penting untuk dicatat, sebagaimana penegasan Asmuni Syukir, yang penting untuk diperhatikan dalam menentukan strategi dakwah kepada masyarakat terasing (primitif) adalah semboyan atau adat yang berlaku umum dalam kehidupan mereka, yang menyatakan bahwa: “Memberikan harta kepada sesamanya adalah suatu perbuatan utama dan terhormat, sebaliknya menolak permintaan temannya adalah suatu hal yang dilaknat”. 19 Berdasarkan kenyataan di atas, pola dakwah terhadap masyarakat suku terasing utamanya adalah dakwah bil-hal. Dawam Rahardjo menyatakan bahwa masalah terpokok dan mendasar yang menyangkut kehidupan rakyat banyak saat ini adalah ketertinggalan, keterbelakangan, atau kemiskinan, yakni kemiskinan struktural, yang sering dikatakan timbul akibat sistem eksploitasi yang tidak adil, 17
Abdul Munir Mulkhan, op. cit., h. 245. Ibid., h. 189. 19 Asmuni Syukir, op. cit., 82. 18
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
15
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
sehingga sebagai solusinya perlu dilaksanakan pembangunan masyarakat yang berwawasan dakwah bil-hal, yakni kegiatan dakwah yang lebih diarahkan kepada gerakan nyata pembangunan, yang sifatnya pemberdayaan (empowering).20 Di samping itu, dakwah bil-hal adalah dakwah yang diarahkan kepada problem solving Menurut Munir Mulkhan, konsep dan strategi dakwah yang diarahkan pada problem solving atau pembebasan terhadap berbagai permasalahan kehidupan umat di lapangan, pada gilirannya nanti akan melahirkan gambaran dan tiga kondisi positif dalam masyarakat, yakni (1) Tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian umat serta masyarakat, sehingga berkembang sikap optimis dan dinamis (2) Tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan dakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik dan ideal (3) Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan peningkatan kualitas hidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat. Dengan demikian, menurut hemat Munir Mulkhan dakwah pemecahan masalah merupakan upaya yang demokratis bagi pengembangan dan peningkatan kualitas hidup sebagai bagian dari pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam menuntaskan berbagai persoalam kehidupan objektif.21 Kuntowidjoyo, menyarankan tiga model yang bisa diadopsi dan dikembangkan untuk pengembangan masyarakat suku terasing, yaitu pertama model pengembangan lokal yang berasumsi bahwa perubahan dan pengembangan masyarakat dapat didorong secara optimal bila partisipasi berbagai lapisan dan golongan diikutsertakan dalam mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan pilihan, merencanakan dan melaksanakannya. Kedua, model pendekatan perencanaan sosial yang menekankan perlunya kemampuan keahlian dalam memecahkan masalah, seperti permukiman, perumahan, dan lingkungan yang sehat, hidup sehat, makanan bergizi dan lain-lain. 20
Dawam Rahadjo, dalam Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri (Peny.), Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 124. 21 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., h. 245.
16
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
Ketiga, model pendekatan aksi sosial yang lebih menekankan pada pemecahan-pemecahan masalah yang dihadapi oleh suatu kelompok masyarakat.22 Melalui upaya dakwah yang sistematis, metodologis dan simultan, pada akhirnya masyarakat suku terasing akan mampu berkembang menjadi salah satu unsur kekuatan pembangunan, dengan syarat keberadaan dan survivalitas mereka dibina, dijaga dan dikembangkan melalu sistem kedakwahan yang harmonis dan padu. D. Penutup Melalui berbagai program yang terarah dan kebijakan yang proporsional dan model dakwah yang tepat, suatu komunitas masyarakat sesederhana apapun pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi komunitas sosial yang mempunyai kemampuan internal untuk berkembang secara mandiri dalam menyelesaikan persoalannya. Itulah sebabnya pengembangan kemampuan kualitas sumberdaya umat dalam lingkup kecil, seperti keluarga (usrah), atau kelompok (jamaah), harus menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian seluruh lembaga formal dakwah Islam secara terencana dan sistematis, guna menatap masa depan dakwah yang lebih cerah. Lebih penting lagi, adanya sinergi, kerjasama dan pemahaman yang baik terhadap pola kerja dakwah sosial dalam dimensi lintas sektoral (seluruh bidang kehidupan) guna mengembangkan dan memberdayakan kehidupan masyarakat suku terasing akan memberikan andil yang signifikan untuk mengangkat derajat kesejahteraan hidup mereka ke arah yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan, Menggugat Muhammadiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2000.
22
Kuntowidjoyo, dalam Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri (Peny.), Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 125-126.
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015
17
Zulfa JamalieS, Pola Dakwah pada ‘Masyarakat Suku Terasing’ di Kalimantan Selatan
Ade Ma’ruf dan Zulfan Heri (Peny.), Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. Adi Prasetijo, “Komuniti Lokal dan Akses Peran Serta Mereka Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”, dalam Akses Peran Serta Masyarakat, Jakarta, ICSD, 2003. Amrullah Achmad (ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta, 1983. Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Metode Dakwah, Pustaka Setia, Bandung, 2002. Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1983. Departemen Agama RI, Metodologi Dakwah kepada Suku Terasing, Proyek Penerangan Bimbingan dan Dakwah/Khutbah Agama Islam, Jakarta, 1979. Departemen Sosial RI, Pembinaan Terhadap Masyarakat Terasing, Jakarta, 1989. Direktorat Kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil, Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial Komunitas Sosial KAT, BKSN, Jakarta, 2000. Direktorat Kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil, Panduan Umum Pengembangan Kesejahteraan Sosial KAT, BKSN, Jakarta, 2000. Direktorat Kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil, Profil Komunitas Adat Terpencil di Kalimantan. BKSN, Jakarta, 2001. M. Zubir, Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat Terasing, Lembaga Dakwah, Jakarta, 1997. Mubyarto, Masyarakat Terasing 1994–1997, Aditya Media, Yogyakarta, 1994. Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam: Dari Ideologi, Strategi, sampai Tradisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001. Wahyuni, “Suku Dayak Meratus Mengejar Ketertinggalan”, Laporan Penelitian, Unlam, Banjarmasin, 2012.
18
Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 1 Tahun 2015