SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2013/PN.PMS)
JURIDICAL ANALYSIS IMPRISONMENT DECISION FOR CHILDREN IN A CRIMINAL OFFENSE THEFT (VERDICT NUMBER 162/PID.B/2013/PN.PMS)
ERVIN MANUEL SIMANJUNTAK NIM 090710101242
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2016 i
SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2013/PN.PMS)
JURIDICAL ANALYSIS IMPRISONMENT DECISION FOR CHILDREN IN A CRIMINAL OFFENSE THEFT (VERDICT NUMBER 162/PID.B/2013/PN.PMS)
ERVIN MANUEL SIMANJUNTAK NIM 090710101242
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2016 ii
MOTTO
“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai penerus generasi bangsa”
Javier Perez de Cuellar, 1987, dalam buku Peradilan Anak di Indonesia, Romli Atmasasmita, CV.Mandar Maju, Bandung, hlm. 83
iii
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan skripsi ini kepada : 1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapakku Marihot Simanjuntak dan Ibuku Entelina Manurung yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, segala perhatian dan dukungan, doa serta pengorbanan yang tulus dan begitu besar selama ini; 2. Seluruh Guru dan Dosenku sejak Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dan mengajarkan ilmuilmunya yang sangat bermanfaat dan berguna serta membimbing dengan penuh kesabaran; 3. Almamater Fakultas Hukum Universitas Jember yang kubanggakan.
iv
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2013/PN.PMS)
JURIDICAL ANALYSIS IMPRISONMENT DECISION FOR CHILDREN IN A CRIMINAL OFFENSE THEFT (VERDICT NUMBER 162/PID.B/2013/PN.PMS)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember
ERVIN MANUEL SIMANJUNTAK NIM 090710101242
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2016 v
PERSETUJUAN
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 4 DESEMBER 2015
Oleh : Dosen Pembimbing Utama
Dr. H. NURUL GHUFRON, S.H., M.H. NIP 197409221999031003
Dosen Pembimbing Anggota
ROSALIND ANGEL FANGGI, S.H., M.H. NIP 198112122005012002
vi
PENGESAHAN
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (PUTUSAN NOMOR 162/PID.B/2013/PN.PMS)
Oleh :
ERVIN MANUEL SIMANJUNTAK NIM 090710101242
Dosen Pembimbing Utama
Dosen Pembimbing Anggota
Dr. H. NURUL GHUFRON, S.H., M.H. NIP 197409221999031003
ROSALIND ANGEL FANGGI, S.H., M.H. NIP 198112122005012002
Mengesahkan, Kementerian Riset, Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Universitas Jember Fakultas Hukum Penjabat Dekan
Dr. H. NURUL GHUFRON, S.H., M.H. NIP 197409221999031003
vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Pada : Hari
: Jumat
Tanggal
:4
Bulan
: Desember
Tahun
: 2015
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember,
PANITIA PENGUJI
Ketua,
Sekertaris,
ECHWAN IRIYANTO, S.H., M.H. SAMUEL SAUT MARTUA SAMOSIR, S.H., M.H. NIP 196204111989021001 NIP 19800216200821002
ANGGOTA PENGUJI :
Dr. H. NURUL GHUFRON, S.H., M.H. NIP 197409221999031003
: (.............................................)
ROSALIND ANGEL FANGGI, S.H., M.H. NIP 198112122005012002
: (..............................................)
viii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Ervin Manuel Simanjuntak
NIM
: 090710101242
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa karya tulis skripsi dengan judul : Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Anak dalam Tindak Pidana Pencurian (Putusan Nomor 162/PID.B/2013/PN.PMS) ; adalah hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penulis bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta saya bersedia mendapatkan sanksi akademik apabila ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Jember, 4 Desember 2015 Yang Menyatakan,
ERVIN MANUEL SIMANJUNTAK NIM 090710101242
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Tuhan, penulis panjatkan segala puja dan puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas segala KaruniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hukum dengan judul : Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Anak Dalam
Tindak Pidana Pencurian
(Putusan Nomor 162/PID.B/2013/PN. PMS). Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember serta mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember. Penulis pada kesempatan ini tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebanyakbanyaknya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan ini, antara lain : 1. Ibu Dr. Dyah Octorina, S.H., M.Hum., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember ; Bapak Mardi Handono, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Jember, dan Bapak Iwan Rachmad Soetiyono, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Jember. 2. Bapak Dr. H. Nurul Ghufron, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus sebagai Penjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan arahan, nasehat serta, bimbingan selama penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukan beliau ; 3. Ibu Rosalind Angel Fanggi S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Anggota skripsi yang telah banyak meluangkan waktu memberikan masukan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan ; 4. Ketua Panitia Penguji skripsi Bapak Echwan Iriyanto, S.H., M.H. 5. Sekretaris Panitia Penguji skripsi Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H. 6. Bapak I Wayan Yasa, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan bimbingan, konsultasi, dan masukan selama melaksanakan aktivitas perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jember.
x
7. Seluruh Ibu/Bapak Dosen serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Jember, yang telah memberikan pendidikan, pengarahan, serta motivasi selama melaksanakan masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jember ; 8. Kedua orang tuaku, Bapak Marihot Simanjuntak, S.T., M.Sc., dan Ibu Entelina Manurung, S.E., yang telah membesarkanku dan senantiasa membimbing dan mengarahkan tiap langkah dalam hidupku ; 9. Abangku Van Bastian Simanjuntak, S.E., dan kedua adik-adikku Desy Friska Simanjuntak, Afri Ayu Octavia Simanjuntak beserta seluruh keluarga besarku terima kasih atas doa dan kasih saying serta dukungannya yang tanpa henti ; 10. Seluruh teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Jember, khususnya angkatan tahun 2009 atas segala semangat, dukungan, dan kebersamaannya selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember ; 11. Saudara-saudara terkasih di Naposobulung Huria Kristen Batak (NHKBP), terima kasih atas kebersamaannya selama ber-NHKBP ; 12. Saudara-saudara di HORAS, terima kasih untuk semua cerita dan kenangan bersama, baik canda tawa maupun keluh kesah ; 13. Semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih.
Akhir kata tidak ada satupun yang sempurna di dunia ini demikianlah adanya skripsi ini, sangat disadari bahwa pada penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, perlu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan, mudah-mudahan skripsi ini minimal dapat menambah referensi serta bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jember, 4 Desember 2015
Penulis xi
RINGKASAN
Tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri, mengingat anak adalah individu yang masih labil emosinya dan belum cakap secara hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara pidana formil mengatur secara khusus kewajiban dan hak yang diperoleh anak. Pada saat ini, banyak dijumpai anak-anak yang melakukan perilaku yang menyimpang, salah satu diantaranya tindak pidana sebagaimana kajian skripsi ini yaitu dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal yaitu ; (1) apakah pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sudah sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan ? dan (2) apakah penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS sudah sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ? Tujuan penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sudah sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan serta menganalisis penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/ PN.PMS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997. Guna mendukung tulisan tersebut menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan, maka metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah, Pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, menyangkut unsur pasal yang didakwakan yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, khususnya Pasal 4 ayat (1) bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18
xii
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 Pasal tersebut direvisi yang menyatakan bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Berdasarkan identitas tersebut bahwa para terdakwa belum berusia 18 tahun dan masih digolongkan anak-anak. Dengan demikian, dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Siantar dalam putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS yang menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku anak dalam tindak pidana pencurian tidak sesuai dengan fakta hukum di persidangan bahwa terdakwa masih dalam kategori anak. Kedua, penjatuhan pidana penjara terhadap Doni Yoga Simangunsong sebagai terdakwa anak dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 bahwa umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah 11 (sebelas) tahun. Berdasarkan hal tersebut, alangkah lebih baiknya apabila terhadap terdakwa diberikan hukuman yang sifatnya berupa hukuman yang bersifat pembinaan atau tindakan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak. Dalam hal ini dapat penulis kemukakan bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa pada saat melakukan perbuatan pidana tersebut, terdakwa adalah dalam kategori anak yaitu berusia 11 (sebelas) dan terjadinya tindak pidana tersebut adalah pada tanggal 23 Maret 2013. Saran yang diberikan bahwa, hak anak telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, termasuk hak anak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dikenal dengan double track system yakni penjatuhan sanksi pidana penjara bukan satu-satunya sanksi yang dapat diberikan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan, vonis pidana terhadap anak umur 11 tahun di dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah direvisi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VII/2010 berkaitan dengan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak. Hakim seharusnya memberikan pidana terhadap pelaku berdasarkan aturan hukum dan doktrin hukum pidana yang ada demi terpenuhinya prinsip kepastian hukum. Terhadap putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS harus dilakukan upaya hukum untuk merubah vonis terdakwa II Doni Yoga Simangunsong, demi kepentingan terbaik untuk anak dan untuk mencegah adanya stigma yang “negatif” akibat adanya putusan tersebut.
xiii
DAFTAR ISI Halaman Sampul Depan…………………………………………………………......
i
Halaman Sampul Dalam ……………………………………………………….........
ii
Halaman Motto …..…………….……..…………………………………..................
iii
Halaman Persembahan ………………………………………………………….......
iv
Halaman Persyaratan Gelar ………………………………………………………....
v
Halaman Persetujuan .......................................................…………………………...
vi
Halaman Pengesahan …..……………………..……………………………………..
vii
Halaman Penetapan Panitia Penguji ………………………………………………...
viii
Halaman Pernyataan ………………………………………………………………...
ix
Halaman Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………..
x
Halaman Ringkasan ………………………………………………………………....
xii
Halaman Daftar Isi …..……………………..……………………..………………....
xiv
Halaman Daftar Lampiran ………………………………………………………......
xvi
PENDAHULUAN …..……………………..………………..…….…....
1
1.1
Latar Belakang …..……………………..…………..…........….....
1
1.2
Rumusan Masalah …..……………………………………….…...
5
1.3
Tujuan Penelitian ………………………………………...............
5
1.4
Metode Penelitian …..………………….………………..….…....
5
1.4.1 Tipe Penelitian …………………………………………....
6
1.4.2 Pendekatan Masalah ...…..……………….…………….....
6
1.4.3 Bahan Hukum ……………………………….....................
7
1.4.4 Analisis Bahan Hukum …………………...........................
8
TINJAUAN PUSTAKA …………........................................................
10
2.1
Tindak Pidana ................................................................................
10
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana ..................................................
10
2.1.2 Tindak Pidana Pencurian ....................................................
11
Anak ..............................................................................................
14
2.1.1 Pengertian Anak ..................................................................
14
2.1.2 Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana .................................
17
BAB I
BAB II
2.2
xiv
2.3
2.4
2.5
2.6
BAB III
Jenis Sanksi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 .........
19
2.2.1 Sanksi Pidana......................................................................
19
2.2.2 Sanksi Tindakan ................................................................
21
Laporan Penelitian Kemasyarakatan .............................................
24
2.4.1 Pengertian Laporan Penelitian Kemasyarakatan ................
24
2.4.2 Fungsi Laporan Penelitian Kemasyarakatan........................
25
Putusan Pengadilan ........................................................................
26
2.5.1 Pengertian Putusan Pengadilan .........................................
26
2.5.2 Jenis-Jenis Putusan ............................................................
27
2.5.3 Hal-Hal Yang Dimuat dalam Putusan ................................
29
Upaya Hukum .............................................................................
35
2.6.1 Pengertian Upaya Hukum ................................................
35
2.6.2 Bentuk-Bentuk Upaya Hukum ........................................
35
PEMBAHASAN……………………....................................................... 3.1
37
Pertimbangan Hakim Menyatakan Terdakwa Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dikaitkan Dengan Fakta Yang Terungkap di Persidangan ....................................................
3.2
37
Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Terdakwa Anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS Menurut Ketentuan Pasal 26 Ayat (4) Undang Undang Nomor 3
BAB IV
Tahun 1997 ....................................................................................
60
PENUTUP …………………………………….......................................
74
4.1
Kesimpulan …..……………………..……………........................
74
4.2
Saran-saran ..………………..……………………….....................
75
DAFTAR BACAAN LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran : Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS.
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa serta merupakan aset bagi pembangunan nasional sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang dijumpai adanya penyimpangan sikap perilaku dikalangan anak yang sangat dipengaruhi oleh nilainilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Negara Indonesia memberikan jaminan atas hak anak secara khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembanga serta berhak atas perlingdungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan adanya ketentuan ini maka Negara memiliki kewajiban, salah satunya memberikan perlindungan hukum dalam sistem peradilan, termasuk terhadap anak pelaku tindak pidana. Jika dilihat dari prespektif yuridis perlindungan terhadap anak belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai upaya pemerintah untuk melaksanakan pembinaan, memberikan perlindungan terhadap anak, melindungi hak-hak anak, diharapkan mampu menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak memberikan pengertian anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 4
1
2
ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak kemudian mengatur batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak dan juga ditujukan sebagai perangkat hukum dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hakhak anak dan untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Seperti halnya perampasan kemerdekaan, haruslah dilakukan hanya sebagai pilihan terakhir dan hanya dapat dijatuhkan dalam waktu singkat karena hal ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak. Berdasarkan ketentuan di atas maka hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan kembang anak merupakan hak asasi anak sebagai warga dunia dan hak konstitusional anak sebagai warga negara Indonesia. Namun pemenuhan hak konstitusional anak tersebut seringkali terganggu dan terlanggar dengan kriminalisasi anak dalam usia terlalu dini, ataupun menempatkan anak negara (yang bukan anak pidana) dengan perlakuan yang sama seperti anak pidana di dalam lembaga pemasyarakatan anak. Menangani perkara anak bukan hal yang mudah, diperlukan perhatian khusus untuk menanganinya baik dari segi peraturan hukum sampai kepada aparat penegak hukumnya. Meningkatnya jumlah anak yang melakukan tindak pidana mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu permohonan yang diajukan yakni perihal umur anak yang dapat diajukan ke persidangan. Berdasarkan Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, meyatakan bahwa frasa “8 (delapan) tahun” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak beserta penjelasan UndangUndang tersebut khususnya terkait frasa “8 (delapan) tahun adalah bertentangan
3
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “12 (dua belas) tahun”. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seharusnya semua aparat penegak hukum sudah harus memahami dan mengetahui akan adanya putusan ini, dimana batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak yakni anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun. Walau demikian masih terdapat kekeliruan yang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia dan selalu menjadi sorotan, banyak kasus yang terkesan terlalu dipaksakan seperti halnya pada kasus Doni Yoga Simangunsong (Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS). Kasus ini berawal saat Ruben Benito Siahaan (diajukan dalam berkas terpisah), Rinaldy Sinaga (terdakwa I) dan Doni Yoga Simangunsong (terdakwa II), pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekira pukul 09.30 Wib atau setidaktidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret tahun 2013 bertempat di Jl. Medan Area Kel. Proklamasi, Kec. Siantar Barat Kota Pematang Siaantar atau setidaktidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Pematang Siantar, mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bahwa pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekira pukul 09.30 Wib Ruben Benito Siahaan (diajukan dalam berkas terpisah) bersama dengan terdakwa I RS dan terdakwa II DYS berangkat dari Jl. Diponegoro Kota Pematang Siantar menuju rumah korban Rima Novia Panjaitan dan setelah sampai disimpang rumah korban lalu Ruben Benito Siahaan menyuruh terdakwa II DYS dengan mengatakan “udah kau masuk kedalam, kalu ditanya bilang aja kau mandi atau makan” lalu terdakwa II DYS menjawab “iya”. Terdakwa II DYS masuk kedalam rumah dan bertemu dengan 2 (dua) orang perempuan anak kost dirumah tersebut, terdakwa II DYS bertanya kepada mereka dengan mengatakan “mana abang itu kak (maksud terdakwa anak pemilik rumah) lalu salah seorang dari mereka masih menjawab “masih sekolah” selanjutnya terdakwa II DYS mengambil handuk disamping pintu lantai 2 kemudian mandi, setelah mandi terdakwa II DYS melihat sepasang sepatu merk Adidas warna putih
4
dan memakainya, terdakwa II DYS juga melihat tas warna cokelat terletak disamping kursi sofa lalu terdakwa mengambil tas tersebut dan memasukkan laptop kedalam tas tersebut serta 1 (satu) buah HP merk BlackBerry dan memasukkan ke dalam saku celana lalu terdakwa II DYS turun ke lantai 1 dan keluar dari rumah bertemu dengan terdakwa I RS dan Ruben Benito Siahaan dengan membawa barang hasil curian berupa 1 (satu) buah HP BlackBerry Gemini warna hitam type 8520, 1 (satu) unit laptop merk Acer type 4620Z4A1G16Mi warna hitam, sepasang sepatu merk Adidas warna putih, 1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning merk Afro, 1 (satu) buah celana panjang jeans kuncup warna hitam, 1 (buah) tas warna cokelat, selanjutnya para terdakwa bersama dengan Ruben Benito Siahaan pergi membawa barang-barang tersebut dan menjualnya. HP BlackBerry dijual oleh Ruben Benito Siahaan dan terdakwa I RS kepada orang yang tidak dikenal seharga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) dan Laptop dijual terdakwa I RS, terdakwa II DYS dan Ruben Benito Siahaan kemedan seharga Rp. 350.000.- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dan 1 (satu) celana jeans kuncup dijual terdakwa I RS dan Ruben Benito Siahaan seharga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Bahwa akibat perbuatan para terdakwa dan saksi korban Rima Novia Panjaitan mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau sekurang-kurangnya lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Perbuatan terdakwa-terdakwa diatur dan diancam melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHPidana Jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasarkan uraian diatas terdakwa I RS dan terdakwa II DYS dituntut pidana penjara 3 (tiga) bulan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan vonis penjara selama 2 (dua) bulan dan 6 (enam) hari. Penjatuhan vonis pidana terhadap terdakwa II DYS yang masih berusia 11 tahun di Pengadilan Negeri Pematangsiantar bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah direvisi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU VIII/2010. Vonis tersebut menunjukkan masih adanya hakim berkualitas rendah, sehingga perlu peningkatan pengawasan dan
5
pembinaan terhadap hakim, dan terhadap putusan tersebut harus dilakukan upaya hukum untuk mengubah vonis dan status anak. Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk menganalisis Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/ PN.PMS dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Anak dalam Tindak Pidana Pencurian (Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS)” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Apakah pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sudah sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan ? 2. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS sudah sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sudah sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan. 2. Untuk menganalisis kesesuaian penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/ PN.PMS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. 1.4 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skirpsi ini adalah suatu metode yang terarah dan sistematis sebagai cara untuk mencari, menemukan,
menganalisis
permasalahan,
mengembangkan
dan
menguji
6
kebenaran, serta menjalankan prosedur yang benar sebab nilai ilmiah suatu penelitian skripsi tidak lepas dari metodologi yang digunakan. Metode penelitian yang dimaksud meliputi 4 (empat) aspek, yaitu tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber bahan hukum dan analisis bahan hukum.1 Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif (Legal Research), yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. 2
1.4.2
Pendekatan Masalah Di dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan
yaitu : (1) pendekatan perundang-undangan (statute approach), (2) pendekatan konseptual (conceptual approach), (3) pendekatan historis (historical approach), (4)
pendekatan
kasus
(case
approach),
dan
pendekatan
perbandingan
(comparative approach). Dengan pendekatan tersebut, penulis mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang diangkat dalam permasalahan untuk kemudian dicari jawabannya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) macam pendekatan, yaitu pendekatan perundangundangan dan pendekatan konseptual dengan uraian sebagai berikut : 1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara 1
Herowati Poesoko, 2013, Diktat Mata Kuliah Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember. hlm. 34. 2 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.194
7
suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undangundang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu mengungkap kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu, sehingga peneliti dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.3 2. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yaitu suatu metode pendekatan yang
beranjak
dari
pandangan-pandangan
dan
doktrin-doktrin
yang
berkembang di dalam ilmu hukum. dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. 4
1.4.3 Bahan Hukum Bahan hukum merupakan sarana dari suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya, bahan hukum tersebut meliputi : 1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mengikat dan mempunyai otoritas. Bahan–bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan–catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan–putusan hakim. Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 3 4
Ibid., hlm.93 Ibid., hlm.138
8
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tentang Hukum Acara Pidana. c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. e) Putusan Pengadilan Negeri Siantar Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil karya tulis ilmiah para sarjana dan ahli yang berupa literatur, jurnal, untuk mendukung, membantu, melengkapi, dan membahas masalah dalam skripsi ini.
1.4.4 Analisis Bahan Hukum Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif, yaitu suatu metode penelitian berdasarkan konsep atau teori yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain dengan sistematis berdasarkan kumpulan bahan hukum yang diperoleh, ditambahkan pendapat para sarjana yang mempunyai hubungan dengan bahan kajian sebagai bahan komparatif. Langkah-langkah selanjutnya yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum, yaitu : 5 a) Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan ; b) Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum ;
5
Ibid., hlm.171
9
c) Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahanbahan yang telah dikumpulkan d) Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum e) Memberikan
preskripsi
berdasarkan
argumentasi
yang telah
dibangun di dalam kesimpulan. Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskripsi, mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Ilmu hukum sebagai ilmu terapan, menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut dapat diterapkan baik terhadap penelitian untuk kebutuhan praktis maupun yang untuk kajian akademis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tindak Pidana 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu kata strafbaar feit. Secara harafiah, strafbaarfeit terdiri dari kata feit yang dalam bahasa belanda berarti sebagian dari pada suatu kenyataan atau een gedeellte van de weeklijkheid, sedangkan strafbaar feit berarti dapat dihukum sehingga kata strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.1 Beberapa ahli hukum pidana mendefinisikan kata strafbaar feit dalam beberapa pengertian antara lain : 1. Simons Strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab.2 2. Van Hammel Strafbaar feit adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undangundang, melawan hukum, yang dapat dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.3 3. Moeljatno Strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai dengan ancaman berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar aturan, dapat pula dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam dengan pidana dimana larangan ditujukan pada perbuatan (kejadian atau keadaan yang
1
P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 181. 2 Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta. Hlm. 61. 3 Ibid
10
11
ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).4 4. Wirjono Projodikoro Strafbaar feit adalah tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.5 5. R. Tresna Strafbaar feit adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan
lainnya,
terhadap
perbuatan
mana
dilakukan
tindakan
penghukuman.6 Dari beberapa pengertian diatas, penulis lebih condong menggunakan pengertian strafbaar feit menurut Moeljatno, yang pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum yang didalamnya mengatur tentang perbedaan terhadap pelaku tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
2.1.2 Tindak Pidana Pencurian Dijelaskan dalam KUHP Pasal 362 yaitu “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lam lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu: 1. Unsur objektif, terdiri dari a. Perbuatan mengambil; b. Objeknya suatu benda; c. Unsur keadaan yang meyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. 2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari: a. Adanya Maksud; 4
Ibid Andi Hamzah. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hlm. 88. 6 Adami Chazawi, 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 73. 5
12
b. Yang ditujukan untuk memiliki c. Dengan melawan hukum Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.7 Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif atau perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau kedalam kekuasannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu kedalam kekuasaanya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut kedalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke tangan petindak, pencurian belum terjadi, melainkan percobaan, dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga hak milik atas benda beralih ke tangan petindak. Karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum, misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainya.8 Orang yang telah berhasil menguasai suatu benda, ialah bila ia dapat melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu. Mengenai isi dalam Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (rorend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda 7 8
Adami Chazawi, 2003, Kejahatan Pada Harta Benda. Malang: Bayu Media. hlm. 5. Ibid, Hlm. 7.
13
tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwuud saja. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan. Benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian. Mengenai benda-benda yang tidak ada pemiliknya ini dibedakan antara: 1. Benda-benda yang sejak semula tidak ada pemiliknya, disebut res nulius, seperti batu di sungai, buah-buahan di hutan. 2. Benda-benda yang semula ada pemiliknya, kemudian kepemilikannya itu dilepaskan, disebut resderelictae. Misalnya sepatu bekas yang sudah dibuang di kotak sampah. Hak milik adalah sebagai hak yang terkuat dan paling sempurna, dan didalam peralihannya pun juga berbeda, meskipun terkadang timbul kesulitan untuk menentukan siapa pemilik dari suatu benda. Maksud untuk memiliki terdiri dari
dua
unsur,
yakni
pertama
unsur
maksud
(kesengajaan
sebagai
maksud/opzetals oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan kedua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ketangan petindak, dengan alasan pertama tidak
14
dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti belum melakukan perbuatan mengambil diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikapp batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya. Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.9 Dilihat dari mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertuliis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus sesuai rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang. Sedangkan melawan hukum materiil adalah bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, baik asas yang tidak tertulis maupun sudah termasuk dalam hukum tertulis, degan kata lain dalam hukum materiil ini sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat, melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan.10
2.2 Anak 2.2.1 Pengertian Anak Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak 9
Ibid, Hlm. 16. Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 132.
10
15
sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan diluar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah. Pada dasarnya pengertian anak adalah seseorang yang masih berada dalam batas usia tertentu, belum dewasa dan belum pernah kawin, batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak, yang dimaksud usia tertentu adalah usia maksimum dari seorang anak hingga dia beralih menjadi dewasa. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarig under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda, tergantung tempat, waktu, dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.11 Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu “Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin” Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya “Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah “setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak yaitu “Anak 11
Subaidah Ratna Juita, Op. Cit. Hlm. 10.
16
adalah seorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” namun pada perkembangannya batas minimum anak umur seorang anak bukan lagi 8 (delapan) tahun melainkan 12 (dua belas) tahun, berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 yang berbunyi: a. Menyatakan frasa 8 (delapan) tahun dalam Pasal 1 abgka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa 8 (delapan) tahun adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 (dua belas) tahun. b. Menyatakan frasa 8 (delapan) tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khusunya terkait dengan frasa 8 (delapan) tahun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional kecuali dimaknai 12 (dua belas) tahun. Hal berbeda ditunjukkan dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih
dalam
Pemilu
misalnya
seseorang
dianggap
telah
mampu
bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya, apabila ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Melihat dari ketentuan-ketentuan dalam
17
setiap undang-undang tersebut, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya.12
2.2.2 Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, namun juga bisa dilakukan oleh anak dibawah umur, anak pelaku tindak pidana biasanya disebut dengan anak nakal.13 Definisi anak nakal dalam pasal 1 butir 2 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut
peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia menjelaskan bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:
adanya perbuatan manusia;
perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
adanya kesalahan;
orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu : 1) Status offense adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah, atau kabur dari rumah. 2) Juvenile deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun terlalu berlebihan apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anakanak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi 12
Ibid. Hlm. 11. Muhammad Syahrial Reza. 2004. Kebijakan Sanksi Pidana dan Tindakan Dalam Rangka Perlindungan Hak Anak Pelaku Tindak Pidana. Semarang: Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Undip Semarang. 13
18
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak menggangu ketertiban umum, hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dimana pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya. Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu : 1. Faktor lingkungan 2. Faktor ekonomi/sosial 3. Faktor psikologis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Kenakalan yang dilakukan oleh anakanak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggungjawab terhadap perbuatannya tersebut. Kenakalan anak disebut juga dengan juvenile deliquency. Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak atau anak muda, sedang deliquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan delikuensi sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. 14 Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. Pengertian juvenile deliquency menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit 14
Ibid. Hlm. 41.
19
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Juvenile deliquency menurut Romli Atmasasmita adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap normanorma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Shanty Dellyana dalam buku Wagiati soetodjo, wanita dan anak di mata hukum mengutip pendapat dari Robert K Merton dan Nisbet mengemukakan bahwa anak-anak yang berumur dibawah 7 tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai kehendak jahat (incapable of having the criminal latent),15 sedangkan mereka yang berumur antara 7 sampai 14 tahun pada umumnya dianggap mampu untuk mempunyai kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incapable of crime).16
2.3 Jenis Sanksi Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 2.3.1 Sanksi Pidana Sanksi pidana bagi anak sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 23 ayat 1 dan ayat 2, yaitu: 1) Pidana yang dapt dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. 2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan 3) Selain pidana pokok sebgaimana dimasud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. 15 16
Wagiati Sutodjo. 2005. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama Ibid..
20
4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan pidana diatas dapat dijatuhkan dengan batasan-batasan sebagaimana diatur pula dalam undang-undang yang sama, yaitu pada Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 30 sebagaimana berikut : Pasal 26 Ayat (1) : Pidana penjara
yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Ayat (2) : Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. Ayat (3) : Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. Ayat (4) : Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 27 Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pasal 28 Ayat (1) : Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimumancaman pidana denda bagi orang dewasa.
21
Ayat (2) : Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Ayat (3) : Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari. Pasal 30 Ayat (1) : Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Ayat (2) : Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Masyarakat. Ayat (3) : Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pada dasarnya penjatuhan pidana bagi anak berbeda dengan penjatuhan pidana bagi pelaku pidana dewasa dimana dalam penjatuhan pidana terhadap anak harus melihat jauh kedepan tentang bagaimana masa depan anak dan dapat diterima kembali dalam masyarakat dan bisa memperbaiki hidupnya baik dengan campur tangan negara ataupun orang tua atau orang tua asuhnya.
2.3.2 Sanksi Tindakan Ketentuan dari tindakan yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu:17 1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. Menyerahan
kepada
negara
untuk
mengikuti
pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
17
Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama. Hlm. 86.
22
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang penddidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Pasal 1 angka 2 huruf a dan huruf b menyebutkan bahwa sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan terlarang, bagi anak dapat diberi tindakan disertai dengan teguran dan syaratsyarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Syarat tersebut misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan, tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal sebagai berikut: Pasal 24 ayat 1 huruf a: Anak dikembalikan kepada orang tua atau wali, atau orang tua asuh, apabila menurut penilaian si hakim si anak masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya, atau wali atau aslinya namun demikian si anak tersebut tetap dibawah pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan, antara lain untuk mengikuti kegiatan yang membangun seperti misalnya kepramukaan dan lain sebagainya. Pasal 24 ayat 1 huruf b: Anak diserahkan kepada negara, dalam hal menurut hakim pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan dilingkungan keluarga, maka anak tersebut diserahkan kepada negara dan disebut anak negara, anak ditempatkan di lembaga pemasyarakatan dan wajib mengikuti pendidikan pembinaan dan latihan kerja, tujuannya untuk memberi keterampilan kepada anak dengan harapan setelah menjalani tindakan itu, anak mampu hidup mandiri. Apabila Hakim menganggap anak nakal tersebut tidak bisa dididik atau tidak memungkinkan dididik dan dibina dalam lingkungannya, maka anak tersebut diserahkan kepada negara dan disebut anak negara. Pasal 24 ayat 1 huruf c:
23
Anak diserahkan kepada Departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan, tindakan lain yang mungkin dijatuhkan oleh hakim kepada anak nakal, adalah menyerahkan anak nakal kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina, walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh pemerintah di lembaga pemasyarakatan anak atau oleh departemen sosial, namun apabila dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut, diserahkan kepada sosial kemasyarakatan seperti pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya, serta harus diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan. Pasal 24 ayat 2 Disamping anak nakal itu dikenai tindakan juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran itu berupa peringatan dari hakim, baik secara langsung terhadap anak, maupun tidak langsung kepada orang tuanya, walinya, atau orang tua asuhnya, maksud dari teguran ini agar anak nakal tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimmbing kemasyarakatan umpamanya sepekan sekali atau pada harihari tertentu. Sanksi tindakan sudah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 seperti yang telah diuraikan diatas namun dalam penerapannya masih sangat jarang seorang hakim memberikan tindakan seperti misalnya dikembalikan kepada orang tuanya atau menyerahkan anak nakal ke Departemen Sosial, tindakan yang sering diberikan oleh hakim berupa teguran lisan dalam persidangan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan tetap menjatuhkan pidana penjara kepada anak nakal pelaku tindak pidana meski kadang kesalahannya tidak terlalu parah dan masih dapat diampuni.
24
2.4 Laporan Penelitian Kemasyarakatan Sidang anak berbeda dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Dalam sistem peradilan pidana untuk orang dewasa subsistemnya terdiri atas; kepolosian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan, petugas kemasyarakatan termasuk pembimbing kemasyarakatan (Pasal 33 UU Pengadilan Anak), dan Penasehat Hukum. Dalam sistem peradilan anak subsistemnya terdiri atas; kepolisian, kejaksaan, pengadilan anak, lembaga pendidikan anak Negara (LPAN),
petugas
kemasyarakatan
termasuk
didalamnya
pembimbing
kemasyarakatan yang dahulu disebut BISPA, dan penasehat hukum. Hanya peranan Pembimbing kemasyarakatan dalam konteks sistem peradilan anak lebih besar bila dibandingkan dengan peranannya dalam sistem peradilan pidana bagi orang dewasa. Setelah jaksa penuntut umum anak melimpahkan berkas perkara pidana anak ke Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili, maka ketua Pengadilan Negeri segera menunjuk Hakim Anak yang akan menyidangkan perkara tersebut. Hakim Anak yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara tersebut segera menetapkan hari sidang. Setealah menetapkan hari sidang hakim anak memanggil pihak-pihak yang terkait dan yang akan diperiksa di sidang anak. Pada hari dan jam yang telah ditetapka Hakim Anak membuka sidang dan menyatakan sidang tertutup untuk umum. Yang wajib hadir dalam sidang anak yaitu; Penuntut Umum, Penasehat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh, dan saksi (Pasal 55 Undang-Undang Pengadilan Anak.18
2.4.1 Pengertian Laporan Penelitian Kemasyarakatan Laporan penelitian kemasyarakatan adalah laporan penelitian yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan yang menggunakan pendekatan yuridis sosiologi, yang didalamnya berisi data. Baik data sekunder maupun primer dikumpulkan dengan cara studi pustaka, studi dokumen, dan wawancara dengan 18
Fanny Tanuwijaya, 2001, Diktat Kuliah Hukum Pidana Anak: Perlindungan Hak Asasi Anak
Sebelum dan saat Sidang Anak, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, hal.48-49.
25
responden penelitian. Penentuan responden penelitian dilakukan dengan cara purposive. Data yang telah terkumpul dianalisa dengan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian menghasilkan kesimpulan: 1. Ide dasar adanya Litmas merupakan suatu penanganan perkara anak yang lebih baik dan bersifat individualisasi pidana dikarenakan sebelum anak dijatuhi hukuman terlebih dahulu diteliti mengenai latar belakang kondisi social ekonomi serta motif dilakukannya tindak pidana. 2. Substansi Litmas dapat mengungkapkan mengenai latar belakang tindak pidana anak karena Litmas berisi tentang: identitas, jati diri klien, jenis pelanggaran hukum, jati diri keluarga, data lapangan: masalah pelanggaran hukum, latar belakang dan sebab anak melakukan tindak pidana, sikap keluarga, sikap lingkungan sosial, dampak dari permasalahan hukum. Latar belakang dan sebab pelanggaran hukum: pandangan klien dan keluarga serta lingkungan, faktor pemberat, faktor peringan,. Saran dengan memperhatikan: aspek lingkungan, individu, sosial, keluarga. 3. Hubungan Laporan Penelitian Kemasyarakatan terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak akan memberikan petunjuk bagi Hakim tentang tindakan atau hukuman apa yang seharusnya dijatuhkan terhadap anak, hubungan orang tua dengan anak, keadaan sosial ekonomi keluarga, hubungan keluarga dan anak terhadap lingkungan sekitar.19
2.4.2 Fungsi laporan Penelitian Kemasyarakatan Adapun fungsi Laporan Penelitian Kemasyarakatan adalah: 1. Memberitahukan atau menjelaskan tanggung jawab tugas dan kegiatan; 2. Memberitahukan atau menjelaskan dasar penyusunan kebijaksanaan, keputusan atau pemecahan masalah; 3. Merupakan sumber informasi; 4. Merupakan bahan untuk pendokumentasian.
19
(http://ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/view/727) diakses pada hari Kamis, tanggal 12 November 2014.
26
Selain itu, manfaat dari laporan penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal 56 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Pengadilan Anak telah disebutkan bahwa sebelum sidang dibuka hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan tentang anak yang bersangkutan, yang berisi tentang data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehiidupan sosial anak dan dalam Pasal 59 ayat 2 UndangUndang Pengadilan Anak Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan tersebut karena dalam menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan Anak atau mengambil tindakan seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 24 UndangUndang Pengadilan Anak. Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena dia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.20
2.5 Putusan Pengadilan 2.5.1 Pengertian Putusan Bab I Pasal 1 angka 11 KUHAP menyebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pengertian putusan hakim menurut Leden Marpaung yaitu “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”.21 20
(http://www.refrensimakalah.com/2012/08/pengertian-jenis-fungsi-tujuan-laporanhasil-penelitian.html) diakses pada hari Senin 12 Januari 2015 21 Leden Marpaung. 1995. Proses Penanganan Perkara Pidana bagian Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 406.
27
Lilik Mulyadi dengan dilandaskan visi teoritis dan praktek berpendapat bahwa pengertian putusan hakim yaitu: Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar kepidanaan atau bebas pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.22 Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum”. R. Soesilo dan M. Karjadi menyatakan bahwa “ketentuan ini dimaksudkan adar masyarakat umum tidak curiga dan merasa ragu-ragu terhadap tindakan pengadilan, oleh karena demikian masyarakat umum senantiasa dapat menjalankan pengawasan.23
2.5.2 Jenis-Jenis Putusan KUHAP mengenal dua jenis putusan yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Dalam prakteknya, Putusan yang bukan putusan akhir yang dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela” yang mengacu pada ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP yakni apabila terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan eksepsi terhadap jaksa penuntut umum, maka setelah memberi kesempatan kepada penuntut umum umtuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan untuk selanjutnya mengambil keputusan. Pada hakekatnya putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa, antara lain : 1. Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara” (verklaring van onbevooegheid) karena merupakan wewenang relatif pengadilan negeri sebagaimana ketentuan limitatif Pasal 148 ayat (1);
22
Lilik Mulyadi. 2010. Seraut Wajah Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Adyabakti. Hlm. 130. 23 R. Soesilo dan M. Karjadi. 1997. KUHAP dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor: Politea. Hlm. 173.
28
2. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum (nietig van rechtswege/nurlmandvold). Hal ini diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dimana surat dakwaan telah melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan dinyatakan batal demi hukum menurut ketentuan pasal 143 ayat (3) KUHAP; dan 3. Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaring) sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan materi perkara tersebut telah kadaluarsa, materi perkara seharusnya merupakan materi hukum perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem, dsb.24 Putusan akhir dalam prakteknya lazim disebut sebagai “putusan” dan merupakan jenis putusan yang bersifat materii. Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan. KUHAP mengenal tiga jenis putusan akhir yaitu putusan bebas, putusan lepas, dan putusan pemidanaan. a. Putusan Bebas (Vrijspraak/acquittal) Putusan bebas adalah putusan yang menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum. Dengan kata lain, majelis hakim memandang terhadap pembuktian dan keyakinan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tidak terbukti. Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan ini dijatuhkan apabila kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa. Hal ini merupakan konsekuensi adanya Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apaila sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan pelaku kejahatan adalah terdakwa. b. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag vanalle rechtsvervolging) Putusan lepas sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa terbbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak 24
Ibid. Hlm. 137.
29
pidana. Beberapa alasan yang melatarbelakangi adanya putusan lepas ini yaitu karena adanya alasan pemaaf (Pasal 48, 49, 50, dan 51 (1) KUHP) atau karena terdakwa tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP). c. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Dengan adanya putusan pemidanaan, berarti hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Berdasarkan uraian diatas, maka Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS sebagaimana yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini merupakan jenis putusan akhir berupa putusan pemidanaan (veroordeling).
2.5.3 Hal-Hal Yang Harus Dimuat Dalam Putusan Pertimbangan Hakim atau yang dikenal dengan istilah Ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio Decidendi tersebut terdapat dalam konsideran “Menimbang” pada pokok perkara.25 Sebelum menjatuhkan putusannya, terlebih dahulu majelis hakim akan mengadakan musyawarah untuk menentukan putusan apa yang nantinya akan dijatuhkan terhadap pelaku pidana. Dalam musyawarah tersebut pastinya hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan perkara yang akan diputusnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
25
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 119
30
Pertimbangan hakim merupakan suatu pertimbangan hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Dalam hal ini peter mahmud marzuki dalam bukunya menyebut pertimbangan hakim dengan istilah “ratio decidendi” yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada
putusannya.
Ratio
decidendi
tersebut
terdapat
dalam
konsideran
“menimbang” pada pokok perkara.26 Pertimbangan putusan terdiri dari dua bagian yaitu pertimbangan tentang fakta hukum dan pertimbangan hukumnya. Pertimbangan tentang fakta hukum diperoleh dengan cara memeriksa alat bukti secara empiris dalam persidangan dan diuji menggunakan teori kebenaran koresponden untuk memperoleh fakta hukum dan petunjuk. Pertimbangan hukum merupakan bagian pertimbangan yang memuat uji verifikasi antara fakta hukum dan berbagai teori dan peraturan perundang-undangan. Terbukti tidaknya suatu tindak pidana sangat tergantung pada pertimbangan hukumnya. Substansi fakta yang terungkap dalam persidangan antara lain pokok keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat-surat, keterangan terdakwa, barang bukti dan petunjuk. Berbagai fakta yang terpisahkan dilakukan pengujian menggunakan teori kebenaran selanjutnya dirangkai dan dikaitakan. Korelasi dan kausalitas antar alat bukti yang terungkap di persidangan merupakan petunjuk yang membimbing dan membentuk keyakinan hakim sehingga terwujud dalam suatu pertimbangan fakta hukum. Pertimbangan hukum juga suatu bentuk pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya yang terdiri dari pertimbangan terhadap duduk perkara atau peristiwa atau fakta dan pertimbangan tentang hukumnya. Oleh karaena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum), apakah ada kesesuaian atau tidak antara surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa dengan hukum yang diterapkan dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta kebenaran filosofis (keadilan) bagi terdakwa. Menurut pendapat Sudarto, ada 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusannya, dalam hal ini ketentuan mengenai dua hal tersebut diatas ini merupakan ketentuan dalam hukum acara 26
Ibid
31
pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:27 a. Pertama-tama pertimbangan tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benarbenar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya ?); b. Kemudian pertimbangan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga bisa dijatuhi pidana ?) Dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Guna memberikan telaah pada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya, akan dilihat pada dua kategori. Kategori yang pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis:28 Dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya akan dilihatnya pada dua kategori. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis.29 1. Pertimbangan Hukum yang bersifat yuridis, yaitu: a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. b. Keterangan terdakwa, yaitu suatu keterangan yang menurut KUHAP Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang dinyatakan terdakwa di
27
Sudarto, Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan, Loc. Cit. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 212 29 Ibid. Hlm. 124. 28
32
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dia alami sendiri. c. Keterangan saksi, yaitu merupakan suatu keterangan yang dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan alami sendiri dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. d. Barang-barang bukti, yaitu semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pangadilan. Barang bukti yang dimaksud tidak termasuk alat bukti, sebab didalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sudah ditetapkan lima macam alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. e. Pasal-pasal peraturan hukum pidana, yaitu salah satu hal yang sering terungkap di dalam proses persidangan adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh hakim.30 2. Pertimbangan hukum yang bersifat non yuridis, yaitu31: a. Latar belakang perbuatan terdakwa, yaitu setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. b. Akibat perbuatan terdakwa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Selain itu juga berakibat buruk pada keluarga korban apabila yang menjadi korban tersebut merupakan tulang punggung dalam kehidupan keluarganya. 30 31
Ibid. Hlm. 125. Ibid. Hlm. 127.
33
c. Kondisi diri terdakwa, yaitu keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis adalah berkaitan dengan perasaan, sedangkan yang dimaksud dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat yakni apakah sebagai pejabat atau sebagai gelandangan dan sebagainya. d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa, yaitu keadaan ekonomi sosial misalnya kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan adalah merupakan latar belakang keadaan ekonomi yang membuat terdakwa melakukan perbuatan pidana. e. Faktor agama terdakwa, yaitu keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila hanya sekedar meletakkannya kata “ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan. Bila demikian halnya wajar dan sepatutnya bahkan pula seharusnya ajaran agama menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Menurut jenisnya, putusan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu putusan pemidanaan dan non pemidanaan. Didalam kedua jenis putusan tersebut, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dimuat dalam putusan. Berdasarkan skripsi yang diangkat penulis bersifat putusan pemidanaan (veroordeling) maka sesuai aturan pasal 197 ayat (1) KUHAP, hal-hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan yakni: a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
34
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; Putusan yang bersifat bukan pemidanaan harus memenuhi syarat atau ketentuan pasal 199 ayat (1) KUHAP. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1) Syarat putusan bukan pemidanaan memuat : a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f, dan h; b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
35
Apabila ketentuan atau syarat-syarat yang telah tercantum dalam KUHAP tersebut tidak dipenuhi, maka konsekuensi akhir dari putusan tersebut adalah batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (2) dan pasal 199 ayat (1) KUHAP.
2.6 Upaya Hukum 2.6.1 Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum pada dasarnya dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 285 KUHAP dan Penjelasannya). Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan, banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (Pasal 1 angka 12 KUHAP)..
2.6.2 Bentuk Bentuk Upaya Hukum Menurut ketentuan yang diatur dalam ketentuan KUHAP upaya hukum ada 2 (dua), yaitu : 1) Upaya Hukum Biasa (Bab XVII KUHAP), yang terdiri atas : a) Upaya hukum banding Upaya hukum banding adalah alat hukum (rechtsmiddel) yang merupakan hak Terdakwa, atau juga Penuntut Umum, untuk memohon supaya putusan Pengadilan Negeri diperiksa kembali oleh Pengadilan Tinggi. Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Menurut ketentuan Pasal 67 KUHAP, Terdakwa atau Penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat. b) Kasasi. Upaya hukum kasasi adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara
36
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan tersebut, dengan alasan bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut : peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak
sebagaimana
mestinya,
cara
mengadili
tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
2) Upaya Hukum Luar Biasa (Bab XVIII KUHAP), yang terdiri atas : a) Kasasi demi kepentingan hukum Kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan upaya hukum luar biasa hanya bisa diajukan oleh Jaksa Agung terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan perkara-perkara khusus yang menurut pertimbangan Jaksa Agung, permohonan tersebut perlu diajukan guna kepentingan hukum. b) Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau hal lain yang ditentukan oleh undang-undang. Pengajuan Peninjauan Kembali paling lambat 3 bulan sejak diketahui adanya kebohohan atau tipu muslihat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pertimbangan Hakim Menyatakan Terdakwa Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dikaitkan Dengan Fakta Yang Terungkap di Persidangan Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) sub d KUHAP yang menyatakan bahwa : putusan pemidanaan memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Dasar seorang hakim dalam menetapkan putusan, adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, atas nama Tuhan suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.37 Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya dengan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.38 Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. 37
Barda Nawawi Arif, 2006, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Intergrated Criminal Justice System). Semarang : Universitas Diponegoro, hlm 20 38 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 94
37
38
Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.39 Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu : 40 1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya 2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari; 3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya; 4) Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat. Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Substansi fakta yang terungkap dalam persidangan antara lain pokokpokok keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat-surat, keterangan terdakwa, barang bukti serta petunjuk. Berbagai fakta yang terpisahkan dilakukan pengujian 39
Nanda Agung Dewantara, 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, hlm.111 40 Ibid., hlm.112
39
menggunakan teori kebenaran selanjutnya dirangkai dan dikaitkan. Korelasi dan kausalitas antar alat bukti yang terungkap di persidangan merupakan petunjuk yang membimbing dan membentuk keyakinan hakim sehingga terwujud dalam suatu pertimbangan fakta hukum. Untuk memberikan telaah pada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya akan dilihat pada dua kategori, yaitu pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan kategori yang kedua adalah pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis. Pertimbangan hakim merupakan pertimbangan hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Pertimbangan hakim dikenal dengan istilah “ratio decidendi” yakni “alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Dalam kaitannya dengan Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS, penulis akan melakukan kajian terhadap pertimbangan yang diambil oleh Hakim dalam kasus tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya, dengan gambaran kasus posisi sebagai berikut : Kasus ini berawal saat Ruben Benito Siahaan (diajukan dalam berkas terpisah), terdakwa I Rinaldy Sinaga yang berumur 16 (enam belas) tahun dan terdakwa II Doni Yoga Simangunsong yang berumur 11, pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekira pukul 09.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret tahun 2013 bertempat di Jl. Medan Area Kel. Proklamasi, Kec. Siantar Barat Kota Pematang Siaantar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Pematang Siantar, mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bahwa pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekira pukul 09.30 Wib Ruben Benito Siahaan (diajukan dalam berkas terpisah) bersama dengan terdakwa I RS dan terdakwa II DYS berangkat dari Jl. Diponegoro Kota Pematang Siantar menuju rumah korban Rima Novia Panjaitan dan setelah sampai disimpang rumah korban lalu Ruben Benito Siahaan menyuruh terdakwa II DYS dengan mengatakan “udah kau masuk kedalam, kalu ditanya bilang aja kau mandi atau makan” lalu terdakwa II DYS menjawab “iya”. Terdakwa II DYS masuk kedalam
40
rumah dan bertemu dengan 2 (dua) orang perempuan anak kost dirumah tersebut, terdakwa II DYS bertanya kepada mereka dengan mengatakan “mana abang itu kak (maksud terdakwa anak pemilik rumah) lalu salah seorang dari mereka masih menjawab “masih sekolah” selanjutnya terdakwa II DYS mengambil handuk disamping pintu lantai 2 kemudian mandi, setelah mandi terdakwa II DYS melihat sepasang sepatu merk Adidas warna putih dan memakainya, terdakwa II DYS juga melihat tas warna cokelat terletak disamping kursi sofa lalu terdakwa mengambil tas tersebut dan memasukkan laptop kedalam tas tersebut serta 1 (satu) buah HP merk BlackBerry dan memasukkan ke dalam saku celana lalu terdakwa II DYS turun ke lantai 1 dan keluar dari rumah bertemu dengan terdakwa I RS dan Ruben Benito Siahaan dengan membawa barang hasil curian berupa 1 (satu) buah HP BlackBerry Gemini warna hitam type 8520, 1 (satu) unit laptop merk Acer type 4620Z4A1G16Mi warna hitam, sepasang sepatu merk Adidas warna putih, 1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning merk Afro, 1 (satu) buah celana panjang jeans kuncup warna hitam, 1 (buah) tas warna cokelat, selanjutnya para terdakwa bersama dengan Ruben Benito Siahaan pergi membawa barang-barang tersebut dan menjualnya. HP BlackBerry dijual oleh Ruben Benito Siahaan dan terdakwa I RS kepada orang yang tidak dikenal seharga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) dan Laptop dijual terdakwa I RS, terdakwa II DYS dan Ruben Benito Siahaan ke Medan seharga Rp. 350.000.- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dan 1 (satu) celana jeans kuncup dijual terdakwa I RS dan Ruben Benito Siahaan seharga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Bahwa akibat perbuatan para terdakwa dan saksi korban Rima Novia Panjaitan mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau sekurang-kurangnya lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Berdasarkan kasus posisi diatas, Penuntut Umum mendakwa para terdakwa dengan dakwaan tunggal. Para terdakwa didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP Jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
41
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Penuntut Umum menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah dan memohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Pematang Siantar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menjatuhkan pidana penjara kepada masing-masing terdakwa selama 3 (tiga) bulan dikurangkan masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa, menyatakan terdakwa I Rinaldy Sinaga dan terdakwa II Doni Yoga Simangunsong telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP Jo. Pasal 4 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan menyatakan barang bukti berupa sepasang sepatu merk adidas warna putih dan 1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning merk afro dan tuntutan terakhir ialah menetapkan agar para terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). Terhadap dakwaan dan tuntutan dari Penuntut Umum, berdasarkan pertimbangannya Hakim dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP Jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing terhadap terdakwa selama 2 (dua) bulan dan 6 (enam) hari. Oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara tunggal hakim Pengadilan Negeri Siantar yang memeriksa dan mengadili perkara ini langsung mebuktikan dakwaan tersebut berdasarkan keseluruhan alat bukti yakni Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP Jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum;
42
3. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan cara bersama-sama/bersekutu; 4. Unsur anak-anak Berdasarkan unsur pasal-pasal tersebut dan dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Barang siapa Unsur barang siapa, bahwa dalam hal ini adalah sebagai unsur subjektif dalam kualifikasi tindak pidana. Yang dimaksud barang siapa adalah siapapun juga yang menjadi subjek hukum dan mampu bertanggung jawab secara hukum. Pada dasarnya pelaku tindak pidana adalah seorang yang telah berbuat sesuatu yang memenuhi segala anasir atau elemen dari suatu tindak pidana. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang telah menimbulkan akibat dan kerugian bagi orang lain pada prinsipnya haruslah dikenakan suatu pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Menurut Roeslan
Saleh
bahwa
seseorang
untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatannya haruslah terlebih dahulu dilihat kepastian perbuatan pidananya dan semua unsur-unsur kesalahan yang dihubungkan dengan perbuatan pidana yang dilakukannya. Unsur Barang Siapa akan dibuktikan sebagai berikut yaitu siapa saja yang mampu bertindak dan bertanggungjawab di depan hukum dalam hal ini terdakwa I, yaitu Rinaldy Sinaga dan Terdakwa II, yaitu Doni Yoga Simangunsong di depan persidangan telah mengakui identitasnya dan terbukti para terdakwa adalah laki-laki yang sehat akal pikirannya sehingga para terdakwa mampu bertanggungjawab di depan hukum. Berdasarkan analisa penulis dalam unsur ini ada sedikit kejanggalan, diterangkan dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang nomor 3 tahun 1997 batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang telah merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam hal batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak yang semula sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun menjadi sekurang-kurangnya
43
12 (dua belas) tahun. Dalam hal ini terdakwa I Rinaldy Sinaga yang berdasarkan identitas diterangkan bahwa usianya sudah 16 (enam belas) tahun sehingga terdakwa I Rinaldy Sinaga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berdasarkan Fakta di Persidangan yakni Terdakwa II Doni Yoga Simangunsong yang berdasarkan identitas diterangkan bahwa usianya 11 (sebelas) tahun 3 (tiga) bulan kelahiran 18 Desember 2001 dikaitkan dengan tanggal terdakwa melakukan tindak pidana pencurian tanggal 23 Maret 2013 Terdakwa Doni Yoga Simangunsong masih berusia 11 (sebelas) tahun 3 (tiga) bulan, sehingga berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang telah merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terkait batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak, terdakwa II Doni Yoga Simangunsong dalam hal ini belum dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. 2. Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum Pencurian adalah termasuk dalam delik formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasal pencurian dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik pencurian tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut. Mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya: Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Penjelasan R. Soesilo untuk Pasal 362 KUHP begitu sederhana namun sangat menarik untuk disimak khususnya mengenai arti dan cakupan “sesuatu barang”: yakni segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang masuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan oleh kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu harga (nilai) ekonomis. Oleh karena itu mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tanpa izin dari wanita itu termasuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. Untuk membuktikan unsur mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
44
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dibuktikan sebagai berikut : bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan para terdakwa, dan didukung dengan barang bukti yang diajukan selama persidangan. Bahwa pada hari sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekiranya pukul 09.30 Wib, Ruben Benito Siahaan (diajukan dalam berkas terpisah) bersama dengan terdakwa I Rinaldy Sinaga dan terdakwa II Doni Yoga Simangunsong berangkat dari Jalan Diponegoro Kota Pematang Siantar menuju rumah korban Rima Novia Panjaitan. Setelah sampai di rumah Rima Novia Panjaitan, Ruben Benito Siahaan menyuruh terdakwa II Doni Yoga Simangunsong masuk kedalam rumah dengan berkata “udah kau masuk kedalam kalau ditanya bilang aja mau mandi atau mau makan” lalu terdakwa II Doni Yoga Simangunsong masuk kedalam rumah, dimana pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci. Terdakwa II Doni Yoga Simangunsong langsung menuju lantai 2 (dua) dan bertemu dengan 2 (dua) orang perempuan anak kost dirumah tersebut dan bertanya dengan mengatakan “mana abang itu kak (maksud terdakwa anak pemilik rumah) lalu dijawab “masih sekolah” selanjutnya terdakwa II Doni Yoga Simangunsong mengambil handuk lalu mandi. Selesai mandi terdakwa II Doni Yoga Simangunsong mengambil kaos, celana dan sepasang sepatu merk Adidas warna putih, tidak hanya itu terdakwa II Doni Yoga Simangunsong melihat ada tas warna cokelat terletak beserta laptop yang kemudian dimasukkan kedalam tas tersebut. Terdakwa II Doni Yoga Simangunsong juga berhasil membawa 1 (satu) buah Blackberry warna hitam yang terletak di meja dimana pada saat kedua anak kost tersebut sedang menonton TV. Berdasarkan hal tersebut terdakwa II Doni Yoga Simangunsong berhasil membawa barang curian dan keluar rumah untuk bertemu dengan Ruben Benito Siahaan dan terdakwa I Rinaldy Sinaga dengan membawa barang hasil curian berupa 1 (satu) buah HP Merk Blackberry Gemini warna hitam type 8520, 1 (satu) unit Laptop Merk Acer type 4620Z4A1G16Mi warna hitam, sepasang sepatu Merk Adidas warna putih, 1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning Merk Afro, 1 (satu) buah celana panjang jeans kuncup warna hitam, 1 (satu) buah tas warna
45
cokelat. Selanjutnya para terdakwa bersama dengan Ruben Benito Siahaan pergi membawa barang-barang tersebut dan menjualnya. HP BlackBerry dijual oleh Ruben Benito Siahaan dan terdakwa I RS kepada orang yang tidak dikenal seharga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) dan Laptop dijual terdakwa I RS, terdakwa II DYS dan Ruben Benito Siahaan kemedan seharga Rp. 350.000.- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dan 1 (satu) celana jeans kuncup dijual terdakwa I RS dan Ruben Benito Siahaan seharga Rp. 20.000,(dua puluh ribu rupiah). Bahwa akibat perbuatan para terdakwa dan saksi korban Rima Novia Panjaitan mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau sekurang-kurangnya lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Bahwa berdasarkan uraian diatas terdakwa-terdakwa jelas telah memenuhi unsur “mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum” milik saksi Rima Novia Panjaitan dan saksi Maringan Panjaitan tanpa seizin dari pemiliknya. 3. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan cara bersama-sama/bersekutu; Bahwa
berdasarkan
keterangan
terdakwa-terdakwa
selama
proses
pemeriksaan di persidangan yakni terdakwa Rinaldy Sinaga dan terdakwa Doni Yoga Simangunsong secara bersama-sama degan Ruben Benito Siahaan telah mengakui mengambil barang berupa 1 (satu) buah HP Merk Blackberry Gemini warna hitam type 8520, 1 (satu) unit Laptop Merk Acer type 4620Z4A1G16Mi warna hitam, sepasang sepatu Merk Adidas warna putih, 1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning Merk Afro, 1 (satu) buah celana panjang jeans kuncup warna hitam, 1 (satu) buah tas warna cokelat pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekiranya pukul 09.30 Wib di Jalan Medan Area No. 71 Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat Kota Pematang Siantar. 4. Unsur Anak-anak Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal adanya pembatasan umur untuk anak yang dapat diadili pada sidang anak yaitu Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan anak adalah orang yang
46
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan kembali bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Berdasarkan identitas tersebut bahwa para terdakwa belum berusia 18 tahun dan masih digolongkan anak-anak. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi, sehingga terdakwa disidang berdasarkan hukum acara peradilan anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Selain pertimbangan tersebut, pertimbangan hakim lain menyebutkan bahwa oleh karena semua unsur Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUH Pidana jo pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagaimana dalam dakwaan Tunggal Penuntut umum telah terbukti, oleh karena itu terdakwa-terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang tersebut dalam amar putusan ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut diatas, oleh karena terdakwa-terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan Tunggal Penuntut Umum, maka dengan mengingat Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHPidana jo pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terdakwa harus dijatuhi pidana penjara terdakwa-terdakwa dipersidangan juga mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan melakukan tindak pidana lagi dan terdakwa-terdakwa masih anak-anak yang masih bisa dibina dan lagi pula terdakwa-terdakwa berkeinginan akan melanjutkan sekolahnya. Selain dari pada pertimbangan Hakim di persidangan, Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) disamping bertugas untuk melakukan bimbingan terhadap klien pemasyarakatan akan tetapi juga mempunyai tugas yaitu melakukan penelitian kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Pengadilan Anak dan diatur dalam pasal 2 ayat
47
(1) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1998 tentang tugas, kewajiban, dan syarat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan. Mengenai penelitian kemasyarakatan secara teoritik berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) huruf (a), (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Laporan hasil penelitian kemasyarakatan ini berisikan tentang hal-hal sebagai berikut : a) Data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak Terhadap laporan hasil kemasyarakatan ini dalam prakteknya merangkum mengenai masalah : identitas klien terdiri dari nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, agama/suku/kewarganegaraan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan. Adanya Laporan hasil penelitian kemasyarakatan ini sangat membantu tugas aparat penegak hukum mulai dari penyidikan hingga putusan pengadilan agar anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan putusan yang mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak. Berdasarkan pertimbangan hakim tentang identitas terdakwa yakni Doni Yoga Simangunsong ada timbul keragu-raguan dari hakim sendiri apakah umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong sudah lebih dari 12 tahun atau masih dibawah 12 tahun, sebab di dalam identitas terdakwa seperti halnya yang ada dalam putusan diterangkan bahwa umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah 11 (sebelas) tahun kelahiran 18 Desember 2001, sementara dalam pertimbangannya hakim mempertimbangkan umur Doni Yoga Simangunsong saat melakukan tindak pidana telah berusia 12 (dua belas) tahun lebih 3 (tiga) bulan kelahiran 31 Desember 2000 berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka. Yahya Harahap dalam bukunya, menyatakan suatu putusan pemidanaan harus memuat semua ketentuan Pasal 197 ayat 1 KUHAP, salah satu point penting dari Pasal tersebut yakni point (b) tentang identitas. Seperti halnya dalam setiap proses pemeriksaan perkara di persidangan hal pertama yang harus dilakukan oleh hakim adalah memeriksa atau menanyakan “identitas terdakwa” seperti halnya yang telah diatur dalam Pasal 155 KUHAP. Dalam suatu putusan pemidanaan
48
identitas terdakwa sangatlah penting guna menjamin kepastian adanya hukum, bahwa orang yang akan dijatuhi pidana adalah memang terdakwa yang sedang diadili, oleh karena itu identitas yang tertera dalam putusan benar-benar harus sama dengan yang tertera dalam Berita Acara Persidangan. Identitas terdakwa yang dicantumkan pengadilan dalam putusan bukan identitas yang terdapat dalam berita acara penyidikan atau identitas yang terdapat dalam surat dakwaan penuntut umum. Yang dicantumkan dalam putusan adalah identitas yang terdapat dalam berita acara sidang jika terdapat perbedaan identitas. Jika tidak ada perbedaan, masalah penulisan identitas tidak menimbulkan persoalan. Begitu pula dalam kasus
sidang
anak
yang
penulis
analisis
dalam
putusan
nomor
162/Pid.B/2013/PN.PMS, adanya perbedaan identitas yang timbul dalam putusan ini dimana di pertimbangannya hakim mengatakan bahwa umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah 12 (dua belas) tahun lebih 3 (tiga) bulan dengan berdasarkan kepada Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, namun di sisi lain Pengadilan
Negeri
Pematang
Siantar
berdasarkan
Putusan
Nomor
162/Pid.B/2013/PN.PMS sudah mengakui secara tersirat bahwa umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah 11 (sebelas) tahun, membuat putusan ini tidak memiliki kepastian hukum dan mengambang, sebab secara tegas dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, apabila anak nakal belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan Anak. Menimbang,
bahwa
telah
pula
dibacakan
hasil
dari
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Pematang Siantar yang menerangkan bahwa terdakwaterdakwa masih berusia muda yang perlu bimbingan dari orang tua terdakwaterdakwa dan terdakwa-terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena pengaruh dari teman dan lingkungan sehingga dimohonkan keringanan hukuman yang akan dijatuhkan Berdasarkan atas permohonan keringanan pidana yang diajukan oleh terdakwa-terdakwa, maka lamanya pidana penjara yang dimohonkan oleh
49
Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya dirasakan masih cukup berat dan untuk itu Pengadilan Negeri akan menentukan lamanya pidana tersebut sebagaimana ditentukan dalam amar putusan ini. Pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa bukanlah sebagai pembalasan, melainkan bermaksud memberikan pengajaran dan pendidikan agar setelah menjalani pidana ini terdakwaterdakwa dapat memperbaiki diri dan menjadi warga masyarakat yang baik. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwaterdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan di jatuhi pidana, maka dengan terpenuhinya ketentuan Pasal 22 ayat (4), Pasal 193 ayat (2) huruf b dan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP, maka cukup alasan untuk menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa-terdakwa dijatuhi pidana, maka dengan mengingat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf i dan Pasal 222 ayat (1) KUHAP, terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya disebutkan dalam amar putusan ini. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa-terdakwa, terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan antara lain : Perbuatan terdakwa-terdakwa meresahkan masyarakat; Terdakwa-terdakwa telah menikmati hasil curiannya; dan Perbuatan terdakwa-terdakwa terlalu nekat seperti perbuatan orang dewasa. Sedangkan hal-hal yang meringankan antara lain : Terdakwa-terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya ; Terdakwa-terdakwa bersikap sopan dipersidangan ; Terdakwa-terdakwa masih usia anak-anak dan perlu binaan dari orang tuanya ; Terdakwa-terdakwa berkeinginan melanjutkan sekolahnya dan Terdakwa-terdakwa belum pernah dipidana. Berdasarkan uraian di atas terdakwa I RS dan terdakwa II DYS dituntut pidana penjara 3 (tiga) bulan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan vonis penjara selama 2 (dua) bulan dan 6 (enam) hari.
50
Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut di atas, sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa anak hakim dalam hal ini telah mempertimbangkan segala fakta yang ada di persidangan, termasuk hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan berikut adanya Laporan Penelitian kemasyarakatan. Dalam Laporan Penelitian Kemasyarakatan tersebut disebutkan bahwa dari hasil dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pematang Siantar yang menerangkan bahwa terdakwa-terdakwa masih berusia muda yang perlu bimbingan dari orang tua terdakwa-terdakwa dan terdakwa-terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena pengaruh dari teman dan lingkungan sehingga dimohonkan keringanan hukuman yang akan dijatuhkan. Mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak (the minimum age of criminal responsibility) sebagaimana telah diputuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang telah mengubah batas usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana yang semula minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun. Ini artinya bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tinda pidana. Oleh karena itu anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun tidak boleh dipidanakan dan berdasarkan Pasal 26 ayat (4) apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas terdakwa I Rinaldy Sinaga yang di dalam identitas dan saat diperiksa diterangkan lahir tanggal 28 Juni 1996, ini berarti pada saat kejadian terdakwa I berumur 16 (enam belas) tahun dan dalam hal ini terdakwa I sudah dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dan sudah dapat diajukan ke sidang anak. Sementara terdakwa II Doni Yoga Simangunsong yang di dalam identitas dan saat diperiksa diterangkan lahir tanggal 18 Desember 2001, ini berarti saat kejadian terdakwa II berumur 11 (sebelas) tahun yang apabila dilihat dari Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah direvisi oleh
51
Putusan
Mahkamah
Konstitusi,
terdakwa
II
belum
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan belum dapat diajukan ke sidang anak. Ketentuan dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997, ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal pelaku tindak pidana, dalam ketentuan Pasal 26 (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidana itu maksimum 10 (sepuluh) tahun. Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan–ketentuan dalam KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi orang dewasa. Selanjutnya dalam ketentuan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan, bagi anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai Pasal 24 (1) huruf a Undang Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana, melainkan menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Dengan demikian, seharusnya terhadap terdakwa II yaitu Doni Yoga Simangunsong seharusnya tidak mendapatkan hukuman yang sama dengan terdakwa I Rinaldy Sinaga yaitu pidana penjara 2 (dua) bulan 6 (enam) hari, namun menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 (1) huruf a Undang Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997. Dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 merupakan bentuk upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang mengatur secara khusus mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang masih berumur kurang dari 18 tahun. Keberadaan Undang-Undang Pengadilan Anak ini diharapkan mampu mengisi kekosongan peraturan hukum yang mengkhususkan
52
pengaturan terhadap anak nakal.41 Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak menurut peraturan perundangundangan dan menurut peraturan hukum yang lain yang berlaku di masyarakat. Pengaturan tentang batas usia anak merupakan kompetensi absolut dalam Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak, begitu pula halnya dengan pengaturan sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acaranya, dan tindakan bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak). Namun demikian dalam pertimbangan hakim sebagaimana terungkap dalam fakta di putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 162/Pid. B/2013/PN.PMS diperoleh fakta hukum bahwa mengenai usia terdakwa Doni Yoga Simangunsong ada timbul perbedaan dimana di Identitas diterangkan Doni Yoga Simangunsong berusia 11 (sebelas) tahun kelahiran 28 Desember 2001 sedangkan pada butir ke 06 Berita Acara Pemeriksaan Tersangka Doni Yoga Simangunsong menerangkan tanpa ada paksaan dan didampingi Pengacaranya Herman Rumahorbo, S.H., bahwa Doni Yoga Simangunsong menceritakan riwayat hidupnya dan Doni Yoga Simangunsong lahir di Toba tanggal 31 Desember 2000 dan keterangan tersebut telah dibenarkan terdakwa serta ditanda tangani terdakwa dan Pengacara terdakwa dengan demikian saat Doni Yoga Simangunsong melakukan tindak pidana telah berusia 12 (dua belas) tahun lebih 3 (tiga) bulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 183 KUHAP menetapkan adanya dua alat bukti minimum yakni misalnya keterangan saksi dan keterangan ahli, atau keterangan saksi dan surat dan seterusnya terdapat beberapa kombinasi atau gabungan dari alat bukti yang sah. Bila hakim masih memiliki keraguan 41
Hadi Suprapto, dikutip dari Fanny Tanuwijaya, 2001, Diktat Kuliah Hukum Pidana Anak: Perlindungan Hak Asasi Anak Sebelum dan saat Sidang Anak. Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember. Hal. 48.
53
mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa, maka berlaku Pasal 183 KUHAP yang melarang hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dalam hal ini kurangnya bukti yang menjelaskan tentang identitas terdakwa Doni Yoga Simangunsong dimana timbul perbedaan identitas dalam pertimbangan hakim yang mempertimbangkan berdasarkan berita acara pemeriksaan tersangka, sementara Pengadilan Negeri Pematang Siantar dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS sudah mengakui secara tersirat bahwa sebenarnya identitas terdakwa adalah 11 (sebelas) tahun. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 terdakwa dinyatakan bersalah kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan
dengan
undang-undang.
Terdakwa
tidak
bisa
leluasa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus bersadasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
54
Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Yahya mengatakan bahwa penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan bersalah dari terdakwa sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Selanjutnya Yahya mengatakan hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 189 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Adapun alat bukti sah yang dikenal dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah: a.
Keterangan saksi;
b.
Keterangan ahli;
c.
Surat;
d.
Petunjuk;
e.
Keterangan terdakwa.
Menurut Yahya, apa yang tersirat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP mempunyai makna bahwa pengakuan menurut KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang “sempurna” atau bukan volledig bewijs kracht, juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang “menentukan” atau bukan beslissende bewijs kracht. Oleh karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban berdaya upaya membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. KUHAP tidak mengenal keterangan atau “pengakuan yang bulat” dan “murni”.
55
Ada atau tidak pengakuan terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap merupakan kewajiban dalam persidangan.42 Adanya pengakuan tersangka terkait identitasnya dalam kasus pecurian dapat dijadikan kebenaran materiil di persidangan sekaligus menyambung penjelasan tentang KUHAP yang tidak mengenal keterangan atau “pengakuan yang bulat” dan “murni” di atas, Yahya menjelaskan bahwa ini sesuai dengan kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam perkara pidana. Kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah “kebenaran sejati” atau materiil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati (kebenaran materiil) tanpa dikuatkan dengan alat bukti yang lain. Selain itu, masih berkaitan dengan pembuktian perkara pidana, KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Terkait dengan hal ini, Yahya menjelaskan bahwa dari bunyi pasal tersebut, KUHAP menganut sistem “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Dalam pembuktian menurut undang-undang secara negatif, seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.43 Jadi, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepadanya harus: kesalahannya terbukti dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak 42
Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 275. 43 Ibid. Hal 279.
56
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selanjutnya
dijelaskan
Yahya
bahwa
tujuan
pembuat
undang-undang
merumuskan pasal tersebut adalah seminimal mungkin menjamin tegaknya kebenaran materiil serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang juga disebut dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP. Dari rumusan pasal di atas dapat kita tarik kesimpulan pula bahwa pengakuan terdakwa tentu tidak cukup dijadikan bukti untuk memperoleh kebenaran materiil, namun harus dikuatkan dengan alat bukti lainnya dan keyakinan hakim.44 Berita Acara Pemeriksaan tersangka (BAP) sebagai hasil
dari proses
verbal yang dilaksanakan penyidik terhadap tersangka tidak memiliki kekuatan sempurna bagi hakim untuk menyatakan bahwa seorang terdakwa terbukti bersalah. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa berdasarkan alasan dalam keadaan bingung maka keterangan/pengakuan terdakwa di muka polisi dan di muka persidangan dapat berbeda (Yurisprudensi No. 33 K/Kr/1974, tanggal 29 Mei 1975) juga bahwa pengakuan seorang tersangka di muka polisi dalam pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) menurut hukum adalah suatu pengakuan yang dalam bahasa asing disebut‚ bloke bekentenis yang dalam bahasa Indonesianya kurang lebih berarti‚ pengakuan hampa. Pengakuan dalam pemeriksaan pendahuluan itu hanya dapat dipakai sebagai ancer-ancer (anwijzing) yang apabila tidak dikuatkan dengan alat-alat bukti lain yang sah, menurut hukum kesalahan terdakwa belum terbukti secara sempurna.45 Dengan demikian, hasil pemeriksaan oleh pihak penyidik tidak lebih dari sekedar pedoman bagi hakim untuk menjalankan pemeriksaan. Sebab, apa yang tertulis dalam BAP tersangka tidak menutup kemungkinan berisi pernyatan-pernyataan
tersangka
yang
timbul
karena
situasi
psikis,
kebingungan, atau bahkan terpaksa karena disiksa. Kedudukan BAP dalam proses pemeriksaan terdakwa di muka sidang tidak lebih dari sekedar catatancatatan yang dibuat oleh pejabat resmi (penyidik). Bila ada perbedaan antara BAP dengan pengakuan terdakwa di muka sidang yang harus dianggap benar adalah 44 45
Ibid. Hal 280. Henny Mono, 2010. Praktik Berperkara Pidana, Malang: Bayumedia. Hal. 56.
57
apa yang dikemukakan di muka persidangan itu, bukan yang ada di BAP. Dengan demikian, ketentuan hukum memperkenankan atau memberikan hak bagi terdakwa untuk melakukan penyangkalan bilamana apa yang tertera dalam BAP tidak sesuai dengan kenyataannya. Lebih dari itu, seorang tersangka yang tengah diperiksa tidak wajib menandatanganinya.46 Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa, prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.47 Oleh karena itu berdasarkan Pasal 189 ayat 4 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain, dihubungkan dengan kasus yang penulis angkat adalah di dalam pertimbangan hakim yang menyatakan umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong sudah 12 tahun lebih 3 bulan berdasarkan berita acara pemeriksaan tersangka dan keterangan terdakwa di persidangan tidaklah kuat untuk menyimpulkan bahwa Doni Yoga Simangunsong telah berusia 12 tahun lebih 3 bulan dan dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Maka dari pada itu berdasarkan analisa penulis, pertimbangan hakim dalam Putusan No. 162/Pid.B/2013/PN.PMS tidak sesuai dengan Pasal 189 ayat 4 KUHAP yakni pengakuan/keterangan terdakwa tentang identitas/umur terdakwa di persidangan seharusnya disertai alat bukti lain, seperti halnya dengan alat bukti surat berupa (akta kelahiran) sebagai pendukung keterangan terdakwa, tidak cukup hanya dengan pengakuan saja. Mengingat bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam peradilan anak ini jangan hendaknya menitikberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh si anak semata-mata, tetapi harus 46
Ibid. Hal. 70-71. Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, Hal. 8-15. 47
58
lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan tersebut bagi si anak demi hari depan si anak tersebut. Oleh karena itu, dalam peradilan anak diperlukan kebebasan hakim dan perumusan undang undang yang umum. Kiranya dapat disepakati bahwa anak harus mendapatkan perlakuan dan perhatian yang khusus sehingga peradilan anak perlu dilakukan secara khusus pula. Dalam hukum pidana dikenal suatu azas yang menyatakan bahwa : “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder schuld, Keine Strafe ohne Schuld, No punishment without Guilt, asas mens rea atau asas Culpabilitas). Berdasarkan azas tersebut dapat diperoleh satu hal penting bahwa tidak dipidana seseorang jika tidak melakukan kesalahan atau jika seseorang berbuat pidana maka ia patut dipidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak membawa fenomena tersendiri, mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi belum menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap anak. Memang secara tertulis dalam hukum pidana kita tidak pernah dijumpai aturan yang menggariskan suatu pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan hukuman penjara sehingga cenderung membawa konsekuensi karena tidak adanya landasan hukum berpijak bagi Hakim sebagai pedoman di dalam meberikan dasar pertimbagan tersebut. Oleh karena itu yang menjadi dasar pertimbagan Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak yang terpenting adalah pertimbangan yuridis yakni menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul yang merupakan konklusi dari keterangan para saksi dan keterangan terdakwa anak dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di sidang pengadilan. Setelah itu barulah pertimbangan subjektif Hakim atau keyakinannya dengan dasar Moral Justice dan Soscial
59
Justice, serta asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum atau pertimbangan non yuridis.48 Moral Justice berarti Hakim mendasari pertimbangan dalam mengadili dan memutus perkara tindak pidana anak selain memperhatikan hukum positif, harus juga memperhatikan faktor kriminologi, sosiologi dan psikologi. Dari sisi sosiologis perkembangan anak, dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana adalah kedudukan anak dengan segala cirri dan sifatnya yang khas. Sedangkan dari aspek psikologis, anak bisa dikategorikan sebagai manusia yang belum cakap, dalam artian dalam memutuskan untuk melakukan perbuatan, pikiran, kejiwaan dan alam sadarnya lebih didorong oleh faktor emosionalnya, bukan logika berpikirnya yang sempurna selayaknya orang dewasa. Oleh karena itu anak nakal cenderung berasal dari keluarga yang tidak harmonis dimana sang anak mencontoh perbuatan dari orang-orang terdekatnya yaitu keluarga.49 Aspek berikutnya adalah Social Justice, dimana Hakim tidak hidup di singgasana melainkan hidup bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya yang bersifat heterogen. Dengan demikian Hakim dalam menegakkan hukum positif (law in book) dapat mewujudkan keadilan sosial (law in action), sehingga putusan Hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi memberikan keadilan yang bermanfaat demi kepentingan anak tersebut juga kepada lingkungan sosialnya termasuk orang tua serta masyarakat sekitarnya. Fakta-fakta dalam persidangan dan asas-asas tersebutlah yang menjadi dasar apakah cukup adil hukuman pidana yang dijatuhkan dengan perbuatan yang dilakukan.50 Lebih lanjut jika dikaji berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa pertimbangan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, menyangkut unsur pasal yang didakwakan yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, khususnya Pasal 4 ayat (1) bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke 48
Bunadi Hidayat, 2009, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, PT. Alumni, Bandung, hal. 93. Ibid. 50 Ibid, hal. 94. 49
60
sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, namun setelah direvisi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Berdasarkan identitas tersebut bahwa para terdakwa belum berusia 18 tahun dan masih digolongkan anak-anak yang perlu bimbingan orang tua. Dengan demikian, dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Siantar dalam putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS yang menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku anak dalam tindak pidana pencurian tidak sesuai dengan fakta hukum di persidangan bahwa terdakwa masih dalam kategori anak yang perlu bimbingan orang tua. 3.2 Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Terdakwa Anak Doni Yoga Simangunsong dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS Menurut Pasal 26 Ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengertian prinsip atau asas kepastian hukum di dalam peraturan perundangan terdapat di dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yakni bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaran pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus, yang mendefinisakan bahwa prinsip atau asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan perundang-undangan,
kepatutan
dan
keadilan
dalam
setiap
kebijakan
Penyelenggara Negara.51 Terkait hal tersebut anak harus mendapatkan perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam peradilan anak hendaknya jangan menitikberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh si anak
51
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 54.
61
semata-mata, tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggararan atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan tersebut bagi si anak demi hari depan si anak tersebut. Oleh karena itu, dalam peradilan anak diperlukan kebebasan hakim dan perumusan undang-undang yang khusus agar kiranya dapat disepakati bahwa anak harus mendapatkan perlakuan dan perhatian yang khusus sehingga peradilan anak perlu dilakukan secara khusus pula. Dalam hukum pidana dikenal suatu azas yang menyatakan bahwa : “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder schuld, Keine Strafe ohne Schuld, No punishment without Guilt, asas mens rea atau asas Culpabilitas). Berdasarkan azas tersebut dapat diperoleh satu hal penting bahwa tidak dipidana seseorang jika tidak melakukan kesalahan atau jika seseorang berbuat pidana maka ia patut dipidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak membawa fenomena tersendiri, mengingat anak adalah individu yang masih labil emosinya belum dapat menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap anak khususnya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak sebagaimana pembahasan dalam skripsi ini melalui kajian terhadap Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS. Berdasarkan amar putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor 162/Pid. B/2013/PN.PMS, hakim memberikan putusan : 1. Menyatakan terdakwa I. Rinaldy Sinaga Dan Terdakwa II.Doni Yoga Simangunsong terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Dengan Pemberatan yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I. Rinaldy Sinaga dan terdakwa II.Doni Yoga Simangunsong oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) bulan dan 6 (enam) hari penahanan yang telah dijalani terdakwa-terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
62
3. Memerintahkan supaya terdakwa-terdakwa segera dikeluarkan dari rumah tahanan ; 4. Menetapkan barang bukti berupa :
Sepasang sepatu Merk Adidas warna putih
1 (satu) potong kaos oblong warna hijau kuning Merk Afro.
Digunakan dalam perkara lain ; 5. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa-terdakwa sebesar Rp. 1.000.- (seribu rupiah); Berdasarkan putusan tersebut menurut hemat penulis bahwasanya salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta pula mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, karena anak merupakan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak. Jika harus dilakukan proses hukum terhadap anak maka tentunya kurang adil jika kepada terdakwa anak diberlakukan proses hukum yang sama dengan terdakwa dewasa. Begitu juga dengan pidana yang nantinya akan dijatuhkan kepada anak, tentunya sangat tidak adil jika pidana yang harus dijalani sama dengan pidana terdakwa dewasa. Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hukum materiil seperti yang diatur dalam KUHP. Ketentuan hukum dalam KUHP bersifat konvensional yang tidak hanya mengacu kepada kepentingan hukum kolonial Belanda tetapi juga terhadap perilaku dan perdaban manusia yang sudah sedemikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat dari peraturan yang ada. Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut undang-undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang undang-undang itu bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP (lex specialis derogat legi generali).
63
Melalui asas ini pula hukum pidana anak membenarkan undang-undang lain, di luar KUHP yang bertalian dengan masalah anak seperti ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, di dalam undang-undang ini mengatur pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pemidanaannya. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dalam kenyataan hakim dalam menjatuhkan putusan kadang-kadang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Akibatnya dapat merugikan bagi diri si pelaku, terutama dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus untuk terus tumbuh dan berkembang sebagi generasi penerus bangsa, dalam konteksnya sering dianggap tidak adil khususnya bagi anak tersebut. Sidang anak ini berbeda dengan sidang dewasa. Proses hukum acara dan hukuman yang dijatuhkan, kemudian bentuk pidana yang bisa dijatuhkan kepada si anak serta perlakuan (treatment) ketika dia menjalani masa pidananya selaku anak didik di lembaga pemasyarakatan. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga menentukan jenis tindak pidana serta pidana apa saja yang bisa dijatuhkan. Juga pembatasan-pembatasan lain serta hak-haknya serta pelaku atau pihak lain yang memberikan treatment tertentu yang memberikan kepada anak selaku pelaku kriminal daripada kasus kejahatan. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan bahwa umur anak yang dapat diajukan ke Pengadilan Anak adalah antara 8 sampai dengan 18 tahun, kecuali yang sudah menikah. Jadi Undang Undang Pengadilan Anak masih menggunakan variabel sudah menikah sebagi kriteria untuk bisa dibawa ke sidang anak. Sedangkan untuk anak yang berumur dibawah 8 tahun, Undang Undang
64
Pengadilan Anak hanya menentukan bahwa terhadap anak tersebut dapat dilakukan penyidikan tanpa menyebutkan tindakan hukum lainnya. Terhadap mereka hakim bisa mengembalikan kepada orangtua atau menjadikan anak negara atau menyerahkan kepada pemerintah, dalam hal ini departemen sosial. Penjatuhan Pidana terhadap kasus ini yaitu terdakwa Doni Yoga Simngunsong adalah pidana penjara 2 (dua) bulan 6 (enam) hari. Batas usia anak yang dianggap masih belum cukup umur dalam lapangan hukum pidana dalam KUHP adalah 16 tahun. Dalam hal ini kepada hakim diberi kekuasaan untuk menentukan apakah anak yang sebelum umur 15 tahun, jika melakukan suatu tindakan : 1. Dikembalikan kepada orang tuanya, tanpa pidana apapun 2. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, sampai anak itu berumur 18 tahun (dengan syarat-syarat tersebut dalam Pasal 45 dan Pasal 46 KUHP) 3. atau dipidana dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiganya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 KUHP yang antara lain menyebutkan bahwa : Jika seorang anak yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh : memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masih bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 496, 497, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, dan perbuatannya itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah putusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau suatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu. Pasal tersebut meminta dua syarat yang kedua-duanya harus dipenuhi adalah : 1. Orang itu waktu dituntut harus belum dewasa, yang dimaksud dari belum dewasa (bagi orang Indonesia LN 1931 No.54, bagi orang eropa menurut
65
Pasal 330 BW) adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, maka ia telah dipandang dewasa. 2. Tuntutan ini mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan orang tersebut pada waktu ia belum berusia 16 tahun. Jika kedua syarat tersebut dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu : 1. Anak itu dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apa. 2. Anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi pidana akan tetapi diserahkan kepada rumah pendidikan anak-anak nakal untuk mendapatkan didikan dari negara sampai dengan anak berumur 18 tahun. Hal ini hanya dapat dilakukan bila anak itu telah berbuat suatu kejahatan atau pelanggaran yang termasuk dalam pasal 45 KUHP dan sebagai residivis. 3. Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa, dalam hal ini ancaman hukuman dikurangi dengan sepertiganya Tujuan peradilan anak bukan semata-mata hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja melainkan menyelesaikan perkara tersebut. Putusan tersebut harus bersifat menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dilaksanakan atau menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam peradilan anak ini jangan hendaknya menitikberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh si anak semata-mata, tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan tersebut bagi si anak demi hari depan si anak tersebut. Oleh karena itu, dalam peradilan anak diperlukan kebebasan hakim dan perumusan undang undang yang umum. Kiranya dapat disepakati bahwa anak
66
harus mendapatkan perlakuan dan perhatian yang khusus sehingga peradilan anak perlu dilakukan secara khusus pula. Berdasarkan putusan pengadilan tersebut penulis kurang sependapat, karena terdakwa Doni Yoga Simangunsong dijatuhi sanksi pidana penjara yang tentunya akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya apabila terhadap terdakwa diberikan hukuman yang sifatnya berupa hukuman yang bersifat pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi : 1) Non Diskriminasi 2) Kepentingan yang terbaik untuk anak 3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan 4) Penghargaan terhadap anak Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan anatara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Seyogyanya anak yang berkonflik dengan hukum atau terkait dengan perbuatan pidana tidak dijatuhi pidana, apabila anak dijatuhi pidana maka hak-hak lain dari anak yang dijamin oleh undang-undang dan pertumbuhan anak akan dapat terganggu. Selain itu diketahui pula bahwa tempat pendidikan
67
atau pembinaan anak yang terbaik adalah keluarganya. Apabila keluarganya tidak mampu mendidik anak, maka banyak alternatif pengganti keluarga yang dapat diberi tugas untuk pembimbingan anak yang sesuai dengan system social Indonesia yaitu kerabat keluarga besarnya. Perlindungan terhadap anak merupakan hal yang sangat penting dilaksanakan dalam arti yang sempit untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik dan dalam arti yang luas turut serta mendukung pembangunan, karena anak adalah aset pembangunan bagi bangsa Indonesia. Bentuk perlindungan terhadap anak tidak hanya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan semata, tetapi harus berdasarkan tindakan dan aplikasi yang nyata. Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan hukum pidana adalah untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Pemidanaan identik dengan hukuman yang berlaku atas dilanggarnya suatu aturan hukum. Hukuman merupakan perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang Undang Hukum Pidana. Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik dalam kalangan masyarakat banyak ataupun orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.52 Pemidanaan identik dengan hukuman yang berlaku atas dilanggarnya suatu aturan hukum. Hukuman merupakan perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang
52
Djoko Prakoso, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.18
68
Undang Hukum Pidana. Tujuan hukuman itu bermacam-macam, tergantung dari sudut mana hal tersebut dilihat, antara lain : 53 1. Hukuman merupakan suatu pembalasan, sebagaimana disebutkan dalam pepatah kuno bahwa siapa yang membunuh harus dibunuh atau disebut dengan teori pembalasan (vergeldings theory). 2. Hukuman harus dapat membuat orang takut agar supaya jangan berbuat jahat atau teori mempertakutkan (afchrikkingstheory). 3. Hukuman itu bermaksud untuk memperbaiki orang yang telah berbuat jahat, atau teori memperbaiki (verbeteringstheory) 4. Beberapa pendapat yang menyatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud lain berupa pencegahan, membuat orang takut, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat jahat, untuk dapat kembali di masyarakat dengan baik. Tujuan pemidanaan dalam hal ini tujuan pemidanaan semata-mata bukan merupakan pembalasan melainkan bertujuan untuk mendidik dan membina agar terdakwa menyadari atau menginsafi kesalahannya sehingga diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik di kemudian hari serta dikaitkan dengan hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang akan menjadi pertimbangan. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan ialah dengan menggunakan upaya hukum pidana yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana. Tujuan hukum pidana ialah untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie) dan untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Lebih lanjut Pellegrino Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan berat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice sosial (keadilan yang
dikehendaki oleh masyarakat),
sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa : 54
53
Moeljatno, 1989, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.72 54 Pellegrino Rossi dalam Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 26
69
a) Pemulihan ketertiban ; b) Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana (generak preventief) ; c) Perbaikan pribadi terpidana ; d) Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan ; e) Memberikan rasa aman bagi masyarakat. Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana. Terkait kasus yang dikaji bahwasanya penjatuhan pidana penjara terhadap Doni Yoga Simangunsong sebagai terdakwa anak dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS tidak sesuai dikaitkan dengan tujuan pemidanaan karena terdakwa yang masih dalam kategori anak dipenjara bersama dengan penjara orang dewasa yang tentunya akan mempengaruhi mental dan psikologis anak. Berdasarkan hal tersebut, alangkah lebih baiknya apabila terhadap terdakwa diberikan hukuman yang sifatnya berupa hukuman yang bersifat pembinaan atau tindakan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak. Setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sebagai
bahan
perbandingan
dengan
ketentuan
undang-undang
perlindungan anak yang baru, bahwa pertanggungjawaban pidana antara orang dewasa dengan anak berbeda. Anak yang dapat dipertanggungjawabkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun. Walaupun anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan sebelum 18 (delapan belas) tahun dapat dipertanggungjawabkan pidana, tetapi cara mempertanggungjawabkannya berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berbeda, oleh karena sebelum dilakukan pemeriksaan atas tindak pidana yang telah dilakukan tersebut, harus melalui tahapan diversi. Menurut ketentuan
70
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Apabila tahapan diversi telah dilalui dan gagal, maka penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak dilanjutkan melalui mekanisme peradilan pidana. Putusan hakim harus benar-benar memenuhi rasa keadilan, tidak ada yang dirugikan dari kedua belah pihak yang berperkara. Dalam mengadili perkara hingga tercapainya keputusan hakim harus benar-benar memperhatikan faktafakta yang mendukung terjadinya perkara tersebut sehingga nantinya hakim dapat memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya. Untuk membuktikannya diperlukan keterangan saksi dan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang, dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Sebagaimana pepatah menyatakan, tangan menjinjing bahu memikul artinya seseorang harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. Di dalam hukum pidana
juga
ditentukan
hal
yang
demikian,
yang
disebut
dengan
pertanggungjawaban pidana. Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Andi Hamzah : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.55 Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.56 Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang 55
Andi Hamzah dan M. Sholehudin, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademik Pressindo, Jakarta, 1986, hlm.4 56 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 155.
71
cukup luas. Dalam berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek yaitu :57 a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; b. Perlindungan anak dalam proses peradilan c. Perlindungan kesejahteraan anak dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial; d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; e. Perlindungan anak dari segala bentk eksploitasi (perrbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan, dan sebagainya); f. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan; g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata; h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Pada peradilan orang dewasa maupun peradilan anak, hakim mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu persidangan. Hakim bertugas membuat sautu putusan yang mengedepankan sisi-sisi keadilan menurut undang-undang dan harus membuat suatu putusan yang berguna bagi terdakwa untuk ke depannya. Di dalam kasus anak sekalipun, hakim harus bisa memberikan putusan yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa anak dan harus memberikan putusan yang seadil-adilnya serta mengedepankan dan melindungi kepentingan yang terbaik bagi anak demi kelangsungan hidup si anak untuk masa depannya nanti. Banyaknya putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara dari pada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan karena, pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/the last resort principle) dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak. Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidanannya ditentukan
57
Ibid, hal. 156.
72
paling lama ½ dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang Pengadilan Anak juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana. Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan Anak. Didalam proses penyelesaian perkara anak, kepentingan anak harus diutamakan dan memperoleh perlindungan khusus. Segala aktivitas aparat penegak hukum yang dilakukan dalam rangka peradilan anak harus didasarkan demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak. Tujuan peradilan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dan kesejahteraan sosial. Maka berdasarkan Pasal ini penjatuhan pidana penjara terhadap anak, dalam hal ini terdakwa II Doni Yoga Simangunsong yang masih berumur 11 (sebelas) tahun tidak sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan Anak. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah amandemen ketiga mengemukakan bahwa, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengemukakan : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam penjelasannya : Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut terdapat kalimat nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yang tidak dijelaskan artinya pada penjelasannya. Maksud nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
73
hidup dalam masyarakat artinya tidak hanya sebatas pada hukum adat tetapi juga mencakup semua sumber hukum lain diluar undang-undang yaitu antara lain persetujuan, perjanjian antar Negara, Yurisprudensi, dan doktrin. Berpijak dari Undang-Undang tersebut dalam mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim mengadili suatu kasus perkara yang hukum atau Undang-Undangnya sudah jelas tinggal menerapkan saja hukumnya, dalam kasus dimana hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan menafsirkan hukum atau UndangUndang melalui cara penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum serta dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang mengaturnya maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat.58 Berdasarkan penjelasannya yang paling diutamakan dari arti Pasal 5 ayat (1) tersebut adalah bahwa putusan Hakim harus sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maksud atau makna dari hukum tersebut tentu bukan undang-undang saja, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu tujuan dari hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat. Jadi dapat penulis kemukakan bahwa penjatuhan pidana penjara terhadap Doni Yoga Simangunsong sebagai terdakwa anak dalam Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/ PN.PMS tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 bahwa umur terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah 11 (sebelas) tahun kelahiran 18 Desember 2001. Dalam hal ini Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa : Apabila anak nakal yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Berdasarkan hal tersebut, alangkah lebih baiknya apabila terhadap terdakwa diberikan hukuman yang sifatnya berupa hukuman yang bersifat pembinaan atau tindakan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak.
58
http://www.pn-nunukan.go.id/index.php/profil/tupoksi/80-sample-dataarticles/joomla/extensions/modules/demo1/167-peran-hakim-dalam-penemuan-hukum-danpenciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan. diakses tanggal 25 Oktober 2015.