PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP NOMOR 92 TAHUN 2015 (Studi Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel )
(Skripsi)
Oleh YOSEF CAROLAND SEMBIRING
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
Yosef Caroland Sembiring
ABSTRAK
PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 92 TAHUN 2015
Oleh YOSEF CAROLAND SEMBIRING
Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia menggunakan pendekatan due process of law yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Kenyataan yang terjadi saat ini yaitu masih sangat banyak terjadi tindakan aparat penegak hukum yang justru mencederai hukum dan keadilan yang salah satunya adalah tindakan salah tangkap. Jaminan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pengaturan pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ternyata sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini sehingga Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang secara khusus mengatur mengenai pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagimana efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 dalam mengakomodir hak-hak korban salah tangkap dan juga apakah faktor penghambat Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 dalam melakukan ganti kerugian terhadap korban salah tangkap. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Jenis data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang diperoleh melalui orang-orang yang berkaitan langsung dengan masalah yang akan diteliti menggunakan teknik wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Pengaturan kebijakan pemberian ganti kerugian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 telah dapat mengakomodir hak-hak bagi korban salah
Yosef Caroland Sembiring
tangkap. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 telah berhasil memberikan kepastian hukum di Indonesia. Hal itu semakin memperjelas eksistensi keadilan hukum di Indonesia dan semakin membuat terealisasinya tujuan hukum di Indonesia yakni memberikan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia. Pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap telah mengalami kenaikan nominal seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015, namun keadilan belum sepenuhnya dirasakan hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tidak diiringi dengan revisi terhadap peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pembayaran ganti kerugian terhadap korban salah tangkap karena isi mengenai waktu pembayaran dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Adapun saran yang penulis berikan berkaitan dengan kebijakan pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap ini yaitu agar pemerintah membentuk aturan pelaksana mengenai tata cara pemberian atau pembayaran ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015. Kata Kunci: Hak, Ganti Kerugian, Korban Salah Tangkap.
PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP NOMOR 92 TAHUN 2015 (Studi Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)
Oleh YOSEF CAROLAND SEMBIRING
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM BAGIAN HUKUM PIDANA UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
Judul Skripsi
: PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP NOMOR 92 TAHUN 2015 (Studi Putusan Nomor98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)
Nama Mahasiswa
: Yosef Caroland Sembiring
Nomor Pokok Mahasiswa
: 1312011352
Bagian
: Bagian Pidana
Fakultas
: Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Eko Raharjo, S.H., M.H. NIP 196104061989031003
Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. NIP 196004061989031003
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Eko Raharjo, S.H., M.H. NIP 196104061989031003
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua
: Eko Raharjo, S.H., M.H.
……………
Sekertaris/ Anggota
: Gunawan Jatmiko, S.H., M.H
.……………
Penguji Utama
: Dr. Maroni, S.H., M.H.
……………
2. Dekan Fakultas Hukum
Armen Yasir, S.H., M.Hum. NIP 196206221987031005
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 28 Agustus 2017
RIWAYAT HIDUP
P
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 11 Januari 1995 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada Sekolah Dasar St. Maria Monica, Kp.Cerewet Kota Bekasi pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama Strada Budi Luhur pada tahun
2010, Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bekasi pada tahun 2013. Pada Tahun 2013, penulis diterima dan terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN. Pada tahun 2014-2016 penulis aktif menjadi pengurus dalam Forum Mahasiswa Hukum Kristen (Formahkris). Penulis juga aktif menjadi pengurus dalam Permata GBKP Bandar Lampung dan menjadi sekretaris bidang biro musik. Penulis juga aktif dalam Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) Rudang Mayang Lampung. Kemudian pada tahun 2016 penulis melaksanakan Praktek Kuliah Kerja Nyata selama 60 hari kerja di desa Tri Makmur Jaya, Kecamatan Menggala Timur, KabupatenTulang Bawang.
MOTO
Orang-Orang Yang Menabur Dengan Mencucurkan Air Mata, Akan Menuai Dengan Bersorak-Sorai (Mazmur 126:5)
Doa Orang Yang Benar, Bila Dengan Yakin Didoakan, Sangat Besar Kuasanya (Yakobus 5:16b) “Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat” ( Winston Chuchill )
Jadi Diri Sendiri dan Berikan Yang Terbaik Selama Masih Diberikan Nafas Kehidupan (Penulis)
PERSEMBAHAN
Diiringi Dengan Ucapan Syukur Kepada Tuhan Yesus Kristus Atas Berkat Dan Anugrah-Nya Yang Selalu Menuntut Dan Mengiringi Setiap Langkahku.
Kupersembahkan Skripsi Ini Kepada: Ayah dan Ibuku yang telah sabar membesarkan dan mendidikku dengan penuh perhatian, cinta kasih, ketulusan, pengorbanan dan selalu memberikan motivasi serta doa untuk keberhasilanku Kakakku yang selalu memberikan semangat dan motivasi serta kasih sayang yang tulus Seluruh keluarga besar dan Seluruh sahabat-sahabatku terima kasih atas kebersamaannya Serta
Almamater Tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung
SANWACANA
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa selalu meilimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Hak-Hak Korban Salah Tangkap Berdasarkan
PP
Nomor
92
Tahun
2015
(studi
putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)”. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan-kelemahan, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Bapak Eko Raharjo, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampug.
3. Bapak Eko Raharjo, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya
dan mencurahkan segenap pemikirannya untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya
dan mencurahkan segenap pemikirannya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan kritikan, saran, dan masukan terhadap penulis. 6. Bapak Budi Rizki, S.H.,M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan kritikan, saran, dan masukan terhadap penulis. 7. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. 8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas semua ilmu yang telah diberikan dan diajarkan dengan ikhlas. 9. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung. 10. Bapak Pastra Joseph Ziraluo, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan informasi selama penulis melakukan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 11. Bunga Siagian, S.H., selaku Advokat pada kantor hukum Lembaga Bantuan Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan informasi selama penulis melakukan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
12. Orangtua penulis Jecky Edward Sembiring Depari dan Mutiara Tarigan, terima kasih untuk kasih sayang yang tulus dan telah banyak berkorban serta berdoa demi keberhasilan kami. 13. Kakakku Johanna Jesslyn Sembiring Depari terima kasih buat motivasi serta dukungan serta kasih sayangnya. 14. Keluarga besar Kesusuren R. Depari dan keluarga besar Omega Sei Rampah yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk kebersamaan dan dorongannya. 15. Pance Squad Vera PolinaGinting, Dona Banjarnahor, Ruth Thresia Mika Pratiwi, Lova Surbakti, Daniel Gibson Nababan, Korin Suryani Sirait, Oren Basta Perangin-angin, Joshua Purba, Dhanty Novenda Sitepu dan Ega Gamalia Sitompul terima kasih untuk kebersamaan serta canda tawanya jangan pance lagi. 16. Teman-teman Fakultas Hukum 2013
Zulfikril Munir, Verdinan Pradana,
Santo Prasetyo, Yakin Dwi Sutopo, Ryan Faizul Fajri, serta yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih buat pengalaman dan kebahagiaan yang telah kalian berikan. 17. Anggota Formahkris bg Raymond, bg Batinta Sembiring, bg Rio Julio, bg Anes Pasaribu, bg Benny, bg Refan, bg Badia, Fernando Hamonangan Silalahi, Kristu Arpanta Barus, Daniel Gibson Nababan, Landoria, Fhauyiani, Agustina, Alicia, Fabiola. Kristu, Andre, Ridho Ilham, Firdaus, Febri, Fernando, Cindy Moira, Rico Sitorus, Frans Manuel, Yoan, Diaz, Rut Dian, Elsaday, Christofer, Wafernanda, Abram, JJR, Elizabeth Nane, Lolyta, Anyta, Gani, Decky, Erwin, Eflyn, Jonathan, Alvin, afrialdi, Josua Edward, Hadi,
Yosea, Rizky Panjaitan, Agnes Kurnia, Aron, Bicar, Christy Corne, Erwin, Felix, Ferdian, Gracemark, Hanna, Sarah, Stefany, Timbul, semangat dalam pelayanannya berikan yang terbaik buat Tuhan Yesus. 18. Keluarga IMKA Rudang Mayang Lampung yang tidak dapat disebut satu persatu. Tetap lestarikan budaya kita. Mejuah-juah. 19. Permata GBKP Bandar Lampung, tetap semangat dalam pelayanannya. 20. Rekan-rekan KKN Desa Tri Makmur Jaya Adit, Ahmad Aziz Alfi, Desi Riyana, Fahrulroziamran, Hesti permatas sari, Ricky, terima kasih buat 60 hari yang sangat mengesankan, kebersamaan dan pelajaran yang luar biasa semoga kedepannya kita lebih baik lagi. 21. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga Tuhan Yesus membalas segala kebaikan yang telah kalian lakukan dan kiranya skripsi ini dapat berguna bagi agama, masyarakat, bangsa dan Negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga hubungan diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan kembali dalam kasih dan anugrah-Nya. Amin
Bandar Lampung, 2017 Penulis
Yosef Caroland Sembiring
DAFTAR ISI
Halaman
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ....................................................... 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 9 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................... 10 E. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17
II.
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penerapan............................................................................. 20 B. Ganti Kerugian....................................................................................... 21 1. Pengertian Ganti Kerugian .............................................................. 21 2. Ganti Kerugian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .............................................................................................. 22 3. Ganti Kerugian dalam PP 92 tahun 2015 ........................................ 26 C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana ..................................... 27 D. Keadilan ................................................................................................. 31 1. Pengertian Keadilan ......................................................................... 31 2. Jenis-jenis Keadilan ......................................................................... 33 E. Pengertian Hak....................................................................................... 35 1. Tinjauan Umum Tentang Hak ........................................................... 35 2. Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa menurut KUHAP ...................... 37 F. Pengertian Korban ................................................................................. 40 G. Penangkapan dan Salah tangap .............................................................. 45 1. Pengertian Penangkapan .................................................................. 45 2. Pengertian Salah tangkap ................................................................. 47
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah.................................................................................... 49 B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................... 50 C. Penentuan Narasumber ......................................................................... 52 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 53
E. Analisis Data ........................................................................................ 54 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Hak-hak Korban Salah Tangkap Berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015 ............................................................................................ 55 B. Faktor Penghambat dalam Melakukan Ganti Kerugian Terhadap Korban Salah Tangkap ......................................................................... 66 V. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................... 74 B. Saran ..................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Uundang Dasar 1945. Implementasi perlindungan hak asasi manusia (HAM) tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan suatu upaya perlindungan hak asasi manusia khususnya terhadap orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana.
Penegakan hukum pidana Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Penegakan hukum pidana Indonesia dilakukan dengan menggunakan mekanisme penegakan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disebut SPP). Sistem peradilan pidana Indonesia – sebagai bentuk dari penegakan hukum yang berkeadilan – haruslah mencerminkan sebuah proses peradilan yang adil atau due process of law. Perwujudan due process of law dalam SPP Indonesia ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) serta dengan adanya asas presumption of innocent atau asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan pidana Indonesia.
2
Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri) sebagai salah satu komponen penegak hukum, memiliki peran penting dalam melindungi masyarakat dari berbagai macam perbuatan menyimpang karena Polri merupakan aparat penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban yang setiap saat berhubungan dengan masyarakat. Peran penting Polri dalam melindungi masyarakat dapat dilihat dari tujuan dibentuknya Polri yang dimuat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Polri), yaitu Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tujuan Polri tersebut dipertegas dengan ketentuan mengenai tugas pokok Polri yang tertuang dalam Pasal 13 UU Polri, yaitu : 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum; dan 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas Polri secara lebih rinci diatur dalam Pasal 14 UU Polri yang dalam huruf g ditentukan bahwa Polri memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Penyelidikan
adalah
serangkaian
tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
3
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyelidik maupun Penyidik Polri memiliki
wewenang untuk melakukan tindakan penangkapan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 dan Pasal 7 (1) huruf d KUHAP jo Pasal 16 KUHAP jo Pasal 16 ayat (1) huruf a UU Polri. Tindakan penangkapan yang dilakukan dapat dilakukan untuk kepentingan penyelidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) KUHAP atau untuk kepentingan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (2) KUHAP atau penuntutan dan/atau peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP.
Penangkapan pada dasarnya dapat dilakukan diawali dengan bukti permulaan yang cukup. Tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, maka tindakan penangkapan yang dilakukan akan menjadi tidak sah. Mengenai bukti permulaan yang cukup, KUHAP tidak mengaturnya, melainkan diserahkan kepada penyidik untuk menentukannya. Menurut Surat Keputusan Kapolri dalam SKEP/04/I/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam laporan polisi; berkas acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP); laoran hasil penyelidikan; keterangan saksi/ahli dan barang bukti.1 Sedangkan menurut Yahya Harahap pengertian “bukti permulaan yang cukup” hampir serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yakni berdasarkan prinsip atas batas minimal pembuktian yang minimal terdiri dari dua alat bukti.2
1
http://agenmakalah.blogspot.sg/2016/08/syarat-penangkapan-dalam-kuhp.html. Diakses pada tanggal 8 Februari 2017. Pada pukul 12.10 WIB. 2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 158.
4
Seseorang yang mengalami tindakan penangkapan yang tidak sah baik tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti kerugian. Hak untuk menuntut ganti kerugian pada dasarnya diberikan sebagai jaminan agar seseorang yang ditangkap secara tidak sah tidak mengalami kerugian.
Tuntutan ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP yang pada intinya menentukan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Ketentuan mengenai ganti kerugian yang diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1983 dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini, menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap PP Pelaksanaan KUHAP. Revisi terhadap PP Pelaksanaan KUHAP menghasilkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut PP Ganti Kerugian) yang diundangkan pada tanggal 8 Desember 2015.
Ketentuan yang diganti berdasarkan PP Ganti Kerugian tidak hanya mengenai jumlah nominal ganti kerugian yang dapat diterima oleh korban salah tangkap, namun juga mengenai mekanisme pengajuan dan pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Mekanisme pengajuan dan pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap berdasarkan PP Ganti Kerugian pada pokoknya yaitu sebagai berikut:
5
1. Tuntutan ganti kerugian diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima atau terhitung saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan apabila perkara dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan; 2. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Perubahan peraturan ganti kerugian dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 dianggap sudah memenuhi rasa keadilan bagi korban salah tangkap.
Hal itu dapat dilihat dari lahirnya putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel dalam sidang praperadilan kasus salah tangkap yang dialami oleh 2 pengamen asal Cipulir. Andro dan Nurdin merupakan korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana, pengamen di Cipulir pada tahun 2013. Andro dan Nurdin dipaksa dan siksa oleh Penyidik kepolisian untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan atas Dicky Maulana. Karena tidak kuat menahan siksaan, mereka terpaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan dicky Maulana. Pengakuan yang terpaksa ini menjadikan mereka sebagai terdakwa di persidangan dan Hakim menjatuhkan vonis 7 (tujuh) tahun penjara bagi mereka. Setelah pembunuh sebenarnya tertangkap, akhirnya mereka dibebaskan dalam putusan Pengadilan
6
Tinggi setelah harus menghabiskan waktu 8 bulan di penjara. Karena merasa diperlakukan tidak adil mereka memohon Praperadilan untuk mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan PP Nomor 92 tahun 2015 menuntut Negara (dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Istimewa Jakarta) untuk membayar ganti rugi senilai Rp 1.000.000.000,- (Satu Miliar). Gugatan itu dilakukan oleh Andro dan Nurdin dalam sidang praperadilan setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yanng diajukan oleh pihak kejaksaan dengan menguatkan putusan bebas keduanya ditingkat banding Pengadilan Tinggi pada tahun 2016.
Selasa (9/8/2016), Hakim Totok Sapti Indrato memutuskan mengabulkan permohonan ganti rugi mereka sebesar Rp 72 juta. Padahal, Andro dan Nurdin mengajukan permohonan praperadilan agar negara mengganti rugi sebesar Rp 1 miliar. Dalam ketetapannya, Hakim menggugurkan sebagian tuntutan ganti rugi dengan alasan tidak ada bukti. Rincian ganti kerugian terbagi menjadi materil dan immateril dengan Andro meminta ganti rugi materil Rp 75.440.000 dan immateril Rp 590.520.000, Sedangkan Nurdin, meminta ganti rugi materil Rp 80.220.000 dan immateril Rp 410.000.000. Tuntutan materiil berisi ongkos dan biaya yang dikeluarkan keluarga mereka dari proses penyidikan hingga persidangan. Namun, hakim hanya mengakui ganti rugi materiil terhadap kehilangan mata pencaharian mereka berdua sebagai pengamen, yaitu Rp 150.000 masing-masing per hari, selama delapan bulan ditahan. Totok juga menjelaskan bahwa pembayaran ganti rugi ini tidak dilakukan oleh instansi yang bersangkutan yaitu Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melainkan oleh negara melalui Kementerian Keuangan. Uang sebesar Rp 36 juta yang diterima masingmasing Andro dan Nurdin untuk memulai hidup baru dengan berdagang, tak sepadan dengan derita yang mereka rasakan selama ditahan. Meski telah menghirup udara bebas, keduanya tetap hidup nelangsa. Tak ada orang yang mau mempekerjakan mereka. Lingkungan dan tetangga pun melihat mereka dengan sebelah mata. Nurdin bahkan dicerai oleh istrinya sendiri. Mereka akhirnya hanya mampu kembali ke jalan untuk mengamen. Tuntutan ganti rugi ini menjadi kesempatan Andro dan Nurdin untuk mengembalikan kerugian yang selama ini dialami.3 3
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/10/09060571/kisah.pengamen.cipulir.korb an.salah.tangkap?page=all. Diakses pada tanggal 30 Januari 2017. Pada pukul 14.21 WIB.
7
Dalam isi putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel tersebut terlihat bahwa Hakim hanya mengabulkan kerugian materil, sementara tuntutan ganti kerugian yang bersifat immateril tidak dikabulkan Hakim. Dalam kasus tersebut muncul pandangan mengenai korban salah tangkap hanya mendapatkan pemenuhan hakhak mereka yang bersifat materil sementara hak-hak mereka yang bersifat immateril tidak dapat dipenuhi.
Meskipun dalam putusan praperadilan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel telah dianggap berhasil dalam menuntut ganti kerugian yang bersifat materil, namun pada tahapan pelaksanaan proses pembayaran ganti kerugian belum memenuhi rasa keadilan bagi korban, karena PP Nomor 92 Tahun 2015 itu sendiri tidak mengatur secara rinci mengenai proses pembayaran ganti kerugian. Penyebab lain, mekanisme pembayaran ganti kerugian pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 893/KMK.01/1983 tentang tata cara pembayaran ganti kerugian, belum disuaikan dengan perubahan PP Nomor 92 Tahun 2015. Mekanisme mengenai pembayaran ganti kerugian dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : 1. Ketua Pengadilan Negeri setempat mengajukan permohonan penyediaan dana kepada Menteri Kehakiman Cq. Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman; 2. Menteri Kehakiman Cq. Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Menteri Keuangan Cq. Direktur Jendral Anggaran; 3. Menteri Keuangan Cq. Direktur Jendral Anggaran menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) atas beban Bagian Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin, yang kemudian disampaikan kepada yang berhak (orang atau ahli warisnya yang oleh Praperadilan/Pengadilan Negeri dikabulkan permohonannya untuk memperoleh ganti kerugian);
8
4. Korban salah tangkap atau ahli warisnya mengajukan permohonan pembayaran kepada Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat; 5. Ketua Pengadilan Negeri meneruskan permohonan kepada Kantor Perbendaharaan Negara (KPN); dan 6. Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada yang berhak.
Persoalan lainnya yang berkaitan dengan pembayaran ganti kerugian terhadap korban salah tangkap, ternyata tidak tampak ada jaminan yang nyata terhadap pemenuhan pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Hal ini dikarenakan baik di dalam PP pelaksanaan KUHAP maupun di dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian tidak diatur mengenai tenggang waktu pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Keadaan ini menempatkan korban salah tangkap hanya pada posisi menunggu pembayaran ganti kerugiannya, sehingga niilai keadilan terhadap ganti kerugian bagi korban salah tangkap terlihat semakin menipis.4
Latar belakang tersebut di atas menjadi dasar penulis untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul “Penerapan Hak-Hak Korban Salah Tangkap Berdasarkan PP Nomor 92 Tahun 2015 (Studi Putusan Nomor 92/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)”
4
Batinta OPS meilala dalam Skripsinya yansg berjudul Kebijakan Hukum Pidana Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Salah Tangkap Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015. Hal 7
9
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah penerapan hak-hak korban salah tangkap berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015 khususnya dalam Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ? b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam melakukan ganti kerugian akibat salah tangkap yang diatur dalam PP Nomor 92 Tahun 2015 khususnya dalam Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ?
2. Ruang Lingkup Berdasarkan pada permasalahan di atas maka ruang lingkup pembahasan dalam penelitian skripsi ini terkait dengan ilmu hukum pidana terhadap penerapan hak korban salah tangkap berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015. Ruang lingkup wilayah dalam penulisan skripsi ini yaitu wilayah hukum Provinsi Lampung , yang dilaksanakan pada tahun 2017.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: a) Untuk mengetahui penerapan hak-hak korban salah tangkap berdasarkan PP Nomor
92
tahun
2015
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel.
khususnya
dalam
Putusan
Nomor
10
b) Untuk mengetahui faktor penghambat dalam melakukan ganti kerugian akibat salah tangkap yang diatur dalam PP Nomor 92 Tahun 2015 khususnya dalam Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel.
2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari skripsi ini dapat dilihat dari dua aspek yakni kegunaan teoritis dan kegunaan praktis: a. Kegunaan Teoritis Kegunaan penelitian ini secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan dan pengembangan kemampuan dalam berkarya ilmiah serta memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana melalui pengkajian mendalam terhadap peraturan-peraturan dan tulisan-tulisan yang ada yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana tentang pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015. b. Kegunaan Praktis Kegunaan penelitian ini secara praktis adalah sebagai sarana bagi penulis sendiri dalam rangka mengembangkan dan memperluas wawasan berpikir dalam menganalisis suatu masalah. Penulisan penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pada umumnya dan bagi praktisi penegak hukum pada khususnya dalam hal pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap.
11
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti5. Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka Peranan dalam pengertian sosiologi adalah perilaku atau tugas yang diharapkan dilaksanakan seseorang berdasarkan kedudukan atau status yang dimilikinya.
A. Teori keadilan Pengertian keadilan menurut Aristoteles, keadilan adalah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.6
Teori keadilan menurut Aristoteles dibagi menjadi lima macam teori yaitu : a. Teori Komutatif Keadilan komutatif adalah keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Intinya harus bersikap sama kepada semua orang, tidak melihat dari segi manapun b. Keadilan Konvensional Keadilan konvensional adalah keadilan yang megikat warga negara karena
5
didekritkan
melalui
kekuasaan
khusus.
Keadilan
ini
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Bandung: UI Press Alumni, 1986, hlm. 125. 6 http://www.siswamaster.com/2016/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles-dancontoh.html. Diakses pada hari Sabtu 20 Mei 2017. Pada pukul 13.46 WIB
12
menekankan pada aturan atau keputusan kebiasaan yang harus dilakukan oleh suatu kekuasaan Intinya seorang warga negara telah dapat menegakkan adil setelah menaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan. c. Keadilan Distributif Keadilan distributif adalah keadilan yang diterima seseorang berdasarkan jasa-jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya (sebuah prestasi). Keadilan ini menekankan pada asas keseimbangan, yaitu antara bagian yang diterima dengan jasa yang telah diberikan. d. Keadilan Kodrat Alam Keadilan kodrat alam adalah keadilan yang bersumber pada hukum alam/hukum kodrat. Hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebgai makhluk yang berakal dan bagaimana seharusnya kelakuan yang patut di antara sesama manusia. e. Keadilan Perbaikan Keadilan perbaikan adalah keadilan yang dimaksudan untuk mengembalikkan suatu keadaan atas status kepada kondisi yang seharusnya, dikarenakan kesalahan dalam perlakuan atau tindakan hukum.
Selain Aristoteles, terdapat 2 teori keadilan yang dikemukakan oleh Plato, yaitu sebagai berikut :
13
a. Keadilan moral suatu perbuatan dapat dikatakan adiil secara moral apabila telah mamapu memberikan perlakukan yang seimbang (selaras) antara hak dan kewajibannya b. Keadilan prosedural suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural jika seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut Thomas Hobbes, suatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian-perjanjian tertentu. Artinya, seseorang yang berbuat berdasarkan perjanjian yang disepakatinya bisa dikatakan adil.
B. Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hambatan adalah halangan atau rintangan. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana. Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor penghambat dalam proses penegakan hukum yakni:7 1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan
7
Soerjono Soekanto, 1993, Op.cit, hal 5
14
sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Pada hakekatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal antara perundang-undangan
yang
satu
dengan
yang
lainnya,
bahasa
yang
dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan. 2. Faktor Penegak Hukum Menurut J.E Sahetapy yang menyatakan bahwa: “ Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.”8
Penegakan hukum menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, artinya hukum identik dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Maka penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya harus tetap menjaga citra dan wibawa penegak hukum, agar kualitas aparat penegak hukum tidak rendah dikalangan masyarakat.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung 8
J.E. Sahetapy, 1992, Teori Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 78
15
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan aktual.
4. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Adanya kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari bahwa setiap warga turut serta dalam penegakan hukum tidak semata-mata menganggap tugas penegakan hukum urusan penegak hukum menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
5. Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.
16
2. Kerangka Konseptual Kerangka Konseptual adalah Kerangka yang menggambarkan hubungan antara Konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti – arti yang berkaitan dengan istilah – istilah yang ingin atau akan diteliti.9 Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.10 Adapun Istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Implementasi Penerapan adalah sebuah bentuk dari langkah nyata dari sebuah penghayalan atau perencanaan yang telah diyakini, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)11, penerapan adalah proses, cara, perbuatan menerapkan. Dapat disimpulkan bahwa penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.
b. Hak Menurut pasal 1 butir 1 UU No. 39/1999 tentang HAM (UU No.39/1999) menyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yaang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
9
10
11
Soerjono Soekanto . 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru : Rajawali Pers.Jakarta, hlm 22. Fred N. Kerlinge. Asas – Asas Penelitian Behavioral, Edisi Indonesia. Yogyakarta, Cetakan kelima. Gajah Mada University Press. hlm. 4 http://kbbi.web.id/terap-2. Diakses pada hari Kamis 27 April 2017. Pada pukul 16.05 WIB
17
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 12
c. Korban Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.13
d. Ganti Kerugian Ganti kerugian menurut ketentuan Pasal 1 angka 22 KUHAP adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.14
e. Penangkapan Penangkapan menurut ketentuan Pasal 1 angka 20 KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
12
Triyanto, 2013, Negara Hukum dan HAM, Yogyakarta : Penerbit Ombak, hlm 33 http://yuyantilalata.blogspot.sg/2012/10/korban-victim.html. Diakses pada tanggal 5 februari 2017. Pada pukul 17.47 WIB. 14 Pasal 1, Undang-Undang No. 1981 Tentang KUHAP 13
18
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.15
f. Salah Tangkap Salah tangkap adalah keliru mengnai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya16
E. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan sistematika ini memuat keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan mempermudah pemahaman konteks skripsi ini, maka penulis menyajikan penulisan dengan sistematika sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan koseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memuat beberapa pengantar dalam pemahaman dan pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek.
15 16
ibid http://dedotjcb.blogspot.sg/2013/03/pengertian-salah-tangkap-error-in.html
19
III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode yang menjelaskan mengenai langkah – langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta metode analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini yang akan menjelaskan tentang implementasi PP Nomor 92 Tahun 2015 dalam mengakomodir hak-hak korban salah tangkap.
V. PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan secara ringkas dari hasil penelitian dan memuat tentang saran penulis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
20
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penerapan
Penerapan adalah sebuah bentuk dari langkah nyata dari sebuah penghayalan atau perencanaan yang telah diyakini, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 17
(KBBI)
, penerapan adalah proses, cara, perbuatan menerapkan. Dapat disimpulkan
bahwa penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.
Menurut J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, penerapan adalah hal, cara atau hasil (Badudu & Zain, 1996:1487). Adapun menurut Lukman Ali, penerapan adalah mempraktekkan, memasangkan (Ali, 1995:1044). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan bzaik secara individu maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Adapun unsur-unsur penerapan meliputi18: 1.
Adanya program yang dilaksanakan 17
http://kbbi.web.id/terap-2. Diakses pada hari Kamis 27 April 2017. Pada pukul 16.05 WIB 18 http://studippkn.blogspot.sg/2017/03/pengertian-penerapan-dan-unsur-unsur.html. Diakses pada hari Minggu 21 Mei 2017. Pada pukul 14.50 WIB.
21
2.
Adanya kelompok target, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut.
3.
Adanya pelaksanaan, baik organisasi atau perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dari proses penerapan tersebut.
B. Ganti Kerugian 1. Pengertian Ganti Kerugian Isitilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materiil. Hal ini mucul pada hukum pidana formil yakni pada pasal 95 sampai pasal 101 KUHAP. Istilah ganti kerugian merupakan istilah hukum perdata yang timbul sebagai akibat “wanprestasi” dalam perikatan, baik karena perjanjian maupun karena undangundang19
Ganti kerugian secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya untuk memberikan sesuatu hal sebagai bentuk penggantian atas tindakan yang dilakukan yang menimbulkan kerugian. Ganti kerugian menurut Pasal 1 angka 22 KUHAP adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penegasan mengenai ganti kerugian berdasarkan Pasal 1 angka 22 KUHAP tersebut yaitu sebagai berikut:
19
Leden Marpaung. 1997. Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm 3.
22
a) Ganti kerugian merupakan hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya; b) Hak tersebut berupa imbalan sejumlah uang; c) Hak tersebut timbul dikarenakan ditangkap, ditahan ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya. Alasan yang berdasarkan undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 22 KUHAP yaitu dimaksudkan sebagai alasan-alasan atas sebuah tindakan yang berkaitan dengan syarat dan tata cara dilakukannya tindakan tersebut berdasarkan KUHAP. Alasan-alasan ini akan menilai apakah tindakan yang dilakukan tersebut adalah sah atau tidak.
2. Ganti Kerugian dalam KUHAP Dalam Hukum Acara Pidana lama (HIR) tidak diatur mengenai ganti kerugian. Ketentuan ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkkapan, penahanan yang tidak sah (unlawful arrest) telah bersifat universal. Hal itu tercantum pula dalam (International Convenant on Civil and Political Righgts)20. Ketentuan mengenai ganti kerugian mulai diatur di dalam KUHAP dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 1 angka 22 UU No 8 tahun 1981, ganti kerugian adalah hak seseorang untuk dapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan seejumlah uang karena ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan mengenai ganti kerugian 20
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm 197.
23
yang diatur dalam KUHAP hanya bersifat umum yaitu perihal siapa yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, kemana tuntutan ganti kerugian diajukan, dalam hal apa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian, bentuk putusan pemberian ganti kerugian dan penunjukan hakim untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian. Berkaitan dengan pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, ketentuan Pasal 95 ayat (3) menentukan bahwa tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya. Tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan atau apabila perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan dan diputus di sidang praperadilan. Alasan dapat diajukannya tuntutan ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 ayat (1) yang pada pokoknya menentukan bahwa tuntutan ganti rugi dapat diajukan karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian21 : 1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
21
http://yustisi.blogspot.sg/2009/02/sekilas-tentang-ganti-kerugian-dalam.html. Diakses pada tanggal 23 Mei 2017. Pada pukul 14.20 WIB.
24
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian
penyidikan
atau
penuntutan
dibarengi
dengan
penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.. 3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP). Tambahan atas beberapa kesenjangan peraturan mengenai ganti kerugian dalam KUHAP, terdapat dalam PP Nomor 27 tahun 1983 sebagai berikut. 1. Sama dengan yang diuraikan di muka, ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim (Pasal 8 ayat (1)). Hanya kurang lengkap,karena tidak diteruskan dengan kata-kata ... berdasarkan
25
keadilan dan kebenaran. Alasan pemberian atau penolakan tuntutan ganti kerugian dicantumkan dalam penetapan hakim (Pasal 8 ayat (2)). 2. Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 huruf b dan pasal 95 KUHAP adalah serendah-rendahnya Rp5.000,00(lima ribu rupiah), dan setinggi-tingginya Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). Tetapi kalau penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggitingginya Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) (Pasal 9 ayat (1) dan (2)). 3. petikan penetapan ganti kerugian di berikan dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah penetapan diucapkan; salinannya diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal ini kantor perbendaharaan Negara setempat. (Pasal 10 ayat (1) dan (2)). 4. Terjawab juga bahwa Negara yang membayar ganti kerugian itu, karena dikatakan ”pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut. Tata caranya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan” (Pasal 11 ayat (1) dan (2)).22
Masih ada masalah yang belum terjawab oleh PP Nomor 27 tahun 1983 itu, seperti kerugian-kerugian yang bagaimana yang dapat di perttimbangkan oleh
22
http://merantiblogs.blogspot.sg/2013/09/ganti-rugi-dan-rehabilitasi_30.html. Diakses pada tanggal 23 Mei 2017. Pada pukul 14.53
26
hakim, apakah juga kerugian kehormatan atau martabat karena penahanan orang itu.
4. Ganti Kerugian dalam PP Nomor 92 Tahun 2015 Pemberian ganti kerugian yang diatur di dalam KUHAP telah memiliki aturan pelaksananya tersendiri yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Peraturan Pelaksana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Salah satu substansi yang diatur di dalam peraturan pemerintah tersebut yaitu mengenai ganti kerugian. Ketentuan mengenai ganti kerugian yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1983 ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini sehingga perlu untuk melakukan perubahan terhadap peraturan pemerintah tersebut. Pengaturan mengenai pelaksanaan ganti kerugian korban salah tangkap pada saat ini telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pelaksana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 ini merubah ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, khususnya ketentuan mengenai ganti kerugian. Ketentuan pelaksana ganti kerugian korban salah tangkap ini mengatur hal-hal yang bersifat tekhnis dalam ganti kerugian yaitu mengenai prosedur pengajuan tuntutan ganti kerugian, besaran ganti kerugian dan pembayaran ganti kerugian. Khusus berkaitan dengan prosedur tuntutan ganti kerugian, Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 pada pokoknya menentukan bahwa tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima atau 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan
27
penetapan praperadilan dalam hal tuntutan ganti kerugian diajukan terhadap yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan.
Ketentuan mengenai pelaksanaan ganti kerugian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 ini juga menunjukkan bahwa pembayaran ganti kerugian dibebankan kepada Negara melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yaitu bahwa pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan. Besaran nominal ganti kerugian yang diatur di dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yaitu sebagai berikut: (1) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (3) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana
28
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan.
Proses hukum tersebut tidak mandiri artinya ada faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya. Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum antara lain:23 1.
Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
23
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2008, hlm 5
29
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement saja, akan tetapi jua peace
maintenance,
karena
penyelengaraan
hukum
sesungguhnya
merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundangundangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung.
2.
Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap
30
lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.
3.
Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.
4.
Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru dapat dikatakan mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya, karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.
5.
Faktor Kebudayaan
31
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak
penyesuaian
kebudayaan
antara
masyarakat,
peraturan
maka
akan
perundang-undangan semakin
mudahlah
dengan dalam
menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. D. Keadilan 1. Pengertian Keadilan Keadilan adalah hal-hal yang berkenaan pada sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia yang berisi sebuah tuntutan agar sesamanya dapat memperlakukan sesuai hak dan kewajibannya. Dalam bahasa inggris keadilan adalah justice. Makna justice terbagi atas dua yaitu makna justice secara atribut dan makna justice secara tindakan. Makna justice secara atribut adalah suatu kuasalitas yang fair atau adil. Sedangkan makna justice secara tindakan adalah tindakan menjalankan dan menentukan hak atau hukuman24. Keadilan berasal dari istilah adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil berarti tengah, adapun pengertian adil adalah memberikan apa saja sesuai dengan haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu ditengah-tengah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak sewenang-wenang. Keadilan juga memiliki pengertian lain yaitu suatu keadaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara 24
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macamkeadilan.html. Diakses pada hari Minggu 21 Mei. Pada pukul 15.40 WIB
32
memperoleh
apa
yang
menjadi
haknya
sehingga
dapat
melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan “Pengertian Keadilan Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI)” adalah suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang. Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kata adil berasal dari kata adil, adil mempunyai arti yaitu kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat sebelah.25
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang atau benda. Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidak adilan.
Pembagian Keadilan menurut Aristoteles yaitu : a. Keadilan Komulatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak melihat jasa yang dilakukannya, yakni setiap orang mendapat haknya. b. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasanya yang telah dibuat, yakni setiap orang mendapat kapasitas dengan potensi masing-masing. c. Keadilan
Findikatif
adalah
perlakuan
terhadap
seseorang
sesuai
kelakuannya, yakni sebagai balasan kejahatan yang dilakukan.
25
http://kbbi.web.id/adil. Diakses pada tanggal 16 Mei 2017. Pada pukul 11.15 WIB
33
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.
Pada intinya, keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat melaksanakan kewajibannya.
2. Jenis-jenis Keadilan Didalam memahami keadilan perlu di ketahui bahwa keadilan itu terbagi kedalam beberapa kelompak yang dikaji dari berbagai sudut ilmu pengetahuan yaitu : 1.
Keadilan Komutatif (Iustitia Commutativa) Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya, dimana yang diutamakan adalah objek tertentu yang merupakan hak dari seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan antarorang/antarindividu. Di sini ditekankan agar prestasi sama nilainya dengan kontra prestasi.
2. Keadilan Distributif (Iustitia Distributiva)
34
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi haknya, dimana yang menjadi subjek hak adalah individu, sedangkan subjek kewajiban adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan dengan hubungan antara individu dan masyarakat/negara. Di sini yang ditekankan bukan asas kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan kontra prestasi). Melainkan, yang ditekankan adalah asas proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa, atau kebutuhan. Keadilan jenis ini berkenaan dengan benda kemasyarakatan seperti jabatan, barang, kehormatan, kebebasan, dan hak-hak.
3. Keadilan legal (Iustitia Legalis) Keadilan legal adalah keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang. Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune). Keadilan legal terwujud ketika warga masyarakat
melaksanakan
undang-undang,
dan
penguasa
pun
setia
melaksanakan undang-undang itu.
4. Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa) Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang hukuman atau denda sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Setiap warga masyarakat berkewajiban untuk turut serta dalam mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat, yaitu kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Apabila seseorang berusaha mewujudkannya, maka ia bersikap adil. Tetapi sebaliknya, bila orang justru mempersulit atau
35
menghalangi terwujudnya tujuan bersama tersebut, maka ia patut menerima sanksi sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
5. Keadilan Kreatif (Iustitia Creativa) Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang bagiannya, yaitu berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreativitas yang dimilikinya. Keadilan ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengungkapkan kreativitasnya di berbagai bidang kehidupan.
6. Keadilan Protektif (Iustitia Protectiva) Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan kepada pribadi-pribadi. Dalam masyarakat, keamanan dan kehidupan pribadi-pribadi warga masyarakat wajib dilindungi dari tindak sewenang-wenang pihak lain. Menurut Montesquieu, untuk mewujudkan keadilan protektif diperlukan adanya tiga hal, yaitu: tujuan sosial yang harus diwujudkan bersama, jaminan terhadap hak asasi manusia, dan konsistensi negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
E. Pengertian Hak 1. Tinjauan Umum tentang Hak Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku dan melindungi kebebasan, kekebalan,
36
serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.26 Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.27
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusa dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.28 Hak menurut hukum dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu29 : 1) Hak Mutlak (Hak Absolut), yaitu
hak yang memberikan wewenang
kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. hak mutlak dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : a. Hak Asasi Manusia, misalnya : hak seseorang untuk dengan bebas bergerak dan tinggal dalam suatu negara. 26
Rizky Ariestandi, 2013, Hukum Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm 63 27 https://id.wikipedia.org/wiki/Hak. Diakses pada tanggal 30 April pukull 08.30 WIB 28 Triyanto, 2013, Op.cit, hlm 75 29 http://legalstudies71.blogspot.sg/2015/06/pengertian-hak-dan-macam-macam-hak.html. Diakses pada tanggal 23 Januari 2017. Pukul 13.51 WIB
37
b. Hak Publik Mutlak, misalnya : hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. c. Hak Keperdataan, misalnnya : hak marital, hak orang tua (ouderlijke macht), hak perwalian (voogdij), dan hak pengampuan (curatele). 2) Hak Nisbi (Hak Relatif), yaitu hak yang memberikan wewenang kepada seorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. hak nisbi sebagian besar terdapat dalam hukum perikatan (bagian dari hukum perdata) yang timbuk berdasarkan persetujuan-persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Misalnya : dari perseetujuan jual beli terdapat hak nisbi (hak relatif), seperti : a. Hak penjual untuk menerima pembayaran dan kewajibannya untuk meyerahkan barang kepada pembeli. b. Hak pembeli untuk menerima barang dan kewajibannya untuk melakukan pembayaran.
2. Hak-Hak tersangka dan terdakwa menurut KUHAP a. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarlam bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). Hak-hak tersangka dalam Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut: Hak untuk segera diperiksa oleh Penyidik, diajukan kepada penuntut umum [Pasal 50 ayat (1) dam (2)]. 1) Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 butir a.).
38
2) Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52). 3) Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam penyidikan (Pasal 53). 4) Hak mendapatkan bantuan hukum dan memilih sendiri Penasehat Hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 dan Pasal 55). 5) Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka yang ancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih dengan biaya cuma-cuma [Pasal 56 ayat (1) dan (2)]. 6) Hak menghubungi penasihat hukumnya [Pasal 57 ayat (1)]. 7) Hak Tersangka yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan [Pasal 57 ayat (2)]. 8) Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka yang ditahan (Pasal 58) 9) Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksut yang sama diatas. (Pasal 59 dan Pasal 60) 10) Hak untuk di kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61) 11) Hak tersangka untuk berhubungan surat-meyurat kepada penasihat hukumnya (Pasal 62).
39
12) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal 63) 13) Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65). 14) Hak tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66). 15) Hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi [Pasal 68, Pasal 95 ayat (1), Pasal 97 ayat (1)]. b. Terdakwa adalah seeorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. (Pasal 1 butir 15). Hak-hak terdakwa sebagai mana dalam KUHAP adalah sebagai berikut : 1) Hak segera diadili oleh pengadilan [Pasal 50 ayat (3)]. 2) Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 butir b.). 3) Hak memberikan keterangan secara bebas kepada hakim (Pasal 52). 4) Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam pemeriksaan di pengadilan (Pasal 53). 5) Hak mendapatkan bantuan hukum dan memilih sendiri Penasehat Hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 dan Pasal 55). 6) Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi terdakwa yang ancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih dengan biaya cuma-cuma [Pasal 56 ayat (1) dan (2)]. 7) Hak menghubungi penasihat hukumnya
40
8) Hak terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan [Pasal 57 ayat (2)]. 9) Hak untuk menghubungi dokter bagi terdakwa yang ditahan (Pasal 58) 10) Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksut yang sama diatas. (Pasal 59 dan Pasal 60) 11) Hak untuk di kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61) 12) Hak terdakwa untuk berhubungan surat-meyurat kepada penasihat hukumnya (Pasal 62). 13) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal 63) 14) hak terdakwa untuk diadi!i di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64). 15) Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65) 16) Hak agar tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66). 17) Hak untuk mengajukan banding, kasasi dan melakukan Peninjauan kembali [Pasal 67, Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1)]. 18) Hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi [Pasal 68, Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 97 ayat (1)].
41
19) Hak mengajukan keberataan tantang tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan [Pasal 156 ayat (1)].
F. Pengertian Korban Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:50) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usah pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dn lainnya.” Disini jelas yaang dimaksud “orang yang mendapat ppenderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah : “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagaai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmanih dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.
Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yamg mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah 1. Setiap orang 2. Mengalami penderitaan fisik, mental
42
3. Kerugian ekonomi 4. Akibat tindak pidana Selain Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, pengertian korban juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menyatakan bahwa korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Secara etilogis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yansg telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu : 1. Korban tindak pidana (victim of crime) meliputi : a. Korban Langsung (Direct Victims) Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut 1) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif
43
2) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia 3) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalalian yang terumuskan dalam hukum pidana. 4) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims) Yaitu tiimbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anakanak dan keluarga terdekat.
2. Victims of abuse of power Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui perbuatanperbuatan atau kelalalian yang belum merupakan pelanggaran undang-undang pidana
Nasional
tetapi
norma-norma
diakui
secara
internasional
yang
berhubungan dengan hak-hak asasi manusia.30
Menurut Mulyadi definisi korban adalah orang-oraang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gugatan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing 30
http://yuyantilalata.blogspot.sg/2012/10/korban-victim.html. Diakses pada tanggal 26 Januari 2017. Pukul 11.40 WIB
44
negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri dibagi menjadi tujuh bentuk menurut Mulyadi, yaitu31 : a. Unrelated Victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban b. Proactive victims merupakkan korban yang disebebkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletaak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. c. Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan ejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan., kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.. d. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan
potensial
korban
kejahatan.
Ditinjau
dari
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya. e. Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bbersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial
31
http://pengertiankomplit.blogspot.sg/2016/11/pengertian-korban.html. Diakses pada tanggal 28 Januari 2017. Pukul 12.18 WIB
45
yang lemah. Untuk itu, pertaanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat. f. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban
semu)
atau
kejahatan
tanpa
korban.
Untuk
itu
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan. g. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
G. Penangkapan dan Salah Tangkap 1. Penangkapan Tindakan penangkapan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik yang bersifat memaksa kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.32 Penangkapan menurut ketentuan Pasal 1 angka 20 KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Rumusan ketentuan Pasal 1 angka 20 KUHAP tersebut menentukan secara tegas bahwa tindakan penangkapan – baik yang dilakukan oleh penyelidik maupun penyidik – haruslah dilakukan menurut caracara yang ditentukan dalam KUHAP. Alasan penangkapan atau syarat
32
Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 165.
46
penangkapan ditentukan secara tersirat dalam Pasal 17 KUHAP yang pada intinya menentukan bahwa penangkapan dapat dilakukan terhadap: a. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; dan b. Dugaan tersebut harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penjelasan Pasal 17 KUHAP menentukan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan “untuk menduga” adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Penjelasan Pasal 17 KUHAP tersebut menegaskan bahwa dalam hal melakukan penangkapan, tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tetapi harus dengan pengkajian, penelaahan dan penganalisaan yang tepat agar dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang benar-benar diduga melakukan tindak pidana. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi diperlukan untuk mengungkap siapa yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, kapan tindak pidana terjadi dan keterangan-keterangan lain yang dapat mendukung keyakinan bahwa benar telah terjadi peristiwa pidana.33 Keterangan ahli dibutuhkan untuk memberikan masukan atau petunjuk tentang benar dan tidaknya peristiwa pidana itu terjadi, ditinjau dari sudut pandang ilmu
33
Ibid., hlm. 168.
47
pengetahuan. Bukti surat biasanya berkaitan dengan masalah status penguasaan, status kepemilikan, dan status kekuatan hukumnya.34
Jangka waktu penangkapan menurut Pasal 19 ayat (1) KUHAP yaitu adalah untuk waktu paling lama 1 (satu) hari. Penangkapan dengan sendirinya akan menjadi tidak sah dan konsekuensinya tersangka harus dibebaskan demi hukum apabila penangkapan yang dilakukan telah lewat 1 (satu) hari.35
2. Salah Tangkap Penangkapan yang tidak sesuai dengan syarat penangkapan – baik terhadap prosedur penangkapan, syarat yang harus dimiliki, jangka waktu penangkapan dan lainnya – akan menyebabkan penangkapan menjadi tidak sah. Fenomena lainnya sebagai salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam tindakan penangkapan selain tidak sahnya penangkapan, yaitu tindakan salah tangkap.
Pengertian mengenai istilah salah tangkap tidak terdapat dalam KUHAP maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Pengertian salah tangkap hanya dapat ditemukan dalam doktrin para ahli hukum. Secara harfiah tindakan salah tangkap adalah kesalahan dalam tindakan penangkapan yang terjadi akibat kekeliruan terhadap orang yang ditangkap. Tindakan salah tangkap atau kekeliruan mengenai orangnya dimungkinkan terjadi oleh karena penyidik tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk menangkap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana sehingga menyebabkan error in persona. 34
Ibid., hlm. 169 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 160. 35
48
Kekeliruan terhadap orang yang ditangkap ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang pada intinya menentukan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 95 KUHAP tersebut, M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menyatakan bahwa seseorang yang menjadi korban salah tangkap atau kekeliruan mengenai orangnya berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas alasan kekeliruan mengenai orang yang disidik atau diadili.36
Selain itu, M.Yahya Harahap juga menjelaskan bahwa kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan. Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.37
36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 58. 37 http://dedotjcb.blogspot.sg/2013/03/pengertian-salah-tangkap-error-in.html?m=1. Diakses pada tanggal 22 Mei 2017. Pada pukul 10.20 WIB
49
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan Yuridis Normatif Pendekatan yuridis normatif37 merupakan suatu pendekatan penelitian hukum kepustakaan dengan cara menelaah doktrin, asas-asas
hukum, norma-norma,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam toeri-teori dan literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
Pendekatan yuridis normatif di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat dan menelaah kebijakan hukum pidana pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015.
37
Soerjono Soekanto, 2012, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo, hlm.14
50
Pendekatan yuridis normatif ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan sinkronisasi hukum positif dalam pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap dan perbandingan hukum kebijakan pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang telah diatur di Peraturan Perundang-undangan Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015.
2. Pendekatan Yuridis Empiris Pendekatan yuridis empiris38 merupakan suatu pendekatan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian dengan cara observasi terhadap permasalahan yang dibahas.
B. Sumber dan Jenis Data Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang akan diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.39 Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data primer dan data sekunder.
1. Data primer Data Primer merupakan suatu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan terutama dari orang-orang yang berkaitan dangan masalah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi. Data Primer ini akan diambil dari wawancara dengan 38
Zainuddin Ali. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 12 Abdulkadir Muhammad, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.168.
39
51
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Advokat pada kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Akademisi atau Dosen Bagian Hukum Pidana.
2. Data sekunder Data sekunder
merupakan suatu data yang diperoleh dari penelusuran studi
kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur, dokumen resmi dan peraturan perunndang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Baik itu bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.40 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,41 yang terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 4) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,42 yang terdiri dari buku-buku literatur dan hasilhasil penelitian termasuk pendapat-pendapat hukum dari kalangan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dan diteliti dalam penulisan skripsi ini.
40
Soerjono Soekanto,1986. Op.Cit .hlm 41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm 13. 42 Ibid 41
52
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari pendapat para narasumber dalam wawancara, kamus hukum, ensiklopedia, media massa cetak maupun elektronik dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dan diteliti dalam penelitian skripsi ini.
C. Penentuan Narasumber Narasumber adalah istilah umum yang merujuk kepada seseorang, baik mewakili pribadi maupun suatu lembaga, yang memberikan atau mengetahui secara jelas tentang suatu informasi, atau menjadi sumber informasi untuk kepentingan pemberitaan di media massa. Biasanya, informasi yang didapat dari narasumber diperoleh melalui wawancara dengan memintakan pendapatnya mengenai suatu masalah atau isu yang sedang berkembang. Selain itu, narasumber juga diperlukan untuk mendukung suatu penelitian.43 Wawancara merupakan penelitian yang sifatnya ilmiah, yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangn tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka.44
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini adalah wawancara terhadap para narasumber atau informan. Wawancara ini dilakaukan dengan metode depth Interview (wawancara langsung secara mendalam), Adapun narasumber atau responden yang akan diwawancarai adalah: 1.
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang
2.
Advokat pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta : 1 orang
43
: 1 orang
https://id.wikipedia.org/wiki/Narasumber. Diakses pada tanggal 26 Januari 2017. Pada pukul 15.22 WIB 44 Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, hlm. 95.
53
3.
Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
: 1 orang
Jumlah
: 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, media massa dan bahan tertulis lainnya termasuk pendapat-pendapat dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.
2. Pengolahan Data Data yang terkumpul diolah melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut: a. Editing (Pemeriksaan Data) Dilakukan pemeriksaan terhadap data yang telah dikumpulkan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah cukup lengkap, jelas dan relevan dengan penelitian. b. Klasifikasi Data (Pengelompokan Data) Data yang telah terkumpul dan telah diperiksa kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenis dan sifatnya agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.
54
c.
Sistematisasi Data (Penyusunan Data) Data yang telah dikelompokkan kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan, konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.
E. Analisis Data Setelah pengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara deskriptif kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai kebijakan hukum pidana pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Ketentuan Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan pada analisis tersebut, kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarikan kesimpulan yang didasarkan pada fakta yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian ini dan selanjutnya dari kesimpulan tersebut akan dapat diajukan saran dalam rangka perbaikan.
74
V. PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut 1. Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 sudah dapat dikatakan memberikan rasa keadilan bagi korban salah tangkap. Hal itu dapat dilihat dalam isi putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel dimana 2 korban salah tangkap yaitu Andro dan Nurdin mendapatkan ganti kerugian sebesar 36 juta per orangnya. Meskipun jumlah ganti kerugian yang diajukan jauh daripada tuntutan yang mereka tuntut, namun secara keseluruhan nominal angka tersebut dianggap sudah dapat menggantikan hak-hak atas ketidakadilan yang mereka terima selama mereka menjalani pemeriksaan sampai dengan penuntutan. 2. Terdapat faktor penghambat dalam proses pencairan dana ganti kerugian, sebagai berikut : a. Faktor Perundang-undangan, menjadi penghambat karena belum adanya peraturan yang jelas mengenai mekanisme pencairan dana ganti kerugian. Adapun peraturan yang dapat membayar ganti kerugian
adalah
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
75
983/KMK.01/1983
dianggap
tidak
sesuai
lagi
karena
membutuhkan waktu yang sangat panjang dan juga tidak praktis mengigat peraturan menteri keuangan tersebut dikeluarkan atas perintah Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab undang-undang hukum acara pidana dalam hal ganti kerugian. Hal itu tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 karena Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai proses pencairan dana ganti kerugian tersebut tidak ikut direvisi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 dijelaskan pada Pasal 11 ayat (2) mengenai batas waktu paling lama negara mencairkan dana ganti kerugian adalah 14 hari, dan hal itu tidak mungkin bisa terlaksana apabila masih mengikuti mekanisme pencairan dana berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang lama. Hal itu menimbulkan ketidakpastian bagi korban salah tangkap dalam hal mendapatkan pencairan dana ganti kerugian. b. Faktor Penegak Hukum, juga merupakan penghambat dalam proses memberikan rasa keadilan terhadap 2 korban salah tangkap dalam putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel,
dimana
aparat
penegak hukum terkesan tidak serius dan tidak dapat memberikan jaminan mengenai kapan waktu pencairan dana ganti kerugian yang dialami oleh korban salah tangkap terealisasikan.
.
76
B. Saran Selain kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, penulis juga memberikan beberapa saran yang terkait dengan penulisan penelitian terhadap Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel sebagai berikut : 1. Dengan pertimbangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dilakukan penyesuaian besaran jumlah ganti kerugian, maka terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 yang menggantikan peraturan sebelumnya. Hal ini diharapkan agar aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyidik,, bijak dalam menuntut dan gunakan mata hati dalam mengadili, karena lebih baik membebaskan seribu penjahat daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Karena pada kasus salah tangkap, semua pihak dirugikan, baik korban maupun negara. Karena walaupun korban mendapat ganti kerugian materil, namun secara immateril tetap saja tidak dapat digantikan 2. Diperlukannya revisi atau perubahan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 983/PMK.01/1983 dalam hal mekanisme pencairan dana ganti kerugian, selain itu pemerintah diharapkan menyediakan anggaran dana bagi korban salah tangkap, sehingga korban pencari keadilan tidak merasa dipersulit dalam hal menuntut haknya mendapatkan ganti kerugian atas apa yang mereka terima sebagai korban salah tangkap.
1
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Asdi Mahasatya Dellyana, shant. 1988. Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty. Fred N, Kerlinge. Asas – Asas Penelitian Behavioral. Edisi Indonesia. Yogyakarta. Cetakan kelima. Gajah Mada University Press Hartono. 2012. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2014. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika Ishaq. 2012. Dasar – Dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. J.E. Sahetapy. 1992. Teori Kriminologi Suatu Pengantar. Bandung, Citra Aditya Bakti, Leden Marpaung. 1997. Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 158. -----------. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, 2014 -----------. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. 2012 Rizky Ariestandi Irmansyah. 2013. Hukum Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: PT Grafindo Persada.
2
-----------. 1993. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. -----------. 2012. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. -----------. 2012. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo. -----------. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru: Rajawali Pers. Triyanto. 2013. Negara Hukum dan HAM. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
B. Internet Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. digilib.unila.ac.id. http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/10/09060571/kisah.pengamen.cipulir.k orban.salah.tangkap?page=all http://legalstudies71.blogspot.sg/2015/06/pengertian-hak-dan-macam-macamhak.html. https://id.wikipedia.org/wiki/Narasumber. http://yuyantilalata.blogspot.sg/2012/10/korban-victim.html. http://agenmakalah.blogspot.sg/2016/08/syarat-penangkapan-dalam-kuhp.html. http://www.gurupendidikan.com/9-pengertian-implementasi-menurut-para-ahli/ http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2016/02/Mekanisme-Pembayaran-GantiRugi.jpg. http://www.gresnews.com/berita/hukum/1701512-pp-korban-salah-tangkap-terbitpenegak-hukum-wajib-profesional/0/.