SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGALIHAN PENAHANAN DARI TAHANAN RUTAN MENJADI TAHANAN KOTA ( Studi Kasus Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN.Pinrang )
Oleh ZULTANY SATRI MUSTAKA B 111 09 375
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGALIHAN PENAHANAN DARI TAHANAN RUTAN MENJADI TAHANAN KOTA ( Studi Kasus Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN.Pinrang )
Oleh:
ZULTANY SATRI MUSTAKA B 111 10 325
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa Nama
: ZULTANY SATRI MUSTAKA
Nomor Induk
: B 111 09 375
Bagian
: HUKUM ACARA
Judul
: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGALIHAN PENAHANAN DARI TAHANAN RUTAN MENJADI TAHANAN KOTA (Studi kasus Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN.Pinrang)
Telah Diperiksa dan Disetujui untuk Diajukan dalam Ujian Skripsi.
Makassar,
Pembimbing I
Agustus 2014
Pembimbing II
Prof. Dr. Muh. Said Karim, S.H., M.H. Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. NIP. 19620711 198703 1 001 NIP. 19631024 198903 1 002
iv
v
ABSTRAK
ZULTANY SATRI MUSTAKA (B111 09 375), Tinjauan Yuridis Terhadap Pengalihan Penahanan dari Tahanan Rutan Menjadi Tahanan Kota (Studi Kasus Perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / PN.Pinrang), dibimbing oleh Said Karim, dan Syamsuddin Muchtar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penetapan pengalihan penahanan (dari tahanan rutan menjadi tahanan kota) dan mengehatui pertimbangan hakim dalam penetapan pengalihan penahanan (perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / PN.Pinrang) melalui hasil wawancara penulis dengan hakim yang bersangkutan, serta menguraikan fakta yang didapatkan di lapangan dari hasil penelitian penulis dengan jaksa penuntut umum. Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Pinrang dan Pengadilan Negeri Pinrang untuk penelitian lapangan dan penelitian berkas perkara, serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk penelitian kepustakaan. Dalam penulisan ini, digunakan sistem analisis data secara kualitatif dengan cara menggabungkan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Pinrang dan berkas perkara yang diperoleh dari Penuntut Umum, kemudian dianalisis secara kualitatif, melalui pendekatan normatif data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, penelitian ini penulis lakukan dengan membaca serta mengkaji berbagai literature yang relevan dan berhubungan langsung dengan objek penelitian untuk dijadikan sebagai landasan teoritis. Hasil yang diperoleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: (1) pertimbangan hakim dalam mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan. (2) proses hukum dalam penetapan pengalihan penahanan (dari tahanan rutan menjadi tahanan kota) antara lain meliputi syarat pengalihan penahanan, peranan jaksa dan/atau penuntut umum, serta bagaimana sikap terdakwa dalam proses ini. Seluruh hasil penelitian dari semua data yang ada ditinjau dan dikaji secara yuridis, merujuk kepada kesimpulan dan saran yang bersifat membangun.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis hadiratkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat
menyelesaikan
dan
skripsi
hidayah-Nya yang
berjudul
lah
sehingga
“Tinjauan
penulis
Yuridis
dapat
Terhadap
Pengalihan Penahanan dari Tahanan Rutan Menjadi Tahanan Kota (studi kasus Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN. Pinrang) ini, sebagai syarat untuk mengakhiri studi pada jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta shalawat penulis haturkan kepada Nabi Besar Rasulullah Muhammad SAW. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih terdapatnya beberapa kelemahan maupun penyusunan. Oleh karena itu, segala masukan dalam bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan penulisan di masa mendatang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua tercinta yang telah membesarkan penulis hingga dapat meneyelesaikan studi ini, Ayahanda Drs. H. L. Mustaka Gandjeng yang telah memberikan berbagai macam bimbingan hidup maupun petunjuk dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan ini, juga mengabulkan hampir seluruh pemintaan penulis selama ini, serta kepada Ibunda Hj. Nuraeni atas segala doa, kesabaran dalam membesarkan penulis, serta berbagai upaya yang telah dilakukan dalam
vii
mendukung proses akademik penulis dalam seluruh jenjang pendidikan hingga saat ini. Terima kasih pula penulis haturkan kepada: 1. Prof.
Dr.
Dwia
Aries
Tina,
MA., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta seluruh jajarannya. 2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum.,
selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H selaku selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta Romi Librayanto, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 3. Prof. Dr. Muh. Said Karim, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, yang telah memberikan dukungan moril serta bantuan teknis dan non teknis yang sangat besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya di sela kesibukannya untuk memberikan dukungan moril, masukan dan petunjuk, serta bantuan yang sangat besar baik secara teknis maupun non teknis kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H., Abd. Asis, S.H., M.H., dan Kaisaruddin, S.H., selaku tim penguji, atas segala saran dan masukan yang sangat berharga dalam penyususnan skripsi ini.
viii
6. Saudara Nur Iman, atas segala dukungan moril serta bantuan teknis dan non teknis yang sangat besar kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Keluarga besar Bengkel Seni Dewi Keadilan (BSDK) FH-UH, tempat saya menemukan situasi keluarga yang saya cari seumur hidup saya, termasuk didalamnya. 8. Rekan-rekan sesama mahasiswa, dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler di Bonto Haru, Selayar. 9. Bapak Andi Hardiansyah, S.H., M.Hum. selaku hakim beserta jajarannya, yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara serta memberikan dukungan dan bantuan
selama penulis melakukan
penelitian. 10. Bapak Zulkarnaen Perdana Mustaka, S.H selaku jaksa dan/atau Penuntut Umum beserta Jaksa dan staff kejaksaan, yang telah memberikan segala dukungan dan bantuan selama penulis melakukan peneliti
Makassar, 12 Agustus 2014
ZULTANY SATRI MUSTAKA
DAFTAR ISI
ix
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .................................
iv
ABSTRAK ...........................................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................
vi
DAFTAR ISI .........................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah .................................................
1
B.
Rumusan Masalah ..........................................................
6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
8
A.
Hukum Acara Pidana ......................................................
8
B. C. D. E. F. G.
Penahanan ..................................................................... Rumah Tahanan ............................................................. Tahanan Kota ................................................................. Tersangka/ Terdakwa ..................................................... Pengalihan Penahanan................................................... Penegak Hukum .............................................................
14 19 23 25 31 35
BAB III METODE DAN LOKASI PENELITIAN ...................................
49
A. B. C. D.
Lokasi Penelitian ............................................................. Jenis dan Sumber Data .................................................. Teknik Pengumpulan Data .............................................. Analisis Data ...................................................................
49 49 50 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................
52
x
A.
Proses Penetapan Pengalihan Penahanan dari Tahanan Rutan Menjadi Tahanan Kota dalam
B.
Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN. Pinrang .........................
52
1. Uraian Singkat Pengalihan Penahanan ....................
52
2. Analisis Pelaksanaan Pengalihan Penahanan .........
58
Pertimbangan
Hakim
Terhadap
Penetapan
Pengalihan Penahanan dari Tahanan Rutan Menjadi Tahanan Kota dalam Perkara No. 24/Pid/B/2013/PN. Pinrang .......................................................................... 1. Pertimbangan
Hakim
Pengalihan
Penahanan
dalam
63
Penetapan
(Perkara
No.
24/Pid/B/2013/PN. Pinrang)......................................
63
2. Analisis Pertimbangan Hakim ...................................
68
BAB V PENUTUP ................................................................................
71
A.
Kesimpulan .....................................................................
71
B.
Saran ..............................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rule of law), oleh karena itu setiap tindakan pemerintah dan masyarakat Indonesia harus berdasar pada hukum yang berlaku serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Istilah hukum itu juga berarti peraturan yang harus ditaati, apabila dilanggar maka akan dikenakan sanksi hukum. Secara umum hukum berfungsi untuk mengatur,dan membangun masyarakat . Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.1 Hukum pidana dan hukum acara pidana secara global akhir akhir ini berubah besar. Belanda sendiri sedang memperbarui hukum acara pidananya. Begitu pula Jepang dan Italia. Kabar terakhir mengatakan, bahwa Jepang sedang menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Acara
1
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: PT.Toko Gunung Agung, 2002, h.43
2
Pidana, yang akan memperkenalkan sistem baru, yaitu sistem peradilan juri. Italia pada tahun 1989 mengubah total hukum pidananya dari sistem yang jaksa menjadi bagian kekuasaan kehakiman, dikeluarkan dan menjadi pihak dalam acara pidana. Pihak yang lain, ialah terdakwa bersama penasihat hukumnya. Ini disebut adversary system atau accusatoir murni. Berkas pemeriksaan saksi dan terdakwa yang dibuat oleh polisi atau penyidik tidak lagi dikirim ke hakim. Berkas itu tetap ditangan
jaksa.
Jadi,
hukum
benar-benar
dalam
keadaan
tidak
mengetahui pemeriksaan saksi dan terdakwa yang dibuat penyidik. Dia berdiri di tengah-tengah, jaksa yang menjelaskan dan membuktikan dakwaannya, sedangkan terdakwa juga menjelaskan dan jika perlu mengajukan juga saksi-saksi sebagai alibi. 2 Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum, maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemeriksaan di Pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Sebelum jauh membahas mengenai Hukum Acara Pidana, perlu diketahui bahwa hukum pidana secara tradisional itu adalah Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa
2
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.vii
3
badan. Seiring perkembangan kesadaran masyarakat, Hukum Pidana tidak lagi semata-mata berupa siksaan badan saja, hukuman dapat berupa hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda. Sedangkan menurut Sudarsono 3 , pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu
penderitaan.
Dengan
demikian
hukum
pidana
bukanlah
mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya normanorma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan. Sebelum secara resmi nama undang-undang hukum acara pidana disebut “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (Pasal 285 KUHAP), telah menggunakan istilah “Wetboek van Strafvordering” (Belanda) dan kalau diterjemahkan secara harfiah menjadi Kitab Undang-undang Tuntutan Pidana, maka berbeda apabila dipakai istilah “Wetboek van Strafprocesrecht” (Belanda) atau “Procedure of criminal” (Inggris) yang terjemahan dalam bahasa Indonesia “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”.
Tetapi
menurut
Menteri
kehakiman
Belanda
istilah
strafvordering” itu meliputi seluruh prosedur acara pidana. Secara singkat dikatakan, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana#cite_note-Sudarsono-2
4
hukum pidana materiel, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.4 Kepolisian
dan
kejaksaan
dalam sistem peradilan
pidana
merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini bekerja sama dalam hal penegakan hukum, keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam sistem acara pidana, dimana pihak kepolisian bertugas sebagai penyidik dan penyelidik yang kemudian pihak Kejaksaan menunjuk salah satu jaksa sebagai penuntut umum untuk memeriksa berkas dari kepolisian dan nantinya diteruskan ke pengadilan. Proses acara pidana memiliki beberapa tahap, diantaranya penyelidikan kemudian dilanjutkan ke penyidikan. Pada tahap penyidikan, penyidik itu sendiri memiliki beberapa wewenang, salah satunya yg disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) huruf (d) yang menyatakan bahwa penyidik
berwenang
untuk
melakukan
penangkapan,
penahanan,penggeledahan dan penyitaan. Maksud penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah “penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan hak penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini” Tujuan penahanan juga diatur di dalam Pasal 20 KUHAP yaitu untuk kepentingan penyidikan,untuk kepentingan penuntutan dan untuk 4
Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012, h.1 dan h.4
5
kepentingan pemeriksaan. Penahanan dapat berupa penahanan rumah tahanan negara (rutan), penahanan rumah, dan penahanan kota. Secara tidak langsung juga dapat dilihat bahwa pasal-pasal di dalam KUHAP sangat memperhatikan hak asasi tersangka atau terdakwa. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa manusia adalah hamba Tuhan dan juga makhluk yang sama derajatnya dengan manusia lain sehingga harus diperlakukan secara adil dan manusiawi. Pada hakikatnya setiap manusia ingin dihargai dan diperlakukan sabagaimana mestinya, tak seorangpun yang mau diperbudak dan diperlakukan sewenang-wenang karena setiap manusia memiliki perasaan dan hati nurani. Perwujudan dari hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa tersebut dapat dilihat dari upaya yang diberikan untuk mengajukan pengalihan jenis penahanan kepada pihak yang berwajib. Sesuai dengan asas yang dianut dalam KUHAP dalam penyelenggaraan proses pidana yaitu asas praduga tak bersalah, yang berarti seseorang dianggap tidak bersalah
sebelum adanya
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya serta putusan tersebut harus mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Masalah pengalihan jenis tahanan diatur dalam Pasal 23 KUHAP yang berbunyi :
6
“penyidik atau penuntut umum maupun hakim berwenang mengalihkan atau mengubah jenis penahanan dari jenis yang satu kepada jenis penahanan lain” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / P.N. Pinrang? 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam Perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / P.N. Pinrang? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana diketahui bahwa suatu karya ilmiah mempunyai tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai oleh penulisnya, demikian halnya dengan penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / P.N. Pinrang. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam perkara No. 24 /Pid/ B / 2013 / P.N. Pinrang.
7
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagi berikut : 1. Bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan perbendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang masalah ini. 2. Penulis skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
8
BAB II TINJAUN PUSTAKA
A. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Hukum Acara pidana Secara singkat dikatakan, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan keputusan
hukum
hakim dan
pidana
cara
materiil,
bagaimana
sehingga
isi
memperoleh
keputusan itu
harus
dilaksanakan.5 Hukum pidana formil atau hukum acara pidana memiliki fungsi melaksanakan hukum pidana materiil, artinya memberikan peraturan cara bagaimana mewujudkan
negara
dengan
mempergunakan
alat-alatnya
dapat
wewenangnya untuk mempidana atau membebaskan
pidana.6 Selain fungsi tentu saja hukum acara pidana juga memiliki tujuan, yang kemudian Yahya Harahap 7 mengemukakannya sebagai landasan tujuan KUHAP : 1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat 2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum 3. Tegaknya hukum dan keadilan 4. Melindungi harkat martabat manusia 5
Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012 h.4 Ibid, H.6 7 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.58 6
9
5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum 2. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana Adapun asas-asas Hukum Acara Pidana sebagaiana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dikemukakan Prof. Andi Sofyan8, secara singkat : 1) Peradilan
dilakukan
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. 2) Asas persamaan di depan hukum (equality before the law) (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 3) Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 4) Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009). 5) Asas perintah tertulis dari yang berwenang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2009). 6) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) ( Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 8
Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012 h.15
10
7) Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap (Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 8) Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (contante justitie) (Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009). 9) Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya (Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 10) Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan, serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum. 11) Asas hadirnya terdakwa (Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 12) Asas pemeriksaan terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 13) Asas pembacaan putusan (Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009). 14) Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (Pasal 154 KUHAP dan seterusnya). 15) Asas putusan harus disertai alasan-alasan (Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 16) Asas tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang
mendapat
keyakinan
bahwa
seseorang
11
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). 17) Asas pengadilan wajib memeriksa (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) 18) Asas pengawasan pelaksaan putusan. (Pasal 55 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Lain halnya dengan asas-asas yang dikemukakan oleh Andi Hamzah 9 , yaitu : 1) Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. 2) Praduga tak bersalah (presumption of innocence) 3) Asas Opportunitas, asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. 4) Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum 5) Semua orang diberlakukan sama di depan hakim 6) Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap 7) Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum 8) Asas akusator dan inkisitor (accusatoir dan inquisitoir), dimana asas inkisitor berarti
9
tersangka dipandang sebagai obyek
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.10
12
pemeriksaan,
sedangkan
asas
akusator
menganggap
tersangka sebagai subyek pemeriksaan. 9) Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. 3. Proses Acara Pidana Leden Marpaung 10 menjelaskan secara singkat tentang proses penanganan perkara, sebagai berikut : 1) Penyelidikan Dalam pasal 1 butir 5 KUHAP mencantumkan : “penyelidikan adalah serangkaian tindakan /penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”. Dengan
kata
lain,
penyelidikan
dilakukan
sebelum
penyidikan, guna mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana. Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, biasanya penyelidik/penyidik baru melaksanakan tugasnya setelah adanya laporan/pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dalam pasal 4 KUHAP ditentukan “penyelidik” adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI). 2) Penyidikan Dalam pasal 1 butir 2 KUHAP mencantumkan : “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu 10
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan & penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika, 2011. h. 6
13
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tugas seorang penyidik sendiri telah diatur pada Pasal 7 KUHAP. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesatu persitiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum ( sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah cukup bukti maka berkas dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum. 3) Penuntutan Penuntut
umum
(dalam
hal
ini
Kejaksaan/Kepala
Kejaksaan Negeri) setelah menerima berkas/hasil penyidikan dari penyidik, segera menunjuk salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk mempelajari dan meneliti yang kemudian atas hasil penelitannya jaksa tersebut mengajukan saran kepada Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI) untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri. 4) Pemeriksaan di sidang pengadilan Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum (Kejaksaan Negeri), ketua mempelajari
apakah
perkara
itu
termasuk
pengadilan yang dipimpinnya (Pasal 147 KUHAP).
wewenang
14
B. Penahanan Penahanan
merupakan
salah
satu
bentuk
perampasan
kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang dan kepentingan ketertiban umum, disinilah letak keistimewaannya hukum acara pidana itu. Ia memiliki ketentuan-ketentuan yang dapat menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal, yaitu HAM. Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika sangat diperlukan, kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. 11 Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan penahanan adalah “penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang ini”. Tujuan penahanan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 20 KUHAP, antara lain bahwa “penyelidik/penyidik pembantu berwenang melakukan
penahanan
untuk
kepentingan
pemeriksaan,
penyelidikan/penyidikan kepada tersangka secara obyektif dan benarbenar mencapai hasil penyelidikan/penyidikan yang cukup memadai unutk diteruskan kepada penuntut umum, dan selanjutnya akan dipergunakan sebagai bahan pemeriksaan di depan persidangan”. 12
11
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.129
12
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.129
15
Dalam proses penahanan terhadap tersangka, maka harus memenuhi 2 syarat, atau alasan yaitu syarat-syarat suyektif dan syarat obyektif, sebagai berikut13: 1. Syarat subyektif : karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak . (diatur dalam Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP) 2. Syarat Obyektif : syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP bahwa : “terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; tindak pidana itu diancam kurang dari 5 tahun, tetapi sebagaimana dimaksud dalam KUHP, Rechtenordonnantiem Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan Undang-Undang RI Tindak Pidana Imigrasi. Penahanan terdiri dari beberapa jenis, yang dapat dibedakan dari persyaratan atau penempatan tersangka/terdakwa ditahan. Adapun jenis penahanan sebagaimana menurut Pasal 22 KUHAP, yaitu: a. Penahanan rumah tahanan negara, tersangka atau terdakwa ditahan dan ditempatkan di rumah tahanan negara (Rutan). 13
Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012 h.144
16
b. Penahanan
rumah,
dilaksanakan
di
rumah
tempat
tinggal/kediaman tersangka/terdakwa dengan mengadakan pengawasan. c. Penahanan
kota,
dilaksanakan
di
kota
tempat
tinggal/kediaman tersangka/terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka/terdakwa untuk melaporkan diri pada waktu yang telah ditentukan. Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut14: 1. Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik (20 hari) 2. Perpanjangan oleh penuntut umum (40 hari) 3. Penahanan oleh penuntut umum (20 hari) 4. Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri (30 hari) 5. Penahanan oleh hakim pengadilan negeri (30 hari) 6. Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri (60 hari) 7. Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi (30 hari) 8. Perpanjangan oleh ketua pengadilan tinggi (60 hari) 9. Penahanan oleh Mahkamah Agung (50 hari) 10. Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung (60 hari) Namun perlu diperhatikan adanyan ketentuan pengecualian tentang penahanan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP dapat di
14
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.134
17
perpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena15: a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, dibuktikan dengan surat keterangan dokter. b. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana Sembilan tahun atau lebih. Cara penahanan atau penahanan lanjutan, dengan memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, sebagai berikut16: 1. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan
memberikan
surat
perintah
penahanan
atau
penetapan hakim. 2. Surat perintah penahanan atau surat penetapan penahnaan, harus memuat hal-hal: a. Identitas tersangka atau terdakwa. b. Menyebutkan alasan penahanan. c. Tempat ia ditahan. d. Tembusan suratt perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 21 KUHAP, telah tercantum, yang dapat dikenakan penahanan yakni “tersangka” atau “terdakwa”. 15
Ibid., h. 135. Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012 h.151
16
18
Rumusan “yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup” sesungguhnya telah tercakup arti/makna “tersangka” atau “terdakwa”. 17 Penahanan juga harus memperhatikan hak asasi manusia, maka dari penting untuk adanya pembatasan wewenang untuk penguasa, sehingga penahanan tidak dilakukan sewenang-wenang. Syarat subyektif penahanan : 1. Melarikan diri 2. Merusak atau menghilangkan barang bukti 3. Mengulangi melaukan tindak pidana Syarat obyektif : 1. Tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. 2. Tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, yaitu ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun meluti beberapa pasal KUHAP dan perundang-undangan pidana diluar KUHAP seperti Pasal 25 dan 26 ordonnansi Bea, Pasal-pasal 1,2, dan 4 Undang-undang tindak pidana imigrasi dan Pasal 36 ayat (7-, 41, 42, 43 , 47, dan 48 undang-undang tentang narkotika.
17
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan & penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika, 2011. h. 117
19
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ada 3 alasan yang menjelaskan perlunya penahanan yakni : a. Kekhawatiran melarikan diri, atau b. Merusak atau menghilangkan barang bukti, atau c. Mengulangi tindak pidana. Dari rumusan Pasal 20 KUHAP, maka yang berwenang melakukan penahanan adalah18: 1) Penyidik. 2) Penuntut umum. 3) Hakim (menurut tingkat pemeriksaan). Penahanan hanya dapat diperintahkan oleh penuntut umum yaitu jaksa dengan alasan : a. Untuk kepentingan pemeriksaan b. Untuk menjaga jangan sampai tersangka melarikan diri. C. Rumah Tahanan Pada pasal 1 butir (2) undang-undang No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana menjelaskan, bahwa Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan Penahanan
rumah
tahanan
(RUTAN)
yang
dikelola
oleh
departemen kehakiman. Tanggung jawab yuridis atas tahanan ada di 18
Salam, Faisal. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001, h. 67
20
pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada kepala RUTAN, sedangkan tanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan ada pada dokter yang ditunjuk oleh menteri kehakiman. 19 Penahanan rumah tahanan negara (Rutan), memiliki banyak permasalahan, salah satunya adalah pembangunan rutan, yang kemudian permasalahan
tersebut
tidak
terlalu
mendesak
karena
adanya
kebijaksanaan dari Pasal 22 ayat (1) yang menggariskan bahwa : “selama rutan belum ada pada suatu tempat, penahanan dapat dilakukan di kantor Kepolisian
Negara,
di
kantor
Kejaksaan
Negeri,
di
Lembaga
Pemasyarakatan, di rumah sakit, dan dalam keadaan yang mendesak di tempat lain. Akan tetapi pemerintah tidak mau membiarkan keadaan seperti ini semakin berlarut-larut mengingat jumlah tahanan terus meningkat, maka dikeluarkan
PP no. 27/1983 yang mendesak
Pemerintah untuk segera membangun Rutan di setiap lokasi20. Tentang siapa saja yang ditempatkan dalam Rutan dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 19 PP No. 27/1983 jo Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 tahun 198321 : 1. Di dalam rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dan
19
Sunaryo, H. & DIanawati, Ajen. Tanya Jawab Seputar Hukum Acara Pidana, Jakarta, 2009, h. 90 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.170 21 Ibid, h. 171 20
21
2. Semua tahapan berada dan ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali, tetapi tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tngkat pemeriksaan. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rutan adalah tempat tahanan tersangka atau terdakwa yang masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan.22 Ada beberapa hal yang harus dilaksanakan Kepala Rutan dan tahanan, sehubungan dengan penerimaan tahanan dalam Rutan : 1. Mencatat penerimaan tahanan dalam buku register daftar tahanan berdasar tingkat pemeriksaan. 2. Kepala rutan tidak boleh menerima tahanan tanpa disertai surat penahanan yang sah (Pasal 19 ayat (4) PP No. 27/1983), sebelum menerima tahanan Kepala Rutan terlebih dahulu memeriksa surat dasar penahanan dan mencocokkan identitas tahanan. 3. Penggeledahan badan atau barang, dibenarkan hukum melakukan
penggeladahan
badan
dan barang
bawaan
tahanan oleh Kepala Rutan saat menerima tahanan, dengan syarat penggeledahan badan tahanan wanita harus dilakukan oleh petugas wanita, wajib mengindahkan kesopanan, dan barang yang berbahaya segera dirampas atau dimusnahkan. 4. Membuat daftar bulanan tahanan.
22
Ibid
22
5. Memberitahukan tahanan yang hampir habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya. Dalam tahanan juga dikenal fungsi mengeluarkan tahanan, pengeluaran yang dimaksud disini berbeda dengan pembebasan atau pelepasan dari Rutan. Pengeluaran tahanan dari Rutan merupakan tindakan yang bersifat sementara. Ada beberapa keperluan atau kepentingan
yang dapat dijadikan dasar mengeluarkan tahanan dari
rutan, yaitu23 : 1. Pengeluaran tahanan untuk kepentingan pemeriksaan oleh penyidik, kepentingan ini tidak boleh ditolak oleh pejabat rutan. Permintaan pengeluaran tahanan ini harus memenuhi syarat : permintaan berdasar surat panggilan, harus kembali selambatlambatnya jam 17.00, tindakan pengeluaran dibarengi dengan pelaksanaan adminstratif. 2. Pengeluaran tahanan karena pengalihan jenis tahanan, sebaai mana disinggung dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP. Pengalihan jenis tahanan harus berdasar surat yang sah dari instansi yang menahan, menyerahkan barang-barang milik tahanan yang ada dan dititipkan pada Rutan dengan berita acara serta mencatat dalam buku register, dan membuat berita acara serah terima.
23
Ibid, h. 174
23
3. Pengeluaran
tahanan
karena
penangguhan
penahanan,
petugas Rutan mengeluarkan tahanan dari Rutan karena adanya perintah penangguhan penahanan dari instansi yang menahan. Tahanan Rutan dibebaskan dari Rutan dengan alasan24 : 1. Karena tidak diperlukan lagi penahanan, apabila seorang tersangka/terdakwa tidak diperlukan lagi peanhanan guna kepentingan
pemeriksaan,
instansi
yang
melakukan
penahanan dapat atau berwenang untuk memerintahkan pembebasan tahanan dari Rutan. 2. Apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani, alasan lain yang dibenarkan hukum membebaskan tahanan dari Rutan berdasar Pasal 27 Peraturan Menteri Kehakiman. 3. Pembebasan tahanan demi hukum, alasan ini hampir mirip dengan pembebasan berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang putusan pidananya telah bersesuaian dengan masa tahanan terpidana,
perbedaannya
pemeriksaan. D. Tahanan Kota
24
Ibid, h. 177
terletak
pada
yang dijalani tingkat
proses
24
Penahanan kota, yang pelaksanaannya di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka/terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka/terdakwa untuk melapor diri pada waktu-waktu yang ditentukan oleh pejabat yang menahan. Tersangka/terdakwa hanya boleh keluar kota dengan izin penyidik atau penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. 25 Pengertian kota dalam pasal ini, meliputi pengertian “desa” atau “kampung”. Sebab kalau pengertian kota ditafsirkan secara sempit, peraturan penahanan kota hanya berlaku untuk warga negara yang tinggal di kota saja. Sedang terhadap yang tinggal di desa atau di dusun, peraturan ini tidak berlaku. Hal yang ini jelas ditentang KUHAP karena tidak sesuai dengan prinsip unifikasi yang melarang adanya diskriminasi hukum bagi warga negara di seluruh wawasan nusantara. Berdasar alam pikiran yang demikian, pengertian penahanan kota meliputi penahanan “desa”atau “kampung” maupun “dusun”. Berbeda dengan penahanan rumah, tersangka/terdakwa yang sedang menjalankan tahanan diawasi, lain halnya pada penahanan kota, “tidak dilakukan pengawasan langsung”, tetapi terhadap undang-undang hanya memberi “kewajiban” untuk “melapor” pada waktu-waktu luang yang telah ditentukan (Pasal 22 ayat (3) KUHAP). Tentang penjadwalan “kewajiban melaporkan” diri, tidak ditentukan
oleh
undang-undang.
Dengan
demikian,
diserahkan
kebijaksanaan sepunhnya kepada pejabat yang mengeluarkan perintah
25
Sunaryo, H. & DIanawati, Ajen. Tanya Jawab Seputar Hukum Acara Pidana, Jakarta, 2009, h. 90
25
penahanan kota tersebut. Serupa halnya pada penahanan rumah, dalam penahanan kota pun, tersangka/terdakwa dilarang untuk keluar kota, mereka hanya dapat keluar kota jika telah mendapat “izin” dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan26. E. Tersangka/Terdakwa Menurut Pasal 1 butir (14) KUHAP “tersangka adalah seorang yang
karena
perbuatannya
atau
keadaannya
berdasarkan
bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”, sedangkan dalam Pasal 1 butir (15) KUHAP juga menjelaskan “bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadil di sidang pengadilan”. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan dari tersangka dan terdakwa terletak pada “pembuktian” dan proses. Tidak hanya hak-hak korban yang diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia, di dalamnya juga terdapat beberapa aturan yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat mengenai hak-hak seorang tersangka/terdakwa sebagai seorang warga Negara Indonesia. Dalam tataran normatif konstitusional, aspek kemanusiaan ini dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama sebagai berikut : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan ini secara
26
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.182
26
eksplisit, walaupun dalam konteks menetang penjajahan, tetapi secara implisit, mengandung pengakuan bahwa kemerdekaan itu adalah hak setiap orang/manusia sebagai individu anggota masyarakat. Selanjutnya, alinea ketiga pembukaan UUD 1945 menyatakan : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.27 Perlu diluruskan pandangan masyarakat awam saat ini yang bahwa sebenarnya seorang tersangka/terdakwa belum bisa dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, jadi dalam proses hukum yang adil dapat kita lihat dari asas-asas KUHAP (menurut penjelasan) oleh Mardjono Reksodiputro (1994:32-33) dibagi atas28 : 1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tak bersalah; 3. Hak
untuk
memperoleh
kompensasi
(ganti
rugi)
dan
rehabilitasi; 4. Hak untuk mendapat bantuan hukum; 5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; 6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7. Peradilan yang terbuka untuk umum; 27
Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2006. Hlm. 119. 28 M. Syukri Akub dan Baharuddin Badaru. Wawasan Due Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana.Yogyakarta: Rangkang Education, 2012. H. 149.
27
8. Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan
penyitaan)
harus
didasarkan
pada
undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis); 9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan 10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Kemerdekaan dan kebebasan seseorang menganduk aspek yang luas. Salah satu aspeknya adalah hak seseorang untuk diperlakukan secara adil, tidak diskriminatif dan berdasarkan hukum, terutama bila seseorang diduga atau disangka pemalukan suatu tindakan pelanggaran atau
atindakan
kemerdekaan
kejahatan.artinya,
dan
kebabasan
perampasan
bergerak
atau
seseorang
pembatasan yang
diduga
melakukan tindak pidana, dipandang dari sudut hukum pidana dapat berupa penangkapan, penahanan dan pemidanaan, dapat dibenarkan apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ada sebelum tindakan hukum dikenakan kepadanya. Hal tersebut mengandung arti bahwa ada hak-hak tertentu dari seseorang yang ditangkap, ditahan, ataupun dipidana yang harus dipenuhi. Hak-hak tersebut antara lain29:
29
Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2006. H. 113.
28
1. Hak untuk mengetahui dasar atau alasan penangkapan, penahanan dan/atau penjatuhan pidana terhadap dirinya. (tercakup dalam Pasal 50, 41, dan 59 KUHAP) 2. Hak untuk memperoleh perlakuan manusiawi dan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang—undangan yang belaku, selama masa penangkapan, penahanan maupun selama menjalani pidana atas dirinya. (ditetapkan dalam Pasal 56-68 KUHAP) 3. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tertulis. (diatur di dalam Pasal 60-63 KUHAP) 4. Hak untuk diam, dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan ataupun pengakuan. Jadi, tidak diperkenankan adanya tekanan-tekanan tertentu. Hak tersebut dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 52 KUHAP. Selain hak-hak tersebut diatas, dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa memiliki hak-hak antara lain30: 1. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. 2. Hak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa.
30
Ibid. H. 114.
29
3. Hak untuk mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. 4. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannnya dengan proses perkara maupun tidak (lihat Pasal 58 KUHAP) 5. Hak untuk diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada setiap tingkat pemeriksaan, kepada
keluarganya
atau
orang
lain
yang
serumah
dengannya. (lihat Pasal 60 KUHAP) 6. Hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, serta hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. (lihat Pasal 64 dan 65 KUHAP) 7. Hak untuk mengirim surat kepada pensaihat hukumnya dan menerima surat kepada penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis. (lihat Pasal 62 KUHAP)
30
8. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi karena ditangkap dan ditahan tanpa menurut tata cara yang berdasarkan undang-undang. Hak asasi manusia sangat erat kaitannya dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Terkhusus dalam hukum acara pidana dapat diliat dari setiap asas-asas hukum acara pidana yang telah disebutkan di bagian (a) tentang hukum acara pidana. Syukri Akub menerangkan tentang asas persamaan di muka hukum yang ada di Indonesia yang menyatakan bahwa penggunaan lembaga penahanan senantiasa memperhadapkan dua kepentingan yang mendasar yaitu kepentingan untuk menjunjung tinggi hak asasi individu (tersangka/terdakwa)
serta
adanya
hak
negara
untuk
membatasi
kebebasan bergerak dari seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Asas ini membawa konsekuensi ditegakkannya di dalam setiap bidang di hukum, termasuk acara pidana. Berkaitan dengan itu, semangat dari asas persamaan di muka hukum (equality before the law) di dalam bidang hukum acara pidana, khususnya di dalam proses peradilan pidana yang merupakan sub sistem peradilan pidana terdapat suatu asas yang merupakan pilar, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa setiap tersangka dan terdakwa harus dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya dibuktikan di dalam peradilan dan
31
dinyatakan dalam putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap31. F. Pengalihan Penahanan Jika diperhatikan jenis tahanan yang disebutkan pada Pasal 22, secara nyata tampak perbedaan berat ringannya ketiga jenis penahanan. Penahanan pada Rutan termasuk jenis yang terberat, mereka terus menerus-siang malam berada dalam rumah tahanan dengan penjagaan yang ketat. Menyusuk penahanan rumah yg lebih ringan, mereka beada dalam rumah/tempat kediaman sendiri, hanya saja kebebasan mereka untuk keluar rumah dibatasi serta mendapat pengawasan dari pejabat yayng mengeluarkan perintah penahanan. Yang paling ringan adalah penahanan kota, pembatasan kebebasan mereka tidak terlalu dikekang, boleh berkeliaran di sepanjang kota, hanya keluar kota yang dibatasi tanpa ada izin dari pejabat yang mengeluarkan penahanan. Dari kenyataan ini, layak dan beralasan tahanan berusaha mendapat penahanan yang lebih ringan seandainya penahanan atas dirinya tidak dapat dihindari. Untuk itu undang-undang sendiri membuka kemungkinan adanya peralihan penahanan secara “vertikal”. Bisa jadi peralihan iu dari yang terberat kepada penahanan yang lebih ringan, atau sebaliknya. Dengan demikian baik kepada penyidik, penuntut umum, maupun hakim,
31
M. Syukri Akub dan Baharuddin Badaru. Wawasan Due Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana.Yogyakarta: Rangkang Education, 2012. H. 168 & 176
32
mempunyai wewenang melakukan pengalihan penahanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2332. Pengalihan
jenis
penahanan,
dapat
diberikan
dengan
tersangka/keluarga/penasihat
hukum
pertimbangan33: 1) Permohonan
dari
disertai alasan; 2) Hasil
pemeriksaan
medis
tentang
kondisi
kesehatan
tersangka; dan 3) Rekomendasi hasil gelar perkara. Pengalihan jenis penahanan ini wajib dilengkapi dengan surat perintah pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasa penyindik selaku penyidik. 1. Tata cara pengalihan34 -
Oleh penyidik dan penuntut umum dilakukan dengan “surat perintah” tersendiri yang berisi dan bertujuan untuk mengalihkan jenis penahanan.
-
Jika yang melakukan pengalihan itu hakim, perintah pengalihan dituangkan dalam bentuk “surat penetapan”.
-
Tembusan surat perintah pengalihan atau penetapan pengalihan jenis penahanan diberikan kepada tersangka/terdakwa serta kepada instansi yang berkepentingan.
32
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.183 Luthan, Salman, Andi Samsan Nganro, Dkk. Praperadilan di Indonesia, Jakarta : ICJR, 2014, h.187 34 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.183 33
33
Yang dimaksud instansi yang berkepentingan ialah instansi yang terlibat atau dilibatkan dalam penahanan. Misalnya, seseorang yang dikenakan penahanan rumah oleh penyidik, pengawasan penahanan, penyidik melimpahkan kepala desa, dengan demikian kepala desa ikut dilibatkan sebagai pejabat yang berkepentingan dalam penahanan. Oleh karena itu, tembusan surat perintah peralihan jenis tahanan harus diberikan kepadanya. Jika kita perhatikan ketentuan pengalihan jenis penahanan, undang-undang hanya melihat dari sudut pejabatnya saja, yakni menjelaskan
adanya
wewenang
pejabat
penegak
hukum
yang
mengeluarkan perintah penahanan untuk mengalihkan jenis penahanan. Hukum yang mengeluarkan perintah penahanan untuk mengalihkan jenis penahanan. 2. Pengurangan masa tahanan35 Memperhatikan Pasal 22 ayat (4), terdapat ketentuan yang memerintahkan kepada hakim atau pengadilan yang memutus perkara, agar memperhatikan masa penangkapan dan penahanan untuk kemudian “dikurangkan” seluruhnya dari jumlah hukuman pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan ini bersifat imperatif, bertitik tolak dari susunan redaksi, tidak dijumpai kata-kata “boleh” ataupun “dapat”, bukan fakultatif. Redaksinya berbunyi : “masa penagkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Dari susunan kalimat
35
Ibid, h. 184
34
ini, jelas ada perintah untuk mengurangkan masa penangkapan dan penahanan dalam putusan hakim. Memang agar ketentuan ini lebih jelas mengandung perintah dan memaksa, sebaiknya antara kata penahanan dan dikurangkan, disisipkan kata “harus” atau “mesti” ataupun “wajib”. Sehingga kalimat itu berbunyi “ harus atau mesti ataupun wajib dikurangkan. Sistem pengurangan masa tahanan diatur dalam Pasal 22 ayat (5), yang “membedakan” pengurangan masa penahanan ditinjau dari jenis penahanan. Makin ringan jenis penahanan, semakin kecil jumlah pengurangan. Semakin berat jenis penahanan semakin “penuh” jumlah pengurangan, seperti yang dijelaskan di bawah ini36: -
Penahanan rutan, pengurangannya sama dengan jumlah masa penahanan.
-
Penahanan rumah, pengurangannya sama dengan 1/3 x jumlah masa penahanan.
-
Penahanan kota, jumlah pengurangan masa penahanannya sama dengan 1/5 x jumlah masa penahanan kota yang dijalani. Pengalihan jenis penahanan diatur dalam Pasal 23 KUHAP yang
berbunyi “penyidik atau penuntut umum maupun hakim berwenang “mengalihkan” atau mengubah jenis penahanan dari jenis yang satu kepada jenis penahanan yang lain”.
36
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, 2012, h.170
35
Pengalihan jenis penahanan dilakukan oleh penyidik atau penuntut
umum
dilakukan
dengan
mengeluarkan
surat
perintah
pengalihan jenis penahanan. G. Penegak Hukum 1. Kepolisian Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, menjelaskan bahwa : “kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Polisi disebut juga sebagai “alat negara penegak hukum” (Pasal 1 ayat 1 UU No. 13/1961; Pasal 30 (4) UU No. 20/1982; Pasal 13 sub a UU N0. 28/1997) 37. Fungsi polisi itu sendiri sangat penting dalam hukum acara pidana, disebutkan dalam KUHAP pada Pasal 1 butir 1 bahwa “penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Dari pasal di atas dapat dilihat bahwa salah satu wewenang Polisi adalah sebagai seorang penyidik, dimana peran penyidik sangat penting dalam hukum acara pidana.
37
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010, H. 50.
36
Dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP juga disebutkan bahwa “penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. dan dalam pasal 5 disebutkan bahwa : “penyelidik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 : a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. Mencari keterangan dan barang bukti; 3. Menyuruh
berhenti
seseorang
yang
dicurigai
dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. Mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
bertanggung jawab; b. Atas eprintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. Penangkapan,
larangan
meninggalkan
tempat,
penggeladahan dan penyitaan; 2. Peeriksaan dam penyitaan surat; 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. Penyidik dalam anggapan umum yang disebut sebagai penyidik adalah hanya pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri), namun secara yuridis formal tidak demikian, karena selain Polri masih ada Penyidik lain seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Jaksa dan
37
Perwira TNI Angkatan Laut. Ketentuan yang mengatur hal ini, antara lain dapat disimak dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP38. Penyidik karena kewajibannya memiliki wewenang sebagai berikut 39: a. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan
orang
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
38 39
Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Bandung: Sinar Grafika, 2007. Hlm. 41. Lihat pasal 7 KUHAP
38
Penyidik
sebagaimana
dimaksudkan
diatas
mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang, dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan, menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, menyerahkan berkas perkara pada taha pertama penyidikan, dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum40. Dalam kepolisian, polisi yang berkewajiban di bidang penyelidikan dan penyidikan disebut Dit Reskrim. Dit Reskrim adalah unsur pelaksana Utama Polda yang berada dibawah Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku41. Dalam menyelenggarakan tugasnya, Dit Reskrim memiliki fungsi sebagai berikut42: 1) Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas Dit Reskrim , dalam lingkungan Polda; 40
Lihat pasal 7 & 8 KUHAP http//www.jogja.polri.go.id. pdf dit_reskrimum 42 Ibid 41
39
2) Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku; 3) Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan maupun pelayan umum; 4) Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidak PPNS; 5) Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi Reskrim.
1. Kejaksaan Jaksa disebut sebagai “pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan” (Pasal 1 ke-1 UU No. 5/1991) yang dalam UU kejaksaan yang baru dinyatakan, “jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang” (Pasal 1 ke-1 UU No. 16/2004) dan “kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
40
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan” (Pasal 2 ayat 1 UU No. 5/1991 yang telah diubah dengan UU No. 16/2004) 43. Di indonesia, selain sebagai penuntut umum jaksa memiliki fungsi lain sebagai penegak hukum sebagai berikut 44: 1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan
sesuai
dengan
bidang
tugasnya
berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh jaksa agung; 2) Penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, adminstrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya; 3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana; 4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan 43
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010, H. 50. 44 http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2
41
peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan jaksa agung; 5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri; 6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan
peraturan
peraturan-perundangan
serta
peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta
pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Jaksa seringkali disebut juga sebagai penuntut umum. Akan tetapi tidak semua jaksa adalah penuntut umum dalam suatu kasus pidana, hanya jaksa yang diberi wewenang untuk menjadi penuntut umum dalam kasus itu oleh kepala kejaksaan. Hal ini jelas dilihat dalam pengertian penuntut umum yang dijelaskan dalam KUHP dan UU No.16 tahun 2004 yang telah disebutkan diatas. Penuntut umum yang ditunjuk untuk melakukan penuntutan dapat dilaksanakan oleh seorang jaksa maupun dalam bentuk tim. Dalam hal
42
penuntut umum yang ditunjuk melakukan penuntutan dalam bentuk tim, maka salah seorang diantaranya ditunjuk sebagai ketua tim. Tim penuntut umum bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap pelaksanaan penuntutan.
Penunjukan
diprioritaskan terhadap jaksa
yang telah
mengikuti perkembangan penyidikan dan dapat dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan atau kebijakan pimpinan satuan kerja. Penuntutan umum untuk melaksanakan tugas penuntutan dilakukan dengan
menerbitkan
surat
perintah
penunjukan
jaksa
untuk
menyelesaikan perkara, penunjukan penuntut umum untuk melakukan penuntutan dapat dilimpahkan kepada pejabat teknis dibawahnya45. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan suaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan46. Penuntut umum memiliki wewenang : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat
45
Pasal 13 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Per-036//A/JA/09/2011 . Lihat pasal 1 butir (2) & (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
46
43
(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undangundang ini; j.
Melaksanakan penetapan Hakim.
Kedudukan
Kejaksaan
dalam
peradilan
pidana
bersifat
menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan
44
karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan 47 . Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelasjelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum48. Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut ia harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. Pertama, penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, Penghentian penuntutan karena alasan kebijakan49 Penuntut umum setelah melakukan penerimaan tersangka dan barang bukti membuat berita acara pendapat tentang perlu atau tidaknya dilakukan
penahanan
kemudian
dikonsultasikan
kepada
Kepala
Kejaksaan Negeri melalu kepala Seksi Tindak Pidana Umum untuk mendapat persetujuan. Dalam hal dilaksanakan penahanan, prosedur pengawalan terhadap tahanan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, petugas tahanan bertanggungjawab terhadap adminstrasi dan ketentuan pengawalan tahanan50.
47
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 52 48 Martiman Prodjohamidjojo, Teori dan Praktek membuat surat dakwaan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, h.26. 49 Ibid 50 Pasal 15 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Per-036//A/JA/09/2011 .
45
Penahanan
dapat
ditangguhkan
atau
dialihkan
jenis
penahanannya berdasarkan hukum acara pidana dan ketentuan lain yang terkait dengan memperhatikan perkembangan hukum, rasa keadilan masyarakat dan hati nurani. Pelaksanaan penangguhan penahanan dapat dilakukan berdasarkan permohonan tersangka dengan surat permohonan yang ditujukan kepada Penuntut Umum. Permohonan penangguhan penahanan/ pengalihan jenis penahanan dikonsultasikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri. Pelaksanaan penangguhan penahanan/pengalihan jenis penahanan dilaksanakan dengan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri/ Kepala cabang Kejaksaan
Negeri.
Penuntut
umum
bertanggungjawab
terhadap
pelaksanaan penangguhan/pengalihan jenis penahanan51. 5. Kehakiman Dalam Pasal 1 butir (5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”. Hakim adalah “pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman” (Pasal 12 ayat 1 UU No. 2 /1986 jo. UU No. 8/2004 dan Pasal 31 UU No. 4/2004); dalam Pasal 27 (1) UU No. 14/1970 disebut juga 51
Pasal 16 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Per-036//A/JA/09/2011 .
46
hakim sebagai “penegak hukum dan keadilan)
52
. Seorang hakim tidak
dapat merangkap jabatan53. Dalam penyelenggaraan kekuasaan hakim terdapat beberapa asas yang disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut : 1) Peradilan
dilakukan
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. 2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila. 3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. 4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan, tidak ada campur tangan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan dasar keadilan yang hidup di dalam masyarakat, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela,
52
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010, H. 51. 53 Pasal 31 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
47
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum, serta wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim54. Dalam mengadili, memeriksa, dan memutus perkara di pengadilan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim, kecuali undangundang menentukan lain, susunan hakim terdiri dari hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera55. Semua sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia, dimana dalam sidang tersebut setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara tersebut, dan apabila dalam sidang tersebut tidak dapat tercapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum56. Mengenai putusan pengadilan, putusan pengadilan harus memuat alasan, dasar putusan, dan memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang 54
Pasal 3 & 5 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 56 Pasal 14 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 55
48
ikut bersidang. Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan serta menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan57. Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, penetapan dan putusan yang dibuat itu harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar58.
57 58
Pasal 50 & 52 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 53 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
49
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pinrang, dalam hal ini Kantor Kejaksaan Negeri Pinrang dan Pengadilan Negeri Pinrang pilihan lokasi penelitian tersebut di dasarkan pada pertimbangan bahwa Insitusi Penegak Hukum tersebut menyimpan data dan dokumen perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / PN. Pinrang yang diperlukan oleh penulis. B. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian yaitu, Kejaksaan Negeri Pinrang dan Pengadilan Negeri Pinrang. Sumber data primer ini adalah hasil dari wawancara
terhadap
pihak-pihak
yang
dianggap
telah
menegetahui atau menguasai permasalahan yang akan dibahas serta dokumen-dokumen yang didapat langsung dari lokasi penelitian. b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan
menghimpun
data-data dan
50
peraturan perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, dan pendapat para ahli. C. Teknik Pengumpulan Data Untuk menunjang pembahasan ini, diperlukan data yang cukup sebagai bahan analisis. Selanjutnya untuk menyaring data yang diperlukan, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi lapangan Studi lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data secara langsung pada objek-objek atau sumber data yang berkaitan dengan penelitian baik dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap Jaksa Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri Pinrang yang menangani kasus tersebut maupun mencari data berupa arsip atau dokumen yang berhubungan dengan penelitian. b. Studi pustaka Studi
pustaka
adalah
mempelajari
buku-buku
yang
berhubungan dengan objek dan materi penulisan, berupa literatur-literatur hukum, jurnal, maupun peraturan perundangundangan. c. Penelitian berkas perkara, yakni teknik pengumpulan data dengan mempelajari
berkas-berkas
penahanan. D. Teknik Analisis Data
perkara
tentang
pengalihan
51
Dalam penulisan ini, digunakan sistem analisis data secara kualitatif dengan cara menggabungkan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara. Kemudian dianalisis secara kualitatif, melalui pendekatan normatif.
52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PROSES
PENETAPAN
PENGALIHAN
PENAHANAN
DARI
TAHANAN RUTAN MENJADI TAHANAN KOTA DALAM PERKARA NO. 24/PID/B/2013/P.N. PINRANG 1. Uraian singkat pengalihan penahanan Penulis telah melakukan penelitian tentang pelaksanaan pengalihan penahanan terhadap terdakwa di Kejaksaan Negeri Pinrang dan Pengadilan Negeri Pinrang dan hasil studi tersebut adalah sebagai berikut : a. Identitas terdakwa Berkas perkara pidana Nomor : 24/ Pid / B / 2013 / PN. Pinrang. Atas nama terdakwa : Nama Lengkap
: H. MUH. ARIF alias H. LALLO bin H. DINGKI
Tempat lahir
: Pinrang
Umur
: 29 Tahun/Tahun 1983
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Alamat
: Jln, Salo No. 26 Kel. Pinrang Kec. Watang Sawitto Kab. Pinrang
53
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pasal yang didakwakan: Pasal 112 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), dan Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika b. Status Penahanan Terdakwa Terdakwa tersebut telah ditahan berdasarkan surat perintah/ penetapan penahanan : 1) Penyidik
tanggal
3
Nopember
2012
No.Pol.
SP.Han/100/I/2012/ Dit Res Narkoba sejak tanggal 3 Nopember 2012 s/d tanggal 23 Nopember 2012; 2) Perpanjangan penahanan oleh Penuntut Umum tanggal 23 Nopember 2012 Nomor 1909 /R.4.4/Epp/11/2012 sejak tanggal 24 Nopember 2012 s/d tanggal 2 Januari 2013; 3) Penuntut Umum tanggal 2 Januari 2013 Nomor Print01/R.4.18 / Ep.3 / 01 / 2013, sejak tanggal 02 Januari s/d tanggal 21 Januari 2013; 4) Hakim Pengadilan Negeri Pinrang tanggal 17 Januari 2013 Nomor 17 / PH / Pen.Pid / 2013/ PN. Pinrang. Sejak tanggal 17 Januari 2013 s/d 15 Februari 2013; 5) Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Pinrang tanggal 14 Februari 2013 No. 17 / PPK / Pen.Pid / 2013 / PN.
54
Pinrang. Sejak tanggal 16 Februari 2013 s/d 16 April 2013; 6) Penetapan pembantaran atas nama Terdakwa No. 24 / Pen. Pid / 2013 / PN. Pinrang, sejak tanggal 21 Maret 2013; 7) Pengalihan penahanan menjadi tahanan kota, sejak tanggal 28 Maret 2013 sampai dengan tanggal 16 April 2013; 8) Perpanjangan penahanan kota Ketua Pengadilan Tinggi pertama sejak tanggal 17 April 2013 sampai dengan tanggal 16 Mei 2013; 9) Perpanjangan penahanan kota ketua Pengadilan Tinggi kedua, sejak tanggal 17 Mei 2013 sampai dengan tanggal 15 Juni 2013; c. Penetapan
Hakim dalam Pelaksanaan
Pengalihan
Jenis
Penahanan Setelah membaca surat permohonan pengalihan penahanan tertanggal 15 Maret 2013, dari pemohon HJ. HADRIANI (Isteri Terdakwa) sekaligus sebagai penjamin atas diri Terdakwa: Menimbang, Pemohon/Penjamin sebagai berikut:
bahwa telah
dalam
surat
permohonan
mengemukakan
alasan-alasan
55
1) Bahwa terdakwa saat sekarang ini dalam keadaan sakit keras dan perlu dirawat secara intensif oleh dokter; 2) Bahwa penyakit terdakwa tersebut harus mendapatkan perawatan yang serius dengan tenaga ahli dan peralatan medis yang memadai; 3) Bahwa selama terdakwa berada di dalam tahanan Rumah Tahanan Negara Pinrang sakit terdakwa tidak dapat
tidangani
akibat
keterbatasan
tenaga
dan
peralatan medis yang ada di dalam Rumah Tahanan Negara tersebut; 4) Bahwa Pemohon khawatir penyakit terdakwa bertambah parah apabila ia tidak ditangani dokter secara terus menerus; Berdasarkan alasan tersebut diatas pemohon mengajukan permohonan ini dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Bahwa pemohon sanggup menghadapkan terdakwa setiap kali persidangan, 2) Bahwa
pemohon
menjamin
terdakwa
tidak
akan
melarikan diri dan sanggup menerima segala resiko hukumnya apabila terdakwa melarikan diri, 3) Bahwa
pemohon
maupun
terdakwa
dan
keluarga
bersedia mentaati segala perintah dan ketentuan Majelis Hakim;
56
4) Bahwa sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim, pemohon melampirkan surat keterangan dokter yang menangani perawatan terdakwa. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
surat
permohonan
pengalihan penahanan dari pemohon HJ. HADRIANI (Isteri Terdakwa),
tersebut
diatas
maka
guna
kepentingan
pemeriksaan di persidangan Majelis Hakim memandang perlu untuk mempertimbangkannya, berdasarkan alasan-alasan yang diajukan pemohon serta; -
Surat
keterangan
opname
RSULasinrang
No
opname
RSULasinrang
No.
321/RSUL/III/2013; -
Surat
keterangan
32/445/2013; -
Surat rujukan an terdakwa H. Muh. Arif alias H. Lallo bin Dingki No. 0844/III/2013;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) KUHAP, Majelis Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
alasan-alasan
sebagamana tersebut dalam surat permohonannya, serta setelah Majelis Hakim memperhatikan kondisi fisik terdakwa
57
secara
nyata
dipersidangan
yang
memang
memerlukan
perawatan yang intensif dan berkelanjutan serta pula membaca dan
memperhatikan
surat-surat
keterangan
dokter
yang
terlampir, maka demi kepentingan kesehatan terdakwa dimana perlu
menjalani
rawat
jalan
(rumah)
dan
atas
alasan
kemanusiaan sehingga cukuplah alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan pengalihan penahanan atas diri
terdakwa
tersebut
dengan
syarat-syarat
yang
akan
dicantumkan dalam amar penetapan dibawah ini; Menimbang, bahwa berdasarkan kewenangan sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (1) KUHAP maka Hakim akan mengalihkan
status
penahanan
atas
diri
terdakwa
dari
penahanan rumah tahanan Negara menjadi tahanan kota dan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) KUHAP, bahwa penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman terdakwa dan terdakwa wajib melaporkan diri pada waktu-waktu tertentu sebagaimana ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa Penahanan kota yang diberikan oleh Hakim sewaktu-waktu
dapat
dicabut/dialihkan
terdakwa melanggar syarat-syarat yang ditentukan;
dalam hal
58
Mengingat ketentuan Pasal 22, Pasal 23 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) serta peraturan lainnya yang bersangkutan; MENETAPKAN : 1) Mengalihkan status penahanan terdakwa H. MUH. ARIF alias H. LALLO bin H. DINGKI dari penahanan Rumah Tahanan Negara menjadi Tahanan KOTA, terhitung sejak tanggal ditetapkan penetapan ini; 2) Memerintahkan kepada Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pinrang; 3) Memerintahkan keluarganya
agar
untuk
sebagaimana
telah
terdakwa, menaati
pemohon segala
dinyatakannya
maupun
syarat-syarat dalam
surat
permohonan pemohon; 4) Memerintahkan keluarganya
agar
segera
kepada
Terdakwa
dan/atau
diberikan
sehelai
tembusan
penetapan ini; 2. Analisis Pelaksanaan Pengalihan Penahanan Jika seseorang ditahan di dalam Rumah Tahanan Negara, merupakan hal yang layak bagi seorang tersangka/terdakwa untuk berusaha
mendapatkan
keringanan
seandainya
penahanan
terhadap dirinya tidak dapat dihindari. Karena hak asasi manusia
59
sangat erat kaitannya dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dapat dilihat dari asas-asas hukum acara pidana. Dalam beberapa Pasal KUHAP juga dijelaskan bahwa ada hak-hak tertentu dari seseorang yang ditangkap, ditahan ataupun dipidana yang harus dipenuhi, dapat dilihat pada Pasal 41, 50, 52, 56-65 KUHAP. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 23 ayat (2) pengalihan status penahanan boleh dilakukan dengan mengajukan surat permohonan kepada aparat penegak hukum. Mengingat Pasal 22 KUHAP, maka selama penahanan di rumah tahanan Negara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, sedangkan penahanan rumah dikurangkan 1/5x dari pidana yang dijatuhkan, dan selama terdakwa di rumah sakit tidak ada pengurangan penahanan terhadap pidana yang dijatuhkan. Pengaruh yuridis atas perintah pengalihan penahanan yang dikeluarkan oleh pengadilan bagi seorang terdakwa adalah secara hukum terdakwa tersebut bisa segera mungkin keluar dari Rutan, sesuai tanggal yang telah ditunjuk oleh pejabat yuridis yang berwenang dalam hal ini Hakim, menurut aturan dalam Pasal 22 KUHAP. Sedangkan
pengaruh
yuridis
perintah
pengalihan
penahanan yang dikeluarkan oleh Pengadilan bagi penjamin terdakwa (orang) adalah secara hukum penjamin telah diikat dalam suatu perjanjian pengalihan penahanan dalam arti penjamin
60
mempunyai tanggung jawab yuridis akan keberadaan terdakwa. Jaminan pengalihan penahanan belum diatur secara terperinci didalam
undang-undang,
tetapi
jaminan
terhadap
terdakwa
biasanya berupa orang. Jaminan dengan orang berarti perjanjian pengalihan
penahanan
dimana
seseorang
bertindak
dan
menyediakan diri dengan sukarela sebagai penjamin. Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung jawab memikul segala resiko dan akibat yang timbul apabila terdakwa yang mendapat pengalihan penahanan tersebut melarikan diri. Dalam hal pengalihan penahanan dengan jaminan orang, pengeluaran surat perintah pengalihan didasarkan atas bukti surat jaminan dari penjamin yang disampaikan kepada instansi yang menahan. Dengan diserahkannya surat jaminan dari penjamin, sudah
cukup
dasar
bagi
instansi
yang
menahan
untuk
mengeluarkan surat perintah pengalihan penahanan. Apabila terdakwa yang mendapat pengalihan penahanan tersebut melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pejabat
yuridis
yang berwenang, maka
akan
menimbulkan
kewajiban bagi orang yang bertindak sebagai penjaminnya untuk melaksanakan perjanjian yang telah disepakati antara pejabat yuridis yang berwenang dengan orang yang menjamin.
61
Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka/terdakwa melarikan diri maka setelah waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan (Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP). Proses
penahanan
tersangka/terdakwa
dimulai
sejak
penahanan oleh penyidik tertanggal 3 – 23 Nopember 2012 (20 hari), perpanjangan oleh Penuntut umum tanggal 23 Nopember 2012- 02 januari 2013 (40 hari), penahanan oleh Penuntut Umum tanggal 2-21 Januari 2013 (19 hari), perpanjangan oleh Hakim Pengadilan Negeri tanggal 17 Januari – 15 Februari 2013 (29 hari), Penahanan Pengadilan Negeri Pinrang 16 Februari – 16 April 2013 (60 hari) telah sesuai dengan peraturan yang telah diatur dalam Pasal 24-27 KUHAP. Pada perkara nomor : 24 / Pid/ B / 2013 / PN. Pinrang. dengan terdakwa H. Muh. Arif alias H. Lallo bin H. Dingki telah mendapat pengalihan penahanan,. Perintah pengalihan penahanan yang dikeluarkan majelis Hakim Pengadilan Negeri Pinrang yang menangani perkara dengan nomor register Nomor 24 / Pid / B /2013 / PN.Pinrang yang berdasar pada jaminan orang
an. Hj.
Hadriani (Isteri Terdakwa) yang menjamin terdakwa akan mematuhi segala sesuatu yang telah ditetapkan. Telah sesuai dengan Pasal
62
23 KUHAP dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP.
Serta
penetapan
pembantaran
atas
terdakwa yang karena kondisi kesehatannya dirawat nginap di Rumah Sakit Umum Lasinrang dengan surat rujukan No. 0844/III/2013 sejak tanggal 21 Maret 2013 telah sesuai dengan SEMA No.1 dan 2 Tahun 1989. Menurut penulis proses pengalihan penahanan perkara nomor 24 / Pid / B / 2013 / PN Pinrang, maka dengan berlandaskan KUHAP dan Undang-Undang terkait tidak terdapat pelanggaran hukum yang terjadi. Mengingat surat keterangan opname dari RSULasinrang yang menjadi bukti bahwa selama masa penahanan pemeriksaan kesehatan terdakwa juga tetap berjalan, walaupun seharusnya setiap penyalahguna narkotika harus di rehabilitasi terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan karena ketergantungan dan memburuknya kesehatan tersangka karena penahanan yang nantinya juga akan memperlambat proses peradilan itu sendiri. Alasan penulis menyatakan bahwa tidak terdapatnya pelanggaran terhadap proses penahanan ini, karena Peraturan Bersama Mahkamah Agung (No.1/PB/MA/III/2014), Menteri Hukum dan HAM (No.3 Tahun 2014), Menteri Kesehatan (No.11 Tahun 2014), Menteri Sosial (No. 3 Tahun 2014), Jaksa Agung (PER-005/A/JA/03/2014), Kepala Kepolisian Negara (No.1 Tahun 2014), dan Kepala BNN (PERBER/01/III/2014/BNN) tentang
63
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, baru di undangkan pada tanggal 11 Maret 2014, mengingat asas Hukum yang terkandung dalam Pasal 1 KUHP yaitu asas legalitas dan asas hukum tidak berlaku surut sehingga aturan ini tidak dapat diberlakukan terhadap proses penahanan pada perkara no 24/Pid/B/2013/PN Pinrang. Hanya saja karena memburuknya kondisi kesehatan tersangka selama masa penahanan ini menjadi pertanda bahwa kurangnya kerja sama antar lembaga terkait dan/atau fasilitas medis di daerah tertentu dalam menangani tersangka penyalahgunaan narkotika. B. PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENETAPAN PENGALIHAN PENAHANAN DARI TAHANAN RUTAN MENJADI TAHANAN KOTA DALAM PERKARA NO. 24/ Pid / B / 2013 / PN. Pinrang 1. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Pengalihan Penahanan (perkara No. 24/ Pid / B / 2013 / PN. Pinrang) Hakim adalah seorang pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Landasan-landasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk mengadili suatu perkara dapat disimak dalam KUHAP dan Undang-undang No 48 Tahun 2009. Mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
64
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.(Pasal 1 butir 9 KUHAP). Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat peran, fungsi dan wewenang Hakim telah diatur dalam KUHAP. Dapat dilihat bahwa KUHAP memberikan peran dan fungsi yang sangat penting kepada Hakim dalam mengadili berdasarkan asas bebas jujur dan tidak memihak. Oleh karena itu seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Setiap Hakim pada pengadilan Negeri yang sedang memeriksa perkara, demi untuk kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Kemudian apabila diperlukan lagi guna kepentingan pemeriksaan, Hakim yang bersangkutan dapat meminta perpanjangan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Tapi perpanjangan tidak boleh lebih dari 60 (enam puluh) hari. selesai atau tidak selesai pemeriksaan, tidak ada lagi jalan lain untuk memperpanjang penahanan dan maksimum waktu penahanan berakhir. Dengan demikian batas waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh Hakim pada pengadilan negeri baik atas perintah yang bersumber pada wewenang yang diberikan hukum kepada dirinya, maupun atas dasar perpanjangan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri hanya mencapai batas maksimum 30 hari + 60 hari dengan catatan tidak
65
menutup kemungkinan untuk mengeluarkan terdakwa dari penahanan sekalipun masa tahanan belum berakhir jika penahanan dianggap tidak diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan Permintaan perpanjangan tidak otomatis harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Bisa saja dia menolak permintaan perpanjangan apabila dia berpendapat penahanan terhadap terdakwa
sudah
tidak
relevan
untuk
kepentingan
pemeriksaan
persidangan. Atau pengabulan perpanjangan hanya untuk sebagian. Misalnya hanya 10 hari atau 30 hari saja. Jika pemberian perpanjangan bersifat
sebagian
mengajukan
saja,
permintaan
Hakim
yang
perpanjangan
bersangkutan sampai
masih
batas
dapat
maksimum
perpanjangan yang dibenarkan dalam Pasal 26 ayat (2) KUHAP. Hakim sebagai pejabat yuridis yang berwenang melakukan perintah pengalihan penahanan haruslah cermat dan teliti dalam memberikan keputusan perintah pengalihan penahanan. Artinya seorang Hakim harus meneliti dan memahami alasan permohonan pengalihan penahanan yang diajukan oleh pemohon (Pengacara terdakwa/
keluarga
memperhitungkan
terdakwa
resiko
sebagai
dan
nilai-nilai
penjamin)
dan
kemanusiaan
juga dalam
menetapkan pengalihan penahanan. Dalam penetapan Hakim nomor 24/Pen.Pid./2013 PN Pinrang Majelis Hakim telah melakukan perpanjangan penahanan tanggal 17 Januari – 15 Februari 2013 (29 hari) dan penahanan Pengadilan Negeri
66
Pinrang 16 Februari – 16 April 2013 (60 hari) mengingat penahanan ini telah sesuai dengan peraturan yang telah diatur dalam Pasal 24-27 KUHAP. Pada tanggal 15 Maret 2013, Hj. Hadriani (Isteri Terdakwa) memohonkan surat pengalihan penahanan dengan alasan terdakwa mengalami sakit keras dan perlu perawatan medis secara intensif dengan tenaga ahli medis dan peralatan yang memadai, karena selama terdakwa berada dalam Rumah Tahanan Negara Pinrang sakit terdakwa tidak dapat ditangani akibat keterbatasan tenaga dan peralatan medis di Rumah Tahanan. Dalam surat permohonan pengalihan penahanan ini juga dilampirkan
surat
keterangan
opname
RSULasinrang
No.
321/RSUL/III/2013 dan No. 32/445/2013. Pemohon juga telah bersedia untuk menjamin terdakwa dan menerima segala resiko hukum jika syarat dari pengalihan penahanan terdakwa tidak terpenuhi. Sehubungan
dengan
perpanjangan
penahanan
oleh
Ketua
Pengadilan Negeri Pinrang sejak tanggal 16 Februari 2013 sampai dengan 16 April 2013 yang terhitung 60 hari. Dengan pertimbangan surat permohonan pengalihan penahanan dari isteri terdakwa yang dilampirkan dengan surat keterangan dari RSULasinrang, serta dengan melihat secara jelas dan nyata kondisi kesehatan tersangka yang terus menurun selama masa penahanan, mengingat kondisi kesehatan terdakwa H. Muh Arif alias H. Lallo Bin Dingki saat ditahan pertama kali tertanggal 3 Nopember 2012 belum mengalami gangguan kesehatan yang serius. Penyakit
67
terdakwa justru bertambah parah selama masa penahanan, Hakim dengan segala upayanya untuk berlaku adil dan bijaksana memanggil dokter lembaga Rumah Tahanan untuk memastikan kesehatan terdakwa. Dari hasil pemeriksaan dokter lembaga Rumah Tahanan kemudian diketahui kondisi kesehatan terdakwa memang sangat parah dengan gejala menggigil, demam, mual-mual dan kadang-kadang mengalami kejang. Majelis Hakim menetapkan pembantaran atas nama terdakwa sejak tanggal 21 Maret 2013, sebelum masa perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri Pinrang habis. Pembantaran (stuiting), diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1989, yang memungkinkan terdakwa untuk dirawat nginap di semua jenis Rumah Sakit (di luar Rumah Tahanan), pembantaran tidak perlu memakai penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri cukup dengan izin dari instansi yang berwenang menahan. Pembantaran terhitung sejak terdakwa secara nyata dirawat nginap di Rumah Sakit. Dalam hal penahanan yang dibantar, waktu selama tersangka dirawat-nginap di Rumah Sakit tidak ikut dikurangkan dalam pengurangan masa penahanan. Hal ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1989. Kemudian pada tanggal 28 Maret 2013, Majelis Hakim menetapkan pengalihan status penahanan terdakwa H. Muh. Arif alias H. Lallo bin H. Dingki dari penahanan Rumah Tahanan Negara Menjadi Tahanan KOTA. Majelis
Hakim
mengabulkan
permohonan
pengalihan
penahanan
68
terdakwa dengan jaminan orang (pemohon/isteri terdakwa) yang bersedia menanggung segala persyaratan dan resiko berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 31 aya (1) KUHAP serta Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, demi kepentingan kesehatan terdakwa dan atas alasan kemanusiaan. 2. Analisis Pertimbangan Hakim Hakim memiliki tugas untuk mengadili secara bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan. Terkait dengan perkara ini (perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / PN. Pinrang) dapat dilihat Hakim Pengadilan Negeri Pinrang sangat berhati-hati dalam memberikan ketetapan untuk mengalihkan penahanan terdakwa. Hal ini tentunya telah
melalui
banyak
pertimbangan
dan
alasan
baik
yang
memberatkan maupun yang meringankan status terdakwa. Dengan menimbang surat permohonan pengalihan penahanan terdakwa dari Hj. Hadriani (Isteri terdakwa) yang menyatakan terdakwa sedang dalam keadaan sakit keras yang dikhawatirkan akan bertambah parah jika tidak mendapatkan perawatan yang serius dengan tenaga ahli dan peralatan medis yang memadai,dengan syarat pemohon
bersedia
dan
sanggup
menanggung
resiko
dan
kewajibannya sebagai penjamin tersangka, yang disertakan surat keterangan opname tersangka.
69
Mengingat Majelis Hakim juga telah memperhatikan kondisi fisik terdakwa secara nyata dipersidangan yang memang memerlukan perawatan intensif, serta surat rujukan dari dokter rumah tahanan Negara yang mengharuskan tersangka dirawat segera ke Rumah Sakit. Maka sejak tanggal 21 Maret 2013 Majelis Hakim menetapkan pembantaran atas nama terdakwa sebelum mengeluarkan penetapan pengalihan
penahanan
terdakwa
untuk
mencegah
bertambah
parahnya kondisi kesehatan terdakwa. Dalam hal ini tidak ada pula pelanggaran dari pembantaran tersebut, karena telah sesuai dengan SEMA No. 1 dan 2 Tahun 1989. Berkaitan dengan penetapan pengalihan penahanan terdakwa, penulis melakukan wawancara dengan Hakim, dimana Hakim pada saat
itu
mengemukakan
alasannya
dan
apa
yang
menjadi
pertimbangannya dalam menetapkan pengalihan penahanan, menurut pertimbangannya pengalihan penahanan ini memang harus dilakukan secepatnya, karena Hakim sendiri telah melihat kondisi tersangka baik di sidang maupun di rumah tahanan Negara yang memang sedang sakit parah, serta surat rujukan yang diberikan oleh dokter lembaga rumah tahanan Negara yang mengharuskan terdakwa segera dibawah ke rumah sakit. Melihat kondisi ini Hakim memberikan pembantaran kepada tersangka dengan dasar hukum SEMA No. 1 dan 2 Tahun 1989.
70
Dari hasil wawancara penulis juga terlihat jelas ekspresi Hakim saat
menjelaskan
pertimbangannya
tentang
dalam
penyebab
menetapkan
dan
pengalihan
dasar-dasar penahanan
tersangka. Terlihat jelas dari raut wajah Hakim bahwa, Hakim berusaha untuk mempercepat proses peradilan dan berusaha untuk tetap adil dan bijaksana serta menerapkan asas-asas Hukum Acara Pidana sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari proses penetapan pengalihan penahanan yang dijelaskan di atas juga secara tersirat dapat dilihat bahwa tersangka terancam hukuman Pidana yang berat, yang membuat hakim harus mempertimbangkan dan memastikan secara nyata alasan pengalihan penahanan tersebut. Setelah pengalihan penahanan tersangka ditetapkan pada tanggal 28 maret 2013, tersangka dan penjamin telah memenuhi semua syarat dan tidak mempersulit jalannya pengadilan.
71
BAB IV PENUTUP
C. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan
pada
bab
sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan, sebagai berikut : 1. Proses penetapan pengalihan penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam perkara No. 24 / Pid / B/ 2013 / PN
Pinrang,
telah
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan surat perintah/ penetapan penahanan atas nama terdakwa H. Muh. Arif alias H. Lallo bin H. Dingki, yang kemudian Hj.Hadriani (isteri terdakwa) mengajukan surat permohonan pengalihan penahanan sekaligus sebagai penjamin atas diri terdakwa, dengan alasan yang logis serta lampiran surat keterangan opname dari RSULasinrang. Setelah melalui proses pemeriksaan medis penahanan atas tersangka kemudian dibantar karena harus dirawat-nginap di rumah sakit, kemudian atas pertimbangan-pertimbangan di atas Hakim menetapkan pengalihan penahanan terdakwa pada tanggal 28 Maret 2013. Namun penulis memiliki pandangan
yang
sedikit
berbeda
terkait
penahanan
terdakwa. Walaupun sebenarnya menurut undang-undang
72
yang berlaku saat itu memang sudah seharusnya tersangka ditahan dalam Rumah Tahanan karena dakwaan yang berat, namun memburuknya kondisi kesehatan terdakwa selama penahanan merupakan bukti nyata adanya kesalahan dalam penanganan terhadap tersangka. Secara logis penulis mengetahui
bahwa
seorang
penyalahguna/pecandu
Narkotika yang mengalami ketergantungan serius ketika dalam waktu tertentu orang itu tidak mengkonsumsi Narkotika seperti biasanya maka orang tersebut akan mengalami gangguan kesehatan dan mental, apalagi jika konsumsi narkotikanya terhenti. Hal ini akan berakibat fatal bagi kondisi kesehatan penyalahguna narkotika jika tidak ditangani
secara
mengurangi
serius lalu
dan/atau kemudian
direhabilitasi
untuk
menghilangkan
ketergantungannya. Di sisi lain dalam proses peradilan dan asas Hukum Acara Pidana juga dikenal adanya asas praduga tak bersalah, serta berbagai hak yang dimiliki oleh seorang tersangka/terdakwa, maka seharusnya pihak yang berwenang melakukan penahanan lebih paham dan lebih mengerti kondisi tersangka/terdakwa di mata Hukum dan benar-benar
memproses
tersangka/terdakwa.
sesuai
dengan
kondisi
73
2. Pertimbangan
Hakim
dalam
penetapan
pengalihan
penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dalam perkara No. 24 / Pid / B / 2013 / PN Pinrang, didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertimbangan Hakim tersebut telah sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) KUHAP tentang pengalihan penahanan, Pasal 31 ayat (1) KUHAP tentang permintaan penangguhan penahanan dengan jaminan orang, dan SEMA No. 1 dan 2 Tahun 1989 tentang pembantaran. Berdasarkan surat
permohonan
pengalihan
penahanan
dari
isteri
terdakwa, lampiran surat keterangan opname RSULasinrang dan surat rujukan dari dokter lembaga Rumah Tahanan yang menjadi pertimbangan Hakim, maka Hakim menetapkan pengalihan penahanan terdakwa dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Terkait dengan hal itu, mengingat judul penulis yang menitik-beratkan pada tinjauan yuridis maka penetapan Hakim sudah sesuai. Walupun Hakim dalam memberi penetapan pengalihan penahanan telah mempertimbangkan dakwaan tersangka beserta bukti-buktinya, serta mengetahui latar belakang, perilaku, serta kondisi kesehatan tersangka secara nyata, namun selain dari menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana, Hakim juga harus lebih memperhatikan dampak dari penahanannya, dalam artian tidak hanya memutus dalam hal ini untuk pembantaran
74
dan mengalihkan penahanan saat tersangka sudah dalam kondisi sakit parah, tetapi juga harus memperhatikan tindakan pencegahan terhadap tindak pidana serupa serta pencegahan dalam hal ini memburuknya kondisi kesehatan tersangka. D. Saran Adapun saran yang hendak penulis ajukan sehubungan dengan hasil penelitian di Pengadilan Negeri yaitu : 1. Sebaiknya
pihak
yang
berwenang
menahan
lebih
memperhatikan kondisi kesehatan tersangka selama di Rumah Tahanan, serta dapat mengabil tindakan khusus untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan tersangka selama
penahanan,
mengingat
kejadian
ini
kondisi
kesehatan tersangka menjadi semakin parah karena sarana dan prasarana rumah tahanan. 2. Dalam Pasal 36 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983 menyebutkan : "Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat
yang
berwenang
sesuai
dengan
pemeriksaan”. Dapat dilihat bahwa jumlah uang
tingkat yang
menjadi tanggung jawab pemohon untuk dibayarkan jika
75
tersangka melarikan diri tidak jelas jumlahnya. Hal ini memiliki dampak negatif dan positif, dimana dampak positifnya beban biaya yang dibayarkan pemohon bisa dikondisikan dengan keadaan ekonominya, akan tetapi bisa juga menjadi alasan untuk pihak berwenang meminta jumlah yang menguntungkannya.
76
Daftar Pustaka
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : Gunung Agung Tbk. 2002. Arif, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010. Fauzan, Achmad. Undang-Undang Lengkap Tentang Penegak Hukum, Advokat, Hakim, Jaksa, Polisi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2006. Luthan, Salman. Andi Samsan Nganro, Dkk. Praperadilan di Indonesia, Jakarta : ICJR, 2014. Syukri Akub, M. & Badaru, Baharuddi. Wawasan Due Process of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana.Yogyakarta: Rangkang Education, 2012. Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan & penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Kristiana, Yudi. Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Prodjohamidjojo, Martiman. Teori dan Praktek membuat surat dakwaan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Salam, Faisal. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001.
77
Sofyan, Andi. Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Yogyakarta: Rangkang education, 2012 . Sunaryo, H. & Dianawati, Ajen. Tanya Jawab Seputar Hukum Acara Pidana, Jakarta, 2009. Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Bandung: Sinar Grafika, 2007. Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Per-036//A/JA/09/2011 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1989 Tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1989 Tentang Rumusan Pengurangan Masa Penahanan Dalam Diktum Putusan Bagi terpidana yang Dirawat-Nginap di Rumah Sakit Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP Peraturan Bersama Mahkamah Agung (No.1/PB/MA/III/2014), Menteri Hukum dan HAM (No.3 Tahun 2014), Menteri Kesehatan (No.11 Tahun 2014), Menteri Sosial (No. 3 Tahun 2014), Jaksa Agung (PER005/A/JA/03/2014), Kepala Kepolisian Negara (No.1 Tahun 2014), dan Kepala BNN (PERBER/01/III/2014/BNN) tentang Penanganan Pecandu
78
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Internet httpwww.jogja.polri.go.idcontentsave_pdfdit-reskrimum.htmlSoedikno http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana
79
LAMPIRAN
80