SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBAWA SENJATA TAJAM TANPA IZIN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros)
Oleh :
ABDILLAH ZIKRI N.
BIII 08502
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBAWA SENJATA TAJAM TANPA IZIN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros)
Oleh :
ABDILLAH ZIKRI N. BIII 08502
Proposal Penelitian
Diajukan Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Dalam Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
i
ABSTRAK ABDILLAH ZIKRI N. (B 111 08 502), Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros), dibawah bimbingan Muhadar sebagai pembimbing I dan Haeranah sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan ketentuan pidana materil tentang tindak pidana membawa senjata tajam (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros) dan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana membawa senjata tajam (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros) Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros), maka penulis melakukan penelitian di kantor Pengadilan Negeri Maros, serta penelitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penulisan skripsi ini. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, penerapan ketentuan pidana materil terhadap kasus membawa senjata tajam, penerapan hokum sudah sesuai dengan peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UndangUndang No. 12/DRT/1951 LN No. 78/1951. Berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, serta terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku dalam Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros telah sesuai, berdasarkan penjabaran keterangan para saksi, keterangan para terdakwa dan barang bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa, laporan kemasyarakatan serta memperhatikan undang-undang yang berkaitan dan diperkuat dengan keyakinan hakim.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan sebuah karya ilmiah yaitu skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBAWA SENJATA TAJAM (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros)” yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin serta Shalawat dan Salam kepada Rasulullah SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya yang setia dan seluruh umatnya. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1.
Allah SWT, Sang Pemberi Wujud dari segala wujud yang secara manifestasi segala sesuatu tidak terpisah dari-Nya. Dialah cahaya dari segala cahaya yang cahaya-Nya memancar segala keindahanNya. Tidak ada yang sanggup mensyukuri-Mu, kecuali dengan kebaikan-Mu yang menuntunnya untuk bersyukur.
2.
Nabi Muhammad SAW, Manusia Suci yang merupakan manifestasi mahluk ilahi yang sempurna dan pemimpin alam semesta. Manusia Suci yang telah membawa kita sekalian dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dengan naungan ilahi dan
vi
kesucian ilmu pengetahuan. Manusia suci yang kerinduan manusia selalu tertuju padanya dan keluarganya yang suci. 3.
Kepada Orang Tua Penulis, Drs. Moh. Natsir Saidung dan Hj. Darwidah Sikki dan Saudara beserta Keluarga penulis, yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang, semangat dan pelajaran hidup yang berharga bagi penulis.
4.
Kepada Rektor Universitas Hasanuddin Prof. DR. Dr. Idrus Patturusi, SpBO., dan Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof. DR. Aswanto, S.H.,M.H.,DFM beserta jajarannya.
5.
Kepada Pembimbing I Prof. Dr. Muhadar, S.H.,M.H., dan Pembimbing II Haeranah, S.H.,M.H. yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pembimbingan dalam penelitian ini. Serta kepada Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H.,M.H., H. M. Imran Arief, S.H.,M.H., dan Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H. sebagai penguji.
6.
Kepada
Maha
Guru,
Arianto
Achmad.
Terima
kasih
atas
pengetahuan logika dan filsafat serta pemaknaan hakiki kehidupan yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis. 7.
Kepada Kakanda A. Ryza Fardiansyah, S.H., yang senantiasa memberikan pengetahuan dan semangat kepada penulis.
8.
Kepada Andi Isma Aulia, S.E wanita terindah dalam kehidupan penulis, yang senantiasa menemani dan memberikan semangat selama ini.
vii
9.
Kepada Kakanda andalan Al Qadri Nur, S.H., Muhammad Rizal Rustam, S.H., Wiryawan Batara Kencana, S.H., Sayid Muh. Faldy, S.H., Muhammad Firmansyah, S.H., dan Muhammad Irwan, S.H.,M.H. yang selalu membimbing penulis.
10.
Kepada senior, saudara, dan yunior di HMI, Manggolo Yudho Perdana, S.H., Azrina Darwis, S.H., Aming Keple S.H., Yuda sudawan, S.H., Ali Rahman, S.H., Arfan Ardin, S.H., Mariani Tamma,
S.H.,
Khaerunnisa,
S.H., A.
Dewi Sahnun,
S.H.,
Sahapadliah, S.H., Irtanto H. Saputra, S.H., Khalid Hamka, S.H., A. Muh. Natsir Batchiar, S.H., A. Aqmal Firdaus, S.H., Nur Syaiful, S.H., dan Suriadi, S.H. 11.
Kepada Pengurus HMI Komisariat Hukum Unhas, A. Sulastri, Ernawati, Ghina MHP, Faradillah D, A. Dewi Purnamasari, Suwahyu, Faisal Azhari, Dalle Ambo Tang, Imam Munandar, Nur Afiat Syamsul, Abdi, Budi Utomo, Muh. Sahlan, Zulqiyam, Haedar Arbit, A. Rinanti Batari, Nurul Atifah, Nursyamsinar, Elvira Iriani dan seluruh teman-teman pengurus yang tidak sempat disebutkan namanya. Terima kasih atas persembahan pengetahuan dan kreatifitasnya di rumah kita HMI Komisariat Hukum Unhas.
12.
Kepada Teman-Teman KKN Gel. 82, khususnya teman seposko di Wattang Sawitto, Pinrang, Budi, Rahman, Caks, Andi, Fero, Dewi, Aci, Tina, Uwa, dan Nin. Buat Puang Abo sekeluarga selaku Lurah
viii
yang telah menjadi keluarga baru penulis selama berada di lokasi KKN. 13.
Kepada Teman-Teman Notaris 08, Khususnya untuk anak-anak kelas D dan Anak Raba-Robo selama di Fakultas Hukum.
14.
Kepada Pegawai Akademik Fakultas Hukum Unhas yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan urusannya.
15.
Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangan baik dalam bentuk penyajian maupun bentuk penggunaan bahasa. Maka dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik, saran, ataupun masukan yang sifatnya membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini dan semoga skripsi ini kedepannya dapat bermanfaat bagi semua orang, terutama kepada penulis sendiri. Amin Ya Rabbal Alamin.
Makassar, 12 Oktober 2013 Penulis Abdillah Zikri Natsir
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................
Iii
ABSTRAK .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................
vi
DAFTAR ISI .......................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...............................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................
4
C. Tujuan Penelitian ..........................................................
4
D. Kegunaan Penelitian ....................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam ..............................................................
6
1. Pengertian Tidak Pidana ..........................................
6
2. Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam .................
8
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam .......................................................................
11
x
B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
BAB III
BAB IV
Atas Suatu Tindak Pidana ............................................
12
1. Faktor Yuridis ............................................................
12
2. Faktor Non-Yuridis .....................................................
17
C. Tinjauan Umum Pemidanaan........................................
20
1. Teori Pemidanaan .....................................................
23
2. Tujuan Pemidanaan ..................................................
27
3. Jenis – Jenis Pemidanaan .........................................
30
4. Macam – Macam Acara Pemeriksaan .......................
33
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian...........................................................
34
B. Jadwal Penelitian ..........................................................
34
C. Teknik Penelitian ..........................................................
34
D. Jenis dan Sumber Data ................................................
36
E. Teknik Analisis Data .....................................................
37
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Hukum Pidana Materil Tentang Tindak Pidana Putusan
Membawa No.
Senjata
Tajam
(Studi
Kasus
16/Pid.S/2012/PN.Maros)
…………………………. ................................................
48
1. Posisi Kasus .............................................................
48
xi
2. Dakwaan Jaksa ........................................................
53
3. Tuntutan Pidana .......................................................
53
4. Amar Putusan ...........................................................
54
5. Analisis Penulis ........................................................
55
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam
(Studi
Kasus
Putusan
No.
16/Pid.S/2012/PN.Maros).. ........................................... BAB V
60
PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................
68
B. Saran ...........................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
70
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang terbentang luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai negara yang mempunyai berbagai daerah, tentunya tiap-tiap
daerah
tersebut
mempunyai
kebiasaan,
adat
istiadat,
kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain. Senjata tajam merupakan alat kepanjangan tangan manusia dalam pembelaan diri, dalam setiap perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam. Oleh karenanya sering ditemukan kesamaan model senjata antara satu daerah dengan daerah lain yang letak geografisnya berdekatan. Tidak sedikit dari senjata-senjata itu berakar dari alat pertanian dan perkakas sehari-hari, Proses asimilasi dan tranformasi kebudayaan pada suatu daerah, yang meski letak geografis saling berjauhan, memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan model senjata tradisional. Proses ini terjadi pada satu kebudayaan yang mempunyai karakter terbuka, seperti pada kebudayaan Melayu yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India (abad 1M) dan Cina (abad 16 M).
1
Kebiasaan
membawa
senjata
tajam
oleh
sebagian
besar
masyarakat Indonesia termasuk masyarakat di sulawesi selatan sudah bukan merupakan suatu hal yang tabu melainkan suatu kebiasaan yang biasa. Kebiasaan membawa senjata tajam ini mengingat keadaan masyarakat yang juga masih menjunjung adat istiadat dan kebiasaan lama yang tumbuh berkembang di lingkungannya sekalipun tidak dinafikan bahwa sebagian masyarakat itu juga merasa perlu membawa senjata tajam untuk kepentingan diri sendiri. Terdapat dampak negatif yang akan terjadi jika masyarakat membawa senjata tajam, tanpa disadari dampak negatif jika masyarakat membawa senjata tajam adalah mereka akan berurusan dengan pihak aparat kepolisian, belum lagi yang awalnya senjata tajam hanya untuk dipakai sebagai pelindung diri tapi pada akirnya senjata tajam digunakan untuk kepentingan lain seperti untuk membunuh orang dan sebagai gayagayaan. Kepemilikan senjata tajam secara melawan hukum diatur dalam ketentuan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951
Tentang
Mengubah
"Ordonnantietijdelijke
Bijzondere
Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor 17) Uu Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Pada Pasal 2 ketentuan tersebut menjelaskan bahwa : a) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai 2
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. b) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid). Namun tak jarang dari beberapa alasan membawa senjata tajam yang dilakukan oleh masyarakat seperti untuk tetap menjaga eksistensi adat dan kebiasaan masyarakat, juga untuk mempertahankan diri, Dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, biasanya sekaligus tumbuh pula berbagai nilai dan norma sosial yang baru, dan dapat mengakibatkan bergesernya ukuran-ukuran taraf kehidupan tertentu, yang kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat, terdapat pula beberapa kasus kepemilikan senjata tajam yang justru digunakan tidak semestinya, seperti studi kasus Putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros yang diajukan penulis pada proposal, dimana seorang warga yang membawa dan memiliki senjata tajam yang tidak dilengkapi dengan ijin dari pihak yang berwenang.
3
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis mencoba meneliti dan membahas lebih jauh lagi masalah tersebut dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros)”.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin dalam putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros ?. 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin dalam putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros ?. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui penerapan hukum pidana materil membawa senjata tajam
tanpa
izin
dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
No.16/Pid.S/2012/PN.Maros ?. 2. Menganalisis pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin dalam putusan Pengadilan Negeri No.16/Pid.S/2012/PN.Maros ?. 4
D. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan penelitian ini, secara teoritis dapat dijadikan sebagai bahan diskusi untuk pembahasan mengenai tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin, termasuk penerapan pidana atas tindak pidana tersebut juga pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku. b. Secara praktis hasil penelitian ini pula dapat memberikan masukan yang berarti oleh para penegak hukum dalam penanganan tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus dalam kajian ini penulis lebih suka menggunakan istilah tindak pidana dalam memberikan istilah terhadap strafbaar feit, karena di Indonesia saat ini para perumus undang-undang juga menggunakan istilah tindak pidana, jadi hal ini juga memudahkan penulis dalam pengkajian ini. Strafbaar feit atau tindak pidana menurut Simons (Andi Hamzah, 2005;88) adalah : kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab, sehingga Jongkers dan Utrecht menilai rumusan Simons tersebut sebagai rumusan yang paling lengkap dalam memberikan depenisi terhadap strafbaar feit atau tindak pidana.
Berdasarkan pandangan Simons dalam memberikan pengertian mengenai tindak pidana tersebut di atas, maka rumusan tersebut meliputi: a. b. c. d.
Diancam dengan pidana oleh hukum; Bertentangan dengan hukum; Dilakukan oleh orang yang bersalah; Orang yang dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya. Selanjutnya rumusan tindak pidana menurut Van Hamel (Andi
Hamzah, 1993;88) adalah :
6
kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Selanjutnya menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana”. Menurut Tongat (2009:101), mengemukakan bahwa : a. Istilah tindak pidana, delict dan perbuatan pidana banyak digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain : b. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undangundang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya Pasal 14 c. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Pengadilan Sipil d. Perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen. e. Hal yang diancam hukum istilah ini digunakan dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. f. Sedangkan istilah tindak pidana digunakan dalam berbagai perundang-undangan seperti Undang-undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Darurat Nomor 4 Tahun 1964 tentang Pemasyarakatan Terpidana. Pompe (P.A.F Lamintang 1984:173), bahwa perkataan strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai, Suatu pelanggaran norma terhadap hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan kepentingan umum. Sedangkan menurut Moeljatno, (2002;3) bahwa, strafbaar feit adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
7
Menurut Soesilo Prajogo (2007:478) bahwa tindak pidana adalah “Peristiwa pidana, suatu perbuatan pidana yang dapat dijatuhi hukuman”. Roeslan Saleh (1983:13), menggunakan istilah perbuatan pidana atau delik sebagai berikut : Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana juga disebut dengan delik. Menurut wujud aslinya atau sifatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan -perbuatan yang melawan hukum, dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang diangap adil dan baik.
2. Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam Menurut Gusman Natawijaya (2008:62) menjelaskan bahwa: Senjata merupakan alat kepanjangan tangan manusia dalam pembelaan diri, dalam setiap perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam. Oleh karenanya sering ditemukan kesamaan model senjata antara satu daerah dengan daerah lain yang letak geografisnya berdekatan. Tidak sedikit dari senjata-senjata itu berakar dari alat pertanian dan perkakas seharihari. Senjata tajam adalah alat yang diperuntukkan khusus untuk menekan, menusuk, atau membuat lubang pada suatu objek tertentu dengan ujung sisi berbentuk tajam atau runcing (www.suarakaryaonline, 14 April 2010). Indonesia memang dikenal memiliki beragam jenis kebudayaan, dan termasuk juga berbagai jenis dan ragam senjata tajam yang telah menjadi
simbol
masing
-masing
daerah
tersebut,
dalam
(www.organisasi.org, 14 April 2010), disebutkan antara lain : 8
a. Provinsi DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD, Senjata Tradisional : Rencong. b. Provinsi Sumatera Utara / Sumut, Senjata Tradisional : Piso Surit, Piso Gaja Dompak. c. Provinsi Sumatera Barat / Sumbar Senjata Tradisional : Karih, Ruduih, Piarit. d. Provinsi Riau, Senjata Tradisional : Pedang Jenawi, Badik Tumbuk Lado e. Provinsi Jambi, Senjata Tradisional : Badik Tumbuk Lada f. Provinsi Sumatera Selatan / Sumsel, Senjata Tradisional : Tombak Trisula g. Provinsi Lampung, Senjata Tradisional : Terapang, Pehduk Payan h. Provinsi Bengkulu, Senjata Tradisional : Kuduk, Badik, Rudus i. Provinsi DKI Jakarta, Senjata Tradisional : Badik, Parang, Golok j. Provinsi Jawa Barat / Jabar, Senjata Tradisional : Kujang k. Provinsi Jawa Tengah / Jateng, Senjata Tradisional : Keris. l. Provinsi DI Yogyakarta / Jogja / Jogjakarta, Senjata Tradisional : Keris Jogja. m. Provinsi Jawa Timur / Jatim, Senjata Tradisional : Clurit n. Provinsi Bali, Senjata Tradisional : Keris o. Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB, Senjata Tradisional : Keris, Sampari, Sondi. p. Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT, Senjata Tradisional : Sundu q. Provinsi Kalimantan Barat / Kalbar, Senjata Tradisional : Mandau r. Provinsi Kalimantan Tengah / Kalteng, Senjata Tradisional : Mandau, Lunjuk Sumpit Randu. s. Provinsi Kalimantan Selatan / Kalsel, Senjata Tradisional : Keris, Bujak Beliung. t. Provinsi Kalimantan Timur / Kaltim, Senjata Tradisional : Mandau u. Provinsi Sulawesi Utara / Sulut, Senjata Tradisional : Keris, Peda, Sabel. v. Provinsi Sulawesi Tengah / Sulteng, Senjata Tradisional : Pasatimpo. w. Provinsi Sulawesi Tenggara / Sultra, Senjata Tradisional : Keris x. Provinsi Sulawesi Selatan / Sulsel, Senjata Tradisional : Badik y. Provinsi Maluku, Senjata Tradisional : Parang Salawaki / Salawaku, Kalawai. z. Provinsi Irian Jaya / Papua, Senjata Tradisional : Pisau Belati
Bahkan untuk beberapa daerah tertentu, menurut Gusman Natawijaya (2008:75), menjelaskan bahwa pada daerah daerah tertentu
9
terdapat lebih dari satu jenis senjata tajam yang bahkan biasanya merupakan kewajiban dalam kegiatan-kegiatan adat seperti : a. Punta adalah senjata tajam jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung. b. Beliung adalah sejenis kapak dengan mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan memanjat pagar tembok. c. Cunrik merupakan senjata tradisional para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong. d. Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”. Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya. e. Golok jenis ini adalah golok tanding dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm. Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika bertarung. Di Jawa Barat golok 10
jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam Nunggal dan Mamancungan. f. Golok Betok adalah golok pendek yang difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai Golok Jawara, begitupun Badik Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut pengasah Golok Jawara. Kedua senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala sudah tidak ada senjata lagi di tangan. g. Orang Betawi menyebutnya sebagai Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini disebut Cabang atau Trisula. 3. Unsur-unsur Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam Menurut Moeljatno, (2008:74), bahwa, “dalam perumusan unsur–unsur tindak pidana, adalah suatu hal yang penting jika pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi itu didasarkan atas alasan-alasan yang rasional”.
Hal ini dapat memberikan manfaat dalam penggunaan hukum pidana, sebab pada hakikatnya penentuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja. Pada khususnya, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi berdasarkan atas alasan-alasan rasional, dapat mencegah pengenaan suatu tindak pidana pada perbuatan yang tidak dimaksudkan, akan tetapi jangalah pengertian tersendiri dari kualifikasi itu digunakan secara phaenomonologys, yaitu meskipun perbuatan telah memenuhi unsurunsur delik, tetapi dapat dimasukkan dalam kualifikasi, dengan alasan bahwa perbuatan itu dem wesen nach (menurut hakikatnya tidak masuk pada kualifikasi tersebut), tidak dengan alasan yang rasional, tetapi hanya dengan “perasaan” saja.
11
Dalam ketentuan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor
12
Tahun
1951
Tentang
Mengubah
"Ordonnantietijdelijke
Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor 17)
Uu Republik
Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, pasal 2 tentang Senjata Tajam, terdapat unsur-unsur tindak pidana yang jelas terdapat dalam ketentuan diatas dijelaskan oleh Molejatno (2005:79) adalah sebagai berikut : 1. Barangsiapa, dalam hal setiap orang selaku pemangku hak dan kewajiban seperti yang ditetapkan oleh undang-undang untuk itu. 2. Tanpa hak 3. Memasukkan, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan. 4. Sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk. 5. Yang tidak termasuk dalam barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan -pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib
B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan atas Suatu Tindak Pidana 1. Faktor Yuridis 1) Pasal-pasal Peraturan Hukum Pidana Salah satu hal yang terungkap di dalam proses persidangan adalah pasal-pasal penerapan hukum, pasal-pasal ini bermula terlihat dan
terungkap
dalam
surat
dakwaan
penuntut
umum
yang
mengformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar 12
pemidanaan atau tindakan oleh hakim. Sesuai ketentuan Pasal 197 butir e KUHAP bahwa : pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Dalam praktek persidangan , pasal peraturan hukum pidana selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini penuntut umum dan hakim harus berusaha untuk membuktikan dan memeriksa
melalui alat-alat bukti yang diajukan kedepan
persidangan tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana tersebut” (www.legalitas.org 14 April 2010).
2)
Dakwaan jaksa penuntut umum Dalam Pasal 142 ayat 2 KUHAP berbunyi : Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan. Seperti penjelasan di atas, dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan, dakwaan selain berisikan identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tanggalnya juga tempat kejadian. 13
Di Amerika Serikat, dakwaan merupakan pernyataan singkat yang tertulis dengan bahasa yang mudah dimengerti , dan jelas tentang kenyataan-kenyataan sesungguhnya mengenai delik
yang
dilakukan (www. yahoo.com 14 April 2010). Perumusan dakwaan didasarkaan kepada hasil pemeriksaan pendahuluan yang disusun secara tunggal, komulatif, alternatif ataupun subsidair, dakwaan disusun secara tunggal apabila seorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan pidana saja, dakwaan kumulatif disusun apabila terdapat lebih dari satu tuduhan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang atau lebih terdakwanya. Dakwaan alternatif
disusun
apabila
penuntut
umum
mulai
ragu
untuk
menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan pidana, dalam prakteknya dakwaan ini tidak dibedakan dengan dakwaan subsidair yakni tersusun secara primair dan subsidair.
3)
Keterangan terdakwa Menurut ketentuan Pasal 189 KUHAP bahwa : a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
14
d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain. Dalam praktiknya, keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk pengakuan atau penolakan, sebagian atau keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum, keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum terdakwa. KUHAP menggunakan istilah “keterangan terdakwa”, bukan istilah “pengakuan terdakwa” seperti dalam HIR , istilah keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan atau pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya Sejalan dengan itu menurut Rachmat Setiawan (1991:85) menilai bahwa dapat dilihat dengan jelas tentang keterangan terdakwa ” sebagai alat bukti tidak perlu sama sekali atau hanya sebagai bentuk sama sekali. Semua keterangan terdakwa hanya harus didengar oleh hakim baik itu berupa penyangkalan atau penolakan maaupun pengakuan atas dakwaan yang diterimanya, tidak perlu mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa . 4)
Keterangan saksi Menurut Silaban (1997:95), bahwa : salah satu komponen yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi, keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu relevan dengan suatu peristiwa pidana tentang apa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan harus disampaikan didalam sidang yang terbuka. Pasal 185 KUHAP berbunyi :
15
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. e) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. 5)
Barang-barang bukti Barda Nawawi Arief dan Muladi.(1992:142) memaparkan bahwa barang-barang bukti disini adalah semua yang dapat dikemukakan, dikenakan penyitaan dan dapat diajukan kedepan persidangan, yang meliputi : a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
16
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Benda-benda sebagai barang bukti di atas tidak dimasukkan sebagai alat bukti, sebab undang-undang hanya menetapkan lima kategori alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa , namun meskipun bukan sebagai alat bukti, apabila penuntut umum menyebutkan barang bukti tersebut dalam
surat
dakwaaannya,
kemudian
mengajukan
kedepan
persidangan, hakim ketua wajib memperlihatkan barang bukti tersebut baik kepada terdakwa maupun saksi bahkan kalau perlu hakim membuktikannya dengan membacakan atau memperlihatkan surat maupun
berita
acara
kepada
terdakwa
dimintai
keterangan
seperlunya. Adanya
barang
bukti
dipersidangan
yang
terungkap
dipersidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai besar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti tersebut diakui oleh terdakwa maupun saksi 2. Faktor Non Yuridis Menurut Rusli Muhammad (2006:124), mengemukakan : bahwa selain faktor faktor yuridis, dalam menjatuhkan putusan, hakim seyogyanya juga mempertimbangkan faktor non yuridis, yaitu :
17
1) Latar belakang perbuatan terdakwa Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap tindakan yang menyebabkan timbulnya dorongan atau keinginan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana tersebut. keadaan ekonomi misalnya merupakan contoh yang paling sering menjadi latar belakang kejahatan, keimiskinan, kekurangan atau kesengsaraan merupakan keadaan ekonomi yang sangat keras mendorong terdakwa melakukan perbuatannya. orang miskin sukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara tuntutan hidup justru menekannya, mengakibatkan akan semakin mudah dan semakin keras dorongan melakukan tindak pidana. namun tidak hanya orang kurang mampu saja yang melakukan kejahatan, termasuk pula orang kaya, sistem dan pertumbuhan ekonomi saat ini banyak menawarkan produk-produk mewah yang membuat nafsu ingin memiliki bagi orang kaya tersebut, maka dengan itulah terkadang melakukan tindak pidana seperti korupsi terkait jabatannya. Disharmonisasi hubungan sosial terdakwa, baik dalam lingkungan keluarganya, maupun orang lain juga merupakan keadaan yang dapat mendorong terdakwa melakukan perbuatan kriminal, pertengkaran yang berkepanjangan antara suami dan istri sekarang sudah tidak hanya berakhir di perceraian, banyak kita temuai kasus pembunuhan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan sebaliknya, termasuk pula disharmonisasi dalam keluarga jelas membuat dampak yang besar bagi tumbuhnya kejiwaan anak. 2) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa sudah pasti membawa korban maupun kerugian pada pihak lain, pada perbuatan pidana seperti pembunuhan misalnya, akibat yang ditimbulkan adalah matinya seseorang, selain itu, akan lebih berakibat buruk bagi keluarga korban apalagi bila korban meninggal tersebut adalah tulang punggung keluarga termasuk pula pada tindak kejahatan lainnya, seperti pemerkosaan, narkotika, terorisme dan tentu saja korupsi yang berdampak bagi masyarakat luas, bahkan akibat perbuatan terdakwa dan kejahatan yang dilakukannya tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakaat luas, paaling tidak keamanan dan ketentraman masyarakat terancam. 3) Kondisi diri terdakwa
18
Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. keadaaan fisik dimaksudkan adalah usia, tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan, yaitu keadaan atau emosi terdakwa pada saat kejahatan tersebut dilakukan seperti rasa marah, perasaan dendam, mendapatkan ancaman, atau tekanan dari orang lain, pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang melekat dalam diri masing-masing orang apakah ia seorang pejabat, tokoh masyarakat ataukah sebagai gelandangan dan sebagainya. 4) Keadaan sosial ekonomi terdakwa Dalam KUHAP maupun dalam KUHP sendiri tidak ada satu aturan pun yang memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi terdakwa harus dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan , hal ini berbeda dengan konsep KUHP Baru dimana terdapat ketentuan mengenai pedoman pemidanaan yang harus mempertimbangkan konsep ini. Dalam konsep KUHP Baru disebutkan bahwa dalam pengambilan putusan, hakim wajib mempertimbangkan pembuat, motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidaana, sikap batin pembuat, riwayat hidup dan juga keadaan sosial ekonomi, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Berdasarkan konsep KUHP itu salah satu yang harus dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa adalah keadaan sosial ekonomi pembuat, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya, ketentuan itu jelas belum mengikat pengadilan sebab masih dalam konsep namun meski demikian, jelas bahwa kondisi ekonomi dan sosial patut untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta dan terungkap dipersidangan.
19
C. Tinjauan Umum Sistem Pemidanaan Menurut Sudarto (1986:13) bahwa : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana eks WvS Belanda (wetbock van strafrecht voor Nederlandsch Indie) hanya memberikan istilah tindak pidana yaitu strafbaar feit dan delict. Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana dikenal dalam kajian hukum pidana dan peraturan perundang-undangan dengan istilah-istilah yang beragam, seperti perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan perbuatan yang dapat dikenakan hukum. Said Imran (2007: 61), mengemukakan bahwa : pidana dalam hukum pidana adalah salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakn tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. Berkaitan dengan hal itu H.I. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief (2005:19) menyatakan sebagai berikut. a) Sanksi pidana sangatlah penting diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The Criminal sanction is dispensable : We could not now or in the foresseable future, get along without it); b) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya. (Thecriminal sanction is the best available divice we have for dealing with gross and immediate harms ang threats of harm); c) Sanksi pidana merupakan “penjamin utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat, manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime theatener of human freedom, used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is theatener).
20
Secara logis-rasional dalam proses penyelesaian kasus-kasus hukum, setiap kasus akan dipertimbangkan berdasarkan kerangka logika yang umum serta yang khusus. Dengan kerangka logika yang umum dimaksudkan bahwa hukum (pidana) memiliki kerangka yang jelas sebagai premise mayor dalam menghadapi kasus-kasus kongkrit. Adapun kerangka logika yang khusus ialah struktur logis dari masing-masing kasus dan bersifat spesifik, yang dalam proses silogisme merupakan premis minor. Adapun kerangka logika kasus yang khusus tersebut berpangkal pada aksioma filsafati, bahwa secara universal tiada dua hal (fakta) yang identik sama. Dalam konteks penegakan hukum dapat diterjemahkan bahwa tiada dua kasus yang identik sama, sehingga setiap kasus harus dipertimbangkan sesuai dengan karakteristik masing-masing kasus. Dengan demikian dalam mekanisme operasionalnya, masing-masing kasus akan diselesaikan secara kontekstual. Berdasarkan kerangka berpikir demikian maka terjadilah disparitas pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajaran sebagai realitas yang terjadi secara alamiah. Dengan
memperhatikan
kerangka
dasar
silogisme
proses
penyelesaian suatu kasus hukum (pidana), maka ternyata bahwa keputusan yang dihasilkan atas suatu hukum merupakan resultante dari sejumlah faktor yang berpengaruh pada proses penyelesaian suatu perkara.
21
Dalam hal ini, Peter Mahmud Marzuki (2005:4), mengemukakan bahwa : lima faktor yang memberikan pengaruh pada mekanisme penegakan hukum. Pertama, faktor hukumnya sendiri. Kedua, faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sementara itu Setiawan Rachmat (1991:44) membagi berbagai unsur yang mempengaruhi penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatanya pada proses yakni, “yang agak jauh dan yang agak dekat”. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Raharjo melihat tiga unsur utama yang terlihat dalam proses penegakan hukum, yaitu : Pertama, unsur pembuat undang undang seperti legislative. Kedua, unsur penegakan hukum seperti polisi. Dan ketiga unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga Negara dan sosial.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan, serta beroperasi melalui orang yang memperhatikan batas antara perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja kepada orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum melainkan juga perbuatan melawan
hukum
yang
mungkin
akan
terjadi,
dan
kepada
alat
perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya
22
hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
1. Teori Pemidanaan Salah satu alat/cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Dahulu kala bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap seorang penjahat ialah menyingkirkan atau melumpuhkannya sehingga penjahat tersebut tidak lagi mengganggu masyarakat yang bersangkutan pada masa depan. Secara tradisional menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:10), bahwa teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu: a. Teori Absolut atau teori pembalasan Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada ada atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori pembalasan ini menurut E.Y Kanter dan S.R Sianturi (2002:12) terbagi lima lagi yaitu: a) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika; teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. b) Pembalasan bersambut (dialektis); teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karenanya untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, maka kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan ketidakadilan (pidana) kepada penjahat.
23
c) Pembalasan demi keindahan atau kepuasan (aesthetisch); teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang menyatakan bahwa adalah merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali. d) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama); teori ini dikemukakan oleh Stahl (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino) yang mengemukakan, bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap peri-keadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya perikeadilan Tuhan. e) Pembalasan sebagai kehendak manusia; menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat. Oleh karena dalam fiksi pembentukan negara warga negara telah menyerahkan sebahagian dari haknya kepada negara, untuk mana dia memperoleh perlindungan atas kepentingan hukumnya sebagai imbalannya. Jadi jika kepentingan hukum ini terganggu karena suatu kejahatan, maka untuk menjamin perlindungan hukum, kepada penjahat mutlak harus diberikan pembalasan berupa pidana. Sementara menurut Andi Hamzah, (1993:27), bahwa : teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subyektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief )2005:14),bahwa: sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri tetap merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pembalasan. Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Disamping itu, 24
beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Begitu pula Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam arti tidak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan. Sementara itu, Enschede berpandangan bahwa pembalasan sebagai batas atas dari beratnya pidana. Hanya saja tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batasbatas pembalasan.
a. Teori Relatif (Teori Tujuan, Teori Perbaikan) Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:24), teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana, tatapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori inipun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Karl. O. Christiansen, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:26), memberikan perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori restributive dan teori Utilitarian sebagai berikut: a) Pada teori retribution: tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
25
pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. b) Pada teori Utilitarian: tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; pidana bersifat prospektif; pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan sebagaimana dikemukakan diatas, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005:42). Sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi dia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antar lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Dalam teori ini, orientasi pelanggaran hukum pidana ditujukan pada orang dan perbuatannya, konsep perbuatan yang dilakukan modifikasi doktrin free will, deduktif-induktif dan menggunakan konsep normatifempirik. Teori ini menganggap pidana diperlukan, tetapi bukan balas 26
dendam dan bertujuan, pidana merupakan pilihan pertanggungjawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan kemungkinan faktor-faktor lain yang meringankan
(eksternal-internal).
Pertanggungan
jawab
seseorang
berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Kalau digunakan istilah pidana, menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan
pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini
menghendaki adanya individualisasi pidana. 2. Tujuan Pemidanaan Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan sesuatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Menurut Andi Hamzah (2005:50), Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana ialah: a.
b.
c.
d.
Reformation, Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tidak seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Kritikan terhadap reformasi muncul karena dianggap tujuan ini tidak berhasil sebab banyaknya residivis kembali menjalani pidana penjara. Restraint, maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar dari masyarakat berarti masyarakat itu akan mejadi lebih aman. Restribution, ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai system yang bersifat bar-bar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial
27
menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri, oleh Jan Remmelink (2003:8) dilukiskan sebagai berikut: Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri yang harus ditemukan dalam dirinya sendiri. Sanksi-sanksi tersebut harus dipandang berkorelasi dan terjalin kedalam norma-norma hukum. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap norma. Selama norma belum dilanggar, sanksi pidana hanya bersifat preventif. Seketika terjadi pelanggaran, daya kerjanya seketika berubah dan sekaligus menjadi represif. Selanjutnya Jan Remmelink (2003:14) mengatakan bahwa: Hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial ini, untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika normanorma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, namun bila menyangkut soal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada para pelanggar norma tersebut. Sementara Muladi (2005: 98) membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut: a.
teori absolut (retributif); teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. b. Teori Teleologis; memandang bahwa pemidanaan bertujuan sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan sanksi pidana untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. c. Teori Retributif-teleologis; memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis dan retributif sebagai kesatuan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memliharara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/pengimbangan. 28
Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus kearah yang rasional. Yang paling tua ialah pembalasan atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Tujuan yang juga dipandang kuno ialah penghapusan dosa atau restribution, yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat. Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang menurut Andi Hamzah (1993:24)
variasi dari bentuk-bentuk: penjeraan (deterrent), baik di tujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; Herbert L. Packer (1968:9) menyatakan bahwa ada dua pandangan
konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni : pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing. Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pandangan ini berorientasi kedepan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). 3. Jenis – Jenis Pemidanaan Jenis – jenis (hukuman) menurut KUHP, hukuman pokok telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : 29
Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok ; 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Kurungan 4) Denda b. Pidana Tambahan ; 1) Pencabutan hak-hak tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim
Dengan
demikian,
hakim
tidak
diperbolehkan
menjatuhkan
hukuman selain yang dirumuskan dalam pasal 10 KUHP.
a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat 4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP. 2) Pidana Penjara Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Leden Marpaung, 2008:108. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi : - Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu - Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. - Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penajar selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena pembarengan (concurcus), pengulangan (residive) atau karena yang telah ditentukan dalam pasal 52. 30
-
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
3) Kurungan Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan diantara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi : - Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun. - Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52a. 4) Denda Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi : - Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen. - Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan. - Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan. - Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga. - Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan 52 dan 52a. - Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan. Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.
b. Pidana Tambahan
31
1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi : -
-
Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang umum lainnya ialah ; Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu Masuk balai tentara Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri Melakukan pekerjaan tertentu Hakim berkuasa memecat seseorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.
2) Perampasan Barang Tertentu Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi : -
-
Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan boleh dirampas. Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang.
32
-
Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.
3) Pengumuman Putusan Hakim Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (pasal 43 KUHP).
33
4. Macam – Macam Acara Pemeriksaan Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan. -
Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
-
Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
-
Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan : a. Acara pemeriksaan biasa diatur dalam KUHAP bagian ketiga bab XVI b. Acara pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian kelima bab XVI c. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam bab XVI, yang terdiri dari : 1) Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan 2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas
34
a. Acara Pemeriksaan Biasa Mengajukan berkas perkara dengan acara biasa adalah sikap yang hati-hati dalam menangani suatu perkara, lebih-lebih apabila perkara itu sulit pembuktiannya atau menarik perhatian masyarakat. Setelah penuntut umum mempelajari hasil penyidikan dan telah memahami benar kasus posisi perkara, tindak pidana yang terjadi, alat-alat bukti yang telah dikumpulkan selama tahap penyidikan serta berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka penuntut umum membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat (1), KUHAP. Hasil penyidkan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan, rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidkan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan, surat dakwaan mempunyai peranan penting dalam sidang pengadilan : o Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan negeri o Dasar penuntutan pidana (requisitoir) o Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelaan o Dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan o Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi, P.K bahkan kasasi demi kepentingan hukum)
35
Mengingat
pentingnya
surat
dakwaan
untuk
dapat
dibuktikan bahwa perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan itu benar-benar telah terjadi dan hakim yakin bahwa terdakwa yang salah, maka surat dakwaan perlu dibuat dengan bentuk tertentu, dengan tujuan jangan terjadi sesuatu yang merupakan tindak pidana dan sifatnya mengganggu keamanan, ketertiban hukum dalam
masyarakat
lepas
dari
tuntutan.
Berkaitan
dengan
pelimpahan berkas acara pemeriksaan dari penuntu ke pengadilan diatur dalam pasal 152 ayat (1) dan (2) KUHAP, yang berbunyi : (1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sdiang. (2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
(1)
memerintahkan
kepada
penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan. Menurut 16 ayat (1) UU No. 14 tahun 2004 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman mengatur : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
36
jelas,
melainkan
wajib
untuk
memeriksa
dan
mengadilinya” Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan menganut system akusator, bahwa terdakwa mempunyai hak yang sama dengan penuntut umum. Pertama-tama hakim ketua membuka sidang dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum selanjutnya menanyakan identitas terdakwa dan sesudah itu penuntut umum membacakan identitas terdakwa kemudian membacakan surat dakwaan baru sampai pada tahap pemeriksaan perkara. Pada permulaan sidang, pertama-tama yang didengar keterangan saksi korban, keterangan terdakwa baru didengar setelah saksi-saksi yang lain didengar keterangannya. Bahwa memeriksa suatu perkara di muka pengadilan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil dari tindak pidana yang didakwakan apakah telah terjadi dan dapat dinyatakan bersalah. Untuk mencari kebenaran materiil, perlu mengingat asas pemeriksaan di sidang pengadilan : o Asas terbuka untuk umum o Asas langsung o Asas pemeriksaan secara bebas o Asas praduga tak bersalah
37
o Asas
penyelenggaraan
peradilan
secara
cepat,
sederhana dan biaya ringan o Asas untuk memperoleh bantuan hukum o Asas perlakuan yang sama di muka hukum o Asas perlindungan hak asasi Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dengan sebutan “Sistem negatif menurut Undang-Undang” seperti yang diatur dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindakan
pidana
benar-benar
terjadi
dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya” Sistem
menurut
undang-undang
tersebut
mempunyai
maksud: -
Supaya terdakwa dapat dinyatakan salah diperlukan bukti minimum yang ditetapkan oleh undang-undang (pasal 183 KUHAP)
-
Namun demikian biarpun alat bukti melebihi minimum yang ditetapkan undang-undang apabila hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana. Dalam hal memutuskan perkara di sidang pengadilan
peranan hakim besar sekali, sebab meskipun alat bukti yang
38
diajukan penuntut umum berlebih dari bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa salah ia harus dibebaskan.
b. Acara Pemeriksaan Singkat Pada dasarnya pengertian tentang acara pemeriksaan singkat dapat disimpulkan dari pasal 203 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi : “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana” Berdasarkan rumusan diatas maka acara pemeriksaan singkat adalah pemeriksaan perkara yang oleh penuntut umum pembuktian dan penerapan hukum mudah dan sifatnya sederhana serta bukan tindak pidana ringan atau perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dengan rumusan di atas, perlu pengamatan cermat tentang pembuktian dan penerapan hukum mudah. Kata “mudah” dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tercantum artinya ; “tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan, tidak sukar, tidak berat, gampang.”
39
Dengan demikian, pembuktian dan penerapan hukum gampang, tidak sukar, tidak memerlukan banyak pikiran dalam mengerjakannya. Pelimpahan perkara dalam acara pemeriksaan singkat tanpa disertai surat dakwaan hanya dicatat dalam berita acara dan dalam berita acara tindak pidana yang didakwakan antara lain : o Unsur tindak pidana yang didakwakan o Menyebut tempat dan waktu tindak pidana dilakukan o Perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa Bahwa catatan tentang dakwaan dalam acara pemeriksaan singkat tersebut, diatur dalam pasal 143 ayat (2) b KUHAP yang berbunyi : “Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.” Setelah hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum lalu menanyakan identitas terdakwa, seterusnya penuntut umum menyampaikan kepada kepada hakim tentang tindak pidana yang didakwakan yang diucapkan secara lisan dan panitera mencatat dakwaan yang diucapkan oleh jaksa atau penuntut umum yang fungsinya sebagai pengganti surat dakwaan seperti dalam acara pemeriksaan biasa.
40
Melimpahkan perkara dengan acara pemeriksaan singkat mempunyai tujuan agar perkara hari itu juga dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya murah.
c. Acara Pemeriksaan Cepat Pemeriksaan acara pemeriksaan cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI terdiri atas : o Paragraf I ; Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan o Paragraf II ; Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu lintas Jalan 1)
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Menurut pasal 205 ayat (1), ialah perkara yang diancam denda pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500, dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf II (pelanggaran lalu llintas) Bahwa setiap pengadilan negeri telah menetapkan jadwal dalam memeriksa perkara tindak pidana ringan pada hari yang telah ditentukan dalam satu bulan dan frekuensinya tergantung banyak sedikitnya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan negeri. Dalam pasal 206 KUHAP, berbunyi ; “Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk
41
mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.” Penyidik memberitahukan secara tertulis kepda terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut harus dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam dan tempat yang ditentukan. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan hari itu juga. Pemeriksaan perkara tanpa berita acara pemeriksaan sidang dan dakwaan cukup dicatat dalam buku register yang sekaligus dianggap dan dijadikan berita acara pemeriksaan sidang. Dalam pasal 205 ayat (3) yang berbunyi : “Dalam Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam
hal
dijatuhkan
pidana
perampasan
kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.”
42
Dari bunyi pasal 205 ayat (3) KUHAP, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu : o Sidang perkara dengan acara pemeriksaan ringan dengan hakim tunggal. o Keputusan hakim terdiri dari 2 macam:
Keputusan berupa pidana denda dan atas keputusan tersebut terhukum tidak dapat naik banding.
Keputusan
yang
berupa
perampasan
kemerdekaan, terhukum diberi hak untuk naik banding ke pengadilan tinggi. 2)
Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Acara pemeriksaan cepat yang kedua ialah acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang diatur dalam pasal 211 KUHAP yang berbunyi : “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.” Jika dibandingkan dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan maka acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan, lebih mudah. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan. Hal
43
tersebut diatur dalam pasal 207 ayat (!) KUHAP, yang berbunyi : (a) Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat dia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut
dicatat
dengan baik
oleh penyidik,
selanjutnya catatan bersama berkas dikrim ke pnegadilan. (b) Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga. Dalam acara pemeriksaan tindak pidana pelanggaran lalu lintas jalan tidak perlu dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat catatan dalam catatan pemeriksaan memuat dakwaan dan pemberitahuan yang harus segera diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan apabila terdakwa tidak hadir karena suatu halangan, maka terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat kuasa untuk mewakili di sidang pengadilan. Hal tersebut diatur dalam pasal 213 KUHAP yang berbunyi; “Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.”
44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Dalam melakukan penelitian, penulis memilih lokasi pada Kantor Pengadilan Negeri Maros, penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena sesuai dengan studi kasus judul dan rumusan permasalahan yang akan diteliti penulis dalam penulisan skripsi ini, selain itu penulis menganggap cukup tersedia data dan sumber data yang dibutuhkan di dalam penelitian ini.
B. Jadwal Penelitian Penulis menjadwalkan untuk melakukan penelitian pada Kantor Pengadilan Negeri Maros dengan estimasi waktu selama bulan Januari dan Mei. C. Teknik Penelitian Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh materi-materi penelitian sebagaimana
yang
diharapkan,
maka
penulis
melakukan
teknik
pengumpulan data sebagai berikut :
45
1. Penelitian kepustakaan (Library Search) Penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder yang merupakan kerangka dasar yang bersifat teoritis sebagai pendukung data empiris. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menelaah dan mempelajari berbagai referensi berupa buku-buku ilmu hukum, tulisan-tulisan ilmu hukum , majalah, laporan media cetak dan perundang-undanganan yang relevan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. 2. Penelitian lapangan (field Search) Adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara peneliti mendatangi langsung objek dan sumber-sumber data (informasi) penelitian. Studi lapangan ini dapat ditempuh dengan menggunakan instrument : a. Wawancara Instrument ini digunakan didalam pengumpulan data dimana seorang peneliti melakukan komunikasi langsung dengan objek penelitian atau sumber data dengan cara bertatap muka dan berkomunikasi secara langsung tanpa perantara; b. Observasi Instrument penelitian ini digunakan didalam pengumpulan data dengan cara peneliti melakukan kunjungan langsung ke lokasi
46
penelitian dan melakukan pengamatan secara langsung tentang masalah yang diteliti.
D. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian , dibagi kedalam dua jenis data yaitu : 1. Data Primer Data primer yaitu data empiris yang berumber dari pengetahuan dan pengalaman responden yang diperoleh langsung dari responden dilapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. 2. Data Sekunder Data sekunder yaitu pada umumnya merupakan data-data normatif yang dijadikan sebagai landasan teori dalam menjawab permasalahan penelitian, yang sumbernya diperoleh dari kajian kepustakaan, referensi-referensi hukum, peraturan perundangundangan dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
47
E. Teknik Analisis Data Di dalam pelaksanaan penelitian ini nantinya data yang diperoleh selanjutnya akan
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif yang didasari oleh teori-teori yang diperoleh di perkuliahan dan literature yang ada, yaitu menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagaimana dikemukakan di atas, kemudian hasil analisis tersebut kemudian disajikan dalam bentuk penjelasan dan penggambaran kenyataan-kenyataan atau kondisi objektif yang ditemukan peneliti di lokasi penelitian
48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Pidana Materil Tentang Tindak Pidana Membawa
Senjata
Tajam
(Studi
Kasus
Putusan
No.
16/Pid.S/2012/PN.Maros) Sebelum membahas mengenai penerapan hukum pidana materil putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros, maka penulis terlebih dahulu menguraikan ringkasan posisi kasus dengan mengambil dasar analisa dari pengakuan terdakwa, keterangan saksi dan hasil pemeriksaan baik ditingkat penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan yaitu sebagai berikut :
1. Posisi Kasus Pada hari Rabu tanggal 05 September 2012, sekitar pukul 22.30 wita, di Depan Kantor Sosial Maros, jl. Poros Maros
Bantimurung,
Kecamatan
Bantimurung,
Kabupaten Maros atau setidak-tidaknya termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Maros, secara tanpa hak membawa, menyimpan dan memiliki senjata tajam tanpa dilengkapi ijin dari pihak yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Drt No. 12 tahun
49
1951`(LN No. 78/ Tahun 1951) yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : -
Pada waktu Tersangka Abdal Bin Malu berangkat dari rumahnya dengan menggunakan sebuah mobil menuju menuju Bone dan begitu sampai di jl. Poros Maros Bantimurung, kab. Maros mobil yang dikendarai oleh tersangka diberhentikan dan diperiksa oleh petugas Kepolisian dari Polres Maros yang sedang melaksanakan operasi, saat dilakukan pemeriksaan oleh petugas Kepolisian maka sebilah badik yang tersangka bawa dan simpan dilaci dashboard ditemukan oleh petugas kepolisian dan bertanya kepada tersangka, “siapa pemilik
badik
menajwab,
ini
“saya
?”
kemudian
bawa
untuk
tersangka jaga-jaga
diperjalanan.” Bahwa untuk membuktikan dakwaan tersebut, penuntut umum telah mengajukan saksi-saksi di persidangan yang semua telah memberikan keterangan dibawah sumpah menurut cara agamanya masing-masing yaitu :
50
1) Abdul Hakim ; pada pokoknya menerangkan : o Bahwa
saksi
menemukan
tersangka
membawa badik pada hari Rabu tanggal 05 September 2012, sekitar pukul 22.30 wita, di depan Kantor social Maros, jl. Poros Maros
Bantimurung,
Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros. o Bahwa jenis senjata tajam yang ditemukan oleh saksi lalu kemudian saksi amankan adalah senjata tajam jenis badik bergagang kayu warna agak kecoklatan. o Bahwa sehingga saksi menemukan badik tersebut karena awalnya Personil Polres Maros menggelar razia kendaraan dalam rangka operasi cipta kondisi di jl. Poros Maros Bantimurung, depan Kantor Sosial Maros, yang dipimpin oleh Kabag Ops Polres Maros. Sementara berlangsung razia dimaksud, tiba-tiba melintas empat unit mobil dari arah Maros, sehingga keempat mobil
tersebut
dilakukan
diberhentikan
pemeriksaan,
karena
untuk mobil
pertama dan mobil kedua serta mobil ketiga
51
diperiksa oleh anggota Sabraha, jadi mobil keempat yang saksi periksa dan dari pemeriksaan itulah saksi temukan sebilah badik yang tersimpan di laci dashboard mobil tersebut. o Saat diperlihatkan kepada saksi barang bukti berupa sebilah badik dengan ciri-ciri badik tersebut bergagang kayu warna agak kecoklatan, dengan sarung terbuat dari kayu, panjang besi sekitar 18.5 cm, lebar besi 2.5 cm, saksi masih mengenalnya karena badik tersebut benar yang telah ia temukan di laci dashboard sebuah mobil pick up ketika berlangsung razia kendaraan. o Bahwa laki-laki yang saksi amankan karena membawa,
memiliki
dan
menyimpan
senjata tajam jenis badik tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang. o Bahwa terhadap orang yang diperhadapkan kepada saksi adalah benar orang yang telah saksi amankan karena membawa, menyimpan dan memiliki senjata tajam jenis badik ketika berlangsung razia kendaraan
52
yang dilaksanakan oleh Anggota Polres Maros. 2) Darya K alias Rio Bin Kusumajaya ; pada pokoknya menerangkan : o Bahwa teman saksi ditangkap oleh anggota Polres Maros pada hari Rabu tanggal 05 September 2012, sekitar pukul 22.30 wita, di depan Kantor Sosial Maros, jl. Poros Maros
Bantimurung,
Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros. o Bahwa sebelum tersangka ditangkap oleh anggota Polres Maros, senjata tajamnya ia simpan di laci dashboard mobil pick up yang
ia
tumpangi
ke
Daerah
Lapri,
Kabupaten Bone. o Bahwa jenis senjata tajam milik tersangka yang ditemukan oleh anggota Polres Maros di laci dashboard mobil pick up adalah badik
bergagang
kayu
warna
agak
kecokelatan. o Bahwa tersangka tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk membawa,
53
memiliki dan menyimpan senjata tajam jenis badik. o Saat diperhadapkan kepada saksi seorang tersangka yang diamankan di Polres Maros karena telah membawa, menyimpan dan memiliki senjata tajam jenis badik saksi mengenalnya karena orang tersebut adalah teman saksi.
2. Dakwaan Jaksa Berdasarkan
posisi
kasus
sebagaimana
telah
diuraikan diatas, maka Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa sebagai berikut : -
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU Drt No. 12 tahun 1951`(LN No. 78/ Tahun 1951)
3. Tuntutan Pidana Berdasasarkan uraian posisi kasus dan dakwaan yang diajukan kepada terdakwa Abdal Bin Malu, maka oleh Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana membawa senjata tajam, yakni menyatakan :
54
-
Menyatakan terdakwa Abdal Bin Malu terbukti bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak membawa
senjata
penikam
atau
penusuk,
sebagaimana dakwaan kami yaitu Pasal 2 ayat (1) UU Drt No. 12 tahun 1951. -
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abdal Bin Malu berupa pidana penjara selama 2 (dua) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah tetap ditahan.
-
Menyatakan barang bukti berupa : o 1 (satu) bilah badik dengan gagang dan sarung terbuat dari kayu berwarna cokelat dengan panjang besi 16 cm, lebar besi 2,5 cm. Dirampas untuk dimusnahkan.
-
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
4. Amar Putusan Putusan hakim berdasarkan bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut :
55
-
Menyatakan terdakwa Abdal Bin Malu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak membawa senjata tajam”
-
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Abdal Bin Malu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan 10 (sepuluh) hari.
-
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
-
Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
-
Memerintahkan barang bukti berupa : o 1 (satu) bilah badik dengan gagang dan sarung terbuat dari kayu berwarna cokelat dengan panjang besi 16 cm dan lebar besi 2,5 cm. Dirampas untuk dimusnahkan.
-
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
5. Analisis Penulis Berdasarkan penerapan
hasil hokum
penelitian
penulis,
bahwa
pada
putusan
No.
16/Pid.S/2012/PN.Maros sudah tepat yakni :
56
-
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU Drt No. 12 tahun 1951`(LN No. 78/ Tahun 1951)
Bahwa
karena
terdakwa
didakwa
dalam
surat
dakwaan tunggal maka Majelis Hakim tidak perlu memilih dakwaan mana yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu yang dipandang dan terbukti berdasarkan faktafakta hukum yang terungkap di persidangan. Bahwa
berdasarkan
fakta-fakta
hukum
yang
terungkap di persidangan tersangka telah terbukti melakukan
tindak
pidana
barangsiapa
membawa,
menyimpan dan memiliki senjata tajam tanpa dilengkapi ijin dari pihak yang berwenang, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Drt No. 12 Tahun 1951 (LN No. 78 Tahun 1951) yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : a. Unsur barangsiapa; Bahwa unsur barangsiapa menunjuk kepada orang
sebagai
subjek
dipertanggungjawabkan
hukum atas
yang
dapat segala
perbuatannya.
57
Penuntut
Umum
telah
menghadapkan
terdakwa, yakni Abdal Bin Malu, dimana dalam pemeriksaan
di
persidangan
terdakwa
telah
menyatakan mengerti maka isi surat dakwaan serta identitas terdakwa sesuai dengan surat dakwaan, oleh karenanya tidak terdapat sesuatu petunjuk bahwa akan terjadi kekeliruan sebagai subjek atau pelaku tindak pidana. Bahwa orang yang diajukan sebagai terdakwa dalam pemeriksaan persidangan sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dibawah pengampuan, mampu merespon jalannya persidangan dengan baik,
sehingga
terdakwa
dinilai
mampu
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Maka unsure barangsiapa telah terpenuhi. b. Unsur tanpa hak; Bahwa dalam pertimbangannya unsur ini tidak terlepas dari pertimbangan unsur berikutnya, sehingga nantinya dapat diketahui, apa yang menyebabkan
suatu
perbuatan
itu
menjadi
dilarang oleh Undang-Undang. Sementara itu yang dimaksud dengan “tanpa hak” adalah setiap perbuatan yang dilakukan telah
58
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dapat diartikan pula tidak mempunyai sehingga perbuatan bertentangan
yang
bersangkutan
dengan
peraturan
menjadi perundang-
undangan atau hukum yang berlaku. Bahwa apabila uraian diatas dikaitkan dengan fakta-fakta berdasarkan
yang
terungkap
dengan
dipersidangan
keterangan
saksi-saksi,
keterangan terdakwa beserta barang bukti yang diperlihatkan dipersidangan, maka menurut Majelis Hakim telah terpenuhi unsur ini oleh karena terdakwa tidak memiliki surat izin atau tidak dapat diperlihatkan membawa
surat senjata
izin
untuk
penikam
memiliki atau
atau
penusuk
tersebut. Bahwa dengan demikian perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsure ini menurut hukum. c. Unsur memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata penikam atau senjata penusuk;
59
Bahwa kualifikasi
unsur
ini
perbuatan
mengandung yang
bersifat
beberapa Alternatif,
artinya sudah cukup bila salah satu perbuatan saja terbukti dan tidak seluruh Alternatif perbuatan tersebut dibuktikan. Berdasarkan dipersidangan
fakta-fakta bahwa
benar
yang
terungkap
terdakwa
telah
menguasai miliknya senjata penikam atau senjata penusuk
berupa
sebilah
badik
sebagaimana
pengakuan terdakwa dan keterangan saksi-saksi di persidangan, dimana senjata tajam tersebut bukanlah termasuk alat-alat pertanian atau benda pusaka atau alat-alat yang sering digunakan dalam keperluan rumah tangga serta tidak ada hubungannya
dengan
pekerjaan
terdakwa,
sehingga oleh karenanya menurut Majelis Hakim perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur ini. Bahwa dari rangkaian uraian pertimbangan hukum tersebut diatas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur sebagaimana dalam surat Dakwaan.
60
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Membawa Senjata Tajam (Studi Kasus Putusan No. 16/Pid.S/2012/PN.Maros) Putusan Hakim biasa disebut putusan pengadilan, menurut Pasal 1 (11) KUHAP putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas bahkan lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Oleh karena itu putusan yang diambil oleh hakim berdasarkan pada fakta-fakta yang terbukti di pengadilan. Ketentuan Pasal 183 KUHAP menggariskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Putusan
Hakim
merupakan
aspek
penting
dalam
menyelesaikan perkara pidana. Putusan Hakim dapat dikatakan sebagai mahkota suatu perkara pidana. Oleh karena itu, dalam membuat putusan hakim haruslah berhati-hati. Putusan Hakim dalam perkara pidana memiliki tiga bentuk, antara lain putusan bebas, lepas dari segala tuntutan dan putusan pemidanaan.
61
Putusan bebas (vrijspraak), diambil jika salah satu unsur dalam pasal yang didakwakan tidak terbukti. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menegaskan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), diputuskan jika perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP menetukan; “Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk member keterangan tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”
Dalam
sepanjang
persidangan
Majelis
Hakim
tidak
menemukan adanya hal-hal yang dapat melepaskan perbuatan 62
terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pemaaf maupun sebagai alasan pembenar, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut harus dipertanggungjawabkan kepadanya, oleh karena terdakwa mampu bertanggung jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri pada terdakwa yang kemudian harus dijatuhi pidana. Oleh karena menurut Majelis perbuatan Terdakwa yang terbukti adalah Dakwaan Tunggal telah terbukti dengan tetap memperhatikan keadilan hukum, keadilan social, maka menurut Majelis Hakim terhadap lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada para terdakwa tersebut telah memnuhi rasa keadilan. Terdapat
tiga aspek yang harus diperhatikan dalam
pengambilan keputusan yakni, secara yuridis yaitu melihat peraturan yang berlaku, dari segi sosiologis yaitu melihat pandangan masyarakat dan psikologis yaitu seperti rasa keadilan. Dalam mengambil putusan hakim haruslah memperlihatkan aturan hukum dan mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, fakta-fakta di persidangan yang terungkap mengenai keterangan saksi, barang bukti, keadaan terdakwa, efek dari perbuatan terdakwa, ditambah putusan hakim yang diambil berdasarkan
keyakinan
hakim.
Namun
pada
dasarnya
63
penghukuman
bertujuan
untuk
efek
jera
dimana
mempertimbangkan fakta pada persidangan dan masalahnya. Sebelum
menjatuhkan
pidana
terdakwa,
maka
perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada diri terdakwa; Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa berterus terang dipersidangan
-
Terdakwa sopan dalam persidangan
-
Terdakwa masih muda dan tidak mengulangi lagi perbuatannya
Karena para terdakwa telah ditahan secara sah, maka sesuai pasal 22 ayat (4) KUHAP, lamanya tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Hal ini sudah sesuai dengan tuntutan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana yang didakwakan yaitu pasal 2 ayat (1) UU Drt. Nomor 12 Tahun 1951 LN. No. 78/1951. Dalam menyusun
surat
tuntutan
Jaksa
Penuntut
Umum
wajib
mempertimbangkan keadaan-keadaan si pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh perbuatan pidana yang dilakukan dan pengaruh tindak pidana bagi terpidana dimasa yang akan 64
datang serta banyak lagi keadaan lainnya sehingga nantinya akan menjadi
bahkan
rujukan
yang
harus
diperhatikan
dan
dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Selain itu dalam menerapkan hukum yang akan digunakan dalam kasus ini, haruslah terpenuhi tujuan dari pemidanaan yakni akibat melakukan kejahatan maka seseorang akan dihukum nantinya. Hukuman tersebut adalah merupakan balasan dari apa yang telah dilakukannya sehingga diharapkan dengan adanya hukuman ini dapat menjadi pelajaran dan pembinaan bagi seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Dari dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak membawa senjata tajam.
Komentar Penulis Dampak dari tindak pidana membawa senjata tajam adalah meresahkan masyarakat serta dapat menimbulkan banyak kerugian baik bagi si pembawa ataupun orang lain. Pada masyarakat tentu saja akan merasa cemas dan panik apabila melihat seseorang membawa senjata tajam, sehingga berpikir untuk menjauh dan menghindar dari orang tersebut. 65
Dari sisi lain pula membawa senjata tajam tanpa dilengkapi dengan izin dari pihak yang berwenang atau tanpa alasan dan tujuan yang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya merupakan tindak pidana yang dapat merugikan diri si pembawa yaitu akan dijerat hukum sesuai dengan perundang-undangan. Walaupun si pembawa hanya menyimpan dan tidak menggunakan senjata tajam tersebut.
Komentar Penulis Putusan
hakim sepatutnya
haruslah
memenuhi rasa
keadilan bagi semua pihak. Secara yuridis, berapapun sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak menjadi permasalahan selama tidak melebihi batas maksimum dan minimum sanksi pidana yang diancam dalam pasal yang bersangkutan, melainkan yang menjadi persoalan adalah apa yang mendasari atau apa alasan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan berupa sanksi pidana sehingga putusan yang dijatuhkan secara obyektif dapat diterima dan memenuhi rasa keadilan. Mengenai hal pembuktian dari hasil alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dihadapan persidangan maka sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hal ini sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti yang sah yang tercantum dalam Pasal 66
184 ayat 1 KUHAP yaitu ; keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Jadi hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim. Berdasarkan
putusan
perkara
nomor
16/Pid.S/2012/PN.Maros menyatakan bahwa terdakwa Abdal Bin Malu telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melanggar Pasal 2 ayat 1 UU No. 12/Drt/1951 (LN No. 78/1951) “secara tanpa hak membawa senjata tajam” dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) bulan dan 10 (sepuluh) hari. Hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim relatif ringan, hukuman yang ringan ini tidak menjamin bahwa terdakwa tidak lagi melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam putusan Nomor : 16/Pid.S/2012/PN.Maros. Padahal tujuan utama dari penjatuhan hukuman adalah agar terdakwa tidak lagi mengulangi perbuatannya dan memberikan efek jerah bagi diri terdakwa dan masyarakat. Dengan demikian prosedur persidangan dalam putusan perkara nomor : 16/Pid.S/2012/PN.Maros sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
67
BAB V PENUTUP
68
A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, maka yang dapat penulis simpulkan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1)
Penerapan hukum pidana materil terhadap kasus diatas sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 12/Drt/1951 (LN No. 78/1951).
Berdasarkan
fakta-fakta
hukum
baik
keterangan para saksi dan keterangan terdakwa serta terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. 2)
Pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku dalam Putusan Nomor : 16/Pid.S/2012/PN.Maros telah sesuai. Berdasarkan penjabaran keterangan saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti serta adanya pertimbanganpertimbangan yuridis, hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa, serta memperhatikan undangundang yang berkaitan dan diperkuat dengan keyakinan hakim. B.
Saran
69
Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, sebagai berikut : 1)
Putusan yang ringan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim bisa saja membuat pelaku tidak merasakan
efek
jerah
dan
dapat
sewaktu-waktu
mengulangi perbuatannya kembali. Oleh sebab itu, disini diperlukan keseriusan dan kehati-hatian oleh penegak hukum baik oleh Jaksa sebagai penuntut umum yang menyusun surat dakwaan dan tuntutan agar menjadi dasar
pertimbangan
hakim
dalam memutus suatu
perkara. Maupun bagi hakim agar putusan tersebut dapat mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan hukum. 2)
Bahwa
sepatutnya
wakil
kita
di
bangku Legislatif dan Yudikatif untuk mungkin meninjau ulang UU tersebut terutama dengan hal kekiniannya, tata bahasa dan perkembangan definisi yang menurut saya berkaitan erat dengan segala macam pengartian yang masih debateable dan pemimpin di tingkat eksekutif untuk memperjelas peraturan turunannya.
70
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah,
Andi 2005. Asas-Asas Watampone.
Hukum
Pidana,
Jakarta,
Yarsif
---------------------, 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita. Imran, Said. 2007. Administrasi Peradilan Pidana Indonesia. Bina Cipta. Bandung Lamintang, P. A. F. Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media. Muhammad Rusli. 2006. Potret Lembaga Pengadilan di Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Alumni. -------------------------------------------------. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung -------------------------------------------------..1992.
Bunga Rampai Hukum Pidana. Cet. I.
Alumni. Bandung Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineke Cipta Oktriviana,
Hardyan. 2007. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Kebiasaan Masyarakat Madura Dalam Membawa Senjata Tajam Ditinjau Dari Prespektif UU Darurat No 12 Tahun 1951
Prajogo, Soesilo. 2007, Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Wacana Intelektual Press, Jakarta. Packer, Herbert L. 1968. Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Roeslan Saleh,. 1983. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.
71
Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Ementer Perbuatan Melanggar Hukum.. Bina Cipta. Bandung Silaban. 1997. Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana.. Sumber Ilmu Jaya. Jakarta. Soedarto. 1986. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bina Cipta, Bandung, Soejono Soekamto. 1983. Foktor-foktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali. Tongat, 2009. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Pres, Bandung.
72