85
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA DAN FIKIH JINAYAH TENTANG HUKUMAN KUMULATIF TERHADAP ANAK PELAKU PENCABULAN (PUTUSAN NO.66/PID.B/2011/PN.SMP) A. Analisis Hukum Pidana tentang Hukuman Kumulatif terhadap Anak Pelaku Pencabulan (Putusan No. 66/Pid.B/2011/PN.Smp) Terdakwa ditangkap berdasarkan surat perintah penangkapan pada tanggal 22 Pebruari 2011 di Dusun Gedanggedang Desa Kropoh, Kecamatan Ra’as Kabupaten Sumenep, dalam kasus pencabulan anak yang telah melanggar pasal 81 ayat (2) undangundang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Menurut keterangan para saksi, terdakwa telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap korban dengan barang bukti sebagai berikut: kaos tim sepak bola bertuliskan Ronaldo No. 9, celana pendek kolor warna hitam, dikembalikan kepada terdakwa. Dan 15 (lima belas) kertas bergambar, kaos lengan panjang motif garisgaris warna putih dan hijau, rok pendek warna hijau muda dan rok panjang warna kuning motif kotakkotak, celana dalam warna putih motif bergambar pinguin warna merah bertuliskan “Childrens water kolor”, 1 (satu) lembar KK No. 5103052802071039, dikembalikan kepada saksi korban. Perbuatan pidana yang disebut sebagai kejahatan merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan norma yang telah diberlakukan di suatu masyarakat, perbuatan tersebut jelas akan dikenakan sanksi bagi siapa saja yang
86
melakukan perbuatan pidana yang mana telah memenuhi unsurunsur obyektif dan subyektifnya, tidak terkecuali anak sebagai pelaku utama. Unsurunsur tersebut adalah sebagai berikut: 1 a. Obyektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif disini adalah tindakannya. b. Subyektif, perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undangundang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang). Anak sebagai bagian dari generasi muda yang akan meneruskan citacita bangsa, yang memiliki peran dan ciri khusus yang membutuhkan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya. Keberadaan anak di lingkungan masyarakat perlu mendapatkan perhatian secara khusus, terutama mengenai tingkah lakunya, karena kenakalannya bisa saja disebabkan berbagai faktor yang mengitarinya. Jika faktor yang mengitarinya baik maka akan baik pula ia, karenanya sangat diperlukan suatu lingkungan yang baik guna pertumbuhannya. Hal itu jelas tidak luput dari peran orang tua sebagai orang terdekat dari diri si anak, perlu bimbingan yang intensif guna pertumbuhannya agar tidak 1
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, 175
87
terjerumus pada tindak pidana yang di khawatirkan bisa mengganggu masa depannya dikarenakan beban hukuman yang akan di terimanya bilamana ia melakukan tindak pidana. Penyimpangan perilaku kenakalan yang berbuntut pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak, juga disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain, diantaranya melalui dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat disertai dengan arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi yang selanjutnya akan berpengaruh teradap nilai dan perilaku si anak. Penyimpangan perilaku yang dilakukan anak antara lain, perampasan, pencabulan, dan bahkan pemerkosaan. Kejadian di atas merupakan salah satu contoh tentang perilaku kenakalan anak yang dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan dengan aparat hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seorang anak yang masih dibawah umur sangat mudah dijadikan obyek pencabulan dengan berbagai alasan dan sering kali dengan menggunakan modus penipuan berupa imingiming uang ataupun barang yang disenangi si anak. Jika melihat arti penting anak bagi perkembangan pembangunan bangsa dan negara, pemerintah perlu memberikan aturan secara formal dan materiil untuk pelaksanaan perlindungan anak. Salah satu peraturan yang mengatur tentang anak adalah undangundang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
88
Undangundang tersebut sudah jelas menggunakan asas lex spesialis derogat lex generalis, yang mana berarti suatu hukum yang khusus itu tidak bisa mengkhususkan hukum yang umum. Jadi perkara pencabulan anak di bawah umur telah diatur tersendiri di dalam undangundang perlindungan anak tersebut. Namun yang perlu diperhatikan, bilamana pelaku perbuatan pecabulan tersebut dilakukan oleh anak di bawah umur, undangundang tersebut belum sepenuhnya melindungi anak sebagai pelaku tindak pidananya, seorang anak yang telah melakukan tindak pidana pencabulan dikenakan sanksi sebagaimana orang dewasa melakukannya, dari sini bisa disimpulkan bahwa Pasal 81 Undang undang No.23 tahun 2002 dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pencabulan anak di bawah umur hanya berangkat dari obyeknya saja, atau melihat korbannya yang masih anakanak, sebagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tersangka pelaku pencabulan yang berpegang pada pasal tersebut. Seharusnya, dalam hukuman yang dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan, juga mendapatkan perlakuan tersendiri, bukan malah mendapatkan hukuman kumulatif seperti yang tersebut dalam Pasal 81 Undangundang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagaimana definisi Anak dalam Undangundang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.” Hukuman kumlatif dalam hukuman bagi pelaku tindak pidana di Indonesia disebutkan di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana dalam Bab
89
II Penjelasan Pasal 10 tentang hukumanhukuman. 2 Dalam
penjelasan
tersebut
disebutkan
bahwa
undangundang
membedakan dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. “cumulatie” (kumulasi) lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. Akan tetapi dalam tindak pidana ekonomi (Undangundang Darurat No. 7/1955) dan tindak pidana subversi (Penpres No. 11/1963) cumulatie hukuman dapat dijatuhkan, yaitu hukuman badan dan hukuman denda. 3 Dalam penetapan kumulasi hukuman pun, hakim mempunyai dasar pertimbangan pribadi dalam menetapkan hukumannya, hal itu terlihat dari pembebanan hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa dalam setiap perkara pidana. Di dalam memvonis terdakwa kasus pencabulan anak yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Majelis hakim pengadilan negeri Sumenep menjatuhkan hukuman 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara dan denda sebesar Rp. 60.000.000, (enam puluh juta rupiah). Hal ini selain berdasarkan pasal 81 ayat (1) undangundang No. 23 tahun 2002 juga didasarkan pada halhal yang memberatkan dan halhal yang meringankan hukuman, yaitu: Halhal yang memberatkan:
2 3
Soesilo, Kitab UndangUndang Hukum Pidana, 36 Ibid.
90
1. Saksi korban dan keluarganya merasa malu kepada masyarakat dan mempengaruhi masa depan saksi korban 2. Saksi korban mengalami trauma berkepanjangan 3. Saksi korban masih anakanak dan masih bersekolah SD kelas I Halhal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang dan berlaku sopan dalam mengikuti persidangan 2. Terdakwa masih anakanak dan masih bersekolah SD kelas V 3. Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukuman kali ini, pembebanan hukuman kumulatif yang berupa 1 tahun penjara yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Sumenep rupanya sejalan dengan Konsep KUHP dalam menerapkan ancaman pidana maksimum khusus, sedangkan untuk hukuman denda yang dibebankan rupanya tidak sejalan dengan kriteria hukuman denda secara umumnya. Hal ini tentunya masih belum bisa mengatasi beban hukuman kumulatif yang dibebankan pada anak tersebut sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Dalam hal tertentu, menurut Konsep KUHP, mengenai pemberatan dan peringanan tindak pidana tidak jauh berbeda dengan KUHP yaitu ditambah dan dikurangi sepertiga. Bagi tindak pidana tertentu, pola peringanan pidana dalam Konsep KUHP bahkan bisa juga dikurangi setengahnya dari pembatasan pidana bagi anak yang masih berusia 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun.
91
Hal tersebut dirasa cukup efektif bilamana diterapkan dalam putusan hukuman pada perkara No. 66/Pid.B/2011/PN.Smp. Dalam pemidanaan terdapat pedoman pemidanaan, dimana hakim wajib mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 4 1. Kesalahan pembuat 2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana 3. Cara melakukan tindak pidana 4. Sikap batin pembuat 5. Riwayat hidup dan keadaan sosial pembuat sesudah melakukan tindak pidana 6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat 8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban 10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Hal tersebut tentunya tak lain ditujukan untuk kebaikan bersama, bagi anak yang menjadi korban dan juga bagi pelaku yang masih anakanak. Penjatuhan sanksi terhadap putusan No. 66/Pid.B/2011/PN.Smp, yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Sumenep telah sesuai dengan Undangundang No. 23 tahun 2002, namun tidaklah sesuai dengan KUHP yang menjelaskan bahwa 4
Niniek, Eksistensi Pidana Denda, 3
92
“bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan”. Sehingga jika pelaku tersebut harus menjalani hukuman 1 (satu tahun) 6 (enam) bulan penjara dan denda sebesar 60.000.000, seperti yang disebutkan, maka sudah pasti pendidikannya akan terhambat dan sangat membebani terdakwa. Pemidanaan bukan berarti menjalankan teori keadilan absolut secara penuh, pemidanaan sebagai bentuk pembalasan dan penebusan dosa seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya tidak harus meniadakan esensi kuratif dan edukatif bagi pelaku tindak pidana, karena melihat usia pelaku tindak pidana yang juga masih anak di bawah umur. Peristiwa seperti ini jelas menjadikan pelajaran ynag sangat berharga bagi keluarga korban maupun pelaku agar lebih memusatkan perhatiannya pada pergaulan anaknya supaya tidak melakukan halhal yang merusak tatanan hidup dan moral bangsa.
B. Analisis Fikih Jina>yah tentang Hukuman Kumulatif terhadap Anak Pelaku Pencabulan (Putusan No. 66/Pid.B/2011/PN.Smp.) Hukuman dalam hukum pidana Islam pada dasarnya sama halnya dengan konsep yang ada dalam hukum pidana secara umumnya, samasama merupakan bentuk balasan kepada pelaku tindak pidana. Dalam hukum pidana Islam, terdapat beberapa jenis anacaman hukuman, masingmasing ditinjau dari beberapa sudut yang berbeda, di mulai dari segi ada
93
atau tidak adanya Nas alQur’a>n maupun Hadi>st| yang menyebutkan, keterkaitan antara hukuman yang satu dengan yang lainnya, dari segi kekuasan hakim yang menjatukan hukuman, dan dari segi sasaran hukumannya. Semua hukuman tersebut tidak lain ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan mengindahkan beberapa batasan tertentu agar hukuman tersebut tidak melampaui batas yang ditentukan. Hukuman dikatakan memenuhi kemaslahatan bilamana tidak bersifat berlebih lebihan, apalagi bilamana yang mendapatkan hukuman tersebut ialah anak yang masih di bawah umur. Ketidak cakapannya lah yang menyebabkan ia mendapatkan pemaafan. Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam alQur’an.
ْﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢ ْﺇِﻟَﻴْﻬِﻢ ﻓَﺎﺩْﻓَﻌُﻮﺍ ﺭُﺷْﺪًﺍ ْﻣِﻨْﻬُﻢ ْﺁﻧَﺴْﺘُﻢ ْﻓَِﺈﻥ َﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡ ﺑَﻠَﻐُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰ ﻭَﺍﺑْﺘَﻠُﻮﺍ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. (alNisa>’ ayat 6). 5 Ujian dalam ayat tersebut dimaksudkan bilamana mengadakan penyelidikan terhadap anak yang masih di bawah umur mengenai keagamaannya, usahausahanya, kelakuan dan lainlain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai, dalam artian telah mencapai usia dewasa.
Dalam ketentuan fikih jina>yah, anak yang masih di bawah umur dalam artian belum mumayyiz, tidak dikenakan hukuman secara penuh sebagaimana orang dewasa yang melakukan tindak pidananya, anak yang masih di bawah umur
5
Kementerian Agama RI, alQur’an dan Terjemahnya, 77
94
disamakan dengan orang gila dan orang tidak sadar yang tidak dikenakan hukuman. Sebagaimana hadis| riwayat Abu daud:
ُﺍﻟْﻘَﻠَﻢ َﺭُ ِﻓﻊ : َﻗَﺎﻝ َﻭَﺳَﻠﱠﻢ ِﻋَﻠَ ْﻴﻪ ُﺍﷲ ﺻَﻠّﻰ ﺍﷲ ﻮﻝ ُﺭَﺳ َﺍﻥﱠ ﻋَﻨْﻬَﺎ َﺍﷲ َﺭَﺿِﻲ َﺷﺔ َ ِﻋَﺎء ْﻋﻦ َ ﺣَﺘﱠﻰ ﻟﺼﱠﺒِﻲ ِﻋﻦ َ َﻭ َﺃ َﻳَﺒْﺮ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﻠَﻰ ِﻋﻦ َ َﻭ َﻳَﺴْﺘَﻴْﻘِﻆ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟﻨﱠﺎءِﻡ ِﻋﻦ َ ٍ َﺛﺔ َﺛَﻼ ْﻋﻦ َ 6 . َﻳَﻜْﺒُﺮ Tidak akan dianggap (dosa terhadap tindakan dari) tiga orang yakni, orang yang tertidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia bermimpi senggama (dewasa), dan orang gila sampai ia waras.
Menurut hadis| ini, perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa dimaafkan. Ketentuan ini bukan berarti meniadakan hukuman bagi anak yang masih di bawah umur, akan tetapi istilah hukuman yang ada bukan berarti hukuman pokok layaknya yang dibebankan kepada orang dewasa, namun hanya sebatas peringatan atau teguran keras akan perbuatannya yang telah melakukan kesalahan dan merugikan orang lain. Meskipun pada dasarnya ancaman hukuman yang seharusnya dibebankan pada pelaku tindak pidana tersebut adalah hukuman h}aa>d, seperti pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh tersangka pada kasus yang tersebut dalam skripsi ini. Hal ini jelas berbeda dengan hukum pidana umum, hukuman dalam pidana Islam benarbenar memberikan perlindungan kepada pelaku tindak pidana yang masih di bawah umur, alasannya ialah karena anak kecil bukanlah orang
6
Abu Daud sulaima>n bin alAsy’a>b bin Ishaq bin Basyi>r bin Syada>d bin ‘Amr alAzdiy al Sijistaniy, Sunan Abi Daud, Juz 4, Hadits Nomor 3498, (Beirut: Maktabah al‘As}riyyah, tt), 139
95
yang pantas menerima hukuman, ia masih belum bisa menentukan pilihan sendiri. Hukuman yang dibebankan hanya sebatas hukuman yang mendidik saja. Yang mana bisa dilakukan dengan cara menitipkannnya di panti rehabilitasi atau panti asuhan. Namun, sepenuhnya hukuman bagi anak di bawah umur tidak terdapat ketentuan secara pasti, hukuman mendidik dalam Islam diserahkan ketentuannya kepada penguasa setempat. Hukum pidana Islam (fikih jina>yah}) tidak menyebutkan hukuman kumulatif secara eksplisit, hanya saja hukuman kumulatif dalam pidana Islam disebutkan sebagai gabungan hukuman. Gabungan hukuman ialah serangkaian sanksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah secara berulangulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan lainnya belum mendapatkan putusan terakhir. 7 Rupanya gabungan hukuman disini dikarenakan menitikberatkan pada jenis pengulangan pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, bukan satu pidana yang mendapatkan dua hukuman seperti dalam hukum pidana umum. Jika melihat hukuman yang diterima oleh terdakwa yaitu hukuman kumulatif berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, dan denda sebesar Rp. 60.000.000, seperti yang ditentukan dalam hukum pidana umum tidak dijatuhkan, karena bisa dipastikan bahwa hukuman tersebut sangat kontras dengan ketentuan hukuman yang ada di dalam hukum pidana Islam. Islam 7
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam, 117
96
sangat longgar dalam memberikan hukuman, hanya satu hukuman yang ia dapatkan, hal tersebut juga merupakan hukuman yang mendidiknya dengan ketentuan waktu yang ditentukan, jadi tidak menghambat perkembangan pendidikannya. Hukuman yang semacam inilah yang kiranya pantas untuk diterapkan bagi anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, ia harus lebih banyak belajar dari semua kesalahankesalahannya, memperbaiki dirinya dengan sepenuhnya mendekatkan dirinya pada Allah SWT yang maha mengampuninnya dengan sungguhsungguh bertaubat dan berperilaku baik.