SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (STUDI PUTUSAN No. 001/Pid.B/2013/PN.Mrs)
OLEH : MUH. ADY SURIADY PUTRA B111 09 393
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS HUKUM BAGIAN HUKUM PIDANA MAKASSAR 2014
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (STUDI KASUS PUTUSAN NO.001/Pid.B/2013/PN.Mrs)
SKRIPSI
Oleh
MUH. ADY SURIADY PUTRA B 111 09 393
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ABSTRAK
MUH. ADY SURIADY PUTRA (B111 09 393), “Tinjauan Yuridis Terhadap tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs), (Dibimbing Oleh Syamsuddin Muchtar Selaku Pembimbing I dan Abd. Asis Selaku Pembimbing II)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maros dengan memilih instansi yang terkait dengan perkara ini, yakni penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Maros. Metode Pengumpulan data yang digunakan adalah metode Kepustakaan dan Metode Wawancara, kemudian data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwaL 1) Putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHPidana yaitu Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian sudah tepat. Hal tersebut sejalan dengan dakwaan Subsidair Penuntut Umum dan telah berdasarkan pada fakta yang terungkap dipersidangan serta alat bukti yang sah. Dakwaan Penuntut Umum pada perkara Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs ini berbentuk dakwaan Primair yaitu, dakwaan melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHPidana. 2) Majelis hakim Pengadilan Negeri Maros dalam pertimbangannya masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan, terutama dalam pertimbangan subyektifnya yaitu pada pertimbangan halhal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Majelis Hakim menjatuhkan pidana 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan penjara kurungan seluruhnya dari masa penahanan yang telah dijalani terdakwa. Sanksi ini lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu 4 (empat) tahun penjara kurungan seluruhnya dari masa penahanan yang dijalani terdakwa.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, yang telah memberikan Penulis kesehatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Shalawat dan salam tidak lupa Penulis ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, Nabi termulia yang telah menunjukkan jalan keselamatan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Semoga Allah SWT menjadikan keluarga dan para sahabat beliau yang senantiasa menjaga amanah sebagai umat pilihan dan ahli surga. Terselesaikannya penelitian dan penyusunan skripsi tidak terlepas dari jasajasa orang tercinta yaitu kedua orang tua Penulis yakni, Ayahanda DRS. MUH. HATTA ARIS dan Ibunda tercinta DRA. NAIMA yang senantiasa selalu memberikan penulis
kasih
sayang,
nasehat,
perhatian,
bimbingan,
dan
selalu
setia
mendengarkan segala keluhan Penulis serta doanya demi keberhasilan Penulis. Atas jasa-jasa yang tak ternilai dari Ayahanda dan Ibunda tercinta, Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih dengan segala ketulusan hati. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara saya yakni MUH. ANDYS PUTRA ABADI dan MUH. AGUNG TRIADY PUTRA dan keluarga besar lainnya terima kasih atas segala doa, perhatian, dan kasih sayang yang diberikan kepada Penulis selama ini.
vi
Melalui kesempatan ini juga, Penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang sangat berjasa selama proses penulisan Skripsi hingga tahap penyempurnaan skripsi Penulis. Untuk itu penghargaan dan ucapan terima kasih Penulis kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.B., Sp.BO., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, beserta Staf dan jajarannya. 2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Bapak Dr. Anshory Ilyas, S.H., M.H. dan Bapak Romi Librayanto, S.H., M.H. masing-masing selaku Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 3. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku
Pembimbing I dan
Bapak Abd. Asis, S.H., M.H. selaku pembimbing II, terima kasih untuk saran, petunjuk, serta bimbingannya kepada Penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Syukri Akub, S.H., M.H., Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., dan Ibu Hijrah Adhyanti, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Penulis, terima kasih atas masukan yang diberikan. 5. Ibu Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.H. selaku ketua bagian Hukum Pidana dan Ibu Nur Asizah, S.H., M.H. selaku sekretaris bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. penulis, terima kasih atas semua nasehat, petunjuk, dan arahan selama proses perkuliahan. 6. Kak Riza selaku Dosen Pembimbing Lapangan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Gelombang 82 Lokasi Desa Labuku, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
vii
7. Bapak/ Ibu Pegawai Akademik atas bantuan dan fasilitas yang
telah di
berikan. Terutama Pak Bunga Lintin, Terima Kasih atas kesabarannya memberi bantuan kepada penulis 8. Teman-teman seperjuangan dan teman-teman KKN Gelombang 82 Desa Labuku, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang : Zammil, Cipet, Uchu, Yusril, Bunga, Fira dan Mega teman-teman yang lain yang tidak penulis sebutkan namanya terima kasih banyak atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya. 9. Kepala Pengadilan Negeri Maros, terima kasih atas kesempatan dan petunjuk yang diberikan kepada Penulis dalam melakukan penelitian. 10. Terima kasih kepada Panitera pengganti Ibu Kamariah, S.H., M.H. atas fasilitas yang diberikan selama penulis melakukan penelitian. 11. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Doktrin Angkatan 09, teman-teman seperjuangan saya, Sandy Putra. S.H., Ade Candra, S.H., Adri Pribadi, S.H., Agus Suryo, S.H., Immanuel Alexader, S.H., Apriyadi, S.H., Abd. Azis, S.H., Cakra, S.H., Mury Alfandy, S.H., Fidya Ramadhani, S.H., Gerald, S.H., Rahadian G.P, S.H., Imamul Akbar, S.H., Indra Pradana, S.H., Ishaq Issadin, S.H., Safwan Bahar, S.H., Rieka Elvira, S.H., Rudy Hartono, S.H., Nur Saddam, S.H., Satri Mustaka, S.H., Unirsal, S.H., Wahyu Rasyid, S.H., Asnawi, S.H., Sari, S.H., Halil, S.H. dan teman-teman lain yang tidak sempat penulis sebutkan namanya terima kasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 12. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Akuntansi Angkatan 2008, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Ibu Dr. Salmah, M.M., Pak Jamal S.E, Rusdi, S.E., Agus, S.E., Ana, S.E.,
viii
Angelina, S.E., Bahri, S.E., Cheizt, S.E., Cici, S.E, Dadang, S.E., Deby, S.E., Farida, S.E., Fatul, S.E., Imelda, S.E., Irma, S.E., Jumardi, S.E., Kiki, S.E., Nono, S.E., Nunu, S.E., Oddang, S.E., Tyut, S.E., Sari, S.E., Uccang, S.E dan teman-teman lainnya yang tidak sempat penulis sebutkan, terima kasih atas dukungannya. 13. Teman-teman saya di Stiem Bongaya Makassar, terima kasih. 14. Teman-teman Couch Surfing Makassar : kak ira, k’kurni, kak zul, kak enab, kak edhy, kak bora, kak tony, kak asri, kak roy, kak anwar, bung aris, bung arif, ucok,
rudy, cakra, ina, caca, eka, isnan, navela, pitbul, dian, wirdan, dan
teman-teman lain yang tidak sempat penulis sebutkan namanya terima kasih atas petualangan, bantuan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 15. Terima Kasih kepada teman-teman IMAI Simpul Sulawesi Selatan : Fahrul, Kurni, Roby,
Desvi, Pardi, Iis, Jakbar, Novi dan teman yang penulis tidak
sempat sebutkan namanya terima kasih atas semngat dan dukungannya. Terutama Sitti Muthia, terima kasih atas kasih sayang kepada saya. 16. Terima kasih juga kepada kak Ama, kak Diyah, kak Iyang, kak Ida, kak Ina, dan kak Imma. Terima kasih atas dukungan dan bimbingannya. Atas segala bantuan, kerja sama, uluran tangan yang telah diberikan dengan ikhlas hati kepada Penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya Skripsi ini, tak ada kata yang dapat terucapkan selain terima kasih. Semoga amal kebajikan yang telah disumbangkan dapat diterima dan memperoleh balasan yang lebih baik dari Sang Maha Sempurna Pemilik Segalanya, Allah SWT. Amin. Akhir kata, meskipun telah bekerja dengan maksimal, mungkin skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan sehingga mengharapkan adanya kritik dan
ix
saran dari semua pihak agar menjadi bahan pelajaran bagi Penulis. kiranya Skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Amin. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Makassar, Mei 2014
Muh. Ady Suriady Putra
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................
i
PENGESAHAN SKRIPSI ...............................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ............................
iv
ABSTRAK ......................................................................................
v
KATA PENGANTAR ......................................................................
vi
DARTAR ISI ...................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D.
Latar Belakang ..................................................................... Rumusan Masalah ............................................................... Tujuan Penelitian ................................................................. Kegunaan Penelitian ............................................................
1 5 6 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana dan Unsur-unsurnya 1. Pengertian Tindak Pidana .............................................. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana ............................................
7 9
B. Penganiayaan 1. Pengertian Penganiayaan .............................................. 2. Unsur-unsur Penganiayaan ............................................ 3. Jenis-jenis Penganiayaan ...............................................
10 11 12
C. Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian 1. Unsur-unsur Penganiayaan Biasa yang Mengakibatkan Kematian.......................................................................... 2. Perbedaan Penganiayaan Biasa dengan Penganiayaan Biasa yang Mengakibatkan Kematian ............................. D. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ............................... 2. Teori dan Tujuan Pemidanaan......................................... 3. Jenis-jenis Pidana ...........................................................
15 15
16 18 19
xi
E. Pertimbangan Hakim 1. Pertimbangan Yuridis ..................................................... 2. Pertimbangan Sosiologis ................................................
25 32
BAB III METODE PENELITIAN A. B. C. D.
Lokasi Penelitian .................................................................. Jenis dan Sumber Data......................................................... Teknik Pengumpulan Data ................................................... Analis Data ...........................................................................
34 34 35 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs 1. Posisi Kasus ................................................................... 36 2. Dakwaan Penuntut Umum .............................................. 37 3. Tuntutan Penuntut Umum ............................................... 41 4. Amar Putusan hakim ...................................................... 42 5. Analisis Penulis ............................................................... 43 B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Berat Dalam Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs 1. Pertimbangan Fakta dan Hukum Hakim ......................... 50 2. Pertimbangan Subjektif Hakim ........................................ 54 3. Analisis Penulis ............................................................... 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kesimpulan .......................................................................... B. Saran ...................................................................................
59 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
61
LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara hukum (rechstaat) dimana mengutamakan hukum di atas segalanya dalam kehidupan bernegara, salah satu usahanya adalah dengan melaksanakan pembangunan dibidang hukum untuk mewujudkan suatu keadilan, kepastian hukum, ketertiban serta masyarakat yang sadar dan taat
hukum. Upaya
menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (Selanjutnya disingkat UUD NKRI 1945) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik normanorma hukum atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang profesional, berintegritas dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat.
1
Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (regelen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi
hukum.
Setiap
hubungan
kemasyarakatan
tidak
boleh
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Konsekuensinya adalah peraturanperaturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan yang ada dan hidup dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturanperaturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat. Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat. Dalam penegakan hukum, haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan pada Alinea keempat Pembukaan UUD NKRI 1945 yaitu,melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan zaman yang sudah mendunia. Dimana perkembangan yang terjadi sudah mulai merambah banyak aspek kehidupan. Perkembangan zaman sekarang ini tidak hanya membawa pengaruh besar pada negara, melainkan juga berdampak pada mobilitas kehidupan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini yang semakin terpuruk, tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja namun juga berdampak pada krisis moral. Terjadinya
peningkatan
kepadatan
penduduk,
jumlah
pengangguran yang semakin bertambah, didukung dengan angka kemiskinan
yang
tinggi
mengakibatkan
seseorang
dapat
berbuat
kejahatan. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya yang menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas di negara ini. Kejahatan-kejahatan semakin hari semakin merajalela terjadi dikalangan masyarakat, hal ini tidaklah bisa dipungkiri keberadaannya. Tentu saja kejahatan-kejahatan yang sering terjadi dimasyarakat sangat mengganggu keamanan, sehingga sangatlah diperlukan adanya tindakan untuk menindak pelaku kejahatan tersebut, suatu misal kejahatan yang sering terjadi dan tidak asing lagi dimasyarakat yaitu penganiayaan, baik itu berupa penganiayaan ringan ataupun penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat bahkan berujung pada kematian.
3
Tindak
pidana
berupa
penganiayaan
yang
mengakibatkan
kematian atau luka seseorang baik karena secara sengaja atau karena kesalahan dan kelalaian ini telah menyebabkan keresahan dalam masyarakat.
Untuk
itu,
dalam
mewujudkan
ketenteraman
dan
kesejahteraan masyarakat, dalam maksud menikmati kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum yang berintikan pada keadilan dan kebenaran, negara telah menciptakan aturan-aturan hukum dan sanksi-sanksi bagi para pelakunya sesuai dengan bentuk kejahatan yang telah diperbuatnya, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disingkat KUHPidana). Akhir-akhir ini, hampir setiap hari terdengar tindak pidana penganiayaan. Tindakan ini telah menyebabkan keresahan dalam lingkungan masyarakat. Penganiayaan sering terjadi hanya karena masalah sepele, misalnya hanya karena bersenggolan di jalan atau hanya karena tersinggung dengan perkataan seseorang. Sering juga terjadi karena dendam lama yang memotivasi pelaku untuk melakukan penganiayaan terhadap seseorang. Penganiayaan adalah tindak pidana yang paling sering dan paling mudah terjadi dimasyarakat. Mengingat tindak pidana penganiayaan ini sudah merajalela dan sering terjadi, bahkan tidak sedikit menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, maka dari itu tuntutan agar dijatuhkannya sanksi
kepada
pelaku
penganiayaan
harus
betul-betul
mampu
memberikan efek jera bagi si pelaku. Dengan tindakan tegas aparat
4
penegak hukum dalam memberikan sanksi bagi para pelaku, diharapkan mampu mengurangi angka kriminalitas yang terjadi di negara tercinta kita ini, khususnya tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana lainnya. Tindak pidana penganiayaan yang senantiasa dihadapi oleh masyarakat tidak mungkin dapat dihapuskan sampai tuntas selama kehidupan berjalan, jadi usaha yang harus dilakukan oleh manusia dalam menghadapi kejahatan haruslah bersifat penanggulangan, yang berarti bahwa usaha itu bertujuan untuk mengurangi terjadinya kejahatan. Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji sebagai bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Studi Putusan Nomor 01/Pid. B/2013/PN.Mrs). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis dapat mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana meteriil terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian ? 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan
kematian
dalam
Putusan
Nomor
01/Pid.B/2013/PN.Mrs?
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian yaitu: 1. Untuk mengetahui
penerapan hukum pidana materil terhadap
tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan
kematian
dalam
Putusan
Nomor
01/Pid.B/2013/PN.Mrs. D. Kegunaan penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini yaitu : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan juga yang memiliki minat melakukan penelitian tentang tindak pidana penganiayaan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terhadap pembangunan dibidang hukum dan kesadaran hukum masyarakat pada umumnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana dan Unsur-unsurnya 1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Lamintang (1997:181) mengemukakan bahwa : Pembentukan Undang-undang (selanjutnya disebut uu) telah menggunakan perkataan "strafbaar feit' untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai "tindak pidana" di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan "straafbaar teit" tersebut. Perkataan "feif itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti "perbuatan" sedangkan "strafbaar" berarti "dapat dihukum", sehingga secara harfiah perkataan "strafbaar faif' dapat diteriemahkan sebagai "sebagian dari suatu perbuatan yang dapat dihukum" Selanjutnya Pompe (Lamintang, 1997: 182), perkataan "strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjalinnya kepentingan hukum. Menurut Wirjono (2008:58) mengemukakan bahwa pengertian tindak pidana adalah “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana”
Menurut Simons (Erdianto Effendi, 2011: 98), mengemukakan bahwa pengertian tindak pidana adalah “Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan 7
hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab”. Lebih lanjut menurut Kanter dan Sianturi (Erdianto Effendi, 2011:99), memberikan pengertian tindak pidana: Tindak pidana ialah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (mampu bertanggung jawab). Sementara menurut Moeljatno (2009: 59), mengemukakan bahwa perbuatan pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang mana perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana. Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act,ada dasar pokok, yaitu “asas legalitas” (Principle of legality). Ucapan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Pravia Lege Prorit (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu) berasal dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Menurut von Feurbach (Moeljatno, 2009: 27), asas legalitas mengandung tiga unsur yaitu: 8
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, dan c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Para ahli/sarjana hukum mempunyai pandangan masing-masing mengenai unsur-unsur dari tindak pidana. Berikut unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Cristhine dan Cansil (2007: 38), mengemukakan bahwa : Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan). Selanjutnya Satochid Kartanegara (Leden Marpaung, 2005: 10) mengemukakan bahwa: Unsur delik terdiri dari atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu, suatu tindakan, suatu akibat, dan keadaan (omstandigheid). Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan berupa kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid), dan kesalahan. Selanjutnya Simons (Andi Hamzah, 2004: 88), merumuskan unsur-unsur tindak pidana : a. b. c. d.
Diancam pidana oleh hukum; Bertentangan dengan hukum; Dilakukan oleh orang yang bersalah, dan Orang itu dipandang dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Selanjutnya Lamintang (1992:173) yang merumuskan pokok-
pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. “Wederrechtjek (melanggar
9
hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum)” B.
Penganiyaan
1.
Pengertian Penganiayaan Menurut Arrest Hoge Raad W.6336 (Lamintang, 2012: 132),
bahwa Yang dimaksud dengan penganiayaan itu adalah “kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain”. Selanjutnya W.J.S. Poerwadarminta (1987: 481), mengemukakan bahwa : Penganiyaan berasal dari kata aniaya yang berarti melakukan perbuatan sewenang-wenang seperti melakukan penyiksaan dan penindasan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka penganiayaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat mengakibatkan orang lain menderita atau merasakan sakit. Selanjutnya Mr. M.H Tirtaatmidjaja (Leden Marpaung, 2005: 5), mengemukakan bahwa : Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidaklah dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu bertujuan untuk menambah kesehatan badan. Selanjutnya R. Soesilo (1996: 245), mengemukakan bahwa pengertian penganiayaan : Perasaan tidak enak misalnya mendorong terjun jatuh sekali sehingga basah, rasa sakit misalnya mencubit, memukul, dan merampas. Luka misalnya mengiris, memotong, merusak dengan pisau dan merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibukakan kamarnya sehingga menyebabkan ia masuk angin, kesemua ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak ada maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.
10
Selanjutnya menurut Andi Hamzah (2009: 69), mengemukakan bahwa : Dengan sengaja merusak kesehatan orang. Kalau demikian, maka penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini. Penganiayaan bisa berupa pemukulan, penjebakan, pengirisan, membiarkan anak kelaparan, memberikan zat, luka, dan cacat. Dalam putusan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung Hindia Belanda) 24 Januari 1923, T 119, 212, seorang dokter yang melakukan operasi untuk melakukan pengirisan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tidaklah dipidana, karena dilakukan untuk penyembuhan pasien. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penganiayaan ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan dengan maksud untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain ataupun merugikan kesehatan orang lain. 2.
Unsur-Unsur Penganiayaan Menurut Buku II KUHPidana Bab XX yang mengatur tentang
tindak pidana penganiayaan yakni Pasal 351 KUHP yang berbunyi: 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiyaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
11
Selanjutnya Adami Chazawi (2001: 12), mengemukakan unsurunsur penganiayaan : a) Adanya kesengajaan; b) Adanya perbuatan, dan c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu: 1) Rasa sakit pada tubuh, dan 2) Luka pada tubuh. d) Akibat mana menjadi tujuan satu-satunya. Unsur a dan d adalah bersifat subjektif. Sedangkan unsur b dan c bersifat objektif. Walaupun unsur-unsur itu tidak ada dalam rumusan Pasal 351, akan tetapi harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam persidangan. 3.
Jenis-Jenis Penganiayaan Berdasarkan Buku II KUHPidana Bab XX yang mengatur tentang
tindak pidana penganiayaan yaitu mulai dariPasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHPidana, maka jenis penganiayaan dapat diklasifikasikan atas 5 (lima) jenis yaitu: a. Penganiayaan biasa Jenis penganiayaan biasa ini diatur dalam Pasal 351 KUHPidana yang berbunyi : (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4500,- (empat ribu lima ratus rupiah). (2) Jika perbuatan itu menjadikan luka-luka berat, si tersalah dihukum selama-lamanya 5 (lima) tahun. (3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. 12
b. Penganiayaan ringan Jenis penganiayaan ringan ini diatur dalam Pasal 352 KUHPidana, yang berbunyi : (1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 KUHPidana dan 356 KUHPidana, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk tidak melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (empat ribu lima ratus rupiah. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiga, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya. (2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. c. Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu Jenis penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu ini diatur dalam Pasal 353 KUHPidana, yang berbunyi: (1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. (2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. (3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. d. Penganiayaan berat Jenis penganiayaan berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHPidana, yang berbunyi: (1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena penganiayaan berat, dengan hukuman penjara selamalamanya 8 (delapan) tahun. (2) Jika perbuatan menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.
13
Adapun pada Pasal 90 merumuskan tentang macamnya luka berat, yaitu: (1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut. (2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. (3) Kehilangan salah satu pancaindera. (4) Mendapat cacat berat. (5) Menderita sakit lumpuh. (6) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu atau lebih. (7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. e. Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu ini diatur dalam Pasal 355 KUHPidana, yang berbunyi : (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamnaya 12 (dua belas) tahun. (2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum selama-lamnya 15 (lima belas) tahun. f. Penganiayaan
dengan
cara
dan
terhadap
orang-orang
yang
berkualitastertentu yang memberatkan. Bentuk penganiayaan yang tercantum dalam Pasal 356 KUHP, yang berbunyi : Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 352, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga : (1) Bagi yang melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya) atau anaknya. (2) Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pejabat pada waktu atau sebab ia menjalankan pekerjaan yang sah. (3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau kesehatan orang.
14
C. Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian 1. Unsur-unsur Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian Penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHPidana. Unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHPidana mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok yang sama yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHPidana, yaitu rumusannya “jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Unsur-unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yaitu : - Unsur kesengajaan; - Unsur perbuatan; dan - Unsur akibat perbuatan berupa kematian. 2. Perbedaan Penganiayaan Biasa dengan Penganiayaan Biasa yang Mengakibatkan Kematian Secara substansial, perbedaan antara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dengan penganiayaan biasa adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada penganiayaan biasa yang diatur dalam
15
Pasal 351 ayat (1) KUHPidana akibat yang timbul hanyalah rasa sakit atau
luka
pada
tubuh,
sedangkan
penganiayaan
biasa
yang
mengakibatkan kematian dalam Pasal 353 ayat (3) KUHPidana akibat yang timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan tujuan si pelaku. Dalam
tindak
pidana
penganiayaan
yang
mengakibatkan
kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja. Sekalipun akibat berupa matinya orang tersebut dalam Pasal 351 ayat (3) KUHPidana bukan merupakan akibat yang dikehendaki, namun akibat kematian tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat kematian itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku. Dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan akibat yang ditimbulkan (berupa kematian) harus ada hubungan kausalitas. Dalam hal ini, untuk membuktikan
hubungan
kausalitas
antara
penganiayaan
dengan
meninggalnya korban. D. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal dengan satu istilah
16
umum untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. Menurut Van Hamel (P.A.F Lamintang, 1984: 47), mengemukakan bahwa: Arti dari pidana itu adalah straf menurut hukum positif dewasa ini, adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang harus ditegakkan oleh negara. Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi Arief (Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih, 2010:12), menyimpulkan bahwa pidana mengandung unsurunsur atau ciri-ciri sebagai berikut: a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Adapun pengertian pemidanaan adalah tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
17
Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa melalui putusannya. Mengenai pengertian pemidanaan, Sudarto (M. Taufik Makarao, 2005: 16), mengemukakan : Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata. Istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. 2.
Teori dan Tujuan Pemidanaan Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana
menurut Antonius Sudirman (2009: 107-112), yaitu : a. Teori absolut atau teori pembalasan, yakni teori yang memandang bahwa setiap kejahatan haruslah diikuti dengan pidana. b. Teori relatif atau teori tujuan yakni teori yang memandang suatu kejahatan yang dilakukan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana atau hukuman. c. Teori gabungan (Verenigings-Theorien), yakni teori yang memandang bahwasanya pidana merupakan suatu cara untuk memperoleh keadilan absolut, dimana selain bermuatan pembalasan bagi si pelaku kejahatan, sekaligus mencegah masyarakat lain sebagai pelaku kejahatan Namun demikian, satu hal yang senantiasa harus diingat adalah bahwa penjatuhan pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Walaupun pemidanaan pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata, tetapi perampasan HAM seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana haruslah dimaksudkan dengan tujuan yang lebih
18
baik,
yaitu
memperbaiki
si
terpidana
dan
memulihkan
keadaan
masyarakat serta harus dilakukan dengan patokan, standar dan prosedur yang ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian sifat pelanggaran HAM-nya menjadi hilang. Menurut Erdianto Effendi (2011: 141), pemidanaan mempunyai tujuan ganda, yaitu: a. Tujuan perlindungan masyarakat, untuk merehabilitasi dan meresosialisasikan si terpidana, mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana (reaksi adat) sehingga konflik yang ada dapat selesai; b. Tujuan yang bersifat spiritual Pancasila yaitu bahwa pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan dan dilarang untuk merendahkan martabat manusia. 3.
Jenis-Jenis Pidana Dalam Pasal 10 KUHPidana, jenis-jenis pidana digolongkan
menjadi dua, yaitu: 1. Pidana pokok : a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana tutupan. 2. Pidana tambahan : a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim. Untuk satu kejahatan atau pelanggaran, hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, namun dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang, dapat pula ditambah dengan salah satu dari pidana tambahan.
19
a. Pidana pokok Berikut jenis-jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHPidana, yaitu : 1) Pidana mati Menurut Wirjono Prodjodikoro (2009: 175) mengemukakan bahwa: Tujuan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar dengan ancaman hukuman mati, masyarakat akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubung dengan inilah pada zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum. Hukuman pidana mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden (Selanjutnya disingkat PP) Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1946 dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa bangsa Indonesia, dimana pada saat sebelum adanya PP No. 2 Thn. 1964 yang berlaku adalah hukuman gantung. Dalam Pasal 1 PP No. 2 Thn. 1964 ini, secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, baik di lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
20
2) Pidana penjara Menurut P.A.F. Lamintang (Amir Ilyas, 2012:110), mengemukakan bahwa: Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk dipilih dan memilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik dan lain-lain. 3) Pidana kurungan Hal-hal yang diancamkan dengan pidana kurungan adalah delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran. Niniek Suparni (2007: 23), mengemukakan bahwa : Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. 4) Pidana denda Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda oleh hakim/pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.Pidana denda ini dapat ditanggung oleh orang lain selama
21
pelaku delik terpidana. Oleh karena itu, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. Apabila terpidana tidak membayar uang denda yang telah diputuskan, maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan, Pasal 30 ayat (2) KUHPidana) sebagai pengganti dari pidana denda. b. Pidana tambahan Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus. Dengan kata lain, pidana tambahan hanyalah aksesoris yang mengikut pada pidana pokok. Yang termasuk kedalam jenis pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. 1) Pencabutan hak-hak tertentu Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHPidana, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah: 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
22
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. 2) Perampasan barang tertentu Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya pidana denda. Jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, yaitu barang yang diperoleh dari hasil kejahatan dan barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHPidana yaitu: (1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. (2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang. (3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. 3) Pengumuman putusan hakim Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHPidana, yang berbunyi : Apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana. 23
Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas dirumuskan atau ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu, misalnya Pasal 128, Pasal 206, Pasal 361, Pasal 377, Pasal 395, dan Pasal 405 KUHPidana. E. Pertimbangan Hakim Berbicara mengenai pertimbangan hakim artinya kita tidak lepas dari
pembicaraan
mengenai
pendekatan-pendekatan
hukum
yang
digunakan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Ketika hakim cendrung ekstrim hanya menggunakan satu jenis pendekatan saja, apakah itu pendekatan normatif, atau pendekatan empiris dan atau pendekatan filsufis saja, maka akan menghasilkan putusan yang menurut saya tidak adil. Ketiga jenis pendekatan ini oleh hakim, harusnya digunakan
secara
bersama-sama
dan
proporsional
sehingga
menghasilkan putusan yang proporsional pula. Menurut Achmad Ali (2009 :178), ketiga jenis pendekatan itu ialah: a. Pendekatan normative, yakni pendekatan yang memfokuskan kajiannya dengan memendang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi seperangkat asas-asas hukum, normanorma hukum, dan aturan-aturan hukum (tertulis maupun tidak tertulis). b. Pendakatan empiris atau legal impirical yakni pendekatan yang memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas, seperangkat tindakan, dan seperangkat perilaku. c. Pendekatan filsufis yakni pendekatan filsufis yang memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat nilainilai moral serta ide-ide yang abstrak, diantaranya kajian tentang moral keadilan.
24
Penulis membagi ketiga pendekatan di atas, kedalam dua kelompok besar yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis, yaitu sebagai berikut: 1.
Pertimbangan Yuridis Pertimbangan
yuridis
adalah
pertimbangan
hakim
yang
memendang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum. a. Dasar-dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana Dasar-dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana terhadap si pembuat
dalam
undang-undang
terbagi
atas
dua
yaitu,
dasar
pemberatanpidana umum dan dasar pemberatan pidana khusus. Berikut akan Penulis akan uraikan satu persatu. 1) Dasar pemberatan pidana umum Mengenai dasar pemberatan pidana umum ada beberapa hal, yaitu pemberatan pidana karena jabatan diatur dalam Pasal 52 KUHPidana, menggunakan sarana bendera kebangsaan diatur dalam Pasal 52 ayat (1) KUHPidana, dan recidive (pengulangan tindak pidana). Berikut akan diuraikan satu persatu mengenai hal-hal yang menjadi tentang dasar pemberatan pidana umum, yaitu : a) Dasar pemberatan pidana karena jabatan Pemberatan karena jabatan diatur dalam Pasal 52 KUHPidana yang berbunyi :
25
Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga. b) Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan Jenis pemberatan ini diatur dalam Pasal 52 ayat (1) KUHPidana yang rumusannya adalah Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga. c) Recidive (pengulangan tindak pidana) Mengenai pengulangan ini, KUHPidana mengatur sebagai berikut: Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangan. Pengulangan hanya terbatas pada tindak-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487,dan Pasal 488 KUHPidana. Kedua, diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHPidana juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2), dan Pasal 501 ayat (2) KUHPidana. Menurut Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHPidana, pemberatan pidana adalah dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimun pidana penjara yang diancamkan pada kejahatan yang bersangkutan. Sedangkan pada recidive yang ditentukan lain di luar kelompok tindak pidana yang termasuk dan disebut dalam ke 3 (tiga) 26
pasal ini adalah juga yang diperberat dapat ditambah dengan sepertiga dari ancaman maksimun, tetapi banyak yang tidak menyebut “dapat ditambah dengan sepertiga”, melainkan diperberat dengan menambah lamanya saja. d) Dasar pemberatan pidana karena perbarengan (concursus) Ada 3 (tiga) bentuk concursus yang dikenal dalam hukum pidana, yaitu
concursus
idealis,
concursus
realis,
dan
Delictum
Continuatum/Voortgezettehandeling. Ketiga bentuk concursus itu adalah sebagai berikut: (1) Concursus idealis(perbarengan peraturan) Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan, yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Dalam KUHPidana Bab II Pasal 63 tentang perbarengan disebutkan: i.
ii.
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
27
(2) Concursus realis(perbarengan perbuatan) Concursus realis atau gabungan beberapa perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana. Concursus realis ini diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHPidana. Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: i. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. ii. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiaptiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. iii. Apabila berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. iv. Apabila berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 352 (penganiayaan ringan), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan. (3) Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling (perbuatan berlanjut) Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHPidana. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van
28
Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah: (a) Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan; (b) Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya; dan (c) Tenggang waktu diantara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 64 ayat (2) KUHPidana merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) KUHPidana merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal373 (penggelapan ringan), dan Pasal 407 ayat (1) (pengrusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. 2) Dasar pemberatan pidana khusus Maksud diperberatnya pidana pada dasar pemberatan pidana khusus ini adalah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimun pada tindak pidana yang bersangkutan. Disebut dasar pemberatan pidana khusus, karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan alasan pemberatan, dan tidak berlaku pada tindak pidana lain.
29
Mencantumkan atau meletakkan unsur pemberat khusus dari bentuk pokok suatu jenis tindak pidana, dilakukan denga beberapa cara. Misalnya, dengan mencantumkan dalam satu pasal dari rumusan bentuk pokoknya, tetapi pada ayat yang berbeda. Contohnya, penganiayaan pada Pasal 351 KUHPidana, bentuk pokoknya dirumuskan pada ayat (1), unsur pemberatnya mengenai akibat luka berat dan kematian yang dirumuskan pada ayat (2) dan ayat (3) KUHPidana. Kemudian ada juga dengan mencantumkan pada pasal diluar pasal atau yang lain dari rumusan bentuk pokoknya. Contohnya, penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai benda karena hubungan kerja pencarian atau karena mendapat upah khusus untuk itu Pasal 374 KUHPidana. Ada juga dengan cara menyebutkan dasar pemberatan itu dalam pasal lain diluar pasal mengenai jenis tindak pidana yang sama. Misalnya pada dasar pemberatan pidana kejahatan pemerasan menurut pasal 368 KUHPidana masuk dalam Bab XXIII dengan menunjuk berlakunya dasar pemberat pada Pasal 365 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 368 ayat (2) dalam Bab XXIII KUHPidana. b. Dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya pidana Dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuat dalam undang-undang terbagi atas dua yaitu: 1) Dasar diperingannya pidana umum, dan 2) Dasar diperingannya pidana khusus.
30
a) Dasar diperingannya pidana umum Mengenai dasar diperingannya pidana umum ada beberapa hal yaitu berdasarkan KUHPidana, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, perihal percobaan, dan pembantuan kejahatan.Penulis akan uraikan satu persatu hal-hal yang menjadi perihal diperingannya pidana umum, yaitu : (a) Berdasarkan KUHPidana Bab III Buku I KUHPidana mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana. Tentang halhal yang meringankan pidana diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHPidana. Akan tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maka ketiga pasal tersebut tidak berlaku lagi. (b) Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak Menurut
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1997
Tentang
Pengadilan Anak, dasar peringanan pidana umum adalah sebagai berikut: Sebab pembuatnya anak (disebut anak nakal) yang umurnya telah 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak yang belum berusia 8 (delapan) tahun dan melakukan tindak pidana tidak dapat diajukan ke pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan. (c) Perihal percobaan dan pembantuan kejahatan Percobaan dan pembantuan diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (1) KUHPidana. Pidana maksimun terhadap si pembuatnya
31
dikurangi sepertiga dari ancaman maksimun pada kejahatan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena percobaan dan pembantuan adalah suatu ketentuan/aturan umum (yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang) mengenai penjatuhan pidana terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang lain melakukan kejahatan, yang artinya orang yang mencoba itu atau orang yang membantu (pelaku pembantu) tidak mewujudkan suatu tindak pidana tertentu, hanya mengambil sebagian syarat suatu tindak pidana tertentu. b) Dasar diperingannya pidana khusus Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringanan tertentu yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringanan pidana yang bersifat khusus diatur dalam Pasal 308, Pasal 341, dan Pasal 342 KUHPidana. 2.
Pertimbangan Sosiologis Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam memutus suatu perkara hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek yuridisnya saja, tetapi hakim juga harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Dalam hal ini, hakim harus mempertimbangkan rasa
32
keadilan dari sisi pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat. Oleh
karena
itu
dalam
hal
penjatuhan
putusan,
hakim
harus
mempertimbangkan beberapa hal, seperti motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin membuat tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, dan pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pelaku, serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana, terhadap korban atau keluarga. Dengan demikian, diharapakan tercipta putusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak, sehingga masyarakat mempunyai respek dan kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi pengadilan sebagai lembaga peradilan yang mampu mengakomodir para pencari keadilan.
33
BAB III
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka Penulis melakukan penelitian di Kabupaten Maros. Pengumpulan data dan informasi akan dilaksanakan ditempat yang dianggap mempunyai data yang sesuai dengan objek yang diteliti, yaitu di Pengadilan Negeri Maros. B. Jenis dan Sumber Data Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini, maka jenis dan sumber data yang diperlukan adalah: 1. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terhadap responden yang dianggap mengetahui masalah yang dibahas, yaitu hakim. 2. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui pengkajian literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Adapun sumber-sumbernya yaitu buku-buku, majalah, serta dokumen atau arsip yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
34
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan Penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Untuk jenis data primer, Penulis melakukan pengumpulan data dengan metode interview atau wawancara terhadap hakim guna memperoleh data dan informasi yang akurat yang berkaitan dengan pembahasan ini. 2. Untuk data sekunder, Penulis melakukan penelitian studi dokumen dalam bentuk Berita Acara Perkara atau Putusan untuk mencari data tambahan guna menunjang keberhasilan penulisan ini. D. Analisis Data Data yang diperoleh baik secara primer maupun sekunder dianalisis
secara
kualitatif,
dengan
pendekatan
deskriptif
yang
menggambarkan pelaksanaan dalam menilai unsur-unsur penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan berat.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs Hakim dalam memeriksa perkara pidana, berupa mencari dan
membuktikan kebenaran hukum materil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,serta memegang teguh surat dakwaan yang dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sebelum penulis menguraikan tentang penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan
kematian
dalam
putusan
nomor
01/PidB/2013/PN.Mrs, maka perlu diketahui terlebih dahulu posisi kasus, dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan Amar Putusan, yaitu sebagai berikut : 1.
Posisi Kasus Bahwa terdakwa Japing Bin Hamma pada hari selasa 23 Oktober 2012,sekitar jam 19.00 wita dalam bulan oktober 2012, bertempat didepan rumah Lattu bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba Kabupaten Maros dalam daerah hukum Pengedilan Negeri Maros dengan terdakwa Japing bin Hamma dan korbannya adalah Dalle, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa sebelum kejadian didepan rumah Lattu Bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba korban berteriak menyatakan “no manekko mai nasenge alena hurane pettaka” yang artinya turun semua kamu yang merasa laki-laki untuk parangi saya, mendengar suara tersebut Lattu Bin Ruppai masuk kedalam rumah dan mematikan lampu. Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana disebut diatas, terdakwa bertemu dengan Dalle (korban) dimana korban bertanya kepada terdakwa dengan mengatakan “naitu” yang artinya siapa kamu dan terdakwa menjawab dengan mengatakan 36
“iya” artinya saya, tiba-tiba Dalle (korban) langsung mengayunkan perang kearah terdakwa tetapi terdakwa menghindar dan mengambil balok kayu lalu mengayunkan balok kayu tersebut kearah Dalle (korban) sehingga mengenai kepala bagian belakang dan bagian wajah, yang mengakibatkan Dalle (korban) terkapar dengan posisi badan dan wajah menghadap ke tanah kemudian terdakwa meninggalkan Dalle (korban) menuju rumah Subehanna bin Lillahi untuk memberitahukan kejadia tersebut. Bahwa akibat dari perbuatan terdakwa tersebut Dalle (korban) mendapat luka pada tubuhnya dan meninggal dunia, sebagaimana diterangkan dalam visum et repertum dari Puskesmas Camba Kabupaten Maros Nomor: 781/PKM/CB/XI/2012 tanggal 24 Oktober 2012, yang dibuat dan ditanda tangani oleh yang memeriksa yaitu dr. Zaenal dengan hasil pemeriksaan : - Pasien (Dalle) masuk dengan kesadaran menurun; - Luka robek pada kepala sebelah kiri atas kurang lebih empat centimeter, lebar seperdua centimeter; - Luka robek pada dahi kiri dua buah pada masing-masing nol koma lima centimeter; - Haematom pada kelopak sebelah kiri; - Luka gores pada lengan bawah kiri panjang kurang lebih 3 centimeter 2.
Dakwaan Penuntut Umum Surat dakwaan merupakan dasar atau landasan pemeriksaan
perkara dalam sidang di pengadilan. Jaksa Penuntut Umum harus bersikap cermat/teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi kekurangan dan atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan. Jaksa Penuntut umum juga harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak pidana/delik yang didakwakan secara jelas, dalam artian rumusan unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan kata lain uraian unsur-unsur delik yang
dirumuskan
dalam
pasal
yang
didakwakan
harus
dapat
37
dijelaskan/digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh tedakwa. Sehingga dalam uraian unsur-unsur dakwaan dapat diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tidak pidana yang didakwakan tersebut sebagai pelaku (pleger), pelaku peserta(mede pleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu. Dalam
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
yang
(selanjutnya disebut KUHAP), tidak pernah diatur berkenaan dengan bentuk dan susunan dari surat dakwaan. Sehingga dalam praktek hukum, masing-masing penuntut umum dalam menyususn surat dakwaan pada umumnya dipengaruhi oleh strategi dan rasa seni sesuai dengan pengalaman
prakteknya
masing-masing,
namun
demikian
tetap
bersadasarkan pada persyaratan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dalam praktek hukum dikenal beberapa bentuk surat dakwaan yaitu : a. Surat dakwaan tunggal Dalam
surat
dakwaan
tunggal
terhadap
terdakwa
hanya
didakwakan melakukan satu tindak pidana saja yang mana Penuntut Umum merasa yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yangdidakwakan tersebut. Misalnya Pununtut Umum merasa yakin apabila terdakwa telah melakukan perbuatan “penganiayaan
biasa”
sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang
38
Hukum Pidana (Selanjutnya disingkat KUHPidana), maka terdakwa hanya didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHPidana. b. Surat dakwaan subsider Dalam surat dakwaan yang berbentuk subsider didalamnya dirumuskan beberapa tindak pidana secara berlapis dimulai dari delik yang paling berat ancaman pidananya sampai dengan yangpaling ringan. Akan tetapi, sesungguhnya dakwaan terhada dakwaan yang harus dibuktikan didepan sidang pengadilan hanya “satu” dakwaan. Dalam hal ini pembuat dakaan bermaksud agar terdakwa tidak lepas dari jeratan hukum. c.
Surat dakwaan alternatif Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusannya mirip
dengan surat dakwaan subsider, yaituyang didakwakan adalah beberapa delik, tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju dan yang harus dibuktikan hanya satu tindak pidana. Jadi terserah kepada Majelis Hakim tindakan mana yang dinilai telah berhasil dibuktikan didepan pengadilan tanpa terkait pada urutan dari tindak pidana yang didakwakan. Sering terjadi penuntut umum mendapatkan suatu kasus pidana yang sulit menentukan salah satu pasal diantara 2-3 pasal yang saling berkaitan unsurnya, karena unsur tindak pidana tersebut menimbulkan keraguan bagi penuntut umum untuk menentukan diantara 2 (dua) pasal atau lebih atas satu tindak pidana.
39
d. Surat dakwaan kumulatif Dalam surat dakwan kumulatif didakwakan secara serempak beberapa dilik/dakwaan yang masing-masing berdiri sendiri. e. Surat dakwaan kombinasi Dalam surat dakwaan kombinasi didkawaan beberapa dilik secara kumulatif yang terdiri dari dakwaan subsider dan dakwaan alternatif secara serempak/sekaligus. Dalam perkara nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs ini, Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan subsider. Dakwaan Primair melanggar pasal 338 KUHPidana, subsidair melanggar pasal 351 ayat (3) KUHPidana. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs ini, akan Penulis uraikan sebagai berikut : a. Dakwaan Primair Bahwa terdakwa Japing Bin Hamma pada hari selasa 23 Oktober 2012,sekitar jam 19.00 wita dalam bulan oktober 2012, bertempat didepan rumah Lattu bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba Kabupaten Maros dalam daerah hukum Pengedilan Negeri Maros dengan terdakwa Japing bin Hamma dan korbannya adalah Dalle, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa sebelum kejadian didepan rumah Lattu Bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba korban berteriak menyatakan “no manekko mai nasenge alena hurane pettaka” yang artinya turun semua kamu yang merasa laki-laki untuk parangi saya, mendengar suara tersebut Lattu Bin Ruppai masuk kedalam rumah dan mematikan lampu. Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana disebut diatas, terdakwa bertemu dengan Dalle (korban) dimana korban bertanya kepada terdakwa dengan mengatakan “naitu” yang artinya siapa kamu dan terdakwa menjawab dengan mengatakan “iya” artinya saya, tiba-tiba Dalle (korban) langsung mengayunkan perang kearah terdakwa tetapi terdakwa menghindar dan mengambil balok kayu lalu mengayunkan balok kayu tersebut kearah Dalle
40
(korban) sehingga mengenai kepala bagian belakang dan bagian wajah, yang mengakibatkan Dalle (korban) terkapar dengan posisi badan dan wajah menghadap ke tanah kemudian terdakwa meninggalkan Dalle (korban) menuju rumah Subehanna bin Lillahi untuk memberitahukan kejadia tersebut. Bahwa akibat dari perbuatan terdakwa tersebut Dalle (korban) mendapat luka pada tubuhnya dan meninggal dunia, sebagaimana diterangkan dalam visum et repertum dari Puskesmas Camba Kabupaten Maros Nomor: 781/PKM/CB/XI/2012 tanggal 24 Oktober 2012, yang dibuat dan ditanda tangani oleh yang memeriksa yaitu dr. Zaenal dengan hasil pemeriksaan : - Pasien (Dalle) masuk dengan kesadaran menurun; - Luka robek pada kepala sebelah kiri atas kurang lebih empat centimeter, lebar seperdua centimeter; - Luka robek pada dahi kiri dua buah pada masing-masing nol koma lima centimeter; - Haematom pada kelopak sebelah kiri; - Luka gores pada lengan bawah kiri panjang kurang lebih 3 centimeter Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHPidana. b. Dakwaan Subsidair Bahwa terdakwa Japing Bin Hamma pada hari selasa 23 Oktober 2012,sekitar jam 19.00 wita dalam bulan oktober 2012, bertempat didepan rumah Lattu bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba Kabupaten Maros dalam daerah hukum Pengedilan Negeri Maros yang berwenang mengadili perkara ini, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap korban Dalle. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa sebagaimana terurai dalam dakwaan subsidair. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (3) KUHPidana. 3. Tuntutan Penuntut Umum Tuntutan penuntut umum merupakan permohonan Penuntut Umum kepada Majelis Hakim ketika hendak mengadili suatu perkara. Adapun tuntutan Penuntut Umum dalam Nomor Registrasi Perkara PDM-
41
09/CAMBA/EPP.2/12/2012 tertanggal 20 Pebruari 2013 yang pada pokoknya meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan terdakwa Japing bin Hamma “tidak terbukti” bersalah telah melakukan tindak pidana “pembunuhan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat 3 KUHPidana dalam dakwaan primair; b. Menyatakan terdakwa “terbukti” Japing bin Hamma bersalah telah melakukan tindak pidana “penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat 3 KUHPidana dalam dakwaan subsidair; c. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Japing bin Hamma selama 4 (empat) tahun dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah terdakwa tetap ditahan; d. Menyatakan barang bukti berupa : 1) Sebilah parang terbuatdari besi putih dengan panjang besi 26,5 (Dua Puluh Enam koma Lima) centimeter, lebar besa 4 (empat) centimeter dan gagangnya terbuatdariakar bambu,agar dirampas untuk dimusnahkan; 2) 1(satu) lembar baju kaos warna putih biru yang terdapat noda merah, agar dikembalikan kepada yang berhak yaitu Cicah binti Haru; 3) 1 (satu) balok kayu dengan panjang 175 (Sertus Tujuh Puluh Lima) centimeter dan lebar 5,5 (lima koma lima) centimeter, agar dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi Lattu bin ruppai; 4) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500 (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah). 4. Amar Putusan Hakim Dalam perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs Majelis Hakim memutuskan: Mengadili 1. Menyatakan terdakwa Japing bin Hamma,tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaiman dalam dakwaan primair; 2. Membebaskan Terdakwa Japinhg bin Hamma dari dakwaan primair tersebut;
42
3. Menyatakan terdakwa Japing bin Hamma, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan mengakibatkan matinya orang lain”; 4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Japing Bin Hamma dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan; 5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 7. Memerintahkan Barang Bukti berupa : - Sebilah parang terbuatdari besi putih dengan panjang besi 26,5 (Dua Puluh Enam koma Lima) centimeter, lebar besa 4 (empat) centimeter dan gagangnya terbuatdariakar bambu,agar dirampas untuk dimusnahkan; - 1(satu) lembar baju kaos warna putih biru yang terdapat noda merah, agar dikembalikan kepada yang berhak yaitu Cicah binti Haru; - 1 (satu) balok kayu dengan panjang 175 (Sertus Tujuh Puluh Lima) centimeter dan lebar 5,5 (lima koma lima) centimeter, agar dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi Lattu bin ruppai. 8. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2500 (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah). 5. Analisis Penulis Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan salah satu hakim anggota dalam perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs, yaitu Farid Hidayat Sopamena, S.H., M.H. menyatakan bahwa : Berdasarkan fakta dipersidangan membuktikan bahwa Hasil visum tidak membuktikan bahwa terdakwa melanggar tindak pidana pasal 338 KUHPidana. Seperti halnya dalam perkara Nomor 01/pid.B/2013/PN.Mrs ini. Berdasarkan hasil visum, dalam kasus ini korban mengalami penurunan kesadaran akibat pendarahan pada otak akibat trauma tumpul pada kepala yang mengakibatkan kematian pada korban, dan berdasarkan hasil visum luka tersebut diduga akibat benda tumpul, maka pelaku didakwa melanggar Pasal 338 KUHPidana sebagai dakwaan Primair dan Pasal 351 ayat (3) sebagai dakwaan Subsidair. Karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum ini berbentuk subsider, maka hakim mempertimbangkan dakwaan Primairnya terlebih dahulu. Setelah selesai mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dihubungkan dengan faktafakta dipersidangan beserta alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi-saksi, surat hasil visum, dan keterangan terdakwa ternyata
43
seluruh unsur-unsur dakwaan Primair tidak terpenuhi, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan primair. Selanjutnya, karena seluruh unsur-unsur dakwaan Subsidair telah terpenuhi, maka Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang” yaitu melanggar Pasal 351 ayat (3). Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti apa yang disebutkan atau dinyatakan oleh Jaksa dalam surat dakwaannya. Selanjutnya, untuk membuktikan tepat atau tidaknya penerapan pasal yang dilakukan oleh Mejelis Hakim yang didakwakan Jaksa Penuntutu Umum bahwa terdakwa melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHPidana, maka unsur-unsur tentang tindak pidana tersebut harus terpenuhi seluruhnya, Adapun unsur-unsur dari Pasal 351 ayat (3) KUHPidana menurut Penulis adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e.
Unsur Barangsiapa; Adanya Kesengajaan; Adanya Perbuatan Aniaya; Mengakibatkan Matinya Orang, dan Objeknya Tubuh Orang Lain
44
Berikut akan penulis uraikan satu persatu unsur-unsur Pasal 351 ayat (3) KUHPidana kemudian dihubungkan dengan perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs. a. Unsur Barangsiapa Berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan
bahwa
yang
dimaksud dengan “barangsiapa” adalah setiap orang atau siapa saja yang tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai subyek hukum pidana serta mampu bertanggung jawab, artinya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan salah satu subyek yang dianggap sebagai subyek hukum menurut peraturan hukum yang berlaku. Berdasarkan hasil pemeriksaan terdakwa Japing bin Hamma dipersidangan, ternyata identitas terdakwa yang tercantum dalam surat dakwaan dibenarkan oleh terdakwa dan ternyata terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian unsur barangsiapa
menurut
Penulis
dalam
perkaran
nomor
01/Pid.B/2013/PN.Mrs telah terpenuhi. b. Unsur Kesengajaan Yang dimaksud dengan kesengajaan (opzet) disini meliputi tindakan dari tekdakwa dan obyek terdakwa, artinya bahwa terdakwa mengetahui dan menghendaki seeorang menderita luka atau sakit dengan tindakan yang dilakukannya, dan untuk dapat menentukan unsur kesengajaan atau adanya maksud atau niat dapat disimpulkan dari cara
45
terdakwa melakukan perbuatannya, alat yang digunakan dan masalahmasalah yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan yaitu alat bukti berupa balok kayu dengan panjang 175 centimeter dan lebar 5,5 centimeter yang digunakan oleh terdakwa untuk menganiaya korban serta pengakuan terdakwa yang menyatakan, bahwa korban mengayunkan parang terhadap terdakwa namun terdakwa dapat menghindar, kemudian terdakwa memukul kepala korban dengan balok kayu yang berada disekitar terdakwa tersebut sehingga mengakibatkan korban terkapar kemudian terdakwa meninggalkan korban. Dari uraian kronologi terjadinya penganiayaan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur sengaja dalam perkara ini telah terpenuhi. c.
Unsur Perbuatan Aniaya Menurut Arrest Hoge Raad (Lamintang, 2012: 132) Yang
dimaksud dengan penganiayaan itu adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Dengan demikian, untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan
terhadap
orang
lain,
maka
orang
tersebut
harus
mempunyai Opzet atau suatu kesengajaan untuk : a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain; b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain; c. Merugikan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang itu harus mempunyai
opzet
yang ditujukan
opada
perbuatan
untuk
46
menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun untuk merugikan kesehatan pada orang lain. Berdasarkan
uraian diatas kemudian dihubungkan
dengan
keterangan terdakwa dan berdasarkan alat bukti surat berupa Visum et repertum
Nomor
:
781/PKM/CM/IX/2012
yang
dikeluarkan
oleh
Puskesmas Camba Kabupaten Maros pada tanggal 24 oktober 2012 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Zaenal, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa Japing bin Hamma mengakibatkan luka terhadap korban Dalle. Dengan demikian unsur melukai menurut Penulis telah terpenuhi. d. Mengakibatkan Matinya Orang Lain Dalam perkara ini sangat jelas bahwa akibat dari pemukulan menggunakan alat bukti balok kayu yang dilakukan oleh terdakwa Japing bin Hamma ke bagian kepala korban Dalle, mengakibatkan korban Dalle terkapar
dengan
mengakibatkan
tingkat
matinya
kesadaran
korban
Dalle.
menurun Dengan
dan
kemudian
demikian
unsur
mengakibatkan matinya orang lain menurut Penulis telah terpenuhi. e. Obyeknya tubuh orang lain Dalam perkara ini sangat jelas bahwa obyek penganiayaan atau korban
penganiayaan
adalah
tubuh
korban
Dalle
dan
pelaku
penganiayaan adalah terdakwa Japing bin Hamma dengan menggunakan
47
alat bukti balok kayu yang berukuran 175 centimeter sehingga mengekibatkan luka pada kepala korban. Upaya pembuktian seperti dalam stusi kasus diatas didasarkan pada ketentuan Pasal 184 KUHAP, yang menjelaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Adapun alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk, dan Keterangan terdakwa Berdasarkan hasil wawancara Penulis, fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan dan sesuai dengan posisi kasus, alat bukti yang sah seperti surat hasil Visum et Repertum sebagaimana diuraikan diatas, maka bila satu dengan yang lainnya saling dihubungkan, ditemukan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa seluruh unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi. Sehingga dengan demikian putusan ataupun kesimpulan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti
secara
sah
dan
meyakinkan
melakukan
tindak
pidana
penganiayaan yang mengakibakan kematian yang didakwakan kepada
48
terdakwa Japing bin Hamma yaitu melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHPidana menurut analisa Penulis sudah tepat. B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganniayaan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs. Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam membuat
keputusan
yang
akan
dijatuhkan
kepada
terdakwa.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai, maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat perlu untuk menciptakan keputusan yang sesuai. Hal ini sangat perlu untuk menciptakan putusan yang proporsional dan mendekati rasa keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, maupun masyarakat. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, hakim melakukan tindakan untuk menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta persidangan) dan disertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya Majelis Hakim mengambil kesimpulan dengan menetapkan suatu sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa. Adapun hal yang menjadi dasar-dasar pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara harus sesuai dengan rasa keadilan hakim dan mengacu pada pasal-pasal yang
49
berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Berikut pertimbanganpertimbangan
yang
digunakan
hakim
dalam
Putusan
Nomor
01/Pid.B/2013/PN.Mrs : 1. Pertimbangan Fakta dan Pertimbangan Hukum Hakim Pertimbangan fakta dan pertimbangan hukum hakim didasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum, alat bukti yang sah, dan syarat subyektif dan obyektif seseorang dapat dipidana. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros yang memeriksa dan mengadili perkara nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs ini, setelah mendengar keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti lainnya kemudian mendapatkan fakta-fakta hukum yaitu sebagai berikut : 1. Bahwa benar kejadian tersebut terjadi pada hari selasa 23 Oktober 2012,sekitar jam 19.00 wita dalam bulan oktober 2012, bertempat didepan rumah Lattu bin Ruppai Dusun Sumpatu Desa Benteng Kecamatan Camba Kabupaten Maros. 2. Bahwa benar yang melakukan perbuatan tersebut adalah terdakwa sendiri. 3. Bahwa benar terdakwa memukul korban dengan menggunakan kayu balok penjangga pagar lelaki Lattu. 4. Bahwa benar terdakwa memukul korban sebanyak 2(dua) kali dan mengenai pada bagian kepala korban. 5. Bahwa benar terdakwa tidak sempat melihat luka yang diderita korban, namun terdakwa hanya melihat ada darah yang keluar pada bagian kepala korban. 6. Bahwa benar sebelum kejadian, terdakwa sempat mendengar lelaki Dalle berteriak dalam bahasa bugis camba dengan mengatakan “no manekko mai nasenge alena hurane pettaka” yang artinya turun semuako yang merasa laki-laki untuk diparangi, dan ketika itu terdakwa tidak jauh dari tempat kejadian. 7. Bahwa benar balok kayu yang terdakwa pakai untuk memukul korban tidak terdakwa persiapkan sebelumnya, akan tetapi terdakwa ambil dari pagar lelaki Lattu itupun secara kebetulan saja karena hanya terpasang setengah jadi terdakwa langsung menariknya.
50
8. Bahwa benar terdakwa pernah berselisih paham dengan korban, dimana terdakwa dengan korban pernah berselisih paham mengenai pemilihan kepala desa benteng dimana calon terdakwalah yang terpilih sebagai kepala desa. 9. Bahwa benar pada saat itu korban menyerang terdakwa menggunakan parang kemudian terdakwa menghindar dan memukul korban dengan balok kayu kearah kepala sehingga mengakibatkan : - Pasien (Dalle) masuk dengan kesadaran menurun; - Luka robek pada kepala sebelah kiri atas kurang lebih empat centimeter, lebar seperdua centimeter; - Luka robek pada dahi kiri dua buah pada masing-masing nol koma lima centimeter; - Haematom pada kelopak sebelah kiri; - Luka gores pada lengan bawah kiri panjang kurang lebih 3 centimeter 10. Berdasarkan hasil Visum et repertum nomor : 781/PKM/CM/XI/2012 yang dikeluarkan oleh puskesmas camba pada tanggal 2 Nopember 2012 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Zainal, luka tersebut di atas diduga akibat trauma benda tumpul pada kepala. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah disebutkan diatas, kemudia Majelis Hakim mempertimbangkan apakah seseorang telah dapat dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana atau tidak yang didakwakan kepada terdakwa, maka keseluruhan dari unsur-unsur pasal yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa haruslah dapat dibuktikan dan terpenuhi seluruhnya. Adapun unsur-unsur pasal yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini kepada terdakwa, dalam hal ini Pasal 351 ayat (3) yaitu sebagai berikut : 1) Unsur Barang Siapa Berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan
bahwa
yang
dimaksud barangsiapa adalah setiap orang dan atau siapa saja yang
51
tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai subyek hukum pidana serta mampu bertanggungjawab. Artinya, dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, dan salah satu subyek hukum menurut peraturan hukum yang berlaku adalah manusia. Meskipun unsur barangsiapa tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 351 ayat (3) KUHPidana, sehingga haruslah dianggap tersirat dan harus pula dibuktikan. Dalam perkara ini, dihadapkan seorang bernama Japing bin Hamma, dan berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, ternyata identitas terdakwa yang tercantum dalam surat dakwaan dibenarkan oleh terdakwa, dan ternyata terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga dapat dimintai pertanggungjawabannya atas segala perbuatan
yang
dilakukannya.
Dengan
demikian,
majelis
hakim
berkesimpulan bahwa unsur barangsiapa telah terpenuhi. 2) Unsur melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan dan berdasarkan Visum et repertum Nomor : 781/PKM/CB/XI/2012 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Zainal, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan meninggalnya orang lain, dalam hal ini adalah korban Dalle, sehingga perbuatan terdakwa dikategorikan atau termasuk perbuatan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. Dengan demikian, Majelis Hakim berkesimpulan unsur mengakibatkan matinya orang lain telah terpenuhi.
52
Berdasarkan
pembuktian
unsur-unsur
Pasal
351
ayat
(3)
KUHPidana di atas, kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, maka disimoulkan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 351 ayat (3) KUHPidana sudah tepat. Setelah semua unsur-unsur tindak pidana berhasil dibuktikan, maka selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan alasan-alasan pengecualian, pengurangan atau penambahan pidana. Alasan-alasan pengecualian pidana atau straufuitsluitingsgronden secara umum menurut Ray Pratama Siadari, S.H (http://raypratama. blogspot.com /2012/02/ balasan-pengecualian-pengurangan-dan.html. 04/02/2014), dibagi atas : 1.) Rechtvaardigingsgronden atau alasan pembenar - Daya paksa relatif (Relative overmacht); - Pembelaan darurat (noodweer); - Menjalankan ketentuan undang-undang; dan - Melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang. 2.) Schulduitsluitingsgronden atau alasan pemaaf : - Tidak mampu bertanggung jawab; - Daya paksa mutlak (absolute overmacht); - Pembelaan yang melampaui batas; dan - Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa Japing bin
Hamma
adalah
orang
yang
memiliki
kemampuan
untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, serta tidak ditemukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf maupun alasan pembenar pada dirinya,
sehingga
terdakwa
tetap
dinyatakan
bersalah
dan
bertanggungjawab atas perbuatannya.
53
Mengenai alasan pembelaan seperti yang dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Farid Hidayat Sopamena, S.H., M.H menyatakan bahwa : Pada perkara ini, Majelis Hakim berpendapat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah murni tindak pidana, bukan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2). Hal ini dikarenakan pada waktu kejadian pemukulan tersebut hanya terdakwa dan korban sendiri ketika itu, tidak ada orang lain yang melihat kejadian tersebut. Dan setelah kejadia terdakwa langsung melaporkan kejadian sebenarnya kepada Kepala Desa, hal ini menimbulkan suatu pertanyaan apakah benar itu merupakan suatu pembelaan terhadap diri terdakwa ?, terdakwa didalam persidangan tidak dapat membuktikan hal tersebut sebagai suatu tindakan pembelaan terpaksa karena tidak ada saksi-saksi yang melihat kejadia pemukulan tersebut. 2. Pertimbangan Subjektif Hakim Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang (Selanjutnya disebut uu) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan, bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam memutus suatu perkara hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek yuridisnya saja, tetapi hakim juga harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Dalam hal ini hakim juga harus mempertimbangkan rasa keadilan dari sisi pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tercipta putusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak, sehingga masyarakat mempunyai respek dan kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi
pengadilan
sebagai
lembaga
peradilan
yang
mampu
mengakomodir para pencari keadilan.
54
Hal-hal yang menjadi pertimbangan subyektif hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs adalah : a. Hal-hal yang memberatkan - Perbuatan terdakwa menyebabkan korban kehilangan nyawa. b. Hal-hal yang meringankan - Terdakwa sopan dalam persidangan - Terdakwa tidak berbelit-belik dalam proses persidangan - Keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada istri korban atas perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa - Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mencermati
pertimbangan
diatas,
dapat
dikatakan
bahwa
pertimbangan yang digunakan hakim hanya terfokus pada pelakunya saja dan tidak melihat kerugian yang dialami oleh korban kejahatan. Padahal hak tersebut penting untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban kejahatan. Hakim
setelah
mempertimbangkan
hal-hal
tersebut
diatas
kemudian menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa Japing bin Hamma dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan penjara dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan. 3. Analisis Penulis Ptutusan hakim merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan untuk itu berupa putusan penjatuhan pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan. Dalam upaya membuat putusan serta menjatuhkan sanksi
55
pidana, hakim harus mempunyai pertimbangn yuridis yang terdiri dakwaan Penuntut Umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang bukti, dan pasal-pasal yang dilanggar. Adapun pertimbangan non yuridis yang terdiri dari latar belakang berbuatan terdakwa, akibat perbuatan secara kondisi terdakwa pada saat melakukan perbuatan. Berkaitan dengan perkara yang Penulis bahas, maka Penulis melakukan wawancara dengan salah satu hakim yang menangani perkara ini, yaitu Farid Hidayat Sopamena, S.H., M.H., beliau memberikan gambaran
secara
umum
terhadap
perkara
yan
Penulis
angkat
menyatakan bahwa : Dalam menangani perkara, hakim mempertimbangkan beberapa hal seperti keterangan saksi, keterangan terdakwa, surat, tuntutan jaksa, keyakinan hakim dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali kejadian sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu keputusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak. Menurut Penulis, bahwa pertimbangan Majelis Hakim sebelum menjatuhkan
putusan
dalam
perkara
dengan
nomor
01/Pid.B/2013/PN.Mrs, lebih kepada pertimbangan yuridis. Adapun pertimbangan subyektif hakim dalam perkara ini hanya terfokus pada pelaku
kejahatan
saja.
Padahal
hakim
seharusnya
juga
mempertimbangkan kerugian yang dialami korban. Hal ini seharusnya ikut menjadi pertimbangan hakim yang memberatkan terdakwa. Namun berdasarkan wawancara dengan Farid Hidayat Sopamena, S.h., M.H. menyatakan bahwa “Pertimbangan dari sisi korban kejahatan telah ikut
56
dipertimbangkan dalam putusan ini. Namun tidak tersirat dalam surat putusan, seperti kerugian-kerugian yang dialami korban”. Kemudian alasan pemberat lainnya yang harus dicantumkan dalam hal-hal yang memberatkan terdakwa seperti yang Penulis uraikan sebelumnya yaitu pertimbangan dari sisi korban kejahatan, dimana korban adalah tulang punggung keluarga, dan akibat penganiayaan tersebut yang menyebabkan korba meninggal sehingga tidak dapat lagi menafkahi keluarganya. Berdasarkan
hasil
wawancara
diatas,
maka
Penulis
berkesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim dal menjatuhkan putusan pada perkara ini, terdapat beberapa kekurangan-kekurangan seperti yang penulis uraikan diatas. Pertimbangan yang digunakan hakim pada perkara ini, cenderung fokus kepada keadaan pelaku tindak pidananya saja. Padahal Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman mewajibkan hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya bahwa hakim juga harus mempertimbangkan kerugian dari sisi korban kejahatan dan masyarakat. Dengan demikian akan menciptakan putusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan menjaga eksistensi pengadilan sebagai lembaga peradilan yang betul-betul mampu mengakomodir akan kebutuhan keadailan masyarakat. Makanya itu, diperlukan hakim yang mempunyai
57
integritas dan konsistensi yang tinggi terhadap nilai-nilai keadilan. Kemudian dari segi sanksi pidana yang dijatuhkan menurut Penulis itu sangat ringan melihat penderitaan yang di alami keluarga korban akibat meninggalnya korban yang sebagai tulang punggung keluarga. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 4 tahun penjara menurut penulis lebih tepat bahkan lebih dari 4 Tahun pun masih wajar, mengingat akibat dari perbuatan
terdakwa
yang menyebabkan
matinya
korban. Namun
bagaimana pun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa rasa keadilan manusia itu berbeda-beda karena sifat adil itu yang subyektif, dan Majelis Hakim dengan sanksi yang dijatuhkan 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan penjara sudah tepat menurut rasa keadilannya.
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil masalah, berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penerapan hukum pidana meteril oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros pada perkara Nomor 01/Pid.B/2013/PN.Mrs yang menyatakan bahwa terdakwa Japing bin Hamma telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan korban Dalle yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHPidana) sudah tepat, hal itu sesuai dengan dakwaan Subsidair Jaksa Penuntut Umum, dan telah di dasarkan pada fakta-fakta dipersidangan, alat bukti yang di ajukan Jaksa Penuntut Umum berupa keterangan saksi, barang bukti, surat visum, dan keterangan terdakwa. 2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros dalam pertimbangannya masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan, terutama dalam pertimbangan subyektifnya, yaitu pada pertimbangan halhal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Pertimbangan yang digunakan hakim pada perkara ini, hanya
59
terfokus kepada pelaku kejahatannya saja. Padahal Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kehakiman
Nomor 48 Tahun tentang Kekuasaan
mewajibkan
hakim
menggali,
mengikuti,
dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya bahwa hakim juga harus mempertimbangkan kerugian dari sisi korban kejahatan, dan masyarakat. B. Saran Penulis menyarankan bahwa Hakim harus lebih hati-hati dan jelih dalam
mempertimbangkan
meringankan
terdakwa
hal-hal
serta
yang
memberatkan
sanksi pidanan
atau
yang
yang dijatuhkannya.
Bagaimanapun juga hakim mempunyai andil besar dalam menurunnya atau meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi dimasyarakat. Artinya bahwa hakim harus mampu memberikan efek, baik bagi terdakwa untuk tidk melakukan kembali perbuatannya maupun bagi masyarakat agar takut melakukan tindak pidana.
60
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2009. Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis. Kencana: Jakarta. Adami Chazawi. 2001. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Raja Grafindo Persada: Jakarta. ______. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, TeoriTeori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo: Jakarta. Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih. 2010. Hukum Korporasi Rumah Sakit. Rangkang Education: Yogyakarta. Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Mahakarya Rangkang: Yogyakarta. Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta. ______. 2009. Delik-Delik Tertentu ( Speciale Delicten) di Dalam KUHP. Sinar Grafika: Jakarta. Antonius Sudirman. 2009. Eksistensi Hukum & Hukum Pidana dalam Dinamika Sosial - Suatu Kajian Teori dan Praktek di Indonesia. BP Undip: Semarang. Cristhine dan Cansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita: Jakarta. Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar. PT Rafika Aditama: Bandung. Ilhami Basri. 2003. Hukum Pidana dan Regulasi Implementasi Indonesia. Alqaprint: Bandung. Leden Marpaung. 2005. Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika: Jakarta. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta. Niniek Suparni. 2007. Asas-Asas Hukum Pidana. Sinar Grafika: Jakarta. P.A.F Lamintang. 2012. Kejahatan Terhadap Nyawa , Tubuh, & Kesehatan. Sinar Grafika: Jakarta. _______(1997) Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya. 61
Pedoman Penyusunan Skripsi dan Pelaksanaan Ujian Sarjana FH-UH. Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Wirjono Prodjodikoro. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Rafika Aditama: Bandung.
Sumber-sumber Lain : W.J.S Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka: Jakarta. R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea: Bogor. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksnaan Pidana Mati.
62