PETA PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN DAN KONTEMPORER Sukron Kamil
olonialisme barat yang menimpa dunia Islam pada abad 18-20 (Yatim, 1997)
1
dan mundurnya politik Islam yang ditandai dengan
runtuhnya
kekhilafahan Usmani ternyata tidak selamanya mendatangkan akibat negatif, tetapi juga membuat kaum Muslimin mampu merumuskan dirinya kembali, termasuk pemikiran politik Islamnya. Bahkan, menurut Enayat, dilikuidasinya kekhalifahan Usmani oleh keputusan Majlis Nasional Turki tahun 1924 --yang awalnya karena desakan kolonialisme barat, dalam hal ini Yunani yang didukung Inggris, Prancis dan Amerika yang menduduki Izmir, salah satu wilayah Turki tahun 1919 (Nasution, 1975) 2-- merupakan sesuatu yang menjadikan politik Sunni mencapai titik baliknya. Peristiwa ini, katanya lebih lanjut, merupakan puncak proses ‘fermentasi’ di kalangan kaum Muslimin sejak abad 18 dan dalam bidang pemikiran politik Islam, mempercepat perdebatan seru yang terjadi antara kaum modernis dan tradisionalis untuk kemudian menjanjikan terbentuknya sintesis dari pandangan mereka yang saling bertentangan. Krisis seputar kekhalifahan itu mempunyai satu akibat subsider yang bersifat doktriner. Ia telah memperkenalkan gagasan negara Islam sebagai pengganti kekhalifahan yang dinyatakan, baik secara tersurat atau tersirat, sebagai mustahil untuk dihidupkan kembali (Enayat, 1982). Lebih jauh, Munawir Syadzali (1993) berpendapat bahwa berbeda dengan para pemikir politik Islam masa klasik dan pertengahan yang karena realitas politik (Esposito, 1987) bersifat realis yang semuanya menerima dan
1
Tentu saja wilayah Asia Tenggara yang mengalami kolonialisme barat sejak abad 16 sebagai pengecualian (Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, h. 175184 ) 2 Peristiwa ini merupakan faktor yang membuat Kemal Ataturk seorang perwira yang kemudian menjadi Bapak Turki Modern, menyelamatkan Turki dari kehancuran total dan penjajahan barat (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 142 )
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
tidak mempertentangkan keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka temukan --kecuali al-Mawardi yang memiliki konsepsi lebih maju yang mirip dengan teori kontrak sosial Jhon Locke-- para pemikir politik Islam
modern
dan
kontemporer
mengalami
perkembangan
dan
keanekaragaman yang mendasar. Salah satunya karena tiga faktor, yaitu kemunduran dunia Islam, kolonialisme dan keunggulan barat. Sebab itulah, tulisan ini ingin menyoroti perkembangan dan peta pemikiran politik Islam modern dan kontemporer dengan melakukan kategorisasi
atau
tipologisasi:
pemikiran
politik
Islam
yang
organik
tradisional, yang sekuler, dan yang moderat.
Tipologi Pemikiran Politik Islam Organik Tradisional Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Quthub (1906-1966), Abu al-‘Ala al-Maududi (1903-1979), dan di Indonesia Muhammad Natsir. Sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional pertama-tama ia begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kehalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Qureisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani, baginya, merupakan
pranata politik supra
nasional yang mewakili Nabi pasca Abbasyiah yang mempersatukan Umat Islam di berbagai dunia yang perlu dihidupkan kembali dengan tugas untuk mengatur urusan agama dan dunia (harasah al-din wa siyasah al-dunya),
2
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi misalnya. Alasannya karena Alquran, hadis dan ijma’ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-halli wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah, juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju ketimbang pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan. walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh (faqih) yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-halli wa al-aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid (seorang yang mampu melahirkan keputusan hukum dari elaborasinya terhadap Al Qur’an dan hadis), melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Selain itu, berbeda dengan kecenderungan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah
penyelewengan
khalifah,
dan
menurunkannya
jika perlu,
sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum (Ridha, 1341). Hanya saja ia tidak membahas bagaimana cara mengangkat mereka. Kendati pandangan Rasyid Ridha di atas mencerminkan alam pikiran politik Islam klasik dan pertengahan yang sulit diterima masa kini, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi “utopis dan romantis”, tetapi, walau bagaimana pun, Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad 20 (Eickelman dan Piscatory, 1998) yang dikembangkan oleh Sayyid Quthub atau al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan bentuk pemerintahan, yang dalam Istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum ilahi) (Sjadzali, 1993). Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthub menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam), yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan antara
3
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
pemeluk agama, dan didirikan di atas 3 prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan situasi kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada supremasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthub dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah
khalifah Allah di
muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan, yang sebab itu tidak dibenarkan membuat kebijakan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut dengan konsep politik Theo-Demokrasi, suatu sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat yang dibatasi kekuasaan Tuhan lewat hukum-hukum-Nya. Lebih jauh al-Maududi secara eksplisit dan Quthub lewat konsep dzimmi-nya dan pembenarannya memperlakukan diskriminasi politik
berdasarkan agama
secara implisit berpendirian bahwa hanya kaum Muslimin saja yang dihitungnya sebagai khalifah Allah secara penuh. Oleh karenanya, demikian pendirian al-Maududi, hak politik untuk dipilih sebagai kepala negara dan sebagai anggota ahl al-halli wa al-‘aqd hanya dimiliki kaum Muslimin saja, sebagai konsekuensi pembagian kewarganegaraan Islam yang didasarkan pada agama. Kaum non Muslim yang berada dalam negara Islam harus tunduk pada hukum Islam, dibebaskan dari bela negara, dan tidak berhak menduduki jabatan-jabatan kunci. Paling tinggi jabatan yang boleh mereka duduki adalah di DPRD II yang tidak berhak merumuskan dan memutuskan kebijakan politik. Di antara pokok-pokok pikiran politik Quthub yang lain adalah keharusan kepala negara beragama Islam dan ia ditentukan lewat pemilihan warga negara. Akan tetapi Sayyid Quthub tidak menjelaskan mengenai mekanisme pemilihan kepala negara tersebut dan masa jabatannya, sesuatu
4
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
yang menunjukkan bahwa ia belum memahami betul seluk beluk ilmu politik (Tripp, 1998). Al-Maududi mengalami hal yang lebih parah lagi. Di samping ia tidak menjelaskan mekanisme pemilihan kepala negara dan anggota Majlis Syura, ia juga tidak membolehkan pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan tertentu dan ia pun tidak memberikan jalan keluar. Kecuali itu, menurutnya juga kepala negara tidak harus menerima baik keputusan mayoritas Majlis Permusyawaratan, tetapi boleh mengambil keputusan minoritas bahkan mengabaikan suara majlis tersebut. Partai baginya tidak boleh didirikan dan kedudukan anggota Majlis Permusyawaratan hanyalah sebagai pribadi. Kalaupun harus dibentuk partai, mesti tunggal, dan partai itu adalah partai pendukung pemerintah. Al-Maududi sebagaimana Quthub, pendahulunya, terlalu mengidealkan sistem politik Khulafa Rasyidin. Padahal meskipun secara umum dalam model pemerintahan Khulafa Rasyidin terdapat esensi demokrasi seperti keterbukaan dan pemilihan, tetapi pada masa itu tidak ada pola yang baku (al-Maududi, 1996 ; Sjadzali, 1993) Di Indonesia yang memiliki pemikiran serupa adalah Muhammad Natsir. Menurutnya Islam lebih dari sekedar sistem agama tetapi suatu kebudayan yang lengkap. Negara adalah dua entitas religio-politik yang menyatu. Konstruksi negara yang dicita-citakan Islam adalah negara yang berfungsi menjadi alat Islam yang secara formal mendasarkan Islam sebagai idiologinya. Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam dan menjujunjung tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998; Sjadzali, 1993). Tampaknya pemikir politik Islam tipologi ini mengalami kesulitan dalam melakukan sintesa yang viable antara Islam dan konsep modern nation
state
karena
keterbelengguannya
oleh
konsepsi
klasik
dan
pertengahan. Selain itu, mengutip penilaian Qamarudin Khan, pemikiran mereka dilatari oleh kesalahpahaman terhadap ayat QS 16: 89 “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu” (Tamara dan Taher, 1996)
atau meminjam bahasa Fazlurrahaman, mereka
sebagaimana Plato dan Aristoteles mengidap krisis kepercayaan yang akut
5
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
terhadap kemampuan intelek dan kapasitas moral manusia (Rahardjo, 1989). Mereka juga tampaknya mengalami psikologi protes yang membuat mereka tidak empati terhadap gagasan barat, sebagai bentuk perlawanan mereka akibat invasi kultural barat yang dahsyat (Pabotinggi, tt)
Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler Kebalikan dari tipologi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk ke dalam tipologi ini adalah Ali Abd Raziq (1888-1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di Indonesia Soekarno Adalah Ali Abd. al-Raziq dari sekian pemikir Muslim tentang politik yang mendapatkan respon luar biasa bahkan kutukan dari kalangan ortodoksi atau tradisional. Raziq mengawali penjelasan pikiran politiknya tentang kekhalifahan yang supra nasional menurut kalangan ortodoks semisal Rasyid Ridha Islami. Ia menolak sistem khilafah tersebut sebagai sebuah sistem yang tidak mempunyai landasan yang kokoh dari Al Qur’an, Hadis dan ijma’. Dia secara agak rinci membahas ketiga sumber tersebut yang mengukuhkan wajibnya kekhalifahan. Al Qur’an katanya tidak menyebut kekhalifahan seperti yang kita kenal dalam sejarah. Al Qur’an Surat 6: 38 misalnya yang dianggap dalil pendukung kekhalifahan dalam kenyataannya tidaklah demikian. Karena, kata ulil amri (para pemegang kekuasaan) yang wajib diikuti kaum Muslim sesudah mentaati Allah SWT dan Rasulnya tidaklah disepakati ulama tafsir dengan khalifah
Baidhawi
umpamanya menafsirkan kata itu dengan kaum Muslimin yang sezaman dengan nabi, dan Zamaksyari mengartikannya dengan ulama. Demikian juga dengan hadis seperti hadis “Barang siapa mati tanpa berbai’at (kepada imam), maka dia mati dalam kejahiliahan”, sekalipun banyak orang menganggapmya sahih, hadis-hadis itu tidaklah menunjukkan doktrin agama. Rasa-rasanya hanya ijma’lah yang menjadi
6
alat legitimasi dan itu pun,
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
menurut Raziq bukan ijma’ shahih. Hal ini kerena kekhalifahan terbentuk oleh ijma’ sukuti (kesepatan diam) yang tidak semua masyarakat menyepakatinya. Hampir setiap kehalifahan ada saja pihak yang menjadi oposisi.
Demikian pula argumentasi wajibnya kekhalifahan untuk tujuan
terlaksananya tugas-tugas keagamaan dan kepemerintahan tidaklah juga tepat. Ketidaktepatan itu karena dalam kenyataan kekhalifahan selamanya merupakan bencana bagi Islam dan umatnya. Raziq memang mengakui pentingnya negara untuk kepentingan sosial, lepas dari agama dan keyakinan, tetapi itu tidak harus berbentuk kekhalifahan, melainkan bisa beraneka ragam bentuk dan sifatnya (al-Razig, 1925; Enayat, 1982). Dari sanalah kemudian ia berkesimpulan bahwa misi nabi adalah misi agama an sich yang tidak ada kaitannya dengan politik keduniawian. Nabi adalah utusan Allah SWT yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud mendirikan negara. Nabi tidaklah mempunyai kekuasaan sekuler, negara atau pemerintahan.
Nabi tidaklah mendirikan kerajaan
dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Setelah beliau wafat, tidak ada seorang pun yang dapat mengganti tugas risalah-nya. Kalaupun Abu Bakar muncul, maka kepemimpinannya merupakan bentuk baru yang bersifat profane (duniawi). Abu bakar menyebut dirinya sebagai khalifah Rasul (pengganti/wakil Rasul) agar kaum Muslimin taat kepadanya seperti taat kepada Rasululah. Orang-orang yang tidak mentaatinya yang disebut Abu Bakar murtad seperti Malik bin Nuwairah belum tentu murtad dalam arti keluar dari Islam dan kufur kepada Allah beserta Rasul-Nya. Berdasarkan hal itu semua Kekhalifahan lepas dari Islam dan tidak ada kaitan dengannya. Persoalan kenegaraan semuanya diserahkan pada akal pengalaman kemanusiaan belaka (al-Raziq, 1925). Sebagai pemikir sekuler, Ali Abd. al-Raziq agaknya mampu meyakinkan pembaca bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm bahwa pemerintahan menurut Islam tidaklah harus berbentuk khilafah, tetapi ia tidak berhasil meyakinkan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbeda dengan Nabi sebelumnya. Mengingat Nabi, terutama dalam konteks hukum, kendati tugas utamanya adalah kerasulan,
7
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
melakukan beberapa hal yang hampir sama dengan kepala pemerintahan atau negara (Sjadzali, 1993). Ali Abd al-Raziq dalam soal pemikiran politik Islam sekuler ini tidaklah sendirian. A. Luthfi Sayyid berpendirian sama. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaum Muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan. Sikap yang mirip disampaikan oleh Soekarno di Indonesia. Baginya agama dan negara mesti dipisah
agar keduanya
berjalan sendiri-sendiri. Negara harus dilepas ikatannya dari agama dan demikian sebaliknya (Rasyada, tt). Negara berada pada wilayah publik, sementara agama hanya berada dalam wilayah spiritual yang sifatnya pribadi. Jika agama diperkenankan hadir dalam wilayah publik, ia akan menjadi alat politik belaka bagi yang berkepentingan dan akan melahirkan rasa terdiskriminasi bagi pemeluk selain agama publik tersebut (Soekarno, 1964). Sesungguhnya tipologi kedua ini sama saja dengan yang pertama. Jika yang pertama terbelenggu oleh pemikiran dan praktek politik Islam klasik, maka tipologi pemikiran politik Islam kedua ini terbelenggu dan terlalu terpesona oleh pemikiran
nation state Barat yang modern. Ia menerima
sistem politik yang berkembang di Barat tan reserve. Seolah apa yang berkembang di Barat sudah final dan tidak ada cara lain kecuali mengadaptasinya dalam sistem politik kekinian.
Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya
dengan
politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak
menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bermasyarakat dan
8
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal
(lahir
1888),
Muhammad
Abduh
(1862-1905),
Fazlurrahman,
Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid. Menurut Haikal, di dalam Al Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya
tidaklah diturunkan
dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak. Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama prinsip monotheisme murni. Kedua prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga persaman antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa (Haikal, 1993; Azhar, 1996). Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Hal ini karena menurutnya Islam bukanlah agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama Muslim dan sesama manusia lainnya yang untuk memberlakukannya dibutuhkan penguasa atau negara. Dalam bahasa lain, bagi Abduh, kaitannya dengan agama adalah subsider saja dan dalam pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dengan mempunyai kewenangan wakil Tuhan di muka bumi. Baginya, kepala negara merupakan
9
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
seorang sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada mereka dia bertanggung jawab. Seiring dengan pengakuannya akan konsep demokrasi, Program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya sendiri pun membuka keanggotaan kepada seluruh rakyat Mesir, yang beragama Islam, Yahudi, Kristen atau lainya (Sjadzali, 1993). Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlurrhman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsipprinsip yang disebut Al Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlurrahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ulil amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Selanjutnya Fazlurrahman menjelaskan kosep syura (musyawarah). Syura bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlurrahamn ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di barat (Azhar, 1996). Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al-Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka. Sebagaimana
Fazlurrhman,
Arkoun
juga
berpendapat
sama.
Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mitis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegomonik yang telah
10
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi ba’iah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk
di Turki yang bagi Arkoen merupakan bentuk
kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syura, ijtihad, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis (Arkoun, 1996; Azhar, 1996; Putro, 1998). Selaku murid Fazlurrhman, di Indonesia, Nurcholish Madjid tidak jauh berbeda dengan formulasi konseptual gurunya. Islam, baik dalam teori atau praktek telah menetapkan prinsip-prinsip politik.
Prinsip-prinsip itu,
dengan mengutip Robert N. Bellah dan apa yang tercantum dalam “Piagam Madinah”, adalah pluralisme, toleransi, pengakuan akan persamaan semua penduduk, dan keadilan sebagai tujuan negara. Dalam Islam yang dimaksud pluralisme
adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu
kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia. Bertolak dari prinsip-prinsip ini ia berkesimpulan bahwa, pertama, konsep Islam di bidang politik, tegas Nurcholish Madjid, berada pada pertengahan antara dua pendapat ekstrim yang saling berlawanan;
11
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Sayyid Qutub dan al-Maududi di satu pihak, dan Ali Abd al-Raziq di pihak lain. Kedua, meski memiliki kekurangan, demokrasi dipahaminya sebagai sesuatu yang tiada ternilai harganya, yang untuk sampai sekarang belum ditemukan alternatif yang lebih unggul. Demokrasi, baginya adalah majority rule minority right, yaitu sistem politik dengan prinsip mayoritas dengan tidak mengganggu kepentingan minoritas yang paling fundamental. Demokrasi juga, dalam keyakinan Nurcholish Madjid, merupakan kata kerja, bukan kata benda, sebagai suatu proses demokrasi. Dalam hal ini demokrasi sebagai way of life dengan nuktah: kemajemukan, musyawarah, cara harus sesuai dengan tujuan, permufakatan yang jujur, pemenuhan kebutuhan ekonomi, kebebasan, dan perlunya pendidikan demokrasi (Taher, 1994; Tanja, 1991)
Kesimpulan/Penutup Dari paparan di atas, yang bisa kita simpulkan adalah, pertama, bahwa berbeda dengan pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan yang homogen dan realis dengan kekuasaan yang ada akibat realitas politiknya yang menghendaki hal itu, maka pemikiran politik Islam modern beragam dan mengalami perkembangan mengagumkan. Hal ini mungkin karena situasi dan kondisinya yang berbeda. Kedua, secara umum peta pemikiran politik Islam modern dan kontemporer bisa kita bagi pada tiga kategori atau tipologi; yaitu tipologi tradisional organik, sekuler, dan moderat. Ketiganya memiliki konsepsi yang berbeda yang kesemunya merujuk pada teori atau praktek politik Islam Islam. Ketiga, tipologi pemikiran politik Islam yang moderat yang karena kematangannya tampaknya saat ini mendapat pendukung yang banyak. Wallahu a’lam Bi al-Shawab.
12
Suraya “Jembatan Emas Komunikasi Antar Budaya”
Daftar Pustaka Azhar, Muhamad. 1996. Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Pers Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina Eickelman, Dale F. dan James Piscatory. 1998. Ekspresi Politik Muslim, Bandung: Mizan Enayat, Hamid. 1982. Modern Islamic Thought, Austin: University of Texas Press Haikal, Muhamad Husein. 1993. Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus Madjid, Nurcholish, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher. 1994. Demokratisassin Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Paramadina ………., “Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”, dalam Makalah Seminar 22 Pebruari 1999) Mauddudi. 1996. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan Mauddudi. 1990. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang Pabotingi, Mochtar, “Tentang Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim: Sebuah Analisis”, dalam Mochtar Pabottingi (Ed)., Antara Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Rahardjo, Dawam. 1989. “Syura”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. 1 Raziq, Ali Abd. 1925. al-Islam wa Usul al-Hukm, Kairo: Mathba’ah Mishra Ridha, Rasyid. 1341. al-khilafah au al-Imamah al-Uzhma, Kairo: al-manar Santoso, Agus Edi (Ed.), Tidak Ada Negara Islam, Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid – Moh. Roem Soekarno, 1964. Di bawah Bendera Revolusi, Vol. I, Jakarta: Panitia Penerbit Syadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press Tamara, M. Nasir dan Elza Peldi Taher. 1996. Agama dan Dioalog antar Peradaban, Jakarta: Paramadina Tanja, Viktor. 1991. HMI, Sejarah dan Kedudiukannya di Tengah Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Tekad, No. 16/th. 1, 15-21 Februari 1999
13
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Tekad, No 2/Th. 1, 9-6 Nopember 1999, Tripp, Charle. 1998. “Sayyid Quthub; Visi Politik”, dalam Ali Rahnema (Ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan Yatim, Badri. 1997. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers
14