PESONA PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMAD ABDUH Ridwan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Pontiank Email:
[email protected]
Abstract This writing is aimed at discussing the thought of Muhammad Abduh and addressing his social condition and influence in Islamic modern politics. Abduh was Islamic modern scholar that campaigned for the change based on rationale not religious dogmatism. His campaign can be seen from his effort to accommodate syari’ah basic principles with contemporary standards. Abduh’s movement has colored Egyptian politics. Abduh’s reform was started from changing education system critically according to modern method. He campaigned for Pan-Islamism and Islamic reform. He separated between essential and non-essential elements. He also perpetuated fundamental aspects and abandoned accidental historical aspects. Thus, he proposed several elements: returning to original source, AlQur’an and Hadits; using rationale proportionally in order to suit contemporary interpretation and standards. Then, according to Abduh, political organization cannot be ruled by Islamic teaching but the chorus. Therefore, Abduh’s reform emphasized more in freedom to determine the form of state: Khalifah or western democracy. Abstrak Tulisan ini ingin mengetengahkan cara pandang yang berbeda dalam menelaah corak pemikiran politik Muhammad Abduh sembari mendiskusikan ulang tentang kondisi sosialnya, ilham pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap diskursus politik Islam modern. Abduh adalah tokoh Islam modernis yang selalu mengkampanyekan perubahan dengan nalar yang sehat bukan dengan berpangku tangan pada dogmatisme keagamaan dan mengesampingkan nalar. Kampanye perubahannya dapat dilihat daribagaimana Abduh ingin melakukan penyesuaian prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan dalam syariah, dengan kondisi kehidupan pada setiap generasi. Kemudian gerakan politik Abduh dalam blantika politik Mesir yang gersang menjadi warna tersendiri untuk mempelajari sepak terjang Abduh. Upaya Muhammad Abduh dalam melakukan pembaharuan dimulai dengan perlunya sebuah sistem pendidikan yang kritis dengan metode yang modern. Abduh juga mengkampanyekan pan-islamisme dan reformulasi Islam. Abduh mengidealkan suatu pemisahan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah. Untuk itu Abduh menyarankan beberapa unsur yang harus dilakukan diantaranya: kembali kepada sumber yang murni yakni Al-Qur’an dan Hadist, memberikan porsi yang cukup terhadap akal-pikiran dalam penafsiran serta penyelarasan terhadap logika zaman. Selanjutnyaa dalam bidang politik bagi Abduh, organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Dengan demikian, ide pembaharuan Abduh sesungguhnya lebih menekankan kebebasan dalam menentukan, termasuk apakah negara berbentuk khalifah atau berbentuk negara dengan demokratisasi seperti yang telah terjadi di dunia Barat Kata Kunci: politik Islam, reformasi, refomulasi, dogmatism, taqlid
Pendahuluan
Berlabuhnya modernisasi dalam dunia Islam dipandang suatu tantangan, dibalik kebutuhan mendesak dalam merespon kondisi kehidupan umat yang semakin jauh terbelakang. Rekonstruksi tradisi serta ajaran Islam yang menjadi warisan masa lalu, menjadi kebutuhan mendesak agar kesesuian tradisi serta ajaran Islam dengan zaman yang selalu menuntut perubahan menjadi nyata. Tetapi upaya tersebut kadangkala mesti berhadapan dengan gugusan karang terjal dogmatisme agama yang dipegang dengan kokoh oleh sebagian generasi Islam. Padahal runtuhnya imperium-imperium Islam yang diakhiri dengan tumbangnya Turki Ustmani pada dekade awal abad ke 20 adalah bukti nyata dan menjadi kaca benggala yang menyejarah melampaui ruang dan waktu. Peristiwa tersebut pantas menjadi refleksi serta catatan penting dalam mana umat Islam memetik pelajaran berharga sebagai upaya mengejar ketertinggalannya terhadap Barat. Tradisionalisme pemikiran yang lahir dari sebuah ajaran yang dikategorikan sakral membuat generasi penerus tahta keagamaan dalam Islam menjadi kerdil kreasi. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil pemikiran cendikiawan klasik seperti Al-Mawardi dengan Al-Ahkām al-Sulṭāniyah-nya. Terlepas dari karya Mawardi tersebut pesanan penguasa, tetapi sebagian isinya yang mengisaratkan pesonanya terhadap keanggunan bani Quraiys sebagai penguasa yang pantas adalah cerminan dari bekunya kreasi berfikir karena “takluk” pada bayang-bayang tradisi yang telah terwariskan. Padahal, sekali lagi pergeseran zaman selalu menuntut perubahan, belum lagi pertemuan antar komunitas dunia yang cenderung memiliki imbas, baik yang positif maupun yang negatif. Di mesir, ekspidisi Prancis oleh Napolion pada tahun 1798 secara umum memang bisa dipandang sebagai gerbang baru pergolakan pemikiran Islam modern. Karena dari peristiwa tersebut senandung rekonstruksi dan reorentasi terhadap pemikiran tradisional buah dari doktrin keagamaan Islam sayup-sayup terdengar lirih. Upaya tersebut mula-mula hanya sebagai penyeimbang invansi Barat tetapi kondisi yang semakin terpuruk menjadi pemaksa generasi Islam untuk belajar dan bagaimana beradaptasi dengan kebudayaan Barat. Sejak saat itulah pengaruh Barat menjadi dominan dan penyesuainpun tidak dapat dielakkan. Pengaruh Barat pada perjalanannya tidak selamanya mempengaruhi secara utuh pemikiran generasi Islam untuk meninggalkan tradisi keagamaannya walaupun tidak dapat dipungkiri, ada juga yang melepaskan doktrin agama dalam konteks kenegaraan. Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abdur ar-Raziq, Ali Syariati adalah sebagian dari deretan para pemikir modern Islam-yang pemikirannya pantas untuk ditelaah secara mendalam―untuk menjadi bahan kajian dan diskusi sebagai cermin perubahan sekaligus warisan yang pemikiran yang menyejarah. Pergumulannya yang menantang serta keteguhan pendiriannya untuk melakukan sebuah perubahan dalam masyarakat yang dipandang terbelakang, menjadi menarik untuk dipahami. Tulisan ini ingin mengetengahkan cara pandang yang berbeda dalam menelaah langgam pemikiran politik Muhammad Abduh. Pemikiran politik Muhammad Abduh dalam tulisan ini sengaja dipilih penulis untuk mendiskusikan ulang tentang kondisi sosialnya, ilham pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap diskursus politik Islam modern. Abduh adalah tokoh Islam modernis yang selalu mengkampanyekan perubahan dengan nalar yang sehat bukan dengan berpangku tangan pada dogmatisme keagamaan dan mengesampingkan nalar. Kampanye perubahannya dapat dilihat dari― bagaimana Abduh ingin melakukan penyesuaian prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan dalam syariah, dengan kondisi kehidupan pada setiap generasi. Kemudian gerakan politik Abduh dalam blantika politik Mesir yang gersang menjadi warna tersendiri untuk mempelajari sepak terjang Abduh. Namun sebelum mengupas lebih jauh pemikiran Politik Abduh, penulis akan menggambarkan biografi Abduh. Biografi Abduh
Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah berakar pada bumi pedusunan Mesir. Dia lahir di sebuah Dusun di dataran Delta sungai Nil, tepatnya di Mahallat Nashr Kabupaten Al-Bukhaira pada tahun 1849 M. Abduh lahir dari sebuah keluarga yang tidak tergolong kaya tetapi terkenal agamis. Selain suka menolong, kekokohan keluarganya dalam beragama disertai ilmu keagamaan yang mempuni membuat keluarga Abduh dikenal baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Disisi lain, walaupun keluarga Abduh tergolong agamis, tetapi tradisi Arab jahiliyah masih diadobsi dalam keluarga Abduh. Hal itu dapat dilihat dari prilaku ayah Abduh yang berpoligami. Seperti kebanyakan anak yang lahir dalam sebuah keluarga poligami kesulitan hidup menjadi derita Abduh sejak kecil. Hal itulah yang kelak sangat mempengaruhi pemikirannya tentang perlunya pembahuruan keluarga dan hak-hak wanita. Sebagai bagian dari sebuah keluarga yang cinta terhadap ilmu, lebih-lebih ilmu agama, Abduh kecil sangat tekun belajar menulis dan membaca. Walaupun belajar di rumah atas asuhan orang tuanya, tetapi semangat keingintahuannya tak pernah pupus. Di usianya yang relatif muda, Abduh giat membaca dan menghafal Al-Quran hingga ketika usianya menginjak tujuh tahun, Abduh sudah hafal Al-Quran dengan baik.1 Bahkan salah seorang penulis biografinya mencatat bahwa, meskipun Abduh tidak pernah belajar di lingkungan sekolah Al-Quran, Abduh tidak pernah mengalami keraguan dalam melantunkan ayat-ayat Al-Quran yang dibutuhkan. Menginjak usianya yang ke tiga belas tahun serta bekal pendidikan rumah-an, Abduh dikirim ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajuwid dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat pendidikan, Masjid Ahmadi memang tidak semegah dan seterkenal universitas Al-Azhar, tetapi dari sumberdaya dan kepeiawayannya dalam mendidik siswa lebih-lebih persoalan Al-Quran, Masjid Ahmadi dipandang satu tingkat berada dibawah Al-Azhar. Pengalaman pertama Abduh kecil di lembaga tersebut dalam upayanya menghafal dan memberikan ulasan serta memahami Al-Quran, untuk kemudian menjadi sebuah produk hukum membuat Abduh kecil jenuh, sebab sistem pengajaran yang dibangun, serta penerapan pengajarannya jauh dari apa yang Abduh kecil harapkan. 2 Karena merasa mandul dalam berfikir dan dambaan kebahagiaan dalam belajar tidak dirasakan, akhirnya Abduh kecil meninggalkan Masjid Ahmadi di Tantha dan bertekad untuk tidak kembali pada kehidupan akademis. Dalam kondisi “galau” tersebut Abduh kecil pulang ke kampung halamannya. Menjadi seorang pemuda Dusun dengan keruwetan hidup ditengah keluarga yang berpoligami, membuat Abduh di usia enambelas tahun mengambil keputusan final yang terlalu dini dan berani yaitu: menikah dengan seorang gadis pujaannya. 3 Abduh mencoba mengakhiri waktu lajangnya dengan segenap kekecewaan dalam hidup sepulang dari pengembaraan intelektual, untuk membangun suatu kehidupan baru dengan mahligai rumah tangga. Perjalanan mahligai rumah tangga Abduh berjalan seperti layaknya rumah tangga kebanyakan orang. Susah-senang menjadi selimut kisah dalam kehidupan rumah tangganya. Kemudian Abduh mencoba hidup bermasyarakat sebab hal itu adalah salah satu keharusan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Menjelang empat puluh hari usia pernikahannya, ayah Abduh menyuruhnya untuk kembali belajar ke masjid Ahmadi. Sebagai anak yang taat, Abduh mengikuti kehendak sang ayah, namun diperjalanan Abduh 1
Lihat Abdul Athi Muhammad Ahmad, al-Fikru as-Siasiy lil imāmi Muhammad Abduh (Mesir: 1978), 65. 2 Lebih lanjut lihat Albert Hourani, Arabic Thought In The Liberal Age 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1970), 131. 3 Sebagian kalangan berpendapat bahwa Abduh menikah karena dinikahkan oleh orang tua-nya setelah Abduh pulang dari lembaga pendidikan masjid Ahmadi di Thantha dengan kekecewaan lebih lanjut lihat Dr. M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 12.
membayangkan kejenuhan belajar di masjid Ahmadi, Akhirnya Abduh membelot pada sebuah distrik Gereja orent—yang disekitar distrik tersebut dihuni oleh mayoritas keluarga dan kerabat ayahnya Abduh. 4 Ditempat inilah Abduh berjumpa dengan Darwisy Khadar. 5 Darwisy Khadar adalah seorang syekh (guru spritual) sufi dari tarekat Syadzili. Darwisy memberikan pandangan-pandangannya kepada Abduh. Sederet mutiara sufi terlontar dalam percakapan-percakapan lepas. Abduh yang telah sekian lama meninggalkan dunia berfikir (dunia akademis) menjadi kembali tercerahkan. Perjumpaan Abduh dengan Darwisy membuat geliat intelektual Abduh kembali bersemi. Darwisy masuk dalam kehidupan Abduh dan menjadi guru spritualnya ditengah galaunya kehidupan Abduh. Darwisy terus menerus menyirami Abduh dengan berbagaimacam keilmuan. Abduh tidak hanya menerima pelajaran tantang bagaimana dunia sufi dari Darwisy tetapi, pelajaran etika dan moral serta praktik kezuhudan dalam dunia sufi. Memang tidak terlalu lama Abduh bersama Darwsy tetapi dari pertemuan tersebut Abduh seakan menemukan “ruh” baru serta semangat yang menggebu dalam mengarungi lautan keilmuan. Dengan tasawuf rasa haus Abduh selama masa keputus-asaan seakan sirna. Tetes madu ajaran tasawuf membuat Abduh berenergi kembali. Abduh menjadi lebih tertarik untuk masuk dalam kehidupan dunia tasawuf bahkan, dalam pengembaraannya di dunia tasawuf, Abduh sempat melakukan zuhud walau sesaat. Hal tersebut dilakukan oleh Abduh sebagai bentuk keterasingan dirinya menyikapi ajaran tasawuf― yang secara lahiriah menurut Abduh banyak hal yang perlu dikritisi. Nasehat Darwsiy mengakhiri sikap zuhud Abduh untuk meninggalkannya. Akhir dari pengalaman spritualnya dalam dunia tasawuf setelah keluar dari kezuhudan, membuat Abduh semakin bergairah untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pada saat itulah Abduh merasa berada disimpang jalan sebab, disatu sisi Abduh sudah memiliki istri tetapi disisi lain, semangat keilmuannya terus-menerus merong-rongnya. Pilihan pelik tersebut akhirnya mendapatkan jawaban pada tahun 1866 sebab, pada tahun itulah Abduh meninggalkan Darwisy menuju masjid Ahmady. Namun sayang banyak guru besar di lembaga tersebut telah tiada. Ditengah kebimbangannya, Abduh mendapat saran dari seseoranng untuk meneruskan pendidikannya ke Al-Azhar. Saat itulah Abduh mengambil keputusan dan melakukan pengembaraan intelektual menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. ketika sedang mengikuti kegiatan pendidikan di AlAzhar, kembali Abduh menelan kekecewaan―yang disebabkan oleh sikap menonjolkan diri para siswa Al-Azhar, baik dari sisi keilmuan, lebih-lebih dalam menghafal AlQuran―yang menurut kacamata Abduh, hal tersebut hanya berupa hafalan yang kering pemahaman terhadap makna naṣ Al-Quran. Apa yang dirasakan Abduh mendapat pembenaran dari Syekh Mustafa Kamal AlMaraghi mengenai pembelajaran Al-Quran. Maraghi menyatakan bahwa Al-Azhar pada saat Abduh belajar memang masih suram, karena sistem pembelajarannya masih menggunakan standar aturan pudar yang terputus dari sumbernya, yakni Al-Quran yang tercerabut dari akarnya, bahasa Arab.6 Al-Azhar bagi Abduh kurang memberikan rangsangan dalam membangun minat intelektualnya. Metode-metode pengajaran yang kolot serta kurikulum yang kuno membuat Abduh sering tidak kerasan. Kekosongankekosongan terbesar dalam kurikulum tersebut bagi Abduh adalah tidak adanya mata kuliah teologi dan filsafat sebab di Al-Azhar kala itu dua mata kuliah tersebut dianggap bid’ah. Ketidak kerasanan Abduh di Al-Azhar semakin mengental ketika Abduh berjumpa dengan Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), dan dari perjumpaan itulah Abduh mulai mengenal bagaimana menafsirkan Al-Quran yang baik dan lebih rasional. Kemudian pada 4
Abdul Athi, al-Fikru…. 66. Mengenai Darwisy Khadar terjadi kesimpang-siuran informasi. Ada yang berpendapat bahwa Darwisy adalah paman Abduh tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ia adalah paman dari ayahnya Abduh 6 Mustafa Kamal Al-Maraghi dalam Yvonne Haddad, Para Perintis Zaman Baru Islam (Jakarta: Mizan, 1996), Alih Bahasa Ilyas Hasan, 37. 5
perkembangan pemikiran Abduh berikutnya Al-Afghani jualah yang membimbing Abduh mengenalkan lebih dalam dunia filsafat dan teologi. 7 Meskipun demikian, Abduh tetap menyelesaikan studinya. Pada tahun 1877 Abduh lulus dari Al-Azhar dengan menyandang predikat the degree of ‘alim.8 Dengan predikat tersebut menurut catatan Hourani, Abduh dipercaya menjadi seorang teacher di Al-Azhar dan kemudian di Darul Ulum. Selain itu Abduh juga membuka kelas informal (informal class) di rumahnya. 9
Karya Abduh Dalam hal berkarya, Abduh juga termasuk salah satu tokoh yang sangat produktif, karya-karyanya berserakan, terutama di surat kabar yang memang sengaja diasuhnya sebagai media pembaharuan, baik bersama gurunya Afghani ataupun Abduh sendiri. Diantara karya Abduh yang dibukukan adalah Risālah Al-Ridat (1873) yang kemudian disusul dengan karya berikutnya yaitu Hasyiah Syirah Al-Jalal Ad-Dawwani Lil-Aqo’id AlAḍuḍiyah (1875). Karya-karya tersebut berisi tentang aliran-aliran filsafat, kalam dan tasawuf serta berisi keritikan-keritikan yang dianggapnya salah. Karyanya ini ditulis oleh Abduh sejak dua tahun pertemuannya dengan Al-Afghani dan usianya ketika itu sekitar 26 tahun. Kemudian karyanya yang lain adalah Risālah At-Tauhid dalam bidang teologi yang ditulisnya pada tahun 1885 dan Sharah Nahjul Balāgah yang berisi tentang komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Ṭalib. Selanjutnya Abduh juga melakukan penerjemahan-penerjemahan diantaranya Abduh menerjemahkan Ar-Raddu Ala AlDahriyyīn dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Buku tersebut berisi tentang bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan kemudian Sharah Maqamal Badi alZaman Al-Hamazani, kitab yang berisi tentang bahasa dan sastra Arab. Kedua karya tersebut merupakan karya guru sekaligus sahabat Abduh yaitu Al-Afghani. 10
Munculnya Ide Pembahuruan Abduh Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Eropa pasca runtuhnya imperiumimperium Islam membawanya pada puncak kejayaan. Hal itu bisa disaksikan pada paruh pertama abad ke sembilan belas, dimana Eropa terus menjadi ikon modernisasi peradaban. Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan di Eropa mengalami kemajuan yang cukup pesat hingga jauh meninggalkan dunia Islam. Sederet prestasi yang semakin gemilang tersebut menjadikan Eropa terus mengembangkan sayap pengaruhnya keseluruh penjuru dunia. Transmisi ilmu pengetahuan serta invansi kekuasaan menjadi program tetap demi sederet keuntungan Negara serta kesejateraan rakyat. Seperti disinggung di atas, Mesir sejak ekspedisi Napolion merupakan bagian dari sasaran Eropa dalam mana mentransmisikan ilmu pengetahuan dan sains serta invansi kekuasaannya. Transmisi ilmu pengetahuan dan sains yang dilancarkan oleh Eropa sangat mempengaruhi tatanan pemerintahan serta cara berfikir bangsa Mesir. Perasaan ketertinggalan serta pengaruh Eropa yang semakin-lama semakin dahsyat lebih-lebih dalam persoalan pemerintahan, membuat kesadaran baru bagi cendikiawan Mesir guna mengupayakan perlawanan untuk mengusir Eropa penjajah. Upaya perlawanan dan keinginan keras bangsa Mesir dalam menghalau invansi Eropa bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi upaya tersebut selalu kandas. Melalui refleksi sejarah dan doktrin keagamaan 7
Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah pemikiran dan gerakan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), Cet ke II, 61. 8 Hourani, Arabic…., 132. 9 Ibid. 10 Dr. M. Quraish Shihab, Studi...., 14-16.
maka muncullah Muhammad Abduh dengan ide pembahuruannya. Abduh adalah sebagian dari generasi Mesir penerus tongkat estapet pembaharuan. Pada mulanya Muhammad Abduh hanyalah pelajar biasa dengan segenap pengetahuan terbatas tanpa pengalaman. Perjumpaannya dengan Al-Afghani disela waktu kuliahnya membuat Abduh semakin keranjingan dalam upayanya memahami berbagai ilmu pengetahuan. Ide-ide Al-Afghani yang dipresentasikan melalui logika yang cukup rasional telah mampu membuat Abduh terpikat. Al-Afghani dengan kecakapan serta penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan kemudian tidak hanya menjadi guru spritual Abduh, tetapi juga menjadi sahabat akrabnya dalam melakukan upaya-upaya pembaharuan. Jalan panjang perjuangan yang penuh liku dalam membangkitkan kesadaran muslim terhadap ancaman dominasi Barat, serta agitasi propokatif guna mendorong masyarakat untuk menentang penguasa yang bersekongkol dan intervensi Asing, menjadi pengalaman berharga bagi Abduh. Melalui jalan panjang itulah Abduh semakin jauh terlibat dalam persoalan gerakan pembaharuan. Mulai dari awal perjumpaannya dengan Al-Afghani, Abduh merasakan pencerahan berfikir. Berbagai ilmu pengetahuan yang ditopang dengan segudang pengalaman Al-Afghani terus memacu semangat Abduh dalam menimba banyak pengetahuan. Melalui Afghani, Abduh tidak hanya mahir dalam pengetahuan keagamaan, pendidikan tetapi juga mencakup ilmu sosial-politik. Dengan demikian, maka kiranya lumrah jika para sejarawan berpendapat bahwa Al-Afghani adalah sumber inspirasi bagi Abduh dalam perjalanan karir keilmuan yang kemudian melahirkan aktivitas pembaharuan. Al-Afghani sebagaimana dikisahkan bahwa ia adalah salah satu tokoh pembaharu Mesir yang terkemuka di abad ke 19. ide dan gerakan Al-Afghani mengilhami kemunculan berbagai gerakan sosial-politik diseluruh dunia muslim. 11 Pan-islamisme adalah salah satu ide politik Al-Afghani yang paling populer. Ide tersebut telah menjadi pandu perdana gerakan pembaharuan serta upaya Al-Afghani dalam melakukan gerakan revolusi Islam utamanya di Mesir.12
Gerakan Pembaharuan Abduh Upaya Muhammad Abduh dalam melakukan pembaharuan dimulai dengan perlunya sebuah sistem pendidikan yang kritis dengan metode yang modern. Melalui sistem pendidikan seperti ini Abduh menginginkan perubahan pola pikir keagamaan bangsa Mesir yang rigid menjadi cair. Dalam pandangan Abduh, kekalahan serta ketertinggalan Mesir terhadap Eropa penjajah disebabkan karena ketidak-mampuan orang-orang Mesir untuk keluar dari jerat dogmatisme―yang itu diperkuat oleh pendidikan Mesir yang konvensional (metode hafalan). Lemahnya penguasaan terhadap bahasa Arab juga menjadi faktor lain sehingga orang-orang Mesir tidak memiliki cukup alat guna mengkaji ulang kitab-kitab yang ditulis oleh para cendikiawan muslim pendahulunya. inilah yang menjadi salah-satu faktor kekakuan orang-orang Mesir dalam berfikir. Akibatnya, orang-orang Mesir kemudian terlalu asyik dengan cara-cara berfikir yang berlandaskan warisan kebudayan berfikir klasik (taqlid), sehingga tidak memiliki kreatifitas yang inovatif dalam melahirkan 11
Lihat Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas dan Aktor sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 247. 12 Pan-islamisme sebagai ide gerakan pembaharuan memang tidak menuai hasil yang diharapkan AlAfghani karena, ide tersebut pada perjalanannya disalah gunakan oleh Sultan Hamid II untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya sendiri. Sejak saat itu Al-Afghani melemparkan ide pan-islamismenya dan menggantikannya dengan Aṣhābiyyah jinsiyyah yang diikat oleh semangat waṭaniyyah. Lebih lanjut lihat Ibid, 254-255.
pandangan-pandangan baru untuk kemaslahatannya, lebih-lebih menghadapi zaman yang selalu menuntut perubahan. Sementara, disisi lain Abduh menyaksikan bagaimana Eropa penjajah terusmenerus memperkokoh cengkeraman kekuasaannya di tanah Mesir. Ditengah kepungan dogmatisme serta jerat kekuasaan yang ditaburkan Eropa terhadap Mesir, membuat Abduh semakin gerah. Untuk itu, mengikuti Al-Afghani, Abduh juga mengkampanyekan pan-islamisme dan reformulasi Islam. Tetapi reformulasi Islam bagi Abduh menjadi skala prioritas sebab reformulasi Islam adalah kebutuhan yang sangat mendesak dan menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar, jika orangorang Mesir ingin merdeka dari jerat penjajah. Karena bagi Abduh, kegalauan yang terjadi dan dialami oleh masyarakat muslim Mesir tidak hanya semata faktor politik, tetapi yang lebih dominan adalah faktor pemahaman terhadap sikap keagamaan yang kaku. 13 Reformulasi Islam menurut Abduh sangat penting artinya dalam mana upaya tersebut diharapkan menjadi “vitamin” pencerahan berfikir. Dengan reformula si Islam, Abduh mengidealkan suatu pemisahan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah. Untuk itu menurut Abduh ada beberapa unsur yang harus dilakukan diantaranya: kembali kepada sumber yang murni yakni Al-Qur’an dan Hadist, memberikan porsi yang cukup terhadap akal-pikiran dalam penafsiran serta penyelarasan terhadap logika zaman. 14 Menurut Abduh, Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, tetapi ia menegaskan bahwa, pemikiran merupakan sarana terpenting guna memahami keistimewaan kandungannya (baca: tafsir). Dengan demikian, Abduh tampak sangat menekankan peranan akal dalam mencari mutiara makna Al-Qur’an. Abduh memang sangat mengedepankan peran akal dalam melakukan suatu pembaharuan bahkan, Abduh membuat statemen yang tampak ekstrim dalam memuji peran akal seperti: manusia pada dasarnya mengetahui yang baik dan yang buruk dengan akalnya. 15 Tetapi Abduh selanjutnya memberikan catatan panting bahwa, tidak semua manusia yang bisa berbuat demikian. Lagi pula menurut Abduh kewajiban untuk melakukan apa yang benar hanya dikenal melalui wahyu maka dari itu, ia mengembalikan tradisi fikih ke tradisi permulaan Islam. Kembali kepada sumber murni dengan pendekatan logika zaman merupakan kunci utama menurut Abduh untuk mereformulasi Islam sebab, pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Abduh berupaya mengajak kaum muslimin merefleksikan sejarah masa lalu. Menurut Abduh, para ulama yang hidup semasa dengan nabi tidak mengalami suatu perbedaan pandangan yang cukup kentara hingga melahirkan perpecahan.16 Tetapi pada era selanjutnya sejarah telah membuktikan betapa perbedaan pandangan yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok yang saling bertikai. Dengan refleksi sejarah tersebut Abduh sesungguhnya ingin mengajak kaum muslimin keluar dari kubangan konflik pemahaman antar kelompok yang sebagian besar kalau tidak semua, kaum muslim di Mesir khususnya dan diseluruh penjuru dunia pada umumnya. Dalam Islam menurut Abduh terdapat petunjuk umum yang menghendaki penafsiran ulang pada setiap zaman, dan bukan sebagai sebuah ketetapan yang bersifat abadi, yang menghendaki proses blueprint (cetak biru) secara mendetail bagi organisasi sosial dan politik. Penafsiran ulang dalam pemahaman Abduh sudah tentu tidak melibatkan paham kelompok 13
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), Alih Bahasa, Ghufron A. Mas’adi, Cet I, Bagian III, 111. 14 Abdul Athi, al-Fikru….. 16-126. 15 Kerr dalam Antony Black, Pemikiran politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006) Alih Bahasa, Abdullah Ali dan Mariana Aristyawati, 551. 16 Abdul Athi, al-Fikru …, 117.
klasik yang cenderung berseteru akan tetapi, bagaimana kaum muslim mempergunakan akalnya dalam meraih pemahaman yang baru sesuai dengan konteks zamannya. Dan kalaupun mau melibatkan tradisi penafsiran klasik, porsinya dibatasi agar tidak terjebak pada lingkaran berfikir yang sama. Pernyataan Abduh tersebut sesungguhnya sekaligus mengkritik kaum muslimin yang menerima secara kuat dan mengikat, keahlian para tokoh muslim masa silam sebagai sebuah ketentuan agama untuk segala zaman. Lebih lanjut Abduh menegaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis harus selalu diterapkan dalam urusan peribadatan, keputusan individu, atau ijtihad. Ini sangat penting menurut Abduh untuk menata hubungan-hubungan sosial yang hanya dicapai dengan ide-ide rasional yang bersifat umum dan dengan pertimbangan etika kemanusiaan. Pemikiran Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam. Keharusan tunduk dan patuh pada warisan pemikiran masa lalu semisal pendapat para fuqaha yang berserakan dalam kitabkitab fikih adalah pengekangan berfikir. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari Al-quran dan hadist. Dengan demikian, persoalan zaman yang dihadapi oleh setiap generasi umat Islam seyogyanya dikonstruksi langsung berdasarkan pemahaman terhadap teks Al-Quran dan hadist sebagaimana para produsen hukum masa lalu. Produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan tetapi menjadi titik pijak, bukan menjadi belenggu. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat. Semangat ini tentu tidak sekaligus menapikan produk pemikiran masa lalu, tetapi situasi dan kondisi yang berbeda mengharuskan telaah ulang guna merumuskan berbagai persoalan keumatan berikut tantangannya. المحافظة علي القديم الصاليح واالخد علي الجديد االصلح kiranya menjadi penguat nalar untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang brilian untuk zamannya. Oleh karena itu, perangkat nalar dalam meyelami makna Al-quran dan hadist harus dikuasai sehingga produk yang dihasilkan adalah hasil kerja nalar ilmiah. Politik Dan Pemerintahan Dalam pandangan Abduh Dalam politik, Abduh dipandang lebih moderat ketimbang Afghani. Bagi Abduh, organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. 17 Dengan demikian, ide pembaharuan Abduh sesungguhnya lebih menekankan kebebasan dalam menentukan, termasuk apakah negara berbentuk khalifah atau berbentuk negara dengan demokratisasi seperti yang telah terjadi di dunia Barat. Dengan sikap tersebut bukan berarti Abduh menghendaki copy-paste sistem kedua model negara di atas. Karena jika hal tersebut terjadi menurut Abduh, maka sesungguhnya kaum muslimin keluar-masuk taqlid. Padahal taqlid merupakan berhala yang coba dihindari Abduh. 18 Kemudian yang terpenting bagi Abduh seperti yang dikemukakan oleh Abdul Athi adalah, memberikan kebebasan politik dan kebebasan berorganisasi kepada umat. Kebebasan inilah yang kemudian disebut Abduh sebagai kebebasan Insyaniah dalam menetapkan pilihannya.19 Dengan kebebasan tersebut diharapkan umat melakukannya dengan penuh kesadaran, sehingga apa yang diharapkannya dapat digapai. Kesadaran yang demikian akan hadir tentunya setelah umat mampu bangkit dan keluar dari kungkungan dogmatisme agama, atau dalam bahasa Abduh, melalui reformulasi Islam seperti yang telah disinggung sebelumnya. Politik dan pembaharuan yang Abduh tempuh memang sangat moderat, karena Abduh lebih menekankan pada kesadaran pembaharuan umat dari dalam diri umat itu sendiri. Dan karena itu, Abduh tidak menghendaki jalan konfrontatif seperti yang pernah
17
Kerr dalam Antony Black, Pemikiran……, 551. Mengenai upaya pembebasan berfikir Muhammad Abduh dari taqlid lihat Hourani, Arabic140. 19 Lihat Abdul Athi, al-Fikru, 172. 18
dilakukan gurunya Afghani. 20 Walaupun pada masa awal Abduh juga disinyalir terlibat dalam revolusi Urabi 1882. 21 Dengan demikian gerakan politik Abduh dipandang sebagai gerakan yang evolutif bukan gerakan revolusioner. Mengenai kepemimpinan, Abduh tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya sebab, kepemimpinan merupakan faktor kunci dalam dinamika kehidupan. Jangankan dalam suatu masyarakat yang besar seperti negara, dalam sekelompok masyarakat terkecil atau bahkan pada setiap pribadi, kepemimpinan menjadi keniscayaan. Maka dari itu, untuk menunjukkan betapa pentingnya peran pemimpin tidak heran jika hal tersebut diperkuat dengan dalil. Dalam Islam ada sebuah hadist yang cukup populer seperti: Idza kuntum thalasatan faamiru wahīdan (ketika kamu berkumpul tiga orang, maka salah satu harus menjadi pemimpin). Abduh sebagai tokoh modernis juga menekankan adanya pemimpin, tetapi bagaimana pemimpin yang ideal menurut Abduh, inilah salah satu proyek pemikiran modernis Abduh yang pantas untuk dipertimbangkan. Dalam persoalan kepemimpinan, Abduh secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak mengenal pemimpin keagamaan lebihlebih dalam persoalan akidah. Bagi Abduh sorang mufti, Qadhi dan as-Syaikh al-Islam hanyalah petunjuk jalan terutama bagi kalangan awam untuk memahami agama khususnya mengenai persoalan kebaikan dan keburukan. Lebih lanjut Abduh mengemukakan bawa Islam hanya mengenal seorang pemimpin sipil (hakim madany). Pemimpin ini menurut Abduh adalah orang yang terikat oleh hukum yang tidak ia kuasai, dan ia didudukkan pada jabatannya oleh komunitas yang mengawasinya, dan menurunkannya. 22 Dengan logika di atas tersebut bukan berarti Abduh ingin memisahkan secara mutlak antara persoalan akidah dan persoalan dunia sebab, Islam dalam pandangan Abduh sesungguhnya mencakup kedua-duanya. Untuk itu seorang pemimpin dalam pandangan Abduh memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan, bahkan jika dibutuhkan, pemimpin yang diktator-pun bukan persoalan yang penting ia adil23 serta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh ajaran agama (Al-Qur’an dan Hadis) dan umat. Dan jika terjadi pertentangan antar Al-Qur’an dan hadis dalam mana umat mengamalkannya, maka umatlah yang berhak untuk memutuskannya guna menemukan al-maslahah yang menjadi harapan umat.24 Pemikiran Abduh tersebut terkesan agak ekstrim dan bahkan bertolak belakang dari keumuman paham keagamaan yang telah diwarisi oleh umat Islam. Dalam urusan kekuasaan, Abduh memandang perlu ada pembatasan dengan sebuah konstistusi yang jelas, sebab tanpa konstitusi menurut Abduh akan terjadi kesewenangwenangan. Untuk itu Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis. 25 Kemudian dalam urusan pemerintahan serta institusi-institusi terkait, Abduh berpendapat bahwa, perlu adanya perwujudan desentralasasi dan pemberian kebebasan dalam setiap institusi pemerintahan secara administratif. 26 Seperti halnya bentuk pemerintahan konvensional, Abduh juga mengajukan bentuk pemerintahan yang sama seperti: Tasyri’iyah (legeslatif), Tanfidhiyah (eksekutif), serta Qadha’iyah (yudikatif). Walaupun lembaga-lembaga tersebut terpisah dan masingmasing memiliki otoritas tetapi, menurut Abduh satu dengan yang lain disyaratkan untuk saling bekerjasama dan saling membantu. Kemudian setiap produk kebijakan diparipurnakan melalui Majelis as-Syura (MPR) untuk dilaksanakan. 27 Selanjutnya 20
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 2005), 14-15. Dr. M. Quraish Shihab, Studi……, 15. 22 Antony Black, Pemikiran….. 552. 23 Ibid 24 Ibid, 140-146. 25 Ensiklopedi Islam,……, 14-15. 26 Abdul Athi, al-Fikru…., 214. 27 Abdul Athi, al-Fikru….., 206. 21
menurut Abduh, dalam sebuah pemerintahan perlu adanya perubahan peraturan dan undang-undang yang lama dengan aturan atau undang-undang yang baru. Hal itu menjadi penting dalam meyelaraskannya dengan kondisi sosial dan politik yang selalu menuntut perubahan. 28 Dan semua itu akan menjadi mungkin menurut Abduh jika dilalui dengan upaya pendidikan untuk meninggalkan tradisi taqlid. Kesimpulan Pemikiran Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun, sesungguhnya Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil olah pikir masa lalu. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam adalah menggali makna-makna yang terkandung dalam Alquran dan hadis untuk kepentingan zamannya. Produk pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi menjadi belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang tepat. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat. Abduh telah membentangkan cara berfikir yang brilian untuk masa depan umat Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir objektif guna kemaslahatan umat Islam.
Daftar Pustaka Abdul Athi Muhammad Ahmad. al-Fikru as-Siyasiy liimāmi Muhammad Abduh (Mesir: 1978). Albert Hourani. Arabic Thought In The Liberal Age 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1970). Antony Black. Pemikiran politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006). Azyumardi Azra, M.A. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas dan Aktor sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 2005) Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah pemikiran dan gerakan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992). Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999). M. Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). Yvonne Haddad. Para Perintis Zaman Baru Islam (Jakarta: Mizan, 1996).
28
Ibid, 214.