Perubahan Bentuk dan Fungsi Pertunjukan Ronggeng Gunung Etty Suhaeti Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jalan Buahbatu No. 212 Bandung
ABSTRACT The art of Ronggeng Gunung that grows and develops in the southern part of the district Ciamis is still continuously preserved until now. One effort to preserve its existence is through various changes, both in terms of its function in the community and in the form of its show. However, the changes have not been able to raise this folk art as in its previous victory, in which Ronggeng Gunung is greatly adored by its lover community. The research used qualitative method in order to reveal the process of the changes. The result of the research shows that the changes of the form of performance are mainly influenced by two factors, namely the internal and external factors. The two effects of changes are caused by the consciousness of the individual of community on his own weaknesses, and the external influences of the social culture which are felt more profitable. Keywords: Ronggeng Gunung, internal factor, external factor ABSTRAK Kesenian Ronggeng Gunung yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Ciamis bagian selatan masih terus dilestarikan hingga saat ini. Salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaannya yaitu dengan adanya berbagai perubahan, baik dari segi fungsinya di masyarakat maupun pada bentuk pertunjukannya. Akan tetapi, perubahan tersebut belum mampu mengangkatnya seperti pada masa kejayaannya dahulu, di mana Ronggeng Gunung sebagai sebuah kesenian rakyat sangat digandrungi oleh masyarakat pecintanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap proses perubahan yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan bentuk pertunjukan secara inti dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 1
2
Kedua pengaruh perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya kesadaran individu masyarakat akan kekurangan dirinya, dan adanya pengaruhpengaruh dari luar budaya masyarakat yang dirasakan lebih menguntungkan. Kata Kunci : Ronggeng Gunung, faktor internal, faktor eksternal
PENDAHULUAN Keberadaan Ronggeng Gunung mempunyai latar belakang yang panjang dan terkait dengan ceritera rakyat yang merebak di kalangan penduduk setempat, yaitu Raja Haur Kuning dari Pangandaran. Konon, sang Raja kala itu sedang mengalami duka yang mendalam karena ditinggal oleh putranya, Raden Anggalarang, yang gugur di medan perang melawan serangan bajo (bajak laut). Kekasih Raden Anggalarang yaitu Dewi Siti Samboja, dalam usahanya menggalang kekuatan untuk meneruskan perjuangannya menyamar menjadi ronggeng dengan nama Rengganis. Siang hari ia bekerja di huma atau di ladang, sedangkan malam hari ia menjadi seorang penari ronggeng. Hal ini dilakukannya sebagai cetusan rasa gandrung Dewi Siti Samboja, seorang putri dari Prabu Siliwangi, kepada kekasihnya yang telah gugur. Dari sinilah awal mula kesenian Ronggeng Gunung mulai tumbuh dan berkembang di Ciamis Selatan, yaitu pada masa sebelum agama Islam masuk ke kerajaan Galuh atau zaman Hindu. (Ensiklopedi, 1986:85) Ronggeng merupakan fenomena budaya yang banyak disinggung dalam berbagai tulisan, antara lain kidung Sunda sebuah karya sastra Jawa Tengahan yang ditulis sekitar tahun 1.500-an.
(diterjemahkan dalam 2
3
bahasa Sunda oleh Hasan Wira Sutisna); Serat Centini (1814) karya sastra Jawa terkenal yang berupa tembang (Endang Caturwati, 2006:27). Irama
tembang
pada
lagu-lagu
Ronggeng
Gunung
sangat
melankolis, dan syairnya pun kebanyakan menggunakan bahasa buhun yang susah dimengerti oleh orang biasa. Tidak semua pesinden atau pun ronggeng dapat menyanyikannya, sehingga yang dipercaya untuk menjadi pesinden biasa-nya mereka yang sudah benar-benar menguasai dan terampil ngawih sunda pada Ronggeng Gunung.
PEMBAHASAN Ciri khas Ronggeng Gunung adalah terdiri dari satu orang ronggeng yang menari sambil bernyanyi dan iringannya pun terdiri dari tiga buah ketuk, kendang dan gong. Penabuh alat waditra pun datangnya dari penonton (Birano Amas dkk, 1996:222). Ronggeng merupakan pertunjukan rakyat
yang
sudah
menjadi
istilah
umum
dipergunakan
untuk
menamakan penari wanita yang tampil dalam tari pergaulan di Jawa Barat, seperti Ketuk Tilu, Tayub dan lain-lain. Ronggeng berperan sebagai penari yang memiliki kekuatan magis sehingga mampu memikat penonton untuk ikut menari bersama. Mereka menari dengan pola lantai membuat lingkaran sambil menggerak-gerakkan anggota badannya sampai dengan selesainya lagu. Setelah pergantian lagu, para penari pun bersiap-siap untuk menari lagi pada lagu berikutnya (S. Dloyana, 1981/1982:28). Mengawali penyajiannya, ronggeng menghadap ke nayaga sambil menyanyikan lagu-lagu lulugu sendirian. Lulugu adalah beberapa lagu tertentu yang dinyanyikan pada saat mengawali pertunjukan. Lagunya 3
4
terdiri dari Kuduk Turi, Jangganom dan Ladrang. Setelah selesai menyanyikan lulugu dilanjutkan dengan lagu lainnya, dan masuklah beberapa penari laki-laki dari penonton untuk menari bersama-sama. Penonton biasanya sudah membawa sarung dari rumah untuk dipakai menari dengan cara dikerudungkan di kepala dan menutup sebagian muka. Maksudnya, untuk menggambarkan saat para pemuda menghampiri Dewi Siti Samboja yang kala itu sedang menangisi jasad kekasihnya yang sudah membusuk, mereka sambil menutupi hidung dengan sarung. Para penari laki-laki menari sampai anjog, yaitu dibunyikannya gong sebagai tanda selesai. Anjog adalah gong pertama dan terakhir pada setiap lagu yang dinyanyikan ronggeng sebagai pertanda penonton diperbolehkan masuk dari luar arena untuk menari bersama-sama. Adapun gambaran dari setiap lagu dalam pertunjukan Ronggeng Gunung adalah sebagai berikut: Lagu Kuduk Turi menggambarkan kenangan Dewi Siti samboja ketika menjalin kasih dengan salah seorang pemuda desa yang pernah menolongnya di bawah pohon turi yang sedang berbunga. Lagu Jangganom sebagai penghargaan dari Dewi Siti Samboja kepada pemuda desa, seakan-akan pemuda desa itu seorang bujangga muda yang menolongnya dan dicintainya. Lagu Ladrang adalah sebagai mantera (pengemat kabogoh, Sd.) untuk mendatangkan kekasih (Nesri Kusmayadi, 1996:26). Bunyi syair Kuduk Turi yang merupakan salah satu dari lagu Lulugu adalah sebagai berikut: Lagu Kuduk Turi Kuduk turi mad0okdok wulan dadari Taya kedok mah taya da kempi Taya kedok mana ngari 4
5
Eee.........eeung ngideung ngadaweung mah ngabangbang areuy Lagu Kuduk Turi Dibawah pohon turi saat bulan purnama Kalau tiada topeng tiada tempat ikan Tiada topeng yang tersisa Duh kasih...., duduk melamun sambil mengenang seseorang. Fungsi Ronggeng Gunung Sebagai Sarana Ritual Sudah menjadi tradisi masyarakat di Ciamis Selatan sering mengadakan berbagai macam acara ritual dengan menggunakan Ronggeng Gunung sebagai sarananya, antara lain; dalam upacara meminta hujan bila musim kemarau panjang, membajak sawah, menanam padi, memetik
padi
dan
memasukkan
padi
ke
lumbung
(Nesri
Kusmayadi,1996:9).
a. Fungsi Upacara Meminta Hujan Saat mengadakan upacara ritual untuk meminta hujan, ronggeng mengelilingi kampung sambil membawa kucing untuk dimandikan. Untuk mengawali upacara, ronggeng berangkat dari rumah kepala kampung kemudian berkeliling sambil diikuti oleh warga masyarakat yang terlewati. Setiap kali menemukan sumur atau kali yang berair, ronggeng memandikan kucing yang ia bawa dan diikuti oleh warga masyarakat yang ikut dalam rombongan biasanya sambil bersuka ria saling menyiramkan air ke tubuh mereka. Tidak sedikit dari mereka yang basah kuyup tersiram air, namun ia tidak marah meski dengan air kotor dan berlumpur. Setelah arak-arakan berkeliling kampung dianggap
5
6
cukup, maka rombongan ronggeng kembali ke rumah kepala kampung tempat mengawali upacara.
b. Fungsi Upacara Membajak Sawah Dalam upacara membajak sawah, sebelum memulai pekerjaan dilakukan pembacaan mantera-mantera atau do’a oleh salah seorang yang dituakan. Saat berdo’a disertai bakar kemenyan dan disediakan sesaji secukupnya, dengan maksud selain memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa juga minta ijin (amitan) kepada yang menjaga (ngageugeuh) tanah yang akan dibajak. Selesai berdo’a, petani mengawali pekerjaan membajak yang disebut mitembeyan, sementara ronggeng menyanyikan lagu-lagu (ngawih) sambil mengelilingi areal sawah yang akan dibajak. Sampai kurang lebih dapat satu kotak sawah, ronggeng dan pekerja pun berhenti melakukan tugasnya untuk beristirahat sambil murak tumpeng yang sudah disediakan oleh yang punya sawah. Selesai makan barulah pekerjaan membajak sawah dilanjutkan sampai selesai.
c. Fungsi Upacara Menanam Padi Awal pelaksanaan upacara ini sama dengan upacara dalam membajak sawah, yaitu membaca mantera-mantera atau do’a bersama. Kemudian ronggeng sambil ngawih menancabkan benih padi pertama diikuti oleh para petani melakukan pekerjaan menanam. Selama itu ronggeng melanjutkan ngawih untuk menghibur para petani yang sedang menanam benih padi hingga selesai. Begitu pula pada saat tanaman padi memulai berbuah, dilakukan upacara adat yaitu ronggeng bernyanyi sambil mengelilingi areal sawah 6
7
sebanyak tujuh putaran. Di tiap sudut sawah yang padinya mulai berbuah ditancabkan kaso dan sulangkar, yaitu pepohonan sejenis tebu yang dilengkapi dengan berbagai makanan ringan yang disebut rurujakan. Konon hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa terimakasih dan penghormatan kepada Dewi Sri. Selama upacara berlangsung tidak boleh ada laki-laki melewati areal sawah yang sedang dilakukan upacara. Menurut Ben Suharto dalam bukunya Tayub, bahwa penduduk Asia Tenggara memilih beras sebagai makanan utama, bahkan sampai sekarang. Di dalam kepercayaan animistis dapat dijumpai adanya anggapan bahwa setiap benda mempunyai jiwa. Jadi jiwa tidak manusia saja, tetapi terdapat juga pada binatang, tumbuh-tumbuhan atau juga pada benda-benda mati. Sebagai benda mati itu misalnya butir beras, perahu, mandau, sumpit, batu, besi dan sebagainya. Di daerah Jawa Barat, Dewi Padi dikenal dengan nama Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tinaswati Sri merupakan dewi yang lahir dari telur. Telur tersebut berasal dari titik air mata Dewa Anta, yaitu seorang dewa yang cacat. Ia bersedih menangis tidak dapat menghaturkan bahan untuk mendirikan balai pertemuan para dewa. Kecantikan Dewi Sri yang lahir dari telur tadi membuat Batara Guru jatuh cinta dan ingin mempersuntingnya. Namun dapat digagalkan oleh para dewa yang lainnya, dengan jalan membunuh Dewi Sri dan langsung menguburnya di bumi. Sangat aneh bahwa dari arah dada tumbuh padi, dari arah kemaluannya tumbuh pohon enau serta bagian lain tumbuh rerumputan (Ben Suharto, 1978-1980).
d. Fungsi Upacara Memetik Padi (Panen) 7
8
Pada upacara memetik padi sama dengan upacara menanam padi, yaitu didahului dengan membaca mantera-mantera atau do’a bersama. Sebelumnya sudah disiapkan saung sanggar terbuat dari bambu yang bagian atasnya dibelah empat untuk menyimpan sesaji berupa rurujakan, kopi pahit, kelapa muda dan lain-lain. Bambu ditancabkan di areal sawah dan di atasnya ditaruh kain tenun untuk nantinya sebagai bungkus padi yang pertama dipetik. Selesai berdo’a, ronggeng kemudian ngalean yaitu me-lakukan pemetikan pertama untuk benih pada musim tanam di waktu yang akan datang. Makanya pada saat ngalean ronggeng memilih padi yang bagus-bagus, dan sebelum dipetik pohon padinya ditutup dulu dengan kain tenun yang sudah disediakan. Padi yang sudah dipetik dibungkus dengan kain tenun tadi dan disimpan untuk dijadikan benih. Kemudian sebelum para petani memulai pekerjaan memetik padi, diadakan bancakan yaitu makan bersama nasi tumpeng. Biasanya tumpengnya berupa nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. Selesai makan barulah panen dimulai, dan selama itu ronggeng ngawih untuk memohon keselamatan dan kelancaran sambil menghibur para petani yang sedang memetik padi hingga selesai.
e. Fungsi Upacara Mengangkut Padi ke Lumbung Setelah padi selesai dipanen kemudian dijemur sampai kering, sesudah kering barulah diadakan upacara mengangkut padi ke lumbung. Da-lam upacara ini, padi dipikul dengan menggunakan rengkong yang diikuti oleh ronggeng sambil menari, begitu pula para pengiring pun ikut menari-nari sambil memukul alat musik. Malam harinya sebagai tanda
8
9
syukur atas panen padi yang melimpah, biasanya diadakan acara hiburan berupa pertunjukan Ronggeng Gunung. Selain upacara ritual seperti tersebut di atas, ada semacam upacara ritual lainnya yang sering diadakan oleh masyarakat di daerah Ciamis Selatan, seperti Selamatan Bayi, Hajat Laut dan Muharaman (Wawancara dengan Raspi, 10 Pebruari 2008).
f. Fungsi Upacara Selamatan Bayi Upacara selamatan bayi sesudah berumur 7 hari sampai 40 hari dinamakan ngarupus (Sd.) atau istilah agama disebut aqiqah. Dalam acara tersebut biasanya diadakan acara marhabanan, yaitu membaca kitab ”berjanji” dengan cara bergilir dipimpin oleh ustadz atau orang yang dituakan oleh masyarakat setempat. Bayi digendong oleh dukun beranak atau orang tua si bayi, gunting disimpan di baskom kecil memakai air dan bunga sebanyak 7 macam lalu rambut bayi digunting oleh peserta marhaban sambil diiringi bacaan sholawat. Rambut yang sudah digunting dikum-pulkan kemudian digram dan uang senilai harga emas dari rambut yang
digram
tersebut
dishodaqohkan.
Bagi
orang
yang
mampu
menyembelih hewan kambing, sesuai dengan sunnah Nabi Saw. apabila bayinya laki-laki menyembelih dua ekor kambing dan apabila perempuan cukup satu ekor kambing. Setelah semuanya dianggap selesai dilanjutkan dengan pertun-jukan Ronggeng Gunung yang dalam penyajiannya tidak didahului dengan tatalu dan tidak ada saweran.
g. Fungsi Upacara Hajat Laut
9
10
Hajat laut umumnya dilakukan oleh masyarakat nelayan yang sumber penghidupannya dari laut. Hajat laut diadakan sebagai bentuk rasa syukur pada Yang Maha Kuasa atas rejeki yang diberikan melalui kekayaan alam yang ada di laut. Disamping itu untuk memohon keselamatan agar dijauhkan dari berbagai macam musibah saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan ikan yang melimpah. Sesaji yang biasa disuguhkan yaitu berupa kepala kerbau atau lembu lalu dihanyutkan ke laut, yang didahului dengan pembacaan mantera-mantera oleh para sesepuh. Pada acara ritual semacam itu, biasanya penari ronggeng menari-nari di bibir pantai.
h. Fungsi Upacara Muharaman Muharaman yaitu sebuah upacara untuk mapag taun baru Islam yang jatuh pada bulan Muharam, sehingga disebutlah Muharaman. Selain untuk mapag taun, juga dimaksudkan untuk mengadakan selamatan bumi agar dijauhkan dari berbagai macam bencana dan sebagai bukti syukur
pada Yang Maha Kuasa. Sesajinya bisa memakai telur ayam,
bahkan terkadang menyembelih kambing dan dagingnya dibagikan kepada warga masyarakat. Seiring dengan kemajuan zaman, hal-hal yang berbau mistis sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat sehingga berpengaruh pula terhadap fungsi Ronggeng Gunung itu sendiri. Sekarang fungsi Ronggeng Gunung semata-mata sebagai hiburan yang dalam pertunjukannya melibatkan ma-syarakat pecintanya untuk ikut menari bersama-sama ronggeng.
10
11
Ronggeng Raspi dari perkumpulan ”Panggugah Rasa” dengan mengenakan kostum apok sedang menari bersama-sama penari lakilaki yang semuanya berkerudung.(Foto:Birano Amas/1996)
Nani Haryani, seorang penari Ronggeng Gunung ”Panggugah Rasa” dengan mengenakan kostum kebaya sedang menari bersama beberapa orang penari laki-laki yang mengelilinginya. Nampak penari laki-lakinya berkerudung sarung. (Foto : Etty S/2008)
11
12
Nampak para penonton dengan pakaian bebas mereka ikut menari bersama-sama membuat pola lingkaran. (Foto: Etty S/2008)
Perubahan Internal dan Eksternal Dahulu ronggeng mempunyai tugas ganda yaitu selain menari, ia juga merangkap sebagai penyanyi atau pesinden, jadi menari sambil bernyanyi. Akan tetapi sekarang ada pesinden khusus Ronggeng Gunung, biasanya ronggeng yang sudah senior dan mempunyai suara bagus, sedangkan rong-geng lebih terfokus kepda menari. Begitu pula dalam hal kostumnya, dahulu cukup memakai apok tetapi sekarang sudah memakai kebaya modern. Awalnya Ronggeng Gunung mempunyai fungsi ritual, seperti pada upacara meminta hujan, membajak sawah, menanam padi, memetik padi, upacara memasukkan padi ke lumbung, dan juga pada upacara selamatan bayi (Tati Narawati dan Soedarsono, 2005:111). Namun seiring dengan perubahan zaman, lambat laun beralih fungsi menjadi hiburan atau tontonan. 12
13
Fungsinya sebagai hiburan atau tontonan, Ronggeng Gunung mengalami perubahan dalam bentuk pertunjukannya. Awalnya Ronggeng Gunung biasa mengadakan pertunjukan di buruan (halaman rumah) atau di pakarangan (halaman yang sedikit luas). Setelah dilakukan upaya pembinaan yang dimulai sejak tahun 1970-an oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam mengangkat dan mengenalkan kesenian tradisional kepada masyarakat luas, Ronggeng Gunung sering tampil di berbagai tempat di daerah dan kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Hal ini tentunya membawa berkah dan tantangan tersendiri bagi para seniman. Sayangnya keadaan ini tidak berlanjut sampai sekarang, mengingat persaingan dengan kesenian modern terasa semakin ketat. Pada tahun 1980-an, pertunjukan Ronggeng Gunung di Jawa Barat sudah dikemas menjadi pertunjukan yang lebih teratur walaupun sifat kerakyatannya masih menonjol. Perubahan Ronggeng Gunung tampak pada beberapa aspek yang terkandung di dalamnya, misalnya tari, musik atau karawitan, syair-syair lagu, rias dan busana tari. Di samping itu aspek-aspek pendukung yang lain yaitu seniman pelaku, tempat, waktu, dan cara penyajiannya. Pembinaan yang memfokuskan pada seni pertunjukan di daerah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata berupa kegiatan penataran dan pelatihan. Prinsip dalam pembinaan ini untuk menggali, melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan yang hidup di daerah, sesuai dengan kondisi dan situasi daerah masing-masing. Di samping itu, memacu masyarakat untuk menghargai dan bangga terhadap bentuk seni yang dimiliki.
13
14
Dengan konsep pembinaan ini, keragaman genre seni pertunjukan di daerah masing-masing dapat terwujud. Konsep pembinaan mampu diserap para pembina di daerah kemudian melaksanakannya di daerahnya masing-masing (Sri Rochana Widyastutieningrum, 2006:312). Menurut Alvin Boskoff dalam artikel ”Recent Theories of Social Changes” bahwa proses perubahan bentuk pertunjukan secara inti dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu secara internal yakni perubahan yang terjadi dari dalam dan secara eksternal yakni perubahan yang berasal dari luar.
Kedua
diakibatkan
pengaruh oleh
perubahan
adanya
tersebut
kesadaran
akan
individu
timbul
masyarakat
apabila akan
kekurangan dirinya, dan adanya pengaruh-pengaruh dari luar budaya masyarakat yang dirasakan lebih menguntungkan (Alvin Boskoff, 1964:140). Begitu pula perubahan yang terjadi pada kesenian Ronggeng Gunung karena adanya faktor internal dan eksternal, antara lain adanya pembinaan yang dilakukan secara terus menerus dan juga adanya tanggapan
positif
dari
masyarakat
luas
menyebabkan
terjadinya
perubahan, terutama pada sikap pelaku seni pertunjukan, kemampuan para seniman, perubahan bentuk pertunjukan yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan frek-wensi penampilan. Aspek-aspek yang terdapat pada pertunjukan Ronggeng Gunung yaitu tari, musik atau karawitan, syair-syair lagu, rias busana tari. Di samping itu ada pula aspekaspek pendukung yang lain, seperti; seniman pelaku, tempat, waktu dan cara penyajiannya.
Faktor Pengaruh dari Dalam (Internal) 14
15
Faktor internal ialah dukungan yang datangnya dari dalam, yakni adanya kreativitas dari seniman sebagai pelaku seni. Beberapa perubahan pada pertunjukan Ronggeng Gunung di antaranya terjadi pada: 1. Pola Lantai Pola lantainya selalu membuat lingkaran, mulai hitungan ke satu jingkit kanan, ke dua jingkit kiri, ke tiga jingkit kanan dan ke empat jingkit kiri. Arah kakinya mulai kaki kanan melangkah ke depan dan kaki kiri melangkah ke belakang. Gerakannya pada hitungan ke satu sampai dengan hitungan ke empat membuat posisi setengah lingkaran lalu maju lagi sehingga kalau digabungkan menjadi sebuah lingkaran.
2. Gerakan Gerakannya sangat sederhana dan diulang-ulang, seperti pada gerakan tangan hanya lontang kiri, lontang kanan, lontang kiri, lontang kanan. Gerakan kakinya jingkit kiri, jingkit kanan, jingkit kiri, jingkit kanan. Sekarang gerakan tangan masih tetap begitu hanya sedikit diperindah yang disebut lontang kanan, lontang kiri, lontang kanan, lontang kiri dan seterusnya. Gerakan kakinya dulu hanya menginjakan kaki, kaki kanan secara bergantian, namun sekarang, jingkit kiri jingkit kanan. Apabila kaki kiri yang berjingkit, maka telapak kaki kanan menginjk ke lantai, dan sebaliknya terus begitu. Gerakannya sangat sederhana, sehingga mudah diikuti oleh siapa saja yang ingin ikut menari.
15
16
Gerakan tari yang dilakukan para penari Ronggeng Gunung mengacu pada gerak tari putri. Pada gerak tangan hanya terdapat lontang kiri
dan
lontang
kanan,
sedangkan
pada
gerakan
kaki
hanya
menggunakan gerak jingkit kiri dan jingkit kaki kanan.
3. Panggung Pada awal tahun 1972-an, setiap pementasan Ronggeng Gunung lebih sering dilakukan di tempat terbuka, yaitu di halaman rumah atau pekarangan yang sedikit agak luas, tidak ada panggung sebagaimana layaknya suatu pertunjukan kesenian. Seiring dengan kemajuan zaman, panggung dibuat sekedar untuk tempat para nayaga yang berjumlah tiga orang. Panggung tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu lebar, kira-kira tingginya 0,5 sampai 1 meter dan lebar kira-kira 2 meter persegi,
terbuat dari papan yang dipancang
dengan bambu dan beralaskan tikar atau karpet. Sementara ronggeng menari dan menyanyi di depan panggung dan dikelilingi oleh penonton serta tidak ada pembatas atau jarak yang pasti antara penonton dengan ronggeng, seakan-akan menyatu hanya ada sedikit ruang gerak untuk ronggeng menari sehingga memudahkan penonton yang akan ikut menari bersama ronggeng.
4. Dekorasi Dekorasi artinya hiasan balandongan dengan memakai janur supaya kelihatan lebih menarik dan indah. Sebelumnya dekorasi hanya ala kadarnya, apabila mainnya di halaman rumah maka rumah itulah sebagai
16
17
dekorasinya, apabila di belakang panggung ada pepohonan maka pohon itu berfungsi sebagai dekorasinya. Belakangan dekorasi sengaja dibuat sebagai hiasan panggung, yaitu memakai daun kelapa muda atau janur yang dirumbay-rumbay dibentuk sedemikian rupa, ditambah hiasan yang terbuat dari kertas krep. Rupanya masalah janur untuk masyarakat di sana tidaklah sulit mencari, karena hampir di setiap pekarangan rumah atau kebun banyak pohon kelapanya.
5. Alat Penerangan Di tengah-tengah arena pertunjukan diletakkan sebuah alat penerangan berupa tiga buah obor atau oncor yang terbuat dari bambu memakai tiang bercabang dengan tinggi kira-kira 2,5 meter. Terkadang alat penerangan dibantu dengan lampu patromak yang lebih terang, namun setelah adanya program listrik masuk desa, penerangan dibantu dengan lampu listrik sampai sekarang. Bahkan bila pertunjukan diadakan di sebuah gedung kesenian, terkadang dilengkapi dengan lighting. Namun demikian obor atau oncor masih tetap dipajang di tengah-tengah arena meski tidak dinyalakan, dengan maksud untuk tidak meninggalkan keasliannya sebagai seni tradisi warisan dari nenek moyang dahulu.
6. Mike dan Pengeras Suara Mike atau pengeras suara adalah sebuah alat untuk mengeraskan suara dan memantulkan suara sehingga suaranya menjadi besar dan kedengaran dari jauh. Di awal-awal tahun 1972-an mike masih terbilang sederhana, yaitu menggunakan mike yang berbentuk pisin (piring kecil) 17
18
dibungkus
dengan
sepotong
kain.
Pengeras
suaranya
masih
menggunakan toa yang berbentuk seperti bunga sepatu disimpan di atas pohon atau dipancang memakai bambu ke atas. Sekarang mike dan toa semacam itu sudah ditinggalkan, diganti dengan mike yang bentuknya bulat panjang dan speakernya pun menggunakan salon lengkap dengan amplipayernya sehingga keluar suaranya lebih bagus.
7. Iringan Musik atau Waditra Iringan musik mengiringi ronggeng dengan tabuhan alat-alat musik. Iringan masih tetap seperti dahulu yaitu terdiri dari kenong yang bentuknya lebih kecil, seperangkat kendang besar dan kecil. Namun sampai sekarang pun lebih sering hanya menggunakan satu buah ketuk, sebuah
kendang
besar
dan
sebuah
gong
besar.
Konon
untuk
mempertahankan agar iramanya terdengar benar-benar asli (buhun). Sementara yang mengalami perkembangan yaitu penabuhnya. Dahulu bisa siapa saja dari penonton, tetapi sekarang penabuhnya dari anggota rombongan.
8. Kostum Kostum yang dipakai ronggeng yaitu ke atasnya memakai apok, ke bawahnya memakai kain batik atau samping yang sudah dilamban di mana bagian ujungnya dilipat sebanyak hitungan ganjil kira-kira 2 cm. Sekarang ke atasnya mengalami sedikit perubahan yaitu tidak lagi memakai baju sporthem pendek namun memakai baju kebaya bahannya
18
19
dari brukat warna merah. Adapun ke bawahnya masih tetap memakai kain atau samping batik. Tata rias untuk muka tetap masih lebih sering memakai bedak saripohaci, pinsil alisnya awalnya memakai pensil biasa yang isinya hitam tetapi sekarang memakai pinsil alis, lipstiknya memakai lipstik biasa saja yang harganya murah, pokoknya kelihatan bibirnya merah. Untuk penari laki-laki yang berasal dari penonton pada saat masuk arena untuk menari bersama ronggeng, di awal tahun 72-an masih dikerudung sarung. Tetapi belakangan seiring dengan kemajuan zaman sudah mengalami perubahan, yaitu penari laki-laki mengenakan baju dan celana sebagaimana layaknya pakaian sehari-hari.
9. Sesajen Penggunaan sesajen setiap akan mengadakan pementasan dari dulu sampai sekarang pun masih tetap dilakukan, ini menunjukan unsur religius magis yang bersifat animistis dalam pertunjukan Ronggeng Gunung masih melekat. Pembacaan doa dilakukan oleh ketua kelompok (rombongan) yang diikuti oleh anggota dan para ronggeng. Maksud pemberian sesajen yaitu agar roh-roh jahat tidak akan meng-ganggu dan memohon ijin kepada penguasa setempat (anu ngageugeuh lembur, Sd) juga agar pertunjukan dapat berjalan lancar dan cuaca baik tidak hujan selama pertunjukan berlangsung Sesajen yang disediakan tergantung kepada yang mempunyai hajat, biasanya berupa nasi putih yang berbentuk kerucut, ada ikannya, juga dilengkapi macam-macam kueh ringan atau hahampangan dan juga
19
20
air kopi pahit. Sesajen ini disimpan di atas baki atau cecempeh
yang
terbuat dari bumbu yang dianyam.
Faktor Pengaruh dari Luar (Eksternal) Faktor eksternal yaitu adanya pengaruh dari luar yang datang dari masyarakat pendukung, terutama dilihat dari aspek ekonomi dapat memberikan keuntungan kepada kedua pihak, baik keuntungan yang didapat oleh masyarakat pendukungnya maupun bagi seniman itu sendiri. Sudah menjadi kebiasaan dalam pertunjukan Ronggeng Gunung ada saweran, yaitu memberikan uang tip kepada ronggeng yang telah menemani menari, atau kepada pesinden yang telah membawakan lagu yang diminta-nya. Dengan memberi uang kepada ronggeng atau kepada pesinden, memicu adanya persaingan (adu gengsi) antara penonton satu dengan yang lainnya. Pada waktu seorang penonton memberi uang saweran yang lain menduga pasti uangnya banyak, apalagi setelah dibuka amplopnya uangnya memang benar-benar banyak, maka kelihatan orang tersebut ekonominya sudah mapan dan sangat dermawan. Keadaan semacam ini merangsang para penari laki-laki lebih sering memberikan uang saweran agar dianggap orang yang berkecukupan. Tentunya bagi para pemain pun merasa diuntungkan, karena semakin banyak yang memberi saweran maka akan semakin besar pula uang tambahan yang diterimanya. Begitu pula Ronggeng Gunung akan berpengaruh pada aspek ekonomi di masyarakat setempat, tampak pada kegiatan ekonomi masyarakat yang tumbuh sebagai dampak adanya pertunjukan. Biasanya apabila ada pertunjukan, akan bermunculan pedagang musiman dengan 20
21
menyediakan berbagai macam jenis makanan dan minuman di sekitar tempat penyelenggaraan. Sehingga dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh keuntungan. Pertunjukan Ronggeng Gunung juga menjadi sumber mendapatkan uang bagi pemilik sewaan seperti kostum, panggung, tenda (balandongan), dan sound sistem. Begitu pun pertunjukan mampu memberikan penghasilan bagi senimam pelaku yang pada umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan folmal rendah.
Dampak Perubahan Ronggeng Gunung sekarang ini sudah mengalami berbagai perubahan, dimulai dari kostum hingga cara penyajiannya. Seandainya kesenian ini tidak mengalami perubahan kemungkinan besar kesenian Ronggeng Gunung sudah lama ditinggal penggemarnya. Dalam hal kostum misalnya, dulu ronggeng cukup memakai apok tetapi sekarang sudah mengenakan kain kebaya sehingga terasa lebih sopan, dan yang terpenting menutup aurat. Karena sekarang ini masyarakat terutama ibuibunya rata-rata mengenakan jilbab sebagai penutup aurat, sehingga kain kebaya terlihat cocok dipakai oleh penari Ronggeng Gunung masa kini. Dengan telah dilakukannya berbagai perubahan, sampai saat ini Ronggeng Gunung masih tetap eksis meskipun tidak seperti dulu lagi. Hal ini dapat kita fahami karena banyak persaingan berupa kesenian modern yang terasa lebih menarik dan mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian secercah harapan masih tetap ada pada kesenian Ronggeng Gunung, terbukti masih ada yang menanggap dan tidak sedikit
21
22
penontonnya, bahkan penonton sering terlibat sebagai penari bersamasama ronggeng.
PENUTUP Pertunjukan Ronggeng Gunung merupakan sebuah aktivitas kolektif yang melibatkan berbagai komponen masyarakat baik seniman pelaku, penikmat, penanggap, maupun pedagang. Aktivitas ini sudah menjadi tradisi yang berakar dalam budaya masyarakat di wilayah Kabupaten Ciamis Selatan. Dalam perannya di masyarakat, awalnya Ronggeng Gunung sering dipergunakan sebagai media untuk mengadakan acara ritual, seperti pada upacara meminta hujan, menanam padi, memetik padi, memasukan padi ke lumbung dan upacara mencukur rambut bayi. Akan tetapi seiring dengan kemajuan zaman, hal tersebut sudah jarang dilakukan lagi oleh masyarakat. Saat ini Ronggeng Gunung lebih sering berfungsi sebagai hiburan atau tontonan. Pertunjukan Ronggeng Gunung sebagai hiburan juga berpengaruh pada aspek ekonomi. Apabila ada pertunjukan, akan bermunculan para pedagang musiman dengan menyediakan berbagai macam jenis makanan dan minuman di sekitar tempat penyelenggaraan. Pertunjukan Ronggeng Gunung juga menjadi sumber mendapatkan uang bagi pemilik sewaan seperti kostum, panggung, tenda (balandongan), dan sound sistem. Di samping itu, pertunjukan Ronggeng Gunung sebagai hiburan juga dapat memberikan penghasilan bagi para senimam pelaku yang pada umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan folmal rendah.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Birano Amas dkk. 1996 Tari Tradisional Indonesia, Yayasan Harapan Kita, Jakarta: Indonesia Indah. Caturwati, Endang 2006 Perempuan dan Ronggeng, Bandung : Pusat Kajian Lintas Budaya & Pembangunan Berkelanjutan. Ensiklopedi 1986 Tari Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kusmayadi, Nesri 1996 Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penyajian Kesenian Ronggeng Gunung, Bandung: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). Kusumah, S.Dloyana 1981/ Sebuah Ronggeng Gunung Kesenian Rakyat di Kabupaten Ciamis 1982 Jawa Barat, Proyek Media Kebudayaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Narawati Tati dan Soedarsono 2005 Tari Sunda Dulu Kini dan Esok, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional, Yogyakarta: Universitas Pendidikan Indonesia (Past Upi 2005). Suharto, Ben 1980 Tayub Yogyakarta, Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). Widyastutieningrum, Sri Rochana, 2006 Seni Pertunjukan Tayub di Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UGM
24