Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
PERSEPSI TENTANG PENGAJAR DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI Soepri Tjahjono Moedji Widodo Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta Abstrak Pendidikan kesehatan reproduksi pada wilayah aplikasinya merupakan penerjemahan dari pemenuhan akan hak kesehatan reproduksi remaja. Pada 12 hak kesehatan reproduksi remaja yang ditelorkan dalam dokumen ICPD di Kairo 1994, point 1 menyebutkan bahwa remaja berhak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah memiliki peran yang sangat signifikan, karena sekolah menjadi tempat anak-anak untuk menjadi anggota masyarakat. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, yang pada analisisnya menggabungkan data berupa angka dengan narasi diskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh ganbaran kebutuhan profil pengajar dan metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Hasil yang didapat bahwa guru dalam mengajar pendidikan kesehatan reproduksi harus friendly metode pembelajaran dilakukan secara non konvensional.
Pendahuluan Merujuk pada definisi kesehatan reproduksi yang dihasilkan oleh ICPD IV di Cairo maka bisa dikatakan bahwa tujuan pelayanan kesehatan bukan sekedar menurunkan angka kematian dan kesakitan tetapi juga meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup, atau singkatnya kondisi kesehatan dalam seluruh life cycle development perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut juga diakomodasi oleh definisi Kesehatan reproduksi dari WHO, yakni: suatu kesejahteraan fisik mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, namun berkaitan dengan semua hal mengenai sistem reproduksi, fungsi dan proses reproduksinya (Tukiran, 2010). Definisi tersebut dapat diartikan bahwa masalah kesehatan reproduksi pada remaja juga berkaitan dengan masalah sosial budaya, karena sistem, fungsi dan proses reproduksi di tiap tempat diatur oleh norma-norma yang berlaku di masing-masing budaya tempat tersebut. Di Indonesia sendiri, masalah reproduksi diatur oleh pemerintah maupun tradisi. Dengan demikian kesehatan reproduksi tidak hanya sehat secara medis tetapi 'sehat' sesuai dengan norma yang berlaku. (Tukiran, 2010).
Usulan pendidikan kesehatan reproduksi diberikan pada remaja melalui sekolah merupakan fenomena yang menarik. Sekolah sebagai tempat mempersiapkan anakanak menjadi anggota masyarakat, kini juga dituntut memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Untuk melihat sejauh mana peranan sekolah dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, permasalahan penelitian ini yaitu bagaimana sekolah memberikan pendidikan kesehatan pada siswanya. Di sisi lain siswa dalam kehidupan sosialnya pun belajar tentang masalah reproduksi, sehingga persoalan lain juga muncul yaitu bagaimana pengetahuan masalah reproduksi dan sumber-sumber informasi manakah yang nantinya akan mempengaruhi pola pengetahuan siswa-siswi mengenai masalah kesehatan reproduksi. Proses kematangan reproduksi pada saat ini semakin dini menyebabkan orang tua mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalah kesehatan reproduksi pada anakanaknya, terutama ketika menjelaskan hal yang berkaitan dengan peristiwa biologisnya. Biran Affandi (Djaelani, 1995) menyebutkan zaman dulu remaja puteri mengalami menarkhe (haid pertama kali) pada usia 17 tahun, namun sekarang rata-rata usia
267
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
menarkhe remaja puteri pada saat ini sekitar 12 tahun. Setelah matang secara biologis biasanya remaja dulu kebanyakan langsung menikah sedangkan remaja sekarang harus menunda perkawinannya hingga selesai sekolahnya atau telah memenuhi peraturan Undang-Undang. Salah satu kendala dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja adalah faktor bahasa. Kosa kata bahasa Indonesia dan istilah-istilah yang menjelaskan masalah reproduksi sangat terbatas (Torsina, 1993 dalam Herwindo, 1999). Istilah-istilah sehari-hari yang digunakan untuk mengkomunikasikan masalah reproduksi terkesan kasar dan kotor. Masyarakat masih beranggapan tabu membicarakan masalah tersebut secara bebas dan belum bisa menerima hal tersebut sebagai masalahmasalah yang wajar. Pembicaraan tentang masalah reproduksi berkaitan dengan unsurunsur kematangan dan kedewasaan. Jika masalah seksual dianggap wajar maka istilahistilah yang berkenaan dengan seksual dan organ seksual pun akan dianggap wajar. Kesibukan kerja ayah dan ibu di luar rumah kian tinggi karena proses industrialisasi menyebabkan perhatian orang tua pada anakanaknya kian berkurang. Waktu untuk memberikan pendidikan pada anak oleh keluarga, seperti kesempatan anak untuk belajar mengenai peranan seksual dari orang tua, semakin terbatas (Sarwono, 2002). Ada kecenderungan pendidikan generasi muda bergeser dari keluarga dan masyarakat ke lembaga pendidikan formal (sekolah). Hal tersebut dikarenakan proses anak belajar menjadi remaja atau remaja belajar menjadi dewasa tidak mungkin dengan sendirinya. Proses belajar anak menuju dewasa selalu membutuhkan kehadiran orang lain (Simatupang, 1993). Ideologi dan tujuan umum sekolah yaitu mendidik. Sebagai tempat untuk
mendidik, sekolah didefinisikan sebagai lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu (siswa) dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum-kurikulum yang bertingkat (Reimer, 1987). Konsekuensi dari ideologi dan tujuan umum sekolah sebagai tempat mendidik menyebabkan sekolah mempunyai empat fungsi sosial yaitu perwalian, pemilihan peranan sosial, indoktrinasi serta pengembangan kecakapan dan pengetahuan (Reimer, 1987). Keempat fungsi sosial terangkai dalam proses penyampaian kurikulum dari guru ke siswa. Metodologi Penelitian Dalam penelitian, jenis penelitian yang dilakukan adalah dengan kombinasi Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif. Data yang dikumpulkan yang sifatnya kuantitaif, diambil dengan angket, dan selanjutnya data diperoleh tersebut diperdalam dengan menggunakan data yang sifatnya kualitatif yang digali lewat metode wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). (Moeloeng, 2000) Hal ini dilakukan sebagai sebuah upaya untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang pandangan siswa tentang sosok guru dan metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Responden penelitian ini adalah remaja di bangku SMP dan SMA di Yogyakarta , dengan jumlah respanden 429 siswa.
Pembahasan Profesionalitas Guru Kesehatan reproduksi Temuan melalui data angket memberikan gambaran syarat-syarat tertentu yang terutama harus dimiliki guru kesehatan reproduksi menurut sebagian besar responden siswa.
268
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
No
1 2 3 4 5 6
Tabel 1 Distribusi Persepsi Responden tentang Syarat Profesionalitas Guru Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban MisSetuju Tidak Setuju sing N % n % Harus menguasai metode dan materi 186 43,5 242 56,5 1 tanpa perlu ijazah Harus menguasai materi dan memiliki 119 27,9 307 72,1 3 ijazah tanpa perlu menguasai metode Menguasai materi saja 96 22,4 332 77,6 1 Harus menguasai metode dan memiliki ijazah tanpa menguasai materi Memiliki ijazah saja
75
17,5
353
52,5
1
56
13,1
371
86,9
2
Menguasai metode dan materi serta memiliki ijazah / sertifikat pendidikan kesehatan reproduksi
356
83,2
72
16,8
1
Syarat-syarat guru kesehatan reproduksi yang terutama dikehendaki oleh sebagian besar responden siswa, berturut-turut adalah sebagai berikut: menguasai metode dan materi, tanpa perlu ijazah (43,4%), menguasai materi kesehatan reproduksi dan memiliki ijazah saja, tanpa menguasai metode mengajar (27,2%), menguasai metode saja (24,5%), menguasai materi saja (22,4%), memiliki metode dan ijazah (17,5%) dan yang paling sedikit dipilih adalah syarat guru kesehatan reproduksi yang hanya memiliki ijazah saja (13,1%). Berdasarkan presentase tersebut, tampak bahwa syarat guru kesehatan reproduksi yang dianggap paling tidak penting adalah apabila guru tersebut hanya memiliki ijazah, karena justru yang diharapkan guru tersebut nantinya lebih menguasai metode dan materi. Namun demikian, pada dasarnya sebagian besar responden menghendaki adanya integrasi dari kesemua syarat yang ada. Hal ini ditunjukkan lewat tingginya persentase responden siswa (83%) yang menghendaki bahwa guru kesehatan reproduksi harus
memiliki ijazah atau sertifikat formal untuk Mata Pelajaran kesehatan reproduksi, menguasai materi dan mempunyai metode yang baik dalam mengajar, hanya 16,8% yang berpandangan sebaliknya. Menurut wawancara dengan guru agama, guru yang sesuai untuk memberikan materi kesehatan reproduksi adalah salah satu guru yang mengajar materi yang menyangkut kesehatan reproduksi yang selama ini diajarkan di sekolah, yaitu Biologi, Penjaskes, BP atau Agama dan kemudian guru tersebut ditatar untuk mengajar keseluruhan. Akan tetapi akan lebih baik jika ada spesifikasinya, sebab hal ini ada kaitannya dengan psikologi anak dan membutuhkan pengetahuan mendalam tentang kesehatan. Berdasarkan wawancara dengan salah satu komite sekolah, guru kesehatan reproduksi harus mengetahui sepenuhnya tentang kesehatan reproduksi, bahkan ia sepakat kalau guru yang ada harus diambilkan dari pendidikan khusus dan perlu kejelasan silabus.
269
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
No
1 2 3
Tabel 2 Distribusi Persepsi Responden tentang Syarat Personalitas Guru Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban MisSetuju Tidak Setuju sing N % n % Harus bisa mengerti dan bergaul dengan 408 95,3 20 4,7 1 remaja di dalam dan di luar kelas Bisa menjadi suri tauladan bagi siswa 398 93,2 29 6,8 2 322
75,9
102
24,1
5
4
Penampilan guru kadang formal dan kadang informal Penampilan guru formal
168
39,3
260
60,7
1
5
Penampilan guru informal
146
34,1
282
65,9
1
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru kesehatan reproduksi menurut sebagian besar responden siswa (95,1%) adalah yang bisa mengerti dan bergaul dengan remaja didalam dan diluar kelas, dapat memahami perkembangan psikologis remaja (94,4%) dan dapat menjadi suri tauladan bagi siswa (92,8%). Selain itu penampilan guru yang dikehendaki saat mengajar kesehatan reproduksi oleh sebagian besar responden siswa (75,1%) adalah yang terkadang formal dan terkadang informal. Apabila
dibandingkan, responden siswa yang menghendaki penampilan guru yang formal lebih tinggi daripada yang menghendaki penampilan informal, yaitu 39,2% menghendaki guru yang formal dan 34% menghendaki penampilan informal. Peran Guru Kesehatan reproduksi Siswa memberikan gambaran syaratsyarat yang harus dimiliki guru kesehatan reproduksi menurut sebagian besar responden siswa.
1
Tabel 3 Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Guru Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban Setuju Tidak Setuju N % n % Guru sebagai teman bagi siswa 378 88,5 49 11,5
2
2
Guru sebagai fasilitator
298
69,8
129
30,2
2
3
Guru sebagai pendikte
165
38,6
262
61,4
2
No
Menurut siswa SMP dan SMA, guru yang mengampu materi kesehatan reproduksi itu hendaknya terbuka, gaul dan friendly, sehingga dengan materi kesehatan reproduksi yang diberikan siswa senang dan mudah untuk menerima. Informasi yang diperoleh melalui FGD tersebut menjelaskan hasil yang diperoleh melalui angket, dimana mayoritas responden siswa (87,6%) memandang bahwa peran yang harus dimainkan guru dalam pendidikan kesehatan reproduksi adalah
Missing
sebagai teman bagi siswa dan 69,5% menghendaki peran guru sebagai fasilitator. Tingginya penolakan pada peran guru sebagai pendikte oleh mayoritas responden (69,5%),
270
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
Siswa SMP dan SMA memberikan pandangan tentang jenis kelamin guru kesehatan reproduksi, menurut sebagian besar responden siswa.
Jenis Kelamin Guru Kesehatan reproduksi
1
Tabel 4 Distribusi Persepsi Responden tentang Jenis Kelamin Guru Kesehatan reproduksi (n = 429) Jawaban MisPernyataan Setuju Tidak Setuju Sing N % n % Laki-laki dan perempuan sama saja 316 74,0 111 26,0 2
2
Harus laki-laki
82
19,2
345
80,8
2
3
Harus perempuan
155
36,2
273
63,8
1
No
Bagi sebagian besar responden siswa (73,7%) jenis kelamin guru kesehatan reproduksi tidak menjadi masalah, bagi mereka guru laki-laki atau perempuan sama saja, tetapi apabila dilihat perbandingannya lebih banyak responden yang menghendaki guru yang berjenis kelamin perempuan, yaitu 35,9% daripada guru yang berjenis kelamin laki-laki, yang hanya dipilih oleh 18,9%. Perolehan hasil tersebut diduga karena jumlah responden siswa perempuan yang lebih banyak daripada jumlah responden laki-laki, dimana terdapat kecenderungan pada siswa untuk memilih guru yang sejenis kelamin dengannya. Sebagai tambahan, ada bias gender dalam pandangan salah satu komite sekolah, menurut hasil wawancara dengannya lebih baik guru yang dipilih adalah laki-laki, karena asumsi yang berkembang dalam benaknya, laki-laki lebih vulgar dibandingkan perempuan yang masih menjaga nilai-nilai sosial di masyarakat.
Metode Pengajaran dan Pembelajaran Materi Kesehatan reproduksi Mengenai metode penyampaian materi kesehatan reproduksi, hasil FGD siswa SMP/SMA menunjukkan bahwa diperlukan adanya metode yang cukup variatif, sehingga tidak menimbulkan kesan pengajaran yang kaku. Menurut mereka, pembelajaran kesehatan reproduksi nantinya bisa menjadikan pelajaran yang menyenangkan dengan disertai metode seperti permainan (role playing), diskusi, dan pembelajaran tidak saja dilakukan di dalam kelas akan tetapi bisa di luar kelas. Seperti diungkapkan oleh salah seorang peserta FGD SMP: “.. cara ngajarinnya secara santai dan gaul, lebih enak menggunakan diskusi atau permainan sehingga pelajaran tidak membosankan.”
271
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
No
1
2 3
Tabel 5 Distribusi Persepsi Responden tentang Metode Pembelajaran dan Pengajaran Materi Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban Missing Setuju Tidak Setuju N % n % Guru mengajar dengan berdialog 384 89,7 44 10,3 1 dengan siswa dan siswa bisa berpendapat Guru mengajar dengan permainan 350 82,0 77 18,0 2 Guru mengajar dengan terus 108 25,2 320 74,8 1 menerangkan dan siswa hanya mendengarkan
Tabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden (89,5%) menghendaki cara guru dalam mengajar kesehatan reproduksi dengan berdialog dan siswa bisa mengemukakan pendapat dan dengan mempergunakan permainan (81,6%). Para responden (74,6%) tampak kurang berminat
dengan cara mengajar guru yang terus menerangkan dan siswa hanya mendengar. Berikut hasil FGD Siswa SMA; “ agar tidak bosan, pembelajaran kesehatan reproduksi mengacu pada portofolio”.
Fasilitas dan Tempat Pembelajaran Materi Kesehatan reproduksi
2
Tabel 6 Distribusi Persepsi Responden tentang Tempat dan Fasilitas Pembelajaran Materi Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban Missing Setuju Tidak Setuju N % n % Kadang di kelas dan kadang di luar 365 85,7 61 14,3 3 kelas Di luar kelas 185 43,6 239 56,4 5
3
Di dalam kelas
176
41,3
250
58,7
3
4
Fasilitas pembelajaran memakai audiovisual Fasilitas pembelajaran memakai alat peraga Fasilitas pembelajaran memakai buku dan diktat
387
91,1
38
8,9
4
358
83,8
69
16,2
2
303
71,3
122
28,7
4
No
1
5 6
Ditinjau dari tempat belajarnya, sebagian besar responden (85,1%) menghendaki bahwa terkadang proses belajar dilakukan di dalam kelas dan kadang diluar kelas. Jika dibandingkan, kebanyakan responden siswa (42,9%) menghendaki tempat
belajar yang dilakukan diluar kelas daripada di dalam kelas (40,8%). Sedangkan fasilitas pembelajaran yang diharapkan kebanyakan responden siswa (90,2%) adalah perangkat audio-visual. Disamping itu, 83,4% responden siswa juga merasa membutuhkan alat peraga
272
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
serta 70,6% responden siswa membutuhkan buku dan diktat. Hal tersebut didukung oleh FGD dengan guru agama sebagai berikut; “.. pendidikan Kesehatan Reproduksi dapat dievaluasi yang pertama dengan pengetahuan, dan kedua dengan perilaku, agar remaja tidak melakukan hubungan sebelum menikah, atau dengan kata lain pembelajarannya lebih bersifat penerapan" Begitu pula dengan hasil FGD dengan siswa SMP dan SMA yang mengharapkan
bahwa bentuk evaluasi pendidikan kesehatan reproduksi berbeda dengan materi pelajaran lain. Siswa lebih menyukai bentuk evaluasi yang mengukur pada ranah afektif dan psikomotorik seperti melalui observasi, paper, tes perilaku. Berikut pendapat salah seorang peserta FGD SMP : “kalau evaluasinya semacam tes seperti dalam matematika, saya rasa sudah bosan, bentuk evaluasi ya seperti observasi. Antar teori dengan praktek porsinya beda, 30 % untuk teori, 70 % untuk praktek.”
Metode dan Bentuk Evaluasi
1
Tabel 7 Distribusi Persepsi Responden tentang Bentuk Evaluasi Materi Kesehatan reproduksi (n = 429) Pernyataan Jawaban Setuju Tidak Setuju N % n % Evaluasi berbentuk perilaku 319 74,5 109 25,5
2
Evaluasi berbentuk observasi
313
73,6
112
26,4
4
3
Evaluasi berbentuk PR
137
32,2
288
67,8
4
4
Evaluasi berbentuk tes sumatif
150
35,3
275
64,7
4
No
Ternyata pendapat berdasarkan wawancara dengan guru dan FGD siswa tersebut sejalan dengan pandangan mayoritas siswa, yaitu sebanyak 74,4% responden yang terdiri dari siswa SMP maupun SMA menghendaki sistem evaluasi terhadap pendidikan kesehatan reproduksi yang berbentuk perilaku dan 73% responden
Missing 1
menghendaki evaluasi yang berupa observasi. Cukup banyak responden yang menolak sistem evaluasi dengan tes sumatif dan PR, dimana penolakan terhadap sistem evaluasi PR (66,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan penolakan pada sistem evaluasi tes sumatif (64,1%).
273
Prosiding Seminar Nasional Dan Presentasi Ilmiah
Metode Evaluasi Berdasarkan Waktu
No 1 2 3 4
Tabel 8 Distribusi Persepsi Responden tentang Waktu Evaluasi Materi Kesehatan reproduksi (n = 429) Jawaban Pernyataan Setuju Tidak Setuju N % n % Semester 169 40,0 254 60,0 Mingguan 265 62,6 158 37,4 Mid Semester 153 36,0 272 64,0 Harian 118 27,6 309 72,4
Sistem evaluasi berdasarkan waktu yang dikehendaki mayoritas responden siswa (61,5%) adalah sistem mingguan. Sedangkan sistem evaluasi berdasarkan waktu yang lain ditolak oleh sebagian besar responden, dimana sebanyak 59% menolak sistem evaluasi semesteran, 61,5% responden siswa menolak sistem evaluasi mid semester dan 72% menolak sistem evaluasi harian.
Kesimpulan Materi pendidikan kesehatan reproduksi sepertinya merupakan sebuah materi yang cukup unik dan harus berbeda dengan materi yang sudah ada dalam metode pembelajaran maupun evaluasi. Metode pembelajaran untuk meteri kesehatan reproduksi seharusnya lebih santai, diajarkan dengan metode dialog dan permainan dan memungkinkan untuk dilakukan di luar kelas. Metode evaluasi lebih banyak langsung tertuju pada perilaku dan observasi. Metode konvensional seperti test sumatif, banyak tidak disukai oleh siswa untuk pendidikan kesehatan reproduksi. Guru kesehatan reproduksi harus bisa menunjukkan dirinya sebagai teman bagi remaja dan bisa memposisikan kapan harus bersikap formal dan kapan harus informal. Syarat guru kesehatan reproduksi yang dianggap paling tidak penting adalah apabila guru tersebut hanya memiliki ijazah, karena justru yang diharapkan guru tersebut nantinya lebih menguasai metode dan materi.
Missing 6 6 4 2
Tukiran,dkk,2010, Keluarga dan Kesehatan Reproduksi, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Djaelani, Joice, 1995, Kebijakan Pelayanan Kesehatan Remaja, Warta Denografi, edisi XXV No. 4 Sarwono, 2002, Psikologi Remaja, Jakarta , PT Raja Grafindo, Herwindo, Agus. 1999. Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama: Studi Kasus di SLTP Negeri 8 Yogyakarta. Skripsi Fak. Sastra UGM, Yogyakarta,. Reimer, E, 1987, Sekitar Eksistensi Sekolah, Hanindita Graha Widya. Yogyakarta Moleong, 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.
Daftar Pustaka
274