PERSEPSI SISWA KELAS XI IPA TENTANG KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL GURU BIDANG STUDI MATEMATIKA DI SMA NEGERI 10 BEKASI 1
Kartini Rosmala 1 Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa, Universitas Islam “45” Bekasi Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi XI siswa Ilmu 'tentang instruksi Math guru di SMAN 10 Bekasi. Metode penelitian ini yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan survei. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: persepsi siswa XI Ilmu 'tentang instruksi Math guru adalah positif dalam faktor situasional, berarti Ha diterima dan H0 ditolak. Untuk faktor pribadi, persepsi dan anak perempuan anak laki-laki persepsi yang berbeda dalam komunikasi instruksi guru. Ini menunjukkan dari perlakuan guru dalam mengajar, anak perempuan lebih termotivasi dengan memberikan saran sebagai stimulus, sedangkan anak laki-laki termotivasi dengan memberikan peringatan dan perusahaan. Kata Kunci: Persepsi, Instruksi Komunikasi, Siswa, dan Guru
Abstract This research aims to know XI Science students’ perception about Math teacher’s instruction at SMAN 10 Bekasi. This research method used is descriptive qualitative method by survey. The result of this research shows that: XI Science students’ perception about Math teacher’s instruction is positive in situational factor, it means that Ha accepted and H0 rejected. For personal factor, boys’ perception and girls’ perception are different in teacher’s instruction communication. It shows from teacher’s treatment in teaching, girls are more motivated by giving advice as a stimulus, whereas boys are motivated by giving warning and firm. Keywords: Perception, Instruction Communication, Student, and Teacher
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial manusia dan atau masyarakat (Suprapto, 2006). Aktivitas komunikasi bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari manusia, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bahkan dalam segala aspek kehidupan semua juga tidak lepas dari komunikasi, mulai dari aspek politik,
ekonomi, kesehatan, budaya, agama, sampai pendidikan. Pentingnya komunikasi dalam kehidupan manusia, dapat dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa persentase waktu yang digunakan dalam proses komunikasi adalah sangat besar, berkisar 75% sampai 90% dari waktu kegiatan. Waktu yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut 5% digunakan untuk menulis, 10% untuk membaca, 35% untuk berbicara, dan 50% untuk mendengar (Suprapto, 2006).
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
14
Secara pengertiannya, menurut Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah timgkah laku mereka (Mulyana, 2009). Menurut Schramm, komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process). Artinya, apabila kita berkomunikasi sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan rasa kebersamaan, yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap. Sehingga dalam hal ini akan terjadinya komunikasi yang efektif, dimana komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness); kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience-receiver)-nya (Suprapto, 2006). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses menyampaikan pesan yang melahirkan kesepahaman antara sumber pesan dengan penerima pesan dengan maksud untuk mengubah tingkah laku penerima pesan, sehingga ada proses saling mempengaruhi dalam proses komunikasi. Dengan kata lain, komunikasi adalah sebagai interaksi. Pandangan komuniksi (Mulyana, 2009) sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan proses sebab akibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah merima pesan atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya. Begitu juga dalam aspek pendidikan, interaksi komunikasipun terjadi, yaitu antara guru dan siswa. Bagaimana guru menyampaikan materi mata pelajaran sekolah kepada siswa agar paham dan mengerti. Namun terkadang, tujuan komunikasi pendidikan atau tujuan belajar sering tidak tercapai akibat dari kurang atau tidak berfungsinya unsur-unsur komunikasi di dalamnya, atau setidaknya tujuan pendidikan tidak tercapai karena penerapan komunikasi yang keliru. Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
Jourdan pernah berkata bahwa “tidak ada perilaku-perilaku pendidikan yang tidak berkaitan dengan komunikasi” (Yusuf, 2010). Lebih khusus lagi dalam prakteknya, komunikasi ini disebut komunikasi instruksional, yang berarti komunikasi dalam bidang instruksional. Istilah instruksional berasal dari kata instruction. Ini bisa diartikan sebagai pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah, tetapi lebih mendekati kedua arti pertama, yakni pengajaran dan/atau pelajaran. Bahkan, belakangan ini kata tersebut diartikan sebagai pembelajaran. Istilah pengajaran lebih bermakna pemberian ajar. Mengajar artinya memindahkan sebagian pengetahuan guru (pengajar) kepada murid-muridnya (Yusuf, 2010). Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kiki Zakiah dan Muthiah Umar (2006, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba)), dengan judul Komunikasi Instruksional dalam Proses Pembelajaran, mendapatkan bahwa rata-rata mahasiwa Fikom Unisba adalah cukup penting dalam komunikasi instruksional sebagai faktor penting yang menentukan prestasi akademik mahasiswa, hasil ini didapat melalui survey kepada 78 mahasiswa Unisba pada tahun 2006. Penelitian di atas menunjukkan pentingnya komunikasi instruksional dalam proses belajar. Artinya di sini ada bagian penting dalam pengajaran, yaitu belajar. Secara pengertian (Arsyad, 2010), belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan, atau sikapnya. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada komunikasi instruksional guru dalam metode 15
instruksional saat proses belajar mengajar. Apabila proses belajar itu diselenggarakan secara formal di sekolah, tidak lain ini dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan pada diri siswa secara terencana, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Interaksi yang terjadi selama proses belajar tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, yang antara lain terdiri dari atas murid, guru, petugas perpustakaan, kepala sekolah, bahan atau materi pelajaran (buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video atau audio, dan yang sejenisnya), dan berbagai sumber belajar dan fasilitas (proyektor overlead, perekam pita audio & video, radio, televise, komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat sumber belajar, dan lain-lain) (Arsyad, 2010). Namun, perlu disadari bahwa interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa dalam komunikasi instruksional dipengaruhi oleh faktor persepsi siswa itu sendiri terhadap guru bidang studi yang mengajar. Dalam pengertian komunikasi sebelumnya dikatakan bahwa semakin efektif komunikasi, maka adanya kebersamaan antara penyampaian pesan (guru) dengan penerima pesan (siswa). Kebersamaan disini adalah dilihat dari makna yang sama antara guru dan siswa. Jika terjadi makna yang sama, maka perubahan tingkah laku siswa akan terjadi, sehingga ada proses saling memengaruhi dalam komunikasi interaksi antara pengajar dengan siswa. Perubahan tingkah laku siswa ini dapat dilihat dari bagaimana persepsi siswa terhadap guru dalam mengajar. Seperti pada penelitian Dyahnita Adiningsih (2012, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta) dengan judul Persepsi Siswa Tentang Metode Mengajar Guru dan Kemandirian Belajar Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas X Program Keahlian Akuntansi SMK Batik Perbaik Purworejo Tahun Ajaran 2011/2012. Salah satu hasil yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
(positif) persepsi siswa tentang metode mengajar guru maka akan semakin baik pula prestasi belajar akuntansi yang akan dicapai siswa. Melihat hasil penelitian Dyahnita yang menunjukkan signikanya faktor persepsi siswa kelas X Program Keahlian Akuntansi terhadap guru dalam metode mengajar, penulis dalam hal ini juga meneliti bagaimana persepsi siswa terhadap guru, tetapi khusus di bidang studi matematika. Mata pelajaran ini merupakan salah satu pelajaran yang cukup sulit dipandang oleh siswa. Bukan hanya menghafal rumus-rumusnya saja yang sulit, tetapi dalam pengerjaan soalsoal yang disajikan terkadang siswa harus memutar otak untuk mencari jawaban yang pasti. Lebih-lebih lagi akan di Ujian Nasional-kan, banyak orang tua mengkhususkan anaknya untuk mengikuti bimbel atau privat matematika di luar sekolah. Dalam kaitannya dengan penelitian persepsi siswa terhadap guru matematika, ada penelitian yang dilakukan oleh Intan Indiati, Muhtarom, dan Teguh Joko Sarwono (2011, Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang) dengan judul Pengaruh Persepsi Siswa Kepada Guru Matematika dan Minat Belajar Matematika Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Himpunan pada Siswa Kelas VII Semester II SMP Negeri 1 Purwodadi kabupaten Grobogan tahun Pelajaran 2010/2011. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh persepsi siswa kepada guru matematika dan minat belajar matematika siswa mempunyai pengaruh yang besar terhadap prestasi belajar matematika. Berdasarkan ketiga rujukan penelitian di atas, penulis melakukan penelitian tentang persepsi siswa terhadap komunikasi instruksional guru di bidang studi matematika. Komunikasi intruksional dalam penilitian ini hanya dalam masalah metode instruksional guru saat mengajar. Metode insturksional (Yusuf, 2010) adalah suatu teknik atau cara yang runtut untuk 16
melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan yang sudah direncakan dalam strategi. Adapun siswa yang dijadikan objek penelitian, yaitu kelas XI SMA (Sekolah Menengah Atas). Alasannya, karena kelas XI adalah kelas penentu bagi siswa untuk memilih jurusan setelah kelas X, apakah ke jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Adapun jurusan yang dipilih penulis adalah jurusan IPA, karena tingkat kesulitan matematika lebih sulit dibandingkan dengan jurusan IPS yang hanya diajarkan matematika dasar yang sama dengan tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK). Ditambah lagi, matematika nantinya akan di Ujian Nasional-kan pada saat kelas XII. Sehingga untuk kelas XI, siswa akan diajarkan dan diarahkan untuk Ujian Nasional (UN). Sekolah yang dijadikan lokasi penelitian adalah SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 10 Bekasi. Sekolah ini menjadi sekolah rujukan nomor 4 di Bekasi, setelah sekolah SMAN 1, SMAN 2, dan SMAN 4 untuk tingkat wilayah kecamatan Medan Satria. Selain itu, dalam tingkat prestasi akademik, SMAN 10 pernah menjadi juara II Olympiade Akuntasi, tingkat Jawa Barat (2007). Serta SMAN 10 juga memliki prestasi non akademik dari tahun 2005 sampai 2009, yaitu sudah menjuarai 36 cabang prestasi non akdemik atau sudah 58 juara non akdemik, baik tingkat kota maupun Jabodetabek. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis melakukan penelitian dengan judul Persepsi Siswa kelas XI IPA tentang Komunkasi Instruksional Guru Bidang Studi Matematika di SMAN 10 Bekasi. Dengan melakukan penelitian ini, penulis ingin mengetahui sejauh mana persepsi siswa kelas XI IPA terhadap guru bidang studi matematika dalam komunikasi instruksional saat mengajar di kelas.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
KAJIAN LITERATUR
Komunikasi Instruksional Komunikasi instruksional berarti komunikasi dalam bidang instruksional. Dengan demikian, apabila ingin membicarakan komunikasi instruksional, maka dengan sendirinya kita tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kata atau instruksional itu sendiri. Istilah instruksional berasal dari kata instruction. Ini bisa berarti pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. (Yusuf, 2010) Di dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah, tetapi, lebih mendekati kedua arti yang pertama, yakni pengajaran dan/atau pelajaran. Bahkan, belakangan ini kata tersebut diartikan sebagai pembelajaran. Istilah pengajaran lebih bermakna pemberian ajar. Mengajar artinya memindahkan sebagian pengetahuan guru (pengajar) kepada murid-muridnya. Sedangkan arti pelajaran lebih menitikberatkan bahan belajar atau materi yang disampaikan atau diajarkan oleh guru. Dengan pengertian lain, informasi yang mengandung pesan belajar itulah yang diutamakan. (Yusuf, 2010) Salah satu praktik komunikasi instruksional adalah dilihat dari metode instruksional yang digunakan . Metode merupakan bagian dari strategi, artinya suatu teknik atau cara yang runtut untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan yang sudah direncanakan dalam strategi (Yusuf, 2010). Untuk melaksanakan strategi pendidikan pengguna ini dilakukan dengan metode kegiatan, yang antara lain dilakukan dengan metode pengajaran dalam program pendidikan pengguna. Secara luas, metode pengajaran dalam hal ini dibagi ke dalam kelompok-kelompok pengajaran yang sesuai seperti pengajaran berkelompok, individual, ataupun gabungan keduanya.
17
Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2010). Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya (Rakhmat, 2011): 1) Pengaruh faktor-faktor situasional, terdiri dari: a. Deskripsi verbal : rangkaian kata menentukan persepsi orang. b. petunjuk proksemik : penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan. Jarak yang dibuat individu dengan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. c. Petunjuk kinesik : ungkapan yang mencerminkan persepsi kita tentang orang lain dari gerakan tubuhnya. d. Petunjuk wajah : sumber informasi untuk menyampaikan makna dan dapat mengungkapkan emosi seseorang. e. Paralinguistik : cara bagaimana mengucapkan lambang-lambang verbal. Ini meliputi tinggi rendahnya suara, gaya verbal (dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan) f. Petunjuk artifaktual : segala macam penampilan sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge, dan atribusi-atribusi lainnya. 2. Pengaruh faktor-faktor personal, terdiri dari: pengalaman, motivasi, kepribadian. a. pengalaman: rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. b. Motivasi: dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia (Dimyati, 2010:80). c. Kepribadian: ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (Sjarkawi, 2011:11). Teori Atribusi Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Bila kita melihat perilaku orang lain, kita mencoba memahami apa yang menyebabkan ia berperilaku seperti itu. Firtz Heider adalah yang pertama menelaah atribusi kausalitas. Menurut Heider, bila kita mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita menentukan dahulu apa yang menyebabkannya; faktor situasional atau personal; dalam teori atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal (Rakhmat, 2011). Bagaimana kita mengetahui bahwa perilaku orang lain disebabkan faktor internal, dan bukan faktor eksternal? Menurut Jones dan Nisbett, kita dapat memahami motif persona stimuli dengan memperhatikan dua hal. Pertama, kita memfokuskan perhatian pada perilaku yang hanya memungkinkan satu atau sedikit penyebab. Kedua, kita memusatkan perhatian pada perilaku yang menyimpang dari pola perilaku yang biasa. (Rakhmat, 2011) Teori Belajar Behavioristik Teori ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Artinya, segala perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungan sekitarnya. Belajar selanjutnya dikatakan sebagai proses perubahan perilaku berdasarkan paradigma S – R (stimulus – respon), yaitu suatu proses pemberian respon tertentu kepada stimulus yang datang dari luar. (Yusuf, 2010) Salah satu teori belajar behavioristik adalah Classical Conditioning oleh Ivan Pavlov. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. 18
Hukum belajar yang dikemukakan Pavlov (Yusuf, 2010): 1) Law of Respondent Conditioning, atau hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam dihadirkan secara serentak (dengan salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks dari stimulus lainnya akan meningkat. 2) Law of Respondent Extinction, atau hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangi kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Kerangka Pemikiran Dalam kerangka pemikiran, penulis meneliti persepsi siswa kelas XI IPA tentang komunikasi instruksional guru bidang studi matematika. Persepsi ini dibagi menjadi dua faktor yang dijadikan indikator, yaitu: 1. Pengaruh faktor-faktor situasional, terdiri dari: deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, paralinguistik, petunjuk artifaktual. 2. Pengaruh faktor-faktor personal, terdiri dari: motivasi dan kepribadian. Kedua faktor di atas diuji dengan menyebarkan kuesioner kepada kelas XI IPA. Kemudian setelah mendapatkan hasil dari kuesioner, penulis melakukan analsis dengan menggunakan teori atribusi untuk mengetahui penyebab perilaku siswa yang telah diukur melalui persepsi siswa tersebut. Selanjutnya, setelah mengetahui penyebabnya seperti apa, maka penulis mengananlisis dengan menggunakan teori belajar behavioristik Ivan Pavlov untuk mengetahui bagaimana pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Untuk mengetahui kerangka pemikiran penelitian ini, penulis membuat bagan seperti di bawah ini:
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
Persepsi Siswa kelas XI IPA tentang komunikasi instruksional guru bidang studi matematika
Faktor situasion al
Faktor personal
Teori Atrib usi
Teori Belajar Behaviorist ik
Gambar 2. Kerangka Penelitian Hipotesis Adapun hipotesis penelitian ini adalah : H0 : Persepsi siswa kelas XI IPA tidak bersifat positif tentang komunikasi instruksional guru bidang studi matematika di SMAN 10 Bekasi Ha : persepsi siswa kelas XI IPA bersifat positif tentang komunikasi instruksional guru bidang studi matematika di SMAN 10 Bekasi METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variable yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi (Bungin, 2011). Desain penelitian ini menggunakan metode survei. Survei adalah metode riset dengan menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpulan datanya (Kriyantono, 2010). Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang persepsi siswa kelas XI IPA di SMAN 10 Bekasi sebagai responden yang dianggap mewakili populasi tertentu. Observasi Observasi atau pengamatan dilakukan pada kelas XI IPA 1 sampai dengan XI IPA 5 SMAN 10 Bekasi. Observasi ini mengikuti jadwal guru bidang studi matematika di sekolah.
19
Kuesioner Jumlah populasi siswa kelas XI IPA sebanyak 243 siswa. Sementara jumlah sampel yang dibagikan kuesioner sebanyak 71 siswa. Teknik pengumpulan sampel menggunakan sampling random, dengan rumus slovin sebagai berikut:
riset deskriptif, dan menggunakn statistik deskriptif. Data analisis untuk menguji hipotesis proposal penelitian ini menggunakan distribusi frekuensi, tendensi sentral (mean, modus, dan median), dan standar deviasi. (Kriyantono, 2010)
digenapkan menjadi 71 siswa Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini untuk mengetahui jumlah populasi dan sampel:
Kelas
Jenis Kelamin (sampel)
XI IPA 1 XI IPA 2
Jumlah Siswa Jenis Kelamin (Populasi) (Populasi) Laki-Laki Perempuan 48 siswa 22 siswa 26 siswa 48 siswa 20 siswa 28 siswa
Laki-Laki 6 siswa 5 siswa
Perempuan 7 siswa 8 siswa
XI IPA 3
49 siswa
22 siswa
27 siswa
7 siswa
8 siswa
XI IPA 4
49 siswa
23 siswa
26 siswa
7 siswa
8 siswa
XI IPA 5
49 siswa
22 siswa
27 siswa
7 siswa
8 siswa
Total :
243 siswa
109 siswa
134 siswa
32 siswa
39 siswa
Total Populasi: 243 Siswa
Total Populasi: 71 Siswa
Tabel 1. Tabel Jumlah Siswa Kelas XI IPA Berdasarkan Jenis Kelamin. Sumber: (Data Primer, 2013) Analisis Data Moleong (2011) mendefinisikan analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sumber data yang diperoleh dari responden siswa kelas XI IPA SMAN 10 Bekasi tahun ajaran 2012/2013. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat, yaitu analisis satu variabel. Jenis analisis ini dilakukan untuk Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
HASIL DAN PEMBAHASAN Persepsi Siswa Kelas XI IPA tentang Komunikasi Instruksional Guru Bidang Studi Matematika a. Faktor – Faktor Situasional (1) Putra Responden rata-rata 95% paham dengan bahasa/ucapan guru saat menjelaskan materi. Jadi dalam hal ini, bahasa verbal guru mudah dipahami oleh responden. Pada posisi guru atau jarak kedekatan antara guru dengan siswa saat menjelaskan materi, 100% responden memilih guru mengajar dengan posisi di depan kelas. Rata-rata 20
93,3% responden paham jika dijelaskan guru saat berdiri di depan. Sedangkan posisi kedua dan ketiga dipilih responden yaitu berdiri di tengan (ratarata 62,3%) dan duduk (rata-rata 15%). Artinya responden lebih dominan paham jika posisi guru mengajar di kelas berdiri di depan. Alasan ini diperkuat dari angket terbuka yang ditulis responden dengan memilih posisi guru berdiri didepan kelas karena alasan berikut: Lebih serius, paham, mudah dimengerti Lebih jelas mendengarkan dan memperhatikan guru (lebih fokus) Lebih komunikatif dan tidak membosankan Siswa bisa melihat langkah-langkah guru dalam penulisan cara/rumus di papan tulis Guru juga bisa langsung menegur siswa Jika dilihat dari gesture/gerakan tubuh guru saat mengajar, maka didapatkan bahwa rata–rata 39% responden menganggap gesture guru memudahkan/memperjelas siswa dalam memahami materi. Sedangkan dilihat dari petunjuk wajah (ekspresi wajah) penulis hanya memasukkan empat pilihan yang dipilih responden, yaitu ramah/bersahabat, humoris, serius, dan tegang. Dari keempat pilihan ini, responden lebih banyak memilih ramah/bersahabat dengan rata-rata 87% dibandingkan dengan tiga pilihan lain. Tetapi jika diurutkan sesuai dengan tingkat banyaknya pilihan yang dipilih, maka setelah ekspresi ramah/bersahabat, selanjutnya serius, humoris, dan terakhir tegang. Dari segi pemahaman, ekspresi ramah/bersahabat, responden lebih paham dibandingkan dengan ekspresi wajah yang lain. Petunjuk paralinguistik, dilihat apakah cara bicara/dialek/logat guru menghambat siswa dalam belajar. Penulis menemukan bahwa rata-rata Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
82% responden tidak mengalami hambatan dari cara bicara/dialek/logat guru saat menjelaskan materi. Adapun faktor terakhir yaitu dilihat drai petunjuk artifaktual yaitu dari sisi penampilan ditemukan bahwa rata-rata 25,8% responden menganggap penampilan sangat mempengaruhi dalam belajar. Jadi bisa disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa: Bahasa verbal, 95% sangat mempengaruhi tingkat pemahaman responden dalam menerima materi saat guru mengajar. Bahasa nonverbal yang lebih dominan ada dua, yaitu posisi dan ekspresi guru saat mengajar. Ini dapat menentukan apakah responden memperhatikan (fokus) ketika guru menjelaskan materi atau tidak. Posisi ini juga bisa saling berkesinambungan dengan ekspresi wajah saat guru mengajar. Semakin ramah/bersahabat guru dengan posisi guru berdiri di depan, maka responden semakin nyaman dalam memperhatikan materi, sehingga bisa lebih jelas, fokus, dan paham tentang materinya. Sedangkan tiga bahasa nonverbal lainnya seperti gesture, paralinguistik, dan penampilan bukan menjadi pengaruh yang besar dalam proses belajar. (2) Putri Rata-rata 88,25% responden paham dengan bahasa/ucapan guru saat menjelaskan materi. Jika dilihat dari posisi guru, responden lebih banyak memilih posisi guru berdiri di depan kelas, dengan rata-rata 91,7% dan lebih paham dengan rata-rata 88,5%. Alasan ini diperkuat dari angket terbuka yang ditulis responden dengan memilih posisi guru berdiri didepan kelas karena alasan berikut: Lebih banyak interaksi antara guru dan siswa Diposisi manapun siswa duduknya, baik duduk di depan, tengah ataupun 21
di belakang, siswa dapat memperhatikan penjelasan guru, sehingga mudah dipahami. Lebih jelas, fokus, dan mudah dimengerti Siswa dapat melihat bagaimana cara guru mengajar Guru mudah berinteraksi dengan siswa Kemudian rata-rata 73,4% responden menganggap gerakan tubuh guru mempermudah/memperjelas siswa dalam memahami materi. Untuk ekspresi wajah guru, rata-rata 86% lebih banyak memilih guru yang ramah/bersahabat dan diperkuat responden lebih paham dengan ekspresi ini dengan rata-rata 82,2%. Kemudian ekspresi wajah selanjutnya, siswa lebih banyak memilih serius (85,1%), disusul dengan humoris (57,5%), dan tegang (15,95%). Sedangkan untuk cara bicara guru/dialek/logat guru rata-rata 73,4% responden menganggap hal ini bukan menjadi penghambat bagi siswa, dan rata-rata 42,5% penampilan guru mempengaruhi siswa dalam belajar. Jadi bisa disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa: Bahasa verbal, 88,25 % sangat mempengaruhi tingkat pemahaman responden dalam menerima materi saat guru mengajar. Bahasa nonverbal yang lebih dominan ada tiga, yaitu posisi, gesture, dan ekspresi guru saat mengajar. Ketiga bahasa nonverbal ini dapat menentukan apakah responden memperhatikan (fokus) ketika guru menjelaskan materi atau tidak. Sementara kedua bahasa nonverbal lainnya, cara bicara/dialek/logat dan penampilan guru tidak signifikan menghambat atau mempengaruhi responden dalam mengajar.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
b. Faktor – Faktor Personal Indikator persepsi yang digunakan dalam faktor-faktor personal adalah sebagai berikut: Motivasi, terdiri dari: pujian, hukuman, teguran, dan nasehat. Kepribadian, diukur dari: Apakah ada pengaruh karakter/sifat guru memengaruhi siswa dalam fokus belajar. Karakter/sifat ini dibagi menjadi dua: tegas dan perhatian.
(1) Putra Jika dilihat dari persentasenya, motivasi tertinggi yang dilakukan guru kepada siswa, yaitu teguran menempati posisi tertingga yaitu 93,5%. Kemudian motivasi kedua adalah nasehat (80,6%). Dan urutan terakhir yaitu pujian (38%) dan hukuman (18,5%). Jadi dapat disimpulkan bahwa guru lebih sering memberikan motivasi kepada siswa dalam bentuk teguran dan nasihat dibandingkan pujian dan hukuman. Sedangkan pengaruh karakter/sifat guru cukup besar terhadap siswa, yaitu sebanyak 77,13%. Diantara dua karakter/sifat guru, tegas dan perhatian, siswa lebih banyak memilih guru tegas (76,7%) dibandingkan guru yang memberikan perhatian (28,9%) saat mengajar. (2) Putri Jika dilihat dari persentasenya, motivasi tertinggi yang dilakukan guru kepada siswa, yaitu berupa nasehat sebesar 97,1%. Kemudian motivasi kedua adalah teguran (91,7%). Dan urutan terakhir yaitu pujian (51,6%) dan hukuman (20,7%). Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi guru menurut putri hampir sama dengan putra, yaitu lebih sering memberikan motivasi dalam bentuk teguran dan nasihat dibandingkan pujian dan hukuman. Namun perbedaannya putri lebih banyak memilih motivasi nasehat dibandingkan dengan teguran. Untuk 22
pengaruh karakter/sifat guru, putri lebih besar dibandingkan dengan putra, yaitu sebanyak 81,65%. Sementara dua karakter tegas dan perhatian, putri lebih banyak memilih perhatian (80,45%) dibandingkan dengan tegas (71,65%). Ternyata karakter/sifat guru ini berbanding terbalik yang dipilih putra dan putri. Jika putri lebih menganggap guru lebih perhatian daripada tegas, sebaliknya putra menganggap guru lebih tegas daripada lebih suka memberikan perhatian. Teori Atribusi Dari hasil kuesioner persepsi siswa tentang komunikasi instruksional guru bidang studi matematika diuraikan dalam dua faktor, yaitu faktor stuasional dan faktor personal. Menurut Firtz Heider, dalam teorinya, bila kita mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita menentukan dahulu apa yang menyebabkannya; faktor situasional atau personal; dalam teori atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal. Jika dilihat dari kesukaan siswa kelas XI IPA terhadap mata pelajaran matematika, maka ditemukan bahwa putra lebih banyak menyukai matematika dibandingkan putri. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kesukaan matematika ini memiliki dampak positif terhadap persepsi siswa kelas XI IPA dengan komunikasi instruksional guru bidang studi matematika. Ketika guru melakukan komunikasi instruksional atau komunikasi dengan siswa dalam pengajaran, maka yang perlu dilihat adalah apakah siswa fokus dan serius dengan apa yang disampaikan guru tersebut, sehingga siswa paham. Komunikasi awal yang mudah dianalisis dalam proses belajar adalah komunikasi verbal. Artinya apakah bahasa guru mudah dimengerti atau dipahami siswa. Ternyata dari hasil kuesioner, faktor bahasa baik responden putra maupun putri (suka matematika), memahami 100 % bahasa yang digunakan guru saat berkomunikasi. Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
Namun, jika dilihat secara kesulurahan, baik dilihat dari suka atau biasa atau tidak suka dengan matematika, maka responden putra (95%) tidak jauh berbeda dengan responden putri (88,25%). Artinya bahwa komunikasi verbal yang digunakan guru sebenarnya tidak ada masalah ketika dalam mengajar. Faktor situasional kedua yang juga dapat dianalisis dalam komunikasi instruksional guru bisa dilihat dari komunikasi nonverbal, yaitu proksemik (jarak/posisi antara siswa dan guru), ekspresi wajah, gesture, cara bicara/dialek, dan penampilan guru. Dari kelima komunikasi nonverbal tersebut, yang paling dominan adalah proksemik dan ekspresi guru. Proksemik yang lebih banyak dipilih siswa adalah ketika guru berkomunikasi berdiri di depan kelas, dibandingkan guru mengajar dalam posisi duduk di bangkunya atau berdiri di tengah kelas. Posisi ini banyak dipilih karena siswa (baik suka, biasa, atau tidak suka matematika) lebih mudah melihat guru dalam menjelaskan materi saat memberikan catatan dan latihan soal yang diberikan di papan tulis. Bahkan siswa lebih mudah melihat guru secara keseluruhan, baik yang duduknya di bagian depan, tengah dan belakang, sehingga mudah memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Jadi komunikasi yang efektif guru ketika mengajar di kelas adalah berdiri di depan kelas. Dari sisi ekspresi wajah, baik repsonden putra ataupun putri memiliki pilihan yang sama, yaitu lebih paham dengan guru yang ramah/bersahabat, tetapi serius dalam menyampaikan materi dan sedikit humoris, sehingga tidak tegang saat mengajar. Pertanyaan di atas yang menanyakan apakah kesukaan matematika ini memiliki dampak positif terhadap persepsi siswa kelas XI IPA dengan komunikasi instruksional guru bidang studi matematika, ternyata tidak terlalu signifikan terhadap proses belajar. Artinya guru menyamaratakan kedudukannya sebagai guru ketika memahamkan materi 23
kepada siswa di kelas, apakah siswa menyukai atau tidak dengan mata pelajaran matematika, walaupun dari sisi faktor situasional guru memberikan sikap yang berbeda antara putra dan putri. Pertanyaan muncul kedua dalam teori atribusi apakah persepsi siswa kelas XI IPA dengan komunikasi instruksional guru bidang studi matematika berdampak positif dalam proses belajar. Manakah pengaruh yang paling besar, faktor situasional atau faktor personal, sehingga siswa paham dan mengerti tentang mata pelajaran matematika. Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang sama terhadap persepsi siswa tentang komunikasi instruksional guru. Artinya, jika faktor situasional mendukung proses belajar, maka faktor personal juga akan bersamaan memiliki pengaruh yang sama. Jika guru melakukan komunikasi instruksional berdiri di depan kelas dengan ekspresi wajah ramah/bersahabat, tapi serius dan sedikit humoris, maka siswa lebih paham, fokus dan mudah dimengerti. Semakin positif komunikasi instruksional yang dilakukan guru pada faktor situasional, maka semakin positif siswa memberikan respon kepada guru. Berbeda dengan faktor personal, antara responden putra dan putri. Sikap tegas lebih ditunjukkan oleh guru terhadap putra, sementara putri lebih bersikap perhatian daripada putra. Motivasi yang diberikan juga ternyata berbeda, putra lebih diberikan motivasi dengan cara ditegur dan putri lebih banyak diberi nasehat. Jadi cara komunikasi instruksional guru agar siswa paham dengan mata pelajaran matematika memiliki perlakuan yang berbeda antara putra dan putri. Putra lebih bersifat tegas dan diberi teguran dalam memotivasi belajar, sementara putri lebih bersifat perhatian dan diberi nasehat dalam memotivasi belajar. Dapat disimpulkan bahwa faktor yang terlihat perbedaan persepsi siswa Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
terhadap komunikasi instruksional guru adalah faktor personal. Secara praktiknya memang sikap guru terhadap siswa putra dan putri berbeda, namun dari faktor situasional, guru dalam memahamkan materi kepada siswa, guru tidak mempertimbangkan apakah putra ataupun putri. Jadi persepsi siswa kelas XI IPA tentang komunikasi instrumental guru bidang studi matematika bersifat positif pada faktor situasional, tetapi tidak bersifat positif pada faktor personal. Teori Belajar Behavioristik Dalam analisis teori belajar behavioristik, menurut Ivan Pavlov, dikatakan bahwa belajar merupakan suatu upaya untuk mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Dari teori Pavlov ini ada hukum belajar yang dapat dianalisis sebagai berikut: 1) Law of Respondent Conditioning, atau hukum pembiasaan yang dituntut. Dalam penelitian ditemukan bahwa komunikasi instruksional yang dilakukan guru matematika adalah membiasakan siswa kelas XI IPA diberikan latihan yang berulang sebagai stimulus. Latihan berulang ini untuk merangsang siswa apakah sudah paham atau belum terhadap mata pelajaran matematika. Stimulus yang diberikan bisa dalam bentuk soal di papan tulis atau dari buku cetak atau bisa dari buku LKS (lembar kerja siswa). Semakin dibiasakan siswa diberikan latihan soal oleh guru, maka semakin tahu bagaimana rumus dan cara mengerjakan soal-soal matematika dalam ujian. Satu hal yang paling penting dari stimulus yang diberikan guru dalam komunikasi instruksional kepada siswa adalah proses interaksi saat tanya jawab. Guru akan menanyakan mulai dari apakah materi yang sudah diberikan paham atau tidak, sampai latihan soal yang dibuat oleh guru mengalami kendala atau kesulitan 24
dalam menjawab soal. Semua stimulus di atas adalah bentuk komunikasi instruksional guru matematika saat mengajar siswa kelas XI IPA. Dan bentuk stimulus itulah yang sering dilakukan guru dalam proses mengajar, karena pada dasarnya untuk mata pelajaran matematika, semakin sering (pembiasaan) diberi stimulus (latihan soal) oleh guru, maka respon (tanggapan) siswa untuk memahami mata pelajaran matematika semakin cepat paham. 2) Law of Respondent Extinction, atau hukum pemusnahan yang dituntut. Dari hasil penelitian, ketika stimulus yang diberikan secara simultan atau terus menerus (sering diberikan latihan soal), maka akan memengaruhi respon (tanggapan) positif bagi siswa, yaitu siswa semakin paham dengan materinya. Namun menurut Pavlov, jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangi kembali tanpa menghadirkan reinforcer (penguat), maka kekuatannya akan menurun. Penguat dalam penelitian ini dilihat dari faktor personal. Dari hasil penelitian, persepsi siswa tentang komunikasi instruksional guru dari faktor personal memang memiliki stimulus yang berbeda dalam memberikan reinforcer kepada siswa. Guru lebih sering memberikan motivasi kepada siswa dalam bentuk nasehat dan teguran dibandingkan dengan pujian atau hukuman. Reinforcer ini berbeda perlakuan antara putra dan putri, guru lebih memberikan nasehat sebagai motivasi kepada putri, sedangkan putra lebih diberikan teguran sebagai motivasinya. Jika dilihat dari sikap tegas dan perhatian guru saat komunikasi instruksional kepada siswa juga mengalami perbedaan. Putri lebih diberikan perhatian, sementara putra lebih bersikap tegas, sehingga persepsi siswa juga berbeda Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
tentang komunikasi instruksional guru matematika. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah persepsi siswa kelas XI IPA tentang komunikasi instruksional guru bersifat positif dalam faktor situasional, berarti Ha diterima dan H0 tertolak. Untuk faktor personal, persepsi siswa putra dan putri memiliki perbedaan dalam komunikasi instruksional guru. Hal ini bisa dilihat dari perlakuan guru terhadap siswa saat mengajar, putri lebih diberi motivasi nasehat sebagai penguat stimulus dan diberikan perhatian, sedangkan putra lebih diberi motivasi berupa teguran dan diberikan sikap tegas daripada perhatian oleh guru.
REFERENSI
Arsyad, Azhar. (2010). Pembelajaran. Jakarta: Grafindo Persada
Media Raja
Bungin, Burhan. (2011). Penelitian Kuantitatif : Komunikasi, Ekonomi, kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Djamarah SB, Aswan Z. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta Mudyahardjo R. (2010). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Mulyana, Deddy. (2009). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
25
Rakhmat, Jalaludin. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sjarkawi. (2011). Pembentukan Kepribadian Anak: Pran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: PT Bumi Aksara. Suprapto, Tommy. (2006). Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Yusuf, Pawit M. (2010). Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara. Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset. Zakiah, Kiki, dan Muthiah Umar. (2006). Komunikasi Instruksional dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Mediator Vo.7 No.1
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 2, September 2016
26