Volume 11, Nomor 1, Hal. 47-56 Januari - Juni 2009
ISSN 0852-8349
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM UPAYAPEMENUHAN HAM BURUH MIGRAN Retno Kusniati Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum, Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361
Abstract This research based on that there are not protection of the Goverment of human rights all migrant workers including illegal migran workers and his/her familily where the state they are. This normative research is aimed to compare the law between national policy and international law. This research show that International law have designed to protect human rights for all migrant workers including illegal migran workers and his/her familily where the state they are. There are standards that create a pattern for law and administrative procedure and courts for every state that do ratification to anssure and fulfill migrant workers human rights in the recieving state. Indonesian has only protection to legal migran workers cause did not ratifiy the Convention yet. The States where be purposed of Indonesian migran workers have do yet ratification yet. This Condition makes the Indonesian migran workers sensitive on human rights violation. By Law regulations and Law enforcement and ratifiy the Convention for the law and human rights protection migrant workes, its show as consecuency from relation and harmonism national law and international law but futher as realization of state responsiblity to fulfill human righst migrant workers and his/her family. Key words: Migrant worker, human rights and law protection
PENDAHULUAN Kemiskinan dan ketidakmampuan untuk mendapatkan nafkah yang cukup merupakan alasan utama di balik perpindahan pencari kerja dari satu negara ke negara lain. Hal ini tidak hanya merupakan suatu karakteristik migrasi dari negara miskin ke negara kaya; kemiskinan juga merupakan penyebab perpindahan dari satu negara berkembang ke negara berkembang lainnya yang mempunyai prospek pekerjaan lebih baik. Berdasarkan data Depnakertrans RI menunjukkan rata-rata 400 ribu buruh migran setiap tahun dikirim ke berbagai negara kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah buruh migran perempuan mencapai 72 persen dari jumlah buruh migran laki-laki. Adapun Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak asasi manusia (HAM) buruh migran Jorge Bustamante sebagaimana dikutip dari Tri Wibowo Santoso (2006), mengemukakan bahwa buruh migran Indonesia yang bekerja
di Malaysia yang didominasi oleh kaum perempuan, kerap mendapat siksaan dari majikan mereka. Secara umum, situasi buruh migran perempuan Indonesia merefleksikan dilema perempuan. Di satu sisi mereka harus bekerja akibat tuntutan ekonomi, sementara yang tersedia untuk mereka dengan pendidikan yang terbatas adalah jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, penuh eksploitasi, kekerasan, subordinasi dan diskriminasi. Mayoritas buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga dalam keadaan yang terisolasi, sebagai pekerja seks dalam industri pariwisata, di restoran dan hotel serta dalam industri manufaktur (Kompas:12-12-2005). Di sisi lain, sumbangan buruh migran terhadap pendapatan negara cukup besar, yakni sekitar 3,4 miliar dollar AS atau lebih dari Rp.29,75 triliun dengan asumsi 1 dollar AS sama dengan Rp.8.500. Selanjutnya, target devisa dari sektor ini dipatok 5 miliar dollar AS atau sekitar 45 triliun setahun untuk lima tahun ke depan, dengan asumsi kurs 1 dollar
47
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
AS adalah Rp.9.000., sebagaimana dikutip dari Agnes Sweta dan Maria Hartiningsih (2004). Namun, perlindungan hukum bagi posisi rentan buruh migran sangat tidak memadai. Sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran. Di samping itu, ada Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengenai penahanan paspor buruh migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Dari dua puluh satu negara tujuan buruh migran Indonesia belum satupun dibentuk perjanjian bilateral (billateral Agreement) mengenai perlindungan buruh migran antara Indonesia dengan negara penerima. Baru dengan lima negara dibuat Nota Kesepahaman, yaitu antara Indonesia dengan Malaysia, Taiwan, Kuwait, Yordania dan Korea Selatan. Dari kelima Nota Kesepahaman itu, diduga posisi Indonesia, utamanya posisi buruh migran sangat lemah. Misalnya Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang ditanda tangani di Bali tanggal 13 Mei 2006, dipandang memuat prinsip-prinsip yang melanggar HAM karena tidak mengatur secara rinci hak-hak dasar buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan pekerja rumah tangga. Diantaranya mengenai minimal pendapatan buruh, jam kerja, hari libur, kebebasan menjalankan ibadah, termasuk soal standar akomodasi seperti kamar tidur yang mempunyai kunci, berventilasi dan beralaskan tempat tidur. Selain itu mengenai rekening bank dan paspor sebaiknya juga tegas dinyatakan dalam MoU, dipegang oleh buruh. Ketidakpastian mengenai semua hak-hak buruh migran tersebut dapat menjadi pokok perselisihan majikan dan pekerja dan cenderung memicu pelanggaran HAM. Kebijakan perlindungan hukum terhadap buruh migran melalui Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri hanya dapat diberikan pada buruh migran resmi. Sedangkan sebagian besar buruh migran memiliki persoalan dengan dokumen resmi atau izin kerja yang dipegang agen, majikan atau dokumen tidak sesuai kontrak..
48
Perempuan miskin di pedesaan dan kota terpaksa memilih bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga karena kesempatan memperoleh pekerjaan di dalam negeri terbatas (Eko Bambang Subiyantoro:2004:84). Tanpa status, pendatang ilegal merupakan sasaran ekslpoitasi. mereka berada di tangan majikannya dan dapat diwajibkan untuk menerima pekerjaan apapun, serta dalam kondisi kerja dan hidup yang buruk. Mereka jarang sekali berupaya mencari keadilan karena takut terungkap statusnya dan diusir. Di negara penerima dengan status ilegal upah dapat ditekan. Dalam masalah ini sesungguhnya negara dapat dianggap melepas tanggung jawabnya karena membiarkan praktik-praktik ilegal dalam proses dokumen tenaga kerja terus berlangsung serta tidak mampu menghindari situasi dimana buruh migran berada dalam status ilegal dalam waktu yang panjang di negara tujuan. METODE PENELITIAN Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (legal research). Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji bahwa “Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sistematika hukum; (3) penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum.” (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji:1985: 15) Bertalian dengan penelitian normatif, penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi, bahan hukum yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan hukum buruh migran baik yang diatur dalam hukum internasional maupun hukum nasional. Metode Pendekatan
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Melalui pendekatan yuridis komparatif penelitian ini akan menganalisis dan membandingkan ketentuan hukum internasional berupa Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dibandingkan dengan
Retno Kusniati: Perlindungan Hukum Dalam Upaya Pemenuhan Ham Buruh Migran
ketentuan hukum nasional yaitu UndangUndang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM untuk ditelaah dari aspek sinkronisasi perlindungan hukum bagi pemenuhan HAM buruh migran. Dalam penelitian ini terhadap bahan hukum akan diawali dengan melakukan penelitian terhadap prinsip-prinsip atau asasasas hukum yang dalam instrumen hukum Intenrasional dibandingkan dengan prinsipprinsip dan asas-asas hukum dalam instrumen hukum perburuhan dan HAM nasional yang mengatur perlindungan dan pemenuhan HAM buruh migran Lebih lanjut dilakukan penelitian terhadap prinsip-prinsip perburuhan dan HAM buruh migran. Kemudian, dilakukan pula pendekatan yuridis historis dengan menganalisis legal spirit dari ketentuanketentuan hukum intenasional dan kebijakan masyarakat internasional dalam melindungi entitas buruh migran yang memang dianggap rentan terhadap pelanggaran HAM untuk di analisis mengenai pengaturan perlindungan hukum bagi pemenuhan HAM buruh migran. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini dititikberatkan pada studi kepustakaan untuk menganalisis dan mensintesa bahan-bahan hukum yang meliputi: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan pengaturan hakhak buruh yang terdiri dari: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 c. Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya Tahun 1990 d. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM e. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan f. Kovenan Hak Sipil dan Politik g. Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya
h. Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain berupa tulisan atau pendapat para ahli ketenagakerjaan dan HAM. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain berupa : Kamus hukum, Berbagai majalah hukum
2.
3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui dua cara yaitu: a. Studi kepustakaan b. Studi dokumen Selanjutnya dalam penelitian kepustakaan ini, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi utama yaitu: a. bersifat umum yaitu buku-buku yang membahas standar perburuhan khusunya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh migran b. bersifat khusus, yaitu jurnal, laporan hasil penelitian, terbitan berkala dan lain-lain. Adapun studi dokumen sebagai sarana pengumpulan bahan hukum ditujukan pada dokumen yang bersifat publik berkaitan dengan pengaturan mengenai buruh migran. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang bersifat asas-asas, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan para pakar hukum tenaga kerja dan HAM, serta isi kaidah hukum nasional dan internasional mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dianalisis secara kualitatif. Analsis kualitatif tersebut lalu diuraikan secara deskritif dan perspektif. Analisis deskriftif perspektif ini bertitik tolak dari analisis yuridis historis dan analisis yuridis sistematis dari ketentuan hukum nasional dan internasional yang pendalamannya dikaitkan dengan analisis identifikasi dan faktor-faktor
49
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
penyebab pelanggaran hak buruh migran guna disusun suatu upaya ke depan yang perlu ditempuh dalam perlindungan hukum dan pemenuhan HAM buruh migran. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanggung Jawab Negara dalam HAM
Menurut Thomas Aquino pendukung hukum kodrat bahwa setiap orang adalah individu yang otonom yang mampu melakukan pilihan. Keabsahan pemerintah tidak hanya tergantung pada kehendak rakyat, tetapi juga pada kemauan dan kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya melalui kekuasaan berdasarkan hukum. (Scoot Davidson:1994:37) Ketentuan Pasal 8 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan: perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya Pasal 71 menegaskan kembali: “pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini …dst”; dan pasal 72: ”kewajiban dan tangung jawab pemerintah…., meliputi langkah implementasi yang efektif di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain’. Berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap HAM, ada tiga jenis kewajiban negara yang berbeda, yaitu:(M.M. Billah:2003:8) Kewajiban untuk menghormati (to respect):
Kewajiban menghormati ini menuntut negara, dan semua organ dan aparatnya, untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka. Contoh dari jenis ini adalah tindakan seperti: a. Pembunuhan di luar hukum (artinya pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup); b. Penahanan serampangan (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk
50
menghormati hak-hak individu untuk bebas); c. Pelarangan serikat buruh (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat); d. Pembatasan atas praktek dari satu agama tertentu (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak kebebasan beragama individu). Kewajiban untuk melindungi (to protect):
Kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparatnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas kebebasan mereka, contoh dari jenis pelanggaran ini adalah acts of ommission (pembiaran, ada kewajiban untuk berbuat tetapi tidak dilakukan) seperti: a. Kegagalan untuk bertindak, ketika satu kelompok tertentu seperti satu kelompok etnis menyerang kelompok etnis lain; b. Kegagalan untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang tepat. c. Kegagalan untuk menjamin perlindungan hukum buruh migran dari praktek pengurusan dokumen illegal. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfill):
Kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi. Contoh dari jenis ini adalah acts of ommission seperti: a. Kegagalan untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar; b. Kegagalan dalam hal mengimplementasikan satu sistem pendidikan gratis pada tingkat primer.
Retno Kusniati: Perlindungan Hukum Dalam Upaya Pemenuhan Ham Buruh Migran
c. Kegagalan untuk memenuhi HAM satu sistem perjanjian multilateral/ bilateral yang melindungi dan memenuhi HAM buruh migran di negara tujuan. Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional
Berkaitan dengan berlakunya prinsipprinsip, asas-asas, kaedah atau ketentuan hukum internasional ke dalam hukum nasional, secara historis ada dua pandangan. Pandangan pertama disebut voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara. Selanjutnya adalah pandangan objectivisme yang mengganggap ada dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara. (Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes:2003:56) Menurut pandangan volutarisme hukum internaisonal dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah. Negara terikat pada ketentuan hukum internasional didasarkan pada persetujuan negara untuk mengikatkan diri. Adapun pandangan objectivisme melihat bahwa berlakunya hukum internasional dalam suatu negara terlepas dari kemauan negara. Perbedaan ini menimbulkan dua aliran yang terkenal yaitu aliran hukum monisme dan dualisme. Pemuka utama aliran dualisme antara lain Triepel dan Anzilotti yang menganggap bahwa antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah dan berbeda. Perbedaan kedua sistem ini terlihat pada alasan-alasan formal dan alasan yang berdasarkan kenyataan yaitu: (J.G. Starke:2003:96) 1. Kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber hukum yang berlaian. Hukum nasional bersumber pada kemauan negara sedang hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat internasional; 2. Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya, subjek hukum nasional adalah orang perorangan sedang subjek hukum internasional adalah negara;
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana hanya ada pada hukum nasional. Sedangkan dalam hukum internasional lembaga yang secara khusus membuat hukum (organ legislative) tidak ada. Akibatnya dari pandangan dualisme, hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat dan dapat berlaku apabila kaedahkaedah hukum internasional itu menjadi bagian dari kaedah-kaedah hukum nasional melalui tranformasi. Sedangkan aliran monisme berpandagan bahwa hukum internasional dan hukum nasional dianggap sebagai satu kesatuan dan merupakan bagian dari keseluruhan kaedah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif maupun individual. Berkaitan dengan berlakunya kaidah hukum internasional ke dalam hukum nasional khususnya bertalian dengan hak asasi manusia, menurut Mochtar Kusumaatmadja (2003:68), Indonesia tidak menganut teori transformasi yaitu mentransformasikan terlebih dahulu ketentuan hukum internasional ke dalam peraturan perundangan-undangan nasional. Di sisi lain Indonesia juga tidak menganut sistem in korporasi sebagaimana yang dianut Inggris dan Amerika Serikat, dimana hukum internasional dianggap merupakan bagian dari hukum negara, hukum internasional secara otomatis berlaku sebagai hukum negara sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan nasional Inggris dan Amerika Serikat. Lebih lanjut menurut Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia langsung terikat terhadap konvensi atau perjanjian yang telah disahkan, tanpa terlebih dahulu membuat undang-undang pelaksanaannya. Namun untuk beberapa hal mutlak diperlukan undang-undang tersendiri, yakni apabila langsung menyangkut hak-hak warga negara. Adapun berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional telah diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang
51
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
Perjanjian Internasional, dalam Pasal 5 dinyatakan sebagai berikut: 1. Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undangundang atau Keputusan Presiden, Pemerintah Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian tersebut. 2. Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya mengenai berlakunya perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi melalui undang-undang, menurut Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang berkenaan dengan: a. Masalah politik, perdamaian dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara; c. Kedaulatan dan hak berdaulat negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaedah hukum baru; dan pinjaman dan/hibah luar negeri Berdasarkan pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut, telah ditentukan jenis-jenis perjanjian yang digolongkan sebagai treaty dan agreement. Treaty memerlukan pengesahan dari DPR, sedangkan agreement tidak memerlukan pengesahan DPR, cukup pemberitahuan saja dari pemerintah pada DPR untuk diketahui. Instrumen Hukum Bagi Perlindungan dan Pemenuhan HAM Buruh Migran
Berkaitan dengan buruh, melalui perlindungan hak asasi manusia yang dikemukakan oleh Aristoteles, upaya perlindungan secara hukum terhadap hak-hak tenaga kerja atau buruh dianggap merupakan bagian integral dari pembangunan di bidang
52
hukum yang mencakup tiga aspek berikut (Fauzie Ridjal:1993:45) 1. pembangunan perangkat undangundang; 2. pembangunan aparat penegak hukum; dan 3. pembangunan kesadaran hukum masyarakatnya. Pengaturan berupa perlindungan dan jaminan hak-hak buruh termuat dalam instrumen hukum nasional dan internasional yang terdiri dari: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 c. Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya Tahun 1990 d. Konvensi ILO e. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM f. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan g. Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Ekosob h. Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undangundang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Sipol i. Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Melalui pembentukan hukum, fungsi hukum melindungi si lemah terhadap si kuat. Salah satu contoh kelemahan struktural terdapat pada saat buruh berhadapan dengan majikan. Posisi lemah kaum buruh yang telah menghasilkan kontrak perburuhan sepihak, yang mewajibkan mereka untuk bekerja dengan jam kerja yang lama, upah yang rendah dan kondisi-kondisi kerja yang buruk, perlakuan diskriminatif terhadap buruh perempuan telah mengalami kemajuan dengan adanya standar-standar perburuhan yang ditetapkan dengan hukum mengenai jam kerja maksimum, upah minimum, keamanan kerja, kesetaraan upah, kesempatan yang sama tanpa
Retno Kusniati: Perlindungan Hukum Dalam Upaya Pemenuhan Ham Buruh Migran
adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin serta pemenuhan HAM. Kesepakatan negara-negara dalam kerangka Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyusun instrumen hukum untuk melindungi mereka yang secara struktural lemah terhadap mereka yang kuat. Instrumeninstrumen hukum nasional dan hukum internasional telah meletakkan individu memiliki harkat dan martabat termasuk dalam menperoleh pengidupan yang layak. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 telah memperteguh mengenai persamaan hak dan mendorong negara-negara untuk menjunjung tinggi dan melaksanakannya. Penjabaran lebih lanjut DUHAM termuat dalam dua kovenan internasional. Salah satunya adalah yang berkaitan dengan hak perempuan untuk diperlakukan sama di tempat kerja yaitu Internasional Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 2 menyatakan hak untuk menikmati ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi: a. Hak untuk mencari nafkah dan memilih pekerjaan (Pasal 6) b. Hak menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkaan (Pasal 7) c. Hak membentuk serikat kerja, terlibat dalam serikat kerja (Pasal 8) d. Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial (Pasal 9) e. Hak mendapatkan perlindungan khusus terhadap kehamilan (Pasal10) f. Hak mendapat perlakuan yang non diskriminatif (Pasal 10) Secara khusus, dibentuk dua konvensi International Labour Organization (ILO) bagi perlindungan buruh migran yaitu Konvensi Migrasi No. 97 tahun 1946 dan Konvensi Pekerja Migran No. 143 tahun 1975. Kemudian Convention on the Elimination Discrimination of All Forms Woman (CEDAW) yaitu Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang meletakkan ulang beberapa hak yang kelihatannya akan sulit diraih oleh perempuan menginggat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak yang
subordinat. Pendekatan yang dipakai adalah prinsip non diskriminatif dan persamaan menuju kesetaraan. Organisasi Buruh Internasional (ILO: International Labour Organization)) telah melakukan beberapa upaya dalam rangka perlindungan bagi buruh migran. Sumbangan ILO untuk mencapai keadilan yang lebih besar bagi pekerja migran mengambil dua bentuk utama. Pertama, beberapa Konvensi dan rekomendasi tertentu dari ILO telah menetapkan pola bagi hukum naisonal, dan juga prosedur peradilan dan administratif yang berkenaan dengan migrasi untuk bekerja. Kedua, ILO membantu mempertahankan HAM pekerja migran melalui kerja sama teknisnya. Dua Konvensi ILO mengenai buruh migran adalah Konvensi Migrasi untuk Bekerja No. 97 Tahun 1946, dan Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan) No. 143 Tahun 1975. Konvensi No. 97 memuat sejumlah ketentuan yang dirancang untuk membantu para migran untuk bekerja. Konvensi ini menyerukan negara-negara setelah meratifikasi konvensi memberikan informasi yang relevan pada negara anggota ILO dan organisasi itu sendiri untuk mengambil langkah-langkah melawan propaganda menyesatkan, dan untuk memfasilitasi keberangkatan, perjalanan dan juga penerimaan buruh migran. Lebih jauh, Konvensi No. 97 meminta negara-negara memposisikan buruh migran, yang secara sah berada dalam wilayahnya, dengan perlakuan yang sama seperti warga negaranya sendiri dalam menerapkan berbagai hukum dan peraturan yang berkenaan dengan kehidupan kerja mereka tanpa diskriminasi. Pada tahun 1990 melalui Resolusi Majelis Umum No. 45/158 tanggal 18 Desember 1990 dibentuk Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pengertian pekerja migran sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya menegaskan bahwa pekerja migran adalah seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar
53
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
dalam suatu negara dimana ia bukan menjadi warga negara. Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (1990) secara komprehensif memuat mengenai perlindungan hukum dan HAM buruh migran yang terdiri dari 93 pasal yang mengatur jaminan perlindungan bagi semua buruh migran dan anggota keluarga baik yang berdokumen maupun tidak. Misalnya jaminan atas HAM buruh migran yang tidak berdokumen diatur dari pasal 7 sampai dengan pasal 35. Sedangkan buruh migran yang berdokumen diatur dari pasal 36 sampai dengan 56. Ketentuan Pasal 10 menyebutkan bahwa tidak seorangpun pekerja migran dan anggota keluarganya dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Konvensi ini membuat terobosan dalam merumuskan perlindungan hukum dan HAM bagi buruh migran resmi dan yang tidak berdokumen sebagaimana tentukan dalam Pasal 5 Konvensi bahwa: Untuk tujuan Konvensi ini, pekerja migran dan anggota keluarganya: (a) dianggap telah didokumentasikan atau berada dalam situasi yang biasa apabila mereka diberi izin untuk masuk, bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar dalam Negara tempatnya bekerja, sesuai dengan hukum Negara tersebut dan perjanjianperjanjian internaisonal dimana Negara tersebut menjadi pihak; (b) dianggap tidak didokumentasikan atau berada dalam situasi yang tidak biasa apabila mereka mematuhi persyaratanpersyaratan yang diatur dalam sub ayat (a) dari Pasal ini. Hak yang berlaku bagi golongan-golongan pekerja migran tertentu dan anggota keluarganya termasuk juga bagi: 1. Pekerja frontier, yang bertempat tinggal di negara tetangga ke tempat mana mereka biasanya pulang setidaknya satu kali seminggu; 2. Pekerja musiman;
54
3. Pelaut yang dipekerjakan dalam kapal-kapal yang didaftarkan pada suatu negara bukan negaranya sendiri; 4. Pekerja pada instalasi lepas pantai yang berada dalam yurisdiksi suatu negara bukan negaranya; 5. Pekerja keliling; 6. Pekerja migran untuk proyek tertentu; dan 7. Pekerja mandiri. Ketentuan Pasal 7 Konvensi Migran menegaskan bahwa negara-negara berjanji sesuai dengan instrumen-instrumen tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan bahwa semua pekerja migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau yang tunduk ada yurisdiksinya agar memperoleh hak yang diatur dalam Konvensi ini tanpa pembedaan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik kebangsaan, asal usul, etnis, status sosial, status kewarganegaraan atau status lainnya. Pada bagian VI Konvensi Migran menetapkan sejumlah kewajiban pada negaranegara pihak dengan maksud untuk memajukan kondisi yang baik, setara, manusiawi, dan berdasar atas hukum, bagi migrasi internasional pekerja migran dan keluarganya. Persyaratan ini mencakup pembuatan kebijakan tentang migrasi, pertukaran informasi dengan negara-negara pihak lainnya, ketentuan mengenai informasi pada para majikan, pekerja dan organisasinya mengenai kebijakan hukum dan peraturan dan bantuan pada pekerja migran dan anggota keluarganya Pada tingkat nasional, jaminan dan perlindungan hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum memperoleh tempat dalam konstitusi yaitu Pasal 27 ayat (2) yang menentukan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dirumuskan bahwa:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
Retno Kusniati: Perlindungan Hukum Dalam Upaya Pemenuhan Ham Buruh Migran
yang sama di hadapan hukum”. Pasal 27 ayat (2) yang menentukan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penegakan HAM dalam implementasinya, tidak cukup hanya dengan mencantumkan pasal-pasal HAM dalam konstitusi sebagai wujud jaminan atas perlindungannya. Akan tetapi jaminan itu juga harus terdapat di dalam peraturan perundang-undangan lainnya, bahkan harus pula meratifikasi instrumeninstrumen HAM internasional dan merealisasikannya dalam penegakan hukum.(Muntoha:2007:262) Dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 28D ayat (1) tersebut di atas, maka dibentuklah peraturan perundangundangan nasional tentang buruh yaitu Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di samping itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi atas sejumlah instrumen HAM internasional berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh. Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO:International Labour Organization) No. 100 melalui Undang-undang No. 80 Tahun 1957 mengenai pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaaan yang sama nilainya. Selanjutnya, hak atas pemerataan kesempatan kerja termuat dalam Konvensi ILO No.111 yang diratifikasi menjadi Undang-undang No. 21 Tahun 1999. Kemudian Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination for All Forms Discrimination Against Woman) diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Ada sejumlah instrumen hukum internasional berkenaan dengan perlindungan hukum dan HAM buruh migran sebagaimana telah disebut diatas. Keterikatan Indonesia atas sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan hukum dan HAM buruh migran tidak hanya dapat dilihat berdasarkan pandangan Mochtar Kusumaatmadja dan ketentuan Undangundang No. 20 Tahun 2000 tentang perjanjian Intrnasional, namun melalui teori Hans Kelsen (Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, :2003:62) yang berpijak pada suatu asas pacta
sunt servanda suatu negara terikat untuk melaksanakan norma-norma hukum internasional dalam hukum nasionalnya dapat dikembalikan pada hakekat suatu perjanjian itu sendiri untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Ada dua puluh negara tujuan buruh migran Indonesia, baru lima negara yang membuat kesepakatan bersama dengan Indonesia yaitu Kuwait, Yordania, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia yang mengatur mengenai buruh migran, selebihnya belum. Tidak adanya kesepakatan mengenai buruh migran antara Indonesia dengan negara tujuan diyakini akan membuat posisi buruh migran semakin rentan. Terlebih lagi apabila payung hukumnya hanya MoU bukan Perjanjian bilateral dalam bentuk undang-undang berdasarkan kewajiban ratifikasi bagi perlindungan dan pemenuhan HAM buruh migran baik bagi negara asal migran terlebih negara tujuan migrasi. Sedangkan ketidakpastian mengenai semua hak-hak buruh migran dapat menjadi pokok perselisihan majikan dan pekerja dan menimbulkan pelanggaran HAM. Saat ini Kebijakan perlindungan hukum terhadap buruh migran melalui Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri belum memadai karena hanya dapat diberikan pada buruh migran resmi. Sedangkan sebagian besar buruh migran memiliki persoalan dengan dokumen resmi atau izin kerja karena praktek-praktek pengurusan yang juga melibatkan aparat. Hal ini dapat dianggap sebagai kegagalan negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi buruh migran. KESIMPULAN Instrumen-instrumen Hukum Internasional telah menjamin posisi rentan buruh migran agar terlindungi dan terhindar dari eksploitasi dan pelanggaran HAM. Penundaan negara asal buruh migran dan negara tujuan buruh migran meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan mengharmonisasikan hukum nasionalnya dengan hukum internasional, sesungguhnya dapat dipandang sebagai kelalaian dan kegagalan negara dalam
55
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora
memproteksi dan memenuhi HAM buruh migran yang merupakan tanggung jawabnya. DAFTAR PUSTAKA Agnes Sweta dan Maria Hartiningsih. 2004. Tolak Posisi Rentan Buruh Migran, Kompas, 9-06-2004. Eko Bambang Subiantoro. 2004. Buruh Perempuan: Antara Kapitalisasi Modal dan Budaya Patriarkhi, Jurnal Perempuan No. 35 Edisi Mei, Jakarta. Fauzie Ridjal. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesiaa, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, 1988, hal.2. J.G.Starke. 2003. Pengantar Hukum Internasional, Edisi kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta. M.M. Billah. 2003. Tipologi dan Praktek Pelanggaran HAM di Indonesia, Makalah Pada Seminar Penegakan Hukum dalam era Berkelanjutan, Komnas HAM-BPHN, Den Pasar Bali.
56
Muntoha. 2007. Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusham UII, Yogyakarta. Komnas HAM. 2005. Lembar Fakta Edisi II, Jakarta. Kompas. 1-12-2005. Solidaritas Perempuan Desak Pemerintah Lindungi Buruh Migran Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar hukum internasional Bagian I-Umum, Bina Cipta , Bandung. Scoot Davidson.1997. HAM Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Grafiti, Jakarta Tjik Wirawan.1989. Pengaruh Pelaksanaan Hak Normatif Sosial Ekonomi Buruh in Konkreto terhadap Kesejahteraan Buruh di Perkebunan Kopi Swasta di Jawa Timur, Disertasi, 1989, Universitas Airlangga. Tri Wibowo. 2006. Isi Perjanjian RIMalaysia Soal Buruh Migran Mengejutkan, dalam htt://ww.vhr media.net/home, diakses tanggal 1503-2006 pukul 20.17 WIB.