PERKEMBANGAN HAK PEREMPUAN DI BIDANG WARIS DALAM HUKUM ADAT BALI Ni Nyoman Sukerti* Abstract Adat Jaw represent the law which live in the society, its for unwritten and still go into effect hitherto. Adat law studied by is the heritage of Balinese adat law. According to the heritage of Balinese adat law, daughter and widow of non as heir. Report of Research andjustice decision mention that daughter as heir. Pursuant to the fact of woman rights in the heritage of Balinese adat law have experienced of the development. The development influenced by some factor of like paradigm change from some parent and some enforcer punish the Oudge), awareness of society citizen, individual evocation, education, economic of family, efficacy of family of to have a plan and legislation. The development, still have the character of limited namely only to its parent properties estae obtained do not by inherit. Kata kunci : Hak Perempuan, HukumAdat Waris Bali
Hukum dilihat dari segi bentuknya dapat digolongkan menjadi dua, sebagai mana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo yaitu hukum tertulis di satu pihak dan hukum tidak tertulis di pihak lain. Hukum tertulis menjadi tanda ciri hukum modem yang mengatur dan melayani kehidupan modem. Penggunaan hukum tertulis tidak serta merta menghilangkan bekerjanya hukum tidak tertulis seperti tradisi, kebiasaan dan praktek-praktek tertentu. Oleh karena itu dua bentuk tatanan itu berjalan berdampingan yaitu bentuk tertulis dan tidak tertulis. Contoh tentang sanksi adat yang masih diterapkan dibeberapa daerah walaupun sudah ada hukum tertulis yaitu KUHP. Hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, dan sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri. Kehidupan modem tidak menghilangkan hukum adat tetapi hukum adat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman sehingga ia tetap kekal dan segar. Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis diatur eksistensinya dalam konstitusi UUDNRI 1945. Pada Pasal 188 ayat (2) dirumuskan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan ') 1
86
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (hasil amandemen kedua), penjabarannya diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), disebutkan bahwa "Setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundangu ndangan, hukum tak tertulis, dan hukum intemasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia". Hukum tidak tertulis yang dimaksudkan oleh Undang-Undang HakAsasi Manusia adalah hukum adat. Hukum adat mencakup beberapa bidang hukum yaitu bidang hukum adat kekeluargaan, hukum adat perkawinan, hukum adat waris, hukum adat delik atau pidana, hukum adat perhutangan, dan hukum adat tanah. Dari bidang-bidang hukum adat tersebut bidang hukum adat keluarga sangat erat kaitannya dengan hukum adat waris karena sistem kekerabatan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu sangat mempengaruhi sistem kewarisan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut untuk lebih jelasnya dikemukakan sistem kekerabatan yang dianut di Indonesia. Di Indonesia pada prinsipnya dikenal tiga sistem kekerabatan atau tiga cara dalam melihat garis
NI Nyoman Sul<ertl, adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Satjlpto RaharcfJ(), llmu Hukum, PT Aditya Bakb, Bandung, 2006, hal. 71-72. (sela,.rtnya disebut Saq1pto Rahardjo I).
c,tra
Ni Nyoman Sukerti, Hak Perempuan di Bidang Waris
keturunan yaitu : 1. Pertalian keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis laki-laki saja atau garis ayah, yang disebut keturunan patrilinial atau kekeluargaan patrilineal. Sistem ini dianut di daerah Batak, Lampung, Bali, Gayo, Ambon, Buru, Nias dan lain sebagainya. 2. Pertalian keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis perempuan saja atau garis ibu, yang disebut keturunan matrilineal atau kekeluargaan matrilineal. Sistem ini dianut di Minangkabau, Kerinci dan lain sebagainya. 3. Pertalian keturunan yang dilihat baik menurut garis laki-laki (ayah) maupun menurut garis perempuan (ibu), atau menurut garis dua sisi (ayah-ibu), di mana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Sistem tersebut disebut keturunan parental atau kekeluargaan parental. Sistem kekeluargaan parental dianut di daerah Aceh, Bug is, Riau, Kalimantan dan Jawa. 2 Masyarakat Bali, menganut sistem kekeluargaan patrilineal di mana garis keturunan ditarik dari garis laki-laki yang membawa konsekuensi penerusan harta warisan berada pada anak (keturunan) laki-laki sedangkan anak perempuan tidak diperhitungkan dalam pewarisan. Berkaitan dengan penerusan harta warisan hanya berada pada anak laki-laki maka dalam tulisan ini yang menjadi pokok kajian yakni mengenai hak perempuan dalam pewarisan. Hukum adat waris yang dipilih untuk dikaji karena diantara bidang-bidang hukum adat tersebut, dalam bidang hukum adat waris yang paling tajam terjadi ketidakadilan atau diskriminasi hak terhadap perempuan. Ketidakadilan hak terhadap perempuan karena menurut Hukum Adat Waris Bali anak wanita/perempuan dan janda bukan ahli waris.3 Anak perempuan dapat berkedudukan sebagai ahli waris tetapi harus melakukan perkawinan nyentana/nyeburin. Anak perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmali harta kekayaan orang tuanya selama ia belum kawin atau selama ia tidak kawin, tetapi suatu fakta menunjukan bahwa laporan penelitian dan beberapa putusan pengadilan mendalilkan bahwa anak perempuan sebagai ahli waris. Hal itu dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan 2 3 4
Negeri Singaraja No. 30/Pdt.G/1993/PN.SGR, tertanggal 9 Desember 1993 yang berbunyi sebagai berikut : "bahwa anak perempuan yang merupakan satu-satunya anak, menutup hak waris dari ahli waris lainnya".' Kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusan No. 122/PdV1994/PT. Dps. Tertanggal 19 Desember 1994. Dari uraian latar belakang di atas kemudian muncul pertanyaan : mengapa hak perempuan di bidang waris mengalami perkembangan ? , seberapa jauh perkembangan hak perempuan di bidang waris dalam hukum adat Bali?.
Gambaran Umum Tentang HukumAdatWaris Bali Hukum adat waris merupakan salah satu bidang hukum adat yang sampai saat ini masih beraneka ragam walaupun Hazairin sejak lama menggagas dibentuknya hukum waris nasional. Namun kenyataannya sampai sekarang gagasan itu belum terwujud. Karena masih berlakunya hukum adat waris yang beraneka diberbagai daerah, termasuk di Bali. Di Bali hukum adat waris masih diakui sebagai ketentuan yang mengikat masyarakat, hal mana dapat diketahui dari dicantumkannya masalah warismewaris dalam ketentuan awig-awig (hukum adat tertulis). Hukum adat waris Bali dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem kekerabatan yang memperhitungkan keturunan melalui garis laki-laki yang membawa konskuensi penerusan harta warisan. Artinya harta warisan diwariskan kepada keturunan laki-laki. Di samping itu ada kalanya anak perempuan dapat sebagai ahli waris. Perempuan dalam perkawinan nyentana disebut "sentana Rajeg" yaitu perempuan yang berubah status menjadi berstatus hukum laki-laki. Dalam perkawinan nyentana laki-laki yang kawin nyentana juga berubah status yakni menjadi berstatus hukum perempuan. Di Bali pada awalnya dikenal dua bentuk perkawinan yang ditempuh oleh seseorang yaitu perkawinan keluar yang umum ditempuh oleh masyarakat di Bali dan perkawinan nyentana yang ditempuh dalam keadaan khusus. Pada bentuk perkawinan keluar, di mana perempuan yang kawin,
Bushar Muhammad, Asas·Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Pradnya Param1ta, Jakarta, 2003, hal. 24. Kom, Hukum Ada! Wans Bali (Het Adatredlt van Bah Bab-IX), te~emahan I Gede Wayan PangkaL Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyaraka~ Universitas Udayana,Denpasar, 1971,hal.59. Putusan Pengadilan Negeri S,ngaraJll, No. 30/PdLG/199l'PN.SGR. him. 9.
87
MMH, Ji/id 40 No. 1 Maret 2011
ke luar dari keanggotaan keluarganya dan mengikuti keanggotaan suaminya serta putus hubungan dengan keluarganya dan bahkan terhadap leluhumya. Anak-anak yang lahir dariperkawinan keluar mengikuti garis ayah. Bentuk perkawinan nyentana adalah merupakan kebalikannya di mana perempuan yang kawin, tidak keluar dari keanggotaan keluarganya justru laki-laki yang kawin mengikuti keanggotaan istrinya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut mengikuti garis ibunya. Bentuk perkawinan nyentana ini ditempuh oleh keluarga yang hanya mempunyai satu-satunya anak perempuan {anak tunggal) atau beberapa anak perempuan. Tujuan dari perkawinan nyentana adalah untuk melanjutkan keturunan dari pihak istri agar tidak terjadi kepunahan keturunan atau generasi. Perkawinan nyentana dilaksanakan pada hakekatnya adalah untuk mempertahankan sistem kekerabatan patrilineal Bali. Berdasarkan laporan penelitian, di Kabupaten Tabanan bentuk perkawinan nyentana tidak hanya dilakukan oleh keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan saja namun keluarga yang mempuyai anak laki-laki dan perempuan kadang-kadang mengawinkan anak perempuannya dengan perkawinan nyentana dengan alasan-alasan tertentu. 5 Hukum adat waris selain diwamai oleh sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali juga diwarnai oleh bentuk perkawinan yang ditempuh, serta dijiwai oleh agama Hindu. Dari sudut agama Hindu seperti dikemukakan olehAstiti, warisan itu tidak saja berupa hak terhadap harta kekayaan {material) akan tetapi Juga berupa kewajiban (tetegenan) yang meliputi kewajiban kepada orang tua, banjar dan desa adat, juga pada sanggahlpemerajan tempat memuja leluhur.6 Adanya dua jenis warisan {hak dan kewajiban) yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan, oleh Astiti dikatakan sebagai keunikan dari hukum adat waris Bali karena di dalamnya terkandung "kesebandinqan'". Kesebandingan yang dimaksudkan di sini adalah kesebandingan hak dengan kewajiban, dengan lebih menekankan pada kewajiban. Prinsip kesebandingan ini mengandung pengertian pihak yang dibebani kewajiban lebih kecil, 5 6 7 8
88
mendapat hak yang lebih sedikit atau pihak yang tidak dibebani kewajiban dalam hal-hal tertentu juga tidak mendapat hak dalam hal-hal tertentu. Sehubungan dengan prinsip kesebandingan itulah maka perempuan tidak mendapat hak yang sama dengan laki-laki karena perempuan tidak melaksanakan kewajiban yang sama. Kewajiban tersebut dikatakan Astiti adalah kewajiban meneruskan keturunan, kewajiban melanjutkan menjadi anggota banjar dan desa adat, kewajiban memelihara tempat pemujaan leluhur dan melakukan pemujaan terhadap leluhur dan upacara pembakaran jenazah orang tuanya. Kewajiban ini mrupakan kewajiban adat dan agama, yang dijadikan dasar perolehan hak wans.' Hak-Hak Perempuan Dalam Hukum Adat Waris Bali. Perempuan dilihat dari kedudukannya dapat dibedakan; sebagai anak, janda, mulih deha {kembali gadis), sentana rajeg, dan istri. Perempuan dalam kedudukannya sebagai anak dapat dibedakan menjadi dua yakni deha dan deha tua. Deha {gadis) adalah anak perempuan yang belum kawin dan deha tua adalah anak perempuan yang tidak kawin selama hidupnya. Baik deha maupun deha tua, menurut hukum adat waris bukan sebagai ahli waris tetapi ia mempunyai hak menikmati harta kekayaan orang tuannya. Perempuan dalam kedudukannya sebagai janda, menurut hukum adat waris bukan berkedudukan sebagai ahli waris almarhum suaminya, demikian juga dengan perempuan mulih deha. Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh perempuan dalam kedudukan sebagai istri dalam perkawinan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Bali. Jadi menurut hukum adat waris Bali perempuan bukan sebagai ahli waris kecuali perempuan yang berstatus sentana rajeg. Perkembangan Hak Perempuan Dibidang Waris Dalam Hukum Adat Bali Hukum adat sebagai suatu hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Sifat dinamis itu
Ni Nyoman Sukerti, NI Putu Purwanti, 'Per1
hal.21.
Tjok. lstri Putra Astiti. 'Hak·Hak Wanita Bali Oalam Hukum Adat Waris', dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Editor E.K.M. Masfnambow, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 307. Ibid. Ibid, hal. 308.
Ni Nyoman Sukerti, Hak Perempuan di Bldang
digambarkan antara lain oleh Koesnoe dengan istilah "luwes", Kusumadi Pujosewoyo, dengan ungkapan "menebal menipis", Nasroen dengan tsfilah ·patah tumbuh hilang berganti·.9 Menurut istilah Bali adalah menyesuaikan diri dengan "desa", "kala", •patra" (berubah menurut tempat, waktu dan keadaan}. Berdasarkan sifat hukum adat yang dinamis tersebut, dalam hal ini hukum adat waris Bali bisa mengalami perkembangan mengikuti perkembangan masyarakatnya khususnya yang menyangkut hak perempuan. Terjadinya perkembangan hak perempuan dalam hukum adat waris dikarenakan adanya perubahan paradigma dari warga masyarakat (orang tua} para penegak hukum (hakim} dalam penerapan hukum pada kasus-kasus konkrit yang menyangkut masalah hak mewaris. Perubahan paradigma dari para warga masyarakat dan hakim terhadap keberadaan dari anak perempuan, mengarah pada terwujudnya rasa keadilan terhadap perempuan. lni merupakan penyimpangan terhadap hukum adat waris yang telah mapan. penyimpangan yang telah mapan oleh Soleman B. Taneka disebut perubahan sosial" Kehidupan masyarakat Bali telah mengalami perubahan. maka hukum adat waris juga ikut mengalamin perkembangan seperti adanya beberapa kasus di mana anak perempuan berkedudukan sebagai ahli warts," Dalam kaitan itu, berdasarkan laporan penelitian, jenis harta yang diwariskan kepada anak perempuan, terbatas pada harta yang diperoleh orang tuanya tidak dengan cara mewaris.12 Perkembangan hak perempuan dalam hukum adat waris dapat diketahui dar beberapa putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 37/Pdt.G/1981/PN.Klk. tertanggal 7 Juni 1982, mendalilkan deha tua adalah ahli waris bersama ana-anak lainnya.13 Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Bangli No. 11/1991/PN.Bli. tertanggal 21 Maret 1987 mendalilkan bahwa anak perempuan yang mulih deha berhak sebagai ahli 1' waris almarhum ayahnya dan putusan Pengadilan 9 10 11 12 13 14 15 16 17
wans
Negeri Singaraja No. 10/PdU1993/PN.Sgr, tertanggal 17 Mei 1993, mendalilkan bahwa anak perempuan yang kawin keluar kemudian bercerai dan mulih deha dan diterima baik-baik oleh keluarganya, maka ia memperoleh kembali hak warisnya semula seperti sebelum kawin.15 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 87/PdU1990/PT.Dps tertanggal 31 Oktober 1990, dengan dasar pertimbangan hubungan darah, ,s mendalikan sebagai berikut: "Dalam hal seseorang dalam perkawinan hanya mempunyai anak perempuan walaupun anak-anak perempuannya tersebut kawin keluar, harta kekayaannya yang didapat selama perkawinannya, patut diterima oleh anak-anak perempuan tersebut yang mempunyai hubungan darah langsung dengannya. Tidak adil kalau harta tersebut diterima oleh orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah langsung dengannya. Hal tersebut dihubungkan dengan teorinya L.M. Friedman tentang sistem hukum yakni struktur, substansi dan budaya hukurn," maka dari segi struktumya hak perempuan dalam hukum adat waris sudah mengalamiperkembangan yang mencerminkan rasa keadilan, dari substansinya yakni aturan hukum adat itu sendiri menunjukan belum adanya perkembangan terhadap hak perempuan dalam hukum adat waris, hal ini dapat diketahui dari isi awig-awig (hukum adat yang tertulis} pada desa adaUpakraman di Bali yang belum mencerminkan perkembangan dalam hal pewarisan Hal tersebut secara jelaskan dirumuskan dalam beberapa awig-awig sebagai berikut:Awigawig Desa Adat Susut, Gianyar pawos 85 (1 }, awigawig Desa Adat Nusamara, Jembrana pawos 99 (1} dan awig-awig Desa Adat Lukluk, Badung pawos 76 (1), yang menyebutkan sebagai berikut: Ahli waris luire: (1) pratisentana purusa; (2) sentana rajeg; (3) sentana peperasan. Artinya ahli waris adalah (1) keturunan lak-laki; (2) keturunan perempuan yang berstatus hukum laki-laki; (3) anak angkat. Dalam budaya hukum, menunjukan bahwa penerapan hukum adat waris telah mengalami
Ni Nyoman Suker11, ·Sentana Rajeg Perubahan Status Perempuan Ball Menjadi Ahli Wans·. dalam Kerroang Rampai Perempuan Bali. Editor Ora NI luh Ar)ani. M.Hum, Orsi NyomanSuparwa, M.Hum. lKetutSudantra, SH .• OJ KaryaSas1ra. Oenpasar, 2006,hal, 162. Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Study Hukum dalam Masyaraka~ RajaGralindo, Jakarta, 1993, haJ. 69. A.A.Oka Mahendra et.al. •Perkembangan Hukum Wans Janda danAnalt Perempuan dalam Masyarakal Bait, Laporan Penel uan Kel}8sama FH. UNUD dan BPHN, 1996,hal.44. N, Nyoman Suker11, et al., ·Hak Wans Ana~ Pf' e 'JUan Pada Era Globahsasl (Studi d1 Kota Oenpasar} laporan PenehtJan. Pusat Studl Wan ta. Universltas Udayana, Oenpasar, 2005, hal 32. Putusan Pengad,lan NegeriKlungkung, No.37/'Pdt.G/1981/PN.Klk. hal.9. PutusanPengad,lan Negen8angl1,No. 11/1991/PN.BM,hal 14 PutusanPengadilanNegenSlngaraia.No.10/Pdt/1993/PN.Sgr.hal.10 PutusanPengad1lanTingg10enpasar. No.87/Pdt/1990,hal 12. Lawrence M. Friedman, The Legal System:ASocial Saence Perspektrve, Russel Soge Foundabon. New YOII<, 1969. p. 225.
89
MMH, JI/id 40 No. 1 Maret 2011
perkembangan kearah terwujudnya keadilan terhadap perempuan, baik budaya hukum eksternal maupun budaya hukum internal. Dalam budaya hukum eksternal misalnya sudah ada beberapa keluarga (orang tua} di beberapa tempat yang mewariskan sejumlah hartanya kepada anak perempuannya, namun baru terbatas pada jenis harta yang diperoleh orang tuanya tidak dengan cara mewaris, sedangkan dilihat dan budaya hukum internal yang dalam kaitan ini adalah para penegak hukum (hakim} sudah menunjukan adanya perkembangan. Hal mana dapat diketahui dari putusan badan peradilan yang mendalilkan bahwa anak perempuan (sebagai deha, deha tua, mulih dehe) sebagai ahli wans dalam beberapa kasus konkrit. Belum adanya perubahan dalam substansi hukum adat wans Bali, ini tidak dapat dipakai sebagai pembenar untuk tidak melakukan perubahan hukum karena berdasarkan Ieon Satjipto Rahardjo dengan hukum progresif gagasanya, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu dengan melakukan terobosanterobosan." Oleh karena itu letak perubahan terhadap hukum adalah pada pelaku hukum baik itu masyarakat umum maupun para penegak hukum dalam hal hakim melalui putusan-putusannya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Satjipto Rahadjo bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukan ke dalam skema hukum.19 Oleh karena demikian tepat apa yang telah dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat (orang tua} terhadap anak perempuannya yaitu mewariskan sebagian hartanya dan apa yang telah dilakukan oleh beberapa penegak hukum dalam menerapkan hukum pada beberapa kasus konkrit yaikni medalilkan anak perempuan adalah sebagai ahli waris.
Dari ketiga unsur sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya hukum, hanya dalam substansi hukum yakni aturan hukum adat wans yang belum mengalami perkembangan. Pelaksanaan hukum adat waris Bali sudah mewujudkan nilai keadilan terhadap anak perempuan walaupun masih bersifat kasuistis, tetapi dalam hukum adat yang terpenting adalah kesepakatan baik kesepakatan keluarga (orang tua) maupun kesepakan masyarakat dalam mentaati hukum atau penyimpangi hukum yang bertaku. Perubahan hukum menurut La Piere seperti dikutip Abdul Manan, disebabkan oleh faktor bertambahnya penduduk, perubahan nilai dan idiologi serta teknologi canggih.20 Nantri mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum khususnya dalam hukum adat adalah faktor internal dan faktor eksternal" Faktor internal adalah perkembangan masyarakar yakni perubanhan cara berfikir, sikap, perubahan nilai anak, pergeseran nilai karena peran ganda perempuan, meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, proses kebangkitan individu, faktor ekonomi dan berkembangnya rasa pa tut, pantas dan adil. Faktor eksternal yaitu kekuatan mengikat yurisprudensi Mahkamah Agung, bertakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain dari pada itu perubahan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Otje Salman Soemadiningrat adalah dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekstemal. Faktor internal adalah kesadaran hukum masyarakat dan kebangkitan individu sedangkan faktor eksternal adalah faktor putusan badan peradilan dan pengaruh faktor perundanq-undanqan." Untuk perubahan hukum adat di Bali, menurut Sutha dipengaruhi oleh faktor religius, faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi, sosial politik dan kemajuan teknologi23• Khusus perubahan hak-hak wanita Bali dalam hukum adat waris seperti dikemukakan Astiti, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; 1 }. Telah adanya pemikiran di antara warga masyarakat termasuk pemuka masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap hak-hak wanita dalam mewaris, 2).
18 Satjipto Raharjo II. Membedah Hukum Progreslf, Editor I Gede A.B. Wiranata, Joni Emaon, Arman Muntaqo, Penert>il Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal. 154. (selanjutnya disebut Satjlpto Rahardjo II). 19 SaglpoRahadjo Ill, Hukum ProgresifSebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publlshing, Yogyakarta, 2009, hal. 32.(selaf'4Ulnya dlsebut SatjiptoRahardjo Ill). 20 AbdulMnan,Aspek·AspekPengtbahHukum,PrenadaMedia,Jakarta,2007, hal.11. 21 Ayu Putu Nantri. "Perkembangan Hak Perempuan Bali Temadap Harta Bersama Dalam Perkawinan SebagaiAkibat Peroeraian Dalam Putusan Pengadilan (Kajian Dalam Tiga Penode), Tests,PSMIH, ProgramPas<:asaljana, Unlvers'1asUdayana, Denpasar, 2004, hal, 127. 22 Otje Salman Soemadinlngrat. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kotemporer: Telaahan Kribs Tertladap Hukum Adat sebagal Hukum yang Hidup dalam Masyarakat. Alumni, Bandung, 2002, hal. 208. 23 I Gusti Ketut Sutha, Sunga Rampai BeberapaAspekta HukumAdat, llberty, Yogyakarta, 1987, hal, 105.
90
Ni Nyoman Sukerti,Hak Perempuandi BicJang Waris
Tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat untuk lebih memperhatikan kepentingan wanita, dan 3). Adanya perubahan rasa keadilan terhadap wanita, yang telah mengetuk hati nurani beberapa orang penegak hukum {hakim) dalam memberikan pertimbangan hukum dalam kasus-kasus konkret yang terkait dengan hak mewaris wanita.2' Perkembangan hak perempuan dalam pewarisan di Bali dipengaruhi oleh beberapa faktorfaktor seperti adanya perubahan paradigma dari warga masyarakat terhadap anak perempuan, majunya tingkat pendidikan, meningkatnya ekonomi keluarga, keberhasilan keluarga berencana {KB), teknologi dan peraturan perundangan-undangan. Adanya perubahan terhadap hukum adat juga karena adanya perubahan pola pikir dari beberapa penegak hukum {hakim) dalam menerapkan hukum pada kasus-kasus konkrit yang menyatakan anak perempuan/janda (mulih deha) sebagai ahli waris sebagimana telah diungkapkan di atas. Dari beberapa putusan pengadilan tersebut di atas yang mendalilkan bahwa anak perempuan {baik sebagai deha, deha tua, mulih deha, dan anak yang sudah kawin ke luar, anak perempuan satu-satunya {anak tunggal) adalah sebagai ahli waris, akan tetapi yang dimaksudkan bukanlah ahli waris mutlak seperti ahli waris anak laki-laki. Hak waris perempuan yang demikian menurut Mahendra disebut sebagai hak waris bersyarat,25 sedangkan Panetje menggambarkan hak-hak anak perempuan seperti itu sebagai hak waris terbatas," Hak waris anak perempuan itu tidak mutlak, sebagaimana hak waris anak laki-laki, karena memang anak perempuan tidak dibebani kewajibankewajiban sebagaimana halnya dengan anak lakilaki, yang terpenting telah terjadi perkembangan hak perempuan dalam hukum adat waris walaupun sangat terbatas. lni mencerminkan nilai keadilan terhadap perempuan kerena sebelumnya hal tersebut tidak pemah diberlakukan terhadap perempuan. Hukum adat waris Bali mengenal yang namanya pemberian (beke~ kepada anak perempuan pada waktu perkawinan namun itu sifatnya bukan hak tapi belas kasihan orang tua pada anak perempuannya.
Simpulan Dari keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perkembangan hak perempuan dibidang waris dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni berupa perubahan paradigma dari orang tua dan para penegak hukum (hakim), kesadaran warga masyarakat, kebangkitan individu, pendidikan, ekonomi keluarga, teknologi, keberhasilan keluarga berencana dan perundang-undangan. 2. Hak perempuan dalam hukum adat waris Bali, masih bersifat terbatas yakni hanya terhadap harta yang diperoleh oleh orang tuanya tidak dengan cara mewaris. Saran 1. Segera dibuat hukum waris nasional yang mencerminkan keadilan terhadap perempuan umumnya dan perempuan Bali khususnya. 2. Masyarakat Bali umumnya dan para orang tua khususnya agar merubah paradigma dan memperhitungkan anak perempuan dalam pewarisan. Daftar Pustaka A.A. Oka Mahendra, et. al., 1996, "Perkembangan Hukum Waris Janda dan Anak Perempuan dalam Masyarakat Bali", Laporan Penelitian, Kerjasama FH Universitas Udayana dan BPHN. Abdul Manan., 2007, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Prenada Media. Ayu Putu Nantri, 2004, "Perkembangan Hak Perempuan Bali Terhadap Harta Bersama Dalam Perkawinan Sebagai Akibat Perceraian Dalam Putusan Pengadilan (Kajian Dalam Tiga Periode)", Tesis, PSMIH, Program Pascasarjana, Denpasar: Universitas Udayana. Bushar Muhammad, 2003, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita. Gde Panetje, 1987, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Denpasar: CV. Kayumas.
24 TJOk.lstnPutraAs!Jb,Op.C1t.hal 318. 25 A.A.Oka Mahedra, Loe.Cit. 26 Gde Pane~e.Aneka Catatantentang HukumAdatBa!,, CVKayumas. Denpasar, 1987,hal,3713 Malaysia I/PA 2010 Special 301 Repo,t on Copynght Protection And Enforcement, p. 239, httDJlwwwupa.com'rbcl2010/2010SPEC301MAlAYSIA,odf., diakses tanggal 22 Mei 2010. Uhat Malays,a /IPA 2009 Special 301 Report oo CopyrightProtectionAnd Enforcement. p. 237 httpJ/www,11pa com. d1akses tanggal 17 September 2009.
91
MMH, Ji/id 40 No. 1 Maret 2011
I Gusti Ketut Sutha, 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspekta HukumAdat, Yogyakarta: Liberty. Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System: A. Social Perspective, New York: Russel Soge Foundation. Ni Nyoman Sukerti, et.al., 2005, 'Hak Waris Anak Perempuan Pada Era Globalisasi (Studi di Kota Denpasar)", Laporan Penelitian, Pusat Studi Wanita, Denpasar: Universitas Udayana. ___________ , 2006, "Sentana Rajeg Perubahan Status Perempuan Bali Menjadi Ahli Waris", dalam Kembang Rampai Perempuan Bali, Editor Dra Luh Arjani, M.Hum., Drs I Nyoman Suparwa, M.Hum, I Ketut Sudantra, SH., Denpasar: CV Karya Sastra. ______ , 2006, ·Perkawinan Nyentana Di Kabupaten Tabanan", Laporan Penelitian, Pusat Studi Wanita, Universitas Udayana, Denpasar. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaahan Kritis Terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Alumni, Bandung. Satjipto_Rahardjo, I, 2006, llmu Hukum,, Bandung: PT CitraAditya Bakti. II, 2008, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B. Wiranata, Joni Emerzo, Firman Muntaqo,Jakarta: Penerbit Buku Kompas. _____ Ill, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing ..
92
Soleman B. Taneka, 1993, Pokok-Pokok Study Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: RajaGrafindo. T.I.P. Astiti, 2003, "Hak-Hak Wanita Bali Dalam Hukum Adat Waris, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Editor Masinambow, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. V.E. Korn, 1971, Hukum Adat Waris Bali (Het Adatrecht van Bali Bab-IX'), Terjemahan I Gede Wayan Pangkat, FH & PM, Oenpasar: Universitas Udayana. PeraturanPerundang-undang an .......... , 2005, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Hasil Amandemen Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. .......... , 2008, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Grafika. Awig-Awig . , 2000, Awig-Awig DesaAdat Susut .......... , 2001, Awig-Awig DesaAdat Lukluk. .......... , 2008, Awig-Awig DesaAdat Nusamara. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung, No.37/Pdt.G/1981/PN.Klk. Putusan Pengadilan Negeri Bangli, No. 11/1991/PN.Bli. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja, No. 1 O/Pdt/1993/PN .Sgr. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja, No. 30/Pdt.G/1993/PN.SGR. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 87/Pdt/1990.