PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica PERILAKU PENATAAN DAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PONTIANAK Roma Filani Ilmu Administrasi Negara Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
[email protected]
Abstrak Mengenai penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau di kota Pontianak terkait perilaku para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan melakukan pendeskriptifan secara mendalam, serta metode yang digunakan untuk membantu penelitian ialah dilakukan dengan observasi, panduan wawancara dan dokumentasi. Adapun hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa masih belum adanya peran aktif antar para pemangku kepentingan dalam mewujudkan keberadaan RTH kota, dimana menurut Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 yang mengharuskan kota memiliki alokasi RTH sebesar 30%. Belum adanya peraturan perundang-undangan (PUU) yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksanaan dalam pengelolaan RTH menjadikan keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM masih rendah sehingga perlu di tingkatkan agar lebih profesional dan mampu memelihara serta mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak di manfaatkan, sehingga pemerintah sering dan bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan biaya dan anggaran. Keberadaan RTH sangat bermanfaat, penyediaan RTH salah satunya untuk menangggulangi efek rumah kaca. Kata Kunci : perilaku stakeholder, partisipasi positif, profesionalisme pelaksana
Abstract
Regarding the administration and management of green space in the city of Pontianak related to the behavior of stakeholders in the implementation. This study used qualitative methods and do descriptively in depth, as well as the methods used to help the research is done by observation, interview guides and documentation. The results of this study found that there has not been any active role among the stakeholders in the city to realize the presence of green space, which according to the Spatial Planning Act 26 of 2007 that requires the city have an allocation of 30% green space. The absence of legislation (PUU) adequate green space, as well as technical guidance in managing the implementation of green space makes the presence of green space is still marginal. In addition, the low quality of human resources that need to be improved to make it more professional and able to maintain and manage green space.On the other hand, the involvement of the private sector in the implementation of green space is not widely in use, so often and even governments have always foundered on the problem of limited cost and budget. The presence of green space is very useful, one for green space provision menangggulangi greenhouse effect.
Keywords: the behavior of stakeholder, positive participation, implementing of professionalism
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
1
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica PENDAHULUAN Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) wilayah perkotaan yang di isi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Permasalahan yang berkaitan dengan ruang terbuka publik ini antara lain RTH secara umum, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif seperti misalnya meningkatnya tingkat kriminalitas. Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi seseorang individu dengan lingkungannya. Ini formula psikologi, dan mempunyai kandungan dan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya di tentukan oleh diri sendiri, melainkan ditentukan sampai sejauh mana interaksi antar dirinya dengan lingkungannya. Pada kenyataannnya, proses optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan pada masih kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi yang pragmatis. Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh belum adanya peraturan perundangundangan (PUU) yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksanaan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat secara optimal dan lebih profesional mampu memelihara dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak di manfaatkan, sehingga pemerintah sering dan bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan biaya dan anggaran. Secara teknis, permasalahan yang berkaitan dengan ketiadaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya
pengoptimalisasian penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan RTH, serta selalu terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat di gunakan sebagai RTH. Kota Pontianak sebagai kota berkembang, juga mempunyai salah satu ruang terbuka di tengah kota yaitu Taman Alun-alun Kapuas. Meski pemerintah Kota Pontianak sudah melakukan berbagai perbaikan dan penataan dalam meningkatkan kualitas Taman Alun-alun Kapuas, namun hal itu masih jauh dari harapan. Kurangnya pengawasan dalam hal penjagaan menimbulkan rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi siapapun, di sisis lain timbul permasalahan lain salah satunya yang di sebabkan oleh munculnya atau adanya keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang tak berizin dan tak tertata dengan baik, tak hanya itu, terlihat juga perilaku para pengunjung yang selalu membuang sampah di sembarang tempat dan juga menginjak-injak tanaman penghias yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh pengunjung yang menyebabkan keindahan dan kenyamanan taman ini lambat laun akan terkesan kumuh dan semerawut Ruang terbuka hijau merupakan kebutuhan pokok kota, demi manfaat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (Urban Landscape Planning) adalah bagian perencanaan lahan yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota pada hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya dan semua pada tempatnya. Berdasarkan indikasi permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan kajian tentang perilaku pemangku kepentingan dalam kebijakan penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau di Kota Pontianak. Khususnya pada pengelolaan dan penataan Taman Alun-alun Kapuas. Oleh karena pemerintah dengan segala keterbatasannya tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang cenderung semakin kompleksitas. Di sisi lain, demokratisasi di segala bidang telah membuka ruang yang seluasnya bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berperan aktif di segala lini pembangunan. Untuk itu perlu diupayakan keseimbangan peran/tugas/fungsi, kewenangan, beban, pemasukan, hak, kewajiban
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
2
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica dan hubungan di antara para pemangku kepentingan agar tata kelola yang adil dan proposional dapat di ciptakan. KAJIAN TEORI Pengertian RTH, (1) adalah suatu lapang yang ditumbuhi tanaman berbagai tumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu,semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995:89). Dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup yang lebih luas sekedar pengisian hijau tumbuhan-tumbuhan, sehingga mencakup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka untuk masyarakat. Ruang terbuka hijau kota dapat, baik dalam tata letak dan fungsinya. Berdasarkan tata letaknya, ruang terbuka hijau bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai, dataran banjir sungai, ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandara udara. Pemangku kepentingan adalah perorangan atau kelompok yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby, 1992:52), yaitu: 1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintah, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.
3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan. Di dalam bukunya Rustam Hakim (2009:101) menyebutkan adanya indikasi penyebab permasalahan pengelolaan ruang terbuka hijau yang menyangkut aspek “kegagalan pasar”, yang dicirikan dengan adanya barang publik (publik goods), asimetri informasi, eksternalitas dan aspek “kegagalan pemerintah”, yang dicirikan dengan adanyaregulasi perundang-undangan, birokrasi dan perilaku birokrat. Terdapat beberapa golongan pelaku dengan preferensinya masing-masing, yaitu sebagai berikut : a) Masyarakat, berkepentingan terhadap tersedianya ruang terbuka hijau dengan berbagai funsi ekologisnya. b) Pemerintah, sebagai pelaku dalam melaksanakan ketentuan pemerintah. c) Pihak swasta, sebagai pelaku yang melihat ruang terbuka hijau sebagai lahan yang kurang berfungsi dan berusaha memanfaatkan dengan peruntukan lain yang lebih ekonomis. d) Media massa. Yang memberikan informasi opini publik terhadap fungsi dan manfaat serta keberadaan ruang terbuka hijau. Terkait mengenai perilaku dalam menata dan mengelola ruang terbuka hijau, berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Max Weber menyebutkan aspek perilaku itu ditekankan pada struktur yang ditimbulkan dari ras tidak percaya pada kesanggupan dan kemampuan manusia untuk menciptakan rasionalitas tertentu. Mendapatkan informasi yang baik, dan membuat keputusan yang objektif. Premis perilaku yang nampak adalah bahwa seseorang itu, membutuhkan bantuan untuk sampai kepada pertimbangan yang baik. Struktur adalah jawabannya. Dengan cara mengatur tata hubungan kerja dalam suatu organisasi dan dengan cara spesialisasi prosedur dan aturan-aturan, maka keputusan akan dapat di buat secara konsisten. Lain hal menurut Thoha (2002:184), di dalam bukunya mengatakan bahwa perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya, dan mempunyai kandungan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya di tentukan oleh dirinya sendiri, melainkan di tentukan sampai sejauh mana interaksi antara dirinya dengan lingkungannya, sekaligus merumuskan formula perilaku individu dengan lingkungannya, di dalam organisasi,
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
3
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica administrasi dan atau birokrasi ditopang oleh salah satu sokogurunya yakni manusia, dan selama manusia di dalam usahanya mencapai suatu tujuan masih diperlukan berperilaku, maka suatu penanaman perilaku untuk birokras, organisasi ataupun administrasi bukanlah suatu usaha yang dicari-cari. Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dalam teori disonansi kognitif situasi perilaku tidak sesuai dengan sikap. Seorang individu melakukan tindakan tetapi tindakannya tidak sesuai dengan yang dia pikirkan sehingga seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap RTH tetapi belum tentu mereka berpartisipassi secara optimal dalam mengelola RTH di lingkungannya tersebut. (Miller :1997) Pembangunan pada intinya mengandung pengertian perubahan dalam arti mewujudkan kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi yang kini ada. Kondisi yang lebih baik harus dilihat dalam cakupan keseluruhan segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak hanya dalam arti taraf hidup tetapi juga dalam segi kehidupan lainnya (Sondang Siagian, 1990 : 29). Di dalam admnistrasi pembangunan tidak hanya berarti kemampuan untuk menetapkan strategi pembangunan yang baik, kemudian diperinci dalam rencana-rencana dan diterjemahkan dalam kegiatan-kegiatan nyata yang efektif dalam pekaksanaan pemerintahan, tetapi hendaknya dapat menimbulkan respon dan kerjasama seluruh rakyat dalam proses pembangunan tersebut. Administrasi pembangunan juga melibatkan kegiatan masyarakat secara luas, sesuai dengan arah dan kebijaksanaan yang ditetapkan dalm proses pembangunan. Moeljarto (2004 : 9), mengatakan bahwa : “Dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dikembangkan pola tata ruang menyerasikan tata guna lahan, air, serta sumber daya alam lainnya dalam satu lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Tata ruang perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial”. Dalam pembangunan nasional di negara yang sedang berkembang pada umumnya peran pemerintah sangat dominan. Hal ini mengingat bahwa kemampuan masyarakat pada umumnya masih rendah terutama dalam hal penyediaan
sarana bagi perkembangan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan.dengan demikian kebijaksanaan pemerintah sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan masyarakat di dalam menuju kepada tujuan dan cita-cita yang telah dirumuskan dari dalam Pancasila dan UUD 1945, maka perlu disusun rencana pembangunan nasional, rencana ini merupakan dasar dari pelaksanaan untuk menuju tujuan yang ingin dicapai. METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitataif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian penelitian yang menggambarkan atau menuliskan tentang masyarakat atau kelompok orang tertentu. Penelitian ini mengungkapkan apa adanya dari kenyataan yang ada di lapangan pada saat penelitian ini di lakukan. Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran tentang dunia sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana “Perilaku para pemangku kepentingan dalam kebijakan penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau di kota Pontianak?”. Maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Ini di lakukan agar fokus penelitian menjadi lebih jelas, selain itu dilakukan pula beberapa hal lainnya seperti : a). Telaah Kepstakaan (library research), ini dilakukan untuk memperoleh teori-teori pendapat para ahli, pandangan pokok, dan pemikiran lain baik dari buku literatur. b). Penelitian lapangan, ini di lakukan dengan terjun langsung kelapangan dengan alat pengumpul data yang hasilnya di analisis dalam pembahasan. c). Analsis data, ini merupakan bagian yang sangata penting dalam metode ilmiah, karena analisis inilah data tersebut dapat diberi makna yang berguna dalam pemecahan masalah. PERILAKU PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN DAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PONTIANAK Dalam konteks penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau yang merupakan bagian dari pembangunan lingkungan di Indonesia, terdapat beberapa faktor yang bersifat pendukung dan bersifat penghambat. Faktor yang bersifat pendukung antara lain: kebijakan dan strategi,
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
4
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica teknologi dan program-program pembinaan lingkungan. Sedangkan faktor yang bersifat penghambat antara lain, implementasi kebijakan yang belum sepenuhnya terealisasi, keterbatarasan sarana prasarana dan perilaku yang belum mengarah kepada perilaku positif dalam mengelola lingkungan yang telah dihasilkannya. Faktor perilaku dalam menata dan mengelola ruang terbuka hijau merupakan pondasi awal yang dapat memberikan dampak yang cukup signifikan. Perilaku positif akan mempermudah dalam tata kelola yang akhirnya memberikan dampak kepada kualitas keberadaan ruang terbuka hijau khususnya. Teori yang berorientasi pada lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji berdasarkan behavioristik, yaitu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan oleh faktor lingkungan dimana manusia hidup. Adanya perbedaan lokasi dimana tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda (Helmi,1995:7). Dari pernyataan tersebut diatas memberikan gambaran tentangkeanekaragaman perilaku manusia yang dilatarbelakangi oleh lingkungan yang akan membentuk karakteristik perilaku manusia. Keberhasilan suatu proses pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah sebelumnya dinilai tidak akan membawa keberhasilan yang optimal, jika tidak mendapat dukungan atau partisipasi keikutsertaan dari masyarakat. Partisipasi kegiatan-kegiatan pembangunan, yaitu dimulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaanya, sampai kepada penerimaan hasil-hasil pembangunan dan merasakan manfaat, hingga kepada tahap pemeliharaan. 1.
Perilaku Masyarakat Komponen nonfisik yang mempengaruhi karakter ruang terbuka hijau antara lain hukum/undang-undang, tindakan/sikap, dalam memanfaaatkan sumberdaya, serta pola hidup masyarakat yang ada dalam lingkungan perkotaan. Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan telah ditetapkan dalam UU nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Perlu kesadaran dari masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif maupun pasif. Kesadaran ini dapat timbul karena adanya peningkatan pengetahuan terhadap pengelolaan ruang terbuka hijau. Partisipasi masyarakat dapat tercermin pada
perilaku masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau. Dengan adanya kesadaran serta dukungan dari masyarakat, maka permasalahan terhadap keberadaan ruang terbuka hijau dapat teratasi. Perlunya peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH. Menyangkut kurangnya kepedulian masyasarakat saat ini terhadap keberadaan ruang terbuka hijau salah seorang warga berpendapat, ia mengatakan: “Untuk itu bukanlah hal yang berlebihan jika setiap orang diminta untuk terlibat dalam masalah yang kini menjadi fokus pembangunan daerah. Aksi yang diminta bukanlah sesuatu yang besar. Dengan halhal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, atau ikut andil dalam menghemat penggunaan energi saja sudah menjadi aksi yang sangat berarti. Aksi yang kita lakukan bukan untuk siapa-siapa selain untuk menjaga kehidupan, bagi kita dan generasi masa depan”. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Kepala Seksi penataan, pengendalian taman dan RTH Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak di peroleh informasi bahwa salah satu penyebab kurangnya keberadaan ruang terbuka hijau di kota Pontianak umumnya disebabkan oleh masih kurangnya peran serta dan kepedulian masyarakat akan pentingnya ruang terbuka hijau. Lebih lanjut ia menambahkan ketidakpedulian dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap RTH salah satunya di latarbelakangi oleh faktor pendidikan, Seperti contohnya, mereka membutuhkan RTH sebagai sarana membina hubungan sosial antar keluarga karena keterbatasan luas rumah yang sempit, kebutuhan RTH bukan merupakan kebutuhan langsung yang dapat dirasakan sehingga menimbulkan ketidakpedulian terhadap ada atau tidak adanya penyediaan RTH. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau ialah perilaku dari masyarakat yang terkadang sulit untuk mengerti akan pentingnya ruang terbuka
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
5
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica hijau. Seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang warga yang membuka suatu usaha pertokoan yang sengaja membuang tanaman pelindung di tepi jalan, ia memiliki kepercayaan beranggapan jika terdapat tanaman/pohon di depan tokonya akan menghalangi atau menghambat keluar -masuknya rezeki usahanya. Walaupun saat ini dapat dikatakan kebutuhan akan keberadaan ruang terbuka hijau sangat tinggi, namun berdasarkan pengamatan ternyata tingkat pemanfaatan masih dirasa kurang. Selain itu, pemanfaatan keberadaan ruang terbuka hijau terkadang di salahartikan dan adanya penyalahgunaan. Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota yaitu: untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat Saat ini kegiatan komunitas lingkungan di perkotaan yang dikoordinasikan oleh penggerak masyarakat dan didukung oleh partisipasi masyarakat, biasanya hanya terbatas pada pengelolaan sampah bersama dan keamanan lingkungan. Hal ini dikarenakan organisasi komunitas spatial lingkungan permukiman (RT/RW) masih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan birokrasi. Akan tetapi, meskipun tanpa ada faktor penggerak masyarakat, pengelolaan ruang terbuka hijau. Agar hasil-hasil pembangunan dapat bertahan lebih lama kemanfaatannya, sudah selayaknya diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk memelihara, bahkan berupaya sekuat tenaga meningkatkan kualitas dari hasil pembangunan tersebut. Artinya, kemampuan masyarakat dalam memelihara hasil pembangunan adalah cerminan dari bentuk partisipasi dan tanggungjawab masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan yang telah dibuat. 2.
Perilaku Pemerintah Pemerintah selaku pemegang peran sentral dan tanggung jawab selayaknya segera mengambil kebijakan, tentu dengan kewajiban melibatkan stakeholders. Selama ini, kecenderungan
pemerintah untuk bergerak top down dan sendiri tanpa melibatkan peran serta masyarakat, dan jika ada hanyalah partisipasi yang bermoto “silahkan anda berpartisipasi, tetapi pemerintah yang merencanakan”, telah terbukti gagal dalam mengatasi permasalahan kelestarian ekosistem keberadaan RTH. Pemerintah harus menghindarkan diri dari klaim, bahwa solusi yang selama ini ditawarkan oleh pemerintah adalah yang paling baik dan benar. Semua hal tersebut adalah demi mewujudkan sebuah solusi yang “terbaik dari yang terbaik” dalam rangka menyelesaikan permasalahan. Sikap dan perilaku pemerintah adalah perilaku birokrasi sebagai mesin pemerintah yang seharusnya mampu berjalan secara baik menuju satu tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan moral dan etika. Rencana pengelolaan ruang terbuka hijau khususnya Taman Alun-alun Kapuas diharapkan dapat menjadi instrumen untuk menuntun pengelolaan kawasan mencapai tujuan utama sesuai dengan alasan penetapan kawasan ini. Bagi pemangku kepentingan yang memiliki perhatian terhadap Taman Alun-alun Kapuas, rencana pengelolaan yang disusun dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung pengelolaan. Namun menurut Kepala seksi pemeliharaan Taman DKP Kota Pontianak, mengatakan : “Sekarang ini Perda atau kebijakan tentang penglolaan RTH khusunya masih belum ada, sehingga terkadang terjadi ketidakjelasan antara pembagian tugas maupun wewenang pelaksanaan kegiatan pengelolaan antar instansi yang mendukung pelaksanaan terciptanya ruang terbuka hijau di kota Pontianak. Selain itu, untuk masyarakat apabila dengan adanya perda, diharapkan warga tidak akan sembarangan lagi merusak taman-taman atau menebangi pohon-pohon yang ada di pinggir jalan.”. Ia menambahkan : “Kita bisa atur mekanisme perizinan bagi yang ingin mengubah peruntukan RTH atau menebang pohon sekaligus sanksi bagi yang melanggar” Terhadap hasil kegiatan Monitoring dan evaluasi RTH harus dilakukan secara rutin. Kepala seksi pemeliharaan Taman DKP Kota Pontianak, mengatakan“terdapat petugas yang setiap 2 hari sekali turun mengontrol di lapangan”. Selain itu setidaknya setiap semester dan tahunan oleh tim
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
6
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica teknis yang ditetapkan oleh Walikota. Tim teknis ini terdiri atas unsur-unsur dinas yang terkait yang dalam menjalankan tugasnya dan harus membuat laporan setiap semester dan tahunan kepada Walikota. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi tim, setiap tahunnya diadakan penilaian keberhasilan suatu kawasan RTH khususnya kawasan RTH privat ruang publik yang dilaksanakan. 3.
Perilaku Swasta Selain pemerintah dan masyarakat terdapat juga pihak swasta yang berperan dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau ini, mereka memperoleh keuntungan dari keberadaan ruang terbuka hijau. Swasta tidak secara mutlak berkewajiban melaksanakan pengadaan ruang terbuka hijau. Melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu secara pengkajian dari sudut pandang swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yang memungkinkan untuk di kelola oleh swasta, yaitu ruang terbuka untuk keindahan/estetika; ruang terbuka hijau untuk rekreasi; ruang terbuka hijau lainnya yang dapt dikomersialkan (Rustam Hakim 209: 104). Swasta merupakan pelaku pembangunan penting dalam pemanfaatan ruang perkotaan dan ruang terbuka hijau. Terutama karena kemampuan kewirausahaan yang mereka miliki. Peran swasta yang diharapkan dalam pemanfaatan ruang perkotaan sama seperti peran yang diharapkan dari masyarakat. Namun, karena swasta memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat umum, maka terdapat peran lain yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu untuk tidak saja menekankan pada tujuan ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan dalam memanfaatkan ruang perkotaan. Dalam hal ini, pihak yang dapat dikatakan berperan sebagai pihak swasta ialah para pedagang kaki lima (PKL) atau pelaku usaha yang memanfaatkan ruang terbuka hijau sebagai tempat promosi produk, tukang parkir, mereka digolongkan sebagai pihak swasta yang memanfaatkan ruang terbuka hijau untuk membangun atau sebagai tempat lokasi usaha. Dari beberapa perilaku para pedagang dapat dilihat dari sarana kelengkapan yang digunakan dalam menyesuaikan dengan bentuk komoditi dan lingkungan sekitar yang mengakibatkan terlihatnya kesemerawutan, yaitu meliputi para PKL yang menggunakan/bentuk tenda, menggunakan kereta dorong/gerobak,
berbentuk gelaran atau lamparan,berbentuk kendaraan bermotor. Berdasarakan hasil wawancara dengan salah seorang pedagang yang berada di area Taman Alun-alun Kapuas (Ibu Wina), ia mengatakan yang menjadi alasan membuka dagangan atau berjualan di tempat ini karena sebagai salah satu tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat umum. Terkait rencana penggusuran pemerintah terhadap PKL non-kuliner ia berpendapat : “sebaiknya pemerintah menata tempat ini dengan membuat tempat khusus pedagang kuliner maupun non-kuliner, atau mengelompokkan di suatu tempat seperti model stan-stan pameran”. Para PKL berharap ada solusi dari pemerintah, mereka mengatakan para pengunjung taman Alun-alun Kapuas terkadang tidak hanya datang untuk menikmati kuliner saja. Salah seorang pedagang pakaian di taman alun-alun Kapuas mengatakan ia memiliki pelanggan yang selalu membeli dagangannya, dan ia pun mengatakan dagangannya terkadang selalu laris di beli oleh pengunjung dibanding ia berdagang di tempat lain. Terkait kontribusi atau keikutsertaan mereka dalam penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau khususnya taman-alun-alun Kapuas, mereka para pedagang mengaku pada dasarnya mendukung upaya reklamasi taman itu agar semakin indah sehingga semakin menarik untuk dikunjungi, namun setidaknya peemerintah melakukan sosialisasi dan pemberian solusi dengan ini mereka mengaku telah merasa ikut andil dalam penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau yang ada, walaupun itu dalam skala kecil. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan, kontekstual kegiatan yang terjadi antara sektor formal dan informal pada kawasan tersebut saling mendukung satu sama lain. Pada sektor formal, kawasan tersebut yang sebelumnya tidak begitu ramai, namun ketika adanya keberadaan PKL kini menjadi kawasan perdagangan yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat dari berbagai tingkat golongan. 4. Perilaku Media massa Peranan media massa dalam pembangunan terutama sebagai agen pembaharu (agent of social change). Letak peranannya dalam membantu masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern. Jenis perubahan yang diinginkan oleh sebagian besar bangsa-bangsa adalah perubahan yang lebih cepat daripada perubahan sejarah, lebih
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
7
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica lunak daripada proses perubahan yang dipaksakan. Sikap paksaan dalam pembangunan diganti oleh sikap membujuk dan memberikan kesempatan partisipasi pada setiap anggota masyarakat. Setiap bangsa yang ingin meningkatkan proses pembangunan kebudayaan harus menyadarkan seluruh masyarakat akan arti pentingnya pembanguanan serta membantu masyarakat mengenal kebiasaan-kebiasaan baru secara lancar sehingga mereka dapat merasakan hasilnya. Terkait pemberitaan persoalan lingkungan menyangkut pengelolaan dan penataan ruang terbuka hijau di kota Pontianak khususnya salah seorang Wartawan dari harian Tribun Pontianak menyatakan: “Dalam konteks ini media massa perlu memandang bahwa persolan lingkungan memiliki nilai yang layak untuk diketahui oleh khalayak ramai/umum, karena hal-hal tersebut sangat terkait dengan kehidupan keseharian mereka, oleh sebab itu perlunya sebuah informasi tentang perkembangan kondisi lingkungan dimana isinya dapat berupa berita, laporan, dan sajian gambar” Berdasarkan peran dan fungsinya media massa memang memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi. Menyangkut bagaimana media massa dalam menyampaikan informasi berkenaan dengan perkembangan proses kebijakan penataan pengelolaan ruang terbuka hijau, dari hasil wawancara dengan seorang penulis berita harian Tribun Pontianak mengatakan: “Berita/informasi yang disampaikan dapat berisi tentang kegiatan-kegiatan, atau tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap pengelolaan dan penataan ruang terbuka hijau. Disamping itu pers juga membuka ruang untuk saling berinteraksi antara berbagai komponen masyarakat”. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan padap proses penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau, maka media dan pemerintah memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan media dan Good Governance menjadi penting mengingat proses pengambilan keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat, dan media menjadi wahana informasi untuk memuat aspirasi masyarakat sekaligus memungkinkan terjadinya transparansi atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah maupun informasi mengenai keputusan itu sendiri, termasuk mengenai kebijakan pemerintah.
Dari perspektif lingkungan, dengan terbukanya ruang publik oleh media massa tentu akan mempermudah masyarakat memenuhi haknya memperoleh informasi pelaksanaan pembangunan dan berperan serta dalam pengelolaan lingkungan karena setiap orang mempunyai hak atas informasi yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan ruang terbuka hijau. Lebih lanjut bahwa hak atas informasi lingkungan merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan yang berlandasan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan yang baik dan sehat. PENUTUP Masyarakat belum memiliki kesempatan untuk berpartisipasi yang menyebabkan masyarakat hanya menerima pilihan sosial yang tidak dipilihnya dan mengakibatkan kurangnya kepahaman masyarakat akan keberadaan ruang terbuka hijau. Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola RTH dengan memberikan dorongan yang bisa dilakukan oleh tokoh masyarakat dan pemerintah untuk mengelola RTH tersebut. juga membuat RTRW yang jelas termasuk RTH, serta menerapkan aturan hukum yang tegas berkaitan dengan pengelolaan RTH. Masih belum adanya kebijakan dan keputusan yang bersifat mengikat terhadap kelangsungan dan keberadaan ruang terbuka hijau serta kebijaksanaan daerah yang memuat peraturan khusus mengenai penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau kota Pontianak menyebabkan pelakasanaan penataan dan pengelolaan ruang terbuka hijau belum sepenuhnya terkoordinasi dengan baik antara beberapa pihak, karena saat ini pengelolaan dan penataan ruang terbuka hijau pelaksanaanya sepenuhnya masih di pegang oleh pemerintah. Maka dari itu, pemerintah harus konsisten memelihara dan menegakkan aturanaturan sesuai hukum yang berlaku. Transparansi dan akuntabilitas harus selalu dijaga dalam mengambil suatu kebijakan publik, dan yang terpenting senantiasa menumbuhkan dan membuka ruang bagi masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan dan penataan ruang terbuka hijau sampai saat ini belum adanya campur tangan
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
8
PublikA, Jurnal, S-1 Ilmu Administrasi Negara Volume 2 Nomor 1, April 2013 http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id/index.php/publica pihak swasta. Dan Keberadaan para PKL sebagai salah satu pihak swasta yang memanfaatkan RTH tanpa izin menyebabkan pemerintah sulit untuk mengembangkan ruang terbuka hijau. Maka dari itu, perlu di sadari bahwa dalam pengelolaan ruang terbuka hijau tidak bisa hanya ditimpakan di pundak satu institusi atau orang per orang saja. Semua pihak sangat berkepentingan dengan proses pembangunan, oleh sebab itu sudah selayaknya ikut andil dalam pengelolaan lingkungan apapun bentuknya. Tentunya dengan kadar dan porsi masing-masing. Mengingat masih lemahnya sumberdaya manusia pers terutama di bidang lingkungan, diharapkan beberapa wartawan yang memiliki minat terhadap lingkungan dididik secara khusus untuk mendalami masalah lingkungan sekaligus mempertajam intuisi jurnalistiknya di bidang lingkungan (capacity Building) melalui pelatihanpelatihan bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan ataupun institusi-institusi yang bergerak di bidang lingkungan.
REFERENSI Crosby, B.L. 1992. Analisis Pemangku Kepetingan. Bandung : Technical Note. Helmi A F. 1995. Tesis Strategi Adaptasi Yang Efektif Dalam Situasi Kepadatan Sosial. Yogyakarta : Progra Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Miller, R. 1997. Urban Forestry. Planning and Managing Urban Green space Upper Saddle River: prentice Hall. Purnomohadi, S. 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Pengendalian Kualitas Udara. Jakarta : Desertasi Doctor Pascasarjana IPB Bogor. Siagian, P. Sondang. 1990. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Penerbit Gunung Jati Sughandy, Aca dan Rustam Hakim. 2009. Prinsip Dasar Kebijakan. Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara. Thoha, Miftah. 2002. Perspektif perilaku Birokrasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Roma Filani Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura
9