JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015
PERILAKU KERUNTUHAN SAMBUNGAN TIPE PELAT TUNGGAL PADA SAMBUNGAN BALOK ANAK DENGAN BAUT 1)
2)3)
Baehaki1), Akhmad Aminullah2), Suprapto Siswosukarto3)
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Jenderal Sudirman Km.3 Cilegon 42435 E-mail :
[email protected]
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 55281
ABSTRAK
Sambungan dengan tipe pelat tunggal, menempatkan pelat sambung saling overlapping dengan pelat badan balok sehingga sumbu pelat menjadi tidak segaris dengan sumbu balok. Kondisi tersebut menghasilkan eksentrisitas pada gaya-gaya yang akan dipindahkan. Adanya eksentrisitas pada sambungan tipe pelat tunggal dan kekakuan pelat tidak mencukupi maka pelat cenderung untuk memuntir, hal tersebut dapat mengurangi kapasitas sambungan pelat tunggal. Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini yaitu, bagaimanakah perilaku keruntuhan dari sambungan tipe pelat tunggal pada sambungan balok anak dengan baut. Penelitian ini menyajikan hasil studi eksperimental yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus dapat menjelaskan dampak negatif dari penggunaan sambungan tipe pelat tunggal. Penelitian ini dengan 3 buah benda uji sambungan tipe pelat tunggal skala penuh yang dilakukan untuk menguji dampak dari dua parameter pengujian yaitu, eksentrisitas pada sambungan dan kekakuan dari pelat sambung. Dihasilkan dari semua hasil pengujian eksperimental, keruntuhan akhir dari semua benda uji adalah puntiran pada pelat (twisting). Kata kunci : Sambungan pelat tunggal, kapasitas sambungan, perilaku keruntuhan, eksentrisitas sambungan
ABSTRACT
A single plate connection type makes a gusset plate that overlaps on web beam so it’s makes the axis of gusset plate is not aligned with the axis beam. This condition produces eccentricity on the forces which is transfered from gusset plate to the web of beam. Because of the eccentricity and insufficient stifness of the gusset plate, it occurs twisting behaviour and it reduces the capacity of single plate connection. Issues that are going to be showed is, the failure behavior of single plate connection type which is used on connection of beam with bolt in this study. This research shows the result of experimental that suppose to resolve the issues, and it explains the negative impact of the use single plate connection type. Three full scale tests of a single plate connection type were conducted to examine the effects of two main test parameter which are eccentricity in connection and stiffness of gusset plate. The results show, a failure behavior of three specimen are twisting failure that occur gusset palte. Keywords: single plate connection type, capacity connection, failure behaviour, eccentricity connection
1.
PENDAHULUAN
Pada kontruksi baja, balok anak sering dihubungkan dengan balok induk pada elevasi yang sama untuk mendukung beban dari pelat lantai. Pelat sayap pada balok dicoak (coped) untuk mendapatkan jarak bersih yang diijinkan antara interaksi balok, balok tipe ini disebut dengan coped beam. Ilustrasi sambungan coped beam dapat dilihat pada gambar 1. Variasi sambungan yang digunakan pada sambungan coped beam yaitu siku ganda, siku tunggal, plat las dan profil T. Pada sambungan yang diuji pada penelitian ini, tipe sambungan memiliki perbedaan pada titik perlemahannya jika dibandingkan dengan sambungan coped 8
beam, yaitu pada pelat penyambung cenderung akan mengalami kegagalan karena adanya coakan sudut, namun pada baloknya tidak diberikan coakan sebagaimana pada coped beam. Potensi mode kegagalan ini termasuk geser blok pada pelat penyambung. Potensi kegagalan lainya bisa terjadi pada pelat sambung yaitu puntiran (twisting) akibat adanya eksentrisitas, perilaku keruntuhan dari sambungan diamati untuk mempelajari mekanisme keruntuhan yang digunakan, sebagai dasar dalam memprediksi kapasitas sambungan, sehingga perlu ada penelitian tentang perilaku keruntuhan sambungan tipe pelat tunggal.
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
JURNAL FONDASI, Volume 4 Nomor 1
2015
Sumber : Analisa Rencana Penelitian
Gambar 1. Model sambungan coped beam (Fang at all, 2013) 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku keruntuhan dari sambungan diamati untuk mempelajari mekanisme keruntuhan yang digunakan sebagai dasar dalam memprediksi kapasitas sambungan. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan pada sambungan coped beams dalam memprediksi kapasitas sambungan, yang didasarkan pada kapasitas geser blok sesuai prediksi yang diberikan oleh AISC-LRFD 2005. Penelitian telah dilakukan oleh Fang (2013) dengan 10 benda uji coped beams skala penuh untuk menguji efek dari dua parameter pengujian, yaitu, (1) eksentrisitas pada sambungan dan (2) aspek rasio balok dari web balok yang merupakan bagian dari sambungan. Dihasilkan sembilan hasil tes benda uji mengalami kegagalan tarik di sepanjang baris bawah baut, dan satu benda uji mengalami kegagalan geser blok. Selain itu, beberapa hasil tes menunjukan bahwa adanya eksentrisitas sambungan menyebabkan puntiran pada pelat badan balok. Hal ini diamati pada benda uji dengan tipe sambungan siku tunggal dan profil T. Perilaku keruntuhan sambungan coped beams juga diamati oleh Franchuk (2004). Penelitian ini dengan 17 benda uji coped beams skala penuh untuk menentukan kapasitas geser blok dan perilaku sambungan coped beams. Parameter yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi rotasi ujung balok,
ujung dan jarak tepi, dan tata letak baut. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa beberapa parameter ini secara signifikan mempengaruhi kapasitas sambungan. Sambungan yang akan diteliti pada penelitian ini merupakan sambungan tipe pelat tunggal pada balok anak dengan baut. Menurut Dewobroto dan Besari (2009), sambungan dengan tipe pelat tunggal menempatkan pelat sambung saling overlapping dengan pelat badan balok sehingga sumbu pelat menjadi tidak segaris dengan sumbu balok. Kondisi tersebut menghasilkan eksentrisitas pada gaya-gaya yang akan dipindahkan. Dewobroto dan Besari (2009) mengamati fenomena curling pada pelat baja hot-rolled, dan mensimulasikan beberapa ketebalan sambungan dengan bantuan program ABAQUS. Dari penelitian tersebut Dewobroto dan Besari (2009) menyimpulkan, curling terjadi sebagai akibat mekanisme gaya-gaya tekan internal pelat, yang tidak lain adalah buckling (tekuk), dan hanya terjadi pada pelat yang relatif tipis (langsing). Adanya curling pada sambungan lap yang secara natural mempunyai eksentrisitas, ditambah slip, menyebabkan sambungan lap dengan baut tunggal beresiko mengalami distorsi, sehingga kinerjanya menjadi tidak optimum.
Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
9
JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015 a. Kapasitas Geser Blok Menurut AISC-LRFD 2005, kekuatan geser blok selalu ditentukan oleh kekuatan tarik pada bidang tarik bersih yang diakumulasikan dengan kekuatan geser minimal pada bidang geser kotor atau bersih. Sehingga diasumsikan bahwa fraktur selalu terjadi pertama kali pada bidang tarik, yang kemudian diikuti dengan leleh pada bidang geser. Tahanan nominal tarik dalam keruntuhan geser blok diberikan oleh persamaan:
Rn UbsfuAnt 0,6fuAnvUbsfuAnt 0,6fyAgv
..(2.1)
Dimana : Agv = Luas bruto yang menahan geser (mm2) Anv = Luas netto yang menahan geser (mm2) Ant = Luas netto yang menahan gaya tarik (mm2) fu = Kuat tarik
fy = Kuat leleh Ubs = Koefisien reduksi, 1.0 bila tegangan tarik merata, 0.5 bila tegangan tarik tidak merata = 0,75 b. Torsi pada Penampang Persegi Menurut Popov (1976) momen torsi (twist) merupakan momen yang bekerja terhadap sumbu longitudinal elemen struktur. Penampang segiempat yang dibebani puntir, pada bagian sudut-sudut penampang akan mengalami distorsi, lihat gambar 2b. Pada gambar 2c diperlihatkan distribusi tegangan di sepanjang garis yang arahnya radial dari titik pusat berat. Tegangan geser maksimum terjadi pada serat terluar sisi panjang, sedangkan pada bagian sudut tegangan geser menjadi nol.
(a) Sebelum menerima puntiran (b) Setelah menerima puntiran (c) Distribusi tegangan geser Gambar 2. Distorsi dan distribusi tegangan geser pada penampang persegi (a, b dan c) (Popov, 1976) Tabel 1. Koefisien dan untuk penampang persegi (Higdon et al.,1985) b/t
1,00 0,208 0,141
1,50 0,231 0,196
2,00 0,246 0,229
2,50 0,256 0,249
Persamaan untuk menghitung tegangan geser maksimum maks yang nilainya tergantung dari perbandingan antara sisi panjang dan pendek (Popov, 1976), yaitu : maks
T bt 2
d TL dx bt 3G
... (2.2) ... (2.3)
Dengan t dan b masing-masing adalah sisi pendek dan panjang dari penampang persegi. , adalah koefisien untuk penampang persegi, lihat tabel 1. Untuk nilai 10
3,00 4,00 6,00 10,00 0,267 0,282 0,299 0,312 0,333 0,263 0,281 0,299 0,312 0,333 b yang jauh lebih besar dibandingkan dengan t (b/t > 10), kedua koefisien ini mendekati 1/3 atau 0,333. Dalam praktek jarang puntiran murni bekerja sendiri, melainkan bersama-sama dengan lentur dan gaya lintang. Jika tegangan geser dibatasi oleh tegangan ijin i, maka harus dipenuhi persamaan dibawah ini (Popov, 1976):
i T V
T T bt 2 3V V 2bt
... (2.4) ... (2.5) ... (2.6)
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
JURNAL FONDASI, Volume 4 Nomor 1 3.
METODOLOGI PENELITIAN
a.
Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan secara eksperimental yang dilakukan di dua Laboratorium, yaitu laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan dan laboratorium Bahan Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Secara garis besar penelitian terdiri dari dua tahap pengujian. Pada tahap awal penelitian dilakukan pengujian pendahuluan yang meliputi pengujian sifat material baja berupa uji tarik material baja untuk mengetahui nilai tegangan leleh (fy) dan tegangan putus (fu) material baja dari profil dan pelat yang akan dilakukan uji sambungan. Pada tahap kedua dilakukan uji sambungan tipe pelat tunggal dengan variasi ketebalan pelat sambung, dengan tiga jenis ketebalan yaitu 3,8 mm, 4,8 mm dan 5,8 mm.
2015
b.
Bahan Penelitian Benda uji berupa balok anak profil WF150 dengan panjang 1,25 m dihubungkan pada balok induk dengan dimensi profil yang sama, dengan menggunakan pelat sebagai pelat sambung. Sambungan antara pelat penyambung dengan balok adalah sambungan dengan baut. Sedangkan sambungan antara pelat penyambung dengan balok induk adalah sambungan las. Untuk lebih jelasnya model tipe sambungan terlihat pada gambar 3.
Mulai
Studi Pustaka Pengujian pendahuluan Analisis: Kapasitas sambungan
Pembuatan Benda Uji Uji Sambungan Pengolahan Data
Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
Gambar 3. Tipe sambungan yang diuji Tiga buah benda uji skala penuh digunakan untuk meninjau perilaku keruntuhan sambungan tipe pelat tunggal pada sambungan balok anak dengan baut, dengan mempariasikan ketebalan pelat sambung, yaitu 3.8 mm, 4.8 mm dan 5.8 mm, dan dua buah balok baja profil IWF 150x75x5x7. Untuk memudahkan identifikasi pengujian, penamaan benda uji diberikan berdasarkan ketebalan yaitu CN-1, CN-2, dan CN-3. CN-1 merupakan benda uji dengan ketebalan pelat sambung 3.8 mm, CN-2 merupakan benda uji dengan ketebalan pelat sambung 4.8 mm, dan CN-3 merupakan benda uji dengan ketebalan pelat sambung sebesar 5.8 mm. Pada sambungan digunakan baut ISO 8.8 diameter 22 mm, dengan ukuran lubang pada pelat sambung sesuai standar yaitu 2 mm lebih besar dari diameter nominal baut, sehingga ukuran lubang baut menjadi 24 mm. Ukuran dimensi balok dan sambungan benda uji dapat dilihat pada gambar 4 dan simbol dimensi yang diukur dapat dilihat pada tabel 2.
Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
11
JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015
Ø24
Ø24
(a) (b) Gambar 4. Dimensi benda uji: a) detail balok, b) detail pelat sambung Tabel 2. Dimensi balok dan sambungan benda uji Benda uji CN-1 CN-2 CN-3
Dimensi (mm) B 75 75 75
H 150 150 150
Tf 7 7 7
Tw 5 5 5
Set Up Pengujian Set up pengujian dirancang untuk memastikan terjadi kegagalan pada pelat sambung, dan untuk mensimulasikan sebuah balok anak yang terhubung dengan balok induk pada kontruksi baja. Balok diletakan berdiri tegak untuk menjamin kekakuan pada sambungan antara pelat uji dengan balok induk yang disambung dengan las dan diangkur ke rigid floor. Balok induk dimodelkan seperti profil kanal lalu dilas pada pelat datar sebagai tumpuan yang kemudian diperkuat dengan angkur pada rigid floor. Kekakuan pelat datar harus mencukupi, agar tidak terjadi kegagalan karena akan mempengaruhi pada hasil pengujian sambungan, oleh karena itu ditambkan perkuatan berupa bresing pada pelat datar di setiap sisinya. Skematik pengujian dapat dilihat pada gambar 5. Hydraulic jack yang digunakan memiliki kapasitas 100 ton untuk membebani benda uji, sebagai beban terpusat pada balok. Beban ditempatkan sangat dekat dengan sambungan, untuk mencegah terjadi keruntuhan lain sebelum terjadi keruntuhan pada pelat sambung. Posisi pembebanan terletak pada jarak 0,1 m dari titik sambungan baut. Tumpuan rol diletakan di ujung balok pada jarak 0.9 m dari sambungan baut dan diletakan load cell dengan kapasitas 10 ton untuk membaca reaksi yang terjadi akibat pembebanan, sehingga besarnya reaksi yang c.
12
S 60 60 60
ev,b 45 45 45
eh,b 50 50 50
ev,p 30 30 30
eh,p 50 50 50
c 8 8 8
d 120 120 120
t 3.8 4.8 5.8
terjadi pada sambungan dapat diketahui. Pada balok diberikan bresing untuk mencegah agar tidak terjadi pergerakan arah lateral. d.
Pengencangan Baut Menurut AISC (2010), pemasangan baut mutu tinggi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pengencangan baut (AISC, 2010) metode turn-of-nut, atau Snug-Tightened Joint. Pada sambungan yang akan diuji dilakukan pengencangan baut dengan metode Snug-Tightened Joint. Kondisi tersebut dapat tercapai, jika dapat dipastikan pelat-pelat sambungan dapat mencapai kondisi rapat (pelat-pelat saling bertemu dengan baik), kemudian mur (nut) dikencangkan dengan kunci-pas (wrench) standar sekuat tenaga pekerja normal. Ini merupakan tahap final untuk pemasangan baut biasa. Pengencangan dengan metode Snug-Tightened Joint tidak terukur dengan pasti besaran kekuatan yang diberikan untuk mengencangkan baut. Oleh sebab itu strategi pengencangan baut yang dilaksanakan pada penelitian ini dengan metode Snug-Tightened Joint dan dilakukan pengukuran dengan alat pengencang, sehingga besaran torsi yang diberikan pada baut dapat terukur dengan suatu besaran yang pasti. Dengan cara trial and error didapat besaran torsi yang diberikan pada baut dengan metode Snug-Tightened Joint sebesar 3,4 kg.
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2015
Applied Load (P) Roller Frame
Reaction (R)
JURNAL FONDASI, Volume 4 Nomor 1
Test Beam
Bracing
Test Connection
Concrete Strong Floor
Gambar 5. Skematik pengujian dan layout dial gauge dan strain gauge e.
Gambar 6. Pengencangan baut dengan alat ukur
Prosedur Pengujian Pembebanan dan reaksi tumpuan secara otomatis dicatat oleh load cell sedangkan lendutan yang terjadi diukur oleh dial gauge yang dipantau oleh rekaman kamera. Posisi penempatan dial gauge dapat dilihat pada gambar 5. Strain gauge dan rosette diletakan di dekat lubang baut untuk mencatat distribusi regangan yang terjadi pada daerah kritis dari pelat sambung, layout penempatan strain gauge dan rosette ditunjukan pada gambar 5. Pengujian dilakukan dengan kontrol beban dalam tahap pembebanan awal, dimana beban diterapkan secara bertahap. Pengujian dihentikan ketika terjadi keruntuhan pada benda uji yaitu terjadi robek pada pelat atau terjadi penghilangan beban secara signifikan.
Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
13
JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015
1
Keterangan gambar: 1. Data Logger 2. Load cell (kap.10 ton) 3. Roller 4. Load cell (kap. 60 ton) 5. Hydraulick piston 6. Hydraulick pump 7. Sambungan uji 8. Dial gauge
3
2 4 8
5
6
7
Gambar 7. Konfigurasi pengujian di laboratorium struktur JTSL UGM 4.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
a.
Pengujian Material Baja Pengujian material baja diambil dari bagian model struktur masing-masing sebanyak tiga sampel uji untuk menentukan sifat mekanis baja diantaranya nilai tegangan leleh (fy) dan tegangan putus (fu), sedangkan untuk nilai modulus elastisitas (Es) baja diambil 200.000 MPa dan nilai poisson rasio () ditetapkan sebesar 0,3 sesuai SNI 031729-2002 poin 5.1.3. Keruntuhan akhir dari benda uji ditunjukan pada gambar 8. Pengukuran besarnya tegangan-regangan yang terjadi pada material dilakukan penggambaran kurva dengan AutoCad dengan cara membuat skala gambar mengacu pada catatan beban maksimumnya. Nilai statik rata-rata dari kuat
leleh dan kuat ultimit uji tarik baja dapat dilihat pada tabel 3.
Gambar 8. Benda uji setelah diuji tarik Hasil pengujian menunjukan kurva hubungan tegangan () - regangan () yang tipikal. Nilai kuat leleh (fy) dan kuat ultimit (fu) pada tabel 3 merupakan nilai rata-rata dari tiga buah benda uji tarik.
Gambar 9. Perilaku mekanik (P-) material baja TC-Cc dari plotter UTM 14
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
JURNAL FONDASI, Volume 4 Nomor 1
2015
Tabel 3. Rekapiulasi hasil pengujian kuat tarik baja Kode Kuat leleh, Kuat ultimit, Benda uji Benda uji fy (MPa) fu (MPa) Web Balok TC-W 491.000 581.477 3,8mm TC-Ca 366,850 510.292 Pelat Sambung 4,8mm TC-Cb 367,800 515.324 5,8mm TC-Cc 359,490 512.481 b. Pengujian Sambungan 1) Perilaku Keruntuhan Hasil pengujian menunjukan bahwa semua benda uji mengalami keruntuhan dengan cara pelat sambung memuntir (twisting). Perilaku keruntuhan akhir yang khas ditunjukan pada gambar 10. Hal ini disebabkan pelat sambung saling overlapping dengan pelat badan balok sehingga sumbu pelat menjadi tidak segaris dengan sumbu balok. Kondisi tersebut menghasilkan eksentrisitas pada gaya-gaya yang akan dipindahkan. Pada umumnya, puntiran pelat sambung pada benda uji CN-1 terjadi lebih signifikan dibandingkan dengan benda uji CN-2 dan CN-3. Hal ini disebabkan karena ketebalan pelat sambung yang lebih besar dari CN-1 sehingga memberikan perlawanan yang lebih tinggi terhadap lipatan lateral atau puntiran, dengan demikian menghasilkan kapasitas sambungan yang lebih tinggi. Puntiran juga ditunjukan pada pelat badan dari balok, untuk pengujian CN-1 tidak terjadi
puntiran pada pelat badan balok, hal ini di karenakah kapasitas kekakuan dari pelat badan balok lebih tinggi dalam menahan puntiran. Hal sebaliknya terjadi pada pengujian CN-2 dan CN-3, menunjukan terjadinya puntiran pada pelat badan balok seperti ditunjukan pada gambar 11 yang disebabkan oleh kekakuan pelat sambung yang lebih besar dari sebelumnya dalam menahan lipatan lateral sehingga pelat badan balok mengalami puntiran. Perilaku keruntuhan lain diamati pada baut, dari hasil pengujian menunjukan bahwa tidak adanya kerusakan yang berarti pada baut. Hal ini disebabkan karena mutu baut yang digunakan lebih tinggi kekuatannya dalam menerima beban yang bekerja dibandingkan dengan pelat pada sambungan. Sesuai dengan rencana, bahwa tidak diharapkan terjadinya kegagalan pada baut.
Gambar 10. Puntiran pada pelat sambung
Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
15
JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015
a)
Balok CN-1 b) Balok CN-2 c) Balok CN-3 Gambar 11. Puntiran pada pelat badan balok
2) Perilaku Beban-Defleksi Kurva beban-defleksi untuk semua spesimen ditunjukan dalam gambar 14. Secara umum, respons linier diamatai pada pembebanan awal. Ketika beban yang diterapkan mencapai beban ultimit rencana, benda uji mulai mengembangkan perilaku puntiran pada pelat sambung. Perilaku puntiran ini ditandai dengan adanya nilai negatif atau berlawanan arah pada nilai perpindahan arah vertikal yang dapat dilihat pada hasil pengujian CN-2 dan CN-3. Defleksi vertikal diperoleh dari dial gauge (seperti ditunjukan pada gambar 12) yang terekam dalam video. Setelah spesimen mencapai beban ultimit, kurva beban-lendutan menunjukan penurunan tiba-tiba mewakili awal dari keruntuhan sambungan. Selanjutnya, kurva beban-lendutan dilanjutkan secara bertahap dan terbatas pada beban yang diterapkan.
Gambar 13. Kondisi pembebanan setelah pengujian
Beban
Gambar 14. Kurva hubungan beban perpindahan
Dial gauge
Gambar 12. Posisi pembebanan sebelum pengujian 16
Beban ultimit yang mampu ditahan oleh benda uji dapat dilihat pada tabel 4, hasil
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
JURNAL FONDASI, Volume 4 No 2 2015 tersebut selalu lebih kecil dari kapasitas geser blok yang merupakan salah satu tipe keruntuhan yang mungkin terjadi pada benda uji. Hasil pengujian menunjukan beban ultimit yang diterapkan terhadap benda uji mendekati
hasil analisis yang memperhitungkan torsi dan gaya geser. Rasio rata-rata besaran beban (P) antara hasil pengujian (P-Exp) dengan hasil analisis (P-Anl) dari ketiga benda uji adalah 1,43.
Tabel 4. Perbandingan hasil pengujian/eksperimental dengan hasil analisis
Benda Uji
P-Exp (ton)
Mode kegagalan
P-Anl (ton)
Tumpu Pelat CN-1, t=3,8mm 7,60 puntir 14,71 CN-2, t=4,8mm 11,23 puntir 18,76 CN-3, t=5,8mm 12,44 puntir 22,54 Ket: P-Anl : Kapasitas beban hasil analisis P-Exp : Beban maksimum hasil pengujian 3) Pengaruh Eksentrisitas Sambungan Sambungan dengan tipe pelat tunggal menempatkan pelat sambung saling overlapping dengan pelat badan balok sehingga sumbu pelat menjadi tidak segaris dengan sumbu balok. Kondisi tersebut menghasilkan eksentrisitas pada gaya-gaya yang akan dipindahkan seperti ditunjukan pada gambar 15. Adanya eksentrisitas pada sambungan tipe pelat tunggal, ditambah kekakuan pelat tidak mencukupi maka pelat cenderung untuk memuntir. Pada sistem sambungan tipe pelat tunggal yang memakai pelat yang relatif langsing, kemungkinan besar mengalami twisting, yang sebenarnya merupakan perilaku tekuk. Pada kondisi tersebut maka kekakuan pelat dapat menjadi tidak ada (akibat efek tekuk), sehingga resiko terjadinya pelat melengkung sangat besar untuk dapat terjadi. Bila hal tersebut terjadi, orientasi baut juga akan berputar, tidak lagi tegak lurus pelat, sehingga sambungan akan mengalami puntiran sebagaimana terlihat pada gambar 16, yang mengakibatkan mekanisme tumpu atau geser blok sebagaimana yang diharapkan pada sambungan baut tidak akan dapat bekerja dengan baik.
Geser Blok 16,42 20,94 24,69
Torsi + Geser 5,30 7,36 9,40
P-min
P-Exp P-Anl
5,30 7,36 9,40
1,43 1,53 1,32
Gambar 15. Eksentrisitas pada lap-joint (Dewobroto & Besari, 2009)
Gambar 16. Puntiran pada pelat sambung 5. a.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengujian eksperimental dan analisis, dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1) Perilaku keruntuhan dari sambungan tipe pelat tunggal adalah terjadinya puntiran (twisting) yang disebabkan oleh eksentrisitas pembebanan. 2) Kapasitas sambungan tipe pelat tunggal dengan baut pada sambungan balok anak ditentukan oleh kapasitas penampang dalam menahan tegangan geser akibat puntiran dan gaya geser. Nilai kapasitas sambungan rata-rata dari ketiga benda uji adalah 9,39 ton. 3) Berdasarkan hasil pengujian, analisis penampang dalam menahan tegangan geser akibat puntiran dan gaya geser merupakan nilai dari kapasitas sambungan tipe pelat
Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa |
17
JURNAL FONDASI, Volume 4 Nomor 1 tunggal. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis dengan persamaan tersebut yang dibandingkan dengan hasil pengujian laboratorium. Metode analisis tersebut lebih mendekati hasil pengujian yang memiliki rasio rata-rata 1,43 terhadap hasil analisis. b. Saran Dari beberapa kesimpulan yang telah ditarik dari penelitian ini terdapat beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Adanya eksentrisitas pada sambungan tipe pelat tunggal, ditambah kekakuan pelat tidak mencukupi maka pelat cenderung untuk memuntir, sehingga kinerjanya menjadi tidak optimum. Untuk menghindarinya, disarankan digunakan stiffner (pengaku), dengan konfigurasi dipasang tegak lurus terhadap pelat sambung, namun hal ini tentunya perlu penelitian lebih lanjut agar efisiensi dari penggunaan stiffner tercapai. Sehingga kapasitas sambungan menjadi meningkat. 2. Untuk memprediksi kapasitas sambungan tipe pelat tunggal, perlu ditinjau perilaku kegagalan akibat puntiran, kemudian hasilnya dibandingkan dengan perilaku kegagalan lainnya yaitu kegagalan tumpu pelat, baut, dan geser blok. Nilai minimum dari kondisi diatas merupakan nilai dari kapasitas sambungan tipe pelat tunggal. 3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan berbagai macam parameter lain yang di perhitungkan dari elemen sambungan tipe pelat tunggal seperti, jarak baris baut ke tumpuan/las, jumlah baut serta layout penempatan bautnya, sehingga dapat menentukan persamaan yang lebih konsisten dan konservatif dalam memprediksi kapasitas sambungan.
2015
Dewobroto, W., 2009 “Distorsi Sambungan Baut Curling dan Pencegahannya”, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 19, No. 2. Agustus 2012. Fang, C., Lam, A.C.C., Yam, M.C.H. & Seak, K.S., 2013. Block shear of coped beams with single-sided bolted connection. Journal of Constructional Steel Research, 86(2013), pp.153 - 166. Franchuk, C.R., Driver, R.G., and Grondin, G.Y. 2009 “Experimental investigation of block shear failure in coped bemas”, Can. J. Civ. Eng. Vol. 30, 2003. Franchuk, C.R., Driver, R.G., and Grondin, G.Y. 2009 “Reliability analysis of block shear capacity of coped seel beams”, Journal of structure engineering. Vol. 130, No. 12, Desember 1, 2004. Popov, E.P., 1976. Mechanics of Materials. New Jersey: Prenctice - 0Hall. Salmon, C. G., and Johnson, J. E. 1996 “Steel Stuctures, Design and Behavior”, New York: Harper - Collins Segui, W.T., 1999 “LRFD Steel Design”,3th ed.,Brook/Cole Publishing Company, Pacific Grove. Setiawan, Agus., 2008 “ Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD”, Jakarta: Erlangga. Timoshenko, Stepehen P., dan Gere, James M., 2000 “ Mekanika Bahan jilid 1 Edisi Keempat”(Diterjemaahkan oleh Bambang Suryoatmono), Jakarta: Erlangga. Timoshenko, Stepehen P., dan Gere, James M., 2000 “ Mekanika Bahan jilid 2 Edisi Keempat”(Diterjemaahkan oleh Bambang Suryoatmono), Jakarta: Erlangga.
6. DAFTAR PUSTAKA
AISC, 2005, ANSI/AISC 360-05 “An American National Standard - Specification for Structural Steel Buildings”, American Intitute of Steel Contruction, Inc., Chicago, Illinois. Badan Standar Nasional, (2002), “Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung”, Bandung. (SNI 03-1729-2002). Badan Standar Nasional, (2010), “Spesifikasi Untuk Gedung Baja Struktural”, Bandung. (RSNI 03-1729-201X).
18
| Jurnal Fondasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa