Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950 I Made Sendra Abstract The political violence in Bali period 1946-1950, due to the differences of ideology, tactic, and the goal of struggle, between traditional elite against republican elites. The traditional elites (the monarch in Bali) who adopted cooperative-federalism aimed to establish The United Indonesia Republic accord to Dutch commonwealth. Involving Bali as part of East Indonesia State`s territory could maintain the status quo of Bali`s monarchy as traditional monarch. Otherwise, the republican elites who adopt the unitary state and non-cooperative aim that Bali tied together with The Republic of Indonesia`s territory, because East Indonesia State was establised by Dutch government. The signatory to the Linggarjati treaty caused for the existence of Republic of Indonesia`s territory beyond Java, such as, Madura and Sumatra became uncertain. This moment is exploited by Dutch government (Van Mook) to conduct Denpasar Conference that succeeded to formulate the establishment of the regulation of East Indonesia State. Since, Bali had belonged to the territory of East Indonesia State has changed the situation that caused difficulties for armament battle in Bali. Therefore the Commander of The General Head Quarter of The Indonesian People Struggle`s Council of Small Sundanese Area (Pimpinan Markas Besar Umum Indonesia Sunda Kecil) changed the strategy of struggle from military passive to diplomatic active through East Indonesia State`s Parliament and General Assembly, as well. By the speech of East Indonesian State Parliament members who came from Bali, claimed that Bali to become consistently ___________ * I Made Sendra adalah Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. Buku yang telah terbit, antara lain Fungsi dan Makna Upacara Nampah Kubutambahan, Buleleng (2012) dan Fungsi dan Makna Ngusaba Gede Lanang di Truyan, Kintamani, Bangli (2013). Email:
[email protected] JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
87
I Made Sendra
as part of Republic of Indonesia`s territory. As the Dutch government transferred the sovereignty to United Indonesia Republic, the people coming from all over of East Indonesian Republic demanded to dissolve United Indonesia Republic. Accordingly, the Balinese warrior youth claimed to dissolve Bali`s Monarch Council (Dewan Raja Raja) and Bali`s General Assembly (Paruman Agung) changed to be more democratic. In order to revert to unity and integrity of Indonesia, the government of United Indonesia Republic issued the Emergency Regulation Number 44/1950 that changed government system from monarchy system to be more democratic system. That change is indicated by circulated the Republican elite to be Bali`s Governor replaced the institution of Bali`s Monarch Assembly (Dewan Raja Raja) and The Temporary Parliament of Bali`s Province (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) replacing the Bali`s General Assembly (Paruman Agung). The representative of political party who came from republican elite became the member of Temporary Parliament of Bali`s Province. Key Words: Traditional elite, republican elites, federalism, cooperative, commonwealth, non-cooperative, Monarch Assembly, General Assembly
PENDAHULUAN Latar Belakang. Munculnya pergolakan politik di Bali tahun 1946-1950, diwarnai oleh kondisi masyarakat yang berada dalam suasana revolusi. Masyarakat menghendaki terjadinya perombakan tatanan hukum kolonial menuju hukum nasional. Di lain pihak, kembalinya pemerinahan kolonial Belanda yang ingin menegakkan tertib hukum kolonial di Bali, memanfaatkan struktur pemerintahan tradisional (elite raja-raja) di Bali. Bali sebagai bagian dari wilayah RI mulai goyah kedudukannya, setelah ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati 15 November 1946, karena pemerintah RI menyetujui konsepsi pembentukan negara federal (serikat). Untuk mewujudkan berdirinya Republik Indonesia Serikat 88
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
(RIS), maka pemerintah Belanda (Van Mook) mengadakan Konprensi Denpasar 7-12 Desember 1946. Dalam konfrensi ini elite tradisional (raja-raja) di Bali mendukung agar Bali dimasukkan dalam wilayah NIT (Negara Indonesia Timur) sebagai bagian dari wilayah RIS, melepaskan diri dari wilayah RI. Dengan masuknya Bali menjadi bagian wilayah NIT, para elite tradisional (raja-raja) di Bali, mendapatkan kesempatan untuk melegitimasi kedudukannya sebagai penguasa tradisional dibawah tertib hukum kolonial Belanda (Lihat Algemeen Regeeringcommisariaat voor Borneo en de Groote Oost, 1947:31-59). Sesuai dengan bunyi pasal 2 Undang-Undang Pembentukan Gabungan Kerajaan Kerajaan Bali dan Badan Badannya, maka pemerintahan di Bali dipegang oleh Dewan Raja-Raja sebagai lembaga eksekutif (Lihat Oendang2 Pembentoekan Gaboengan Keradjaan2 Bali dan Badan-Badannja, No.1/1947). Di samping Dewan Raja-Raja terdapat Paruman Agung sebagai lembaga legislatif. Pada tingkat swapraja (kabupaten) pemerintahan tetap dipegang oleh raja (zelfbestuurder) yang didampingi oleh seorang kontrolir. Dalam menjalankan tugasnya pada masing-masing swapraja, raja didampingi oleh Paruman Negara sebagai majelis pertimbangan. Walaupun konprensi Denpasar telah memasukkan Bali sebagai wilayah NIT, namun orang-orang republiken (para pejuang) tidak mau mengakui kekuasaan NIT di Bali. Mereka beranggapan bahwa pemerintahan Dewan Raja Raja hanyalah sebagai alat pemerintahan kolonial Belanda dalam usahanya untuk menjajah kembali (Hasil wawancara dengan Bapak I Made Anom). Jelaslah bahwa pergolakan politik di Bali pada periode 1946-1950, tidak hanya menyangkut perbedaan paham antara negara kesatuan (unitaris) dengan negara serikat (federal), tetapi juga diwarnai oleh demokratisasi, vested interest elite raja-raja dan konflik sosial (Lihat I Gusti Ngurah Bagus dalam Widya Pustaka No. 2 Tahun IV Januari 1987). Dari uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahannya, antara lain: (1) Bagaimanakah pergolakan elite politik di Bali periode 1946-1950? (2) Faktor JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
89
I Made Sendra
apakah yang menyebabkan kemunduran peranan elite tradisional (para raja) di Bali tahun 1950-an? Kerangka Konsep dan Teori Untuk menjelaskan pergolakan politik di Bali, dipergunakan pendekatan konflik (conflict approach). Pendekatan ini bertitik tolak dari suatu asumsi bahwa, dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik kepentingan (vested interest conflict) dari elite yang memiliki kekuasaan untuk memelihara bahkan mengukuhkan status quo dan pola-pola hubungan kekuasaan yang telah mapan melawan kepentingan elite lainnya yang berkeinginan untuk merubah atau merombak status quo dan pola-pola hubungan tersebut (Lihat Nasikun, 1974:22-23). Munculnya konflik politik di Bali dalam era 1946-1950, dipengaruhi oleh munculnya suasana revolusioner yang di sebabkan oleh mendaratnya tentara Sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda (NICA) yang ingin menjajah Indonesia kembali. Revolusi menurut P. Hutington (dalam S.N. Eisenstad,1986:5), sebagai suatu perombakan menyeluruh terhadap sistem nilainilai, mitos, lembaga politik, struktur sosial, kepemimpinan serta aktifitas maupun kebijakan pemerintah yang dominan dalam masyarakat. Berdasarkan konsep tersebut di atas, jelaslah bahwa per golakan elite politik di Bali, dipicu adanya perbedaan kepentingan antara elite raja-raja dengan elite pejuang. Elite raja-raja sebagai elite pengauasa (the ruling elites) ingin tetap mempertahankan status quo sebagai penguasa tradisional, sedangkan elite pejuang sebagai elite penentu (strategic elites) ingin menghapuskan kekuasaan Dewan Raja Raja yang dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda di Bali.(Lihat Suzanne Keller,1984:ix). Istilah elite berasal dari bahasa Latin yaitu eligere yang berarti memilih, orang yang menjadi pilihan atau orang yang menduduki posisi tertinggi. Dalam arti umum elite berarti sekelompok orangorang yang megang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. 90
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
Vilfredo Pareto (1968: 8), membagi elite menjadi dua yaitu: elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non governing elite) (Lihat juga W.G. Runciman, 1971:68). Yang dimaksud dengan elite tradisional adalah para raja di Bali yang berhaluan federalis (federalism) yang menginginkan kerjasama yang erat antara Indonesia dengan Belanda. Mereka ini secara turun-temurun memiliki status sosial, ekonomi dan politik, sebagai penguasa tradisional (raja). Legitimasi kekuasaan mereka dicirikan oleh adanya status sosial, pengikut dan koleksi benda-benda pusaka tradisional (Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984:42). Juga terdapat elite federal yang pro RI memilih taktik perjuangan secara kooperatif lewat parlemen; serta elite pejuang yang menolak kerjasama dengan Belanda (non kooperatif) yang memilih melakukan perjuangan secara revolusi fisik di Bali, seperti para pejuang. Perbedaan elite tradisional, elite federal dan elite pejuang didasarkan pada status sosial tradisional mereka, legitimasi kekuasaan, taktik atau strategi perjuangan yang diterapkan. Perjuangan antara elite tradisional yang berhaluan federalis (raja-raja) mengalami kemunduran perannya dalam pemerintahan di Bali dalam tahun 1950-an. Untuk menjelaskan mengapa elite tradisional mengalami kemunduran perannya, akan dijelaskan dengan teori sirkulasi elite. Menurut Vilpredo Pareto (1968:8), sirkulasi elite memiliki pengertian penggantian elite penguasa lama oleh elite penguasa baru. Dalam pergantian ini, kehadirin elite baru sebagai pembaharu (inovator) dan konsolidator. Metodelogi Penelitian Metode sejarah dipergunakan sebagai pedoman atau prinsip kerja, mulai dari pengumpulan data (heuristik), menyeleksi data melalui kritik sumber dan penyusunan rangkaian peristiwa dalam alur cerita sejarah (Louis Gottschalk, 1975:17-18). Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam situasi revolusi fisik di Bali, tokoh-tokoh dalam konfrensi JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
91
I Made Sendra
Denpasar, dan elite Dewan Raja-Raja. Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun (Lihat J. Vredenberg, 1978:88-89; lihat juga Masri Sungarimbun dan Sofian Efendi, 1983:145-146). PEMBAHASAN Restrukturisasi Politik dan Pemerintahan Belanda di Bali Pada tanggal 2 Maret 1946, pasukan pertama Brigade Y (Gajah Merah) mendarat di pantai sanur dipimpin oleh Kol. Pieter Camp dan Let. Kol. Ter Meulen. Sehari setelah pendaratan pasukan Belanda mengadakan pertemuan di Klungkung dengan elite tradisional (para raja) di Bali. Pertemuan ini dihadiri oleh Kontrolir Smith dan pemimpin Pasukan Gajah Merah Let. Kol. Ter Meulen. Kepada para raja diberikan jaminan bahwa, Dewan Raja-Raja dan Paruman Agung duakui sebagai kekuasaan yang sah di Bali. Dengan adanya pengakuan ini, para raja menyatakan kesanggupannya untuk bekerjasama dengan Belanda. Berdasarkan kesanggupan ini, Let. Kol. Ter Meulen menyatakan kepada para raja bahwa, kekuasaan militer Belanda di Bali adalah kekuasaan tertinggi dan peraturan-peraturan penguasa militer harus dipatuhi (S.L. Van Der Wal, jilid III, 1976:582-584). Untuk memudahkan koordinasi pasukan Belanda di Bali, maka pulau Bali dibagi menjadi tiga komando daerah militer, yaitu Gianyar dipegang oleh Kapten Cassa. Klungkung, Karangasem dan Bangli dipegang oleh Letnan Groet. Tabanan, Negara dan Singaraja, dipegang oleh Kapten Ter Wilde. Markas komando pasukan Belanda berkedudukan di Denpasar (Rochmat Hardjawiganda (et al.), 1982:49). Pada tanggal 6 Maret 1946, Van Beuge sebagai opsir Tentara Pendudukan Serikat bagian urusan sipil (Chief Commanding officer Allied Military Administration Civil Affair Branch/COAMACAB), mengadakan pembicaraan informal dengan Gubernur Sunda Kecil Mr. I Gusti Ketut Pudja bertempat di kantor kerajaan Buleleng. Van Beuge menjelaskan bahwa, pertemuan ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan salah faham antara penduduk 92
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
dengan Tentara Pendudukan Serikat. Ia juga menjelaskan tentara Belanda yang mendarata di Bali dipimpin oleh Let. Kol. Ter Meulen, berada di bawah komando pasukan Inggris. Kedatangan pasukan ini bertujuan untuk melucuti tentara Nippon, melepaskan dan mengurusi tawanan perang, menjaga keamanan dan ketertiban. Tentara pendudukan tidak akan mencampuri urusan pemerintahan, karena kewajiban ini tidak diberikan Sekutu kepadanya. Namun kalau ada perampokan dan pembrontakan, maka tentara pendudukan akan mencampuri sesuai dengan permintaan daerah masing-masing. Berdasarkan keterangan ini, Gubernur Mr. I Gusti Ketut Pudja menjelaskan bahwa, Indonesia sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah pusat telah terbentuk, dan Bali berada di bawah kekuasaan gubernur Sunda Kecil (Lihat Nyoman S. Pendit, 1954:103-105). Gubernur menyambut baik pendapat Van Beuge ini, namun kenyataannya Van Beuge akhirnya meminta Gubernur Sunda Kecil untuk mentaati Undang Undang Militer (Militaire Verordening) yang dikeluarkan oleh Mayor Jendral E.C. Manserg selaku Panglima Tentara Serikat di Jawa Timur. Dalam Undang-Undang ini, disebutkan bahwa semua penduduk harus ada di dalam rumah masing-masing pada setiap hari sesudah pukul 19.30 sampai 05.45. Bagi mereka yang melanggar UU ini, akan ditembak atau dituntut di muka pengadilan sipil serta dihukum paling lama tiga bula (Lihat Verordening Number Drie van 1946). Namun permintaan Van Beuge ini ditolak oleh Gubernur Sunda Kecil, karena dianggap mencampuri urusan pemerintahan. Di lain pihak walaupun pemerintah militer Belanda telah mengakui kekuasaan Dewan Raja Raja sebagai kekuasaan yang sah di Bali, namun tampaknya para raja tidak berani secara terangterangan memutuskan hubungan dengan Pemerintah Sunda Kecil. Oleh karena itu Van Beuge merencanakan untuk melakukan penangkapan terhadap gubernur Sunda Kecil beserta aparatnya. Untuk melaksanakan tujuan ini, pada tanggal 12 Maret 1946, Van Beuge mengadakan pertemuan dengan gubernur Sunda Kecil, JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
93
I Made Sendra
ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertempat di rumah gubernur Mr. I Gusti Ketut Pudja. Tiba-tiba rumah ini dikepung dan Kapten Smith memasuki ruangan dan menyatakan gubernur serta kepala jawatan yang hadir ditahan. Penahanan ini atas perintah Major Djendral E.C. Manserg dengan alasan keamanan tidak terjamin, dan pemerintah Sunda Kecil tidak dapat bertanggung jawab terhadap kekacauan yang timbul di Bali (Lihat S.L. Van Der Wal, Jilid III, 1976: 582). Dengan ditangkapnya gubernur Sunda Kecil beserta aparatnya, maka pemerintahan di Bali dipegang oleh Dewan Raja Raja. Pada tanggal 29 Maret 1946, para raja di Bali mengumumkan pernyataan resmi mengakui kekuasaan Belanda di Bali (Lihat N.V.G. Kolff & Co, tanpa tahun: 12). Pada tanggal 4 Juni 1946 Paruman Agung dipanggil oleh COAMACAB untuk mengadakan rapat di Denpasar. Dalam rapat itu COAMACAB memberikan keterangan bahwa, pada tanggal 1 Juli 1946 akan diadakan perundingan antara utusan-utusan dari luar Jawa, bertempat di Malino. Selanjutnya COAMACAB menjelaskan bahwa di Bali sudah ada Paruman Agung maka majelis ini diberikan wewenang untuk memilih wakil-wakil Bali yang akan dikirim ke Malino, antara lain elite tradisional yang berhaluan federal Tjokorde Gde Raka Sukawati (raja Ubud), A.A.Nyoman Pandji Tisna (raja Buleleng), Ide Anak Agung Gde Agung (raja Gianyar); juga elite federal yang pro RI memilih berjuang lewat parlemen, seperti: I Gusti Bagus Oka, Mr Gde Panetja (Lihat Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali, 1951:3-4). Sesuai dengan Staatblad Van Nederlandsch-Indie, No. 17, 1946, Gubernur Jendral akan menyerahkan beberapa hak dan kewajiban pemerintah kepada raja-raja (zelfbestuurder) untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, pada tanggal 24 Juni 1946, Paruman Agung besidang untuk menentukan bentuk ketatanegaraan yang akan dipilih. Dalam sidang tersebut Van Beuge mengusulkan agara Paruman Agung memilih bentuk ketatanegaraan federasi dalam ikatan persemakmuran (gemeenebest) antara Indonesia Belanda. 94
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
Paruman Agung akhirnya menyetujui bentuk ketatanegaraan Indonesia berbentuk federasi. Mengenai status pulau Bali dalam persemakmuran ini, Parumana Agung memberikan mandat kepada utusan ke Malino, agar dapat memperjuangkan Bali berdiri sendiri dalam persemakmuran tersebut. Masuknya Bali Sebagai Bagian dari Wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) Usaha Belanda untuk memecah belah kekuasaan wilayah RI tampaknya berhasil dengan diparafnya persetujuan Linggarjati oleh Sutan Syahrir dengan Schermerhorn tanggal 15 November 1946. Dalam persetujuan tersebut dinyatakan bahwa, pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatra (Lihat pasal 1 Persetujuan Linggarjati). Hal ini berakibat pada kekuasaan RI yang berada di luar wilayah tersebut mulai goyah kedudukannya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Belanda untuk membentuk negara-negara boneka yang nantinya dapat dipergunakan untuk mendukung politik Belanda menghancurkan RI.(Lihat Ida Anak Agung Gde Agung dalam Kompas, Selasa 12 November 1985, hal.8 kolom 5-9). Setelah persetujuan Linggarjati ditandatangani, Belanda mengadakan Konfrensi Denpasar 7-25 Desember 1946 yang mayoritas delegasinya berasal dari elite tradisional (raja-raja). Dalam konfrensi tersebut diputuskan Bali dimasukkan sebagai bagian dari wilayah NIT (Negara Indonesia Timur). Pemerintahan di Bali dipegang oleh Dewan Raja-Raja. Daerah Bali sebagai bagian dari wilayah NIT diberikan status otonomi. Namun prinsipprinsip otonomi yang diterapkan dalam wilayah NIT, lebih banyak menunjukkan usaha Belanda untuk mengekalkan penjajahannya di Bali. Hal ini dapat dibuktikan dari penataan pemerintahan rajaraja di Bali dengan tetap diberlakukannya Peraturan Zelfbestuur 1938.(Lihat Staatsblad Van Nederlands Indie, 1946, No.17, pasal 1 ayat 2 ). Dalam usahanya untuk menata kembali pemerintahan raja-raja di Bali, maka pada tanggal 28 Desember 1946, Paruman JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
95
I Made Sendra
Agung mengadakan rapat di Denpasar dihadiri oleh Dr Boon (Residen Bali-Lombok), Dr. W. Hoeven (Komisaris Pemerintahan Umum untuk wilayah Borneo dan Timur Besar), Presiden NIT Tjokorde Gde Raka Sukawati. Dalam pertemuan tersebut Dr. Boon menjelaskan bahwa, sebagaian besar kewajiban pemerintahan akan diserahkan kepada raja-raja dan raja (zelfbestuurder) pada masing-masing swapraja akan menjadi pelaksana tertinggi.(Lihat Penjoeloeh Bali, Selasa 31 Desember 1946, tahoen ke I, No. 54, hal. I kolom 3-5). Kenyataan ini menunjukkaan bahwa, Belanda dalam usahanya untuk mengekalkan kembali penjajahannya di Bali, menerapkan sistem pemerintahan indirect rule, dengan memanfaatkan kembali sistem pemerintahan pribumi (indigenous power structure) dengan menempatkannya dibawah kontrol pemerintahan Belanda (Kahin, 1952:351). Sesuai dengan ke putusan Letnan Gubernur Jendral tanggal 9 April 1946, maka kepala zelfbestuurder (raja) diberikan kekuasaan untuk membentuk Dewan Pembuat Undang Undang (legislatif), disamping mem bentuk Dewan Penasehat (Adviserende Raad) (Lihat Staatblad Van Nederlands Indie, No. 27, tahun 1946). Oleh karena itu peraturan pembentukan Paruman Agung dan Paruman Negara yang lama harus diganti dengan peraturan yang baru. Peraturan yang baru ini disebut Undang Undang Pembentukan Gabungan Kerajaan Kerajaan Bali dan Badan Badannya. Dalam pasal 1 UU ini disebutkan bahwa, kerajaankerajaan Badung, Jembrana, Tabanan, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Bangli serta Buleleng dipersatukan dalam satu Gabungan Kerajaan Kerajaan Bali. Badan-badan gabungan ini terdiri dari Dewan Raja Raja dan Paruman Agung. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan bahwa, gabungan kerajaan-kerajaan ini akan bekerjasama dalam usaha-usaha: (1) pengiriman wakil-wakil ke Dewan Perwakilan Rakyat Negara Indonesia Timur, dan Dewan Perwakilan Rakyat Negara Indonesia Serikat; (2) mengemukakan kepentingan-kepentingan penduduk daerah Bali kepada pemerintahan Negara Indonesia Timur; (3) 96
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
memberikan bantuan satu sama lainnya untuk meningkatkan kebahagiaan dan kemajuan masyarakat Bali; (4) mengadakan peraturan bersama tentang urusan desa, subak (pertanian), perkebunan, kehutanan, kasta, pengajaran, ibadat, kesehatan umum, perpindahan penduduk, dan pajak bumi; (5) pengesahan bersama-sama terhadap anggaran kerajaan-kerajaan oleh Dewan Raja-Raja.(Lihat Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 Bali, No.1-4 Tahoen 1947). Dewan Raja Raja sebagai lembaga eksekutif berkewajiban untuk: (1) melaksanakan (uitvoering) peraturan-peraturan anggaran dari gabungan kerajaan; (2) membagi-bagi (decentralitatie) pelaksanaan pemerintahan itu kepada masing-masing kerajaan. Pekerjaan sehari-hari pada masing-masing kerajaan tetap dijalankan oleh raja, namun hanya sebagai pelaksana saja. Pengendalian pemerintahan (overheidstaak) dipegang oleh Dewan Raja Raja dalam pekerjaan sehari-hari diwakili oleh seorang ketua yang dipilih diantara kedelapan anggota Dewan Raja Raja; (3) membuat undang-undang (wetgevende) dengan persetujuan Paruman Agung (Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 Bali, No.1-4 Tahoen 1947). Paruman Agung sebagai lembaga pembuat undang-undang (medewetgevende) mempunyai hak-hak parlementer antara lain: hak untuk merubah usul-usul (amandemen), hak mengajukan pertanyaan (interpolasi), hak untuk mengajukan usuk-usul baru (petitie en initiatif), dan tidak boleh dituntut (onschendbaarheid) (Hasil wawancara dengan Anak Agung Gde Djelantik mantan anggota Parlemen Negara Indonesia Timur). Jumlah anggota Paruman Agung sebanyak 40 orang, diantaranya 34 orang dipilih oleh rakyat dan 6 orang diangkat oleh Dewan Raja Raja. Swapraja Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar dan Karangasem masingmasing memilih lima anggota, sedangkan swapraja Jembrana, Klungkung dan Bangli masing-masing memilih 3 anggota (Lihat Penjoeloeh Bali, Djoem`at, 28 Febroeari 1946, tahoen ke 1, No. 72, hal. I. kolom 1-2). Disamping Dewan Raja Raja sebagai lembaga sentral JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
97
I Made Sendra
pemerintahan untuk seluruh Bali, maka pada setiap swapraja dibentuk Paruman Negara. Lembaga ini sesuai dengan pasal 21 Undang Undang Pembentukan Paruman Negara di masing masing kerajaan, berkewajiban untuk membantu raja dalam pemerintahan. Paruman Negara berhak memberikan pertimbangan kepada raja dalam perencanaan anggaran keuangan dan perencanaan UU kerajaan. Ketua Paruman Negara dipegang oleh raja pada masingmasing swapraja. Raja dalam menjalankan tugasnya pada masing-masing swapraja juga didampingi oleh seorang kontrolir yang bertugas untuk mengawasi raja dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam prakteknya pemerintahan Dewan Raja Raja lebih berkuasa daripada Paruman Agung. Hak inisiatif dan interpolasi jarang digunakan, sehingga kedudukan Paruman Agung hanya merupkan Majelis Penasehat (Lihat Notulen Rapat Paruman Agung Tanggal 22 Januari 1948 di Pendopo Bali Hotel). Ini berarti bahwa walaupun pemerintah Belanda telah mengadakan suatu sintesa antara sistem pemerintahan modern dengan sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan adat, namun unsur-unsur demokrasi menjadi semu. Hal ini disebabkan dalam pemerintahan Dewan Raja Raja di Bali tidak adanya pemisahan kekuasaan secara jelas (separatis of power) (Lihat Meriam Budiardjo, 1983: 151-156). Kenyataan ini tampak jelas pada kekuasaan Paruman Agung yang masih tergantung pada Dewan Raja Raja. Pergolakan Politik dan Perubahan Strategi Perjuangan MBO DPRI Sunda Kecil Dengan masuknya Bali ke dalam wilayah NIT dan di tandatanganinya Persetujuan Linggarjati 25 Maret 1947, me nyebabkan terjadinya perubahan suasana politik di Bali. Oleh karena itu, Markas Besar Oemun Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil yang meneruskan perjuangan bersenjata di Bali, setelah Puputan Margarana 20 November 1946, memandang perlu untuk mengadakan perubahan strategi
98
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
perjuangan dibidang politik disamping perjuangan bersenjata. (Wawancara dengan Made Widjakusuma alias Djoko, mantan pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil). Dalam rangka perubahan strategi perjuangan ini, MBO DPRI Sunda Kecil mengadakan pertemuan di Desa Banyuning (Singaraja) tanggal 4-6 April 1947. Pertemuan ini bertujuan untuk membicarakan mengenai masalah kepemimpinan dan strategi perjuangan pasca Puputan Margarana tanggal 20 November 1946. Dalam pertemuan itu dirumuskan strategi perjuangan sebagai berikut: “program minimum perjuangan disusun berdasarkan kekuatan dan kelemahan persenjataan, serta politik perjuangan pemerintahan RI di Jawa, yaitu gerakan militer pasif dan perjuangan politik aktif. Perjuangan ke dalam dan ke luar untuk memelihara semangat pemuda dan rakyat” (Lihat Nyoman S. Pendit, tanpa tahun:263-264). Sesuai dengan garis-garis perjuangan yang sudah ditetapkan oleh MBO DPRI Sunda Kecil, disamping melakukan perjuangan secara illegal, juga dilakukan perjuangan secara ligal (legal strijd), melalui wadah partai politik Partai Rakyat Indonesia (PARINDO). Partai ini didirikan oleh elite pejuang yang pro Republik berjuang secara legal di kota-kota (Lihat Van Der Wal, Jilid IX, 1976:342). Partai ini berdiri tanggal 4 Desember 1946 dalam suatu pertemuan di gedung Hua Chiao Hoh Chung Hui. Ketuanya I Gusti Putu Merta; Wakil Ketua dr. Suarno (seorang nasionalis dari Jawa); Bendahara Ida Bagus Pidada (Wawancara dengan I Made Widjakusuma, mantan pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil). Pada tanggal 13 April 1947, PARINDO mengadakan musyawarah pleno dihadiri wakil-wakil dari cabang Tabanan, dan wakil-wakil yang tidak berbentuk cabang seperti Bangli dan Singaraja.Pada hakekatnya setelah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi Persetujuan Linggarjati, maka PARINDO dapat menerima persetujuan Linggarjati. Hal ini dapat dilihat pada penambahan satu ayat dari pasal 4 Anggaran Dasarnya yang berbunyi:”tanpa melemparkan dasar-dasar
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
99
I Made Sendra
federasi PARINDO berjuang menuju negara kesatuan. Dalam musyawarah ini menghasilkan mosi antara lain: (1) pernyataan solidaritas terhadap RI dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjari. (2) penghapusan keadaan perang di Bali; (3) pembebasan semua tawanan politik; (4) amnesti dan abolisi bagi para pejuang; (5) mendesak ditandatangani komisi bersama Indonesia Belanda untuk meninjau situasi politik di Bali; (6) mendesak diadakannya plebisit untuk menentukan bergabung tidaknya Bali dengan RI di Jawa, seperti bunyi pasal 4 Persetujuan Linggarjati (Lihat S.L. Van Der Wal, Jilid VIII, 1947:246-247). Dengan persetujuan pucuk pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil, maka para pejuang yang ada di daerah Badung, Tabanan, Buleleng dan Bangli menjadi anggota PARRINDO. Untuk menanamkan kesadaran nasionalisme di kalangan masyarakat maka PARRINDO mendirikan Majelis Pendidikan Rakyat (MPR), membangun Sekolah Lanjutan Umum (SLU) dipimpin oleh I Gusti Made Tamba, Sekolah Taman Indria untuk mendidik anak-anak yang berumur 4-6 tahun serta kusrsus-kursus pemberantasan buta huruf (PBH). Sebagai organisasi yang bersifat politik, maka PARRINDO berusaha untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Bali melalui parlemen. Oleh karena itu, PARRINDO berusaha untuk menyususpkan orang-orang yang berhaluan pro republik dalam Paruman Agung dan Paruman Negara (Lihat S.L. Van Der Wal, Jilid XI, 1946:219-220). Beberapa elite pejuang yang berhasil masuk dalam Paruman Agung, seperti: I Gusti Putu Merta, I Ketut Madra, I Nyoman Djelada dan Ida Bagus Putra Manuaba. Mereka berjuang dalam Paruman Agung untuk menyuarakan keinginan masyarakat agar Bali bergabung dengan RI di Jawa, sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat 1 Persetujuan Linggarjati (Hasil wawancara dengan Ida Bagus Pudja, ketua PARRINDO cabang Tabanan). Elite politik yang duduk dalam PARRINDO berusaha mempengaruhi agar anggota Parlemen Sementara Negara Indonesia Timur (NIT) yang berasal dari Bali, seperti: Made
100
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
Mendra, Mr. Gde Panetja, I Gusti Bagus Oka agar memihak kepada RI. Dalam parlemen NIT mereka memperjuangkan melalui pidatopidatonya agar Bali masuk wilayah RI (Hasil wawancara dengan I Gusti Bagus Oka, Sekretaris Jendral Kabinet NIT di Makassar). Pidato-pidato anggota parlemen NIT dari Bali ini mendapat reaksi yang keras dari Dewan Raja Raja di Bali. Berdasarkan mosi tanggal 14 Mei 1947, elite raja-raja di Bali menyatakan: (1) menyetujui kedudukan Bali sebagai daerah otonom dalam lingkungan NIT; (2) tidak menyetujui hak hak pulau Bali sebagai daerah otonom dilepaskan; (3) menyatakan kepercayaan sepenuhnya bahwa, hak-hak pulau Bali sebagai daerah otonom terjamin secukupnya dalam lingkungan NIT; (4) menentang segala anjuran untuk memisahkan Bali dari negara Indonesia Timur (Lihat Nyoman S. Pendit, tanpa tahun terbit: 246). Dari mosi tersebut dapat dimengerti bahwa, elite tradisional (raja-raja) di Bali, merasakan ancaman akan kehilangan kekuasaan tradisionalnya apabila Bali bergabung dengan RI. Oleh karena itu, untuk menandingi berdirinya PARRINDO ini, maka para raja di Bali mendirikan Partai Demokrat Indonesia (PADI). Partai ini didirikan oleh Mayor Polak bersama-sama dengan raja Karangasem, Bangli, Gianyar dan Klungkung pada tanggal 9 Maret 1947. Para pengurus PADI terdiri dari para elite tradisional (keluarga raja dan bangsawan) antara lain: Ketua Cokorde Anom Putra; Wakil Ketua I Gusti Nyoman Kompyang; Sekretaris Tjokorde Gde Rai; Bendahara Kadek Rauh. Pembantu: Anak Agung Gde Ngurah ( di Kerajaan Klungkung); Tjokorde Alit Putra (di kerajaan Gianyar); Anak Agung Gde Oka (di kerajaan Bangli) dan Anak Agung Gde Djelantik (di kerajaan Karangasem). Adapun asas dan tujuan PADI adalah mencapai kemajuan bidang politik, ekonomi dan kebudayaan (Lihat Penjoeloeh Bali, Djoem`at, 14 Maret 1947, Thn ke I No. 76). Dalam kongres PADI tanggal 25 April 1948, partai ini menegaskan bahwa asas federalisme sebagai prinsip dalam perjuangan (Van Der Wal, Jilid XIII, 1976: 564). PADI menolak segala bentuk kekerasan, berjuang untuk mendapatkan pengaruh JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
101
I Made Sendra
dan menempatkan wakil-wakilnya dalam Paruman Agung, Paruman Negara dan parlemen NIT (Lihat Politiek Verslag Van Resident Van Bali en Lombok (Boon) over de Periode 1-15 April 1947). PADI merupakan alat NICA dikalangan raja-raja, berhaluan konservatif ingin mempertahankan bentuk federalisme dan kerjasama antara Indonesia-Belanda. Dalam perkebangannya PADI kurang mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga partai ini tidak banyak menunjukkan aktifitasnya (Wawancara dengan Cri Rsi Ananda Kusuma; mantan pengurus PADI). Elite politik yang duduk di parlemen NIT dari Bali ini, menggabungkan diri dalam fraksi progresif yang berhaluan pro republik dalam parlemen NIT. Fraksi progresif adalah fraksi yang berhaluan oposisi terhadap pemerintahan NIT. Fraksi ini diketuai oleh Arnold Mononutu. Fraksi progresif menegaskan sikapnya terhadap RI yang dianggap pelopor dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Fraksi ini menganggap federalisme bukanlah suatu tujuan tetapi cara untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu fraksi progresif berjuang agar ketua parlemen NIT berada di tangan seorang yang berjiwa pro RI. Selain itu juga ada fraksi nasional sebagai pendukung pemerintah yang pro federalisme. Keanggotan fraksi ini berasal dari elite tradisional (para raja dan sultan). Fraksi nasional memandang federalisme merupakan suatu prinsip dalam perjuangan yang harus di wujudkan secara nyata (Wawancara dengan Mr. Gde Panetja, mantan anggota Parlemen NIT). Para elite tradisional melihat perjuangan yang dilakukan oleh PARRINDO dianggap membahayakan keamanan Bali, maka pada tanggal 9 Juni 1947, para raja di Bali mengadakan pertemuan di Tampak Siring. Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri NIT Ida Anak Agung Gde Agung, Residen Bali dan Lombok (Dr. Boon), serta asisten Residen yang diwakili oleh Mayor Polak. Dalam pertemuan ini para raja memohon kepada Gubernur Jendral untuk melarang PARRINDO berserta cabangcabangnya (nevenorganitatie). Dengan Surat Keputusan Letnan Gubernur Jendral No. 2 tanggal 14 Juni 1947 PARRINDO dengan 102
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
segala usa-usahanya seperti Majelis Pendidikan Rakyat (MPR), Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan Barisan Buruh Indonesia sebagai organisasi terlarang (Lihat Politiek Verslag Bali van Resident Bali en Lombok (Boon) over de eerste helf van Juni 1947). Pembubaran Pemerintahan Dewan Raja Raja dan Kemunduran Peranan Elite Tradisional (Raja-Raja) di Bali Setelah adanya penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda ke RIS di Denhaag, dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, maka keadaan darurat perang di seluruh NIT (Staats van Oorlog) otomatis dihapuskan. Namun di Bali belum terlihat adanya restrukturisai dan likuidasi alat-alat pemerintahan daerah yang dapat mencerminkan sifat-sifat demokratis. Hal ini dapat dipahami karena setelah RIS terbentuk, Bali tetap berada di bawah NIT, sehingga struktur pemerintahan Dewan Raja Raja tetap berjalan. Di lain pihak masyarakat yang masih berada dalam tatanan suasana revolusi, menginginkan agar diadakan perombakan terhadap sistem pemerintahan dari rezim yang sedang berkuasa agar dapat mencerminkan sifat-sifat demokratis. Oleh karena itu, Mangkur (Mantik) mengirimkan surat kepada Poleng yang isinya “kini saatnya kita harus menyusun perjuangan nasional II dengan persiapan lebih matang untuk membuat posisi ketatanegaraan di seluruh daerah dan distrik melawan kekuatan kaum feodal (raja raja) dan kaum reaksioner yang masih ingin tetap mempertahankan kedudukannya” (Pendit, tanpa tahun: 353). Ini berarti revolusi fisik di Bali diwarnai oleh perjuangan antar elite tradisional (raja-raja) yang ingin tetap memelihara dan mengukuhkan status quo dan polapola hubungan kekuasaan yang bersifat radisional dengan elite pejuang. Munculnya elite pejuang yang berhaluan progresif sebagai hasil dari masuknya ide-ide pemikiran demokrasi ala Barat, diinstitusionalisasikan melalui sistem pendidikan modern oleh pememerintah kolonial Belanda. Untuk kepentingan tenaga administratif, pada tahun 1875 pemerintah Belanda membuka JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
103
I Made Sendra
sekolah Tweede Klasse School di Singaraja. Mereka yang pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda ini, tumbuh menjadi elite yang berhaluan progresif. Ketika revolusi fisik di Bali mereka ini merupakan pemuda pelajar yang berpandangan demokratis, menghendaki adanya perubahan sistem pemerintahan tradisional (Dewan Raja Raja). Mereka berpandangan sistem pemerintahan tradisional sebagai alat pemerintahan kolonial Belanda tidak mencerminkan asas-asas demokrasi (Parry, 1969:68-69 ). Untuk mewujudkan demokratisasi dalam sistem pe merintahan di Bali, maka para elite pejuang yang terdiri dari tokoh-tokoh pemuda melakukan kongres di Campuhan Ubud (Gianyar) tanggal 14 – 17 April 1950. Kongres ini dihadiri oleh para pemuda seluruh Bali dari berbagai golongan dan faham, menyetujui keputusan menghapuskan segala rasa sentimen untuk menyongsong zaman baru demi kepentingan pembangunan. Kongres ini menghasilkan keputusan antara lain: (1) agar secepatnya didatangkan TNI ke Bali untuk menjaga keamanan dan menggantikan tentara yang ada di Bali; (2) pemuda-pemuda gerilya yang tergabung dalam Depo Arjuna, supaya diresmikan menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat; (3) Paruman Agung sebagai lambaga kenegaraan yang tidak mencerminkan asas-asas demokrasi supaya digantikan dengan badan lain yang lebih demokratis; (4) agar diadakan perubahan dalam peraturan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Bali, dan diadakan suatu Dewan Pemerintahan yang terdiri dari beberapa ketua dan beberapa orang anggota; (5) agar diadakan reorganisasi kepolisian daerah, karena bentuk yang ada tidak bisa diterima oleh masyarakat; (6) menunjuk tiga orang formatur untuk membentuk susunan pengurus dan merumuskan segala keputusan kongres; (7) mengesahkan nama Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia (KPNI) sebagai organisasi yang mencerminkan hasrat bersatunya pemuda-pemuda seluruh Bali (Kementrian Penerangan, 1953: 57-58). Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia ini berasaskan kebangsaan dan bertujuan untuk menyempurnakan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan. Pada 104
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
tanggal 29 Mei 1950, ketiga formatur yang ditunjuk berhasil memilih Anak Agung Bagus Sutedja sebagai ketua KPNI (Wawancara dengan I Made Mardia, mantan Ketua bagian persenjataan dan pertahanan Markas Badung Tengah). Pergolakan politik di seluruh wilayah NIT semakin meningkat dengan munculnya tuntutan dari pemuda dan rakyat untuk membubarkan RIS dan kembali ke negara kesatuan RI. Pada tanggal 17 April 1950, rakyat dari provinsi Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil mengeluarkan pernyataan untuk melepaskan diri dari NIT dan mempertahankan diri sebagai rakyat RI (Lihat Sourat Pernjataan Dari Rakjat Propinsi Soelawesi, Maloekoe dan Soenda Ketjil, tanggal 17 April 1950). Gejolak politik di seluruh wilayah NIT ini berpengaruh terhadap pergolakan politik di Bali yang menuntut segera diadakan perubahan ketatanegaraan di Bali. Untuk memenuhi tuntutan pemuda pejuang, maka tanggal 8 Juni 1950 Paruman Agung bersidang secara mendadak. Sidang tersebut berhasil merumuskan Peraturan Darurat Daerah Bali Untuk Mengadakan Badan Pelaksana Sementara. Ketuanya adalah Anak Agung Gde Oka (merangkap Ketua Dewan Raja Raja) (Lihat Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 di Bali No. 2, 22 Mei 1950). Badan Pelaksana akan mengambil alih seluruh tugastugas pelaksanaan pemerintahan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Bali, namun dalam pelaksanaan tugasnya badan ini tetap bertanggung jawab kepada Dewan Raja Raja dan Paruman Agung. Sementara itu, untuk menghadapi tuntutan pemuda dan rakyat untuk melepaskan diri dari wilayah NIT dan bergabung dengan RI, maka pemerintah NIT mengeluarkan UU No. 44 NIT/1950, tertanggal 15 Juni 1950. UU ini mengatur tentang perubahan ketatanegaraan di wilayah Indonesia Timur, sehingga tercipta keseragaman pemerintahan di seluruh wilayah NIT. UU ini juga dimaksudkan untuk mengatasi masa peralihan menuju terbentuknya negara kesatuan RI. Oleh karena itu, UU ini disusun berasaskan UU RI No.22 tahun 1948 yang disesuaikan dengan asas-asas demokrasi dalam pemerintahan (Ida Anak Agung Gde Agung, 1985:763-765). JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
105
I Made Sendra
Untuk melaksanakan UU NIT No.44/1950, maka dengan Surat Keputusan (besluit) ketua Dewan Pemerintahan Daerah Bali tertanggal 7 Agustus 1950, No. J 18/1/61, dibentuklah Panitia Penyelenggara yang diketuai oleh I Gusti Putu Merta (wakil pemerintah); anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik, KPNI dan wakil raja-raja. Panitia ini bertugas untuk mengadakan persiapan-persiapan guna melaksanakan UU No.44/1950. Sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 UU NIT No.44/1950, maka daerah Bali tidak lagi diperintah oleh Dewan Raja Raja, tetapi oleh Pemerintah Daerah yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) (Lihat Lembaran Propinsi Nusa Tenggara, No. 1, Seri D Tahun 1956); lihat juga Staatblad Indonesia Timur No.44, 1950). Oleh karena itu, Panitia Penyelenggara UU NIT No.44/1950 memandang perlu untuk membubarkan Dewan Raja Raja, Paruman Agung dan Paruman Negara diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga mencerminkan sifat-sifat demokratis. Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pemerintahan Daerah Bali, tanggal 20 September 1950 maka diputuskan: (1) membubarkan Paruman Agung yang dibentuk berdasarkan UU Gabungan Kerajaan Kerajaan Bali dan Badan-Badannya tanggal 26 Februari 1947; (2) mencabut pasal-pasal dari UU Pembentukan Gabungan Kerajaan Kerajaan Bali dan badan-badannya; (3) membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara; Dewan ini terdiri dari sekurang-kurangnya 36 anggota, sebanyak-banyaknya 45 anggota dengan ketentuan 36 dipilih dan 4-9 orang diangkat oleh Dewan Pemerintahan Daerah Bali (Pengoemoeman Resmi Dewan Pemerintahan Daerah Bali, No. 8 29 November 1950). Pemilihan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dearah Sementara ini, dilakukan oleh partai-partai politik dan organisasi yang ada di daerah Bali. Hal ini dilakukan karena dalam waktu singkat tidak mungkin diadakan pemilihan umum. Pembagian kursi dalam DPRD Sementara diatur dengan cara kompromi di antara partai-partai politik dan organisasi sosial yang ada di Bali. Setelah diadakan pemilihan terhadap anggota Dewan Perwakilan 106
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
Rakyat Daerah Sementara, maka pada tanggal 25 September 1950 diadakan pelantikan terhadap 41 orang anggota DPRDS oleh Ketua Dewan Pemerintahan Daerah Bali Anak Agung Gde Oka bertempat di pendopo Bali Hotel. Mayoritas anggota DPRDS diangkat dari eksponen elite pejuang yang sekaligus mewakili partai-partai politik, seperti: PNI, PSI, IRMI, Masyumi, KPNI, GBI, Persatuan Wanita Indonesia, golongan tani dan orang-orang independen yang tidak terikat partai atau organisasi (Sekretaris Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Bali, hlm. 22). Setelah diadakan pelantikan terhadap anggota-anggota DPRDS, maka dilanjutkan dengan pemilihan ketua dan wakil ketua DPRDS. Dalam sidang tersebut dipilih I Gusti Putu Merta sebagai ketua DPRDS, dan wakil ketua Ida Bagus Oka, sekretaris I Gusti Putu Gde Kuntri. Sesuai dengan bunyi pasal 17 ayat 1 UU NIT, No.44/1950, maka Kepala Daerah Diangkat oleh pemerintah pusat sekurang-kurang dari dua calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lihat Lembaran Propinsi Nusa Tenggara, No. 1 Seri D tahun 1956). Oleh karena itu, pada tanggal 26 September 1950, DPRDS mengadakan rapat pencalonan Kepala Daerah Bali, yaitu Anak Agung Bagus Sutedja dan Tjokorde Anom Putra. Setelah calon ini diajukan ke Jakarta, maka Presiden Sukarno mengangkat Anak Agung Bagus Sutedja sebagai Kepala Daerah Bali. Kepala Daerah menjalankan tugasnya atas nama pemerintah pusat, dalam hal ini ia bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat. Dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepala Daerah didampingi oleh Dewan Pemerintahan Daerah yang sifatnya membantu Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Kepala Daerah merangkap sebagai ketua dan sekaligus sebagai anggota Dewan Pemerintahan Daerah Bali (Lihat Bab II, pasal 2 ayat 3 UU Nr. 44 NIT/1950). Dewan Pemerintahan daerah dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) sebagai lembaga legislatif (Lihat Bab III, pasal 29 ayat 1 UU Nr. 44 NIT/1950). JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
107
I Made Sendra
Pemilihan terhadap anggota-anggota Dewan pemerintahan daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara. Dalam sidang DPRDS tanggal 26 September 1950, telah berhasil memilih anggota-anggota Dewan Pemerintahan daerah Bali dari elite pejuang, antara lain: I Gusti Made Mudra (urusan sosial); I Wayan Dangin (urusan ekonomi); dan I Gusti Bagus Sugriwa (urusan umum). Di tingkat swapraja (kabupaten) dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bagian/Swapraja. Dalam rangka pemilihan terhadap anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja, maka pada tanggal 16 November 1950 DPRDS Bali membentuk panitia untuk mempelajari cara-cara pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja. Panitia ini terdiri dari elite pejuang dan elite federal yang pro republik, seperti I Nyoman Oka (Ketua); I Made Sugita (Wakil Ketua); Mr. I Gde Panetja (anggota). Panitia ini berkeliling Bali untuk mengadakan pembicaraan dengan berbagai organisasi dan partai-partai politik, serta tokoh-tokoh masyarakat. Pada masing-masig swapraja, dibentuk panitia kecil yang diberikan tugas untuk mengadakan kompromi dengan berbagai partai politik, organisasi dan aliran yang ada di swapraja masingmasing. Setelah pekerjaan panitia penyelenggara pembentukan DPR Daerah Swapraja, mendapatkan pengesahan oleh DPRDS, maka, berturut-turut diadakan pelantikan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja oleh Kepala Daerah Bali. Pelantikan terhadap anggota DPRS Daerah Swapraja di seluruh Bali selesai dilakukan tanggal 31 Mei 1951 (Lihat Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat daerah Bali). Sesuai dengan bunyi pasal 17 ayat 5 UU NIT No. 44/1950, Kepala daerah swapraja, dipilih oleh Dewan Perwakilan rakyat Daerah Swapraja dari keturunan swapraja daerah tersebut, berdasarkan pertimbangan kecakapan, kejujuran dan loyalitas (Lihat Bab II, pasal 17 ayat 5 UU Nr. No.44 NIT/1950). Ini berarti Kepala Daerah Swapraja tetap dipegang oleh raja-raja pada masing-masing swapraja. Kepala dearah swapraja merangkap 108
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
jabatan sebagai Ketua Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja (Hasil wawancara dengan A.A. Ngurah Gde Suryaningrat, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara). Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari pada masing-masing swapraja, Kepala Daerah Swapraja didampingi oleh Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja yang diangkat dari elite pejuang untuk mewakili aspirasi partai politik dimana mereka bergabung. Jumlah anggota Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja ditetapkan sebanyak dua orang. Pemilihan terhadap anggota Dewan Pemeringtahan Swapraja dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, Dewan Pemerintahan daerah Swapraja bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja (Reksodihardjo, 1957:37-38). Meskipun Kepala daerah Swapraja masih tetap dijabat oleh elite tradisional yang berasal dari keturunan bangsawan (raja-raja) dari masing-masing swapraja yang ada di Bali, namun anggota Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja sebagai pelaksana pemerintahan sehari-hari, dipilih dari elite pejuang yang mewakili aspirasi partai politik yang ada di Bali. Kepala Daerah Swapraja Badung diangkat dari Tjokorde Ngurah Gde Pemetjutan. Anggota Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja Badung dipilih Tjokorde Ngurah Agung (PNI) dan I Gusti Ketut Arka (PSI). Kepala Swapraja Gianyar diangkap Anak Agung Gde Oka; dengan anggota Dewan Pemerintahan Swapraja Gianyar dipilih I Made Rajeg (PNI) dan Ida Bagus Gde (PSI). Kepala Daerah Swapraja Bangli diangkat A.A. Ketut Ngurah; dengan anggota Dewan Pemerintahan Swapraja Bangli dipilih A.A. Gde Ngurah (PNI), dan Ida Bagus Kaler (PNI). Kepala Swapraja Karangasem diangkat A.A. Gde Djelantik, dengan anggota Dewan Pemerintahan Swapraja Karang Asem dipilih A.A. Gde Suryaningrat (PSI) dan I Wayan Reni Puger (PNI). Kepala Daerah Swapraja Tabanan Tjokorde Ngurah Gde dengan anggota Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja Tabanan dipilih I Nyoman Oka (PNI) dan Ida Bagus Wisnem (PNI). Namun JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
109
I Made Sendra
kemudian Tjokorde Ngurah Gde mengundurkan diri digantikan oleh I Nyoman Oka. Kepala Swapraja Daerah Buleleng Mr. Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik, dengan anggota Dewan Pemerintahan Daerah Swaparja Buleleng diangkat Bagus Ketut Berata (PNI) dan Ida Bagus Indra (PNI). Oleh karena adanya tuntutan dari masyarakat Buleleng agar Mr. Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik mengundurkan diri, maka jabatan ini kemudian digantikan oleh Bagus Ketut Berata. Kepala Daerah Swapraja Jembrana dipilih Anak Agung Bagus Negara, sedangkan Kepala Daerah Swapraja Klungkung adalah Dewa Agung Oka Geg (Hasil wawancara dengan Tjokorde Ngurah Agung, mantan anggota Dewan Pemerintahan Swapraja Badung). SIMPULAN Dari hasil kajian data sejarah tahun 1946-1950-an terungkap bahwa, amanat revolusi untuk mengadakan inovasi dalam sistem perintahan di Bali telah berhasil. Hal ini ditandai dengan mundurnya peranan elite tradisional yang duduk dalam lembaga Pemerintahan Dewan Raja Raja digantikan oleh Kepala Daerah Anak Agung Bagus Sutedja, seorang eksponen elite pejuang. Ini berarti mundurnya peranan elite federal digantikan oleh elite pejuang yang berhaluan unitaris dan demokratis menunjukkan adanya sirkulasi elite di Bali. Sirkulasi ini dibuktikan dengan adanya pemilihan terhadap anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara yang mayoritas anggotanya berasal dari elite eksponen pejuang, mewakili partai politik masing-masing sebagai pencerminan sifat-sifat demokratis pemerintahan. Meskipun Kepala Pemerintahan Daerah Swapraja (lembaga eksekutif) tetap dijabat oleh keturunan elite tradisonal (keluarga raja-raja), namun dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari ia harus mematuhi segala keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja sebagai lembaga legislatif. Di sini juga tampak bahwa dalam masa peralihan menuju sistem pemerintahan daerah yang bersifat demokratis, kedudukan dan peranan elite tradisional (raja raja) dipertahankan oleh UU NIT 110
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
No. 44/1950 pasal 17 ayat 5 yang mencirikan adanya unsur-unsur monarki konstitusionil. Setelah tahun 1950-an Bali memasuki era baru dibawah kepemimpinan yang bercorak demokratis. Pergolakan politik yang kemudian muncul di Bali tidak lagi mencerminkan pergolakan elite tradisional melawan elite pejuang. Elite tradisional berhaluan konservatif-federalis-cooperatif yaitu mempertahankan hubungan kerjasama RIS dengan Belanda dalam struktur negara persemakmuran (Commonwealth ala Inggris) sebagaimana dikehendaki oleh pemerintah Belanda, lewat pengakuan kedaulatan RIS dalam KMB di Denhaag Belanda tanggal 27 Desember 1949. Sedangkan elite pejuang berhaluan progrseif-unitaris-demokratis (berdasarkan prinsip-prinsip negara kesatuan Republik Indonesia) menolak kerjasama (noncooperative) dengan pemerintah pendudukan Belanda, memilih perjuangan secara bersenjata (revolusi fisik di Bali).
DAFTAR PUSTAKA Dokumen Algemeen Regeering Commissariaat Borneo en de Groote Oost, 1947. Koort Overzicht: Van Het Benandelde Ter Conferentie te Denpasar (Batavia: G. Kolff & Co). Algemeen Regeering Commissariaat Borneo en de Groote Oost, 1946. De Conferentie te Denpasar 7-24 December 1946, Deel I. (Batavia: G. Kolff & Co) Lembar Propinsi Nusa Tenggara, No. 1. Seri D Tahun 1956 tentang UU Nr. 44 NIT/1950. Notoelen Rapat Paroeman Agoeng Pada Tanggal 22 Djanoeari 1948 di Pendopo Bali Hotel Di Denpasar. (Koleksi A.A. Gde Arya Puri Agung Amplapura Karangasem). N.V.G. Kolff & Co. Gadja Merah op Bali en Lombok. Batavia, tanpa tahun terbit. Oendang-Oendang Pembentoekan Gaboengan Keradjaan2 Bali dan JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
111
I Made Sendra
Badan-Badannja. No. 1/1947 dalam Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 Bali, No. 2,15. Agoestoes 1947. Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 Bali. No. 1-4 Tahoen 1947. Pengoemoeman Resmi Gaboengan Keradjaan2 Bali. No. 2, 22 Mei 1950 tentang “Peratoeran Daroerat Daerah Bali untoek Mengadakan Badan Pelaksana Sementara”. Pengoemoeman Resmi Dewan Pemerintah Daerah Bali, No.8, 29 November 1950 tentang “Peratoeran Daroerat Pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Sementara di Bali No.7 Daroerat 20 September 1950. Penjoeloeh Bali, Djoem`at, 14 Maret 1947, Tahoen ke I No. 76. (Denpasar: Redactie en Administratie Bali Drukkerij) tentang “PADI Menjelma di Taman Soekasada: Terlahirnja Soeatoe Partai Politik Lagi di Bali”. Penjoeloeh Bali, Selasa 31 Desember 1946. Tahoen ke I No.54. (Denpasar: Redactie en Administratie Bali Drukkerij) tentang “Rapat Paroeman Agoeng Hari Saptoe tgl 28 Desember 1946”. Penjoeloeh Bali, Djoem`at 28 Febroeari 1947, Tahoen I, No. 72. (Denpasar: Redactie en Administratie Bali Drukkerij) tentang “Rapat Paroeman Agoeng Gaboengan Gaboengan Keradjaan2 Bali Dibentoek Setjara Baroe” Politiek Verslag van Resident van Bali en Lombok (Boon) over de Periode 1-15 April 1947. Politiek Verslag van Resident van Bali en Lombok (Boon) over de Eerste helf van Juni 1947. Reksodihardjo, Sarimin. Memori Penjerahan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Nusa Tenggara. Jilid I 1-4-1952 - 30-3-1957. Singaradja: 1957. Sekretariat Dewan Pemerintahan Rakjat Daerah Bali. Peringatan 1 Tahoen Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Bali. Denpasar: 25 September 1951. Staatblad van Nederlands Indie 1946. No. 17 dan No. 27. Soerat Pernjataan Dari Rakjat Propinsi Soelawesi, Maloekoe dan Soenda Ketjil, Tanggal 17 April 1950. Koleksi Arsip Nasional Jakarta. 112
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950
“Verordening Number Drie van 1946, geteekend te Soerabaja, op Vijft Febroeari van het jaar negentient honderd zes en veertig” dalam Verordening van C.C.O. AMACAB 1946”.
Buku dan Artikel Agung, Ida Anak Agung Gde. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985. Agung, Ida Anak Agung Gde. “Dari NIT ke RIS dengan Hati Terbuka Saya Menerimanya” dalam Kompas, Selasa 12 November 1985” halaman I kolom 1-3. Bagus, I Gusti Ngurah, “Masalah Demokrasi Kekuasaan dan Konflik Sosial: Kajian Pendahuluan Tentang Peranan Pemuda Pejuang dalam Tahun Lima Puluhan di Bali” dalam Majalah Widya Pustaka, No. 2, Thn. IV Januari 1987. Boediardjo, Meriam. 1983. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Eisenstaad, S.N. 1986. Revolusi dan Transpormasi Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Haardjawiganda, Rochmat (et al.). 1982. Operasi Lintas Laut Banyuwangi Bali. Djakarta: Departemen Pertahahan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. Kahim, George Mc. Turnan. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: Cornel University Press. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Modern Indonesia Tradition and Transformation. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Keller, Suzanne. 1984. Penguasa dan Kelompok Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: CV Rajawali. Kementrian Penerangan. 1953. Republik Indonesia Sunda Ketjil. Singaraja: tanpa penerbit. Nasikun. 1974. Sebuah Pendekatan untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sosial dan Politik Universitas JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013
113
I Made Sendra
Gadjah Mada. Pareto, Vilfredo. 1968. The Rise and The Fall of The Elites: An Aplication of Theoritical Sociology. New Jersey: The Bed Minstek Press Incorporation. Parry, Gerain. 1969. Political Elites. London: George Allen & Unwin LTD. Pendit, Nyoman S. 1954. Album Bali Berdjuang. Denpasar: Yayasan Kebaktian Pedjuang Daerah Bali. Pendit, Nyoman S. t.t. Bali Berjuang. Jakarta: Gunung Agung. Runciman, W.G. 1971. Social Sciences and Political Theory. Cambridge: The University Press. Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. 1983. Metode Penelitian Survey. (Jakarta: LP3ES). Van de Wal, S.L. 1976. Officialle Bescheiden Betrffende de Nederlands Indoneische Betrekkingen 1945 – 1950. Jilid III, VIII, IX , XI, XIII. `s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
DAFTAR INFORMAN 1. Cokorde Ngurah Agung , 68 tahun, Denpasar 2. Cri Rsi Ananda Kusuma, 75 tahun, Klungkung 3. I Made Mardia, 63 tahun, Denpasar 4. I Gde Panetja, 77 tahun, Singaraja 5. Ida Bagus Pudja, 65 tahun, Denpasar 6. Anak Agung Ngurah Gde Suryaningrat, 64 tahun, Denpasar
114
JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013