PEREMPUAN YANG MEMBATALKAN SHALAT Syaikhudin*
Abstract The hadith that states that “Women, donkeys and dogs break prayers” is a controversial one. Because to many feminine thinkers, it subordinates women to the same level as those two other furry animals, and thus contradictory to universal values of humanity and equality and should therefore be rejected. What is also interesting to note is that this was also questioned in the time of the prophet by Aisyah, who claimed that this tradition insulted women and likened them to bad beasts. Such critical objection is controversial and vital, since Aisyah was one of the people close to the prophet and herself a prominent historical actor of the time. Kata Kunci: Perempuan, Gender, Shalat, Hadis. I. Pendahuluan Adalah sebuah fakta sejarah bahwa salah satu tujuan diutusnya Nabi saw. oleh Allah adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan dan membebaskan mereka dari belenggu budaya patriarki yang mengikatnya. Nabi saw. dan Islam hadir tidak hanya memihak perempuan, tapi juga memandang persamaan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam beribadah maupun dalam hak dan kewajiban beragama, hubungan sesama manusia, berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Sejarah mencatat, melalui al-Qur’an Nabi Muhammad telah melakukan perjuangan menegakkan keadilan gender di tengah budaya patriarki1 yang akut. Nabi melakukan transformasi sosial-kultural atas tradisi Arab. Secara bertahap tapi pasti perempuan kala itu mulai mendapatkan perlakuan yang adil. Ketika ada perempuan lahir kemudian dibunuh secara diam-diam, al-Qur’an * Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi. Email: syaikhudin@ yahoo.com 1 Budaya patriarki merupakan sebuah realitas kehidupan masyarakat yang meliputi tradisitradisi, pola perilaku keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran, dan keyakinan-keyakinan yang menunjukkan keberpihakan kepada laki-laki.
107
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
mengkritiknya dengan nada sinis dan pengingkaran. Demikian halnya ketika masyarakat jahiliah tidak memberikan hak waris pada perempuan, al-Qur’an mereformasinya dengan memberikannya meski separuh. Ironisnya, pasca Nabi wafat, ketika belenggu-belenggu patriarki itu mulai terbuka dan teratasi, mulai muncul kembali keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari hadis yang menjelaskan bahwa wanita setara dengan keledai dan anjing. Bukan hanya itu, wanita, keledai dan anjing sama-sama dapat membatalkan shalat jika ia lewat dihadapan seorang mushalli. Kalau diamati, hadis seperti ini tentu saja kontra produktif dengan cita-cita reformasi sosial-kultural yang diusung Nabi, terutama menyangkut kaum perempuan. Tidak aneh bila kemudian timbul pertanyaan, bagaimana mungkin seorang Nabi mengatakan hadis semacam ini?, bukankah hadis seperti ini malah melukai hati kaum perempuan, seperti yang terjadi pada Fatima Mernissi?,2 dan pada tahap selanjutnya dapat dijadikan sebagai legitimasi laki-laki atas penguasaan perempuan?. Bukan hal mudah memang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Di samping karena secara ‘jelas’ hadis ini menyebutkan bahwa perempuan, anjing dan keledai akan membatalkan shalat, mayoritas penafsiran para ulama yang ada saat ini pun juga tidak banyak bergerak dari hal ini. Selain memaknainya dengan membatalkan shalat, lafadz yaqtau pada hadis ini oleh para ulama juga sebatas dipahami mengurangi kekhusyuan shalat.3 Pemaknaan semacam ini tentu masih jauh dari konsep kesetaraan gender. Perempuan masih menjadi korban. Perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki (subordinasi) dan termarjinalkan. Oleh karena itulah, 2
Fatima Mernissi, seorang feminis asal Maroko ini, di waktu remaja pernah terluka hatinya ketika belajar mendengar hadis ini. Mernissi mengatakan: ”.......Beberapa hadis yang bersumber dari kitab Bukhari, dikisahkan oleh para guru pada kami, membuat hati saya terluka. Katanya Rasulullah mengatakan bahwa: “anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela di antara orang yang shalat dan kiblat”. Perasaan saya amat terguncang mendengar hadis semacam itu, saya hampir tak pernah mengulanginya dengan harapan, kebisuan akan membuat hadis ini terhapus dari kenangan saya. Saya bertanya, “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam ini, yang demikian melukai saya…...Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa begitu melukai perasaan gadis cilik, yang disaat pertumbuhannya, berusaha menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya.” Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1991), 82. 3 Lihat: Al-Nawawi, Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, Vol. II dalam CD-ROM al-Maktabah alSyâmilah, Global Islamic Software, 1997, 266.
108
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
dalam artikel ini akan didiskusikan bagaimana hadis tentang perempuan dapat membatalkan atau mengurangi kekhusukan shalat ini dari perspektif kesetaraan gender. II. Al-Qur’an, Hadis dan Gender Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat non-biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Hal ini tentu berbeda dengan jenis kelamin (seks). Perbedaan biologis jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan yang bersifat permanen dan universal, seperti perempuan memiliki vagina, laki-laki memiliki penis, perempuan melahirkan, dan laki-laki tidak. Sementara gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas konstruksi sosial. Perbedaan yang bukan kodrat dan ciptaan Tuhan, melainkan yang direkonstruksi, baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.4 Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain yang biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial budaya ini. Oleh karena itu, gender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara jenis kelamin (seks) tidak akan pernah berubah. Perbedaan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebenarnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi persoalannya adalah bahwa peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki. Dari sinilah kemudian menimbulkan masalah perbedaan gender yang perlu digugat, yakni ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan-perbedaan gender tersebut. Ketidakadilan tersebut, seperti telah banyak diuraikan para pakar meliputi marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, stereotype (pelabelan negatif), kekerasan (violence), dan beban ganda.5 Di sisi lain, telah lama disadari pula bahwa salah satu faktor yang membentuk dan menghambat proses kesetaraan dan keadilan gender adalah (pemahaman) agama. Tidak sedikit dari teks-teks keagamaan, seperti al-Qur’an maupun hadis, dipahami dan ditafsirkan secara bias gender. Padahal sesungguhnya secara prinsip dasar al-Qur’an, pun juga hadis memperlihatkan pandangan yang egaliter dalam kaitannya dengan persoalan relasi laki-laki dan 4
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42-43. 5 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an…, 41-42.
109
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
perempuan. Beberapa ayat al-Qur’an mengungkapkan prinsip-prinsip dasar ini, seperti:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.6
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.7
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.8
Sedangkan Nabi saw. dalam sabda sucinya mengatakan:
“…Kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki”.9 6
QS. Al-Hujurat [49]: 13. QS. Al-Nahl [16]: 97. 8 QS. Al-Taubah [9]: 71. 9 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, No. 204 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997. Lihat juga: Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizî, No. 105 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997. 7
110
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
“…Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kamu, tetapi Allah melihat hati dam amal perbuatan kamu”.10
Statemen al-Qur’an dan Nabi saw. di atas dapat dipandang sebagai sebuah langkah spektakuler dan revolusioner. Bagaimana tidak, di tengah masyarakat Arab yang bersosio-kultur patriarki, Islam hadir dengan sesuatu yang begitu berbeda. Ia tidak saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi juga mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan dan tradisi yang diskriminatif dan misoginis, yang telah sekian lama dipraktikkan oleh masyarakat Arab.11 Perempuan yang di masa pra Islam begitu rendah dan murah serta diperlakukan seperti barang, kemudian didekonstruksi oleh Islam. Pandangan dan praktik-praktik yang misoginis dan diskriminatif, seperti membunuh dan mewariskan perempuan, diubah dan diganti dengan pandangan yang adil dan lebih humanis. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi dan kemerdekaan perempuan. Hak-hak mereka dikembalikan selayaknya manusia merdeka pada umumnya, seperti hak berpolitik, hak untuk belajar, dan hak untuk bekerja.12 Kepemimpinan langsung Aisyah, istri Nabi saw. pada waktu Perang Unta (656 M.) menghadapi Ali ibn Abi Thalib adalah contoh bahwa perempuan dapat terlibat dalam politik. Sedangkan dalam hal pekerjaan, lebih banyak lagi para perempuan yang tercatat. Khadijah binti Khuwailid, selaku istri pertama Nabi, tercatat sebagai seorang pedagang yang sangat sukses. Istri Nabi yang lain, Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja menyamak kulit binatang yang hasil usahanya ia sedekahkan. Selain itu masih ada pula Ummu Salim binti Malhan yang bekerja sebagai perias pengantin, al-Syifa’ yang bekerja sebagai petugas yang menangani pasar Kota Madinah sebagaimana ditugaskan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, dan masih banyak lagi yang lain.13 10
Muslim, Sahîh Muslim, No.4651 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997. 11 K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2009), 22. 12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2009), 425-435. 13 Shihab, Membumikan al-Qur’an…429-430.
111
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
Aktifitas-aktifitas seperti di atas tentu merupakan sebuah bukti bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana laki-laki. Perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi peran sosial di ruang publik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara prinsip dasar Islam sangat mengagungkan egaliterianisme antar manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, agama, dan ras. III. Antara Perempuan, Keledai, Anjing dan Terputusnya Shalat Hadis yang menyebutkan bahwa perempuan, keledai dan anjing dapat memutuskan shalat jika ia melintas di hadapan seseorang yang sedang shalat merupakan salah satu hadis yang tetap hangat diperbincangkan hingga sekarang. Hadis ini oleh para pemikir feminis dipandang sebagai hadis misoginis dan diskriminatif. Sejauh pengetahuan penulis, hadis-hadis tentang terputusnya shalat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam al-kutub al-tis’ah jumlahnya sangat banyak, yakni sekitar 34 hadis.14 Di dalam kitab Sahih Bukhari terdapat 2 buah, Sahih Muslim 4 buah, Sunan al-Tirmizî 2 buah, Sunan Abû Dawud 3 buah, Sunan al-Nasa’i 2 buah, Sunan Ibn Majah sebanyak 5 buah, Sunan alDarimî 1 buah, dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah. Dalam sahîh Muslim, salah satu redaksi hadis menyebutkan bahwa shalat seseorang akan terputus ( ) َطْقَيbila melintas di depannya seorang wanita, seekor keledai, dan anjing. Bunyi redaksi hadis tersebut adalah:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, telah memberitakan kepada kami al-Mahzumi, Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahid, yakni Ibn Ziyad, Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah ibn Abdillah ibn al-Asam, Telah menceritakan kepada kami Yazid ibn al-Asam, dari Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dapat memutuskan salat, yaitu wanita, keledai, dan anjing. Dan tinggallah hal itu seperti seukuran ekor kendaraan.”15 14
Kesimpulan ini penulis peroleh setelah melalui proses penelitian melalui media digital CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997. 15 Muslim, Sahîh Muslim, No. 790 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997.
112
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
Redaksi yang bunyinya sama dengan hadis riwayat Muslim ini juga terdapat pada hadis riwayat Ibn Majah nomor 940 dan Ahmad ibn Hanbal nomor 9126 dan 7642. Dari segi sanad, para periwayat hadis ini tidak ada yang dinilai cacat (jarh) oleh para ulama ahli hadis. Kesemua periwayatnya dinilai positif (ta’dil). Oleh karena itu, dari segi sanad hadis ini dapat diterima.16 Ketiadaan penilaian negatif terhadap para periwayat oleh para ulama hadis juga terjadi pada hadis yang diriwayatkan melalui sahabat ‘Abdillah ibn Mugaffal. Keseluruhan periwayat hadis ini, sejauh analisa penulis, tidak ada ulama yang men-jarh-nya. Kesemuanya dinilai siqah (kredibel). Isi dari hadis Mugaffal ini persis sama dengan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Yang mana dikatakan bahwa akan terputus ( َ ) عَطْقshalat seseorang bila melintas di depannya seorang wanita, seekor keledai, dan anjing. Keberadaan hadis ini bisa ditemukan pada kitab Sunan Ibn Majah dengan nomor hadis 94117 dan Musnad Ahmad bin Hanbal nomor hadis 19663. bunyi redaksi hadis yang terdapat pada Musnad Ahmad bin Hanbal adalah:
“Telah menceritakan kepada kami Abd al-A’la, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, dari al-Hasan, dari Abdillah ibn Mugaffal, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Dapat memutuskan salat, yaitu perempuan, keledai dan anjing”.
Sedangkan pada hadis lain, yang diriwayatkan melalui sahabat Ibn ‘Abbas yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud dengan sedikit perbedaan redaksi, disebutkan bahwa yang memutus shalat adalah perempuan yang haid dan anjing. Sedangkan keledai tidak disebutkan. 16
Para ulama’ klasik memberikan standard kesahihan suatu hadis dengan: 1) kebersambungan sanad, 2) periwayat bersifat ‘âdil, 3) periwayat bersifat dâbit, 4) terhindar dari syaz, dan 5) terhindar dari ‘illat. Lihat, Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 111. Ketiga kriteria yang disebutkan pertama khusus diperuntukkan pada aspek sanad, sedangkan dua kriteria terakhir berkaitan dengan aspek sanad dan matan sekaligus. Dengan demikian berarti bahwa, kriteria kesahihan sanad hadis mencakup lima aspek, sedangkan kriteria kesahihan matan hanya mencakup tidak syaz dan tidak ‘illat saja. 17 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, No. 941 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997.
113
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah. Ia berkata (bahwa) aku mendengar Jabir ibn Zaid menceritakan dari Ibn Abbas yang ditambahkan oleh Syu’bah (bahwa) ia berkata: “Dapat memutuskan salat, yaitu perempuan yang haid dan anjing. Abu Dawud berkata (bahwa) Sa’id, Hisyam dan Hammam mencegahnya dari Qatadah, dari Jabir ibn Zaid atas Ibn ‘Abbas.18
Namun pada riwayat Ibn Majah, masih melalui sahabat Ibn ‘Abbas ditambahkan dengan anjing hitam.
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ibn Khallad al-Bahili, telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa’id, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah menceritakan kepada kami Jabir ibn Zaid, dari Ibn Abbas, Dari Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam dan wanita yang haid”.19
Dari aspek sanad, para periwayat hadis yang melalui jalur sahabat Ibn Abbas ini juga tidak ada yang cacat (jarh) di mata para ulama hadis. Oleh karena itu, sebagaimana hadis-hadis yang lain sebelumnya, hadis Ibn Abbas ini juga dapat diterima dari aspek sanad atau rangkaian perawinya. Meskipun dari aspek sanad hadis ini dapat dipertanggung jawabkan, bukan berarti bahwa hadis ini dapat begitu saja diterima dengan tanpa reserve. Seperti diketahui bahwa dalam studi hadis selain aspek sanad, aspek matan 18
Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, No. 603 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997. 19 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, No. 939 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997.
114
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
hadis pun juga perlu diteliti. Jadi, meskipun dari aspek sanad suatu hadis dinilai shahih, tidak menutup kemungkinan dari aspek matannya tidak demikian.20 Pada salah satu hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan beberapa al-Kutub al-Tis’ah yang lain dikisahkan bahwa Aisyah, istri Nabi saw. menggugat terhadap eksistensi hadis tentang perempuan, keledai dan anjing dapat membatalakan shalat ini. Aisyah secara lantang mengatakan bahwa “Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing. Demi Allah, aku telah melihat Rasulullah saw. shalat dan aku berbaring di atas tempat tidur, posisiku adalah di antara beliau dan kiblat”. Gugatan Aisyah ini secara lengkap adalah sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami Ismail ibn Khalil, telah menceritakan kepada kami Ali ibn Mushir, dari al-A’masy, dari Muslim, yakni Ibn Subaih, dari Masruq, dari ‘Aisyah: Sesungguhnya dikatakan (sebuah pertanyaan) dekat ‘Aisyah tentang apa yang dapat memutuskan shalat? Para sahabat (audiens) menjawab (bahwa) anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan shalat. Kemudian ‘Aisyah berkata: “Sungguh telah kalian jadikan (samakan) kami (wanita) dengan anjing. Sesungguhnya aku melihat Nabi saw. shalat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi). Kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tak ingin berhadapan dengan beliau, maka aku mundur secara perlahan.”21
20
Mengenai kriteria sebuah matan hadis dinilai maqbul, Salahudin al-Adlabi menetapkan empat tolak ukur, yaitu; (1) tidak bertentangan dengan al-Qur’an; (2) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah (4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Lihat: Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 210-280. 21 Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, No. 481 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997.
115
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
Dalam riwayat lain, seperti yang terdapat dalam Sahih Muslim, kritik Aisyah juga tampak begitu keras. Ia mengatakan bahwa jika perempuan dapat memutuskan shalat sebagaimana keledai dan anjing berarti perempuan adalah “binatang” yang buruk. Kata binatang yang diucapkan Aisyah ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya orang Arab awal pun juga memahami bahwa hadis ini telah menyamakan kaum perempuan dengan binatang. Redaksi hadis yang penulis maksud ini adalah:
Telah menceritakan kepada kami Amr ibn Ali, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Bakr ibn Hafs, dari Urwah ibn al-Zubair. Ia berkata (bahwa) Aisyah bertanya (kepada Urwah dan teman-teman) apakah yang dapat memutuskan shalat? kami menjawab, “wanita dan keledai”. Kemudian Aisyah mempertanyakan: “Jadi, kalau begitu, perempuan adalah binatang buruk. Tahukah kalian bahwa aku pernah berbaring melintang di hadapan Rasulullah saw. seperti melintangnya jenazah dan sedangkan beliau sedang shalat.”22
Beberapa kritik yang dilontarkan oleh Aisyah di atas mengindikasikan bahwa sejak semula hadis tentang perempuan dapat memutuskan shalat ini memang bermasalah, terutama dalam aspek muatan isi atau matannya.. Sehingga tidak aneh bila kemudian di kalangan para ulama terdapat perbedaan interpretasi dan kesimpulan. Sebagian mereka mengambil hadis Abu Hurairah dkk., sedangkan sebagian lagi mengambil pendapat Aisyah. Imam Nawawi dalam kitabnya merangkum beberapa pendapat para ulama terkait seputar hadis ini. Nawawi menyebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ini telah dinasakh oleh hadis lain, yaitu hadis yang berbunyi “shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu apa pun, dan hinda-
22
Muslim, Sahîh Muslim, No. 793 dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997.
116
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
rilah sekuat tenaga kalian.”23 Namun, menurut Nawawi pendapat ini tidak dapat diterima karena baginya naskh hanya digunakan terhadap hadis-hadis yang tidak bisa ditafsirkan dan dikompromikan ( ) ْمَجْل. Selain itu, hadis “shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu apa pun’ ini juga merupakan hadis daif.24 Nawawi melanjutkan, mayoritas ulama memandang bahwa melintasnya salah satu dari tiga faktor, yakni perempuan, keledai dan anjing tidak membatalkan shalat. Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Malik, Abu Hanifah, Syafi’i., dan mayoritas ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Mereka menginterpretasikan lafad ( ُعَطْقَيterputus) dengan berkurangnya kwalitas shalat karena hati disibukkan dengan salah satu ketiga hal tersebut. Lafad ُعَطْقَيtidak berarti membatalkan shalat. Adapun Ahmad ibn Hanbal berpendapat sedikit berbeda. Ia mengatakan bahwa anjing hitam dapat membatalkan ( ) ُعَطْقَيshalat. Sedangkan perempuan dan keledai dapat mengganggu kekhusyukan.25 Sedanglan Aisyah dan para ulama sesudahnya yang mengikuti pendapat Aisyah berargumentasi bahwa wanita bukanlah termasuk faktor yang menyebabkan terputusnya shalat seorang laki-laki. Oleh karenanya, diperbolehkan mengerjakan shalat meskipun ada wanita lewat di depannya.26 Dari sini, yakni dari beberapa analisa di atas, tampak bahwa hadis ini memiliki masalah, terutama kaitannya dengan relasi gender. Adanya gugatan dari Aisyah dan ulama yang lain, seperti dijelaskan Nawawi adalah cermin dari adanya problem tersebut. Oleh karena itulah kiranya hadis tentang wacana shalat dan perempuan ini kemudian perlu dilihat kaitannya dengan relasi gender, sebagaimana yang akan dibicarakan di bawah ini.
23
Hadi ini di antaranya terdapat dalam Sunan Abi Dawud dengan nomor hadis 617. redaksi lengkapnya adalah seperti ini:
24
Al-Nawawi, Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, Vol. II dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997, hlm. 266. 25 Al-Nawawi, Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, Vol. II dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997, hlm. 266. 26 Al-Nawawi, Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, Vol. II dalam CD-ROM al-Maktabah al-Syâmilah, Global Islamic Software, 1997, hlm. 267.
117
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
IV. Refleksi Kesetaraan Gender Atas Hadis Perempuan, Keledai dan Anjing Dapat Membatalkan Shalat Komaruddin Hidayat pada salah satu bukunya menguraikan bahwa setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki variabel, antara lain suasana politis, ekonomi, psikologis dan lain sebagainya sehingga ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks, maka sangat potensial akan melahirkan salah paham di kalangan pembacanya. Atau setidaknya pengetahuan yang diperoleh melalui sebuah wacana lisan akan berbeda dengan pengetahuan yang didapat hanya melalui bacaan.27 Demikian halnya dengan teks-teks hadis. Problem understanding dan meaning terhadap matan sebuah hadis merupakan sesuatu yang sangat signifikan di kalangan umat Islam, terutama dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Hal ini didasari pada suatu asumsi, bahwa teks atau matan hadis bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, vacum histories,28 melainkan, di balik sebuah teks atau matan, sesungguhnya terdapat banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadis. Tanpa memahami berbagai variabel dan situasi dibalik teks –misalnya suasana historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya- maka akan sangat potensial melahirkan kesalah pahaman penafsiran. Di samping itu, teks-teks hadis pada dasarnya tidak hanya memuat wacana praktikal dan verbal ‘teladan Nabi’ semata, tetapi juga memuat tradisi praktikal dan verbal para sahabat dan generasi awal Islam -yang dianggap merujuk dari teladan Nabi- sebelum terkodifikasi ke dalam kitab-kitab hadis yang memakan proses waktu kurang lebih dua abad pasca wafatnya Nabi.29 27
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 17. 28 Pernyataan vacum historis ini diinspirasi pada pernyataan gadamer yang menyatakan bahwa, setiap pemahaman selalu merupakan sesuatu yang bersifat historis dialektik dan sekaligus merupakan peristiwa kebahasaan. Sebagai hal yang bersifat historis, pemahaman sangat terkait dengan sejarah, dengan pengertian bahwa pemahaman itu merupakan fusi dari masa lalu dengan masa kini. Lukman S. Thahir, “Memahami Matan Hadis Lewat Pendekatan Hermeneutik” dalam Hermenia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2002, 27. 29 Nurun Najwah, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-Hadis “Substansi” Perempuan: Pendekatan Hermeneutik” dalam Amir Mahmud dkk., Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), 174.
118
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
Dalam kaitannya dengan hadis tentang perempuan, keledai dan anjing dapat memutus shalat di atas, maka perlu kiranya diletakkan dalam posisi pemahaman yang bersifat humanis-universal dan tidak bias gender. Ia meski dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis dan kontekstual karena menunjuk pada persoalan partikular, bukan dipahami sebagai teks yang bersifat normatif-tekstual. Dengan pemahaman yang bersifat sosiologis dan kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan pemaknaan. Dengan kata lain, setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang harus selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan. Secara kasat mata, isi hadis tentang perempuan dapat memutus shalat di atas memang cukup mendiskreditkan kaum perempuan. Mereka bisa dibilang tidak berbeda dengan anjing dan keledai. Bahkan status perempuan adalah pelaku, bukan korban. Hal ini tentu sangat wajar bila kemudian muncul pertanyaan-pertanyaaan semisal, bagaimana bisa melintasnya perempuan dapat membatalkan shalat?, mengapa Nabi hanya menyebutkan perempuan saja, sedangkan laki-laki tidak?, secara sosiologis, apakah yang membedakan antara keduanya, terutama dalam persoalan ibadah,? bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa yang membedakan antara keduanya adalah ketaqwaannya?. Menyikapi hal seperti ini penulis memandang bahwa apa yang termaktub dalam hadis ini adalah sebatas pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran (perintah agama). Hal ini karena redaksi hadis tersebut datang dalam bentuk narasi (ikhbar). Oleh karena itu, hadis ini haruslah dihadirkan dan dipandang sebagai suatu petunjuk belaka yang tidak memuat ketentuan hukum. Dengan begitu maka pemahaman yang mensubordinasikan perempuan dapat dihindarkan. Selain itu, kata “perempuan” dalam hadis ini perlu diletakkan dalam pengertian simbolik (ramzi).30 Dengan artian bahwa yang dimaksud perempuan di sini adalah apa saja yang membuat seseorang menjadi tertarik untuk mengamatinya (tergoda). Hal itu bisa berupa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, atau pun yang lainnya. Penempatan makna simbolik ini tak lepas 30
Seperti dijelaskan oleh Syuhudi Ismail bahwa bila dilihat dari matannya, hadis Nabi ada yang bereupa jami’ al-kalim, yakni ungkapan yang singkat namun padat, tamsil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), qiyasi (ungkapan analogi), dan lain-lain. Lihat: Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 9.
119
Musãwa, Vol. 10, No. 1 Januari 2011
dari kenyataan umum bahwa wanita adalah sumber keindahan yang sering – untuk tidak mengatakan selalu- dijadikan figur daya tarik. Pun demikian, dengan menempatkan hadis ini dalam kerangka simbolik, penulis rasa hal tersebut lebih menyentuh nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap orang lain, siapa pun dia. Sehingga kemudian tidak ada yang merasa dirugikan, terutama dari kaum perempuan. Lebih dari itu, mesti dipahami pula bahwa kenyataan sejarah yang melahirkan hadis ini adalah lingkungan masyarakat yang berkebudayaan patriarki sangat akut. Hampir sama sekali tidak ada ruang bagi perempuan untuk dapat mengekpresikan otonomi mereka sebagai manusia. Kehidupan mereka, baik secara pribadi maupun sosial dikontrol oleh laki-laki. Sehingga tidak aneh bila konteks hadis tersebut sangat terkesan dengan budaya sosio kultur masyarakat Arab yang belum bisa menerima perempuan sama dengan lakilaki pada umumnya. V. Simpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis yang menjelaskan perempuan, keledai dan anjing dapat memutus shalat meskipun dari aspek sanad dapat dipertanggung jawabkan, namun dari aspek matannya (muatan isi) terdapat masalah. Hal ini dibuktikan dengan gugatan yang ditunjukkan Aisyah terhadap eksistensi hadis tersebut. Di samping juga adanya bias gender yang terkandung di dalamnya. Meski demikian, bukan berarti bahwa hadis tersebut ditolak begitu saja. Pemahaman terhadap teks-teks hadis tersebut tidak harus ditempatkan secara apa adanya (tekstual), tetapi harus diletakkan pada posi kontekstualnya, yakni lebih kepada ide moralnya dan nilai-nilai universalnya. Dalam kaitannya dengan kesetaraan gender, hadis ini haruslah dihadirkan dan dipandang sebagai suatu petunjuk belaka yang tidak memuat ketentuan hukum. Selain itu, kata “perempuan” dalam hadis ini juga perlu diletakkan dalam pengertian simbolik (ramzi). Hal ini karena, hadis tersebut pada dasarnya terkait dengan konstruksi sosial-budaya, yang harus dipandang sebagai bentuk dialogis-komunikatif dan adaptif Nabi terhadap masyarakat Arab secara bertahap. Dengan begitu, hadis wacana shalat ini dapat dipandang sebagai respon Nabi terhadap apa yang berlaku dan terjadi pada saat itu. 120
Syaikhudin, Refleksi Perempuan Atas Wacana Shalat
DAFTAR PUSTAKA Al-Adlabi, Salahudin ibn Ahmad. Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1997. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996. Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Ismail, Syuhudi. Kaedah Keshahihan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Mernissi, Fatima. Wanita Dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, 1991. Muhammad, K.H. Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2009. Najwah, Nurun. “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-Hadis “Substansi” Perempuan: Pendekatan Hermeneutik” dalam Amir Mahmud dkk., Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2009. Thahir, Lukman S. “Memahami Matan Hadis Lewat Pendekatan Hermeneutik” dalam Hermenia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2002.
121