PEREMPUAN MADURA DI ANTARA POLA RESIDENSI MATRILOKAL DAN KEKUASAAN PATRIARKAT Mohammad Hefni Pascasarjana STAIN Pamekasan Jl. Pahlawan KM 04 Tlanakan Pamekasan email:
[email protected] Abstrak: Dalam kajian antropologis, pola menetap setelah kawin (post-marital residence) menjadi bidang yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini terdapat sebuah teori yang disebut sebagai main sequence kinship theory (teori kekeluargaan rangkaian utama), yakni pola dalam post-marital residence yang berbeda menghasilkan susunan kekerabatan dan pola kekuasaan yang berbeda. Pola residensi matrilokal selalu ditemukan dalam sistem kekerabatan matrilineal dan relasi kekuasaan yang bersifat matriarkat. Sebaliknya, pola residensi patrilokal selalu ditemukan dalam sistem kekerabatan patrilineal dan relasi kekuasaan yang bersifat patriarkat. Rangkaian pola yang demikian telah ditemukan di beberapa tempat. Namun demikian, pola rangkaian tersebut tidak terjadi di Madura. Masyarakat Madura menganut pola redisensi matrilokal, tetapi pola kekuasaannya bersifat patriarkhal dan sistem kekerabatannya bersifat bilateral. Kombinasi pola yang demikian terjadi karena adanya negosiasi antara adat dan hukum Islam. Abstract: In the study of anthropology, post marital residence becomes an interesting topic to study. It concerns a particular theory so-called main sequence kinship theory. It states that different patterns of post-marital residence produce different family structure and power pattern. Matrilocal-residency pattern has frequently found in the matrilineal family system and within matriarchal power relation. Conversely, patrilocal-residency has often recognized in the patrilineal family system and within patriarchal power relation. These series of pattern has been identified in several places. However, the series of patterns does not occur in Madura. Madurese tend to adopt matrilocal-residency but undergo patriarchal power relation. Hence, they characterize bilateral family system. This pattern combination is the result of negotiation between customary and Islamic laws. Kata Kunci: Matrilokal, patriarkat, bilateral, perempuan, Madura.
Pendahuluan Sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, perkawinan secara sosiologis dipandang sebagai sebuah lembaga sosial yang memberikan
pengakuan kepada pasangan laki-laki dan perempuan beserta anak yang dila-
Mohammad Hefni
hirkannya dalam sebuah unit keluarga.1 Salah satu aspek dalam perkawinan yang mendapatkan perhatian serius para antropolog adalah tentang pola menetap sesudah perkawinan (post-marital residence). Murdock,2 misalnya, menyatakan bahwa pola residensi setelah perkawinan mencerminkan sebuah sistem organisasi sosial dalam keluarga, seperti sistem kekerabatan dan distribusi kekuasaan dalam keluarga. Dalam bentuknya yang umum, pola yang demikian dikenal sebagai main sequence kinship theory (teori kekeluargaan rangkaian utama).3 Dengan teori ini, pola dalam post-marital residence yang berbeda menghasilkan susunan kekerabatan dan pola kekuasaan yang berbeda. Pola residensi matrilokal selalu ditemukan dalam sistem kekerabatan matrilineal dan relasi kekuasaan yang bersifat matriarkat.4 Sebaliknya, pola residensi patrilokal Dictionary of Sociology and Related Sciences (New York: Dell Publishing Co., Inc., 1966), hlm. 257. 2G.P. Murdock, Social Structure (New York: Macmillan, 1949), hlm. 221-222. 3R. Fox, Kinship and Marriage (Harmondsworth, Middlesex: Penguin, 1967); R. Naroll, “What Have We Learned from Cross-Cultural Survey?”, American Anthropologist, No. 71 (1992), hlm. 12271288. 4Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak Ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkat atau matriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (Latin) yang berarti "ibu", dan linea (Latin) yang berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu". Sementara itu, matriarkat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti "ibu" dan archein (Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "matriarki" berarti "kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan”. Di sisi lain, patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Demikian juga, kata ini seringkali disamakan
selalu ditemukan dalam sistem kekerabatan patrilineal dan relasi kekuasaan yang bersifat patriarkat. Beberapa penelitian telah menunjukkan keberlakuan teori tersebut. Pola matrilokal-matrilineal-matriarkal, misalnya, ditunjukkan oleh hasil penelitian Sear5 dan Phiri 19836yang meneliti masyarakat Chewa (sebuah wilayah di Malawi Afrika). Mereka menemukan bahwa perempuan di wilayah ini tetap tinggal bersama ibunya setelah perkawinan dan diwarisi tanah untuk dikelola bersama-sama suami dan anak-anaknya. Dalam keadaan demikian, seorang lakilaki yang kawin menjadi anggota subordinat dan bergantung dalam sebuah keluarga dikarenakan pemberlakuan otoritas matriarkat dan norma-norma perkawinan matrilokal. Dalam hal ini, seorang perempuan dipandang sebagai penghasil utama, terutama dalam bidang ekonomi keluarga.7 Pola yang sama
1Fairchild,
212 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (Latin) yang berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah". Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti "ayah" dan archein (Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriarki" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak lakilaki”. Lihat Peter Davies, The American Heritage Dictionary of The English Language (New York: Dell Publishing Co., Inc., 1977) 5Rebecca Sear, “Kin and Child Survival in Malawi: Are Matrilineal Kin Always Beneficial in a Matrilineal Society”, Human Nature, Vol. 19, No. 3 (2008), hlm. 277-293. 6K.M. Phiri, “Some Change in the Matrilineal Family System among the Chewa of Malawi sice the Nineteenth Century”, Journal of African History, No. 24 (1983), hlm. 257-274. 7John Njunga dan Astrid Blystad, “’The divorce program’: gendered experiences of HIV positive mothers enrolled in PMTCT programs -the case of rural Malawi”, International Breastfeeding Journal,
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
terjadi pada masyarakat Pumé di Venezuaela,8 masyarakat Cham di Delta Mekong Vietnam,9 beberapa wilayah di Thailand,10 dan beberapa wilayah di India, seperti Nair, Mappile di Kerala, kelompok-kelompok suku di pulau Minicoy, Kashi, Jaintia, dan Garo di Meghalaya,11 serta masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat.12
Vol. 5, No. 14 (2010), http://www.internationalbreastfeedingjournal.co m/content/5/1/14. diakses tanggal 2 Nopember 2012 8Karen L. Kramer and Russell D. Greaves, “Postmarital Residence and Bilateral Kin Associations among Hunter-Gatherers: Pumé Foragers Living in the Best of Both Worlds”,Human Nature, No. 1(April, 2010) 9Rie Nakamura, “The Cham Muslims in Ninh Thuan Province, Vietnam”,Islam at the Margins: The Muslims of Indochina,ed. Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto(Center for Integrated Area Studies, Kyoto University Kyoto, Japan, 2008) 10 Lihat Brian L. Foster, "Continuity and Change in Rural Thai Family Structure" Journal of Anthropplogical Research, No. 31, (1975), hlm. 34-50; Kamnuansilp & Cowgill. A Family Cycle Analysis of Family Structure and Fertility in Thailand (Bangkok: Research Center, National and Institute of Development Administration, 1980); Sulainith Hems Potter, Family Life in a Northern Thai Village (Berkeley: California University Press, 1977). 11Madhumita Das, Changing Family System among a Matrilineal Group in India. Makalah dipresentasikan pada The International Union for the Scientific Study of Population (IUSSP), Konferensi Umum ke-24, Salvador, Brazil (24 Agustus 2001): http://www.iussp.org/brazil2001/s10/S12_04_D as.pdf. diakses pada 11 Desember 2013; K.M. Kapadia, The Matrilineal Family: Marriage and Family in India (Bombay: Oxford University Press, 1966). 12Agnes R. Quisumbing dan Keijiro Otsuka, “Land Inheritance and Schooling in Matrilineal Society: Evidences From Sumatera”, World Development, Vol. 29, No. 12 (2001), hlm. 2093-2110; Jeffry Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010).
Di sisi lain, beberapa komunitas mempraktikkan pola residensi patrilokal, dengan sistem keturunan patrilineal dan pola kekuasaan patriarkat. Pola ini hampir terjadi di 70% komunitas manusia.13 Salah satunya adalah terjadi pada komunitas Muslim dan sebagian kecil di komunitas Santal, di Bangladesh. Melalui rangkaian pola tersebut ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan berkembang dan setelah perkawinan setiap wanita yang kawin pindah ke rumah suami atau rumah ayah sang suami. Dalam keadaan demikian, seorang perempuan yang kawin menduduki posisi subordinat dalam sebuah keluarga dikarenakan pemberlakuan otoritas patriarkat. Dengan pola patriarkat– patrilineal–patrilokal, otoritas keluarga diberikan atau diwariskan kepada anggota laki-laki yang lebih tua, terutama suami/ayah dalam keluarga inti (nuclear family) dan kakek dalam keluarga besar (extended family).14 Pola yang sama juga terjadi pada komunitas Badui di Mesir,15 dan Batak, Sumatera Utara.16 Di Batak, misalnya, garis marga (kelompok kekerabatan) diteruskan oleh anak laki-laki. Karena13M.
Burton, C. Moore, J. Whiting, and K. Romney, “Regions Based on Social Structure”, Current Anthropology, Vol. 37, No. 87 (1996) 14 Md. Emaj Uddin, Family Communication Patterns between Muslim and Santal Communities in Rural Bangladesh: A Cross-Cultural Perspective, World Academy of Science, Engineering and Technology, 20 (2008). Lihat juga idem, “Family Structure between Muslim and Santal Communities in Rural Bangladesh”, International Journal of Human and Social Sciences, Vol. 6, No. 4, (2009) 15Lila Abu-Lughod, Writing Women’s Worlds: Bedouin Stories (Berkeley: University of California Press,1993) 16 J. C. Vergomuen, The Social Organisation and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatera (The Hague: Martinus Nijhoff, 1964) KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
213
Mohammad Hefni
nya, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Adapun perempuan diposisikan sebagai pencipta hubungan besan, karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain (exogamous/asymmetrical marriage), dan akan dibawa oleh suaminya dan meninggalkan orang tuanya (patrilocal). Ini menyebabkan kedudukan laki-laki dipandang lebih tinggi ketimbang perempuan. Perubahan post-marital risidence juga menyebabkan perubahan pada sistem kekerabatan dan pola kekuasaan. Ini terjadi, misalnya, pada masyarakat Garo di India dan Pueblo Bonito di Chaco Canyon Meksiko. Populasi Garo, misalnya, adalah suku matrilineal-matriarkal. Para perempuannya ‘memberikan’ perkawinan dan rumah kepada laki-laki dan garis keturunannya berdasarkan garis perempuan. Kekuasaan mereka atas lakilaki menjadi budaya mereka. Sekali pun demikian, faktor urbanisasi, pendidikan, dan pekerjaan menyebabkan pola residensi setelah perkawinan di kalangan mereka mulai mengalami perubahan. Sekitar 32% pasangan lebih menyukai pola residensi patrilokal. Ini menyebabkan perubahan pada sistem kekerabatan dari matrilineal menjadi patrilineal dan pola kekuasaan dari matriarkal menjadi patriarkhal.17 Hal yang sama terjadi pada Masyarakat Pueblo Bonito di Chaco Canyon. Mereka sudah lama menggunakan pola residensi matrilokal dan system kekerabatan matrilineal.18 Namun, temuan terakhir menunjukkan bahwa pola Mithun Sikdar, “Continuity and Change in Matrilineal Marriage System: A Case Study among the Garos of Poschim Bosti, Assam”, Stud Tribes Tribals, Vol. 7 No. 2 (2009), hlm. 125-130. 18F. Eggan, Social Organization of the Western Pueblos (Chicago: University of Chicago Press, 1950) 17
214 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
matrilokal-matrilineal tidak didukung oleh fakta dan hasil analisis yang dilakukan oleh Schillaci dan Stojanowski. Menurut keduanya, mereka lebih menerapkan pola bilokal dengan sentuhan pola residensi patrilokal berbasis kekuasaan laki-laki.19 Menyimpang dari main sequence kinship theory, masyarakat Madura menganut pola residensi matrilokal, tetapi sistem kekerabatan yang dianut adalah sistem bilateral dengan pola kekuasaan patriarkat. Keunikan pola inilah yang menarik untuk dikaji dalam tulisan ini. Metode Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana banyak penelitian kualitatif lainnya, kajian ini dirancang secara luwes. Lincoln dan Guba20 menyebutnya sebagai emergent design, yakni sebuah rancangan penelitian yang dapat berkembang dan bersifat terbuka sesuai dengan kondisi lapangan. Jenis kajian ini adalah studi kasus, yakni sebuah kajian yang mem-pelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan seseorang.21 Namun, sampai batas-batas tertentu, kajian ini akan banyak diwarnai oleh metode penelitian etnografi,22 terutama dalam hal bagai-mana data sebagai sumber narasi utama penelitian Michael A. Schillaci and Christopher M. Stojanowski, “Postmarital Residence and Biological Variation at Pueblo Bonito”,American Journal of Physical Anthropology, No. 120 (2003), hlm. 1-15. 20 Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry (London-New Delhi: Sage Publication Inc., 1985), hlm. 41. 21 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 127. 22 Lihat P. James Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). 19
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
ini diperlakukan. Esensi dari penelitian etnografi yang dipakai di sini terdapat pada usaha untuk memahami secara mendalam proses dan makna dari sebuah praktik sosial dalam lingkungan sosial budaya yang melingkupinya. Mela-lui metode ini, penulis mempelajari peristiwa dan praktik sosial melalui pandangan subjek yang menjadi bagian dari peristiwa atau praktik sosial itu. Kajian ini dilakukan di Madura secara umum dengan memerhatikan kawasan ekologi tegalan dan pesisir yang menjadi kawasan ekologi mayoritas di Madura. Subjek penelitian ini adalah perempuan Madura yang menjadi pusaran dalam pola residensi matrilokal dan kekuasaan patriarkat serta sistem kekerabatan bilateral. Sedangkan informannya adalah para tokoh masyarakat Madura yang dipilih secara purposive. Subjek dan informan tersebut dilibatkan dalam klarifikasi data yang diperolah, karena mereka berfungsi sebagai umpan balik dalam rangka cross-check data.23 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) Observasi, terutama berkenaan pola residensi matrilokal dan beberapa fenomena pendukung pola kekuasaan patriarkat; (2) wawancara mendalam (indepth interview) untuk mendapatkan deskripsi tentang hal-hal yang tersembunyi di balik realitas sosial masyarakat, misalnya berkenaan dengan negosiasi antara adat atau tradisi Madura dan Islam dalam kombinasi pola residensi matrilokal, kekuasaan patriarkat, dan sistem kekerabatan bilateral; (3) dokumentasi, yakni penggunaan litera-
Matthew B. Miles dan A. Michael Hubermas, An Expanded Source Book: Qualitative Data Analysis (London: Sage Publication, 1995), hlm. 10. 23
tur-litetatur kemaduraan untuk mendukung temuan di lapangan. Analisis data dalam kajian ini menggunakan analisis model interaktif.24 Dengan mengikuti model ini, analisis data berlangsung secara simultan yang dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, dengan tahapan alur sebagai berikut: pengumpulan data, display data, reduksi data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi.25 Pola Residensi Matrilokal di Madura Pulau Madura terletak di timur laut pulau Jawa, kurang lebih terletak di antara 6ᵒ42’ dan 7ᵒ18’ lintang Selatan dari khatulistiwa di antara 112ᵒ40’ dan 114ᵒ2’ bujur Timur.26 Keduanya dipisahkan oleh selat Madura.27 Dalam sistem perkawinan, masyarakat Madura menganut pola matrilokal. Dengan demikian, seorang perempuan yang telah menikah akan tetap tinggal di rumah atau pekarangan orang tuanya, sementara laki-laki yang telah menikah akan pindah ke rumah atau pekarangan istrinya atau mertuanya.28 Pengamatan penulis juga menunjukkan hal yang sama. Walaupun Ibid., hlm. 10-14. S.Nasution, Metode Penelitian NaturalistikKualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), hlm. 128-130. 26 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hlm. 27. 27 Kini, dengan dibangunnya Jembatan Suramadu, membuat kedua pulau itu seakan-akan menyatu. Jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura ini melintang di atas lautan yang cukup luas dengan panjang total 5.438 m (1,784 kaki), lebar 30 m (98 kaki ) dan tinggi 146 m (479 kaki ). Ia diresmikan penggunaannya oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. 28 Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 44; Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, hlm. 61. 24 25
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
215
Mohammad Hefni
beberapa pasangan memilih pola natalokal (pasangan membangun rumah sendiri), selama beberapa waktu setelah perkawinan, mereka bertempat tinggal di rumah istri atau mertua. Bahkan menurut Jonge, pola residensi matrilokal yang menghasilkan pola taneyan lanjang merupakan pola tertua di Madura.29 Terdapat perbedaan pola taneyan lanjâng di kawasan ekologi tegalan dan ekologi pantai di Madura. Di kawasan ekologi tegalan, secara umum sebuah desa terdiri atas beberapa kampung yang saling terpisah. Beberapa kampung dibangun berdasarkan kedekatan dengan tegal atau sawah. Di dalam sebuah kampung pun, areal pemukiman penduduk juga tidak menyatu atau menyambung. Ia terdiri atas beberapa kelompok rumah (cluster) yang dibangun berdasarkan kekerabatan. Dalam hal ini, taneyan lanjâng menjadi ciri khas dalam cluster rumah tersebut.30 Dalam satu cluster biasanya terdapat beberapa deret rumah peghun31 yang kesemuanya
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta: Kerja sama Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal – Land- en Volkenkunde (KITLV) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan PT. Gramedia, 1989), hlm. 14. 30 Baca Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, hlm. 60-61 dan Jef Leunessen, “Pertanian Rakyat di Madura” dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. 233-234. 31 Rumah péghun merupakan model rumah asli orang Madura. Model rumah ini terutama bisa dilihat pada bagian atapnya berbentuk joglo, yakni setelah bagian sisi kiri dan kanan dibuat menaik sekitar 20 derajat, lalu pada bagian tengah atap dibuat menjulang tinggi. Pada ujung kanan dan kiri atap rumah (bubung) biasanya diberi hiasan tanduk sebagai simbol kewibawaan pemiliknya. Pengamat lainnya mengatakan bahwa hiasan tersebut sebetulnya berupa léngghi, 29
216 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
menghadap ke Selatan (lao’). Bangunan paling Barat biasanya ditempati oleh orang tua atau anak perempuan bungsu yang nantinya akan memiliki rumah tersebut apabila orang tuanya meninggal dunia. Di sebelah Timurnya berturutturut ditempati oleh saudara-saudaranya. Di depan masing-masing rumah itu terdapat bangunan dapur. Di sebelah Barat dibangun sebuah langgar (kobhung) sebagai tempat ibadah keluarga atau tempat berkumpul anggota cluster sehabis bekerja. Di daerah ekologi pantai, bangunan rumah mengikuti pola pemukiman pita (ribbon residence), yakni beberapa bangunan rumah berderet membentuk sebuah garis linear di kiri kanan jalan utama atau beberapa jalan kecil di sebuah desa. Pembangunan rumah di desa itu tampaknya berdasarkan pada ketersediaan lahan bangunan. Masyarakat pantai menyebut jalan kecil (gang) yang memanjang di depan bangunan rumah-rumah mereka sebagai tanéyan lanjhâng. Artinya, rumah itu berada dalam satu cluster rumah yang berdiri di sisi kiri dan kanan sebuah jalan kecil. Secara umum, anggota dalam satu cluster rumah itu masih memiliki hubungan kerabat dekat. Pola residensi matrilokal di Madura diyakini berasal dari budaya masyarakat Campa di Indochina yang memasuki daratan Madura antara kurun waktu 4000-2000 SM.32 Masyarakat Cham di Delta Mekong, sisa dari Kerajaan Campa, hingga saat ini menganut pola residensi matrilokal dan sistem kekera-
yakni sebuah lengkungan di depan dan belakang perahu. 32 Tim Penulis Sejarah Sumenep, Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, 2003), hlm. 21-22.
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
batan matrilineal.33 Ketika sebuah pasangan telah melakukan perkawinan, sang suami tinggal di rumah istrinya. Kemudian, ketika saudara dari perempuan sang istri tersebut mempersiapkan perkawinan, mereka pindah dengan membangun rumah di pekarangan orang tua istrinya. Ini hampir sama dengan pola pemukiman taneyan lanjang di Madura. Anak-anak mereka dimiliki oleh garis keturunan ibu dan harta benda diwariskan melalui garis perempuan atau ibu.34 Rumah-rumah di Madura yang secara umum menghadap ke Selatan (lao’) juga menjadi bukti bahwa leluhur masyarakat Madura berasal dari Utara (Indocina). Lao’ dapat dimaknai sebagai simbol keselamatan, karena dalam perjalanan sejarah orang-orang Indocina yang menjadi leluhur masyarakat Madura pernah mendapat ancaman bahaya yang datang dari pedalaman di daerah Utara.35 Rie Nakamura, “The Cham Muslims in Ninh Thuan Province, Vietnam”, dalamIslam at the Margins: The Muslims of Indochina,ed. Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto(Center for Integrated Area Studies, Kyoto University Kyoto, Japan, 2008); Idem,“The Cham Muslims in Ninh Thuan Province, Vietnam”, dalamIslam at the Margins: The Muslims of Indochina,ed. Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (Center for Integrated Area Studies, Kyoto University Kyoto, Japan, 2008); Philip Taylor, “Economy in Motion: Cham Muslim Traders in the Mekong Delta”, The Asia Pacific Journal of Anthropology, Vol. 7 No. 3 (Desember 2006), hlm. 237-250. 34 Ini adalah sebagaimana yang terjadi di Minangkabau. Masyarakat Minangkabau juga mengklaim nenek moyang mereka berasal dari Campa. Dia adalah Harimau Campo bersamasama dengan Datuak Suri Dirajo (salah seorang founding fathers Minangkabau), Kambiang Hutan, dan Anjiang Mualim menciptakan konsep dasar silat (silek) Minangkabau. Lihat “ Champa” dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia (2012). 35 Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura (Surabaya: Yayasan Lebbur Legga, 1993), hlm. 2. 33
Kombinasi Pola Matrilokal–BilateralPatriarkat di Madura: Negosiasi Antara Adat dan Hukum Islam Menurut main sequence kinship theory, pola residensi matrilokal di Madura semestinya menghasilkan pola kekuasaan matriarkat dan sistem kekerabatan matrilineal. Artinya, pola residensi matrilokal akan menghasilkan tipe kekuasaan tipe female-dominant, yakni kekuasaan dalam pengambilan keputusan berada di tangan istri, sebagaimana, misalnya, yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Di Minangkabau, yang menganut pola residensi matrilokal, menempatkan perempuan pada posisi sentral. Ia memiliki kekuasaan atas seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum. Ia memiliki kekuasaan yang sebenarnya di dalam rumahnya sendiri, dan dihormati di rumah suaminya. Adapun seorang ayah/suami tetap dipandang sebagai tamu (sumando) dan memiliki keterikatan dengan keluarga atau rumah ibunya. Mereka pulang ke rumah itu setiap hari untuk mengolah sawah dan ladang, memulihkan diri di rumah itu ketika sakit, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan keluarga ibunya.36 Keadaan yang sama terjadi pada masyarakat Mosuo di Cina Barat Laut. Seorang lakilaki, pada komunitas ini, hanyalah seorang “penumpang” di rumah perempuan. Pada malam hari mereka memadu cinta, tetapi pada pagi hari si laki-laki kembali ke rumah ibunya. Sang perempuan, saudara, dan anak-anaknya hidup dan bekerja bersama-sama dalam keluarga besar, sedangkan si laki-laki
36
Hadler, Sengketa Tiada Putus, hlm. 73. KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
217
Mohammad Hefni
bertanggung jawab atas saudara-saudara perempuan dan anak-anaknya.37 Kenyataan ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Madura. Pola residensi matrilokal di Madura tidak memapankan sistem matriarkat, sebab yang berkembang adalah pola kekuasaan patriarkat. Ini berarti laki-laki memiliki kekuasaan yang dominan atas perempuan (male-dominant). Dalam hal ini, pengaruh Islam sangat kuat dalam menciptakan budaya tersebut. Di dalam Islam, laki-laki dipandang sebagai pemimpin bagi perempuan, dan karenanya ia bertanggung jawab atas nafkah, seperti menyediakan makanan, pakaian, bagi diri, anak-anak, dan istrinya.38 Tanda-tanda keberkuasaan lakilaki atas perempuan bermula ketika melangsungkan perkawinan. Dalam tradisi Madura, selain memberikan mahar, laki-laki juga “diwajibkan” memberikan barang-barang tertentu (dowry/bân-ghibân) kepada pihak perempuan pada saat perkawinan. Mahar merupakan ajaran Islam. Dalam pandangan Mazhab Hanafî, mahar merupakan sejumlah harta yang menjadi hak istri karena adanya akad perkawinan atau terjadinya senggama. Hal senada dinya-takan oleh Mazhab Mâlikî, Syâfi’î, dan Hanbalî yang memandang mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan kepada istrinya sehingga si istri halal untuk digauli.39 Karenanya, para ulama mazhab sepakat si istri
Eileen Rose Walsh, “From Nű Guo to Nű’er Guo: Negotiating Desire in the Land of the Mosuo”, Modern China, No. 31 (2005), hlm. 448486. 38 Bernard G.Weiss, The Spirit of Islamic Law, (Athens: University of Georgia, 1998) 39 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 1042. 37
218 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
berhak untuk menolak digauli sebelum maharnya dibayar.40 Pendapat para mazhab fikih tersebut menimbulkan pandangan bahwa mahar dimaknai sebagai perantara bagi kehalalan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri. Karenanya, dapat dipahami ketika sebuah akad pernikahan dikatakan sebagai akad kepemilikan (‘aqd al-tamlik), yakni kepemilikan suami atas istrinya karena ia telah membayar sejumlah mahar kepada istrinya. Akad kepemilikan ini bisa dicermati dari pandangan, misalnya, Mazhab Hanafî yang membolehkan akad pernikahan menggunakan lafal al-tamlik (kepemilikan), al-hibah (penyerahan), dan al-bay’ (penjualan).41 Pandangan ini kemudian berimplikasi pada kesan bahwa mahar merupakan pembelian istri oleh suami.42 Pandangan ini, pada tingkat tertentu, dipengaruhi oleh tradisi praIslam yang menjadikan mahar dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, terj. Masykur AB, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), hlm. 370. 41 Ibid., hlm. 309. 42 Beberapa ulama kontemporer menolak pandangan bahwa mahar merupakan harga beli istri oleh suami. Shihab, misalnya, memandang mahar sebagai symbol kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya. Baca Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 204. El-Fadl juga menolak pandangan bahwa mahar merupakan pembelian perempuan sehingga menimbulkan kesan bahwa menikahi perempuan melalui tiga cara, yaitu ditawan, diserobot, dan/atau dibeli. Lihat Budiman, Mahar dalam Pandangan Khaled Abou El-Fadl (Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011). Selanjutnya, tentang pro-kontra mahar sebagai pembelian atau pemberian, baca Khariroh Ali dan Ipah Jahrotul Nafisah, Tradisi Mahar: Pemberian ataukah Pembelian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). 40
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
perkawinan sebagai sesuatu yang diberikan kepada wali perempuan sebagai imbalan bagi para wali yang telah mengasuh dan membesarkannya di samping juga sebagai risiko atas kehilangan perannya dalam keluarga.43 Karenanya, dalam konteks ini, mahar diinterpretasikan sebagai harga beli seorang perempuan dari walinya, sehingga wanita merupakan milik multak suaminya.44 Pandangan semacam ini juga terjadi di Madura. Mahar tidak dipandang sebagai pemberian sukarela dari calon suami kepada calon istri. Ia merupakan akad pembelian dari seorang calon suami kepada calon istri. Sebelum terjadinya akad nikah, pihak laki-laki dan pihak perempuan biasanya melakukan tawar-menawar untuk menentukan besaran mahar yang harus dibayar oleh calon suami. Dikarenakan akad yang semacam itu, suami berhak untuk memiliki istrinya secara mutlak. Harta bawaan (dowry) berasal dari tradisi komunitas matrilineal di India dan Cina. Di wilayah-wilayah tersebut, dowry merupakan harta yang dibawa perempuan ke dalam perkawinan. Ia dipandang sebagai harta jaminan yang dibawa perempuan dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang 43Morteza
Mutahhari, Wanita dan Hak-Haknya dalan Islam, terj. M. Hashem(Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 167 44 Ini sama dengan pandangan antropologis bahwa mahar merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok. Lihat Jennifer S. Hirsch dan Holly Wardlow, Modern Loves: The Anthropolofy of Roamtic Courtship and Companionate Marriage (Macmillan: 2006), hlm. 17.
dibawa dalam perkawinan, jaminan keberlangsungan perkawinan akan semakin lama.45 Dowry dimaknai sebagai “pembelian” laki-laki oleh pihak perempuan untuk melakukan usaha-usaha produktif ekonomi keluarga. Di masyarakat matrilineal Minangkabau, terutama di Pariaman, dowry tersebut dikenal sebagai uang jemputan. Uang jemputan, sebagai persyaratan dalam tradisi Bajapuik, merupakan sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki supaya mengawini perempuan tersebut. Ia merupakan penghargaan kepada laki-laki yang akan diterima sebagai menantu (sumando). Semakin tinggi status sosial laki-laki, semakin tinggi uang jemputannya.46 Sistem dowry diberlakukan juga pada masyarakat patrilineal. Di Batak, tradisi dowry tersebut dikenal sebagai perkawinan jujur, yakni suatu bentuk perkawinan yang ditandai dengan adanya pembayaran uang dari kerabat laki-laki kepada pihak kerabat perempuan dengan tujuan untuk memasukkan perempuan ke dalam kekerabatan suaminya.47 Dahulu, pembayaran jujur (sinamot)48 berupa benda-benda yang bersifat Lamanna dan Fiedman, Understanding Local Knowledge and the Dynamics of Technical Change in Developing Countries. London: Natural Resource System Programme, 1996) 46 Moh. Yunus, Tradisi Bajapuik dan Perubahanannya (Yogyakarta: Bentang, 2005). 47 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 23. 48 Sangat mungkin, istilah pembayaran jujur ini diambil dari istilah shaduqat sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an Surat al-Nisa’ (4): “Dan berikanlah maskawin (shaduqat) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. Kata shaduqat merupakan jamak dari kata shidaq dan 45
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
219
Mohammad Hefni
magis (seperti keris), tanah, dan hewan besar. Dalam perkembangannya, pembayaran jujur berupa sejumlah uang yang disamakan dengan uang pembelian dan perempuan dipersamakan dengan barang yang dibeli.49 Dalam tradisi perkawinan ini, perempuan tidak pernah memiliki hak atas harta benda keluarga, termasuk harta perkawinan. Hak milik harta tersebut berada pada suami dan ia akan memberikan hak pakai harta benda tersebut kepada istrinya. Mengikuti kedua pola di atas, tradisi pemberian mahar dan harta bawaan di Madura dimaknai sebagai “pembelian” perempuan oleh laki-laki. Dowry (bân-ghibân) yang dibawa laki-laki pada saat perkawinan tidak semuanya menjadi hak perempuan. Barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti beras, baju, perhiasan, alat-alat kosmetik menjadi hak milik perempuan. Tetapi, barang-barang seperti lemari, meja, kursi, tempat tidur, dan sebagainya tetap menjadi hak milik laki-laki, perempuan hanya memiliki hak pakai. Apabila terjadi perceraian, barang-barang tersebut akan dibawa lagi oleh laki-laki, kecuali pasangan tersebut memiliki anak, akan diberikan kepada anaknya. Besar kecilnya mahar dan banyak tidaknya harta bawaan acapkali tergantung pada kedudukan keluarga. Ini kemudian menyebabkan perempuan atau istri dipandang sebagai kelas nomor dua yaitu kelas yang dikuasai oleh laki-laki atau suaminya.
Dalam kaitan ini, di Madura, seorang perempuan yang sudah kawin dikatakan sebagai noro’ patona oréng, yaitu mengikuti kehidupan suami. Ajaran Islam tentang keberkuasaan laki-laki juga tercermin dalam konsep bhupa’-bhabhu-ghuru, rato, sebuah referential standard kepatuhan masyarakat terhadap figur-figur utama secara hierarkis. Artinya, konsep ini mengandung pengertian adanya hierarki figur yang harus dihormati dan dipatuhi, mulai dari bapak, ibu, guru, dan terakhir ratu (negara). Penempatan istilah bhuppa’ di awal rantai kepatuhan bhupa’-bhabhu’ghuru-rato secara struktural disebabkan oleh posisi bapak itu sendiri. Ia diposisikan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas perjalanan hidup anggota keluarganya. Sedangkan penempatan bhabhu’ (ibu) di urutan kedua sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan perempuan yang berada di bawah hegemoni kaum laki-laki. Walaupun orang Madura menganut pola residensi matrilokal, namun garis keturunan ibu tidak menjadi superior dibandingkan dengan garis keturunan ayah, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menganut sistem kekerabatan yang bersifat matrilineal. Sistem kekerabatan di Madura, sebagaimana di beberapa suku lainnya di Indonesia50 dan di beberapa negara
merupakan satu rumpun dengan kata shiddiq, shadaq dan shadaqah. Di dalamnya terkandung makna jujur, putih hati, bersih, dan ikhlas. Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), hlm. 1173. 49 Ter Haar, “Pengantar”, dalam Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1950), hlm. 71.
50
220 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Di Indonesia, suku Jawa dan suku Dayak adalah dua di antara banyak suku lainnya yang menerapkan sistem kekerabatan bilateral. Kebanyakan sistem kekerabatan dalam kelompok Dayak, seperti Dayak Kenyah, Dayak Maloh, Dayak Iban, Dayak Ngaju, dan Dayak Menyaan menerapkan sistem kekerabatan bilateral. Untuk sistem kekerabatan di suku Dayak, lihat Yekti Maunati, Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 73-80.
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
lainnya,51 dideskripsikan sebagai sistem bilateral yang tidak menekankan pada garis bapak maupun ibu. Artinya, seseorang atau ego52 dilekatkan secara seimbang pada garis ayah (pancêr laké’/patrilineal) dan garis ibu (pancêr biné’/matrilineal). Terdapat istilah-istilah tertentu untuk mengenali kerabatnya secara bilateral. Dalam hubungan kekerabatan ke atas, seseorang (ego) memiliki hubungan kekerabatan dengan ayah-ibu (eppa’/êmbu’), ayah atau ibu dari ayah-ibu (êmba), ayah atau ibu dari êmba (juju’), dan ayah atau ibu dari juju’ (ghrubhâk), ayah atau ibu dari ghrubhâk dan seterusnya ke atas (buju’). Di samping itu, seseorang juga memiliki hubungan dengan saudara ayah dan ibu (majhâdi’), saudara sepupu ayah-ibu (majhâdi’ sapopo), saudara sepupu kedua (second cousin) ayah-ibu (majhâdi’ dupopo), saudara sepupu ketiga (third cousin) ayahibu (majhâdi’ tellopopo), saudara sepupu keempat (fourth cousin) ayah-ibu (majhadi’ pa’popo), dan seterusnya. Dalam hubungan ke samping, seseorang memiliki hubungan kekerabatan dengan saudaranya (tarétan), anak dari majhâdi’ (sapopo/tarétan sapopo), anak dari majhâdi’ sapopo (tarétan dupopo), anak dari majhâdi’ dupopo (tarétan têllopopo), dan seterusnya. Sedangkan dalam hubungan ke bawah, ia memiliki hubungan dengan anaknya (ana’), anak dari saudaranya Misalnya, suku bangsa Eskimo dan suku bangsa Bushmen di Afrika Selatan serta suku bangsa Yahgan di Amerika Selatan. Lihat Meliville J. Herskovits, “Organisasi Sosial: Struktur Masyarakat”, dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya,ed. T.O. Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 85. 52Ego merupakan istilah dalam antropologi budaya yang merujuk pada seseorang yang menjadi orientasi dalam sebuah hubungan kekerabatan yang digambarkan. 51
(ponakan/ponakan rébâ’an), anak dari tarétan sapopo (ponakan sapopo), anak dari tarétan dupopo (ponakan dupopo), dan seterusnya. Sistem kekerabatan di Madura juga mengena penggolongan ke dalam kelompok keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak, kadangkala ditambah dengan kakek atau nenek. Mereka tinggal dalam sebuah rumah. Sedangkan keluarga luas (extended family)53 terdiri atas beberapa kelompok: Pertama,bhâlâ dhibi’(close family), terdiri atas saudara yang telah kawin, saudara sepupu dan paman-bibi (majhâdi’), keponakan, keponakan sepupu, dan cucu. Kelompok keluarga dekat ini biasanya dilibatkan secara langsung dalam pengaturan acara-acara besar keluarga, misalnya acara perkawinan, selamatan naik haji, dan sebagainya. Kedua, bhâlâ jhâu(peripheral family), yang terdiri atas saudara êmba (êmba éréng) terus ke bawah, yaitu Tidak ada kesepakatan di kalangan ilmuwan tentang konsep keluarga luas (extended family) itu sendiri. Di Afrika, keluarga besar mencakup kelompok-kelompok lokal yang terdiri atas anggota dari serangkaian keluarga langsung yang tinggal di tempat yang sama. Tschopik yang meneliti di Peru menemukan bahwa keluarga luas mencakup seorang laki-laki dan saudarasaudara laki-lakinya, istri-istri mereka, anak-anak laki-laki dan perempuan mereka yang belum kawin dan setiap keluarga batih yang telah kawin. Sedangkan Drucker yang meneliti orang-orang India dari Pantai Pasifik Utara mengklasifikan sebuah kelompok sosial yang mendiami daerah tertentu sebagai sebuah keluarga besar. Hampi sama dengan pendapat Drucker, Goodwin yang mendalami masyarakat Apache Barat membatasi keluarga luas pada beberapa rumah tangga yang secara bersama-sama mendiami suatu daerah tertentu karena adanya pertalian darah, suku, perkawinan, dan hubungan ekonomi. Baca hasil penelitian mereka dalam Herskovits, “Organisasi Sosial”, hlm. 98. 53
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
221
Mohammad Hefni
majhâdi’ sapopo, tarétan dupopo, ponakan têllopopo, êmba sapopo terus ke bawah, yaitu majhâdi’ dupopo, tarétan têllopopo, dan ponakan têllopopo. Di kalangan kyai atau keluarga terhormat lainnya di Madura, peripheral family bisa dikenali hingga saudara sepupu keempat atau sepupu kelima. Tetapi di kalangan bawah (oréng kéné’), peripheral family hanya dikenali hingga sepupu kedua. Ketiga, tarétan dhibi’. Konsep ini hampir sama dengan konsep extended family yang dikemukakan Goodwin yang mencakup orang-orang yang mendiami suatu daerah tertentu karena adanya pertalian atau persamaan suku. Konsep terétan dhibhi’ (saudara sendiri) merupakan pengakuan akan kesatuaan sosial atas orang-orang yang berasal dari etnis yang sama, yakni etnis Madura. Dalam konsep ini, orang-orang yang bersuku bangsa Madura, baik yang bertempat tinggal di pulau Madura atau di luar pulau Madura akan dianggap sebagai tarétan (saudara). Tetapi ini merupakan fenomena umum di kalangan masyarakat kesukuan di Indonesia yang mempertentangkan dirinya sebagai keanggotaan dalam sebuah suku dengan orang lain yang berasal dari suku lainnya dalam sebuah istilah kerabat-bukan kerabat. Di Jawa Barat, pertentangan terjadi antara orang Sunda dan bukan Sunda. Di Padang, yang dipertentangkan adalah antara orang Minangkabau dan bukan Minangkabau, dan di Sumatera Utara mereka mempertentangkan antara orang Batak dan bukan Batak. Semuanya merupakan pembedaan yang dibuat dalam hubungan antar pribadi berdasarkan perasaan kesukuan.54 Baca Edward M. Bruner, “The Expression of Ethnicity in Indonesia”, dalam Urban Ethnicity, ed. Abner Cohen (London: Tavistock, 1973). Baca juga, Idem, “Kerabat dan Bukan Kerabat”, dalam
Di
Madura pada umumnya, terdapat panggilan tertentu untuk menyebut kerabatnya. Seorang ayah dipanggil oleh anaknya sebagai êppa’ atau rama, sedangkan seorang ibu dipanggil êmbu’, ébhu atau êmma’. Ayah dan ibu dari ayah-ibu dipanggil êmba, tetapi dibedakan antara êmba laké’ atau kaéh (kakek) dan êmba biné’ atau nyaéh (nenek). Pada jalur ke atas, panggilan setelah juju’ (ayah-ibu dari êmba) sampai batas tidak terhingga adalah buju’. Variasi panggilan terdapat pada jalur ayah-ibu ke samping. Pada garis ini, panggilan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan ayah-ibu dibedakan. Begitu pula, terdapat panggilan yang berbeda antara saudara ayah-ibu yang lebih muda dengan yang lebih tua. Saudara perempuan ayah-ibu yang lebih tua dipanggil bu’ ênning dan saudara lakilaki ayah-ibu yang lebih tua dipanggil obâ’ atau ma’ ênning. Adapun panggilan untuk saudara perempuan ayah-ibu yang lebih muda adalah nyannyah atau bhibbhi’ dan untuk saudara laki-laki ayah yang lebih muda adalah anom atau ghuttéh. Dalam perkembangan saat ini, masyarakat acapkali secara serampangan memanggil anom atau ghuttéh untuk saudara laki-laki ayah-ibu dan memanggil nyannyah untuk saudara perempuan ayah-ibu, baik untuk saudara yang lebih muda maupun saudara yang lebih tua. Masuknya budaya luar, terutama budaya Jawa, sangat berpengaruh tradisi panggilan kepada kerabat. Panggilan om atau pak le’ sampai batas tertentu sudah menggantikan panggilan anom atau ghuttéh. Hal sama terjadi pada panggilan
54
222 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
T.O. Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 159198.
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
nyannyah yang digantikan oleh panggilan bu’le’. Variasi panggilan yang lebih sedikit terdapat pada garis ego ke samping. Saudara perempuan ego yang lebih tua dipanggil êmbhuk dan saudara laki-laki ego yang lebih tua dipanggil kaka’, sedangkan semua saudara ego yang lebih muda, baik laki-laki maupun perempuan, dipanggil alé’. Panggilan êmbhuk-kaka’ dan alé’ berlaku untuk semua saudara ego, baik saudara kandung, saudara sepupu, saudara sepupu kedua, saudara sepupu ketiga, dan seterusnya. Pada jalur ini terdapat sebuah panggilan khas, yaitu mak. Panggilan ini biasanya diperuntukkan bagi saudara laki-laki yang lebih tua, baik saudara kandung, saudara sepupu, dan seterusnya, dan memiliki kedudukan terhormat atau dihormati oleh ego, misalnya saudara laki-laki tertua (sréyang), saudara sepupu yang berstatus lora atau kyai, dan sebagainya. Terakhir, panggilan ego pada jalur ke bawah. Pada jalur ini sama sekali tidak terdapat variasi panggilan. Semua panggilan pada jalur ini, untuk laki-laki dipanggil kacong dan perempuan dipanggil cebbhing. Panggilan ini berlaku baik untuk anak, ponakan, ponakan sepupu dan seterunya, cucu, cicit, dan seterusnya. Walaupun demikian, pada sistem kekerabatan bilateral ini terdapat kecenderungan asimetris. Dalam hal ini Neihof, sebagaimana dikutip oleh Mahfudz Sidiq,55 mengatakan bahwa dalam garis keturunan, garis keturunan perempuan (pancer bine’) dianggap tidak ada. Anakanak sebapak, walaupun dilahirkan oleh beberapa ibu (tarétan sapancer) dikatakan 55Mahfudz
Sidiq, “Kekerabatan dan Kekeluargaan Masyarakat Madura”, dalam Kepercayaan, Magi, dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, ed. Soegianto(Jember: Tapal Kuda, 2003), hlm. 103.
lebih dekat ketimbang anak-anak seibu dari beberapa bapak (tarétan dhângaso). Ini didasarkan pada ajaran Islam bahwa anak-anak menjadi milik keluarga ayahnya, karenanya wanita Muslim dapat kawin hanya dengan seorang lelaki pada suatu waktu sehingga hal berbapak (paternity) dari anak-anaknya menjadi jelas.56 Pengetahuan tentang sistem kekerabatan berfungsi, salah satunya, untuk mengatur pembagian warisan. Dengan sistem bilateral tersebut, maka harta benda diwariskan baik kepada lakilaki maupun perempuan. Pada umumnya, harta warisan dibagi ketika orang tua masih hidup melalui hibah. Perempuan, secara umum, akan memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah dan tanah pekarangan, umumnya, diberikan kepada perempuan dan tidak boleh dijual kepada siapa pun. Harta warisan semacam itu di Madura disebut sebagai sangkolan. Adapun tanah tegal (teghâlân) diberikan kepada anak laki-laki dan boleh dijual kepada orang lain. Dalam hal pembagian warisan ini, jarang sekali laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak karena perempuan akan menjadi tempat 56Lihat
Al-Qur’an surah al-Ahzab (33): 4-5 yang menyuruh seseorang, termasuk anak angkat, untuk tetap dipanggil dengan nasab ayah kandungnya. Lihat juga Heather Johnson, There are Worse Things Than Being Alone: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future, (2005), http://scholarship.law.wm.edu/wmjowl/vol11/i ss3/11. diakses pada 11 Desember 2012; John L. Esposito dan Natana J. Delong-Bas, “Women in Muslim”, Family Law , Vol. 19, No. 2 (2001); Rachel Jones, "Polygyny in Islam," Macalester Islam Journal: Vol. 1 Issu. 1 (2006): http://digitalcommons.macalester.edu/islam/vol 1/iss1/11. diakses pada 11 Desember 2012. KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
223
Mohammad Hefni
berpulang bagi saudara laki-lakinya jika terjadi perceraian atau kasus lainnya. Sistem kewarisan bilateral ini didasarkan atas QS. al-Nisâ’ [4]: 11, 12, dan 176. Ayat 11 pada surah tersebut menjadikan semua anak, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu. Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam patrilineal prinsipnya hanya anak lakilaki yang berhak mewaris, sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. Kemudian ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem kewarisan bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya sebagai ahli waris bagi saudaranya yang mati “punah” (tidak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan. Penutup Tesis Murdock bahwa perubahan pola residensi setelah perkawinan menyebabkan perubahan pada organisasi sosial lainnya, seperti sistem kekerabatan dan pola kekuasaan dalam keluarga, telah terbukti di beberapa tempat di dunia. Di beberapa tempat, pengaruh luar telah menyebabkan perubahan pola residensi yang menyebabkan pula perubahan pada sistem kekerabatan dan relasi kekuasaan. Pola residensi matri-lokal selalu ditemukan dalam sistem kekerabatan matrilineal dan relasi kekua-saan yang bersifat matriarkat. Perubahan pola residensi, misalnya, dari matrilokal ke patrilokal akan menyebabkan perubahan sistem kekerabatan, yakni dari sistem kekerabatan matrilineal berubah menjadi sistem kekerabatan patrilineal. Demikian juga, relasi kekuasaan akan mengalami perubahan dari relasi matriarkhat menjadi relasi kekuasaan patriarkat. Tesis tersebut berbanding terbalik di Madura. Di Madu224 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
ra, pengaruh luar, terutama Islam, tidak menyebabkan perubahan pada pola residensi, justru perubahan terjadi pada pola kekerabatan dan relasi kekuasaan. [] Daftar Pustaka Abu-Lughod, Lila. Writing Women’s Worlds: Bedouin Stories. Berkeley: University of California Press,1993. Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Kamus kontemporer Arab – Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998. Ali, Khariroh dan Nafisah, Ipah Jahrotul. Tradisi Mahar: Pemberian ataukah Pembelian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. Andang Subaharianto, et al. Tantangan Industrialisasi Madura: Mmbentur Kultur, Menjujung Leluhur. Malang: Bayu Media Publishing, 2004. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep dalam Angka. Sumenep: Bappeda Sumenap, 2009.
Bruner, Edward M. “Kerabat dan Bukan Kerabat”, dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996. Bruner, Edward M. “The Expression of Ethnicity in Indonesia”, dalam Urban Ethnicity, ed. Abner Cohen. London: Tavistock, 1973. Budiman. Mahar dalam Pandangan Khaled Abou El-Fadl. Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011. Burton, M., Moore, C., Whiting, J. Romney, K. “Regions Based on
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
Social Structure”, Current Anthropology, Vol. 37, No. 87 (1996) Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Das, Madhumita. Changing Family System among a Matrilineal Group in India. Makalah dipresentasikan pada The International Union for the Scientific Study of Population (IUSSP), Konferensi Umum ke-24, Salvador, Brazil (24 Agustus 2001): http://www.iussp.org/brazil2001 /s10/S12_04_Das.pdf. Davies, Peter. The American Heritage Dictionary of The English Language. New York: Dell Publishing Co., Inc., 1977. Eggan, F. Social Organization of the Western Pueblos. Chicago: University of Chicago Press, 1950. Esposito, John L. dan Delong-Bas, Natana J. “Women in Muslim”, Family Law , Vol. 19, No. 2 (2001). Fairchild. Dictionary of Sociology and Related Sciences. New York: Dell Publishing Co., Inc., 1966. Farouk, Omar dan Yamamoto, Hiroyuki (ed.). Islam at the Margins: The Muslims of Indochina. Center for Integrated Area Studies, Kyoto University Kyoto: Japan, 2008. Foster, Brian L. "Continuity and Change in Rural Thai Family Structure," Journal of Anthropplogical Research, No. 31, (1975), hlm. 34-50. Fox,
R. Kinship and Marriage. Harmondsworth, Middlesex: Penguin, 1967.
Haar, Ter .“Pengantar”, dalam Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1950. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994 Hadler, Jeffry. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010. Hirsch, Jennifer S. dan Wardlow, Holly. Modern Loves: The Anthropolofy of Roamtic Courtship and Companionate Marriage. Macmillan: 2006. Huub de Jonge. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: Kerja sama Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal – Land- en Volkenkunde (KITLV) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan PT. Gramedia, 1989. Ihromi, T.O (ed.). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996. Johnson, Heather. There are Worse Things Than Being Alone: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future, (2005): http://scholarship.law.wm.edu/w mjowl/vol11/iss3/11. Jones,
Rachel. "Polygyny in Islam," Macalester Islam Journal: Vol. 1 Issu. 1 (2006): http://digitalcommons.macalester .edu/islam/vol1/iss1/11.
Kamnuansilp dan Cowgill. A Family Cycle Analysis of Family Structure and Fertility in Thailand. Bangkok: Research Center, National and KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
225
Mohammad Hefni
Institute of Development Administration, 1980.
Nasution, S. Metode Penelitian NaturalistikKualitatif. Bandung: Tarsito, 1992.
Kapadia, K.M. The Matrilineal Family: Marriage and Family in India. Bombay: Oxford University Press, 1966.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Koentjoroningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1990. Kramer, Karen L. dan Greaves,Russell D. “Postmarital Residence and Bilateral Kin Associations among Hunter-Gatherers: Pumé Foragers Living in the Best of Both Worlds”, Human Nature, No. 1(April, 2010) Kuntowijoyo. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Madura 1850-1940. Yogyakarta: Matabangsa, 2002. Maunati, Yekti. Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS, 2004. Miles, Matthew B. dan Hubermas, A. Michael. An Expanded Source Book: Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication, 1995. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, terj. Masykur AB, Afif Muhammad, dan Idrus AlKaff. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996. Murdock, G.P. Social Structure. New York: Macmillan, 1949. Mutahhari, Morteza. Wanita dan HakHaknya dalan Islam. Terj. M. Hashem. Bandung: Pustaka, 1985. Naroll, R. “What Have We Learned from Cross-Cultural Survey?”, American Anthropologist, No. 71 (1992), hlm. 1227-1288. 226 | KARSA,
Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Njunga, John dan Blystad, Astrid. “’The divorce program’: gendered experiences of HIV positive mothers enrolled in PMTCT programs -the case of rural Malawi”, International Breastfeeding Journal, Vol. 5, No. 14 (2010), http://www.internationalbreastfe edingjournal.com/content/5/1/14 Phiri,
K.M. “Some Change in the Matrilineal Family System among the Chewa of Malawi sice the Nineteenth Century”, Journal of African History, No. 24 (1983), hlm. 257-274.
Potter, Sulainith Hems. Family Life in a Northern Thai Village. Berkeley: California University Press, 1977. Quisumbing, Agnes R. dan Otsuka, Keijiro. “Land Inheritance and Schooling in Matrilineal Society: Evidences From Sumatera”, World Development, Vol. 29, No. 12 (2001), hlm. 2093-2110. Rifai, Mien A. Lintasan Sejarah Madura. Surabaya: Yayasan Lebbur Legga, 1993. Schillaci, Michael A. dan Stojanowski, Christopher M. “Postmarital Residence and Biological Variation at Pueblo Bonito”, American Journal of Physical Anthropology, No. 120 (2003), hlm. 1–15. Sear, Rebecca. “Kin and Child Survival in Malawi: Are Matrilineal Kin Always Beneficial in a Matrilineal
Perempuan Madura di Antara Pola Residensi Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat
Society”, Human Nature, Vol. 19, No. 3 (2008), hlm. 277-293. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2006. Sikdar, Mithun. “Continuity and Change in Matrilineal Marriage System: A Case Study among the Garos of Poschim Bosti, Assam”, dalam Stud Tribes Tribals, Vol. 7 No. 2 (2009), hlm. 125-130. Soegianto (ed.). Kepercayaan, Magi, dan Tradisi dalam Masyarakat Madura. Jember: Tapal Kuda, 2003. Spradley, P. James. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Taylor, Philip. “Economy in Motion: Cham Muslim Traders in the Mekong Delta”, The Asia Pacific Journal of Anthropology, Vol. 7 No. 3 (Desember 2006), hlm. 237-250. Tim Penulis Sejarah Sumenep. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, 2003.
Muslim and Santal Communities in Rural Bangladesh: A CrossCultural Perspective”, World Academy of Science, Engineering and Technology, No. 20 (2008). Uddin, Md. Emaj. “Family Structure between Muslim and Santal Communities in Rural Bangladesh”, International Journal of Human and Social Sciences, Vol. 6, No. 4, (2009). Vergomuen, J. C. The Social Organisation and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatera. The Hague: Martinus Nijhoff, 1964. Walsh, Eileen Rose. “From Nű Guo to Nű’er Guo: Negotiating Desire in the Land of the Mosuo”, Modern China, No. 31 (2005), hlm. 448-486. Weiss, Bernard G. The Spirit of Islamic Law. Athens: University of Georgia, 1998. Wiyata, Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKIS, 2002.
Uddin, Md. Emaj. “Family Communication Patterns between
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012|
227