Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
Al-Risalah
ISSN: 1412-436X
Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
Vol. 15, No. 1, Juni 2015 (hlm. 9-24)
PEREMPUAN DAN PILKADA DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER MENURUT HUKUM ISLAM
Siti Marlina Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei Duren Jambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi E-mail:
[email protected]
Abstract: Gender is a cultural concept, that the difference between men and women in terms of behavior. From the above it can be concluded that depenisi "Gender" is a concept that is used to identify differences in men and women in terms of sosial, cultural and legal (rights and liabilities) or from a non-biological. Actually gender as a sosial construction do not matter if it does not lead to discrimination and injustice against one sex man. But in fact spoken to the male and female gender roles lead to inequality. By giving the division of good and balanced, does not waive the right lak men and women, then gender is not an issue. Because the role of women and men will be profitable and beneficial for both. Ahead of elections in 2015 has been dyed a variety of important issues, such as democratization, marginalization of political parties, the licensing authority to speak and others. In this study, which is seen through the perspective of how women and the elections in the perspective of gender equality. Keywords: Women, Local Elections, Gender and Islamic Law.
Abstrak: Gender adalah suatu istilah alami yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi tingkah laku. Dari depenisi diatas dapat disimpulkan bahwa “Gender” adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial, budaya dan hukum (hak dan Kewajiban) atau dari sudut non-biologis. Sebenarnya gender sebagai konstruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidak adilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia. Akan tetapi pada kenyataan yang dibicarakan itu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketimpangan peran gender. Dengan memberikan pembagian tugas yang baik dan seimbang, tidak mengabaikan hak lak-laki maupun perempuan, maka gender tidak menjadi permasalahan. Sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya. Menjelang pemilu tahun 2015 telah diwarnai berbagai isu penting, seperti demokratisasi, marjinalisasi partai politik, lembaga perizinan bicara dan lain-lain. Dalam pembahasan ini, yang dilihat melalui sudut pandang bagaimana perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender. Kata Kunci: Perempuan, Pilkada, Gender dan Hukum Islam.
Pendahuluan
dampingi lelaki, demikian pula sebaliknya. Perempuan diciptakan Allah SWT untuk men- Ciptaan Allah itu pastilah yang paling baik Al-Risalah
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
9
Siti Marlina
dan sesuai buat masing-masing. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaiman pula lelaki adalah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaimana pula lelaki adalah yang terbaik untuk mendampingi perempuan untuk melengkapi satu dengan yang lainnya, karena tidak ada ciptaan Allah yang sempurna.1 Gender adalah suatu konsep cultural Gender adalah (perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi tingkah laku). Di dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan, bahwa Gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2 Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia kata “Gender” diartikan dengan jenis kelamin (sex).3 Dari depenisi diatas dapat disimpulkan bahwa “Gender” adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial, budaya dan hukum (hak dan Kewajiban) atau dari sudut non-biologis. Dengan demikian maka “kesetaraan gender” dapat diartikan dengan “suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertah-
anan, dan keamanan dalam menikmati hasil pembangunan dengan setara4. Bahwa isu kesetaraan gender yang selama ini bergulir menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun, tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa gender adalah sama dengan jenis kelamin. Atau lebih sempit lagi, gender itu sama dengan perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat (termasuk dalam politik), daripada kaum laki-laki. Sehingga, ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut telah identik dengan masalah kaum perempuan. Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sementara Women's Studies Encyclopedia memuat gender suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu 1 Tihami, dkk., Fkih Munakahat Lengkap Kajian dikembangkan berbagai program pemberFikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 9 2 Helen Tierney, Woman’S Studies Encylopedia, Edisi Ke-1, (New York: Green Wood Press), hlm. 153 3 Ibid, hlm. 450
10
4 Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Pedoman Pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengurustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: MPP, 1999), hlm. 45
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
dayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Sebenarnya gender sebagai konstruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidak adilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia. Akan tetapi pada kenyataan yang dibicarakan terhadap laki-laki dan perempuan menimbulkan ketimpangan peran gender. Dengan memberikan pembagian tugas yang baik dan seimbang, tidak mengabaikan hak lak-laki maupun perempuan, maka gender tidak menjadi permasalahan. Sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya, khususnya bagi pembangunan bangsa dan Negara untuk menuju pencapaian good governance yaitu “pengelolaan yang baik”.5 UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4). Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa 5 Ibid, hlm. 32-33
Al-Risalah
dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat. Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat.6 Akhir-akhir ini, menjelang pemilu tahun 2015 telah diwarnai berbagai isu penting, seperti demokratisasi, marjinalisasi partai politik, lembaga perizinan bicara dan lain-lain. Menurut saya, isu-isu tersebut sangat esensial yang menunjukkan sejauh mana demokrasi di negeri kita ini. Sesuatu yang sangat logis jika yang tengah berkuasa akan terus mempertahankan status qua-nya, sementara yang lain akan berusaha menggantikannya. Ini adalah hukum alam, sunnatullah. Jadi, demokrasi tidak dapat diciptakan dalam sekejap, tetapi ini akan berproses membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun demikian, kran-kran demokrasi seharusnya dibuka secara secukupnya oleh pemerintahan sehingga tidak menyumbat arus yang semakin kuat yang mungkin kalau tidak tersalurkan justru akan menjebol saluran yang ada. Dari penjelasan diatas maka akan dibahas tentang perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender. Dalam pembahasan ini digunakan metode diskriptif kualitatif, yang dilihat melalui sudut pandang bagaimana perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender. 6 h t t p : / / w w w. p e r l u d e m . o rg / i n d e x . php?option=com_k2&view=itemlist&layout=ca tegory&task=category&id=17&Itemid=126
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
11
Siti Marlina
Pendekatan penelitian merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan dan sasaran penelitian. Metode kualitatif itu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati.7 Penggunaan metode ini didasarikan atas pemikiran bahwa permasalahan yang menjadi lapangan penelitian merupakan persoalan sistem sosial, di mana peristiwa yang ada di dalamnya bersifat totalitas.8 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji mekanisme perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender. Kesetaraan Gender dalam Realitas Politik Memperjuangkan bagi keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Kesetaraan kesempatan dalam pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam kuasa pengambilan keputusan. Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan publik memberikan manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki. Perjuangan mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam hal pengambilan keputusan. Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan gender dalam politik melalui peningkatan keter7 Andi Pratowo, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 22 8 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 21
12
wakilan perempuan di parlemen adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) di segala aspek kehidupan.9 Tahapan kampanye pemilihan kepala daerah yang akan diikuti oleh pasangan calon di seluruh Indonesia termasuk beberapa kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sudah mulai berjalan. Sayangnya, kesemua pasangan calon, hanya ada beberapa wajah perempuan sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati, dan mirisnya lagi, muncul dari jalur independen. Ini tentu saja berbeda dengan kaum lelaki, wajah perempuan ikut menghiasi wajah perpolitikan yang diusung oleh partai politik. Minimnya (boleh dibilang begitu) perempuan dalam panggung pemilihan kepala daerah di Kabupate/Kota di wilayah Provinsi jelas memantik beberapa pertanyaan dari kalangan pejuang hak-hak perempuan dalam politik. Beberapa pertanyaan yang diajukan, apakah stok figure politisi pemimpin perempuan di Indonesia sudah habis? Atau memang stoknya ada tapi belum diberikan kesempatan untuk dicalonkan karena masih kuatnya budaya patriarki di kalangan internal partai politik, sehingga sulit memunculkan calon dan wakil Kepala Daerah perempuan.10 Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan 9 http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-content/ uploads/2012/07/Strategi-Peningkatan-Keterwakilan-Perempuan-di-Parlemen.pdf 10 http://portal.malutpost.co.id/en/opini/item/4177perempuan-dan-pilkadadalam-perspektif kesetaraan.
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Dengan demikian, bahwa menjadi hak setiap perempuan tanpa syarat total menceburkan diri dalam aktivitas politik. Ia berhak menduduki jabatan-jabatan politik dengan syarat mentaati hukum-hukum yang berlaku. Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ialah merupakan UU yang paling peka dan sukar dalam seluruh permasalahan mengenai kedudukan atau status perempuan. Dalam prakteknya jauh lebih mudah untuk menciptakan perundang-undangan yang menjamin persamaan hak perempuan dalam politik, pendidikan, kepegawaian, ketenaga-kerjaan, atau kewarganegaraan daripada persamaan hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. Dalam hukum keluarga menurut tradisi, norma-norma hukum, adapt dan hukum agama sangat berpengaruh sehingga menyentuh perasaan-pearasaan dalam sanubari manusia, yang kadang-kadang sukar untuk menyesuaikan diri dengan tuntuntan zaman. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 yang berbunyi: Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.
disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam praktek kehidupan masyarakat, baik di dalam masyarakat Indonesia maupun di lain-lain Negara, masih terdapat ketidaksamaan antara kedudukan perempuan dan laki-laki, bahkan adakalanya tersebut telah berkembang disebabkan berbagai alas an yang berarkar pada adapt kebiasaan, tradisi dan sikap, atau tergantung pada perbedaan politik, ekonomi, sosial dan kultural. Kedudukan atau status menunjukkan kepada hak dan kewajiban seseorang dalam hubungan dengan orang lain atau hubungannya dengan sesuatu benda. Hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan oleh undang-undang bagi seseorang. Hak itu biasanya didasarkan atas status kebangsaan, dan pada umumnya, undang-undang senantia mensyaratkan status warga Negara bagi pemilik hak. Dengan kata lain, hak tersebut hanya berlaku bagi warga Negara, bukan orang asing. Misalnya, teks pasal 1 Undang-undang Pemilkikan Hak politik (Qanun Mubasyarat al-Huquq al-Siyasiyyah) Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang menetapkan bahwa warga Negara Mesir baik laki-laki maupun perempuan-yang telah mencapai usia 18 tahun hitungan Masehi, dengan sendirinya telah memegang hak politik.11 Perlu dicatat, istilah hak politik perempuan sudah praktis merangkum pengertian hak dan sekaligus kewajiban. Hak politik, sejauh sebagai hak individu, sesungguhnya merupakan kewajiban bagi kolektifitas individu-individu. Sebab hak perempuan sebagimana telah diakui mengandaikan bolehnya seorang perempuan menggunakan atau tidak menggunakan hak itu tanpa ikatan apapun, selain penggunaaan yang sah secara hukum. Sementara itu hak politik, jika oleh seorang
Pasal tersebut sangat penting artinya bagi kaum perempuan Indonesia, sebab prinsip kesamaan kedudukan itu secara logisnya meliputi aspek asal-usul seperti bangsa (ras), suku bangsa, agama, jenis kelamin dan asalusul sosial. Oleh sebab itu Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjadi tumpuan persamaan hak bagi perempuan Indonesia, dan persamaan kedudukan. Masalah kedudukan perempuan dalam 11 Undang-Undang Negara Mesir No. 73 Tahun 1957 tentang Pemilkikan Hak Politik (Qanun hukum masih relevan untuk dibicarakan, Mubasyarat al-Huquq al-Siyasiyyah).
Al-Risalah
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
13
Siti Marlina
warga tidak digunakan, karena hampir semua aturan perundang-undangan orang itu akan mendapat sanksi. Lebih dari itu, hak politik hanya pegang oleh warga yang memenuhi syarat-yarat tertentu di samping syarat kewarganegaraan. Hak politik ini memuat keterlibatan individu dalam membentuk kehendak umum, baik berupa hak untuk memilih wakil-wakilnya di majelis dan lembaga-lembaga perwakilan lainnya, maupun hak untuk mencalon diri, hak-hak politik ini mencakup: a. Hak mengemukakan pendapat/suara dalam pemilihan-pemilihan umum dan pemungutan-pemungutan suara dengan berbagai aneka macamnya, b. Hak pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan maupun lembaga-lembaga lokal, c. Hak pencalonan menjadi kepala Negara. Dan seterusnya, meliputi partisipasi dan pengutaraan pendapat dalam masalahmasalah yang memiliki cirri politik. Mengenai sejauh mana hak politik yang diperoleh perempuan dalam tata dan konsep Islam, terdapat yang berbeda dan ragam: a. Pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak mengakui hak politik perempuan, dan dalam bidang ini perempuan tidak dapat disejajarkan dengan laki-laki. b. Mengatakan bahwa Islam mengabsahkan dan mengakui hak politik perempuan, kecuali hak menjadi pemimpin Negara. c. Memandang bahwa persoalan ini bukanlah persoalan agama, fikih, atau persoalan hukum, melainkan persoalan sosial politik. Karena iyu, masalah ini hendalnya dikembalikan kondisi sosial politik ekonomi masing-masing Negara. Untuk menunjukkan dimungkinkannya perempuan meraih sukses di dunia politik ini, kami cukup menyebutkan beberapa perem14
puan yang menduduki jabatan kepemimpinan suatu Negara, dahulu dan sekarang. Mereka ini terhitung pemimpin-peminpin yang sukses, bahkan melampaui banyak pemimpinan lakilaki yang berkecimpung dalam dunia public dan politik, dan banyak pula yang meraih sukses. Begitu juga, di hampir seluruh Negara serikat, perempuan yang memegang jabatanjabatan kementerian dan posisi-posisi penting banyak ditemukan. Mereka mewakili daerahnya masing-masing di lembaga-lembaga formal ataupun lembaga-lembaga lokal. Didalam sejarah agama Islam banyak juga perempuanperempuan yang ikut andil dalam kehidupan publik, dan memiliki peranan dan prestasi besar. Persamaan gender dibidang hak-hak politik, merupakan hak Syar’i bagi perempuan. Jika dalam berbagai periode sejarah kehidupannya, perempuan tidak menggunakan haknya itu, karena tidak adanya kebutuhan mendesak untuk mempraktikkannya, atau karena laki-laki dalam bidang ini mengunggulinya, itu tidak berarti bahwa hak politik perempuan menjadi tidak diakui. Bahkan, ia menjadi suatu hak yang dituntut, dan tidak akan pernah dihapuskan. Dan diberbagai Negara perempuan masih melakukan desakan dan tuntutan atas hak-hak tersebut. Hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui oleh undang-undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara.12 Undang-undang positif, dalam batasbatas yang tidak kecil, telah dilampaui oleh Islam sehubung dengan pengakuan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan. Hinggah akhir abad ke 18, perempuan belum mendapatkan hak-hak yang diakui secara yu12 Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2008), hlm. 34
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
ridis. Perempuan hanya dipandang sebagai makhluk yang tunduk kepada laki-laki, perempuan senantiasa menjadi subordinat laki-laki. Ketika Amerika serikat telah memperoleh kemerdekaan, presiden Jefferson pada tahun 1776 menerbitkan sebuah Deklarasi Kemerdekaan yang diantaranya memuat prinsip persamaan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Deklarasi hak asasi manusia dan hak warga negara. Pasal pertama deklarasi ini berbunyi, individu-individu dilahirkan bebas dna sama di depan hukum, dan manusia memiliki hak-hak alamiah, yakni kebebasan, persamaan hak milik pribadi, hak keamanan, dan hak menentang ketidakadilan. Meskin demikian, prinsip persamaanlah yang menjadi prinsip segala prinsip yang ditetapkan oleh revolusi. Prinsip persamaan ini kemudian mulai diapdosi oleh undang-undang dan aturan hukum di berbagai Negara. Sehingga, prinsip ini menjadi asas pokok pengakuan hak dan kebebasan universal dalam sistim demokrasi. Dengan kata lain, suatu masyarakat yang tidak menerapkan prinsip persamaan, tentu di dalamnya tidak ditemukan kebebasan hakiki. Karena, mana mungkin individu dapat menikmati kebebasan, sedangkan masyarakat sendiri tidak memiliki persamaan hak dan kewajiban secara yuridis. Jadi, persamaan adalah hak kebebasan. Prinsip persamaan meniscayakan adanya kesejajaran kedudukan antara laki-laki dan perempuan di depan hukum, juga kesejajaran dalam menunaikan beban tugas public. Hukum bagi seluruh individu dalam masyarakat itu satu, tidak ada perbedaan atau diskriminasi. Begitu pula, setiap individu sama dalam hal pembayaran pajak-pajak Negara, sesuai dengan pemasukan dan kekayaan masingmasing, tanpa membedakan apalah dia lakilaki atau perempuan. Meraka sama dalam hal Al-Risalah
tugas-tugas public, selain dalam pengecualian-perkecualian menurut kaidah umum, misalnya wajib meliter, yang dalam hal ini kaum perempuan di berikan kelonggaran.13 Sementara prinsip persamaan merupakan asas umum dan tidak memerlukan penjelasan, masalah kepemimpinan dalam jabatan-jabatan publik dan pemilikan hak-hak politik bagi kaum perempuan merupakan masalah khilafiyyah (yang masih diperdebatkan).14 Artinya hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga Negara setempat, bukan warga asing. Misalnya teks butir I dari undang-undang yang mengatur hak-hak politik di Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang berbunyi, “Setiap warga Negara Mesir, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah sepuluh tahun mendapat hak-hak politik sendiri.” Hal senada juga dicatumkan pada butir 5 undang-undang Parlemen Nomor 38 tahun 1972 yang diperbaharui dengan undang-undang Nomor 109 tahun 1980 dan butir 75 undang-undang hukum setempat Nomor 43 tahun 1979 yang mensyaratkan pencalonan atau penunjukan anggota di majelis-majelis ini harus individu warga Negara asal Mesir. Sebagainan tercatum dalam undang-undang yang berlaku sekarang butir 75 bahwa disyaratkan bagi orang yang dipilih menjadi Presiden harus orang yang lahir dari kedua orang tua yang berkewarganegaraan Mesir. Dalam hak-hak politik terhimpun anatara konsep hak dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan seseorang menggunakan atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apa pun kec13 Lihat Pasal 2, Ensilopedi Hak Asasi Manusia, hlm. 11 14 Muhammad Anas, Op.Cit., hlm. 89-90
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
15
Siti Marlina
uali dalam menggunakannya menurut konstitusi. Adapun jika hak-hak itu tidak digunakan dalam pembuatan undang-undang, hal itu mengancam dijatuhkannya sanksi, terutama karena hak-hak politik itu tidak berlaku kecuali bagi orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu di samping syarat kewarganegaraan. Hak-hak politik itu mensyaratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan atau pencalonandiri mereka untuk menjadi anggota majelisatau lembagalembaga perwakilan tersebut.15 Oleh karena itu, kaum perempuan telah diberikan hak-hak politik yang mencerminkan status mereka yang bermatabat, terhormat dan mulia dalam Islam. Sebagian dari hak-hak tersebut adalah sebagai berikut; 1. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat 2. Hak baiat (janji Setia) 3. Hak untuk ikut berjihad 4. Hak untuk memberikan perlindungan 5. Perempuan dan jabatan penguasa GBHN 1999 telah memberikan arahan yang cukup jelas bagi para pembuat kebijakan untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kedudukan dan pereanan perempuan setidaktidaknya dalam lima tahun mendatang. Terdapat 2 kebijakan yang harus dijalankan pemerintah, yaitu; 1. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. 2. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan 15 Ikhwan Fauzi, Op.Cit., hlm. 34-35
16
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga masyarakat.16 Hal tersebut ditunjang oleh kebijakan sektor hukum yang pada intinya memberikan arahan “menata hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat istiadat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legelative”.17 Instruksi presiden No 9 tahun 2000 menginstruksikan kepala Gubenur, Bupati, Walikota, Camat dan kelurahan untuk melakukan PUG dalam proses pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauannya. Adapun peluang dalam pemilu 2004 adalah munculnya affirmative action atas perumusan kebijakan yang responsive gender yang dikenal sistem quato khususnya untuk meningkatkan representasi perempuan dan lembaga-lembaga pengambilan keputusan. Dengan munculnya jumlah seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam mengambil keputusan diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang adil bagi perempuan dan lelaki. Kebijakan ini mdijamin dalam pasal 4 konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang diratifikasi dengan UU no 7 tahun 1984 juga telah mendapt landasan konstitusi yang kuat dalam pasal 28 H ayat 2 UUD 16 Nuhahbani Kacasungkana, Agenda Khusu Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Pengarustamaan Gender (PUG), (Malang: Semloknas), 2003. 17 Elfi Muawanah, Pendidkan Gende dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras), 2009, hlm. 152
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
1945 dan Tap MPR nomorVI/MPR/2002. Pada prinsipnya ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 65 ayat I UU tentang pemilu yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilu dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dan pada UU RI No 10 tahun 2008 tentang pemilu pasal 8 ayat I d disebutkan bahwa menyertakan sekurang-kurang 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Juga pada pasal 15 yang pada intinya ada keterwakilan perempuan sekurang-kurang 30 persen atau senbagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 5, pasal 20, pasal 51 ayat 2 UU No 2 tahun 2008 tentang parpol. Meskipun demikian banyak pendapat yang menganalisis bahwa perempuan secara kuantatif dan kualitatif kurang mengakses dunia politik, yaitu:18 1). Karena kesalahan perempuan sendiri: kurang pendidikan, kurang wawasan, kurang kompetitif sehingga tidak memungkinkan terjun kedunia politik.19 2). Tidak adanya persamaan (inequality) struktur hubungan lelaki dan perempuan.20 Mengingat
demokrasi sebagai slogan dalam bernegara maka seyogyanya berbagai peran politikpun atau jabatan pemerintahan dihilangkan sebagai peran-peran yang neuter.21 Pengindentifikasinya sebagai peran-peran gender neuter,22 secara teoritik konstitusional tidaklah akan ada lagi kemungkinan menutup akses bagi perempuan yang memasuki peran-peran dan atau jabatan. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki sama memiliki peluang untuyk memasuki dunia politik.23 Hak politik perempuan harus dianggap sebagai suatu kesatuan dengan hak asasi manusia, oleh karena itu hak politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Secara demokrasi jumlah perempuan sekitar 50 % dari pulasi merupakan bangunan teoritis demokrasi yang wajar bila wakil rakyat merefleksikan konstitusinya, keadilan dan demokrasi tidak mungkin dicapai apabila lebih ½ penduduk (perempuan) tidak didengar (silent mayority). Berdasarkan dari segi kesetaraan keterwakilan dari perempuan, untuk perempuan tidak ada bedanya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk rakyat, merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Meningkatnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik justru akan meningkatkan kualitas 18 Sugiarti, Pengarustamaan Gender dan Kemandi- kebijakan publik yang dikeluarkan. Karena rian Politik Perempuan Indonesia. Malang Semproses pengambilan keputusan yang tadinya loknas. 2003 didominasi laki-laki akan diwarnai dengan 19 Pandangan ini tidak mengakar, karena seyogyanya dicari apa sebab perempuan mis-pendidikan wawasan kompetitif dan segera diberikan kekurangan tersebut melalui penambahan pendidikan wawasan dan meningkatkan percaya diri mereka. 20 Lebih lanjut walaupun perempuan telah berpatisipasi dalam politik mereka masih terpengaruh oleh ideologi dominan, oleh karena itu merupakan hal penting untuk mengkajinya agar tercapai karier, termasuk kendala yang dihadapinya dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan dan tidak terkecuali pandanga npria sendiri
Al-Risalah
terhadap politisi perempuan dapat menunjukkan struktur hubungan lelaki dan perempuan baik dalam tempat kerja maupun di rumah tangga. 21 Soetandyo Wignyo Soeputro, Permasalahan Gender dalam Kehidupan Demokrasi, (Malang: Semloknas), 2003 22 Suatu proses mengaburkan pembatasan maskulin-feminin dan menghasilkan berbagai peran yang bermasyarakat ada dalam bahasa Jerman yang istilah lainnya adalah androgini 23 Elfi Muawanah, Op. Cit., hlm. 155
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
17
Siti Marlina
pertimbangan-pertimbangan menyentuh kepentingan dan kebutuhan rakyat yang lebih luas, yaitu rakyat yang termarginalkan, termasuk kepentingan perempuan pada bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Partisipasi perempuan dalam dunia politik erat kaitannya dengan usaha mempunyai akses mereka kepada kekuasaan. Oleh karena itu hanya dengan mempunyai akses besar, perempuan dapat mencapai jabatan-jabatan dalam politik dan pemerintahan. Namun keuntungan potensial untuk memenangkan persaingan dengan laki-laki ternyata tetap gagal mengimbangi hambatan-hambatan kumulatif bagi partisipasi perempuan dalam dunia politik. Apalagi bila pihak laki-laki mencari perempuan yang dapat diatur, perempuan yang lebih mudah menerima hegemoni lakilaki yang diperlu diwaspadai melalui startegi yang dibuat perempuan itu sendiri.24 Artinya, dengan jumlah perempuan sebesar itu, belum tercermin dalam jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat/pengambil kebijakan politik di Indonesia. Ditambah lagi, belum adanya platform partai yang secara kongkrit membela kepentingan perempuan. Meskipun kebijakan keterwakilan 30% perempuan di parlemen sudah dilakukan, namun faktanya menurut hasil penelitian CETRO (Centre for electoral reform) terhadap 4 (empat) partai besar peserta pemilu menunjukkan belum ada kesungguhan dari Partai Politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen, khususnya DPR. Akibatnya, agenda perempuan berupa pendidikan, kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi perempuan dan anti kekerasan termasuk perdagangan perempuan dan anak serta kekerasan seksual tidak pernah dapat diperjuangkan. 24 Ibid, hlm. 156-158
18
Padahal keberadaan perempuan di parlemen, bahkan ketika memegang tampuk kekuasaan sangat penting dalam mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan mereka. Dan hal ini berlangsung selama berpuluh-puluh tahun pada bangsa ini. Bahwa lembaga politik lebih didominasi oleh laki-laki, dan sebagian besar keputusan politik dibentuk oleh kepentingan serta cara pandang yang mengabaikan suara perempuan. Berkaca dari kasus-kasus Pilkada serentak yang akan diikuti oleh seluruh pasangan calon kabupaten/kota yang minus perempuan, apakah Partai Politik berani membongkar paradigma dan “praktik” tidak sensitif gender dalam pencalonan perempuan untuk ikut “fight” dalam kontestasi politik pada masa mendatang. Keterwakilan perempuan pada pilkada serentak 2015 dinilai masih sangat kurang. Berdasarkan perhitungan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dari 1.584 peserta yang memenuhi syarat, hanya 116 atau 7,32 persen yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan penelurusan Perludem melalui laman infopilkada.kpu.go.id, 116 perempuan yang berpartisipasi pada pilkada serentak 2015, 54 di antaranya mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan 62 orang tercatat sebagai calon wakil kepala daerah. Para perempuan tersebut tersebar di 90 daerah dari 262 daerah kabupaten, kota, dan provinsi. Persentasenya adalah kabupaten 76 orang dari 219 wilayah, kota 13 orang dari 34 wilayah, dan provinsi hanya 1 orang dari 9 wilayah. Sedangkan berdasarkan wilayah partisipasinya, tercatat 79 orang mendaftar di tingkat kabupaten, 13 orang di tingkat kota, dan 1 orang tingkat povinsi.25 25 http://www.suarakarya.id/2015/07/31/perempuan-dan-pilkada-serentak-oleh-thomas-koten. html
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
Pilkada serentak pertama kali akan dihelat pada 9 Desember 2015. Perhelatan demokrasi yang berlangsung di 269 daerah, 260 kabupaten/kota, dan 9 provinsi ini akan menjadi momentum yang signifikan bagi daerah-daerah untuk memilih kepemimpinan lokal sesuai dengan harapannya. Dan, para calon pemimpin daerah pun diharapkan dapat menjadikan pilkada ini sebagai event pembuktian diri untuk menjadi pemimpin daerah idaman. Dengan demikian, baik rakyat daerah maupun pemimpin terpilih nantinya dapat menggoreskan nama-namanya pada catatan sejarah daerah tentang kesuksesan mereka pada pesta demokrasi pilkada serentak pertama yang bisa dikenang. Bukan sebaliknya hanya menghasilkan sinisme publik lantaran pilkada serentak yang melibatkan sekitar 60% dari seluruh daerah kabupaten/kota tersebut telah menghabiskan biaya sekitar Rp 5 triliunRp 7 triliun.26 Puncak dari harapan kita adalah perhelatan akbar pilkada serentak ini dapat bermanfaat bagi kemajuan daerah. Jika harapan tersebut tidak tercapai, pilkada serentak tidak memiliki nilai positif alias tidak ada bedanya dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Dan, rakyat daerahnya akan kembali terjerat kekecewaan dan terus berkubang dalam lumpur kesulitan yang sama. Sayangnya, dalam pilkada serentak ini, keterlibatan kaum perempuan terkesan minim, dan juga tidak banyak opini yang mengemuka tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam pilkada demi meraih kursi eksekutif di daerah-daerah. Berbeda dengan pemilu legislatif di mana peran dan keterlibatan perempuan di legislatif didorong untuk mencapai keterwakilan 30%, baik di 26 http://www.suarakarya.id/2015/07/31/perempuan-dan-pilkada-serentak-oleh-thomas-koten. html
Al-Risalah
DPR maupun di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Persoalan ini pernah dikemukakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Yohana Yembise). Menurut Menteri, meskipun UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota belum menyinggung kebijakan afirmasi kepada perempuan dalam pencalonan kepala daerah, namun sangat diperlukan adanya komitmen dari penyelenggara dan parpol terkait pentingnya keterlibatan perempuan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.27 Persoalannya adalah bagaimana supaya kaum perempuan memiliki keleluasaan memperjuangkan nasibnya yang khas perempuan secara maksimal? Maka, di sini diharapkan munculnya komitmen partai poltik untuk mendorong, meningkatkan dan memperluas aksesibilitas perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan di pusat dan daerah. Dan, parpol pun harus memahami ini demi mendapatkan keseimbangan dalam kesejateraan rakyat di mana segala keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dapat tercipta dengan baik. Catatan penting bahwa karena masalah dana pilkada merupakan hal mutlak, maka diperlukan implementasi UU Pemilu tentang penggunaan dana, bahwasanya dana kampanye dan sosialiasi calon didukung oleh pemerintah. Ini mempermudah masuknya kandidat perempuan dalam pilkada serentak ini. Padahal, di era demokrasi seperti sekarang ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menjadi panutan dalam dunia politik. Sebut saja presiden ke lima Indonesia, Megawati Soekarno Putri merupakan seorang 27 Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota belum menyinggung kebijakan afirmasi kepada perempuan dalam pencalonan kepala daerah.
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
19
Siti Marlina
perempuan. Begitupun dengan pemimpinpemimpin lokal seperti Gubernur, Bupati maupun Walikota. Diantaranya, Tri Rismaharini walikota Surabaya yang berhasil memimpin dan memajukan kota Surabaya di kancah internasional. Namun, ironisnya usulan untuk menyuarakan leadership bagi perempuan tersebut belum mendapat sambutan yang positif dari para pemegang kebijakan. Hal itu terbukti dengan masih minimnya partisipasi perempuan dalam pilkada serentak 2015. Meskipun pada kenyataannya, minimnya partisipasi perempuan dalam pilkada 2015 bukan sepenuhnya kesalahan dari para pemegang kebijakan semata. Namun kemungkinan besar justru datang dari internal perempuan sendiri. Yaitu tidak adanya antusias dari perempuan untuk berpolitik. Sehinggga mereka memiliki kecenderungan untuk bertahan sebagai sub ordinat laki-laki. Asumsi semacam inilah yang menjadikan kesalahan fatal bagi perempuan di kancah politik. Perempuan dan Pilkada Menurut Hukum Islam
Untuk itu, akan lebih baik bagi kita untuk menggunakan istilah lain dari pemilihan atau pemilu, bahkan ketika kita membicarakan mengenai pemilihan seorang kholifah (kepala negara dalam sistem Islam), untuk membedakan diri kita dengan orang-orang kafir (dengan tidak menggunakan istilah-istilah mereka) dan menghindari keambiguan (makna yang membingungkan) atau kesalahan konsepsi seputar pemilihan atau pemilu. Wahai saudara-saudaraku (kaum muslimin), ketahuilah bahwa demokrasi dan kebebasan adalah bentuk thoghut dan karenanya itu menjadi prasyarat bagi seorang muslim untuk menolak itu semua dan menyatakan permusuhan kepada mereka. Jangan patuh dan tunduk pada bisikan syaithan yang dihembuskan oleh sekularis yang akan mengajak anda untuk menolak Iman, dan menolak menyembah hanya kepada Tuhanmu dengan hanya taat kepada-Nya.28 Pada dasarnya hukum asal pemilihan umum atau memilih pemimpin (penguasa) adalah mubah hukumnya. Hukum mubah artinya jika dikerjakan maupun ditinggalkan sama-sama tidak mendapat pahala dan tidak pula mendapat dosa. Dalam Negara Islam (yang disebut Negara Khilafah) pun ada pemilu di mana kaum muslim memilih Khalifah (kepala Negara). Ini adalah pendapat Syaikh Atha Bin Khalil, seorang Ulama asal Palestina. Akan tetapi hukum mubah ini dapat berubah menjadi haram jika terdapat dua kondisi. Kondisi pertama, haram ikut mencoblos jika calon pemimpin (penguasa) itu tidak memenuhi syarat sah pemimpin yang jumlahnya tujuh. Tujuh syarat sahnya seseorang menjadi pemimpin (penguasa) adalah; Islam, berakal sehat, baligh, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu. Tidak sah dan haram jika yang
Definisi pemilihan (pemilu), ini hanyalah istilah kaum sekularis untuk mengambil keuntungan. Secara bahasa ini berarti memilih pemimpin atau penguasa, yang dalam Islam sesungguhnya merupakan kewajiban, sepanjang hukum yang diterapkan adalah hukum Islam (berasal dari Allah SWT). Bagaimanapun jika kita berbicara mengenai pemilihan atau pemilu di masa sekarang, hal ini tidak diartikan memilih atau menerapkan hukum Islam! Proses pemilihan adalah memilih seseorang yang akan membuat hukum sesuai keinginan mayoritas, oleh karena itu istilah pemilihan atau pemilu lebih disukai penggunaannya oleh 28 h t t p : / / p a r t a i - p o l i t i k - i s l a m . b l o g s p o t . co.id/2008/12/demokrasikebebasan-dan-pemilusistem demokrasi dan kebebasan yang kufur. menurut.html
20
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
menjadi pemimpin (penguasa) adalah seorang kafir (non-muslim), gila, anak kecil yang belum baligh, perempuan, budak, orang fasiq (ahli maksiat, missal dia koruptor atau tukang selingkuh), dan cacat fisik yang menyebabkan dia tidak mampu memerintah. Kondisi kedua, haram ikut mencoblos jika diketahui dengan dugaan yang kuat (Ghalabatuzh Zhan) bahwa semua calon yang harus dipilih setelah terpilih nanti akan menerapkan hukum selain syariah Islam/hukum Allah. Misalnya dalam kampanye, calon itu secara terang-terangan mengatakan bahwa ia akan membangun dan memajukan demokrasi, HAM, dan pluralisme. Ini pun merupakan pendapat Syaikh Atha Bin Khalil. Keharaman memilih (mencoblos) pemimpin (penguasa) pada dua kondisi di atas berdasarkan sebuah kaidah ushul fiqih, yakni: Al-Washilatu ilaa al-haram, fahuwa haram” (Sebuah sarana yang mengantarkan pada sesuatu yang haram maka hukumnya juga haram).29 Berdasarkan dalil-dalil yang pasti sumber dan maknanya dari al-Quran dan alHadis, Haram hukumnya seseorang menjadi pemimpin (penguasa) jika ia non-muslim, gila, belum baligh, perempuan, budak, fasiq, dan tidak mampu. Begitu juga haram hukumnya seorang pemimpin (penguasa) menggunakan selain syariah Islam sebagai hukum, aturan, atau perundang-undangan dalam mengatur kekuasaan dan rakyatnya. Haram hukumnya seorang pemimpin (penguasa) menerapkan demokrasi, kapitalisme, HAM, pluralisme, sosialisme, komunisme, marxisme, dan system kufur lainnya. Sebagaimana firman Allha SWT surah Al-Ahzab (33) ayat 36 yang artinya sebagai berikut; 29 https://mumaseo.wordpress.com/2015/04/27/ hukum-mencoblos-bupati-gubernur-menurutislam/
Al-Risalah
Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.30
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah Swt. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah Swt. Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariah Islam adalah haram berdasarkan kaedah syara’ yang menyatakan: “Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram”. Berdasarkan ayat-ayat diatas menjelaskan bahwasannya Islam membolehkan perempuan untuk memiliki sesuatu dan bertindak atas hak milikinya itu. Perempuan dibolehkan pula mewakilkan urusannya kepada orang lain, jika ia tidak berkehendak sendiri, dibolehkan pula atasnya untuk menjamin orang lain atau dirinya dijamin orang lain, semua kebolehan itu persis seperti yang diberikan kepada laki-laki hingga karenanya kita tidak pernah menjumpai seorang ahli fiqih Islam pun berpendapat bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan segala tingakah laku keuangan hanya dihususkan bagi laki-laki dan tidak untuk perempuan. Dengan demikian Islam memberikan de30 al-Ahzab (33): 36
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
21
Siti Marlina
rajat kepada perempuan dalam kedudukannya sebagai manusia yang sempurna, kemanusiannya sejak awal nur Islam menyirami bumi. Sehubungan dengan keterwakilam perempuan dalam dunia politik kita punya harapan besar terhadap keberadaan perempuan dalam pemilihan kepala daerah langsung yang sedang bergulir saat ini di dunia perpolitkan indonesia, bagaimana peluang perempuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung ini atau dengan kata lain apakah peluang perempuan sebagai pemimpin daerah mempuyai peluang yang sama dengan laki-laki, mungkin pertanyaan ini harus dijawab oleh penelitian, kita buat sebuah studi kasus di daerahdaerah pemilihan di Indonesia, tatapi paling tidak tulisan ini dapat sedikit menggambarkan keadaan perempuan berdasarkan sejarah masa silam perjuangan perempuan Indonesia. Adapun mengenai kedudukan perempuan di dalam pandangan Islam, sesungguhnya sudah sangat jelas, sehingga ketika peradaban lain masih sibuk mendiskusikan mengenai apakah wanita itu sejenis hewan ataukah manusia, Islam justru telah menempatkan wanita pada posisis yang paling tinggi dan penuh adil. Kalau kita telaah lebih dalam, sesunguhnya hukum-hukum Islam diturunkan kepada manusia dengan melihat sisi kemanusiannya semata. Kalupun sepintas ada perbedaan beban hukum, hal ini bukan berarti Islam menomorsatukan laki-laki dan menomorduakan perempuan, melainkan karena pengakuan terhadap perbedaan yang secara fitrah telah dimiliki keduanya saat mereka diciptakan, dan ini justru makin memperkuat keyakinan bahwa ajaran Islam sangat sesuai dengan sisi kemanusiaan manusia.31 Menurut Analisa penulis upaya memper-
juangkan hak-hak perempuan itulah sehingga dimungkinkan perempuan harus mengambil peran dalam urusan politik karena terkait dengan pengambilan kebijakan. Perempuan harus didorong untuk maju berkompetisi dalam ruang kontestasi, Pilkada bahkan Pilpres. Bukan diberikan porsi sebagai pelengkap penderita yang berurusan dengan ranah domestik. Penerimaan perempuan dalam ruang politik di Indonesia memang masih berada dalam ruang abu-abu. Pada umumnya, perpolitikan di Indonesia masih melihat wilayah politik adalah wilaayah patriarki, dunianya laki-laki. Ini bisa dilihat dari ketimpangan gender dalam hal representasi di lembaga politik di Indonesia. Sesuai dengan Fatwa MUI tentang pemilu 2009 diktum 4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. dan diktum 5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, maka wajib bagi para aktivis Islam untuk memberikan penyadaran (tauiyyah) kepada umat Islam agar hanya memilih wakil rakyat yang memang jelas nyata merupakan tokoh pejuang syariah Islam yang bertekad untuk tegaknya NKRI Bersyariah dan tidak memilih mereka yang tidak jelas visi misinya untuk Islam dan agar umat Islam bersikap istiqomah dan tidak terpengaruh oleh money politic yang sejatinya suap terlaknat. Penutup
Dari penjelasan diatas dapatlah dimpulkan bahwasannya perempuan itu boleh berpartisi31 p2si.unpas.ac.id/download/almizan/edisi128/ pasi dalam pilkada atau berpoltik, asal tidak Imas%20Sumiati.Doc
22
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah
Perempuan dan Pilkada dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Karena dilihat dari sudut pandang kesetaraan gender, bahwasan perempuan itu mempunyai hak dan kewajiban dalam bangsa dan Negara. Berkaca dari kasus-kasus Pilkada serentak yang akan diikuti oleh seluruh pasangan calon kabupaten/kota yang minus perempuan, apakah partai politik berani membongkar paradigma dan “praktik” tidak sensitif gender dalam pencalonan perempuan untuk ikut “fight” dalam kontestasi politik pada masa mendatang. Padahal, di era demokrasi seperti sekarang ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menjadi panutan dalam dunia politik. Sebut saja presiden ke lima Indonesia, Megawati Soekarno Putri merupakan seorang perempuan. Begitupun dengan pemimpinpemimpin lokal seperti Gubernur, Bupati maupun Walikota. Diantaranya, Tri Rismaharini walikota Surabaya yang berhasil memimpin dan memajukan kota Surabaya di kancah internasional. Adapun mengenai kedudukan perempuan di dalam pandangan Islam, sesungguhnya sudah sangat jelas, sehingga ketika peradaban lain masih sibuk mendiskusikan mengenai apakah wanita itu sejenis hewan ataukah manusia, Islam justru telah menempatkan wanita pada posisis yang paling tinggi dan penuh adil. Dengan demikian Islam memberikan derajat kepada perempuan dalam kedudukannya sebagai manusia yang sempurna, kemanusiannya sejak awal nur Islam menyirami bumi. Sehubungan dengan keterwakilam perempuan dalam dunia politik kita punya harapan besar terhadap keberadaan perempuan dalam pemilihan kepala daerah langsung yang sedang bergulir saat ini di dunia perpolitkan indonesia, bagaimana peluang perempuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung ini atau dengan kata lain apakah peluang peremAl-Risalah
puan sebagai pemimpin daerah mempuyai peluang yang sama dengan laki-laki, mungkin pertanyaan ini harus dijawab oleh penelitian, kita buat sebuah studi kasus di daerahdaerah pemilihan di Indonesia, tatapi paling tidak tulisan ini dapat sedikit menggambarkan keadaan perempuan berdasarkan sejarah masa silam perjuangan perempuan Indonesia. Bibliography Al-Qur’an dan Terjemahan, Semarang: Toha Putra Anonim, 1989. Tim Penyusun, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: HUP, 1992 Tim Penyusun, Undang-undang Perkawinan di Indonesia UU No. 1 Tahun 1974, Surabaya: Arkola, 1974 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Balai Pustaka, 1994 Tim Penyusun, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Pedoman Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000, tentang Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: PP, 1999 Tim Penulis Badan Pemberdayaan Masyarakat, Memahami Gender Menuju Kesetaraan dan Keadilan, Tulung Agung: diterbitkan untuk Masyarakat Tulung Agung, 2002 Elfi Muawanah, Pendidkan Gende dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Teras, 2009 Helen Tierney, Woman’S Studies Encylopedia, Volume 1, New York: Green Wood Press, 2006 Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2008 Nuhahbani Kacasungkana, Agenda Khusu Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Pengarustamaan
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
23
Siti Marlina
Gender dalam Kehidupan Demokrasi, Gender (PUG). Malang: Semloknas. Malang: Semloknas, 2003 2003 Sugiarti, Pengarustamaan Gender dan Ke- Tihami dan Sohari Sahrani, Fkih Munakahat Lengkp kajian Fikih Lengkap, Jakarta: mandirian Politik Perempuan Indonesia. Rajawali Pers, 2009. Malang: Semloknas. 2003. Soetandyo Wignyo Soeputro, Permasalahan
24
Vol. 15, No. 1, Juni 2015
Al-Risalah