PERDEBATAN IDEOLOGI PENDIDIKAN Karti Soeharto FIP Universitas Negeri Surabaya (e-mail:
[email protected])
Abstract: Debates on Educational Ideologies. The study of educational ideologies derives from perspective debates between the formal system perspective and the process perspective. The formal educational ideology has applied the general philosophical system since 1950, whereas the process or problematic perspective using the semantic, rational, and empirical methods has refused the former since 1960. Today, this dispute is still going on. Based on O’Neill’s taxonomy, the educational ideology in Indonesia can be classified as a conservative social revisionist ideology or liberal compromise ideology. Keywords: educational ideology, conservative social revisionist ideology, liberal compromise ideology
PENDAHULUAN Berdasarkan penelusuran dan pengamatan, kajian tentang pendidikan yang bertemakan ideologis atau filosofis jarang ditemukan di jurnal-jurnal pendidikan di Indonesia (Sirozi, 2004:2005). Beberapa kemungkinan penyebabnya: pertama, masalahnya tidak populis dan kurang menarik; kedua, para pakar pendidikan lupa akan dua tugas utamanya, yakni selain menumbuhkembangkan hal-hal yang bersifat praksis implementatif tentu harus yang bersifat substansial: teoretik - filosofis – ideologis; dan ketiga, semakin langkanya jurusan atau program studi, filsafat pendidikan atau ideologi pendidikan, atau teori pendidikan, meskipun sampai sekarang Fakultas Ilmu Pendidikan di LPTK-LPTK masih eksis. Dengan maksud untuk mengisi kekosongan kajian tersebut, dalam tulisan ini dikaji pemikiran-pemikiran ideologi pendidikan, khusus-
nya tentang pengelompokkan ideologi pendidikan dan pandangangannya tentang pendidikan. Terakhir, kajian ini menjelaskan posisi ideologi pendidikan Nasional Indonesia sebagaimana direpresentasikan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berdasarkan pengelompokkan ideologi pendidikan menurut O’Neill (1981) dan pendekatan dialektik Nelson (1998). HASIL KAJIAN Melalui kajian secara historis, perdebatan ideologi pendidikan bermula dari perdebatan konseptual antara perspektif sistem formal dan pespektif proses empiris. Perdebatan perspektif yang terjadi sejak tahun 1960-an itu masih berkecamuk sampai sekarang. Perspektif sistem formal yang menerapkan sistem filsafat umum ke dalam bidang pendidikan menguasai kajian ideologi pendidikan sejak 1950-an. Perspektif itu
134
135 dimotori oleh Donald Butler melalui bukunya Four Philosopies and Their Practice in Education and Religion (1951) dan dilanjutkan oleh Theodore Brameld dengan karyanya Philosophies Education in Cultural Perspective (1955), Toward a Reconstructed Philosophy of Education (1956), dan A Reconstructionist View of Education (1961). Perspektif proses atau problematis dengan metode semantis, rasional dan empirisnya melakukan penolakan terhadap perspektif sistem formal sejak 1960-an. Tokoh utama perspektif ini adalah Jonas Scoltis dengan tiga karyanya, yaitu Philosophy of Education: Four Dimension (1966a), Seeing, Knowing, and Beliefing: Reading (1966b), dan An Introduction to the Analysis of Education Concept (1968). Tokoh yang lain pada perspektif proses ini adalah Ricard S. Peters dengan karya berjudul Etics and Education (1966). Tokoh awal perspektif ini adalah John S. Brubacher dengan karya berjudul Modern Philosophies of Education (1962) dan Israel Scheffter dengan karyanya Conditions Knowledge (1965). Karya tokoh-tokoh itu mengumandangkan kajian ideologi pendidikan dengan sandaran dunia empiris. Dengan kata lain, sandaran ideologi pendidikan bukan menerapkan filsafat umum dalam dunia pendidikan sebagaimana anjuran Donald Butler. Perdebatan perspektif ideologis seperti yang dikemukakan di atas, berimplikasi terhadap adanya perdebatan pengelompokkan atau klasifikasi; misalnya pengklasifikasian ideologi pendidikan dikotomis:konvervatif dan liberal; realistik dan idealistik; trikotomis: tradisional, progresif dan radikal; konservatif, liberal dan kritis (Christenson et al.,
Perdebatan Ideologi Pendidikan
1971), bahkan ada yang lebih dari tiga kelompok, tetapi 6 kelompok: fundamentalisme, intelektualisme, konservatisme, libealisme, liberasionisme, dan anarkhisme/radikalisme. (O’Neill, 1981; Freire, dkk., 2003; Giroux & McLaren, 1989). Di antara yang disebutkan di atas, yang lebih memiliki kemiripan dan lebih relevan dengan kebutuhan dan realitas perkembangan sampai saat ini menurut hemat penulis adalah pengklasifikasian dari O’Neill dan Freire; yaitu kesamaan jumlah dan nama model ideologi pendidikan, yang berjumlah 6 (enam) model dengan berbagai variannya, yaitu fundamentalisme, intelektualisme, konservatisme, liberalisme, liberasionisme, dan anarkhisme/radikalisme. Bedanya, klasifikasi O’Neill (1981) lebih lengkap dan operasional dituangkan dalam peta ideologi pendidikan secara rinci, serta dicantumkan tokoh-tokohnya. Freire dan kawan-kawan (2003) lebih berupa bunga rampai pemikiran tokoh-tokoh pendidikan dari 6 (enam) model ideologi pendidikan. Dalam kajian tentang ideologi pendidikan nasional Indonesia, penulis menggunakan acuan pemetaan ideologi pendidikan O’Neill O’Neill (1981)membagiideologi pendidikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pertama ideologi konservatif dan liberal. Ideologi konservatif meliputi ideologi pendidikan fundamentalisme, ideologi pendidikan intelektualisme, dan ideologi pendidikan konservatisme. Ideologi liberal meliputi ideologi pendidikan liberalisme, pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkisme.
136 Fundamentalisme meliputi corakcorak konservatisme, yang pada dasarnya bersifat anti-intelektual. Artinya, mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan anggapan-anggapannya di atas penerimaan yang relatif tidak kritis terhadap kebenaran yang diwahyukan ataupun kesepakatan sosial yang sudah mapan (akal sehat). Ada dua variasi sudut pandang dalam penerapan ke dalam pendidikan: (a) ideologi pendidikan fundamentalisme religius, sebagaimana dijumpai dalam berbagai pendidikan versi Kristen yang lebih fundamentalistis, yang sangat terikat pada pandangan yang cukup kaku dan harafiah mengenai kenyataan yang diwahyukan melalui kewenangan/otoritas Alkitabiah. Dalam pendidikan dewasa ini, fundamentalisme religius barangkali paling bisa diamati dalam berbagai gagasan pendidikan yang dilontarkan dan dijalankan oleh kelompok-kelompok umat Kristen yang menampilkan kepatuhan ketat terhadap Sabda Allah, sebagaimana tertuang dalam Alkitab. Pandangan ideologi pendidikan fundamentalisme akal sehat yang diwakili oleh tokoh terkemuka seperti Max Raffery (ketua Pengawas Pengajaran Umum di negara bagian California), dengan penekanan yang kuat terhadap nasionalisme dan patriotisme. Ideologi pendidikan intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politis yang didasari oleh sistem-sistem pemikiran filosofis atau teologis yang relatif kaku dan fundamentalis otoritarian. Secara umum, konservatisme filosofis bermaksud mengubah
praktik-praktik politik yang ada, dan menjadikannya lebih sempurna relevan dengan cita-cita dan gagasan intelektual atau kerohanian ideal, yang pada intinya bersifat dimutlakkan. Misalnya, konservatisme intelektual yang terpantul dalam tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles dan pemikiran Thomas Aquinas (melandasi pandangan utama Gereja Katholik Roma). Dalam pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri, sebagai ideologi pendidikan intelektualisme, yang di dalamnya ada dua variasi mendasar: (a) intelektualisme filosofis yang intinya sekuler tercermin dari karya-karya Robert Maynard Hutchins dan M. Adler; (b) intelektualisme teologis, berorientasi religius seperti tertuang dalam karya-karya filosof Katolik Roma: William Mc Gucken dan John Donahue (O’Neill, 1981:63) Ideologi pendidikan konservatisme, pada dasarnya mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan prosesproses budaya yang sudah teruji oleh waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap hukum serta tatanan sosial yang baku, sebagai landasan bagi perubahan sosial yang konstruktif. Dalam hal pendidikan, kaum konservatif menganggap bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan struktur dan sistem sosial serta pola-pola berikut tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua variasi mendasar di dalam ideologi pendidikan konservatisme: (a) ideologi pendidikan konservatisme religius, menekankan pelatihan rohani sebagai pusat landasan watak moral yang tepat; (b) ideologi pendidikan konservatisme sekular, pe-
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2
137 duli pada perlunya pelestarian dan penyaluran keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang ada sebagai sebuah jalan untuk memastikan pertahanan hidup secara sosial sekaligus keefektifan personal. Saat ini, konservatisme religius paling terwakili dalam orientasi
pendidikan tradisi-tradisi Protestan, seperti Lutheran dan Baptisn; sedangkan yang sekular diwakili oleh para kritisi yang tajam dari pendukung progresivisme dan permisivisme pendidikan, seperti pemikiran James Koerner serta Hyman Rickover ( O’Neill, 1981: 64).
Bagan 1: Ideologi-ideologi Pendidikan Konservatif (O’Neill, 1981:64-65) The Conservative Educational Idelogies
MOST CONSERVATIVE REACTIONARY CONSERVATISM
(Anti-intellectual Authoritarianism)
LEAST CONSERVATIVE INTELLECTUAL CONSERVATISM
SOCIAL CONSERVATISM
(Philosophical and/or Theological Absolutism)
(Social and/or Religious Traditionalism)
Educational Intellectualism
Educational Conservatism
Educational Fundamentalism Religious Fundamentalism
Secular Fundamentalism
Theological Intellectualism
Christian Fundamentalism And Related Traditions Southern Baptist Church of Christ Many Independent Evangelical Churches Many Independent Religious Traditions Latter-Day Saints Seventh-Day Adventists Jehovah’s Witnesses Mre Extreme Forms of Civil Religion“ in the Prophetic NationUnderGod Orientation Evangelical Commitment to Thomas Harrington, John Adams James Madison John C. Calhoun Machiavellians Social Darwinists (Spencerian Conservatives) Hebert Spencer William Graham Sumner Lester Ward Teleological Nationalists (Hegelian Conservatives) Gerg W.F. Hegel Auguste Comte Emile Durkheim Various German Romantic Idealists (Fichte, Schelling) Friedrich Neitzsche Various Crities of Liberal Approachches to Education Council for Basic Education Hyman Rickover James Koerner Arthur Bestor A Nondenominational Judeo-Christian Religious Orientation “Protestant Civic Piety” Edgar Bundy (Church Billy James Hargis (Christian Crusade) Carl Mclntire (The Cristian Beacon) The Moral Majority Cristian Voice
Teleological Totalitarism (Hegelian Totalitarinism) Fascism Benito Mussolini Giovanni Gentile Naziism Adolf Hitler Ernst Huber More Extreme Forms of “Civil Religion” in the Prophetic Nation-asTranscedent Tradition Religious Nationalism Robert Welch (John Birch Society) Dan Smoot (Facts Form) Clarance Manion (Manion Forum) Common Sense“ Populism Max Rafferty George Wallace European Reactionary “Retorationism” Joseph de Maistre Louis de Bonald Francois de Chateaubriand
St. Thomas Aquinas St. Ignatius Loyola (and the Jesuits) Moses Maimonides John Henry Newman Dominant Tradition in Contemporary Roman Catholicism Domaint Tradition in Contemporary Judaism Reformtion-based Protestant Theology Domaint Tradition in Most “Natural” Religions (Such an religion (such as) Unitarianism Universalism)
Perdebatan Ideologi Pendidikan
Philosophical Intellectualism
Religious Conservatism
Plato Aristotle Rene Descartes Matthew Arnold Dominant Tradition in Western “Liberal Arts” Orientation Robert Huctchins Mortimer Adler Jacques Barzan The Great Books rogram St. John’s College, Annapolis Major “Establishment” Prep Schools (Andover, Choate, etc) French Ideal of “culture generale” (as in the lycee) German Mainstream Academic Tradition (as In the classical Gymnasium) British “Great Public Schools” (Eton, Harrow, etc.)
Based Protestant Traditions Protestant Episco palianism Lutheranism Presbyterianism Reformed Calvinism Nondenominational Evangel Ical Christian Monements Billy Graham Campus Crusade for Christ Intervarsity Christian Fellowship Teen Challenge Theological Augustinians St. Augustine of Hippo Reinhold Niebuhr Theological Antirationalism And/or Intuitionism Tertullian John Duns Scotus Soren Kierkegaard Most “Ethic Religions” Hungarian Reformed Church Norwegian Evagelical Lutherans Armenians Church of North America Most Forms of “Civil Religion” in the Priestly Nation-Under-God Tradition Qualified Forms of “Protestant Civic Piety”
Secular Conservatism Establishment Conservatives (Tory Democracy) Edmund Burke Russell Kirk William Buckley, Laissez Faire Conservatives Adam Smith, Thomas Malthus David Ricardo m\Milton Friedman, Ayn Rand Secular Augustinians and Related Traditions Political Realism (Hans Morgenthau) Hedonic Naturalism (Thomas Hobbes) Political “Conflict of Interest” Theories Thomas Harrington John Adams James Madison John C. Calhoun Machiavelli and the Neo Machiavellians Social Darwinists (Spencerian Conservatives) Hebert Spencer William Graham Summer Lester Ward Teological Nationalists (Hegelian Conservatives) Georg W.F. Hegel Auguste Comte Emile Durkheim Various German Romantic Idealists (Fichte,Schelling) Friedrich Nietzsche Various German Romantic Idealists (Fichte, Schelling) Friedrich Nietzsche Various Crities of Liberal Approaches to Education Council for Basic Education Hyman Rickover James Koerner Arthur Bestor
138 Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberal ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodik yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessorimo, ke liberalisme direktif (lebih mengarahkan) yang sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non direktif atau liberalisme laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl Rogers (O’Neill, 1981:66). Ideologi pendidikan liberasionisme, menganggap bahwa manusia mesti mengusahakan pembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas tatanan politis yang ada, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan perwujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Ideologipendidikan liberasionisme mencakup spektrum pandangan yang luas, dari liberasionisme pembaruan yang relatif konservatif, yang tercermin dalam gerakan-gerakan menuntut hak-hak warganegara (di AS era 60-an) hingga ke komitmen yang mendesak dan bernafsu terhadap liberasionisme revolusioner, yang kerapkali bernuansa Marxis, dengan seruannya agar sistem pendidikan segera mengambil peran aktif dalam menggulingkan tatanan politik yang ada. Bagi kaum ideologi pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah objektif (rasional-ilmiah), namun tidak sentralistik. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia
ada bukan hanya untuk mengajar anakanak tentang bagaimana cara berpikir efektif (rasional-ilmiah), melainkan juga untuk membantu mereka mengenali kebijakan yang sifatnya lebih tinggi (superior) yang tak terceraikan dari pemecahan-pemecahan masalah secara intelektual yang paling meyakinkan, sehubungan dengan problem-problem manusia. Dengan kata lain ideologi pendidikan liberasionisme didirikan di atas landasan sistem kebenaran yang terbuka, yang pada puncaknya merupakan sebuah orientasi yang berpusat pada problema sosial. Sekolah memiliki kewajiban moral untuk mengenali dan mempromosikan program-program sosial yang konstruktif. Sekolah mesti berusaha memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada (O’Neill, 1981:66). Anarkisme yang bersudut pandang pembela penghapusan/pemusnahan/pelenyapan seluruh kekangan terlembaga atas kebebasan manusia. Penghapusan kekangan ini diyakini sebagai jalan untuk menyediakan peluang penuh atas potensi-potensi manusia yang dibebaskan. Dalam pendidikan, sikap anarkis paling terwakili dalam tulisan-tulisan tokoh terkenal Ivan Illich dan Paul Goodman (O’Neill, 2002:113). Sudut pandang ini meliputi wilayah pandangan yang cukup luas, dari anarkisme taktis, yang ingin melebur sekolah demi mendramatisasikan kebutuhan akan adanya sistem sosial yang baru hingga ke anarkis utopis yang membayangkan terciptanya sebuah masyarakat bebas tak terbatas dari seluruh kekangan kelembagaan apapun. Kaum yang ber-
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2
139 ideologi pendidikan anarkisme, sebagaimana yang liberalis dan liberasionis, pada umumnya menaati sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (ilmiah-rasional). Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme lebih menekankan pada kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau melenyapkan batasan-batasan terlembaga atas perilaku personal, dan berusaha sejauh mungkin membebaskan
masyarakat dari lembaga-lembaga (deinstitusionalisasi masyarakat). Sejalan dengan itu, diyakini bahwa pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah yang mengusahakan untuk mempercepat pembaharuan-pembaharuan humanistis yang segera dan berskala besar di dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem sekolah secara keseluruhan (O’Neill, 1981:67).
Bagan 2: Ideologi-ideologi Pendidikan Liberal (O’Neill, 1981:64-65) THE LIBERAL EDUCATIONAL IDELOGIES
LEAST LIBERAL
MOST LIBERAL
LIBERALISM
LIBERATIONISM
ANARCHISM
(Change wthin the Established Social Order)
(Rapid and Large-Scale Changes in the Basic Nature of the Established Social Order)
(Liberation of Mankind from Institutional Restraints)
Educational Liberalism
Educational Liberationism
Educational Anarchism
METHOD
DIRECTIVE
NON-DIRECTIVE
REFORM
RADICAL
REVOLU-TIONARY
TACTICAL
RADICAL
J. Herbart M. Montessori J.B. Conant E.L. Thorndike (and the Standardized Testing Movement) J. Bruner’s “structure of knowledge” approach as applied to curriculum reform (the “new math,” PSSC, etc.) “Scientific Management” in Education (PPBS) Competency-Based Curricula Programmed Instruction (including PSI-The Keller Plan) Teaching Machines
John Locke Benjamin . F H. Pestalozri F. Fruroel Francis W.P John Dowey Kilpatrick John Childs Susan Isaacs (Great Britain) Celestin F. (France) Community Colleges (U.S.) British "Open University" British "Open Classroom" Learning Laboratories Confluent Education (G. 1. Brown) "University Without Walls- approach Jean Piaget Lawrence Kohlberg Values Clarification (Louis Raths, Sidney Simon, etc.) William Glasser Carl Orff (Orffschulwerk) Rudolf Steiner (Waldorf Schools)
Rousseau (Emile) A.S. Neill Carl Rogers George Leonard
Ethnic and or Racial Reform Movements (particulary during the early 60s) and movements toward eliminating discrimination based on age, sex or sexual preference Black Student unions United Mexican American Student, Southern Christian Leadership conference Brown Berets Black Panthers Moderate Faction) Students' Nonviolent Coordinating Committee Women's Right, Movements (Various) Gay Student Unions Gray Panthers
John Dewey George Counts Harold Rug Theodore Brameld B. F. Skinner (Walden Two) Wilhelm Reich Anton Makarenko (USSR) Jonathan Kozoi Charles Dederich (Synanon) Black Panthers (Radical Faction) Stokely Carmichael Christian Marxism Israeli Kibbutz (of the secular-socialist variety) PostRevolutionary MarxismLeninism (as in Communist Kuba, Communist China, etc.) Secular Yiddish Progressive Schools (c. 19(0-1940)
Prerevolutionary Marxism Leninism (to create "revolutionan consciousness") Paulo Freire Revolutionary SIDS (late 60s) Weather Underground Third World Liberation Front Regis Debray Maoist "Red Guard Movement" (China in early 70s)
Illich E. Reimer P. Goodman J. Holt
Illich E. Reimer P. Goodman J. Holt M. Gandhi
Perdebatan Ideologi Pendidikan
UTOPIAN
Illich E. Reimer P. Goodman J. Holt M. Gandhi L. Tolstoi Marx's Vision of a Utopian "Classless Society
140 ANALISIS NELSON TENTANG SISTEM PENDIDIKAN Nelson, dkk. (1996) menawarkan analisis sistem pendidikan dengan pendekatan dialetiknya. Pendekatan itu dikemukakan dalam karyanya berjudul Critical Issues in Education: A Dialectic Approach. Pendekatan dialetik Nelson berangkat dari pandangan bahwa sekolah tidak hanya sebagai pusat perselisihan, sekolah juga sebagai tempat yang logis untuk studi perselisihan yang bijaksana (Nelson, dkk., 1996). Studi ini berisi penataan pikiran rasional dan terbuka untuk menemukan isuisu sosial penting. Isu-isu sosial penting ini ditandai oleh pendapat yang berbeda-beda. Isu kritis, dimaknai sebagai suatu perselisihan yang keras. Tentu saja, debat adalah dasar dari seluruh definisi kata " isu". Isu kritis menggunakan cara berpikir dialektika. Suatu pendekatan dialektika adalah suatu format pemikiran yang melibatkan perselisihan dan opini divergen dalam usaha untuk sampai pada ide yang lebih baik. Pendekatan dialektik ini memiliki kerangka pikir sederhana, jelas, dan relevan untuk menemukan isu-isu penting dan berupaya memperoleh ide yang lebih baik. Dengan kelebihan itu, maka pendekatan dialektika ini dipergunakan untuk memahami interpretasi elite pendidikan mengenai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberagaman interpretasi elite pendidikan mengenai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimungkinkan adanya penemuan tesis-tesis baru untuk sistem pendidikan nasional
berdasarkan penolakan pada tesis-tesis lama. Sebagaimana dikatakan Nelson, dkk., (1996:20), bahwa: “A basic structure in dialectical reasoning is to pit one argument (thesis) against another (antithesis) to develop an synthesis that is superior or either. It is an inquiry into important issues that identifies tha main points, important evidence, and logical arguments used by each of the proponents of at least two divergent views of the issue. A dialectical approach requires critical examination of evidience and argumen from each side of a dispute, granting eah some credibility in order to understand and criticize it. A dialectical approach is also dinamic; a synthesis from one level of reasoning can become a new thesis at a more sophisticated level, and the process of inquiry continues to spiral (Adler, Cooper, dan juga Rychlak, dalam Nelson, dkk., 1996: 20).”
Pemikiran cara dialektik menyarankan suatu dialog antargagasan yang bersaing, tidak mengalahkan yang satu dan menerima lainnya, tetapi untuk mempertemukan suatu gagasan yang teruji. Pemikiran dialektik sebagai hal yang optimis, dinamis, dan disputational (dapat diperdebatkan). Seperti di mana pun format wacana kehidupan (human discourse), pemikiran dialektik tidak serta-merta mendorong ke arah kebenaran; dapat pula melulu mengulangi kesalahan dan bias. Begitu juga, dapat terjadi mendukung skeptisis yang sehat dalam pengujian pertentangan ini (Nelson, dkk., 1996:20). Dengan pertimbangan, bahwa tanpa skeptis, akan dengan mudah jatuh masuk ke "penipuan, puas diri, dan dogmatis"; dengan cara demikian pendekatan dialektik, dapat secara efektif mengembangkan dan mengedepankan penemuan terhadap
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2
141 pengetahuan, yang penerapannya untuk kehidupan praktis, etika, dan politik" (Kurtz, 1992:9). Berpikir secara dialektik dengan skeptis yang bijaksana, dengan menggunakan metode inkuiri dapat diterapkan terhadap isu-isu di sekolah. Sebagai lawan dari perspektif idealistik, pendekatan dialektik merupakan representasi, ekspresi, dan perbedaan ide-ide tentang bagaimana persekolahan dapat berkembang. Pada akhir abad duapuluh dan awal abad dua puluh satu, meskipun sekolah dalam keadaan tenang, isu-isu pendidikan pasti muncul dan diperdebatkan serta memerlukan sumbangan pemikiran dialektik (Nelson, dkk., 1996:21). Tiga Pertanyaan Dasar dalam Dialektika Nelson, dkk. Nelson, dkk. (1996: 27) menggunakan kerangka pikir berfokus pada 3 (tiga) pertanyaan utama tentang pendidikan. Pertama, what interests should schools serve? Kedua, what should be taught? Ketiga, how should schools be organized and operated? Pertanyaan dasar pertama itu mengimplikasikan komponen landasan pendidikan. Pertanyaan kedua memberi implikasi pada komponen kurikulum pendidikan. Implikasi kurikulum itu tampak dari inti pertanyaan kedua itu, yakni substansi isi yang akan diajarkan. Pertanyaan dasar ketiga mengimplikasikan komponen manajemen pendidikan. Ketiga komponen pendidikan itulah yang menjadi inti gagasan Nelson, dkk. (1996) untuk mengkaji isu-isu pendidikan melalui pendekatan dialektikanya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ketiga komponen pendidikan
Perdebatan Ideologi Pendidikan
dibagi menjadi aspek-aspek seperti terlihat pada Bagan 3. Pemetaan aspek-aspek dalam komponen pendidikan nasional Indonesia bersumber pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diselaraskan sesuai keperluan penulisan ini. KOMPONEN LANDASAN PENDIDIKAN NASIONAL: KONSERVATIF DAN LIBERAL Komponen landasan pendidikan nasional terdapat 6 aspek meliputi (1) dasar pendidikan; (2) fungsi dan tujuan pendidikan; (3) prinsip-prinsip pendidikan: pembudayaan dan keteladanan; (4) prinsip-prinsip pendidikan: demokratis dan pemberdayaan partisipasi masyarakat; (5) hak dan kewajiban warga negara; dan (6) hak dan kewajiban negara. Berdasarkan interpretasi Elite Pendidikan Indonesia (Soeharto, 2009), landasan pendidikan nasional berdasarkan persepektif O’Neill, bercirikan ideologi pendidikan konservatif sosial dan sekaligus bercirikan ideologi liberal. Disebut bercirikan ideologi pendidikan konservatisme sosial karena di dalam landasan pendidikan berisikan nilainilai agamis dan kultural, pembudayaan dan keteladanan, serta masih dominannya peran negara terhadap pendidikan. Disebut bercirikan ideologi pendidikan liberal, karena di dalam komponen berisikan pengembangan potensi peserta didik melalui ilmu pengetahuan, kebebasan warganegara secara demokratis, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
142 Bagan 3. Aspek-Aspek dalam Komponen Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Komponen Kurikulum
Komponen Manajemen
Dasar Pendidikan Naional Pancasila dan UUD 1945 Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional Prinsip-Prinsip Pendidikan Nasional: Pembudayaan dan Keteladanan
Komponen Landasan
Penetapan Standar Nasional Pendidikan oleh Pemerintah
Pengembangan tenaga pendidik diatur dengan undang-undang
Pengembangan Kurikulum Mangacu SNP Diversitas Kurikulum Sesuai Jenjang Pendidikan
Prinsip-Prinsip Pendidikan Nasional: Demokratis dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Hak dan Kewajiban: Warga Negara
Penyusunan Kurikulum dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Penyediaan sarana dan prasarana oleh satuan pendidikan Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat Evaluasi pendidikan dilakukan melalui akreditasi dan sertifikasi
Muatan Wajib Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
Badan hukum pendirian satuan pendidikan
Hak dan Kewajiban: Negara
Muatan Wajib Kurikulum Pendidikan Tinggi
Pengawasan dan penyelenggaraan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas diatur oleh pemerintah Sanksi atau ketentuan pidana atas pelanggaran diatur pemerintah
Penetapan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah oleh Pemerintah Diversitas Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah di bawah Koordinasi dan Supervisi Negara Pengembangan Pendidikan Tinggi Mengacu Standar Nasional Pendidikan Pengembangan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pendidikan Tinggi Mengacu Standar Nasional Pendidikan Evaluasi Hasil Belajar Dilakukan oleh Pendidik
KOMPONEN KURIKULUM PENDIDIKAN NASIONAL: KONSERVATIF DAN LIBERAL Menurut interpretasi para Elite Pendidikan Indonesia (Soeharto, 2009), komponen kurikulum pendidikan nasional
baik isi kurikulum maupun pengelolaannya masih menimbulkan dualisme yang oposisional. Artinya, di dalam rumusan pasal-pasal dan ayat- ayat dalam komponen isi dan pengelolaan kurikulum sistem pendidikan nasional
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2
143 terkandung ciri-ciri ideologi pendidikan konservatif dan liberal. Secara rinci ciriciri tersebut dapat dilihat pada setiap aspek seperti berikut ini. Aspek penetapan standar nasional pendidikan oleh pemerintah bercirikan konservatif, aspek pengembangan kurikulum mangacu SNP bercirikan liberal dan konservatif, aspek diversitas kurikulum sesuai jenjang pendidikan bercirikan liberal, aspek penyusunan kurikulum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bercirikan konservatif, aspek muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah bercirikan konservatif, aspek muatan wajib kurikulum pendidikan tinggi bercirikan konservatif aspek penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah oleh pemerintah bercirikan konservatif, aspek diversitas pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah di bawah koordinasi dan supervisi negara bercirikan liberal dan konservatif, aspek pengembangan pendidikan tinggi mengacu standar nasional pendidikan, bercirikan liberal dan konservatif, aspek pengembangan kerangka dasar dan strutur kurikulum pendidikan tinggi mengacu standar nasional pendidikan bercirikan liberal dan konservatif, dan aspek evaluasi hasil belajar dilakukan oleh pendidik bercirikan liberal. Berdasarkan 11 aspek dalam komponen kurikulum sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memiliki ciri-ciri ideologi konservatif dan liberal.
Perdebatan Ideologi Pendidikan
KOMPONEN MANAJEMEN PENDIDIKAN: KONSERVATIF DAN LIBERAL Menurut interpretasi para Elite Pendidikan Indonesia (Soeharto, 2009) komponen manajemen pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengandung ciri-ciri ideologi pendidikan konservatif dan liberal. Secara rinci ciri-ciri tersebut dapat dilihat setiap aspek seperti berikut ini. Aspek pengembangan tenaga pendidik diatur dengan undang-undang bercirikan konservatif, aspek penyediaan sarana dan prasarana oleh satuan pendidikan bercirikan liberal, aspek pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bercirikan liberal sekaligus konservatif, aspek evaluasi pendidikan dilakukan melalui akreditasi dan sertifikasi bercirikan liberal dan konservatif, aspek badan hukum pendirian satuan pendidikan bercirikan konservatif, aspek pengawasan dan penyelenggaraan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas diatur oleh pemerintah bercirikan liberal dan konservatif. Dapat disimpulkan, berdasarkan 6 aspek dalam komponen manajemen pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, komponen manajemen memiliki ciri-ciri ideologi konservatif dan liberal.
144 IDEOLOGI PENDIDIKAN INDONESIA: KONSERVATISME SOSIAL REVISIONIS DAN LIBERALISME KOMPROMISTIS Berdasarkan interpretasi Elite Pendidikan Indonesia terhadap komponen landasan pendidikan nasional, kurikulum pendidikan nasional, dan manajemen pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berdasarkan perspektif ideologi pendidikan O’Neill dengan menggunakan pendekatan Nelson, ideologi pendidikan Indonesia bisa disebut sebagaiideologi pendidikan konservatisme sosial revisionis dan sekaligus bisa disebut pula ideologi liberalisme kompromistik (Soeharto, 2009). Disebut demikian karena ideologi pendidikan Indonesia dapat memasuki di kedua rumpun ideologi pendidikan sebagaimana yang diklasifikasi oleh O’Neill, dengan revisi dan kompromi. Disebut Ideologi Pendidikan Indonesiatermasuk konservatisme sosial revisionis, berangkat dari interpretasi elit pendidikan Indonesia terhadap komponen landasan pendidikan nasional, kurikulum pendidikan nasional, dan manajemen pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berdasarkan perspektif ideologi pendidikan O’Neill, mengandung ciri-ciri ideologi pendidikan konservatif sosial, dengan melakukan revisi berupa penambahan ciri-ciri ideologi pendidikan liberal. Disebut Ideologi Pendidikan Indonesia termasuk liberal kompromistis, berangkat dari interpretasi Elite Pendidikan Indonesia terhadap komponen
landasan pendidikan nasional, kurikulum pendidikan nasional, dan manajemen pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berdasarkan perspektif ideologi pendidikan O’Neill, mengandung ciri-ciri ideologi pendidikan liberal, dengan melakukan kompromi berupa penambahan ciri-ciri ideologi pendidikan konservatif, atau pengurangan “kadar” model liberalisme. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Perdebatan ideologi pendidikan berangkat dari perdebatan antara perspektif sistem formal dan pespektif proses atau problematis. Perspektif sistem formal yang menerapkan sistem filsafat umum ke dalam bidang pendidikan menguasai kajian ideologi pendidikan sejak 1950-an. Perspektif proses atau problematis dengan metode semantis, rasional, dan empirisnya melakukan penolakan terhadap perspektif sistem formal sejak 1960-an, dan sampai sekarang masih terjadi. Rumpun ideologi pendidikan konservatif yang secara substantif memiliki kemiripan dalam menginterpretasi pendidikan, yaitu aliran fundamentalisme, perenialisme, esensialisme, intelektualisme, dan fungsionalisme. Dalam rumpun ideologi pendidikan liberal, terdapat aliran liberalisme, liberasionisme, dan anarkhisme. Setiap aliran atau rumpun memiliki interpretasi yang berbeda satu dengan yang lainnya mengenai hakikat pen-
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2
145 didikan serta implementasinya. Apa yang terdapat di lapangan merupakan ekspresi dari ideologi pendidikan yang dipakai sebagai sandaran. Meskipun terdapat keragaman ideologi tidak berarti harus dimaknai dengan memutlakkannya, antara hitam atau putih. Searah dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat maka ideologi pendidikan akan selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis Menurut interpretasi Elite Pendidikan Indonesia terhadap Ideologi Pendidikan Nasional Indonesia sebagaimana direpresentasikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, berdasarkan mengelompokkanr ideologi pendidikan O’Neill dan pendekatan analisis Nelson, ideologi pendidikan Indonesia bisa disebut sebagai ideologi pendidikan konservatisme sosial revisionis dan sekaligus ideologi liberalisme kompromistik. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada tim Redaktur dan staf Jurnal Cakrawala Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi kesempatan untuk mempublikasikan artikel ini. Mudahmudahan artikel ini mampu memberkan sedikit pencerahan kepada pembaca dalam merumuskan kebijakan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Bowles, G. And Fidler B. Eds. 1989. Effective Local Management of Schools:
Perdebatan Ideologi Pendidikan
A Strategic Approach. London: Longman. Brubacher, S., John. 1978. Modern Philosophies of Education. New York: Printed in India by Arrangement with McGraw-Hill, Inc. Danim, Sudarwin. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depdiknas. 2003. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Beserta Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara. Fey, J.T. 1985. “System of Education of Federal Republic of Germany”. In Husen, F, and Postlethwaite, N.T. (Eds.), International Encyclopedia of Education, New York: Pergamon Press. Freire, Paulo, dkk. 2003. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkhis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas. Terj. Yogyakarta: Kanisius. Freire, Paulo. 2004. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giroux, A. Henry and Peter MacLaren. 1989. Critical Pedagogy The State and Cultural Struggle. New York:
146 State University of New York Press. Giroux. 1993. Border Crossing: Cultural Workers and Politics of Education. New York: Routledge, Chapman and Hall, Inc. Haralambos, Michel and Holborn, Martin. 2000. Sosiology: Themes and Perspectives (fifth edition). London: Harper Collins Publishers Limited. Illich, Ivan. 2000. Deschooling Society (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor. _____. 2002. Celebration of Awareness: A Call for Institutional Revolution. (terjemahan. Yogyakarta: Ikon Teralitera. International Association for Evaluation Achievement/Iaea, 1991). O’Neil F., William. 1981. Educational Ideologies; Contemporary Expressions
of Educational Philosophies. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company. Sirozi, M. 2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia; Peran TokohTokoh Islam dalam Penyusunan UU Nomor 2/1989. Jakarta INIS. _____. 2005. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soeharto, Karti. 2009. “Politik Pendidikan. Interpretasi Elite Pendidikan tentang Ideologi Pendidikan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas”. Disertasi.
_____. 2010. Ideolodi-Ideologi Pendidikan. Surabaya: Penerbit Unesa University Press.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2