PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BANGUNAN GEDUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,
Menimbang
:
a. bahwa untuk mengendalikan pembangunan agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah perlu dilakukan Pengendalian Pemanfaatan Ruang ; b. bahwa agar bangunan gedung dapat menjamin keselamatan penghuni dan lingkungannya harus diselenggarakan secara tertib, diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung ; c. bahwa agar bangunan gedung dapat terselenggara secara tertib dan terwujud sesuai dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan upaya pembinaan ; d. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut pada huruf a, b dan c diatas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Seruyan..
Mengingat
:
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan dan Pembuatan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3186); 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1985); 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi Korupsi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur di Propinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180); 11. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 12. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 13. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 14. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 15. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisa Dampak Lingkungan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3538); 17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
2
18. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3955); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3956); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3957); 21. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri; 22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1993 tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Undang-undang Gangguan bagi Perusahaan Industri; 23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 66/PRT/1993 tentang Teknis Penyelenggaraan Bangunan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal; 24. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Derah Perubahan; 25. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 1994 tentang (Pola Organisasi Tata Laksana di Daerah Tingkat II); 26. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah; 27. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 173 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pajak Daerah; 28. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; 29. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1 998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; 30. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 440/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; 31. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; 32. Keputusan Menteri KIMPRASWIL No. 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara; 33. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 640/691/PUOD tanggal 15 Februari 1985 tentang Tertib Pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Bangunan; 34. Peraturan Daerah Kabupaten Seruyan Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Seruyan sebagai Daerah Otonom (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 01 Seri E); 35. Peraturan Daerah Kabupaten Seruyan Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Seruyan Tahun 2003-2013 (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 06 Seri E); 36. Peraturan Daerah Kabupaten Seruyan Nomor 07 Tahun 2004 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kuala Pembuang (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 07 Seri E); 37. Peraturan Daerah Kabupaten Seruyan Nomor 12 Tahun 2006 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Tahun 2006 Nomor 18 Seri C). 3
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERUYAN dan BUPATI SERUYAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; c. Bupati adalah Bupati Seruyan; d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah; e. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; f. Dinas Pekerjaan Umum adalah Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seruyan. g. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perkerjaan Umum Kabupaten Seruyan. h. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhya berada diatas dan atau didalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. i. Bangunan Permanen adalah bangunan yang ditinjau dan segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan lebih dari 15 (lima belas) tahun.
4
j.
k.
l.
m.
n. o.
p.
q.
r. s. t.
u.
v.
w.
x.
y.
Bangunan Semi Permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; Bangunan Sementara/darurat adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun, kombinasi beton bertulang dengan kayu; Kavling/perkarangan adalah suatu perpetakan tanah yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan; Mendirikan bangunan ialah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian baik membangun bangunan baru maupun menambah, merubah, merehabilitasi dan atau memperbaiki bangunan yang ada, termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan tersebut; Merobohkan Bangunan ialah pekerjaan meniadakan sebagian atau seluruh bagian bangunan ditinjau dari segi fungsi bangunan dan atau konstruksi; Garis Sempadan adalah garis pada halaman perkarangan perumahan yang ditarik sejajar dengan garis as jalan, tepi sungai, atau as pagar dan merupakan batas antara bagian kavling/perkarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun bangunan; Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah bilangan pokok atas perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas kavling/perkarangan; Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah bilangan pokok atas perbandingan antara total luas lantai bangunan dengan luas kavling/perkarangan; Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah bilangan pokok atas perbandingan luas daerah hijau dengan luas kavling/perkarangan; Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dan permukaan tanah, dimana bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak dari bangunan; Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin tertulis yang diberikan dalam mendirikan/mengubah bangunan oleh Bupati Seruyan atau Pejabat yang ditunjuk; Pemegang Izin adalah pemegang izin mendirikan bangunan (IMB) baik perorangan, badan hukum, badan-badan usaha pemerintah/swasta serta badan-badan sosial lainnya yang namanya dicantumkan dalam surat izin mendirikan bangunan (IMB); Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan penumpang/pembagian daerah dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi; Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciriciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi; Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi; Rencana Kota adalah rencana yang disusun dalam rangka penyusunan pemanfaatan ruang kota terdiri dan Rencana Induk Kota (RIK) atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) atau Rencana Detail Tata Kota (RDTK) dan Rencana Tata Kota (RTK) atau Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK);
5
z. Hak Atas Tanah adalah hak seseorang atas tanah baik berupa hak milik dan hak-hak lainnya menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; aa. Kas Daerah adalah Bank Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemegang kas daerah Kabupaten Seruyan.
Pasal 2 Fungsi Bangunan Gedung
(1)
Fungsi bangunan gedung di wilayah Kabupaten Seruyan, digolongkan dalam fungsi hunian, keagamaan, usaha, kantor pemerintah, sosial dan budaya serta fungsi khusus; (2) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal tinggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara; (3) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara dan kelenteng; (4) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaskud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan penyimpanan; (5) Bangunan Gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium dan pelayanan umum; (6) Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri; (7) Satu Bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi; (8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten; (9) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (10) Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud ayat (9) harus mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah; Pasal 3 Klasifikasi Bangunan
(1)
Menurut fungsinya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
di
wilayah
Bangunan rumah tinggal dan sejenisnya; Bangunan kelembagaan / kantor; Bangunan fasilitas umum; Bangunan pendidikan; Bangunan perdagangan dan jasa; Bangunan industri; 6
Kabupaten
Seruyan
g. Bangunan sosial; h. Bangunan khusus; i. Bangunan campuran. (2)
Menurut umurnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut : a. Bangunan sementara/darurat; b. Bangunan semi permanen; c. Bangunan permanen.
di
wilayah
Kabupaten
Seruyan
(3)
Menurut Lokasinya, bangunan di wilayah diklasifikasikan sebagai : a. Bangunan di tepi jalan arteri primer; b. Bangunan di tepi jalan arteri sekunder; c. Bangunan di tepi jalan kolektor primer; d. Bangunan di tepi jalan kolektor sekunder; e. Bangunan di tepi jalan lokal primer; f. Bangunan di tepi jalan lokal sekunder.
Kabupaten
Seruyan
(4)
Menurut ketinggiannya, bangunan di wilayah Kabupten Seruyan diklasifikasikan sebagai berikut : a. Bangunan bertingkat rendah (1 (satu) sampai dengan 2 (dua) lantai); b. Bangunan bertingkat sedang (3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) lantai); c. Bangunan bertingkat tinggi (6 (enam) lantai keatas).
(5)
Menurut statusnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut: a. Bangunan pemerintah. b. Bangunan swasta.
diwilayah
Kabupaten
Seruyan
BAB II PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama Umum
Pasal 4 (1)
Setiap bangunan gedung harus dibangun sesuai dengan rencana tekhnis, dimanfaatkan, dilestarikan, dan atau dibongkar sesuai dengan persyaratan bangunan gedung;
(2)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi agar bangunan dapat dimanfaatkan sesuai fungsi yang ditetapkan;
(3)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan teknis, baik persyaratan tata bangunan gedung layak fungsi dan layak huni, serasi dan selaras dengan lingkungannya;
(4)
Pemenuhan persyaratan teknis disesuaikan dengan fungsi, klasifikasi, dan tingkat permanensi bangunan gedung.
7
Bagian Kedua Persyaratan Administrasi
Pasal 5 (1)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi sesuai yang diatur dalam Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang meliputi: a. Status hak atas tanah, dan atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b. Status kepemilikan bangunan gedung ; dan c. Izin mendirikan bangunan gedung;
(2)
Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung.
(3)
Pemerintah Daerah melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib penataan pembangunan dan pemanfaatan.
Pasal 6
(1)
Status hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) butir a. Adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak pakai, atau status hak atas tanah lainnya yang berupa girik, pethuk, akta jual beli, dan akta/bukti kepemilikan lainnya.
(2)
Izin pemanfaatan dan pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) butir a. Pada prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. Pasal 7
(1)
Status kepemilikan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) butir b. Merupakan surat keterangan bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan Pemerintah Daerah berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung.
(2)
Pendataan termasuk pendaftaran bangunan, dilakukan pada saat proses perizinan mendirikan bangunan gedung dan secara periodik, yang dimaksudkan untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung, memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan bangunan gedung, dan sistem informasi.
(3)
Berdasarkan pendataan bangunan gedung, sebagai pelaksanaan dan asas pemisahan horizontal, selanjutnya pemilik bangunan gedung memperoleh surat keterangan kepemilikan bangunan gedung, pemilik yang baru memenuhi ketentuan yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.
8
Pasal 8
(1)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) butir c adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.
(2)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dimaksudkan untuk mengendalikan pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung diwilayah Kabupaten Seruyan dengan tujuan terjaminnya keselamatan penghuni dan lingkungan serta tertib pembangunan.
(3)
Orang, Badan/Lembaga sebelum mendirikan bangunan gedung di wilayah Kabupaten Seruyan, diwajibkan mengajukan permohonan kapada Bupati untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bagian Ketiga Persyaratan Tata Bangunan Paragraf I Peruntukan dan Intensitas Bangunan Peruntukan Lokasi Pasal 9 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) (7)
Pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam: a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Seruyan, b. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Seruyan, c. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk lokasi yang bersangkutan; Peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan peruntukan utama, sedangkan apabila pada bangunan tersebut terdapat peruntukan penunjang agar berkonsultasi dengan Dinas Pekerjaan Umum; Setiap pihak yang memerlukan informasi tentang peruntukan lokasi atau ketentuan tata bangunan dan lingkungan lainnya, dapat memperolehnya secara cuma-cuma pada Dinas Pekerjaan Umum; Untuk pembangunan di atas jalan umum, saluran, atau sarana lain, atau yang melintas sarana dan prasarana jaringan kota, atau dibawah/di atas air, atau pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, harus mendapat persetujuan khusus dari Bupati; Peruntukan lokasi untuk lahan industri yang dikembangkan di Kabupaten Seruyan diarahkan untuk kegiatan industri yang memanfaatkan bahan baku hasil hutan dan perkebunan serta kegiatan industri yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran; Peruntukan lokasi untuk bangunan peternakan tidak diperkenankan berada di kawasan permukiman penduduk; Untuk bangunan yang berada di tepi sungai yang digunakan untuk dermaga pelabuhan dan kegiatan bongkar muat harus mendapat rekomendasi dari Pemerintah Daerah.
9
Pasal 10 Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
(1)
Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan harus memenuhi ketentuan bangunan yang diatur dalam Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan;
(2)
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan;
(3)
Ketentuan besarnya Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) atau yang diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4)
Setiap bangunan umum ditentukan 60 (enam puluh) persen dari luas lahan persil dan sisanya untuk daerah resapan;
(5)
Bangunan-bangunan kecuali flat, yang didirikan di lingkungan bangunan pertokoan atau perdagangan, luas bangunan ditentukan 70 (tujuh puluh) persen dari luas persil;
(6)
Untuk bangunan pertokoan atau perdagangan, seluruh permukaan luas persil dapat digunakan untuk denah bangunan jika cukup tersedia cahaya alam dan penghawaan yang baik secara alam maupun mekanis;
(7)
Bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal, harus mempunyai ruang terbuka yang langsung berhubungan dengan udara luar dan tidak beratap;
(8)
Bangunan-bangunan umum harus dikelilingi ruang, terbuka untuk jalan keluar pintu-pintu darurat, untuk kepentingan kesehatan dan keselamatan umum, mempunyai halaman parkir dan taman serta akses yang jelas;
(9)
Untuk bangunan-bangunan seperti tersebut di atas, Bupati selanjutnya menetapkan luas denah bangunannya;
(10) Pertimbangan-pertimbangan lain harus berdasarkan kesehatan, keamanan dan keselamatan umum.
faktor-faktor
Pasal 11 Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
(1)
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran; kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum;
(2)
Ketentuan besarnya Koefisien Lantai Bangunan (KLB) pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
10
Pasal 12 Ketinggian Bangunan
(1)
Ketinggian bangunan ditentukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten (RTRK);
(2)
Untuk masing-masing lokasi yang belum dibuat tata ruangnya, ketinggian maksimum bangunan ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dengan mempertimbangkan lebar jalan, fungsi bangunan, keselamatan bangunan, serta keserasian dengan lingkungannya;
(3)
Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan selebihnya harus berjarak dengan tetangga;
(4)
Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 meter diatas permukaan tanah pekarangan dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat atau berfungsi sebagai batas pandangan, maka tinggi tembok maksimal 7 meter dari permukaan pekarangan;
(5)
Tinggi pagar pada Garis Sempadan Jalan (GSJ) dan antara Garis Sempadan Jalan (GSJ) dengan Garis Sempadan Bangunan (GSB) pada bangunan pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 meter diatas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk bangunan industri maksimal 2 meter diatas permukaan tanah pekarangan;
(6)
Pagar pada Garis Sempadan Jalan (GSJ) sebagaimana pada ayat 5 pasal ini, harus tembus pandang maksimal setinggi 1 meter diatas permukaan tanah pekarangan;
(7)
Ketinggian bangunan yang digunakan untuk peternakan harus ditentukan oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan masukan dan persetujuan dari masyarakat sekitarnya;
(8)
Untuk bangunan-bangunan tertentu Bupati menetapkan lain.
Pasal 13 Garis Sempadan
(1)
Garis sempadan pondasi bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan (rencana jalan) tepi sungai/tepi pantai ditentukan berdasarkan lebar jalan rencana jalan/lebar sungai/kondisi pantai, fungsi jalan dan peruntukan kavling/kawasan;
(2)
Letak garis sempadan pondasi bangunan terluar untuk tersebut ayat (1) dan ditentukan sebagai berikut : a. Sepanjang jalan arteri primer adalah 25 meter dihitung dari as saluran/parit jalan. b. Sepanjang jalan arteri sekunder adalah 20 meter dihitung dari as saluran/parit jalan. c. Sepanjang jalan kolektor primer adalah 6,50 meter dihitung dari as saluran/parit jalan. d. Sepanjang jalan kolektor sekunder adalah 6 meter dihitung dari as saluran/parit jalan. 11
e. Sepanjang jalan lokal primer adalah 5,50 meter dihitung dari as saluran/parit jalan. f. Sepanjang jalan lokal sekunder adalah 4,50 meter dihitung dari as saluran/parit jalan.
Pasal 14 Garis Sempadan Pantai/Danau/Sungai
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
Kriteria yang digunakan sebagai dasar penetapan garis sempadan sungai, yaitu : a. Sungai bertanggul diluar kawasan perkotaan; b. Sungai bertanggul didalam kawasan perkotaan; c. Sungai tidak bertanggul diluar kawasan perkotaan; d. Sungai tidak bertanggul didalam kawasan perkotaan. Garis sempadan sungai pada sungai bertanggul diluar kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 5 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul; Garis sempadan sungai bertanggul didalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar kaki tanggul; Garis sempadan sungai tidak bertanggul diluar kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; Garis sempadan sungai tidak bertanggul di kawasan perkotaan, sebagai berikut: a. Sungai yang mempunyai kedalaman sampai dengan 3 meter, ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; b. Sungai yang mempunyai kedalaman diantara 3 meter sampai dengan 20 meter, ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; c. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 meter, ditetapkan sekurang-kurangnya 30 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Pasal 15 Jarak Antar Bangunan (1)
(2)
Pada cara membangun renggang, sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri kanan dan bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini; Pada cara membangun rapat tidak berlaku ketentuan pada ayat (1) pasal ini kecuali jarak batas bagian belakang.
12
Pasal 16 Pada bangunan renggang, jarak bebas samping maupun jarak bebas belakang ditetapkan 4 meter pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai, jarak bebas diatas ditambah 0,5 meter dari jarak bebas lantai dibawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 meter, kecuali bangunan rumah tinggal.
Pasal 17
Pada bangunan rapat dan lantai 1 (satu) hingga lantai 4 (empat), samping kiri dan kanan tidak ada jarak bebas, sedang untuk lantai selanjutnya harus mempunyai jarak bebas sesuai dengan ketentuan dalam pasal 16. Pasal 18
(1)
Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan perpetakan yang sudah teratur, pada denah dasar dan tingkat ditentukan: a. Jarak bebas samping kiri dan kanan minimal: 1. Rumah ladang atau pedusunan, 8 meter sepanjang sisi samping pekarangan untuk bangunan induk dan untuk bangunan turutan 2 meter sepanjang sisi samping pekarangan. 2. Rumah kebun, 5 meter sepanjang sisi samping pekarangan. 3. Rumah besar, lebar dari batas pekarangan samping 2 meter atau sama dengan jarak antara Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sempadan Jalan (GSJ). 4. Rumah sedang, lebar dan batas pekarangan samping 2 meter atau sama dengan jarak antara Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sempadan Jalan (GSJ). 5. Rumah kecil, lebar dan batas pekarangan samping 1,50 meter atau sama dengan jarak antara Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sempadan Jalan (GSJ). b. Jarak bebas belakang minimal; 1. Rumah ladang atau pedusunan 10 meter sepanjang sisi belakang pekarangan dan untuk bangunan turutan 2 meter sepanjang sisi belakang pekarangan. 2. Rumah kebun, 6 meter sepanjang sisi belakang pekarangan. 3. Rumah besar, 5 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang. 4. Rumah sedang, 4 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang. 5. Rumah kecil, 3 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang. 6. Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan bentuk perpetakan yang tidak teratur atau perpetakannya belum diatur, maka jarak bebas bangunan ditetapkan oleh Bupati;
13
7. Untuk pekarangan yang belum memenuhi perpetakan rencana kota, maka jarak bebas bangunan disesuaikan dengan ketentuan pada ayat (1) dan atau ayat (2) pasal ini.
Pasal 19
(1)
Pada bangunan rumah tinggal renggang salah satu samping bangunan diperkenankan dibangun rapat untuk penggunaan garasi, dengan tetap memperhatikan keserasian lingkungan;
(2)
Untuk pencahayaan dan penghawaan pada bagian ruang garasi diharuskan ada ruang terbuka dengan minimal 4 meter persegi.
Pasal 20
(1)
Pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping sedangkan jarak bebas belakang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b.5
(2)
Panjang bangunan rapat maksimal 60 meter baik untuk rumah tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maupun bangunan bukan rumah tinggal.
Pasal 21
Pada bangunan rapat/setiap kelipatan maksimal 15 meter ke arah dalam, harus disediakan ruang terbuka untuk penghawaan dan pencahayaan alami dengan luas sekurang-kurangnya 6 meter persegi, dan tetap memenuhi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang berlaku.
Pasal 22
(1)
Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi tampak maksimal 6 meter ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi samping kiri dan kanan pekarangan minimal 3 meter serta jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal 5 meter dengan memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang ditetapkan dalam rencana kota;
(2)
Tinggi tampak bangunan industri dan gudang yang lebih dari 6 meter ditetapkan jarak bebasnya sesuai pasal 21.
14
Pasal 23
Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tampak diatur sebagai berikut: a. Dalam hal kedua - duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal 2 (dua) kali jarak bebas yang ditetapkan. b. Dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan. c. Dalam hal ini kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.
Pasal 24
Dalam hal jarak antara Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sempadan Jalan (GSJ) kurang dan jarak bebas yang ditetapkan, maka jarak bidang tampak terluar dengan Garis Sempadan Jalan (GSJ) pada lantai kelima atau lebih minimal sama dengan jarak bebas yang ditetapkan. Pasal 25
(1)
Pada dinding terluar lantai dua atau lebih tidak boleh dibuat jendela kecuali bangunan tersebut mempunyai jarak bebas sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini;
(2)
Dalam hal dinding terluar bangunan rumah tinggal tidak memenuhi jarak bebas yang ditetapkan, dibolehkan membuat bukaan penghawaan atau pencahayaan pada ketinggian 1,6 meter dari permukaan lantai bersangkutan atau bukaan penuh apabila dinding-dinding batas pekarangan yang berhadapan dengan bukaan tersebut dibuat setinggi minimal 1,6 meter diatas permukaan lantai tingkat dan melebihi 7 meter dari permukaan tanah pekarangan;
(3)
Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun.
Pasal 26
(1)
Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang bersifat mudah meledak tidak dapat diberikan izin apabila: a. Tidak dilengkapi dengan Dokumen Analisis mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL); b. Lokasi bangunan terletak di lingkungan perumahan atau jarak minimal 50 meter dari jalan umum dan bangunan lain disekitarnya;
15
c. Lokasi bangunan seluruhnya dikelilingi pagar pengamanan yang kokoh dengan tinggi minimal 2,5 meter, ruang terbuka dan pintu depan harus ditutup dengan pintu yang kuat dengan diberi papan peringatan “DILARANG MASUK”; d. Bangunan yang didirikan tersebut diatas harus terletak pada jarak minimal 10 meter dari batas-batas pekarangan dan 10 meter dari bangunan lainnya; e. Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke daerah yang aman; (2)
Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan-bahan lain yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan, keselamatan serta kesehatan penghuni dan lingkungannya.
Pasal 27
Ketentuan yang berlaku pada cara membangun rapat a. Bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan; b. Struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 centimeter dari atas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal; c. Perbaikan atau perombakan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan disebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu.
Pasal 28
(1)
Setiap bangunan bukan rumah tinggal diwajibkan menyediakan tempat parkir kendaraan sesuai dengan jumlah kebutuhan.
(2)
Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3)
Standar jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 29
(1)
Pintu pagar pekarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi Garis Sempadan Jalan (GSJ);
(2)
Letak pintu pekarangan untuk kendaraan bermotor roda empat pada persil sudut minimal 8 meter untuk bangunan rumah tinggal dan 20 meter untuk bangunan bukan rumah tinggal dihitung dari titik belok tikungan;
(3)
Bagi persil kecil yang memenuhi ketentuan pada ayat (2) pasal ini letak pintu pagar kendaraan bermotor roda empat adalah pada salah satu ujung batas pekarangan.
16
Paragraf 2 Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 30
(1)
Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa;
(2)
Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada disekitarnya/kontekstual;
(3)
Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus memperhatikan fungsi ruang arsitektur bangunan gedung dan kehandalan bangunan gedung;
(4)
Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya. Pasal 3l
(1)
Bangunan tempat tinggal minimal memiliki ruang-ruang fungsi utama yang terdiri dan ruang penggunaan pribadi, ruang bersama dan ruang pelayanan;
(2)
Ruang penunjang dapat ditambahkan, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan penghuni sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama hunian.
Pasal 32
(1)
Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian bangunan dapat diizinkan, apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya;
(2)
Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan, perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi dan atau penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan keluar (akses).
17
Pasal 33
(1)
Suatu bangunan gudang minimal harus dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan;
(2)
Suatu bangunan pabrik minimal harus dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan dan tempat penyimpanan barang, mushola, kantin, ruang istirahat serta ruang pelayanan kesehatan secara memadai;
(3)
Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini untuk pria dan wanita harus terpisah;
(4)
Jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada setiap jenis penggunaan sesuai kebutuhan dan fungsinya bangunan ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 34
(1)
Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak meyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan serta lingkungan;
(2)
Ruang rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan, akses dan pencahayaan alami yang memadai;
(3)
Ruang rongga atap dilarang digunakan sebagai dapur atau kegiatan lain yang bersifat mengandung bahaya api.
Pasal 35
(1)
Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak Iebih 50 (lima puluh) persen dari luas lantai dibawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan;
(2)
Setiap bukaan pada ruang atap tidak boleh mengubah sifat dan karakter arsitektur bangunannya
Pasal 36
(1)
Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan atau gas, harus disediakan lubang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya kecuali menggunakan alat bantu mekanis;
(2)
Cerobong asap dan atau gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus memenuhi ketentuan tentang standar pencegahan kebakaran.
18
Paragraf 3 Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan
Pasal 37
(1)
Setiap bangunan yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang mengganggu harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), atau Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) ;
(2)
Setiap bangunan yang menghasilkan limbah atau buangan lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran harus dilengkapi dengan sarana pengolah limbah sebelum dibuang ke saluran umum;
(3)
Setiap pemohon yang akan mengajukan izin mendirikan bangunan yang mempunyai jenis usaha atau kegiatan bangunan arealnya sama atau lebih besar dari 5 (lima) hektar diwajibkan untuk melengkapi persyaratan, yaitu Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
(4)
Untuk kawasan industri, perhotelan, perumahan real estate, pariwisata, gedung bertingkat yang mempunyai ketinggian 60 meter atau lebih, diwajibkan melengkapi persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
(5)
Bagi pemohon izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud ayat (4) pasal ini harus disertai rekomendasi dari instansi yang menangani masalah pengelolaan Lingkungan Hidup;
(6)
Untuk perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Seruyan harus mempunyai persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Dokumen UKL dan UPL dari Pemerintah Daerah melalui instansi yang menangani masalah lingkungan hidup;
(7)
Untuk perusahaan yang beroperasi lintas batas antar 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur;
(8)
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku dan izin mendirikan bangunannya dapat dicabut oleh Pemerintah Daerah.
Paragraf 4 Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan
Pasal 38
(1)
Persyaratan tata bangunan untuk suatu kawasan lebih lanjut akan disusun dan ditetapkan dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);
(2)
Dalam Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Pemerintah Daerah akan mengikutsertakan masyarakat, pengusaha dan para ahli agar RTBL yang disusun sesuai dengan kondisi kawasan dan masyarakat setempat;
19
(3)
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) disusun berdasarkan yang telah ditetapkan akan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun disesuaikan;
(4)
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) digunakan untuk pengendalian pemanfaatan ruang suatu lingkungan/kawasan, menindaklanjuti rencana tata ruang dalam rangka perwujudan kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang berkelanjutan dari aspek fungsional, sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan dan aspek fungsional, sosial, ekonomi dan lingkungan bangunan gedung termasuk ekologi, arsitektural, kontekstual, dan kualitas visual;
(5)
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang berlaku adalah RTBL Kabupaten Kotawaringin Timur dengan menunggu dikeluarkannya Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kabupaten Seruyan.
Bagian Keempat Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Paragraf 1 Persyaratan Keselamatan
Pasal 39 Ketahanan Konstruksi
(1)
Setiap bangunan harus dibangun dengan mempertimbangkan kekuatan dan kestabilan dari segi struktur;
(2)
Peraturan /standar teknik yang harus dipakai ialah peraturan/standar teknik yang berlaku di Indonesia yang meliputi Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Tata Cara, Spesifikasi dan Metode Uji yang berkaitan dengan bangunan gedung;
(3)
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya harus diperhitungkan terhadap beban sendiri, beban yang dipikul, beban angin, getaran dan gaya gempa sesuai dengan peraturan pembebanan yang berlaku;
(4)
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya yang dinyatakan mempunyai tingkat gaya angin atau gempa yang cukup besar harus direncanakan dengan konstruksi yang sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku;
(5)
Setiap bangunan bertingkat lebih dari 2 (dua) lantai, dalam pengajuan perizinan mendirikan bangunannya harus menyertakan perhitungan strukturnya sesuai pedoman dan standar yang berlaku;
(6)
Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban dan wewenang untuk memeriksa konstruksi bangunan yang dibangun /akan dibangun baik dalam rancangan bangunannya maupun pada masa pelaksanaan pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap bahaya gempa.
20
Pasal 40 (1)
(2)
(3)
Setiap gedung untuk kepentingan umum, seperti bangunan peribadatan, bangunan perkantoran, bangunan pasar/pertokoan/mall, bangunan perhotelan, bangunan kesehatan, bangunan pendidikan, bangunan gedung pertemuan, bangunan pelayanan umum dan bangunan industni serta bangunan hunian susun harus mempunyai sistem pengamanan terhadap bahaya kebakaran, baik sistem proteksi pasif maupun sistem proteksi aktif; Pemenuhan persyaratan ketahanan terhadap bahaya kebakaran mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku, yaitu: a. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000, tentang ketentuan Teknis Pengamanan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung; b. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 11/KPTS/2000, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; c. Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran pada bangunan rumah gedung; d. Ketentuan atau standar lain yang berlaku. Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu sistem hidrant sesuai dengan persyaratan sebagai berikut: a. Pemasangan hidrant harus memenuhi ketentuan dan dipasang sedemikian rupa sehingga panjang selang dan pancaran air dapat mencapai dan melindungi seluruh permukaan lantai bangunan; b. Setiap pemasangan hidrant halaman harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 41 Persyaratan Bahan Bangunan (1)
(2) (3)
(4)
(5)
Penggunaan bahan bangunan diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan produksi dalam negeri/setempat dengan kandungan lokal minimal 60 (enam puluh) persen; Penggunaan bahan bangunan harus mempertimbangkan ke awetan dan kesehatan dalam pemanfaatan bangunannya; Bahan bangunan yang dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat teknik sesuai dengan fungsinya, seperti yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang spesifikasi bahan bangunan yang berlaku; Penggunaan bahan bangunan yang mengandung racun atau bahan kimia yang berbahaya, harus mendapat rekomendasi dan instansi yang terkait dan dilaksanakan oleh ahlinya; Pengecualian dari ayat (1) harus mendapat rekomendasi dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk olehnya;
21
Paragraf 2 Persyaratan Kesehatan Pasal 42 Jaringan Air Bersih (1) (2)
(3)
(4) (5)
(6)
Jenis, mutu, sifat bahan dan peralatan instalasi air minum harus memenuhi standar dan ketentuan teknis yang berlaku; Pemilihan sistem dan penempatan instalasi air minum harus disesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan-bangunan lain, bagianbagian lain dari bangunan dan instalasi-instalasi lain sehingga tidak saling membahayakan, mengganggu, dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan pemeliharaan; Pengadaan sumber air minum diambil dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau sumber yang dibenarkan secara resmi oleh instansi yang berwenang; Perencanaan dan instalasi jaringan air bersih mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku; Air bersih yang dialirkan ke alat plambing dan perlengkapan plambing yang dipergunakan untuk umum, memasak pengolahan makanan, pengalengan atau pembungkusan, pencucian alat makanan dan minuman, alat dapur atau keperluan rumah tangga atau jenis lainnya harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang; Tangki persediaan air yang melayani keperluan gedung, hidrant kebakaran, dan sistem sprinker harus: a. Direncanakan dan dipasang sehingga dapat menyalurkan air dalam volume dan tekanan yang cukup untuk sistem tersebut; b. Mempunyai lubang aliran keluar untuk keperluan gedung pada ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimal yang diperlukan untuk pemadam kebakaran maupun sprinker dapat dipertahankan.
Pasal 43 Jaringan Air Hujan (1) (2)
(3)
Pada dasarnya air hujan harus dibuang atau dialirkan kesaluran umum kota; Jika hal dimaksud ayat (1) pasal ini tidak mungkin, berhubungan belum tersedianya saluran umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh yang berwenang, maka pembuangan air hujan harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah. Saluran air hujan: a. Dalam tiap-tiap pekarangan harus dibuat saluran pembuangan air hujan; b. Saluran tesebut diatas harus mempunyai ukuran yang cukup besar dan kemiringan yang cukup untuk dapat mengalirkan seluruh air hujan dengan baik;
22
c. Air hujan yang jatuh diatas atap harus segera disalurkan ke saluran diatas permukaan tanah dengan pipa atau saluran pasangan terbuka; (4)
Perencanaan dan instalasi jaringan air hujan mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal 44 Jaringan Air Kotor
(1)
Semua air kotor yang berasal dan dapur, kamar mandi, kakus dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui pipa-pipa tertutup dan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku;
(2)
Pembuangan air kotor dimaksud ayat (1) dapat dialirkan ke saluran umum kota;
(3)
Jika hal dimaksud ayat (2) pasal ini tidak mungkin, berhubungan belum tersedianya saluran umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh instansi yang berwenang, maka pembuangan air hujan harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Dinas Pekerjaan Umum;
(4)
Letak sumur-sumur peresapan berjarak minimal 10 meter dari sumber air minum/bersih terdekat dan atau tidak berada di bagian atas kemiringan tanah terhadap letak sumber air minum/bersih, sepanjang tidak ada ketentuan lain yang disyaratkan/diakibatkan oleh suatu kondisi tanah;
(5)
Perencanaan dan instalasi jaringan air kotor mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku;
(6)
Instalasi air buangan dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 45 Tempat Pembuangan Sampah
(1)
Setiap pembangunan baru atau perluasan suatu bangunan yang diperlukan sebagai tempat kediaman diharuskan memperlengkapi dengan tempat/kotak/lobang pembuangan sampah yang ditempatkan dan dibuat sedemikian rupa sehingga kesehatan umum terjamin;
(2)
Dalam hal pada lingkungan di daerah perkotaan yang merupakan kotakkotak sampah induk, maka sampah dapat ditampung untuk diangkut oleh Petugas Kebersihan;
(3)
Dalam hal lokasi jauh dari tempat sampah induk dan jangkauan petugas kebersihan maka sampah-sampah tersebut dapat dibakar dengan caracara yang aman;
(4)
Perencanaan dan instalasi tempat pembuangan sampah mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
23
Pasal 46 Penghawaan Dalam Bangunan
(1)
Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami atau ventilasi mekanik/buatan, sesuai dengan fungsinya; (2) Kebutuhan ventilasi diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara dalam ruang sesuai dengan fungsi ruang; (3) Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat dibuka sesuai dengan kebutuhan dan standar teknis yang berlaku; (4) Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan, pintu ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang bersebelahan; (5) Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5 (lima) persen dari luas lantai ruangan yang diberi ventilasi; (6) Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat; (7) Penempatan kipas angin (fan) sebagai ventilasi buatan harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau sebaliknya; (8) Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni; (9) Penggunaan ventilasi buatan, harus memperhitungkan besarnya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku; (10) Sistem ventilasi pada rumah sakit untuk ruangan operasi, ruang steril dan ruang perawatan bagi pasien yang berpenyakit menular, tidak dibenarkan memepergunakan sistem sirkulasi udara yang dapat menyebabkan penularan penyakit ke bagian lain bangunan; (11) Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi mekanis untuk membuang udara kotor dari dalam dan minimal 50 (lima puluh) persen volume udara yang harus diambil pada ketinggian maksimal 0,60 meter diatas lantai; (12) Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih satu lantai, gas buangan mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu udara bersih pada lantai lainnya.
Pasal 47 Pencahayaan Dalam Bangunan
(1) (2)
(3)
Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami atau buatan, sesuai dengan fungsinya; Kebutuhan pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk ruangan di dalam bangunan, daerah luar bangunan, jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan; Pemanfaatan pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal pada bangunan gedung, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung;
24
(4)
(5)
Pencahayaan buatan pada bangunan gedung harus dipilih secara fleksibel, efektif dan sesuai dengan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung, dengan mempertimbangkan efisiensi dan konservasi energi yang digunakan; Besarnya kebutuhan pencahayaan alami atau buatan dalam bangunan gedung dihitung berdasarkan pedoman dan standar teknis yang berlaku. Paragraf 3 Persyaratan Kemudahan/Aksesibilitas
Pasal 48
(1)
(2)
(3)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan yang meliputi kemudahan hubungan ke dan dari dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung; Kemudahan hubungan ke dan dari di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan horizontal dan hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi, serta fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia; Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah serta fasilitas komunikasi dan informasi. Pasal 49
(1)
(2) (3)
Kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu atau koridor antar ruang; Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan fungsi ruang bangunan gedung; Ketentuan mengenai kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku. Pasal 50
(1)
Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan sejenisnya serta lift atau tangga berjalan dalam bangunan gedung;
(2)
Bangunan gedung bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan dan kesehatan pengguna;
25
(3)
Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan kemiringan tertentu dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai standar teknis yang berlaku;
(4)
Bangunan gedung dengan jumlah lantai diatas 5 (lima) lantai harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi bangunan gedung;
(5)
Ketentuan mengenai kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.
Pasal 51
(1)
Akses evakuasi dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) harus disediakan di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana lainnya, kecuali rumah tinggal;
(2)
Penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicapai dengan mudah dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas;
(3)
Ketentuan mengenai penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku. Pasal 52
(1)
Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum;
(2)
Kelengkapan prasarana dan sarana tersebut harus memadai sesuai dengan fungsi bangunan umum tersebut;
(3)
Kelengkapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran. b. Tempat parkir; c. Sarana transportasi vertikal; d. Sarana tata udara; e. Fasilitas penyandang cacat; f. Sarana penyelamatan.
26
Paragraf 4 Persyaratan Instalasi Listrik
Pasal 53
(1)
Sistem instalasi listrik arus kuat dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku;
(2)
Beban listrik yang bekerja pada instalasi arus kuat, harus diperhitungkan berdasarkan standar dan/atau normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku;.
(3)
Sumber daya utama bangunan harus menggunakan tenaga listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN);
(4)
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini tidak memungkinkan, sumber daya utama dapat menggunakan sistem pembangkit tenaga listrik sendiri yang penempatannya harus aman dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan, serta harus mengikuti standar dan/atau normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku;
(5)
Bangunan dan ruang khusus dimana listriknya tidak boleh putus, harus memiliki pembangkit tenaga cadangan yang dayanya dapat memenuhi kelangsungan pelayanan pada bangunan dan/atau ruang khusus tersebut;
(6)
Sistem instalasi listrik pada bangunan tinggi dan bangunan umum harus memiliki sumber daya listrik darurat, yang mampu melayani kelangsungan pelayanan utama bangunan apabila gangguan listrik atau terjadi kebakaran;
(7)
Instalasi listrik arus kuat yang dipasang, sebelum dipergunakan harus terlebih dahulu diperiksa dan diuji oleh instalasi yang berwenang;
(8)
Pemeliharaan instalasi arus kuat dilaksanakan dan diperiksa secara berkala sesuai dengan sifat penggunaan dan keadaan setempat, serta dilaporkan secara tertulis kepada Pemerintah Daerah;
(9)
Pada ruang panel hubung dan atau ruang panel bagi, harus terdapat ruang yang cukup untuk memudahkan pemeriksaan, perbaikan dan pelayanan, serta diberi ventilasi cukup.
Pasal 54 Instalasi Penangkal Petir
(1)
Setiap bangunan atau bagian bangunan yang berdasarkan letak bentuk dan penggunaannya dianggap mudah terkena sambaran petir, harus diberi instalasi penangkal petir serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku;
(2)
Suatu instalasi penangkal petir harus dapat melindungi semua bagian dari bangunan termasuk juga manusia yang ada didalamnya, terhadap bahaya sambaran petir;
27
(3)
Pemasangan instalasi penangkal petir bangunan harus memperhatikan arsitek bangunan tanpa mengurangi nilai perlindungan terhadap sambaran petir yang efektif;
(4)
Terhadap instalasi penangkal petir harus dilakukan pemeriksaan dan pemeliharaan secara berkala;
(5)
Setiap perluasan atau penambahan bangunan instalasi penangkal petir harus disesuaikan dengan adanya penambahan tersebut;
(6)
Apabila terjadi sambaran, instalasi penangkal petir harus diadakan pemeriksaan dari bagian-bagiannya dan harus segera dilaksanakan perbaikan terhadap bangunan yang mengalami kerusakan.
Bagian Kelima Persyaratan Kenyamanan Dalam Bangunan
Pasal 55
(1) (2)
(3)
Setiap bangunan yang dibangun mempertimbangkan faktor kenyamanan pengguna/penghuni yang berada di dalam dan di sekitar bangunan; Dalam merencanakan kenyamanan dalam bangunan gedung harus memperhatikan: a. Kenyamanan ruang gerak ; b. Kenyamanan hubungan antar ruang ; c. Kenyamanan kondisi udara ; d. Kenyamanan pandangan ; e. Kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran ; f. Kenyamanan aksesibilitas ; Ketentuan perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan kenyamanan dalam bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
BAB III PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama Umum
Pasal 56
(1) (2)
Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan pembangunan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran; Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara bangunan berkewajiban memenuhi persyaratan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Bab II; 28
(3)
Penyelengaraan bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi dan pengguna bangunan gedung;
(4)
Pemilik bangunan gedung yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab II, tetap harus memenuhi ketentuan tersebut secara bertahap.
Bagian Kedua Pembangunan
Pasal 57 (1)
Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasannya;
(2)
Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain;
(3)
Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung;
(4)
Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung di setujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Izin Mendirikan Bangunan kecuali bangunan gedung fungsi khusus.
Pasal 58 (1)
Perencanaan bangunan rumah tinggal 1 (satu) lantai dengan luas kurang dan 50 meter persegi dapat dilakukan oleh orang yang ahli/berpengalaman;
(2)
Perencanaan bangunan sampai dengan 2 (dua) lantai dapat dilakukan oleh orang yang ahli yang telah memiliki ijazah keahlian di bidang perencanaan bangunan.
(3)
Perencanaan bangunan lebih dari 1 (satu) lantai atau bangunan umum, atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh badan hukum yang telah mendapatkan kualifikasi sesuai bidang usaha dan nilai bangunan;
(4)
Perencana bertanggung jawab bahwa bangunan yang direncanakan telah memenuhi persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(5)
Perencanaan bangunan terdiri atas: a. Perencanaan arsitektur; b. Perencanaan konstruksi; c. Perencanaan utilitas, Yang disertai dengan Rencana Kerja dan Syarat-Syarat Pekerjaan (RKS)
(6)
Ketentuan ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) pasal ini tidak berlaku di perencanaan: a. Bangunan yang sifatnya sementara dengan syarat bahwa luas dan tingginya tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah Daerah
29
b. Pekerjaan pemeliharaan/perbaikan bangunan, antara lain: 1. Memperbaiki bangunan dengan tidak mengubah konstruksi dan luas lantai bangunan; 2. Pekerjaan memplester, memperbaiki memperbaiki lapis lantai bangunan;
retak bangunan
dan
3. Memperbaiki penutup atap tanpa mengubah konstruksinya; 4. Memperbaiki lobang cahaya/udara tidak lebih dari 1 meter persegi; 5. Membuat pemisah halaman tanpa konstruksi; 6. Memeperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan lain. (7)
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setelah mendapat pertimbangan teknis dari instansi yang berwenang dan tim ahli;
(8)
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setelah mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli,
(9)
Keanggotaan tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat adhoc tediri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan kompleksitas bangunan gedung.
Pasal 59
(1) (2)
Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan sampai 2 (dua) lantai dapat dilakukan oleh pelaksana perorangan yang ahli; Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan dengan luas lebih dan 500 meter persegi atau bertingkat lebih dari 2 (dua) lantai atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh pelaksana badan hukum yang memiliki kualifikasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 60
(1)
(2)
Sebelum kegiatan membangun dilaksanakan harus dipasang papan nama proyek dan batas pekarangan harus dipagar setinggi minimal 2,5 meter, dengan memperhatikan keamanan dan keserasian sekelilingnya serta tidak melampaui Garis Sempadan Jalan (GSJ); Untuk kegiatan membangun yang pelaksanaannya dapat mengganggu keamanan pejalan kaki maka pagar proyek yang berbatasan dengan trotoar harus dibuat konstruksi pengaman yang melindungi pejalan kaki. Pasal 61
(1)
Jalan dan pintu keluar masuk lokasi kegiatan membangun harus dibuat, dan penempatannya tidak boleh mengganggu kelancaran lalu lintas serta tidak merusak prasarana kota;
30
(2)
Apabila jalan masuk proyek tersebut melewati trotoar dan saluran umum maka perlu dibuat konstruksi pengaman berupa jembatan sementara untuk lalu lintas kendaraan keluar masuk proyek.
Pasal 62 (1)
Pemasangan dan pembongkaran bekisting harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBBI);
(2)
Perancah dari bahan kayu atau bambu hanya diperbolehkan untuk pelaksanaan kegiatan membangun maksimal 4 (empat) lantai sedangkan diatas 4 (empat) lantai harus dipakai perancah besi atau yang sejenis;
(3)
Konstruksi bekisting dan perancah harus aman dan tidak membahayakan para pekerja dan lingkungan sekitarnya;
(4)
Untuk bekisting dan perancah khusus perlu dibuat rencana dan perhitungan strukturnya dengan terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah Daerah melalui instansi teknis yang berwenang.
Bagian Ketiga Pemanfaatan
Pasal 63
(1)
Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi;
(2)
Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Daerah ini;
(3)
Pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi;
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan secara berkala bangunan gedung mengikuti pedoman teknis dan sesuai standar nasional yang berlaku.
Bagian Keempat Pelestarian Bangunan Bersejarah
Pasal 64
(1)
Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai peraturan perundang-undangan dilindungi dan dilestarikan;
31
(2)
Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan;
(3)
Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya;
(4)
Perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya, dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(5)
Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan mengikuti ketentuan pedoman teknis dan standar nasional yang berlaku.
Bagian Kedua Tertib Bangunan
Pasal 65
(1)
Setiap bangunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin membangun dan/atau menggunakan bangunan untuk dibongkar atau dilakukan penyesuaian sehingga memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini;
(2)
Setiap kegiatan membangun termasuk pekerjaan instalasi dan perlengkapan bangunan dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang: a. Keselamatan dan kesehatan; b. Kebersihan dan keserasian lingkungan; c. Keamanan dan kesehatan terhadap lingkungan di sekitarnya; d. Pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.
Pasal 66
(1)
Daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, letak bangunan minimal 10 meter dari as jalur tegangan tinggi terluar serta tidak boleh melampaui garis sudut 45 derajat yang diukur dari as jalur tegangan tinggi terluar;
(2)
Atap bangunan dalam lingkungan bangunan yang letaknya berdekatan dengan bandara udara tidak diperkenankan dibuat dari bahan yang menyilaukan;
(3)
Ketinggian bangunan sebagaimana ayat (2) pasal ini tidak diperkenankan mengganggu lalu lintas udara.
32
(4)
Pemerintah Daerah menetapkan peraturan memperhatikan pertimbangan para ahli.
tersendiri
dengan
Pasal 67
Bangunan tertentu berdasarkan letak, bentuk, ketinggian dan penggunaannya dilengkapi dengan peralatan yang berfungsi sebagai pengamanan terhadap lalu lintas udara atau lalu lintas laut. Bagian Kelima Pembongkaran
Pasal 68
(1)
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila: a. Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; b. Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya; c. Tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
(2)
Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan b ditetapkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil pengkajian teknis;
(3)
Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal dilakukan oleh pengkaji teknis dan pengadaannya menjadi kewajiban pemilik bangunan gedung;
(4)
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah ;
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung mengikuti ketentuan pedoman teknis dan sesuai standar nasional yang berlaku.
33
BAB IV PERIZINAN BANGUNAN
Bagian Pertama Izin Mendirikan / Mengubah Bangunan
Pasal 69 (1)
Setiap penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah Kabupaten Seruyan wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan/atau kelayakan bangunan dari Pemerintah Daerah atau pejabat yang berwenang;
(2)
Selain memiliki izin dan/atau kelayakan sebagaimana dimaksud ayat (1) dipenuhi pula ketentuan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
Pasal 70 (1)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) diterbitkan atas setiap perencanaan bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan ketentuan teknis bangunan;
(2)
Kelayakan bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) diterbitkan atas setiap pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administrasi dan ketentuan teknis bangunan;
Paragraf 1 Persyaratan dan Tata Cara Pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Pasal 71 (1)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan persetujuan untuk melakukan kegiatan membangun atas rencana bangunan gedung yang telah disetujui;
(2)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diberikan kepada orang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah atau yang dikuasakan atas tanah yang akan didirikan bangunan;
(3)
Untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk;
(4)
Lembar isian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tersebut ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah;
(5)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dilampiri dengan: a. Gambar situasi yang disetujui oleh yang berbatasan; b. Gambar Rencana Bangunan;
34
c. Perhitungan struktur untuk bangunan bertingkat (lebih dari 2 (dua) lantai); d. Data hasil penyelidikan tanah untuk syarat perhitungan struktur; e. Rekomendasi Lurah dan Camat yang bersangkutan; f. Salinan atau fotocopy bukti kepemilikan tanah; g. Persetujuan/izin pemilik tanah untuk bangunan yang didirikan diatas tanah yang bukan miliknya; h. Fotocopy identitas Pemohon. i.
Surat keterangan tidak sengketa atas tanah/lahan.
Pasal 72
(1)
Dinas Pekerjaan Umum atau pejabat yang berwenang mengadakan pemeriksaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan mengenai syarat-syarat admnistrasi dan teknis menurut ketentuan dari peraturan, pedoman dan standar yang berlaku;
(2)
Pemeriksaan terhadap Izin Mendirikan lampirannya diberikan secara cuma-cuma;
(3)
Dinas Pekerjaan Umum atau pejabat yang berwenang memberikan tanda terima Izin Mendirikan Bangunan (IMB) apabila semua persyaratan administrasi telah dipenuhi;
(4)
Dalam jangka waktu 2 (dua) sampai dengan 6 (enam) hari kerja setelah permohonan diterima Dinas Pekerjaan Umum menetapkan besarnya retribusi yang wajib dibayar berdasarkan ketentuan yang berlaku, atau menolak Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan karena tidak memenuhi persyaratan teknis;
(5)
Pemohon membayar retribusi berdasarkan penetapan ayat (3), untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang memenuhi persyaratan teknis;
(6)
Setelah pemohon melunasi retribusi yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut dalam ayat (4), Dinas Pekerjaan Umum memberikan Surat izin sementara untuk melaksanakan pembangunan fisik;
(7)
Untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang ditolak, harus diperbaiki mengikuti ketentuan yang berlaku atau petunjuk-petunjuk yang diberikan Dinas Pekerjaan Umum, kemudian untuk diajukan kembali.
Bangunan
(IMB)
dan
Paragraf 2 Keputusan Izin Mendirikan/ Mengubah Bangunan
Pasal 73
(1)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diberikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah dikeluarkan Surat Izin Sementara;
(2)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ditandatangani oleh Bupati atau pejabat yang berwenang;
35
(3)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berlaku kepada nama yang tercantum dalam Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
(4)
a. Pemohon yang pelaksanaan pekerjaannya tidak sesuai dengan permohononan saat pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), maka Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tersebut batal dengan sendirinya; b. Perubahan nama Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikenakan Bea Balik Nama sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(5) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang bersifat sementara jika dipandang perlu dapat diberikan oleh Bupati dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 74
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ditolak apabila: a. Berdasarkan ketentuan yang berlaku kegiatan berdirinya dan atau menggunakan bangunan akan menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum atau merugikan kepentingan umum; b. Karena persyaratan/ketentuan Peraturan Daerah ini tidak dipenuhi; c. Bangunan yang akan didirikan diatas lokasi/tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan rencana kota yang sudah ditetapkan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK); d. Penggunaan bangunannya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat serta mengganggu keserasian lingkungan; e. Apabila bangunan mengganggu lalu lintas, aliran air (air hujan), cahaya atau bangunan-bangunan yang sudah ada; f. Apabila sifat bangunan tidak sesuai dengan sekitarnya; g. Apabila tanah bangunan untuk syarat kesehatan (hygienis) tidak mengijinkan; h. Apabila rencana bangunan tersebut menyebabkan terganggunya jalan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; i.
Apabila adanya keberatan yang diajukan dan dibenarkan oleh pemerintah;
j.
Apabila lokasi tersebut sudah ada rencana Pemerintah;
k. Apabila bertentangan dengan undang-undang, Peraturan Daerah Tingkat I atau Peraturan lainnya yang tingkatnya lebih tinggi dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 75
(1)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah diterbitkan dapat dibekukan, apabila kemudian ternyata terdapat pelanggaran penggunaan, kesalahan teknis dalam pelaksanaan pembangunan atau tidak memenuhi kelayakan teknis bangunan gedung serta terdaftar di pengadilan karena sengketa;
36
(2)
Keputusan pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan kelayakan bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemegang izin dengan disertai alasan.
Pasal 76
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak diperlukan dalam hal: a.
Membuat lubang-lubang ventilasi, penerangan dan sebagainya yang luasnya tidak labih dan 1 meter persegi dengan sisi terpanjang mendatar tidak lebih dan 2 meter;
b.
Membongkar bangunan yang menurut pertimbangan teknis Dinas Pekerjaan Umum tidak membahayakan;
c.
Pemeliharaan/perbaikan bangunan dengan pertimbangan teknis Dinas Pekerjaan Umum tidak membahayakan;
d.
Mendirikan bangunan yang tidak permanen untuk memelihara binatang jinak atau taman-taman, dengan syarat-syarat sebagai berikut; - Ditempatkan di halaman belakang; - Luas tidak melebihi 10 meter persegi dan tingginya tidak lebih dan 2 meter.
e.
Membuat kolam hias, taman dan patung-patung, tiang bendera di halaman pekarangan rumah;
f.
Membongkar bangunan yang termasuk dalam kelas tidak permanen.
g.
Mendirikan bangunan sementara yang pendiriannya telah diperoleh izin dari Pemerintah Daerah untuk paling lama 1 (satu) bulan;
h.
Mendirikan perlengkapan bangunan yang pendiriannya telah diperoleh izin selama mendirikan bangunan;
Pasal 77
Bagi siapapun dilarang mendirikan bangunan apabila: a. Tidak mempunyai surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB); b. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat lebih lanjut dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB); c. Menyimpang dari rencana pembangunan yang menjadi dasar pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB); d. Menyimpang dari peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini atau peraturan lainnya yang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini; e. Mendirikan Bangunan diatas tanah milik orang lain tanpa izin pemiliknya atau kuasanya yang sah;
37
Pasal 78
(1)
(2)
(3)
Pencabutan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dapat dilakukan apabila: a. Dalam waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal izin itu diberikan pemegang izin masih belum melakukan pekerjaan yang sungguhsungguh dan menyakinkan; b. Pekerjaan-pekerjaan itu terhenti selama 3 (tiga) bulan dan ternyata tidak dilanjutkan; c. Izin yang telah diberikan itu ternyata didasarkan keteranganketerangan yang keliru; d. Pembangunan itu kemudian ternyata menyimpang dan rencana dan syarat-syarat yang disahkan; e. Terdapat kegagalan struktur akibat kesalahan dalam perencanaan dan atau akibat force major (keadaan kahar) yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan manusia. Pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diberikan dalam bentuk surat keputusan Bupati kepada pemegang izin disertai dengan alasanalasannya; Sebelum keputusan dimaksud ayat (2) pasal ini dikeluarkan, pemegang izin terlebih dahulu diberitahukan diberi peringatan secara tertulis dan kepadanya diberi kesempatan untuk mengajukan keberatankeberatannya.
Pasal 79
Masa berlaku Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sampai dengan pekerjaan fisik bangunan gedung dan atau bangunan selesai dilaksanakan dan siap digunakan.
Pasal 80
(1)
Masa berlaku Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 tidak berlaku, apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkan, pekerjaan fisik belum dilaksanakan atau pekerjaan telah dilaksanakan tetapi tidak diteruskan dan dianggap berupa pekerjaan persiapan;
(2)
Pekerjaan fisik yang belum dilaksanakan atau pekerjaan yang telah dilaksanakan tetapi tidak diteruskan dan dianggap berupa pekerjaan persiapan sebagaimana dimaksud ayat (1) masa berlaku Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dapat diperpanjang apabila ada pemberitahuan dan permintaan secara tertulis dari pemegang izin;
(3)
Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) diberikan maksimal untuk 2 (dua) kali masa perpanjangan dan selanjutnya izin tidak berlaku;
(4)
Untuk perizinan yang tidak berlaku lagi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) mengajukan izin kembali sebelum pekerjaan pembangunan dilaksanakan.
38
Pasal 81 Persyaratan yang ditetapkan untuk pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah disebutkan dalam pasal 71 ayat (5). Paragraf 3 Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan
Pasal 82
(1)
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Dinas Pekerjaan Umum tentang: a. Saat akan dimulainya pekerjaan mendirikan bangunan tersebut dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum pekerjaan dimulai; b. Saat akan dimulainya bagian-bagian pekerjaan mendirikan bangunan, sepanjang hal itu dipersyaratkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum bagian itu mulai dikerjakan; c. Tiap penyelesaian bagian pekerjaan mendirikan bangunan sepanjang hal itu dipersyaratkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum bagian itu selesai dikerjakan;
(2) Pekerjaan mendirikan bangunan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) baru dapat dimulai dikerjakan setelah Dinas Pekerjaan Umum menetapkan garis sempadan pagar, garis sempadan bangunan serta ketinggian permukaan tanah pekarangan tempat bangunan akan didirikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (3) Selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah diterima pemberitahuaan sebagaimana ayat (1), Dinas Pekerjaan Umum tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka pemohon dapat memulai pekerjaannya; (4)
Pekerjaan mendirikan bangunan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang diajukan dan ditetapkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pasal 83
(1)
Selain pekerjaan mendirikan bangunan dilaksanakan, pemohon Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan untuk menutup lokasi tempat mendirikan bangunan dengan pagar pengaman yang mengelilingi dengan pintu tertutup;
(2)
Bilamana terdapat sarana kota yang terganggu atau terkena pembangunan, maka pelaksanaan pemindahan/pengamanan dikerjakan oleh pihak yang berwenang atas biaya pemilik Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
39
Pasal 84
(1)
Pelaksanaan mendirikan bangunan mengikuti ketentuan-ketentuan dan peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang berlaku;
(2)
Pemegang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan untuk selalu berusaha menyediakan air minum bersih yang memenuhi kesehatan lingkungan tempat pekerjaan ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah dicapai oleh pekerja yang membutuhkannya;
(3)
Pemegang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan selalu berupaya menyediakan perlengkapan keselamatan/PPPK lengkap bagi pekerja dan banyaknya sesuai dengan jumlah orang yang dipekerjakan dan ditempatkan sedemikian rupa didalam lingkungan pekerjaan sehingga mudah dicapai bila diperlukan;
(4)
Pemegang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan sedikit-dikitnya menyediakan 1 (satu) kakus sementara untuk setiap kelipatan 40 (empat puluh) orang pekerja yang dipekerjakan.
Paragraf 4 Pengawasan Pelaksanaan Pekerjaan
Pasal
85
(1)
Pengawasan pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan oleh pengawas yang sudah mendapat izin;
(2)
Selama pekerjaan mendirikan bangunan dilakukan, pemohon Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan agar menempatkan salinan gambar Izin Mendirikan Bangunan (IMB) beserta lampirannya di lokasi pekerjaan untuk kepentingan pemeriksaan oleh petugas;
(3)
Petugas Dinas Pekerjaan Umum berwenang untuk: a. Memasuki dan memeriksa tempat pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan setiap saat pada jam kerja; b. Memeriksa apakah bahan-bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan Persyaratan Umum Bahan Bangunan (PUBB) dan Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS); c. Memerintahkan menyingkirkan bahan bangunan yang tidak memenuhi syarat, demikian pula alat-alat yang dianggap berbahaya serta merugikan keselamatan/kesehatan umum; d. Memerintahkan membongkar atau menghentikan segera pekerjaan mendirikan bangunan, sebagian atau seluruhnya untuk sementara waktu apabila: -
Pelaksanaan mendirikan bangunan menyimpang dari izin yang telah diberikan atau syarat-syarat yang telah ditetapkan;
-
Peringatan tertulis dari Dinas Pekerjaan Umum tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
40
Sertifikat Laik fungsi Pasal 86
(1)
Setelah bangunan selesai, pemohon wajib menyampaikan laporan secara tertulis dilengkapi dengan: a. Berita acara pemeriksaan dari pengawas yang telah diakreditasi (bagi bangunan yang dipersyaratkan); b. Gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (As Built Drawing); c. Fotocopy tanda pembayaran retribusi;
(2) Berdasarkan laporan dan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pasal ini Dinas Pekerjaan Umum atas nama Bupati menerbitkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) (3)
Jangka waktu penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan dan berita acara pemeriksaan.
Pasal 87
Apabila terjadi perubahan penggunaan bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemilik Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diwajibkan mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang baru kepada Bupati
Pasal 88
(1)
Untuk bangunan yang telah ada, khususnya bangunan umum wajib dilakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kelaikan fungsinya;
(2)
Pemeriksaan berkala dilakukan oleh tenaga/konsultan ahli yang telah diakreditasi setiap 5 (lima) tahun sekali;
(3)
Dinas Pekerjaan Umum mengadakan penelitian atas hasil pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengenai syarat-syarat administrasi maupun teknis-teknis;
(4)
Dinas Pekerjaan Umum memberikan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) apabila bangunan diperiksa telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Pasal 89
Kelayakan bangunan diberikan atas bangunan yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
41
Pasal 90
(1)
Dalam rangka pengawasan penggunaan bangunan, petugas Dinas Pekerjaan Umum dapat meminta kepada pemilik bangunan untuk memperlihatkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) beserta lampirannya;
(2)
Dinas Pekerjaan Umum dapat menghentikan penggunaan bangunan apabila penggunaannya tidak sesuai dengan Sertifikat Laik Fungsi (SLF);
(3)
Dalam hal terjadi seperti pada ayat (2), maka setelah diberikan peringatan tertulis serta apabila dalam waktu yang ditetapkan penghuni tetap tidak memenuhi ketentuan seperti yang ditetapkan dalam Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Bupati akan mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah diterbitkan.
Bagian Kedua Permohonan Merobohkan Bangunan
Pasal 91 Petunjuk Merobohkan Bangunan
(1)
Bupati dapat memerintahkan kepada pemilik untuk merobohkan bangunan yang dinyatakan: a. Rapuh; b. Membahayakan keselamatan umum; c. Tidak sesuai dengan tata ruang kota dan ketentuan lain yang berlaku.
(2)
Pemilik bangunan dapat mengajukan permohonan untuk merobohkan bangunannya;
(3)
Sebelum mengajukan permohonan izin merobohkan bangunan pemohon harus terlebih dahulu minta petunjuk tentang rencana merobohkan bangunan kepada Dinas Pekerjaan Umum yang meliputi: a. Tujuan atau alasan merobohkan bangunan; b. Persyaratan merobohkan bangunan; c. Cara merobohkan bangunan; d. Hal-hal lain yang dianggap perlu;
Pasal 92 Perencanaan Merobohkan Bangunan
(1)
Perencanaan merobohkan bangunan dibuat oleh perencana bangunan;
(2)
Ketentuan ayat (1) ini tidak berlaku bagi: a. Bangunan sederhana; 42
b. Bangunan tidak bertingkat; (3)
Perencanaan merobohkan bangunan meliputi: a.
Sistem merobohkan bangunan;
b.
Pengendalian pelaksanaan merobohkan bangunan;
Pasal 93 Tata Cara Mengajukan Permohonan Merobohkan Bangunan (PMB)
(1)
Permohonan Merobohkan Bangunan (PMB) harus diajukan sendiri secara tertulis kepada Bupati oleh perorangan atau badan/lembaga dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
(2)
Formulir isian tersebut dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Bupati.
Pasal 94 Penerbitan Keterangan Persetujuan Izin Merobohkan Bangunan
(1)
Dinas Pekerjaan Umum mengadakan penelitian atas Permohonan Merobohkan Bangunan (PMB) yang diajukan mengenai syarat-syarat administrasi, teknik dan lingkungan menurut peraturan yang berlaku pada saat Permohonan Merobohkan Bangunan (PMB) diajukan;
(2)
Dinas Pekerjaan Umum memberikan tanda terima Permohonan Merobohkan Bangunan (PMB) apabila persyaratan administrasi telah terpenuhi;
(3)
Dinas Pekerjaan Umum memberikan rekomendasi aman atas rencana merobohkan bangunan apabila perencanaan merobohkan bangunan yang diajukan telah memenuhi persyaratan keamanan teknis dan keselamatan lingkungan. Pasal 95 Pelaksanaan Merobohkan Bangunan
(1)
Pekerjaan merobohkan bangunan baru dapat dimulai sekurang-kurangnya 5 (lima) hari kerja setelah rekomendasi diterima;
(2)
Pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan berdasarkan cara dan rencana yang disahkan dalam rekomendasi.
43
Pasal 96 Pengawasan Pelaksanaan Merobohkan Bangunan
(1)
Selama pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan, pemilik harus menempatkan salinan rekomendasi merobohkan bangunan beserta lampirannya di lokasi pekerjaan untuk kepentingan pemeriksaan petugas
(2)
Petugas berwenang: a. Memasuki dan memeriksa merobohkan bangunan;
tempat
pelaksanaan
pekerjaan
b. Memeriksa apakah perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk merobohkan bangunan atau bagian-bagian bangunan yang dirobohkan sesuai dengan persyaratan yang disahkan rekomendasi; c. Melarang perlengkapan, peralatan dan cara yang digunakan untuk merobohkan bangunan yang berbahaya bagi pekerja, masyarakat sekitar dan lingkungan, serta memerintahkan mentaati cara-cara yang telah disahkan dalam rekomendasi; BAB V RETRIBUSI
Pasal 97 (1)
Sebelum melakukan pekerjaan, pemohon Izin Mendirikan Bangunan (IMB) wajib membayar retribusi dahulu kepada Dinas Pekerjaan Umum;
(2)
Besarnya retribusi diberitahukan kepada pemohon secara tertulis;
(3)
Pembayaran retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaiman dimaksud ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah surat pemberitahuan diterima oleh pemohon;
(4)
Balik nama atas Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikenakan biaya retribusi sebesar 10 (sepuluh) persen dari besarnya perhitungan kembali retribusi izin mendirikan bangunan yang bersangkutan.
Pasal 98 (1)
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terdiri dari : a. Biaya formulir pendaftaran; b. Biaya pemeriksaan gambar/koreksi gambar yang meliputi arsitektur dan konstruksi; c. Biaya pengawasan; d. Biaya sempadan; Besarnya retribusi akan ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2)
Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan berdasarkan pada nilai bangunan, lokasi bangunan, status bangunan, kelas bangunan, tingkat bangunan dan luas lantai bangunan.
44
BAB VI PERAN MASYARAKAT
Pasal 99
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat berupa : a. Memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan; b. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung; c. Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), rencana teknis bangunan gedung tertentu, dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan; d. Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 100
Untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditugaskan kepada instansi teknis atau kepada pejabat yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 101
(1)
Disamping pemerintah, pengawasan juga dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung, yang berupa: a. Memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan; b. Memberikan masukan pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung; c. Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan tata bangunan dan lingkungan, rencana teknis bangunan gedung tertentu, dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
45
d. Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung mengikuti ketentuan dan peraturan yang berlaku.
BAB VIII SANKSI TERHADAP PELANGGARAN
Pasal 102 Setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Pasal 103 (1)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 dapat berupa: a. Peringatan tertulis; b. Pembatasan kegiatan pembangunan; c. Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; d. Penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; e. Pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB); f. Pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB); g. Pembekuan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan gedung; h. Pencabutan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan gedung; atau i.
Perintah pembongkaran bangunan gedung
(2)
Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dikenakan sanksi denda paling banyak 10 (sepuluh) persen dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun;
(3)
Jenis pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.
Pasal 104 (1)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak 10 (sepuluh) persen dari nilai bangunan jika mengakibatkan kerugian harta benda orang lain;
46
(2)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 15 (lima belas) persen dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup;
(3)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20 (dua puluh) persen dari nilai bangunan gedung, jika mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain;
(4)
Dalam proses peradilan atas tindakan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) hakim memperhatikan pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung;
(5)
Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Pasal 105 (1)
Setiap orang atau badan yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini sehingga mengakibatkan bangunan gedung tidak laik fungsi dapat dipidana kurungan dan/atau pidana denda.
(2)
Pidana kurungan dan/atau pidana denda sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: a. Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 (satu) persen dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain; b. Pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 2 (dua) persen dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kecelakaan terhadap orang lain sehingga menimbulkan cacat seumur hidup; c. Pidana kurungan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) persen dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
(3)
Pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB IX PENYIDIKAN Pasal 106
(1)
Selain oleh pejabat penyidik umum, penyidikan atas tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
(2)
Dalam melakukan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana pelangganan;
47
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa Tanda Pengenal tersangka; d. Melakukan penyitaan benda dan/atau surat; e. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; f. Mendatangkan orang ahli yang dipergunakan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; g. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya.
BAB X PERATURAN - PERALIHAN
Pasal 107 (1)
Bangunan yang telah didirikan dan digunakan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku dan telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan Peraturan Daerah/Surat Keputusan Bupati sebelum Peraturan Daerah ini, dianggap telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menurut Peraturan Daerah ini;
(2)
Bagi bangunan yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku yang belum memiliki Izin Mendirikan bangunan (IMB) dalam tempo 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Perundangan Peraturan Daerah ini diwajibkan telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Penyesuaian bangunan tersebut dengan syarat-syarat tercantum dalam Peraturan Daerah ini diberikan tenggang waktu 5 (lima) tahun;
(3)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dimaksud ayat (2) pasal ini diberikan sepanjang lokasi bangunan-bangunan sesuai dengan rencana Pemerintah Kabupaten Seruyan;
(4)
Permohonan yang diajukan dan belum diputuskan, akan diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah ini;
(5)
Pada saat mulai berlaku Peraturan Daerah ini semua Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Bangunan Gedung Pemerintah di Kabupaten Seruyan yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum di ganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
48
BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 108
(1)
Untuk kawasan-kawasan tertentu, dengan pertimbangan tertentu, dapat ditetapkan peraturan bangunan secara khusus oleh Bupati berdasarkan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang telah ada;
(2)
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati;
(3)
Untuk jenis, besaran, jumlah lantai tertentu, yang mempunyai dampak penting bagi keselamatan orang banyak dan lingkungan, perlu adanya rekomendasi dari Menteri Pekerjaan Umum sebelum dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Seruyan.
Ditetapkan di Kuala Pembuang pada tanggal
6 Maret 2007
BUPATI SERUYAN,
ttd DARWAN ALI Diundangkan di Kuala Pembuang Pada tanggal 8 Maret 2007 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SERUYAN,
ttd Drs. H.DJONI ARDI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN TAHUN 2007 NOMOR 29 SERI E
49