Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
Original article
PERANCANGAN WEBCOMIC INTERAKTIF “HORROR STORIES OF INDONESIA” 1
Anggie PUTIAMARY, 2Alvanov Z. MANSOOR 1
Institut Teknologi Bandung
[email protected] 2
[email protected]
ABSTRACT In Indonesian culture, fear is one concept that can be found in traditional folklore which can be seen from various mystical stories from all around the archipelago with implicit moral message. In popular culture, ghost themed folklore then adapted in various media. At the presentation, folklore adaptation medium is closely related with ways to tell tales, or storytelling. One of the effective way in delivering content of a story is by including reader’s interest in a storyline. For example, by using such storyline, or even adding elements that can attract reader’s attention, so the readers may gain different experience in story reading, especially those including visual element. In further development, horror‐themed popular media faces sour response from audience as they fail to present interesting horror content despite the richness of local culture. Meanwhile, as one of the product of media digitalization, webcomic is a form of comic published in a website that can be accesed online. Some Indonesian webcomic sites has enough attention from the readers, but in the content, the comics are still using printed comic visualization standards, which is accessing page by page, and still not using website format content that is more flexible in visualization design and more interactive for readers. Seeing the condition, experiment of using webcomic in translating the sensation we get from horror genre has potential to lift supernatural‐themed folklore culture in Indonesia. Horror stories can be presented as an immersing reading experience using website as a wideworld accesible platform. Mulltimedia’s role, such in webcomic is hoped to give novelty in visual narration and also adding insights through the unique side of Indonesian culture. Keywords: folklore, horror, storytelling, webcomic
35
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
1. PENDAHULUAN Dalam kebudayaan Indonesia, ketakutan merupakan salah satu konsep yang dapat dijumpai dalam folklor tradisional. Hal ini dapat dilihat dari beragam cerita berbau mistik dari seluruh penjuru nusantara, serta peran ketakutan dalam kepercayaan dan cara hidup masyarakat sehari‐hari, baik tradisional maupun masa kini. Tema mengenai alam gaib atau supranatural dalam folklor daerah umumnya menceritakan tentang alam gaib, supranatural, dewa‐dewa, maupun makhluk‐makhluk gaib seperti hantu dengan berbagai macam bentuk dan sifat yang khas dari tiap daerah. Folklor tentang makhluk‐makhluk gaib tersebut memiliki beragam varian dari segi penampakan maupun narasi, namun hampir seluruhnya diceritakan dalam konteks horor yang menakutkan dengan muatan pesan moral yang tersirat. Folklor mengenai makhluk gaib terkadang memiliki deskripsi yang serupa, namun dengan detail yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda pula. Folklor mengenai hantu maupun alam gaib dilestarikan secara turun temurun melalui budaya penuturan lisan, yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal‐hal gaib. Dalam folklor, yang menjadi fokus bukanlah benar atau tidaknya suatu cerita, namun bagaimana cerita itu beredar dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. [1] Dalam budaya populer, folklor bertema hantu kemudian diadaptasi dalam berbagai media. Dalam penyajiannya, media adaptasi folklor berkaitan erat dengan cara bercerita atau storytelling. Seperti dijelaskan oleh Eisner [2], salah satu cara bercerita yang efektif dalam
menyampaikan konten dan pesan dari sebuah cerita yaitu dengan melibatkan ketertarikan pembaca dalam sebuah jalan cerita. Misalnya dengan menggunakan alur cerita sedemikian rupa ataupun menambahkan elemen yang dapat menarik perhatian pembaca sehingga pembaca dapat memperoleh pengalaman lain dalam membaca cerita, terutama dalam penyampaian yang melibatkan elemen visual. Sebagai contoh adaptasi yang memanfaatkan elemen visual, film bertema hantu banyak diproduksi secara berkesinambungan pada era modern seperti sekarang. Sebagai tema yang erat dengan muatan budaya lokal, horor dalam berbagai media di Indonesia seharusnya mampu menjadi media hiburan populer tanpa meninggalkan muatan wawasan dan sisi budaya folklor Indonesia. Namun pada perkembangannya, media bertema horor yang didominasi oleh film‐film bertema hantu belum mengeksplorasi secara maksimal potensi tersebut. Produksi film horor terus meningkat, namun terdapat kecenderungan untuk mengulang‐ulang cerita dengan menampilkan tokoh hantu yang telah lebih dulu populer seperti pada Jelangkung 3 (2007), Kuntilanak 2 (2007), Kuntilanak 3 (2008), Pocong 3 (2007), dan masih banyak lainnya, sementara masih banyak karakter hantu khas Indonesia yang berpotensi untuk dimunculkan. Di sisi lain, dengan maraknya media bertema horor, banyak pula bermunculan tayangan horor yang mengeksploitasi unsur seks dan pornografi secara terang‐terangan dengan tujuan mengejar sensasi sebagai alat promosi, tanpa terlalu peduli dengan konten horor yang diusung. Hal‐hal seperti yang telah dijabarkan sebelumnya berpengaruh pada pandangan dan minat masyarakat yang menurun dalam
36
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
mengapresiasi media bertema horor saat ini [3]. Seiring dengan perkembangan teknologi, perubahan media konvensional menjadi bentuk digital mengubah cara pandang manusia dalam hal komunikasi serta perilaku penggunaan media itu sendiri. Contoh yang dapat diamati yaitu seperti fenomena digitalisasi media yang mulai merambah ke berbagai format, yang akhirnya mempengaruhi perilaku membaca masyarakat. Booming website sebagai salah satu portal informasi yang dapat diakses secara online juga merupakan faktor pergeseran kebiasaan membaca dari format print out menjadi data digital. Kehidupan kaum muda pada saat ini pun memiliki hubungan erat dengan media digital seperti komputer, tablet, dan smartphone, yang digunakan untuk melakukan aktivitas sehari‐hari. Media hiburan seperti bacaan, tayangan televisi, dan kegiatan bersosialisasi kini dapat diakses melalui jaringan internet. Hal ini menyebabkan terbukanya peluang adaptasi multimedia terhadap media‐ media konvensional seperti novel ataupun komik. Sebagai media storytelling yang merupakan kolaborasi antara gambar dengan teks, elemen‐elemen narasi visual dalam komik memiliki potensi untuk diaplikasikan dalam media digital dan menghasilkan format storytelling yang baru seperti webcomic. Sebagai salah satu produk digitalisasi media, webcomic merupakan komik yang media publikasinya berupa website yang dapat diakses secara online. Dibanding media grafis cetak, webcomic memiliki beberapa keunggulan seperti akses pembaca yang lebih luas, biaya publikasi lebih rendah, fleksibilitas dalam konten multimedia, serta serialisasi konten yang
dapat di‐update sesuai kebutuhan pengarang maupun pembaca. Seperti dijelaskan oleh McCloud [4], konsep Infinite Canvas dalam webcomic merupakan pemanfaatan peran layar pada media elektronik yang berfungsi sebagai jendela pada sebuah komik digital, sehingga penulis tidak dibatasi oleh format cetak dalam berkarya. Selain itu, aspek multimedia webcomic dalam penyusunan storytelling berperan dalam menghadirkan sensasi yang biasanya tidak dapat tersampaikan dalam format cetak, seperti atmosfer latar belakang dunia dalam cerita maupun penekanan efek‐efek tertentu untuk memicu reaksi dan keterlibatan pembaca. Di Indonesia, terdapat beberapa situs webcomic Indonesia yang cukup mendapat perhatian dari pembaca seperti Komikoo dan NGOMIK yang merupakan free online publishing website komik‐komik Indonesia. Namun dalam kontennya, judul‐judul komik tersebut masih menggunakan standar visualisasi komik cetak yang diakses per halaman. Sebagai salah satu media yang mempunyai potensial interaktif, webcomic di Indonesia seharusnya dapat lebih memanfaatkan konten format website yang lebih fleksibel dalam desain visualisasi dan publikasi, serta memanfaatkan potensi interaktivitas bagi pembaca. Melihat kondisi itu, dapat dilihat adanya potensi media webcomic sebagai media storytelling alternatif dalam eksperimen memunculkan sensasi (thrill) yang berbeda dibandingkan dengan media konvensional dalam memunculkan aspek horor Indonesia. Pemanfaatan webcomic berpotensi mengangkat kembali daya tarik horor dalam media hiburan tanpa melupakan nilai budaya dalam folklor
37
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
makhluk gaib nusantara. Diharapkan peran media alternatif seperti webcomic dapat memberikan kebaruan dalam narasi visual serta menambah wawasan dan informasi mengenai sisi unik kebudayaan Indonesia. 1.1 METODOLOGI Studi yang dilakukan dalam perancangan webcomic ini dilakukan penelitian mencakup studi literatur sebagai landasan teori serta referensi visual, pengumpulan data, analisis dari data yang diperoleh, proses perancangan, dan evaluasi. Perancangan webcomic horor ini menggunakan studi literatur sebagai landasan teori terkait kajian mengenai genre horor, sensasi rasa takut, tema horor dalam kebudayaan Indonesia, translasi media, storytelling, dan sebagainya. Dasar visual mengacu pada elemen horor Indonesia melalui analisa media, dengan memasukkan elemen kehidupan masyarakat Indonesia modern agar sesuai dengan kebutuhan media dan target. Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan teori sebagai dasar perancangan karya. Dari hasil perbandingan data tersebut kemudian dipilih aspek‐aspek yang dibutuhkan sebagai dasar perancangan karya serta penyesuaiannya terhadap media yang digunakan. Perancangan dilakukan melalui tahapan pembuatan konsep cerita, visual, interface, serta eleman penunjang lainnya seperti pemrograman. 2. TEORI DAN DIGUNAKAN
PENDEKATAN
YANG
2.1 Visual Storytelling Dalam proses menyajikan cerita melalui elemen visual diperlukan aspek‐aspek
penyusun mulai dari konten, cara bercerita, gaya visual, dan aspek lainnya yang dibutuhkan selama proses pengembangannya. Menurut Eisner [2], proses bercerita terdiri dari suatu bahan cerita dan penguasaan alat bercerita. Dapat dikatakan bahwa dalam sebuah proses bercerita, media penyajian memiliki peran yang amat penting. Selain itu, cara bercerita atau storytelling pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu melalui kata‐kata (lisan atau tertulis), elemen visual (gambar atau lukisan), ataupun penggabungan keduanya seperti dalam media komik. Penyampaian sebuah informasi atau cerita dapat diterima dengan baik oleh pembaca apabila elemen‐elemen penyusun storytelling yang digunakan disusun dengan jelas dan efektif. Dalam menyusun visual storytelling, terdapat empat komponen utama yang perlu diperhatikan. Komponen‐komponen ini menentukan bentuk, identitas, dan ruang lingkup, serta menentukan suksesnya sebuah storytelling. Penggunaan elemen‐elemen dalam narasi visual merupakan metode yang mampu menghadirkan aspek imersi bagi pembaca, menurut Caputo [5], yaitu sebagai berikut. a. Clarity Peran seorang ilustrator adalah menyampaikan isi cerita dengan visual yang mudah untuk diikuti dan dimengerti pembaca. Cara mengkomunikasikan informasi melalui visual ini dapat dilakukan melalui penyusunan gambar yang berurutan dan pengaturan komposisi panel. Tahap pertama dalam sebuah storytelling yakni menyampaikan latar belakang pada awal cerita. Hal ini berfungsi membentuk mood cerita, yang terbentuk bukan dari penjelasan secara
38
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
teks, namun dari segi visual yang merupakan tempat terjadinya cerita secara langsung. Prinsip tersebut juga diterapkan pada alur gerak karakter dari awal hingga akhir cerita. Alur narasi yang mengalir dapat dicapai dari aliran cerita yang natural, konsisten, dan wajar dari waktu ke waktu. Contohnya dalam komik, hal tersebut didukung juga oleh ilusi gerakan seperti garis pendukung, bentuk panel hingga efek latar belakang. Tolak ukur berhasilnya suatu alur narasi yaitu jika pembaca tidak menyadari bagaimana adegan selanjutnya akan terjadi. Untuk mencapai sebuah clarity (kejelasan) diperlukan juga prinsip aksi‐reaksi. Prinsip tersebut merupakan strategi pengarang dalam memperhatikan akibat atau dampak yang ditimbulkan dari adegan sebelumnya, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kejadian setelahnya. b. Realism Merupakan persepsi pembaca terhadap hal yang disampaikan oleh pembuat komik, yaitu pembaca harus diyakinkan melalui apa yang mereka lihat baik berupa teks maupun ilustrasi, bahwa apa yang dilihat merupakan sesuatu yang benar‐benar terjadi dalam sebuah cerita. Untuk mencapai aspek realism dalam sebuah komik antara lain dengan sedikit menambahkan elemen yang akrab dengan kejadian sehari‐hari. Baik dari kebiasaan, objek, hingga fakta yang ada di dunia nyata ke dalam cerita komik. Menurut Caputo [5], unsur lain yang mempengaruhi realism yakni pembuatan karakter dan struktur. Struktur storytelling sejak dahulu selalu mengandung prinsip struktur klasik, yakni cerita terdiri dari tokoh utama dan tokoh protagonis, dan keduanya
terlibat dalam sebuah konflik dalam suatu kondisi dan lingkungan tertentu, kemudian mengalami titik balik dan diakhiri dengan klimaks yang melibatkan emosi. Kesesuaian gaya gambar dalam sebuah komik menjadi elemen yang penting dalam mendukung realism. Selain sebagai pembentuk impresi awal, gaya gambar juga berfungsi untuk membuat pembaca percaya bahwa cerita yang disampaikan benar‐benar terjadi. Hal tersebut juga didukung oleh kedalaman dimensi dan perspektif dari objek dalam suatu panel seperti foreground, middle ground, dan background. Elemen‐elemen tersebut digambarkan melalui kontras ukuran, pencahayaan, tekstur, render objek, detail, dan warna. c. Dynamism Merupakan aspek keterlibatan emosi antara pembaca dengan cerita yang dimunculkan melalui ekspresi dan gerak dari karakter berkaitan dengan semua objek di sekitarnya. Dalam visualisasi, ilustrasi dua dimensi memiliki keunggulan dibandingkan dengan animasi tiga dimensi. Kesan dinamis dalam ilustrasi dua dimensi dapat ditonjolkan melalui perspektif, variasi angle, dan berbagai macam efek garis yang tidak mudah dicapai oleh ilustrasi 3D. Kesan dinamis berperan besar dalam menyampaikan emosi karakter dalam cerita pada pembaca, dan terkadang gerakan hiperbolis dapat memperkuat efek klimaks dalam suatu adegan. d. Continuity Continuity merupakan konsistensi dari keberadaan suatu objek, latar belakang, karakter, serta sifatnya, kecuali pengarang menghendaki perubahan
39
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
pada suatu bagian cerita. Continuity (keberlanjutan) menjadi objek identifikasi utama dari sebuah visual storytelling. Dalam sebuah adegan, walaupun alur cerita dibuat naik turun, namun keadaan dari semua objek yang dipengaruhi oleh suatu kejadian harus dipertimbangkan secara konsisten, sehingga alur narasi dapat ditampilkan pada pembaca tanpa terasa tersendat. Contohnya elemen garis pada suatu objek harus dipertahankan sebagai identifikasi pembaca terhadap sifat benda tersebut, sehingga pembaca mengenali benda tersebut sebagai benda yang sama dengan gambar yang ditunjukkan sebelumnya. Selain itu diperlukan kesesuaian keterangan pada teks penjelas, seperti keterangan jarak yang harus konsisten dengan jarak yang ditampilkan secara visual. Keseluruhan elemen tersebut digabungkan dengan tujuan untuk membuat sebuah alur secara total pada sebuah cerita. Dengan memanfaatkan pertimbangan elemen‐ elemen storytelling seperti dijelaskan di atas, identitas dari sebuah bentuk media narasi visual akan selalu terjaga. Ketika pembaca larut dalam sebuah cerita, maka kemungkinan mereka dapat menolerir jika ada sebuah adegan yang kurang sesuai secara visual dan isi cerita, sehingga stabilitas sebuah storytelling tetap terjaga. 2.2 Komik Dalam pembuatan komik, storytelling ditentukan sendiri oleh pembuat komik. Jika pembuat komik ingin menampilkan beberapa gerakan ke dalam satu panel maka hal tersebut mungkin untuk dilakukan, begitu pula dengan elemen lainnya seperti pencahayaan, sudut pandang, hingga dialog yang dilakukan oleh karakter‐karakter dalam komik. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menarik perhatian pembaca agar mengikuti jalan cerita. Salah satu sasaran pencerita adalah empati dari para pembaca. Seperti dijelaskan oleh Eisner [2], empati yang ada di tiap‐tiap manusia dapat digunakan sebagai jalur utama untuk mengirimkan sebuah pesan dalam cerita. Empati dipengaruhi oleh rasa keterlibatan yang dialami pembaca terhadap sebuah cerita, yang kemunculannya dapat dicapai melalui suatu kesepakatan tertentu. Tugas seorang pencerita atau pengarang adalah menentukan kesepakatan yang mampu dipahami oleh pihak pengarang maupun pembaca. Salah satu cara utama untuk mencapai kesepakatan tersebut adalah mengontrol pembaca dengan cara menyesuaikan hubungan cerita dengan ketertarikan dan pemahaman pembaca. Eisner [2] juga menjelaskan bahwa dalam sebuah komik, kontrol terhadap pembaca terbagi ke dalam dua tahapan, yaitu attention dan retention. Attention dapat dicapai melalui tampilan visual penggambaran yang provokatif dan atraktif. Sedangkan retention dapat dicapai melalui logika dan kejelasan gambar yang disusun. Salah satu upaya untuk menjaga daya tarik sebuah cerita dalam komik terhadap pembaca adalah dengan menyisipkan elemen kejutan pada cerita. Salah satu strategi untuk menyisipkan efek kejutan bagi pembaca adalah dengan mempertimbangkan ritme pembaca yang berbeda‐beda. Efek kejutan dapat ditampilkan pada satu aspek, contohnya pada aspek tokoh utama yang cenderung memiliki keterikatan dengan pembaca seiring berjalannya cerita. Namun, tidak tertutup kemungkinan untuk menampilkan retention dalam cara lain untuk
40
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
memunculkan efek yang ingin dicapai oleh pengarang. 2.3 Webcomic Aplikasi storytelling dalam media website dapat dilihat dalam bentuk webcomic. Pengertian webcomic sendiri masih diperdebatkan oleh beberapa pihak, namun salah satu penggagas pengertian webcomic, yaitu Scott McCloud [4], memaparkan webcomic sebagai komik yang menggunakan media digital online seperti website sebagai media publikasinya. Awal kemunculan webcomic dapat dilihat pada tahun 1985 dengan terbitnya Witches and Stiches oleh Eric Milikin yang diterbitkan secara online oleh Compuserve. Webcomic memiliki potensi untuk menggunakan fitur‐fitur pada website untuk mengembangkan format baru baik dalam standar pembuatan komik maupun mengembangkan format komik sebagai bentuk seni yang baru dan terus berkembang. Media webcomic memiliki beberapa kelebihan, salah satu yang paling menonjol adalah biaya produksi yang jauh lebih murah dibandingkan dengan komik cetak. Seperti dijelaskan oleh Nathaniel [6], penerbitan webcomic dalam media online memiliki potensi dalam mencapai angka pembaca yang lebih besar. Meskipun beberapa penerbit besar komik cetak tidak begitu antusias dalam mengaplikasikan metode penerbitan digital, pengarang‐ pengarang komik independen menyambut webcomic sebagai salah satu cara efektif dalam menjaring minat pembaca baik secara luas maupun pada grup tertentu. Seperti yang dijelaskan Cleber & Martin [7], yang menjabarkan bahwa perubahan media konvensional menjadi bentuk digital mengubah cara pandang manusia dalam
hal komunikasi serta perilaku peng gunaan media itu sendiri. Perubahan tek s dan gambar menjadi kode biner yang diproyeksikan melalui layar ( screen) menjadi format media b caan yang banyak digunakan khususnya oleh generasi muda yang terbiasa dengan penggunaan gadget, seperti komputer, laptop, tablet, dll. Perubahan komik cetak menjadi komik digital interaktif mempengaruhi car a baca dan kesepakatan ritme pembaca pada umumnya. Komik cetak m emiliki kesepakatan cara baca dan ritme me mbaca yang sudah dikenal, seperti cara ba ca dari kanan ke kiri (atau kiri ke kanan untuk beberapa negara Asia), dan dari a tas ke bawah, seperti yang terlihat pada ga mbar.
Gambar 1. Arah baca dalam format komik cetak Komik cetak memerlukan perhi tungan berdasarkan format cetak yang m enjadi landasan perancangan panel dan aspek visual pada tiap halaman. Komik digital seperti webcomic memiliki elemen visual, sistem navigasi, serta struktur yang disesuaikan dengan media penyaji annya. Visual yang ditampilkan dapat menggunakan warna yang kompleks tanpa menggunakan pertimbangan sepert i pada media cetak. Pengaturan panel pada komik juga menjadi lebih bebas dan beroriientasi pada platform. Kecenderungan we bcomic dalam menamilkan satu gambar dalam
41
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
keseluruhan bidang layar mengakibatkan kecenderungan pengarang untuk bereksplorasi lebih jauh dalam menyiasati bidang dan menyusun struktur panel baru yang tidak dapat diwujudkan dalam format cetak [6]. Sistem navigasi pada webcomic juga berkaitan dengan teknologi perangkat. Pertimbangan jenis navigasi berperan besar dalam menghadirkan alur cerita yang mengalir atau dapat digunakan untuk memanipulasi ritme pembaca untuk menghadirkan efek tertentu sesuai kebutuhan pengarang. Hal ini juga mempengaruhi media narasi visual yang mulai menggunakan data digital sebagai dasar penyusunannya. Seperti yang dijelaskan oleh Miller [8], yang menyebutkan bahwa pergeseran media digital menimbulkan faktor media baru dalam narasi visual yang dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Interface dan navigasi Pengguna media dapat berpartisipasi dan mengambil kendali dalam penggunaan suatu media, serta memahami cara kerjanya. Pengguna dituntut agar aktif mencari tahu dan bereksplorasi. Contoh tools yang berfungsi dalam interface seperti menu, icon, navigation bar, kursor, peta, simbol, dll. b. Sistem Sebuah media interaktif seharusnya memiliki sistem dasar logis yang memicu terjadinya kelanjutan cerita, event ataupun punishment & reward. c. Peran pengguna media Dalam media interaktif, peran aktif pengguna memiliki peran penting. Pengguna dapat memegang kendali dalam eksplorasi suatu media sebagai diri sendiri, avatar, maupun orang lain.
Sebagian besar kegiatan dalam media tersebut membutuhkan peran dari pengguna. d. Kombinasi multimedia Tidak seperti media linear, di mana berbagai bentuk media hanya dapat dinikmati dalam satu frame, media interaktif membebaskan penggunanya dalam mengeksplorasi berbagai jenis media dalam waktu yang terpisah, maupun secara kesatuan. e. Pemanfaatan ruang dan waktu Dalam media interaktif, faktor ruang dan waktu dapat dimanfaatkan secara dinamis. Berbagai eksperimen lebih lanjut dalam narasi pada media digital kemudian turut berpengaruh pada pengertian komik itu sendiri. Menurut Dittmar [9], dengan pengaplikasian multimedia dalam storytelling seperti pada webcomic, media komik sendiri dapat dipertanyakan posisinya. Dengan perubahan yang melibatkan media digital sebagai dasar dalam penyusunan sebuah storytelling, dapat dipertanyakan apakah media tersebut merupakan komik yang beradaptasi dengan format digital, atau melainkan sebuah media hybrid baru yang berada pada kategori sendiri. Sebagai komik berbasis media digital, webcomic dapat memuat aturan‐aturan konvensional dalam komik, ataupun mematahkannya dengan memperkenalkan aturan‐aturan dan kesepakatan baru yang berupa pacing cerita yang berbeda dan sulit dicapai bila diaplikasikan dalam format konvensional [9]. Contohnya seperti penggunaan satu image dalam satu tampilan layar yang terhitung sebagai satu panel dalam komik digital. Pergeseran
42
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
perhitungan tampilan dari media cetak berpengaruh besar terhadap keputusan storytelling dan pesan yang ingin disampaikan pada pembaca, dimana hasil yang diharapkan berbeda dan belum tentu dapat tercapai dalam media konvensional. 3. KAJIAN TEMA HOROR INDONESIA DAN WEBCOMIC HOROR Secara umum, horor dapat diartikan sebagai pengalaman psikologis yang berkaitan dengan ketakutan, kengerian, kecemasan, kejijikan, dan hal tidak nyaman lainnya. Seperti dijelaskan oleh Nickel [10], nilai horor dalam kehidupan sehari‐hari datang dari kerapuhan manusia dalam mempercayai rasa aman dan stabilitas di dunia yang mereka jalani. Untuk memicu emosi dan rasa takut, horor seringkali menggunakan detail dari kehidupan normal sehari‐hari dan didramatisir menjadi sebuah situasi yang absurd. Hal ini secara implisit mengingatkan penonton bahwa hal‐hal mengerikan mungkin saja terjadi pada kehidupan yang mereka anggap normal, tergantung dari seberapa realistis presentasi dari media horor yang mereka resapi. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang beragam, juga memiliki produk budaya bertema horor dalam bentuk folklor dan mitos. Karen Armstrong [11] menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk selalu menciptakan mitos sebagai upaya untuk memahami hal‐ hal yang terjadi di luar nalar mereka. Hal‐ hal seperti alam gaib, kematian, dan ritual kepercayaan, merupakan beberapa dasar utama yang mendukung keberadaan sebuah mitos.
Mengenai rasa takut manusia akan kematian, atau hal‐hal lainnya yang mengantar mereka menuju kebinasaan merupakan dasar dalam terciptanya suatu mitos [11]. Rasa takut akan kematian kemudian berkaitan dengan kepercayaan mengenai alam gaib, atau alam kehidupan setelah mati, serta makhluk‐makhluk penghuninya yang bukan berasal dari kehidupan manusia. Kepercayaan tersebut bila diyakini oleh lebih banyak orang akan melahirkan penggambaran sebuah situasi yang memuat nilai‐nilai tertentu dalam masyarakat dan digunakan sebagai kontrol sosial. Sebagai contoh, Indonesia mengenal mitos mengenai ‘kuntilanak’ dan ‘sundel bolong’. Meskipun memiliki deskripsi yang sedikit berbeda‐beda di berbagai daerah nusantara, makhluk itu memiliki kesamaan dalam ciri utamanya, yaitu wanita berambut hitam panjang dan berbaju putih, serta dengan tujuan keberadaan yang sama, yaitu membalas dendam terhadap sosok lelaki yang membuat mereka menderita semasa hidup. Pembalasan arwah terhadap manusia merupakan contoh titik ekstrim penggambaran sifat menurut imajinasi manusia dalam sebuah mitos. Penggambaran mitos mengenai makhluk‐ makhluk gaib memiliki beragam varian yang unik dan khas dalam tiap masyarakat tertentu, dikarenakan perbedaan dalam kondisi alam, sejarah, ritual keagamaan, adat, tradisi, pola pikir, serta berbagai faktor lainnya. Di sisi lain folklor merupakan produk budaya narasi Indonesia yang memuat berbagai tema, salah satunya folklor mengenai alam gaib. Kepercayaan akan mitos mengenai hal‐hal supernatural dapat ditemui dalam cerita rakyat Indonesia, yang biasanya melibatkan tokoh‐tokoh
43
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
seperti hantu, jin, setan, makhluk halus, binatang jejadian, dan lainnya. Dalam perkembangannya, tema hantu dan alam gaib dalam folklor terus mengalami perubahan dalam detail dan adaptasi, namun bentuk dasarnya tetap bertahan hingga sekarang. Media adaptasi folklor pada awalnya berupa cerita tertulis yang penceritaannya biasanya menggambarkan hubungan antara makhluk gaib dengan manusia. Tema horor dalam folklor Indonesia banyak menggunakan pendekatan mitos sebagai titik ekstrim penggambaran konstruksi nilai‐nilai dalam masyarakat, yang berfungsi sebagai alat pendidikan moral dan kontrol sosial. Seiring dengan perkembangan zaman, tema horor kemudian juga diadaptasi ke dalam media hiburan populer seperti komik, game, film, maupun acara televisi. Di Indonesia, seperti halnya di seluruh dunia, tema horor dalam film merupakan genre yang populer dan banyak diminati. Seperti dipaparkan oleh Rusdiarti [12], menurut sejarah, film dengan genre horor di Indonesia berkembang di seputar tema hantu dan horor psikologis, dimana tema hantu mendominasi dalam hal penerimaan dan jumlah penonton. Setelah produksi film Indonesia yang kian surut pada tahun 1990an, kehadiran film Jelangkung (2001), seperti pada gambar di bawah, yang mendapat apresiasi yang besar dari masyarakat memicu kehadiran film‐film dengan tema serupa.
Gambar 2. Poster film Jelangkung (2001) (sumber: http://muviblast.com/category/more/indo /, 07 Juni 2015) Kisah yang diangkat masih seputar mitos dan legenda tradisional, namun dengan pendekatan narasi dan latar belakang yang disesuaikan dengan budaya modern. Contoh film‐film tersebut antara lain seperti Kafir (2002), Tusuk Jelangkung (2003), Pocong 2 (2006), dan Kuntilanak (2006). Pada perkembangan selanjutnya, film horor Indonesia mulai banyak mengadaptasi legenda urban, serta dengan pendekatan berbagai sub‐genre seperti horor komedi, horor psikologis, dan seringkali mengawinkan tema hantu dengan muatan pornografi. Dari berbagai film bertema horor di Indonesia sejak periode lama (1926), hingga sekarang, terdapat beberapa pola yang nampak pada perkembangan genre horor Indonesia. Salah satunya yaitu berupa ikonografi horor yang ditampilkan dalam karakter makhluk‐makhluk supernatural seperti hantu, setan, binatang jejadian, dan lainnya. Cerita yang diangkat umumnya berkaitan dengan kepercayaan
44
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
mistis, perdukunan, dan ilmu hitam yang berakibat bangkitnya karakter hantu untuk membalas dendam. Penyelesaian dalam film terletak pada karakter protagonis seperti ustadz, atau orang dengan ilmu agama yang tinggi. Kisah horor yang diangkat umumnya mengacu pada latar folklor tradisional, yaitu alam pedesaan. Aspek umum yang terdapat dalam film‐film perode lama yaitu penggambaran karakter masyarakat Indonesia yang hidup di tengah‐tengah kepercayaan dan legenda tradisional. Sementara pada periode modern, titik kebangkitan kembali film horor Indonesia dapat dilihat dari film Jelangkung (2001). Dengan penekanan narasi melalui visual, editing, dan suara, film ini memicu tren baru dalam perkembangan film horor Indonesia. Ikonografi yang digunakan umumnya masih mengambil bentuk sosok hantu dan jejadian, namun dengan tambahan tokoh‐tokoh hantu yang terdapat dalam legenda urban. Cerita yang diangkat umumnya berkaitan dengan fenomena teror sosok hantu yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan diikuti dengan pengungkapan masa lalu (akibat‐ sebab). Penyelesaian masalah dalam film bervariasi, atau malah tidak terdapat penyelesaian yang berarti, sehingga menyisakan akhir terbuka yang membuat penonton bertanya‐tanya. Karakter sentral dalam film umumnya remaja perkotaan dengan latar tempat‐tempat dengan potensi situs angker pada lansekap perkotaan, seperti jembatan layang, rumah kosong, rel kereta api, dan sebagainya. Berbeda dengan periode lama, film‐film horor pada periode modern cenderung menampilkan karakter masyarakat yang menemui konflik dalam situs yang akrab dengan keseharian, namun kemudian
menjadi sumber ancaman dan teror akibat masa lalu yang tidak terselesaikan. Melalui perbandingan elemen film horor dari periode yang berbeda, terdapat aspek khas dalam genre horor Indonesia, yaitu penggunaan tokoh hantu populer sebagai ikonografi horor. Tokoh‐tokoh hantu menjadi daya tarik utama penonton dalam mengikuti kisah dalam film, karena dengan demikian kepercayaan terhadap hal‐hal supernatural diberi ruang untuk merasionalisasi peristiwa‐peristiwa yang tidak dapat dijelaskan. Secara konsisten, horor Indonesia menghadirkan sosok hantu seperti kuntilanak, pocong, sundel bolong, dan sebagainya, meskipun dengan pendekatan cerita dan visual yang berbeda‐beda. 3.1 Rumusan Webcomic Horor Genre horor dalam perkembangannya juga merambah media alternatif seperti webcomic. Pengarang webcomic dapat menggunakan eksplorasi media dalam upaya menghasilkan efek horor yang diinginkan, baik dari segi visual seperti artwork, maupun dengan media tambahan lainnya seperti animasi, suara, dan efek kejutan. Elemen kejutan pada media horor, atau populer dengan istilah jumpscare, merupakan salah satu elemen yang sering digunakan untuk memunculkan reaksi ketakutan dari penonton. Konsep jumpscare banyak digunakan dalam film horor dalam menghadirkan sosok hantu atau adegan klimaks dalam teror yang terjadi dalam jalan cerita film. Menurut penjelasan Bishop [13], penggunaan konsep jumpscare pada film horor umumnya dimulai dengan karakter yang dihadapkan pada situasi berbahaya, kemudian terungkap penjelasan mengenai
45
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
situasi tersebut yang membuat penonton mengira bahwa ketegangan telah terlewati. Saat penonton lengah, adegan mengejutkan berupa kemunculan sosok hantu dengan efek suara atau musik muncul secara tiba‐tiba. Dalam perkembangannya, efek jumpscare juga diaplikasikan dalam media horor seperti game atau pada media online seperti webcomic dan online video, atau hanya berupa image dengan dengan muatan script. Pada media online, konsep jumpscare yang banyak ditemui umumnya dihadirkan tanpa adegan pendahuluan seperti pada film. Penggunaan jumpscare tanpa pertimbangan yang jeli dapat mengakibatkan konsep tersebut menjadi klise, dan alih‐alih merasa takut, pembaca atau pengguna media akan merasa terganggu dan bosan. Namun, penggunaan konsep jumpscare dengan pertimbangan yang tepat dapat memicu reaksi dan ketertarikan pembaca, contohnya seperti pada webcomic Bong Cheon‐Dong Ghost Story (2011) oleh Studio Horang. Meskipun dengan teknis sederhana, efek kejutan dibangun secara efektif melalui storytelling dengan media visual dan kemudian memanfaatkan kelengahan pembaca
dalam menghadirkan sosok hantu dengan muatan audio dan animasi. Dari analisis yang telah dila kukan, beberapa temuan mengenai aspek horor Indonesia kemudian dikombin asikan dengan storytelling dalam we bcomic. Cerita yang akan diangkat dalam we bcomic mengacu kepada elemen‐elemen yang terdapat dalam horor Indonesia, serta sosok hantu Indonesia yang dia daptasi dalam cerita dengan latar belakan g yang disesuaikan dengan kehidupan mas yarakat pada masa sekarang. Cerita d isusun berdasarkan karakteristik yang ingin ditampilkan dari tiap sosok makhl uk gaib pilihan. Karakteristik hantu yang dimunculkan akan berperan dalam menentukan strorytelling dan efek dalam interaktivitas untuk memicu sensasi horor. Selain itu, platform website yang terstruktur akan digunakan s ebagai identitas dari webcomic. Target dari webcomic yaitu menarik pembaca secara luas dalam jangka waktu berkela njutan, sehingga penerbitan cerita akan dibuat dalam serialisasi mingguan. Su sunan rumusan dapat dijelaskan pada sk ema di bawah.
Gambar 3. Rumusan webcomic horor
46
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
4. KONSEP PERANCANGAN HORROR STORIES OF INDONESIA 4.1 Konsep umum Webcomic Horror Stories of Indonesia merupakan webcomic yang mengangkat tema horor Indonesia untuk memperkenalkan kembali karakter‐ karakter hantu khas Indonesia dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat pada masa kini dengan memanfaatkan teknologi dalam website sebagai bagian dari storytelling atau cara bercerita. Agar webcomic ini dapat menarik perhatian pembaca serta dapat dikenali diantara judul‐judul webcomic lainnya, konsep perancangan webcomic ini akan berfokus pada konten visual, storytelling, audio, dan animasi. Selain itu, identitas visual seperti judul, logo, dan user interface, juga menjadi pertimbangan dalam mendesain webcomic. Narasi dalam webcomic ini akan menggunakan konsep storytelling dalam komik yang mencakup clarity, realism, dynamism, dan continuity. Selain itu, kontrol pembaca melalui elemen attention diwujudkan dalam visual karakter hantu, serta elemen retention berupa kejutan dari karakter hantu yang dimunculkan dengan memanfaatkan script pada website. Tiap cerita pada webcomic ini bertujuan untuk menampilkan karakteristik khusus yang dimiliki oleh masing‐masing karakter hantu dan interaksi mereka dengan tokoh utama manusia. Webcomic bertema horor ini akan diawali dengan homepage pada website yang memuat navigasi mencakup menu pemilihan chapter terbaru dan chapter‐ chapter terdahulu sebuah cerita, serta menu menuju penjelasan mengenai website dan pilihan subscribe. Webcomic
ini akan menampilkan karakter‐karakter hantu lokal Indonesia, diawali dengan lima tokoh hantu yang populer di masyarakat, yaitu: • • • • •
Kuntilanak Pocong Genderuwo Tuyul Palasik
Cerita mengenai tiap karakter hantu dibagi ke dalam beberapa chapter dan tiap chapter akan di‐update setiap minggu. Pada akhir chapter, pembaca dapat menyebarkan (share) link webcomic ini pada berbagai media sosial. Pada perkembangannya, tidak tertutup kemungkinan untuk mengangkat karakter hantu Indonesia lainnya yang belum terlalu dikenal masyarakat, namun memiliki karakteristik khas dalam budaya Nusantara, ke dalam cerita di webcomic ini. 4.2 Konsep storytelling Konsep storytelling dalam webcomic Horror Stories of Indonesia menggunakan empat elemen utama yaitu clarity, realism, dynamism, dan continuity [5], serta kontrol pembaca dengan menitikberatkan pada aspek teknis dan visual untuk menarik empati pembaca. Dalam perancangan storytelling, aspek media website sebagai wadah merupakan pertimbangan utama dalam tampilan serta aspek interaktivitas yang digunakan. Berdasarkan analisis storytelling yang dilakukan, berikut beberapa batasan aspek yang digunakan dalam perancangan webcomic: a. Cerita Struktur cerita dapat bervariasi tergantung dari plot kisah yang diangkat, namun diperlukan penyesuaian dari cerita asli, sehingga
47
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
durasi serta ukuran file webcomic tidak memberatkan akses pembaca. Poin‐ poin penting yang merupakan identitas sebuah cerita perlu ditentukan, sehingga dalam pengemasannya dapat dikenali walaupun alur cerita dipersingkat sebagai penyesuaian dengan aspek teknis.
penghubung antara pembaca dengan cerita. Navigasi dapat ditampilkan berupa visual seperti tombol sebagai kontrol untuk memulai cerita, maupun sebagai navigasi dalam membaca cerita, dengan pertimbangan penempatan pada area yang nyaman dan tidak menggangu perhatian pembaca.
b. Visual Aspek visual merupakan bagian penting dalam storytelling, yakni untuk menjelaskan pesan dan informasi kepada audiens. Visual menentukan kesan pertama pembaca terhadap webcomic, sehingga pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut.
d. Elemen kejutan Dalam memunculkan sensasi dalam cerita horor, selain atmosfer yang dibangun melalui visual dan audio, diperlukan elemen kejutan yang ditampilkan melalui teknologi pada halaman website. Elemen kejutan yang dihadirkan bervariasi sesuai dengan karakteristik sosok hantu yang menjadi fokus masing‐masing cerita. Pada saat elemen kejutan muncul, pembaca dibuat seolah kehilangan kontrol atas navigasi pada saat membaca cerita untuk memicu reaksi spontan. Batasan media pada elemen kejutan dapat ditentukan sebagai berikut:
c. User Interface Storytelling yang baik dan efektif harus mempertimbangkan porsi interaktivitas agar kisah yang disajikan tetap berfokus pada penyampaian cerita. Sebagai bagian dari fitur interaktif, user interface berfungsi sebagai navigasi
Tabel 1. Interface media pada karakter Cerita 1.
Karakter Hantu Kuntilanak
2.
Pocong
3.
Genderuwo
4.
Tuyul
5.
Palasik
Karakteristik
Interface
Berkulit pucat, rambut hitam panjang, bergaun putih, suara tawa melengking. Sosok terbungkus kain kafan, bergerak dengan melompat‐lompat. Bertubuh besar menyeramkan, menyamar dengan berubah wujud. Bertubuh kecil dan mudah melarikan diri, suara tawa seperti anak kecil.
Audio, Animasi (frame by frame)
Kepala wanita dengan organ tubuh yang bergelantungan.
Animasi frame)
Animasi (frame by frame) Animasi (prompted) Audio, animated gif (frame
by
48
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
4.3 Konsep media Perancangan halaman webcomic akan berfokus pada PC atau desktop untuk mendapatkan hasil maksimal. Pertimbangan yang diambil mencakup fitur dan script yang tidak dapat dimunculkan dengan baik apabila menggunakan perangkat lain seperti mobile. Dalam perancangan website, ukuran standar resolusi layar yang digunakan adalah ukuran lebar 1024 pixel dan ukuran tinggi 768 pixel. Ukuran tersebut tidak terlalu kecil untuk perangkat desktop, namun juga tidak terlalu besar untuk perangkat mobile. perancangan difokuskan pada Google Chrome, Firefox, dan Safari, karena ketiga browser tersebut memiliki kapasitas memadai dan sifat yang tidak terlalu berbeda dalam membaca teknologi script yang akan digunakan. Selain itu, dengan perbedaan operating system yang digunakan oleh pembaca, Google Chrome dan Firefox digunakan agar dapat ditampilkan dalam perangkat Windows, sementara Safari untuk perangkat Apple. 4.4 Konsep visual Gaya visual dalam webcomic Horror Stories of Indonesia secara garis besar menggunakan ilustrasi gaya visual manga dengan pertimbangan gaya gambar
tersebut sebagai gaya visual populer yang dikenali oleh pembaca komik di Indonesia. Konsep panelling dalam webcomic Horror Stories of Indonesia menggunakan panelling terbuka untuk memaksimalkan penggunaan visual background sebagai pembangun atmosfer horor dalam cerita. Aspek horor Indonesia dalam webcomic ditampilkan melalui penggambaran detail tokoh‐tokoh hantu, interaksi tokoh utama dengan karakter hantu melalui elemen kejutan, penggambaran detail topografi lokal pada latar belakang, serta elemen teknologi dan realitas yang disisipkan dalam cerita. 4.4.1 Konsep Latar Belakang Konsep latar belakang dalam webcomic menggunakan latar lingkungan yang akrab dengan masyarakat, yang ditampilkan melalui visualisasi gambar dengan gaya realis dan detail objek yang akrab dengan kehidupan sehari‐hari. Elemen horor Indonesia pada latar belakang cerita pertama dimunculkan melalui penggunaan topografi lokal, yaitu lanskap kota dan kompleks perumahan. Untuk cerita tokoh hantu yang berbeda, latar belakang yang digunakan juga akan berbeda‐beda, namun tetap menggunakan referensi kondisi topografis Indonesia modern.
Gambar 4. Konsep latar belakang kota dalam webcomic
49
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
4.4.2 Konsep Karakter Karakter‐karakter yang menjadi fokus pada webcomic ini adalah sosok hantu yang populer di masyarakat, dengan ciri khas karakter masing‐masing. Salah satu aspek horor Indonesia terletak pada kemunculan tokoh hantu sebagai fokus utama dalam sebuah cerita.Visualisasi tokoh hantu dibuat berdasarkan gambaran umum yang melekat pada masyarakat mengenai sosok hantu tersebut. Selain tokoh hantu, terdapat tokoh utama manusia pada tiap cerita sebagai perwakilan sudut pandang orang pertama. Pada awalnya lima tokoh hantu populer di Indonesia yang menjadi fokus tiap cerita, namun pada perkembangan webcomic, tidak tertutup kemungkinan dimunculkannya karakter
hantu lain yang kurang dikenal masyarakat secara nasional. Sebagai contoh, visualisasi Kuntilanak pada cerita ini berdasarkan gambaran umum Kuntilanak dalam kisah‐kisah yang telah dikenal masyarakat luas. Visualisasi karakter kuntilanak digambarkan secara ilustratif dengan penggunaan kontras warna merah sebagai indeks darah sebagai aspek horor. Referensi karakter kuntilanak mengacu pada visualisasi hantu perempuan dalam berbagai film horor Indonesia dan film horor Asia pada era modern, dengan pertimbangan kecenderungan penonton yang lebih familiar dengan gaya visual tersebut.
Gambar 5. Eksplorasi desain visualisasi karakter Kuntilanak
50
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
Gambar 6. Eksplorasi desain visualisasi karakter Pocong
Gambar 7. Eksplorasi desain visualisasi tokoh utama manusia
51
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
4.4.3 Konsep Interaksi Konsep interaksi yang digunakan pada user interface menggunakan bentuk visual yang umumnya digunakan dalam tampilan perangkat desktop. Berdasarkan pertimbangan teknis website dan muatan multimedia pada webcomic, konsep interaksi pada website diwujudkan secara minimalis namun memiliki fitur‐fitur penting yang mendukung komunikasi pembaca dengan muatan webcomic dan pengarang. Tampilan halaman utama website menggunakan warna gelap untuk menegaskan tema horor pada background dan kontras warna pada menu utama. Halaman utama website terdiri dari logo webcomic, serta menu utama yang terdiri dari pilihan chapter selection, about, blog, dan subscribe. Pengurutan chapter pada tiap cerita disusun berdasarkan waktu update, contohnya chapter terbaru akan berada di posisi paling atas, diikuti dengan chapter sebelumnya, dan seterusnya ke bawah hingga chapter pertama.
Gambar 8. Tampilan Homepage Ketika memasuki tampilan cerita, na igasi menggunakan sistem scrolling secara horizontal dimulai dari kiri ke kanan sesuai dengan arah baca masyarakat Indonesia
pada umumnya. Pada bagian kana n bawah juga terdapat pilihan tombol naviga si untuk menggeser tampilan layar ke ka nan dan kiri. Navigasi dibuat seminimalis mungkin untuk memberi kesan pada pembaca bahwa webcomic ini hanya memuat elemen visual saja. Pilihan pe ngaturan suara juga sengaja tidak dita mpilkan, karena efek kejutan yang dita mpilkan menggunakan audio yang b ertujuan merangsang reaksi terkejut dari p embaca. Pada akhir chapter, pembaca dapat memilih untuk kembali ke homep age atau menyebarkan tentang webcomi c pada berbagai media sosial.
Gambar 9. Arah baca webcomic pa da layar PC Aspek retention dalam st orytelling ditampilkan melalui elemen kejuta n. Selain berfungsi untuk menarik p erhatian pembaca, elemen kejutan juga me rupakan salah satu elemen dalam mem unculkan aspek horor Indonesia. Dalam menampilkan sensasi horor dala m narasi visual, efek kejutan ditampilka n pada beberapa titik dalam panel ceri ta. Saat pembaca mencapai titik tertentu, elemen audio dan animasi akan muncu l secara otomatis dan tidak dapat dikont rol oleh pembaca. Dengan hilangnya kontr ol sesaat, efek kejutan bertujuan untuk memicu reaksi spontan dari pembaca. Efek kejutan dimunculkan melalui elemen vis ual serta audio yang terdapat sepanjang halaman chapter, dengan aktivasi meng gunakan script pada website.
52
Anggie P, Alvanov Z. M., Perancangan Webcomic Interaktif... 35-54
Elemen kejutan berupa animasi sederhana dimunculkan dengan memanfaatkan javascript sebagai bahasa pemrograman website untuk menampilkan efek kejutan pada narasi. Seperti pada elemen audio, efek kejutan akan muncul pada titik tertentu dalam cerita, dan pembaca tidak dapat mengontrol efek tersebut. Efek kejutan yang dimunculkan menggunakan animasi frame by frame, dan apabila pembaca telah melewati poin tersebut, efek kejutan tidak akan terulang. Gambar terakhir yang tampak bagi pembaca setelah melewati poin kejutan adalah frame terakhir dari konten animasi. Efek kejutan dapat muncul kembali jika pembaca me‐load halaman chapter dan mengulang membaca cerita dari awal.
Gambar 10. Efek kejutan dengan animasi
5. KESIMPULAN Dalam penyajian cerita bertema horor Indonesia ke dalam webcomic, dibutuhkan penyesuaian yang meliputi aspek visual storytelling, konten cerita, interaktivitas, dan elemen kejutan dengan komposisi yang seimbang. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan agar aspek konten horor dan storytelling dapat menjadi kesatuan yang menarik minat pembaca. Begitu juga dengan pengangkatan aspek horor Indonesia. Apabila disusun dengan baik akan mampu mengangkat wawasan budaya lokal. Dari segi konten, aspek horor Indonesia mendapat pengaruh dari aspek Western Horror maupun Asian Horror dengan muatan mitos pada kebudayaan lokal. Aspek horor pada webcomic dihadirkan menggunakan penyusunan elemen visual dan kombinasi elemen audio dan animasi. Efek kejutan pada webcomic merupakan daya tarik dalam upaya menjawab antisipasi pembaca terhadap muatan horor dalam webcomic. Dalam penyusunan webcomic, faktor website sebagai platform memegang peranan penting dalam penyusunan desain storytelling dan visualisasi. Faktor interaktivitas berperan dalam menarik perhatian pembaca serta menarik pembaca untuk kembali mengunjungi media website. Platform website dalam menyajikan tampilan visual juga menjadi dasar pertimbangan visualisasi dalam menyajikan cerita. Dalam pengemasan storytelling dalam media website, teknologi dalam
53
Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 7 No. 1 Tahun 2015
memunculkan efek kejutan sebaiknya juga disesuaikan dengan penggunaan multimedia dan elemen interaktif. Elemen multimedia dan interaktif merupakan aspek penentu keberhasilan suatu cerita dalam memicu reaksi dan imersi pada penonton. Selain itu, pembaca memiliki peranan penting dalam strategi pemasaran webcomic yang penyebarannya menggunakan link pada berbagai media sosial. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Chaer A. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Komunitas Bambu; 2012. [2] Eisner, W. Comics and Sequential art: Principles and Practices from the Legendary Cartoonist. New York: W. W. Norton & Company, Inc.; 2008. [3] Pasaribu, A. J. Risalah 2012: Menjaga Momentum Film Indonesia. .http://filmindonesia.or.id/article/risalah20 12menjagamomentumfilmindonesia#.VckIr XGqqkp. Diakses tanggal 12 januari 2013.
[8] Miller CH. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to Interactive Entertainment. Burlington: Focal Press; 2004. [9] Dittmar JF. Experiments in Digital Comics: Somewhere between Comics and Multimedia Storytelling. http://comicsforum.org. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015. [10] Nickel JP. Horror and the Idea of Everyday Life: On Skeptical Threats in Psycho and The Birds. In: Fahy T, Editor. The Philosophy of Horror. Lexington: The University Press of Kentucky; 2010. p. 14‐32. [11] Armstrong K. A Short History of Myth. Edinburg: Canongate Books Ltd; 2005. [12] Rusdiati SR. Film Horror Indonesia: Dinamika Genre. Depok: Universitas Indonesia; 2009. [13] Bishop B. ‘Why Won’t You Die?’ The Art of the Jump Scare. http://www.theverge.com/2012/10/31/35 74592/art‐of‐the‐jump‐scare‐horror‐ Movies. Diakses tanggal 4 Februari 2013.
[4] McCloud S. Reinventing Comics. New York: HarperCollins; 2000. [5] Caputo T. Visual Storytelling: The Art and Technique. New York: Watson‐Guptill Publications; 2003. [6] Nathaniel S. Digital Comics: Panel Structure in a Digital Environment. Philadelphia: Digital Media Faculty, Drexel University; 2011. [7] Creeber G, Martin R. Digital Cultures. Berkshire: Open University Press; 2009.
54