1
PERANCANGAN BUKU ESAI FOTOGRAFI KESENIAN TRADISIONAL BANTENGAN DI KOTA MOJOKERTO Ivan Jonathan1, Prayanto Widyo Harsanto2, Rebecca Milka Natalia Basuki3 Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya Email :
[email protected]
ABSTRAK Kesenian Bantengan adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendratari, seni pencak silat, musik, dan syair/mantra yang sangat kental dengan nuansa magis. Pertunjukannya menceritakan perjuangan rakyat yang dilambangkan dengan hewan banteng melawan para penjajah beserta provokatornya yang dilambangkan dengan hewan macan dan kera. Dengan analisa kualitatif dalam perancangan buku esai fotografi kesenian tradisional Bantengan ini, diharapkan dapat memperkenalkan kesenian Bantengan kepada masyarakat. Kata Kunci : buku, esai fotografi, seni budaya, Bantengan, Mojokerto
ABSTRACT Title : Photography Essay Book Designing of Traditional Art Bantengan at Mojokerto City Bantengan art is a performing arts and cultural traditions that combines elements of ballet, martial arts, music, and poetry/spells are very thick with a magical feel. The show tells the struggle of the people symbolized by animals bull against the occupiers and their provocateur denoted by pet tiger and monkey. With qualitative analysis methods in the photographic essay book designing of traditional art Bantengan, is expected to introduce the arts to the public Bantengan. Key word : book, photography essay, art and culture, Bantengan, Mojokerto
Pendahuluan Kesenian Bantengan adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendratari, seni pencak silat, musik, dan syair/mantra yang sangat kental dengan nuansa magis. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber terkait, lahirnya kesenian Bantengan ada dua versi: pertama, berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat mulut ke mulut, dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin yang berasal dari kota Batu. Beliau seorang pendekar yang membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto dan mengembangkan seni ini di Pacet sampai sekarang. Kedua, berasal dari Claket dan berkembang pesat di Pacet tepatnya di desa Made yang merupakan desa yang berdekatan dengan lereng Gunung Welirang. Konon kawasan hutan tersebut banyak dihidupi bermacam-macam hewan liar
termasuk diantaranya banteng yang saat ini sudah punah. Kedua versi itu terbilang sulit dilacak kebenarannya, karena letak geografi kedua kawasan itu memang banyak terdiri dari hutan belantara dimana banyak dihidupi hewan banteng, macan, kera, ular, dan hewan-hewan lain. Yang pasti daerah yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Mojokerto, hal ini dapat dilihat dengan seringnya Kabupaten Mojokerto mengadakan Festival Bantengan dan upacara setiap memperingati hari kemerdekaan RI. Cikal bakal kesenian Bantengan berkembang sejak jaman kerajaan Majapahit (situs candi) sangat erat kaitannya dengan pencak silat. Walaupun pada saat itu bentuk kesenian Bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala Bantengan yang menari. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan tahun 2012, sejak berdirinya pada tahun 1948 hingga kini, jumlahnya mencapai 17 kelompok yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo,
2
Made, Barakan, Gondang, Kutorejo, Wonosalam, Tlagan, Dinoyo, dan lain-lain.
Gambar 1. Kesenian Bantengan Gerakan tari yang dimainkan mengadopsi dari gerakan pencak silat yang dikembangkan. Sebab pada awalnya adalah unsur hiburan bagi setiap pemain pencak silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin. Setiap kelompok Bantengan minimal mempunyai 2 Bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu Bantengan jantan dan betina. Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas Bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Permainan kesenian Bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala Bantengan dan pengontrol tari Bantengan serta sebagai kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor Bantengan. Biasanya, orang bagian depan akan kesurupan dan orang yang di belakang akan mengikuti setiap gerakannya. Meskipun begitu, tidak jarang orang yang di bagian belakang juga kesurupan, tetapi sangat jarang terjadi jika orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan orang di bagian depannya tidak.
Gambar 2. Kesenian Bantengan Kostum Bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng. Bantengan
juga selalu diiringi oleh macanan. Kostum macanan terbuat dari kain yang biasanya berwarna kuning belang oranye, yang dipakai oleh seorang lelaki. Macanan ini biasanya membantu Bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan. (Desprianto, 2013) Budaya Bantengan dalam pertunjukannya menceritakan mengenai penjajahan, dimana banteng disini digambarkan sebagai lambang dari rakyat jelata yang hidup bersatu seperti halnya hewan banteng. Dalam Bantengan juga terdapat harimau yang dilambangkan sebagai penjajah yang kejam yang kemudian akan dikalahkan oleh pejuang kita yang disimbolkan hewan banteng. Kera juga biasanya ikut serta dalam pertunjukan yang merupakan symbol dari provokator. Pada akhir cerita banteng akan selalu menang melawan harimau dan kera yang berarti rakyat berhasil melawan penjajah dan provokator. (Nurindarti, 2013, para. 7)
Gambar 3. Kesenian Bantengan Pada tahun 1995 Bantengan ini pernah mengalami kemunduran popularitas dan terhenti pementasannya selama 5 tahun hingga tahun 2000 karena kurangnya minat masyarakat dan kurangnya wadah bagi kesenian tersebut. Kesenian Bantengan juga sempat terhambat perkembangannya karena masalah pajak. Kesenian yang melibatkan banyak personil itu pernah hendak dimasyarakatkan melalui tempat wisata, tetapi ketika akan memasang baliho di depan tempat wisata untuk memberitahukan jadwal pentasnya, ada permintaan pajak. Dan karena dari kelompok belum ada dana untuk membayar pajak, terpaksa baliho yang semestinya untuk memperkenalkan Bantengan ini tidak jadi dipasang. Selain untuk menyatukan masyarakat, fungsi utama Bantengan adalah menghibur masyarakat yang haus akan hiburan. Bantengan sendiri juga sarana untuk mengenalkan seni tadisional kepada masyarakat awam, karena Bantengan meliputi beberapa kesenian tradisional yang dikemas dalam satu pertunjukan. Fotografi esai dianggap dapat mempresentasikan kesenian Bantengan secara keseluruhan dengan lebih
3
baik karena foto esai ini dapat menyajikan prosesi dari awal persiapan hingga pertunjukan selesai untuk lebih membantu pembaca memahami kesenian Bantengan. Foto esai adalah sebuah narasi dalam bentuk sekumpulan foto yang dirangkaikan dalam satu topik tertentu. Foto Esai yanng lengkap terdiri dari headline, naskah, dan pengaturan tata letak foto yang saling mendukung. (Nugroho, 2006, p. 249). Foto Esai mampu menyampaikan pesan lebih kuat, membangkitkan semangat, menghadirkan perasaan haru, menghibur, hingga memancing perdebatan.
hidup di dalam masyarakat untuk pengolahan konsep kreatif. 3.
Metode Dokumentasi
Pengumpulan data melalui perekam dalam bentuk audio, foto-foto, dan audio visual (video). Metode dokumentasi digunakan untuk menunjang data wawancara dan observasi sehingga data yang diperoleh saling menguatkan dan lengkap. Dilakukan dengan tujuan agar data yang diperoleh tidak hilang dan dapat dilihat dan didengar ulang pada saat pengolahan data. 4.
Media Cetak atau Kepustakaan
Pengumpulan data melalui studi pustaka untuk mendapatkan sumber tertulis/tercetak, yakni surat kabar, buku-buku, jurnal, laporan penelitian, makalah, dan kamus. Studi pustaka juga berfungsi untuk memperdalam pengertian tentang konsepkonsep dalam penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. 5. Gambar 4. Kesenian Bantengan
Metode Perancangan 1.
Metode Observasi
Pengamatan dilakukan secara langsung terhadap kehidupan sehari-hari dari seorang narasumber kesenian tradisional Bantengan sampai kepada pertunjukan seni Bantengan ini, dan dalam hal ini lebih difokuskan pada pertunjukan seni Bantengan. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap masyarakat kota Mojokerto sendiri sebagai pendukung dari pertunjukan seni Bantengan guna mendapatkan data yang diinginkan khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 2.
Metode Wawancara
Wawancara akan dilakukan langsung dengan narasumber terkait yang mengetahui segala sesuatu tentang kesenian Bantengan secara keseluruhan. Wawancara dilaksanakan secara khusus dengan narasumber diluar acara pertunjukan baik sebelum dan sesudah pertunjukan, supaya tidak mengganggu konsentrasi dan fokus narasumber pada bidang yang dikerjakanya saat pertunjukan, agar narasumber dapat menjelaskannya dengan detail data-data mengenai Bantengan sehingga data yang didapat lebih lengkap. Metode wawancara dilakukan untuk lebih mendalami materi perancangan, sehingga penulis dapat memperoleh data yang lebih lengkap dan lebih mendalam mengenai aktifitas kehidupan masyarakat, kepercayaan masyarakat, simbol-simbol budaya yang
Internet
Pengumpulan data melalui media internet merupakan pengumpulan data yang lengkap dan selalu mengikuti perkembangan jaman, dapat mengetahui apa yang sedang terjadi. Sehingga diharapkan dapat menemukan hal-hal baru yang dapat menginspirasi, juga informasi lain yang diperlukan sehingga dapat membantu memaksimalkan perancangan.
Instrumen/Alat Pengumpulan Data Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data yang berhubungan dengan perancangan buku esai fotografi ini adalah : Kamera DSLR, Alat tulis dan kertas, Laptop, Ponsel untuk merekam wawancara (bila diperlukan).
Metode Analisis Data Analisa Kualitatif Dalam perancangan ini, metode yang digunakan untuk menganalisa data yang diperoleh adalah analisa kualitatif, analisa kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisa dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi, dan sejenis itu (Sugiyono, 2008). Menganalisa data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung maupun tidak langsung dan observasi bersifat deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh faktafakta yang terkait dengan obyek perancangan. Data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan menghasilkan data naratif berupa hipotesis atau kesimpulan.
4
Walaupun analisa kualitatif memiliki dominasi dari pemahaman dan pengembangan pengertian mengenai suatu kajian, maka harus tetap menghindari kesan subyektifitas yang berlebihan terhadap sesuatu. Dalam hal ini maka penulis berupaya untuk berlaku obyektif dan netral terhadap subyek penelitian sehingga tidak mengganggu keabsahan data yang diperoleh.
Tujuan Kreatif Tujuan perancangan ini adalah untuk memberikan berbagai macam informasi tentang kesenian tradisional Bantengan serta perkembangannya hingga saat ini kepada masyarakat luas khususnya di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengenalkan dan melestarikan budaya tradisional Indonesia sebagai warisan seni kebudayaan yang bersifat tradisional dan belum sepenuhnya dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia. Selain itu, pada saat ini masih sangat sedikit karya-karya literatur maupun buku-buku visual yang membahas tentang kesenian tradisional Bantengan, sehingga diperlukan perancangan buku esai fotografi tentang kesenian tradisional Bantengan yang disertai dengan penjelasan singkat mengenai kesenian tradisional Bantengan yang lahir dari pencak silat. Sehingga dapat menambah koleksi buku-buku yang berisi dan membahas tentang kesenian budaya asli Indonesia.
Strategi Kreatif Strategi perancangan ini yaitu, buku akan berisi berbagai macam informasi dan gambaran tentang kesenian tradisional Bantengan Mojokerto, mulai dari tentang penjelasan dan sejarah singkat lahirnya Bantengan, makna dan fungsi kesenian Bantengan bagi masyarakat, dan dokumentasi gambar foto-foto pertunjukkan kesenian Bantengan mulai dari tahap persiapan, pementasan, hingga berakhirnya pertunjukkan. Tampilan layout akan dibuat dengan gaya modern, dengan warna yang sedikit gelap yang sesuai dengan karakter Bantengan yang berwarna hitam, namun cenderung memiliki kesan simple, bersih, dan hanya bermain dengan sedikit warna pada desain untuk tetap menonjolkan fotografi, agar perhatian pembaca tidak teralihkan pada desain yang terlalu ramai. Buku ini dibuat untuk mengenalkan kepada masyarakat luas tentang kesenian tradisional Bantengan dalam bentuk fotografi, sehingga pembaca lebih mudah untuk mengerti dan memahami.
Konsep Perancangan Fotografi sebagai elemen utama berupa ilustrasi gambar dan dokumentasi sebagai wujud penyampaian informasi dari isi buku. Foto-foto ini berupa foto dari
acara pementasan kesenian tradisional Bantengan yang merupakan objek foto, mulai dari tahap persiapan, pementasan, hingga akhir pertunjukkan yang meliputi penonton, kostum, alat musik, para pemain, dan suasana pada saat pertunjukkan Bantengan berlangsung di daerah Kabupaten Mojokerto. Foto-foto disajikan dalam bentuk buku yang di layout secara visual, dilengkapi dengan berbagai macam informasi penjelasan dan sejarah singkat kesenian tradisional Bantengan dalam bentuk tulisan/esai. Foto original terlebih dahulu melalui proses editing, barulah kemudian disajikan dalam bentuk buku fotografi esai yang di tata sedemikian agar pembaca lebih nyaman saat melihat dan membacanya serta dapat menikmati estetika foto-foto tersebut.
Target Audience Demografis : Jenis Kelamin Usia Kelas Sosial Ekonomi Kewarganegaraan
: Laki-laki dan perempuan : 15-50 tahun : Menengah - atas : WNI-WNA
Geografis : Semua wilayah Indonesia terutama yang berdomisili di kota-kota besar Psikografis : Menyukai seni kebudayaan asli Indonesia, baik sebagai pengetahuan dan wawasan umum, sebagai pemerhati/pengamat, maupun sebagai pelaku kesenian itu sendiri yang mau menghargai dan memelihara seni budaya asli Indonesia sebagai tanda rasa cinta terhadap tanah air. Behavioristik : Suka mencari segala sesuatu hal yang berhubungan dengan budaya dan kesenian tradisional asli Indonesia baik sebagai pengatahuan dan wawasan umum, sebagai pemerhati/pengamat, maupun sebagai pelaku kesenian budaya itu sendiri sebagai rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.
Teknik Pemotretan Angle Teknik pengambilan gambar dalam pertunjukkan Bantengan umumnya dipotret dari berbagai sudut, angle, dan komposisi, antara lain yaitu long shot, medium shot, close up, extreme close up, rule of third, high angle, low angle, freezing, dan blurring. Semua diatur agar mendapat sudut pandang terbaik dan tepat dari Bantengan. Lighting Pemotretan festival kesenian Bantengan menggunakan
5
cahaya natural dari sinar matahari dan bantuan cahaya dari flash eksternal untuk pemotretan beberapa momen yang dilakukan dalam ruangan yang kurang cahaya.
pertunjukan kesenian Bantengan tersebut. Sehingga melalui karya ini masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai kesenian tradisional Bantengan beserta keunikannya yang membedakan dengan seni pertunjukan lainnya.
Teknik Editing
Gaya desain yang akan digunakan mengacu pada konsep gaya desain Post Modern (New Simplicity). Gaya desain ini merefleksikan sisi minimalis dan elegan dengan tujuan untuk menonjolkan ilustrasi fotografi sebagai elemen utamanya. Ciri-cirinya dapat dilihat dari penggunaan layout dengan banyak white space, sehingga foto menjadi elemen utama yang menjadi point of interest dari buku ini. Dalam gaya desain simplicity ini juga jarang menggunakan ornamen-ornamen yang dinilai dapat membuat point of interest dalam buku ini menjadi kurang menarik.
Untuk menampilkan hasil foto yang lebih menarik, hasil foto digital diolah terlebih dahulu dengan menggunakan software adobe photoshop CS5. Teknik editing yang digunakan antara lain cropping, penambahan filter sharpen dan blur, dan adjustment (level, curve, warna hitam putih). Cropping dilakukan dengan tujuan untuk membuang objek yang tidak diinginkan dengan memotong bagian foto yang tidak diperlukan untuk memperoleh komposisi yang diinginkan. Cropping dapat dilakukan dengan cara langsung melakukan pemotongan pada foto dengan menggunakan crop tool hingga menghilangkan objek yang tidak diinginkan, juga dapat dilakukan dengan cara menggeser foto pada area layout yang diinginkan hingga bagian foto yang tidak diinginkan menghilang atau tidak terlihat.
Dalam buku ini menggunakan gaya layout asimetris. Namun semuanya disusun secara artistik sehingga pembaca mampu mengikuti alur dari cerita yang akan disajikan melalui buku ini. Layout yang digunakan dalam buku ini mengacu pada jenis layout simplicity dengan variasi penggunaan white space pada ilustrasi fotografi dan penjelasan data verbalnya.
Blur digunakan untuk membuat background latar belakang menjadi kabur/blur dan sharpen digunakan untuk mempertajam objek dalam foto, sehingga objek dalam foto terlihat lebih menonjol yang dapat dijadikan sebagai point of interest pada foto tersebut. Level dan curve digunakan untuk membuat warna yang ada didalam foto menjadi lebih kontras dan terang karena fungsi level dan curve dapat mengatur saturasi warna dan gelap terang dalam foto serta mengatur kecerahan foto sehingga warna pada foto menjadi terlihat lebih keluar terkesan menjadi lebih hidup.
Typografi yang digunakan dalam buku ini adalah jenis huruf sans serif. Jenis huruf ini digunakan karena memiliki tampilan yang minimalis tetapi mampu menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Konsep Buku
Sedangkan pada bodytext akan digunakan jenis huruf “Levenim MT” karena memiliki karakter stroke huruf yang tipis sehingga memiliki kesan elegan dan mampu dibaca dengan baik.
Buku esai fotografi mengenai kesenian Bantengan akan dibuat dengan spesifikasi sebagai berikut: Dimensi tertutup : 25 x 25 cm Dimensi Terbuka : 25 x 50 cm Jenis buku yang dirancang ini termasuk buku nonfiksi. Hal ini dapat dilihat dari isi buku yang berisi fakta dan didukung oleh data-data dan fakta-fakta yang ada. Perbandingan foto dan teks dalam buku ini 75:25 agar elemen fotografi yang ada lebih mendominasi dibandingkan data verbalnya. Pesan verbal yang akan disampaikan menggunakan bentuk bahasa yang singkat dan mudah dipahami oleh masyarakat. Secara teknis bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia agar memudahkan pembaca untuk menerima informasi yang disampaikan. Informasi yang akan disampaikan berupa penjelasan singkat mengenai kesenian Bantengan beserta penjelasan mengenai beberapa prosesi dalam
Pada judul akan digunakan jenis huruf “Helvetica Bold”, karena jenis huruf sans serif ini memiliki karakter stroke huruf yang tebal sehingga terkesan tegas. AB CD E F G H IJKL M N OPQ R STU V W XYZ ab cd efg h i j kl m n o p q r s tu vw xyz 1 234567890. , /? > < ‘ ; : “ = +
ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUV WXYZ abcdefghijklmnopqrstuvwxy z 1234567890.,/?><‘;:“=+ Apabila diperbanyak, buku fotografi ini akan diproduksi menggunakan teknik cetak digital offset bolak-balik, hal ini dipilih karena untuk penghematan biaya dari estimasi cetak yang cepat dan singkat dengan kualitas yang baik. Teknik jilid yang digunakan adalah jenis hardcover, karena lebih mampu bertahan lama dan agar isi buku lebih terlindungi.
6
Buku Esai Fotografi Kesenian Tradisional Bantengan Mojokerto Berikut ini merupakan karya buku perancangan :
Gambar 5. Sampul Belakang dan Depan Buku
Gambar 6. Halaman Isi Buku
7
8
Gambar 7. Halaman Isi Buku
Media Pendukung Promosi
Gambar 8. Pembatas Buku Pembatas buku diletakan di dalam buku sebagai bonus pembelian buku, sehingga memiliki nilai tambah. Dapat berguna bagi para pembaca buku untuk menandakan sebuah halaman buku. Biaya akan lebih terjangkau apabila diproduksi dalam jumlah banyak.
Gambar 9. Cover CD/DVD
9
CD beserta covernya diletakan di dalam buku sebagai bonus pembelian buku, sehingga memiliki nilai tambah. CD akan berisi foto-foto final dari kesenian tradisional Bantengan ini. Biaya akan lebih terjangkau apabila diproduksi dalam jumlah banyak.
Gambar 10. Katalog Luar
Gambar 11. Katalog Dalam Diletakan di dalam buku sebagai bonus pembelian buku, sehingga memiliki nilai tambah. Biaya akan lebih terjangkau apabila diproduksi dalam jumlah banyak.
budaya turun-temurun dapat tetap menarik dan populer dalam kehidupan masyarakat, bahkan dapat menarik perhatian dan minat hingga mancanegara. Dalam perancangan buku esai fotografi kesenian tradisional Bantengan ini, keahlian seorang fotografer dalam melakukan pendekatan terhadap obyek dan subyek foto sangat dibutuhkan untuk dapat menghasilkan karya foto yang baik. Kemampuan berbicara secara verbal yang baik dibutuhkan dalam proses pendekatan dan pemotretan terhadap subyek dan obyek foto, supaya lebih terkesan bersahabat dan tidak menjadi sebuah gangguan yang merepotkan, sehingga dapat melakukan pemotretan dengan baik. Keterampilan memotret secara teknis dan kepekaan terhadap pengambilan momen penting dalam kesenian Bantengan juga menjadi salah satu faktor pendukung agar dapat menciptakan suatu cerita dari foto yang diambil, sehingga dari foto tersebut dapat memancing emosi penikmatnya. Kemampuan mengkomposisikan suatu adegan kejadian atau momen tertentu menjadi suatu gambar dalam frame sangat mendukung agar foto yang didapat dan dihasilkan memiliki estetika, sehingga dapat dinikmati oleh yang melihatnya. Setelah melakukan pemotretan dengan berbagai macam hasil jepretan dan foto yang didapat, maka dilakukan pemisahan dan pemilihan foto yang baik dan yang dapat digunakan untuk menceritakan suatu kejadian yang dibutuhkan keterampilan dan kejelian dalam menyeleksi atau memilih foto yang ada supaya dari foto-foto tersebut dapat tersusun sebuah cerita yang di dalamnya terkandung pesan yang ingin disampaikan. Kemampuan berbahasa secara verbal yang baik juga dibutuhkan dalam perancangan buku esai fotografi kesenian Bantengan ini, agar dapat menceritakan dengan baik melalui tulisan/teks yang ada pada buku, sehingga dapat berhubungan dengan foto yang ada. Keterampilan dalam melayout sangat mempengaruhi desain buku yang ada, oleh karena itu dibutuhkan referensi-referensi dari berbagai media visual yang ada agar dapat menginspirasi dalam penyusunan buku ini. Dengan berbagai macam upaya dan keterampilan yang telah dipelajari dan dilatih di DKV, perancangan buku esai fotografi kesenian tradisional Bantengan Mojokerto ini dapat tersusun hingga selesai.
Kesimpulan Perlunya dikenalkan kesenian Bantengan ini kepada masyarakat luas khususnya di Indonesia yang belum pernah mengetahui atau kurang memahami tentang kesenian Bantengan. Supaya memperkaya pengetahuan dan menambah wawasan masyarakat tentang salah satu aset seni budaya kekayaan bangsa yang dimiliki Indonesia. Selain itu juga untuk menginspirasi para seniman-seniman dan budayawanbudayawan tanah air untuk tetap berkarya dan memotivasi untuk terus mengangkat dan mencintai kebudayaan daerahnya masing-masing dan menciptakan inovasi-inovasi baru agar tradisi kesenian
Saran Kesenian tradisional Bantengan memiliki peluang untuk menjadi salah satu potensi destinasi tujuan pariwisata, dengan menjadi sebuah tontonan atraksi seni budaya bagi para wisatawan di daerah kabupaten Mojokerto, karena perkembangan kesenian tradisional Bantengan dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang sangatlah pesat, baik dari para pelaku kesenian ini maupun dari pihak badan pemerintahan yang terus berupaya untuk mengembangkan kesenian ini, sehingga dapat menjadi ikon Mojokerto itu sendiri.
10
Terlebih sektor pariwisata di kabupaten Mojokerto terus dikembangkan dan dikelola, sehingga kesenian Bantengan ini dapat menjadi potensi salah satu aset dan sektor pariwisata dalam bidang seni budaya. Dengan adanya buku ini, diharapkan juga dapat sedikit membantu kesenian tradisional Bantengan menjadi salah satu aset dan sektor pariwisata dalam bidang seni budaya. Saran lainnya ditujukan untuk perancangan selanjutnya, yaitu dapat membuat fotografi human interest tentang kehidupan masyarakat di kabupaten Mojokerto yang berhubungan dengan kesenian tradisional Bantengan, membuat buku tentang ritualritual dalam pertanian di Jawa Timur yang berhubungan dengan kesenian tradisional Bantengan, dapat memilih topik yang berkaitan dengan proses pembuatan buku, misalnya dengan merancang panduan buku untuk me-layout dan jenis-jenis gaya desain.
Daftar Pustaka Desprianto, R. D. (2013). Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. Avatara. Devina, S. (2013). Perancangan esai fotografi sebagai penunjang pelestarian Jaran Kencak Lumajang, Jurnal Adiwarna. Nugroho, R. A. (2006). In R. A. Nugroho, Kamus Fotografi (p. 249). Yogyakarta. Sugiyono, P. D. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Vivian, J. (2008). Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedelapan (p. 40-53). Jakarta: Kencana. Wellz, L. (2009). PHOTOGRAPHY, A Critical Introduction. New York: Routledge. Basuni, G. (2016, Januari 9). Pelaku Kesenian Bantengan, Pawang. Jamal, P. (2016, February 9). Pelaku Kesenian Bantengan, Pemimpin. Ning, I. (2016, Februrari 9). Seksi Pembinaan dan Pengembangan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata Mojokerto. Bantenganku. (2012, November 1). Kesenian Bantengan: http://bantenganku.blogspot.co.id/2012/11/menelusuri -hidup-matinya-seni-bantengan.html Mojokerto, Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata. (2016, Februari). Bantengan. disporabudpar.mojokertokab:
http://disporabudpar.mojokertokab.go.id/senibudaya_8_bantengan.aspx Nurindarti, S. (2013, April 20). Bantengan. https://sitinurindarti.wordpress.com/2013/04/20/bante ngan/