PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015
PERANAN PENDIDIKAN TINGGI DALAM PARADIGMA PERUBAHAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA Muhammad Naufal Arifiyanto Dosen STKIP PGRI JOMBANG
[email protected] Abstract Higher education represent an erudite community. A community owning characteristic of academic. Here place where born intellectual product, to be developed and implementation. Ecensi higher education oriented by activity of academic or usually as with as Three Darma College (Education, Research, and Devotion). Converse Education, it is of course not merely creating a mechanism activity of teaching and learning formally and just informal, but also converse the problem of ethics, behavior and value in formal and informal environment. Higher Education in democratization era this time led by President of Susilo Bambang Yudhoyono have been confronted to new problems, namely higher education still use education system having the character of permisif, its meaning less the existence of effort to increase productivity in order to printing grad which with quality and professional. Not only that higher education still await aid and action of government, higher education of majority rely on and emulation of competition to create certifiable educative participant and with quality, but by indisposed and performance management system and of requitment bureaucracy which is not transparent and hold responsible. But that way, there is appreciation to higher education namely create professionalism, acuntability, and hold responsible to educative participant and educator in developing the quality of graduation. Keywords: Higher Education, Bureaucracy of Management System, Higher Education of Paradigm. akan lebih bermanfaat dan apabila dilihat dalam perspektif keilmuan, maka akan mudah untuk diserap, dipahami dan dipelajari. Namun demikian, bukan berarti pendidikan tidak begitu penting bagi kehidupan manusia, melainkan manusia membutuhkan pendidikan formal, supaya kelak mempunyai bekal dalam rangka berkompetisi secara global. Pendidikan apabila dilihat dalam sudut pandang filosofis, maka akan berbeda makna dengan kegiatan pembelajaran. Secara sederhana, pendidikan bisa berarti usaha memaknai dan mewujudkan untuk mencapai potensi terbaik kehidupan manusia. Pendidikan tumbuh dan berkembang secara
PENDAHULUAN Menurut pandangan Mark Twain (2010:Wikipedia) menegaskan bahwa: “Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya”. Berangkat dari pandangan Mark Twain tersebut, maka secara filosofis, hakikatnya pendidikan formal bukan satusatunya konsumsi dan kebutuhan utama bagi sebagian manusia. Pendidikan dan ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak harus dikaji dalam ruang lingkup formal saja, melainkan dapat juga digali berangkat dari pengalamanpengalaman yang didapatkan sepanjang hidup. Implementasi dan konsekuensinya
436
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 alami dalam budaya hidup manusia. Pendidikan adalah upaya pengembangan potensi terhadap peserta didik, supaya potensi itu menjadi nyata dan berfungsi dalam hidup manusia. Pendidikan bertujuan untuk menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dinamis, guna mencapai tujuan kemanusiaan. Ahmad Fauzi (2010: Beranda Jiwa Info). Kegiatan pembelajaran merupakan segala aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik dalam proses berlajar mengajar bertujuan untuk memperoleh hakikat dan keutamaan ilmu dan atau wawasan dalam suatu kegiatan tertentu. Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dengan mampu berdiri sejajar dengan negara-negara maju. tanpa pendidikan sebuah bangsa akan mengalami keterbelakangan dan tersingkir dengan peradaban dunia. Pendidikan bertujuan untuk membangun karakter bangsa dalam menciptakan generasi muda dari nilai-nilai kebudayaannya sendiri. Pendidikan sudah dinggap sebagai kebutuhan primer bagi kalangan masyarakat. Pendidikan pada hakikatnya merupakan pengembangan dari kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Pemikiran manusia secara holistik harapannya mampu memunculkan kesalehan spiritual sekaligus kesalehan sosial. Dengan demikian akan muncul nilai-nilai kasih saying, ketulusan, keihklasan, tanggung jawab, kejujuran, pengorbanan, kepatuhan, kedisiplinan, rasa malu, penghormatan, penghargaan, kemuliaan, rendah hati, cinta lingkungan dan nasionalisme. Nilai-nilai tersebut akan menjadi sosial-budaya dan karakter pembangunan bangsa dan negara. Musfah (2012:9). Pendidikan Tinggi di Indonesia apabila dilihat dari sudut pandang jenisnya, maka akan dibagi menjadi 2 (dua), yakni Pendidikan Negeri (manajemen dan regulasinya dikelola negara) dan Pendidikan
Swasta (manajemen dan regulasinya dikelola swasta). Pendidikan tinggi dapat berbentuk Akademi, Institut, Politeknik, dan Sekolah Tinggi. Pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program pendidikan Profesi dan Vokasi, serta program pendidikan Diploma (D1, D2, D3, D4), Sarjana (S1), Magister (S2), Doktor (S3) dan Spesialis. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional..Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis, dan Doktor yang diselenggarakan oleh Pendidikan Tinggi”. Secara yuridis formil, pendidikan harus mempunyai landasan hukum, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-4, yang berbunyi “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa,…..”. Berangkat dari pembukaan UndangUndang Dasar 1945 alinea ke-4 tersebut, maka penulis berpendapat negara menjamin pendidikan dan kecerdasan anak bangsa dengan menuangkan dasar kebijakan lewat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tentunya hal ini harus dilaksanakan dan dijalankan dengan sepenuhnya oleh pemerintah, agar terwujud cita-cita bangsa guna mencapai masyarakat yang cerdas dan berpendidikan. Sebagai contoh, Pemerintah dalam hal ini telah mencanangkan Wajib Belajar Sembilan Tahun, kemudian dalam pelaksanaannya negara menfasillitasi dengan membangun sarana pendidikan, seperti sekolah-sekolah, perpustakaan dan lain-lain.
437
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 C ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seni serta Budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Merujuk dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 C ayat 1, dan Pasal 31 ayat 1, maka peneliti berpendapat setiap Warga Negara Indonesia selain berhak mendapatkan pendidikan yang layak juga berhak atas pengembangan diri dan memperoleh manfaat dari berbagai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, serta Seni dan Budaya. Pendidikan tinggi merupakan institusi yang memiliki peran dan posisi strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan secara makro dan mikro dengan kontinuitas untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi pada Pasal 1 angka 6 sudah jelas bahwa pendidikan tinggi harus melaksanakan Tridharma Pendidikan tinggi dengan menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Apabila peneliti melihat dari Pusat Pangalan Data Perguruan Pendidikan (PDPT) sepertinya ada 18 lebih pendidikan tinggi bermasalah melalui pantauan Kemenristek Dikti oleh Tim Audit Akademik. Buktinya tidak hanya ijazah palsu, proses pembelajaran yang “abal-abal”, pelayanan administrasi yang tidak baik dan sumber daya manusia seperti tenaga pendidik (dosen) dan tenaga
kependidikan yang belum berkualitas (lulusan S1 atau S2 PNS). Ini akan berdampak pada status pendidikan tinggi yakni “pembekuan pendidikan tinggi” dan atau “non-aktif” pendidikan tinggi. Selama ini pendidikan tinggi di mata masyarakat dipandang sebagai organisasi yang dinilai sudah mengangkat nilai-nilai demokratis. Pendidikan tinggi sebagai institusi independen yang merupakan tempat bagi pendidikan para kaum intelektual, kiranya bisa dikatakan sebagai sebuah miniature negara. Sebuah negara dengan rektor dan atau ketua sebagai pemimpin tertinggi atau presidennya, serta dosen, mahasiswa dan karyawannya sebagai warga negaranya. Ironisnya, mahasiswa sebagai “rakyat” di Pendidikan tinggi kerap tidak diperhatikan hak suaranya dan cenderung hanya menerima siapapun yang nantinya menjadi rektor, meskipun ada debat terbuka calon rektor yang disaksikan oleh mahasiswa. Tolok ukur demokratisasi di kampus baru terwujud ketika mahasiswa benar-benar bisa menggunakan hak suaranya dan memilih rektornya sendiri, sebagaimana mekanisme yang telah diatur dan disepakati bersama, serta dapat dijadikan pembelajaran demokrasi nyata bagi semua civitas kampus. GAGASAN ILMIAH 1: RE-EVALUASI PENDIDIKAN TINGGI DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN LEGAL CULTURE Pendidikan pada hakikatya merupakan suatu proses pembelajaran dan rekontruksi hasil pembelajaran dalam kerangka transfer of knowledge and value. Paulo Preire (2007:115) Keberadaan pendidikan tinggi telah memberikan warna, cirri khas dan sumbangan dalam melahirkan dan pengembangan sumber daya manusia yang kompetitif, cerdas inteteltual, berakhlak mulia dan religiounitas secara persona dan interpersona. Secara wajar
438
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 apabila masyarakat mencitakan pendidikan tinggi harus menjadi pioneer kelahiran sebuah civil society sebagaimana cita dan tujuan bangsa Indonesia. Pendidikan tinggi harus memperoleh injeksi dan semangat dari semua pihak (pemerintah dan stakeholders), terutama dalam merancang sistem kurikulum, kompetensi dan siap pakai dalam kuantitas dan kualitas lulusan. Pendidikan tinggi harus berorinetasi pada aspek penilaian dan atau kelengkapan data dan atau tatanan norma budaya akademik. Ada beberapa tuntutan pendidikan tinggi memperoleh penilaian lebih, antara lain: 1. Peranan pendidikan tinggi terhadap lembaga swadaya masyarakat. Lembaga swadaya masyarakat didirikan secara sukarela oleh masyarakat dalam bidangbidang kehidupan tertentu, misalnya pendidikan, politik, hukum, dan sebagainya dalam memberikan fungsi control dan masukan kepada pemerintah dan khususnya pendidikan tinggi dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance and clean governance) dan pembangunan pendidikan yang baik (good govermant of education). 2. Pendidikan tinggi untuk kebudayaan hukum (legal culture). Budaya akademik pendidikan tinggi diharapkan memberikan fungsi kontrol dan masukan kepada pemerintah melalui mahasiswa sebagai dukungan moral. Budaya akademik pendidikan tinggi dengan melaksanakan Tridharma Pendidikan tinggi menjadi wajib bagi civitas akademik untuk membentuk transparansi, demokratisasi, akuntabilitas, dan pembentukan karakter yang cerdas intelektual, emosional dan pembangunan pendidikan tinggi yang menciptakan generasi bangsa yang bisa
berkompetisi dan bersaing dengan pendidikan tinggi lainnya. Pelayanan publik terhadap mahasiswa harus memuaskan sebagai customer service, serta pendidikan tinggi harus mengoptimalkan karyawan sebagai administrasi akademik yang mampu memberikan kepuasan publik kepada masyarakat khususnya mahasiswa. 3. Ketertiban hukum dalam pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi dimaksudkan harus tertib dalam pengelolaan manajemen penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berbasis data. Optimalisasi data diorientasikan kepada administrasi data mahasiswa, kompetensi data yang beraspek pada tata kelola pendidikan tinggi, budaya akademik yang cerdas intelektual dan terbuka bagi stakeholders, menciptakan suasana akademik dan budaya akademik bagi mahasiswa, dan dosen dalam penyelenggaraan Tridharma Pendidikan tinggi. Re-evaluasi pendidikan tinggi dalam rangka pelaksanaan reformasi hukum yang berorientasi kepada revolusi mental pendidikan tinggi. Tentunya dimulai dari tujuan pendidikan tinggi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. re-evaluasi harus berbasis pada data administrasi akademik sehingga menjadi transparan, akuntabel, dan memenuhi tuntutan masyarakat sebagai civitas akademik yang mengutamakan kualitas lulusan bukan kuantitas. Re-evaluasi mengutamakan budaya kerja dari segala komponen akademik seperti dosen dan tenaga kependidikan dengan berlandaskan good governance and good government for education. Re-evaluasi difokuskan kepada konsolidasi demokrasi yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya manusia berdasarkan atas demokrasi ketertiban (ketertiban norma dan atau tata aturan yang berlaku), demokrasi berkeadilan
439
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 (melibatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat, mahasiswa dan dosen di lingkungan akademisi serta stakeholders), dan demokrasi kesejahteraan (bantuan Kemenristek Dikti lebih difokuskan pada penyelenggaraan dan pelaksanaan Tridharma Pendidikan tinggi, pemerintah dan pendidikan tinggi saling bersinergi dalam membangun kaum dan atau generasi muda intelektual).
mengenai hakekat demokrasi itu sendiri. Manajemen demokratisasi dalam pendidikan tinggi: 1. memberi keyakinan mengenai tumbuhnya partisipasi semua pihak termasuk pemerintah dalam suatu proses penyelenggaraan pendidikan tinggi; 2. suatu proses yang juga diharapkan akan dapat menumbuhkan partispasi rakyat dan masyarakat dalam proses pembangunan pendidikan; 3. Partisipasi rakyat dan masyarakat selalu menjadi faktor utama dalam proses demokrasi; 4. menjaga nilainilai kemanusiaan dan sekaligus menghormati hak semua pemangku kepentingan dan tidak membedakan latar belakang budaya, agama, suku dan ras; 5. meletakkan fondasi dalam keberagaman terdapat kesepakatan dan kesatuan; 6. bersama-sama mengemban tugas dan tanggung jawab sesuai visi dan misi pendidikan tinggi dan menghadapi resiko apabila ada serta bersama membangun citra pendidikan tinggi; 7. menjamin dan mengembangkan kebebasan akademik; 8. demokrasi sesungguhnya memuat dua substansi, yaitu right, dan rechtitude. Right mengandung makna bahwa setiap orang mempunayi hak (someone having rights). Tetapi di dalamnya terkandung juga makna rechtitude, yaitu something must be right. Sesuatu harus dilakukan dengan benar, sebab hanya dengan demikian, maka demokrasi itu mempunyai makna.
GAGASAN ILMIAH 2: MANAJEMEN DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN TINGGI. Manajemen Demokratisasi pada dasarnya sama dengan manajemen terbuka, namun perbedaannya masih tetap ada yaitu pada manajemen demokratis. Manajemen Terbuka (open management), dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh pemangku jabatan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana yang disampaikan Robert J. Eaton dalam Preffer et al. Moeljono, Djokosantoso., 2003 (2003:25) the only way we can beat the competition is with people, mengandung makna bahwa meskipun pendidikan tinggi saat ini berada di era teknologi canggih, peran pemangku jabatan dalam menentukan keberhasilan organisasi tidak dapat diabaikan. Sebuah universitas yang mengusung filosofi manajemen demokrasi, adalah apabila di dalamnya ada “hidup bersama dan belajar dari sesama” (Schlehe & Simatupang, 2008:35) Pendidikan adalah proses normatif (bukan sekedar proses teknis) yang berhubungan langsung dengan rasa kagum manusia dan berkaitan dengan pengembangan potensi manusia sebagai insan yang mandiri lahir dan batin; sebagai proses normatif yang “memanusiakan manusia’. Proses normatif dimaksud adalah sebagai bagian dan manajemen demokratisasi dalam pendidikan. Demokratisasi pendidikan, didasarkan pada kepercayaan dan asumsi
GAGASAN ILMIAH 3: PEMANFAATAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN URGENSI PENDIDIKAN TINGGI Sebagai ilustrasi peneliti mengutip paparan yang dikemukakan oleh Stan Davis (1998: 101-124) yang menggambarkan bagaimana peranan sumber daya manusia (SDM) yang berkualifikasi tinggi dalam memajukan suatu organisasi (korporasi), di mana seseorang merupakan bagian internalnya. SDM ada yang bersifat intangible (tidak kentara, tidak dapat diraba, tersembunyi atau potensial) dan
440
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 bersifat tangible (kentara, jelas, nyata, teraktualisasikan) keduanya merupakan aset-aset jangka panjang yang sangat berharga untuk diinvestasikan dalam rangkan perkembangan dan kemajuan suatu korporasi dalam menghadapi persaingan “pasar bebas” atau globalisasi. Sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki mempunyai peluang cukup besar dan strategis untuk diinvestasikan dalam korporasi atau institusi di mana ia berada, yaitu melalui: (1) “intellectual capital” (IC) dengan propertiproperti berupa idea-idea, gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran unggul (excellence), kreatif dan inovatif, serta berwawasan ke depan yang kita investasikan dalam mengantisipasi gencarnya arus informasi dan komunikasi menghadapi kehidupan yang “tanpa batas” ini; (2) “person capital” (human capital) dengan kreasi-kreasinya. Dengan demikian, tidak hanya sebagai penonton, bahkan menjadi korban, tetapi turut memainkan peran di dalamnya, sehingga tidak ditinggalkan atau digilas oleh derasnya arus kemajuan kehidupan yang makin mengglobal.
pemuda dapat meraihnya. Mahasiswa telah ditakdirkan untuk berjibaku dengan masalah dan tantangan hidup yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Tantangan yang ada bukanlah pilihan, namun ini menjadi wajib bagi mereka yang mengerti akan arti sebuah perjuangan untuk terus memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Hampir di setiap pendidikan tinggi pasti ada organisasi kemahasiswan, sebagai wahana untuk mengatualisasikan kreatifitas dan potensi mahasiswa. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Pendidikan tinggi, pada Pasal 3 (1) dijelaskan bahwa di setiap pendidikan tinggi terdapat satu organisasi kemahasiswaan intra pendidikan tinggi yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswa intra ini dibentuk pada tingkat pendidikan tinggi, fakultas, dan jurusan. Peran pendidikan tinggi sangatlah diharapkan. Pendidikan tinggi harus menjalankan tri darmanya, untuk mewujudkan generasi pemimpin masa mendatang yang intelektual dan bermoral. Aspek pertama adalah pendidikan. Pendidikan merupakan wujud bakti pendidikan tinggi untuk bangsa. Sebagai tempat pendidikan dan pembentukan moral anak bangsa, pendidikan tinggi dituntut komitmennya untuk memberikan sumbangan terhadap pembangunan manusia yang berkelanjutan. Aspek kedua, adalah penelitian. Penelitian dilakukan setelah seorang mahasiswa mendapatkan pendidikan yang dirasa cukup, maka mereka dapat mengembangkan penelitian yang bertujuan menghasilkan suatu bentuk referensi ilmiah yang baru dan bermanfaat. Terakhir, bakti pendidikan tinggi adalah bagaimana ilmu yang telah didapatkan
GAGASAN ILMIAH 4: KONTRIBUSI PENDIDIKAN TINGGI DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER MAHASISWA Pendidikan tinggi memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, khususnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu pilar penting dari the Triple Helix (Intellectuals, Business, and Government), idealnya pendidikan tinggi yang berkualitas dituntut tidak hanya menghasilkan lulusan yang cerdas tetapi juga berkontribusi dalam upaya membangun kesadaran moral dan karakter mahasiswa yang memiliki jiwa dan kesadaran. Mahasiswa sebuah estetika dan etika gairah muda yang bergelora dan tidak semua
441
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 dari pendidikan dan penelitian tersebut dapat disumbangkan kepada masyarakat. Artinya apa yang dikembangkan dalam kehidupan kampus memiliki hubungan dengan sistem yang berada di luarnya. Pendidikan tinggi memiliki tanggungjawab sosial terhadap pengembangan kehidupan yang lebih baik, secara langsung wakil-wakil pendidikan tinggi inilah (sebut saja mahasiswa) yang wajib menyampaikan produk pendidikan mereka ke masyarakat luas. Ada beberapa faktor penghambat kontribusi pendidikan tinggi terhadap mahasiswa, antara lain. 1. Sumber daya manusia secara internal pendidikan tinggi terutama karyawan masih malas, dan “kolot”, senang menikmati libur-libur panjang, manusia yang malas bukan lagi merupakan mitos, tetapi sudah menjadi kenyataan, namun sejauh itu akan melihat kesejahteraan dan kemakmuran institusi dan atau universitas. 2. Masih mengakui adanya hubungan kedekatan individual dan atau persona di dalam institusi pendidikan tinggi dan dirasa kuat dalam kepercayaan dan ketidakadilan, sehingga mengakibatkan kecemburuan sosial. 3. Faktor psikologi manusia dalam menjalankan kinerja yang berorientasi pada loyalitas terhadap perguruan tinggi dirasa masih lemah. Berangkat dari faktor-faktor tersebut di atas, maka pendidikan tinggi harus lebih maju bukan berlaku mundur dengan fokus pada netralitas pegawai, kesejahteraan pegawai perlu ditingkatkan, dan optimalisasi kontribusi pendidikan tinggi terhadap mahasiswa melalui jasa pelayanan publik, kebijakan pendidikan tinggi, dan peningkatan kualitas mahasiswa lulusan yang berdaya guna untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat dan stakeholders.
PENUTUP Simpulan Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dan kekuasaan dari rakyat; oleh rakyat; dan untuk rakyat (from the people, by the people and for the people) pendapat dari Plato Aristoteles Kaaraanenburg dan Abraham Lincoln. Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat, sebab dengan demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara. Pendidikan tinggi memiliki peran yang penting dalam mewujudkan demokrasi di bangsa ini, karena di kampuslah calon-calon pemimpin bangsa akan lahir. Saran 1. Peranan pendidikan tinggi diperlukan konsistensi dan eksistensinya dalam penyelenggaraan Tridharma Pendidikan tinggi, hendaknya pemangku kebijakan memiliki kebijakan strategis untuk mengoptimalkan sumber daya manusia dan civitas akademika. 2. Sinergitas dan kontribusi pendidikan tinggi dengan mahasiswa, masyarakat dan stakeholders terkait dapat mengoptimalkan upaya kesadaran dan ketertiban pendidikan tinggi dengan menciptakan suasana akademik yang berasaskan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. DAFTAR PUSTAKA Davis, Stan., 1998., Future Wealth. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Moeljono, Djokosantoso., 2003., Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi., Elex Media Komputindo., Jakarta. Musfah, Jejen., 2012., Pendidikan Holistik., Kencana Prenada Media Group., Jakarta. Paulo Preire., 2007., Pendidikan Masyarakat Kota., LKIS., Yogyakarta.
442
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN “Inovasi Pembelajaran untuk Pendidikan Berkemajuan” FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 November 2015 Simatupang, T.M., (2008), Rethinking manag ement of technology, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol. 7 No. 1. Ahmad Fauzi., Filosofi Pendidikan., http//www.beranda-jiwa.info/makalahpendidikan., Diakses pada tanggal 10 Desember 2010., 14.00 WIB. Mark Twain., Wikipedia., Pendidikan., http:Wkipedia.org/wiki/Pendidikan., Diakses pada tanggal 9 Desember 2010., 11.25 WIB.
443