Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
PERAN HUKUM DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Wahyuni Bahar
Managing Partner Bahar & Partners
[email protected]
Abstract ASEAN Economy Community (AEC) will be effectively applied on 31 December 2014. The pro and con regarding Indonesia’s involvement in various international trades including AEC still occur and will be likely continue to be happened. There is no other option unless we state our readiness and prepare ourselves. Any delay will only be an attempt to buy-time but it cannot waive us from the engagement. The role of law is becoming fundamental in every phase of implementation, either in the phase of negotiation, implementation, monitoring of enforceability or in dispute settlement. Keywords: AEC, law, fundamental Pendahuluan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Economic Community atau lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (selanjutnya disebut sebagai “MEA”) merupakan upaya bersama yang disusun untuk merealisasikan salah satu tujuan pembentukan ASEAN1 yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi dalam wilayah Asia Tenggara. Melalui MEA, akan tercipta ASEAN sebagai pasar tunggal yang lebih dinamis dan kompetitif dalam upaya akselerasi atas integrasi regional dalam sektor prioritas dan akses pelaku usaha maupun tenaga kerja yang terampil.2 Pasar tunggal, sebagai basis akselerasi atas integrasi regional, sangat erat kaitannya dengan tren globalisasi dan perdagangan bebas di dunia. Globalisasi adalah pertumbuhan kegiatan ekonomi yang melewati batasan nasional dan regional bahkan interkontinental. Globalisasi terlihat Assosiation of South East Asian Nations, “Guidelines on the Use of the Name “ASEAN” http:// www.asean.org/asean/about-asean, diakses 5 Maret 2015. 2 ASEAN, ASEAN Economic Community Blue Print, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hlm. 5. 1.
1
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
dari perpindahan barang dan jasa serta tenaga kerja dan informasi dalam waktu yang singkat melalui investasi.3 Globalisasi terus meningkat seiring dengan pelaksanaan perdagangan bebas. Gagasan pokok dalam perdagangan bebas adalah faktor permintaan dan penawaran yang bekerja dalam skala global untuk memastikan proses produksi berjalan dengan efisien.4 Teori perdagangan bebas telah berkembang sejak abad ke-16 dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga saat ini. Dimulai dari aliran klasik Adam Smith dan David Ricardo yang mengkritik aliran merkantilisme. Kritik Adam Smith pada pokoknya terkait kekayaan suatu bangsa yang tercermin pada tingkat standard of living berupa tersedianya pilihan-pilihan konsumsi bagi warganya, yang dapat dicapai melalui perdagangan bebas.5 Perkembangan perdagangan bebas, yang semakin meluas pada saat ini, dimulai sejak keberlakuan General Agreement on Tariff and Trade tahun 1947 (selanjutnya disebut sebagai, “GATT”). Setelahnya, GATT diikuti oleh berbagai putaran perundingan. Putaran Uruguay 1994 menjadi dasar pembentukan World Trade Organization (“WTO”) yang mulai efektif bekerja sejak 1 Januari 1995. Dengan adanya WTO, prinsip-prinsip substansial yang terdapat dalam GATT diadopsi oleh WTO ke dalam perjanjian perdagangan baik dalam sektor barang, jasa, hak milik kekayaan intelektual, penyelesaian sengketa dan sebagainya.6 Indonesia sendiri mengesahkan perjanjian pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensi hukum atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi pembentukan WTO adalah adopsi unsur dan ketentuan perdagangan bebas termasuk akses pasar di dalamnya.7 Seluruh ketentuan perjanjian WTO dianggap sebagai suatu undertaking dimana perjanjian-perjanjian WTO merupakan kesatuan paket dan bukan terpisah-pisah. Implikasinya adalah negara peserta tidak dapat memilih perjanjian mana yang ingin diikuti. Tentunya terdapat keuntungan dan Oscar Garteche, The Flase Dillema:Globalization: Opportunity or Threat?, (London: Zed Book Ltd., 2000), hlm.75. 4 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (Glasgow:Prentice-Hall), Book V, Bab I poin II. 5 Ibid. 6 Elly Erawati, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar”, dalam Ida Susanti, et al, 2003, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 3
2
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
potensi kerugian, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Keuntungan yang diperoleh dapat dilihat dari keberlakuan perjanjian di bidang tekstil dan pertanian yang mana keduanya sangat penting bagi negara berkembang. Sebelumnya kedua bidang tersebut tidak diakomodir dalam GATT. Sedangkan potensi kerugian yang dimaksud meliputi keberlakuan perjanjian yang dianggap akan memberatkan seperti Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), Trade Related Investment Measures (TRIMS). Bagi Indonesia sendiri, kewajiban untuk tunduk terhadap kebijakan perdagangan bebas semakin terikat ketika krisis moneter 1998. Untuk mengatasi krisis tersebut, Indonesia tidak memiliki pilihan selain meminta bantuan pada International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Baik IMF dan Bank Dunia bersedia membantu dengan syarat negara yang dibantu tersebut wajib untuk melaksanakan kebijakan ekonomi yang ditetapkan kedua lembaga yang bertempat di Washington tersebut. Salah satu kebijakan yang ditetapkan dalam Structural Adjusment and Stabilization Programme adalah liberalisasi perdagangan.8 Fakta sejarah telah merefleksikan proses keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas termasuk MEA. Pro dan kontra atas keterlibatan Indonesia dalam berbagai perdagangan internasional termasuk MEA masih dan sepertinya akan terus terjadi. Tidak ada pilihan lain selain mengatakan siap dan berbenah. Penundaan pun hanya sekedar mengundur tanpa mampu melepaskan keterikatan. Pemerintah telah berupaya memperbaiki kesiapan dengan segala keterbatasan yang masih harus terus dikritik dan didorong untuk lebih siap. Salah satu upaya pemerintah adalah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Lalu bagaimana dengan peran para penegak hukum? 1. Pokok permasalahan a. Bagaimana MEA menjadi instrumen perwujudan keadilan sosial Indonesia dan kerjasama yang menguntungkan dalam region ASEAN? b. Bagaimana sumber daya hukum sebagai fasilitator utama dalam mendayagunakan MEA untuk mencapai kesejahteraan nasional? Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015, (Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2008), hlm. 96. 7
8
Elly Erawati, Op.Cit., hlm. 12.
3
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Tinjauan Literatur 1. Kerangka hukum MEA di Indonesia Sebagaimana ketentuan normatif pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia yang harus dilaksanakan melalui proses ratifikasi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian-perjanjian dalam rangka MEA telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Diawali dengan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors dan diikuti dengan berbagai peraturan presiden lainnya terkait pengesahan sector spesifik lainnya. Kesiapan Indonesia dalam rangka penerapan MEA ditengarai masih sebatas adopsi ketentuan perjanjian. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pada tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan instruksi kepada 27 Menteri/ Kepala Pemerintah Non Kementeriaan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menghadapi MEA melalui Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru MEA (selanjutnya disebut sebagai “Inpres 11/2011”). Saat ini, perkembangan menghadapi MEA dari segi peraturan dapat dilihat melalui keberlakuan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (selanjutnya disebut sebagai “Perpres 39/2014”). Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa Perpres 39/2014 hanya menguraikan persentase kepemilikan saham dalam sektor usaha tertentu bagi negara anggota ASEAN. Tanpa bermaksud untuk mengurangi apresiasi terhadap usaha yang dilakukan pemerintah dalam menghadap ASEAN, pada kenyataannya memang saat ini belum terdapat peraturan yang komprehensif berisi bagaimana tindakan dan upaya yang harus dilaksanakan dalam melindungi dan memberdayakan pelaku usaha dan juga konsumsi dalam negeri. Masyarakat semestinya memahami bukan hal yang mudah dalam menyusun kerangka aturan sebagaimana dimaksudkan di atas. Demikian pula dituntut peran serta masyarakat untuk memberikan masukan atas MEA. Dapat dilihat dan tentunya dapat diapresiasi hal-hal yangdilakukan oleh berbagai kementerian yang telah mensosialisasikan kajiannya terkait 4
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
MEA. Sebagai contoh, Kementerian Pertanian pada 2 Maret 2015 menguraikan tentang kesiapan pemerintah di bidang peternakan dan kesehatan hewan dalam menghadapi MEA.9 Kedua bidang tersebut merupakan salah satu sektor andalan Indonesia selama ini. Penulis juga melakukan studi dan upaya untuk memperoleh literatur yang secara spesifik mengkaji peran konkrit hukum dalam menghadapi MEA. Dari berbagai usaha dapat diperoleh kesimpulan bahwa kajian dari institusi pemerintah masih belum ditemukan. Ada kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan belum diakomodirnya sektor jasa hukum dalam salah satu Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang telah disepakati dalam MEA. Sementara itu dari kalangan praktisi telah terdapat beberapa tulisan yang membahas MEA dari aspek pasar modal maupun arbitrase.10 2. Penelitian atas implementasi Asean China Free Trade Area (ACFTA) Pengalaman dalam menjalani ACFTA merupakan hal yang sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam persiapan menghadapi MEA yang akan efektif terlaksana pada 31 Desember 2015. Hasil kajian atas keberlakuan ACFTA akan menunjukkan seberapa besar keuntungan yang diperoleh Indonesia dari perdagangan bebas ACFTA. Persiapan dan kekurangan Indonesia dalam menghadapi ACFTA akan menjadi komparasi yang sangat bermanfaat dalam menghadapi ACFTA termasuk dari aspek hukumnya. Data statistik perdagangan IMF (2012) menunjukkan bahwa Indonesia selaku negara anggota ASEAN dengan populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan Tiongkok, terlebih setelah berlakunya ACFTA. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, nilai investasi Tiongkok ke Indonesia pada Kuartal I tahun 2013 mencapai US$ 60,2 juta dari 99 proyek yang dijalankan. Sedangkan nilai ekspor non minyak dan gas bumi Indonesia ke Tiongkok pada Semester I tahun 2013 mencapai US$ 10,09 miliar. Berdasarkan data tersebut, Tiongkok masih menjadi pihak yang diuntungkan dari kerjasama kedua negara. Data Kementerian Pertanian Republik Indonesia, “Kesiapan Pemerintah di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Menghadapai MEA 2015”, http://civas.net/cms/assets/uploads/2015/02/Kesiapan-Pemerintah-di-Bidang-Peternakan-dan-Kesehatan-Hewan-dalam-Menghadapi-MEA-2015.pdf, diakses 18 Maret 2015. 10 Tulisan tersebut terdapat dalam Buletin Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Edisi Desember 2014-Februari 2015. 9
5
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Badan Pusat Statistik pada awal Agustus 2013 menunjukkan impor dari Tiongkok pada Januari-Juni 2013 sebesar US$ 14,4 miliar. Sementara itu, ekspor Indonesia ke Cina pada kurun waktu yang sama sebesar US$ 10,1 miliar. Data ini sekaligus menunjukan Indonesia masih mengalami defisit perdagangan dengan Cina sebesar US$ 4,3 miliar dollar pada periode 2013. 11 Di awal keberlakuan ACFTA, Sigit Setiawan melakukan penelitian terhadap Dampak ACFTA terhadap Ekspor dan Impor Indonesia dengan Tiongkok. Penelitian dilaksanakan melalui pendekatan kuantitatif dengan analisis ekonometrik yang digunakan untuk menilai pengaruh dari ACFTA terhadap kedua pihak dari sisi kontribusi ekspor dan pertumbuhannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia belum memanfaatkan secara optimal skema ACFTA sehingga memperoleh manfaat lebih sedikit dibandingkan Cina.12 3. Filsafat hukum Filsafat hukum merupakan kegiatan perenungan, perumusan, pemilihan dan penerapan nilai-nilai. Selain itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai seperti ketertiban dan ketenteraman, kebendaan (materialisme) dan keakhlakan (idealisme) maupun kelanggengan nilai-nilai lama dan pembaruan.13 Filsafat hukum menjadi instumen penting dalam mengkaji bahkan menemukan keselarasan peran hukum di dalam konteks MEA. Dalam mewujudkan keselarasan tersebut, hukum harus ditinjau dari multi aspek yang meliputi hukum sebagai subjek dan objek. Hukum sebagai subjek dapat dilihat dari fungsinya sebagai penggerak pembangunan dan petugas. Sementara itu, hukum sebagai objek berkaitan dengan fungsinya sebagai grund norm. Dengan adanya upaya penyelarasan antara hukum dan MEA melalui suatu kajian filosofis, hal ini akan memberikan warna yang unik dalam Andreas Nugroho, “Era Baru kerjasama Indonesia dan Cina” http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/10/131002_investasi_cina_indonesia, diakses 18 Maret 2015. 12 Sigit Setiawan, 2012, “AEAN-China FTA: Dampaknya terhadap Ekspor Indonesia dan China”, Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan-RI, Jakarta. 13 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Jakarta: Citra Aditya, 1989), hlm. 10. 11
6
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
memahami MEA dari sisi hukum. Selama ini, masing-masing negara dapat berargumentasi sulitnya penyelarasan MEA dari aspek hukum mengingat konsep hukum yang berbeda di tiap-tiap negara. Melalui pendekatan filsafat hukum yang pada dasarnya merupakan kumpulan ide atau gagasan nilai yang dapat berlaku universal, maka pendekatan hukum terhadap MEA melalui filsafat hukum dapat menembus batas sistem hukum yang berbeda. Hasil dan Analisis 1. MEA menjadi instrumen perwujudan keadilan sosial Indonesia dan kerjasama yang menguntungkan dalam regional ASEAN a. Pokok pengaturan MEA MEA akan menciptakan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif melalui 4 (empat) pilarnya yaitu: (i) pasar tunggal dan basis produksi, (ii) wilayah ekonomi yang sangat kompetitif, (iii) pembangunan ekonomi yang adil, dan (iv) kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global.14 Dalam mewujudkan pasar tunggal dan basis produksi maka ASEAN menetapkan 5 (lima) komponen dasar yaitu adanya arus bebas atas: (i) barang, (ii) jasa, (iii) investasi, (iv) modal, (v) tenaga kerja terampil.15 Sementara itu, dalam mewujudkan wilayah ekonomi yang kompetitif, melalui MEA akan diupayakan percepatan budaya kompetisi yang adil termasuk institusi dan hukum yang mendukung upaya tersebut, demikian halnya dengan perlindungan bagi konsumen dan jaminan hak atas kekayaan intelektual.16 Terkait dengan pembangunan ekonomi yang adil, berfokus pada pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dimana hal tersebut dituangkan dalam ASEAN SME Guidebook towards the AEC 2015, terdapat pula 30 (tiga puluh) inkubator bisnis dan pusat inovasi dalam ASEAN Business Incubator Network untuk mempromosikan pengembangan dan penyesuaian bisnis. Inisiatif atas integrasi ASEAN dikembangkan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang merata bagi semua negara anggota.17 Pilar yang terakhir yaitu terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini dikenal dengan ASEAN, Op.cit., hlm. 6 Ibid, hlm. 6 16 Ibid, hlm. 18 17 Ibid, hlm. 24 14 15
7
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
istilah “ASEAN+1” yang sudah dimulai dengan Republik Tiongkok. Berikutnya, ASEAN juga berencana untuk melaksanakan kerjasama ekonomi yang komprehensif dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan India dimana posisi ASEAN berada di tengah rantai ekonomi global.18 Penting untuk diketahui bahwa dalam mengimplementasikan ketentuan spesifik dari MEA, negara anggota ASEAN akan menandatangani perjanjian terkait sektor tertentu. Setelahnya, negara anggota akan membuat suatu komitmen dalam bentuk protokol. Proses berikutnya adalah adanya Mutual Recognition Arrangement (selanjutnya disebut sebagai “MRA”). Dengan adanya MRA, para negara penandatangan kesepakatan saling memberikan pengakuan atas kualifikasi dan kesiapan penyediaan kesepakatan. Sebagai contoh, arus bebas atas jasa diaktualisasikan dalam ASEAN Framework Agreement on Services (selanjutnya disebut sebagai “AFAS”). Sebagai tindak lanjut dari AFAS dibentuklah Protocol to Implement Package of Commitments under the AFAS. Setelah itu disusun MRA yang memuat saling pengakuan di antara negara anggota untuk mengimplementasikan kesepakatan yang dicapai. b. Bernalar dari pengalaman ACFTA Indonesia haruslah belajar dari pengalaman perdagangan bebas yang dimiliki sebelumnya untuk bersiap menghadapi MEA. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2010, Indonesia telah mengimplementasikan perdagangan bebas dengan Tiongkok melalui kerangka ACFTA. Setelah berjalan selama hampir 5 (lima) tahun, diperoleh data yang menunjukkan bahwa terdapat sektor perdagangan Indonesia yang beroleh manfaat positif, namun tidak sedikit pula yang berimbas negatif. Untuk mengevaluasi dampak ACFTA, perlu dilakukan evaluasi atau impact assessment terhadap perjanjian perdagangan barang ACFTA mengingat implementasinya telah berjalan hampir 5 (lima) tahun.Sebagai informasi, perkembangan ACFTA, saat ini, adalah pembahasan ACFTA Joint Committee ke-5 yang telah dilaksanakan pada tanggal 11 – 13 Maret 2014 di Jinjiang Hotel, Chengdu, China. Pertemuan 18
8
Ibid, hlm. 26.
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
tersebut membahas implementasi ACFTA, upgrading ACFTA, ACFTA Website, laporan setiap Working Group (Rules of Origin, Economic Cooperation, Ad-Hoc Committee on Custom Procedures and Trade Facilitation/ CPTF, Sub Committee on the Standards and Technical Regulation/ SC-STRACAP, Sub Committee on Sanitary and Phytosanitary/ (SC-SPS), dan tukar menukar informasi tentang ASEAN-Hong Kong FTA.19 Salah satu indikator penting untuk menilai dampak suatu FTA adalah pendapatan nasional. Salah satu komponen pendapatan nasional dalam model Keynesian adalah kontribusi ekspor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harry Bowo yang menguji dampak ACFTA terhadap nilai perdagangan beberapa komoditas terpilih, diperoleh hasil yang positif antara pemberlakuan ACFTA dengan peningkatan ekspor beberapa komoditas seperti minyak dan lemak nabati, glycerol, kayu lapis, blackboard, kertas, dan alas kali olahraga.20 Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Perindustrian, terdapat 5 (lima) sektor industri yang terkena dampak buruk dengan keberlakuan ACFTA yaitu elektronik, furnitur, logam, permesinan dan tekstil.21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ragimun, infrastruktur untuk mendukung dan mendorong peningkatan investasi di Indonesia masih belum memadai. Infrastruktur ini terkait dengan infrastruktur lunak (soft infrastucture) seperti pelayanan, iklim usaha, komunikasi, kepastian hukum, undang-undang dan lain-lain. Demikian juga infrastruktur keras (hard infrastructure) seperti sarana transportasi, sarana komunikasi, pelabuhan, jalan dan lain-lain. Pelayanan dan birokrasi serta iklim usaha di Indonesia masih belum optimal. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih belum sinkron dalam mengambil kebijakan mengenai investasi, termasuk Badan Standarisasi Nasional, National Standardization Standardization Agency of Indonesia, “BSN berpartisipasi dalam The 5th ASEAN China FTA (ACFTA) Joint Committee Meeting”, http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5116#.VQ92WY47sdU, diakses 19 Maret 2015. 20 Adi Tiara Putri, Implementasi ACFTA dalam Hukum Nasional Indonesia, Tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2011, hlm.56. 21 Sigit, Op.Cit., hlm. 23. 19
9
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
termasuk banyaknya pungutan yang akan menimbulkan biaya tinggi (high cost).22 c. Melangkah maju dengan MEA MEA akan dilaksanakan secara efektif pada 31 Desember 2015. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Indonesia harus menyatakan siap dan segera berbenah. Melalui MEA, Indonesia dapat mewujudkan 2 (dua) cita-cita bernegara sekaligus, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kerjasama dengan negara lain dalam pergaulan masyarakat internasional. Hal tersebut tentunya hanya akan sekedar menjadi mimpi apabila tidak terdapat usaha-usaha yang fokus dan serius untuk maju dan melangkah dengan MEA. Untuk dapat melangkah maju dengan MEA, Indonesia harus mampu mencapai beberapa target sektoral dan mengembangkan beberapa kunci penting seperti yang disebutkan dalam bagan di bawah ini. Gambar 1. Persentase Pencapaian Target Sektoral
Sumber: Sekretariat ASEAN, Skor Penilaian AEC Tahun 2012, hlm.16
Selain itu bagan di atas adalah kunci dari setiap negara dalam regional ASEAN untuk mempersiapkan dirinya menghadapi MEA. Ragimun, 2014, “Analisis Investasi China ke Indonesia Sebelum dan Sesudah ACFTA”, Penelitian Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, Jakarta. 22
10
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
Adapun yang dimaksud dengan Phase I adalah pasar tunggal yang berbasis produksi. Sementara itu, Phase II terkait dengan MEA sebagai region ekonomi yang kompetitif. Dalam mewujudkannya terdapat 5 (lima) pilar yang harus dilaksanakan masing-masing negara termasuk Indonesia: 23 (i) Kemauan Politik Hal ini tentu menjadi modal utama dari negara untuk mensukseskan MEA. Kemauan politik berasal dari kemauan pemimpin negara untuk fokus dalam penyiapan setiap sektor yang berkaitan dengan keberlakuan MEA. Indonesia sendiri sudah memulai hal ini dengan keberlakuan Inpres 11/2011. Pemerintah juga telah menetapkan persentase kepemilikan persentase kepemilikan saham dalam sektor usaha tertentu bagi negara anggota ASEAN melalui Perpres 39 /2014. Berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat dilihat telah ada kemauan politik dari pemerintah Indonesia untuk menyiapkan MEA. Seperti yang dipaparkan dalam tinjauan literatur, sesungguhnya hal tersebut belum cukup. Masyarakat termasuk para pelaku usaha masih harus menanti kesiapan masing-masing kementerian untuk mendayagunakan dan memberikan pengaturan yang dapat melindungi pelaku usaha sektor dalam negeri dan kepentingan nasional. (ii) Koordinasi dan Mobilisasi Sumber Daya Berbeda dengan kemauan politik pemerintah yang dapat langsung nyata terlihat melalui berbagai instrumen aturan yang dikeluarkan, terkait dengan koordinasi dan mobilisasi sumber daya menjadi sulit pemberian evaluasinya sepanjang belum terdapat aturan sektoral. Hal tersebut terjadi mengingat kegiatan koordinasi dan mobilisasi akan dapat terlihat baik melalui sosialisasi kebijakan maupun aturan yang diterbitkan. Belajar dari pengalaman ACFTA, salah satu kekurangan adalah minimnya pengetahuan apalagi koordinasi dan mobilisasi akan Gary Rynhart, et al, “The Road to The Asean Economic Community 2015: The Challenges and Oppurtunities for Enterprises and TheirRepresentative Organizations”, (ILO: May 2014), hlm. 21. 23
11
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
dapat terlihat baik melalui sosialisasi kebijakan maupun aturan yang diterbitkan. Belajar dari pengalaman ACFTA, salah satu kekurangan adalah minimnya pengetahuan apalagi koordinasi dan mobilisasi pelaku usaha dan masyarakat sebelum bergulirnya ACFTA.24 Hal ini yang seharusnya tidak lagi terulang. Masih terdapat kurang lebih 8 (delapan) bulan untuk melaksanakan koordinasi dan mobilisasi segala sumber daya yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi MEA. (iii) Implementasi dari Perjanjian yang telah Mengikat Hal ini tentunya terkait kembali dengan belum adanya atau terbatasnya implementasi dari perjanjian terkait MEA yang berisi langkah-langkah dan tindakan yang harus dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan di dalamnya. (iv) Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Institusional Setelah menyinggung peran pemerintah dalam 3 (tiga) butir di atas, dalam peningkatan kapasitas ini, masyarakat tidak dapat hanya berperan pasif. Kapasitas yang dimaksud dapat berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia, akses dan pengetahuan atas teknologi dan informasi, pengembangan kewirausahaan dan kualitas hidup.25 Penguatan institusional termasuk dengan penguatan kelembagaan pemerintah dan juga organisasi-organisasi yang menjadi wadah sektor-sektor tertentu. Penguatan institusional ini akan mendukung upaya penguatan kepribadian, demikian sebaliknya. (v) Konsultasi privat dan publik Peran konsultasi privat dan publik sebaiknya tidak hanya menunggu peran pemerintah. Kalangan lainnya seperti praktisi, akademisi maupun pelaku usaha itu sendiri harus bersinergi dalam rangka pemberian pengetahuan dan pengalaman www.kemendag.go.id/files/pdf/.../-1366945577.pdf diakses pada 20 MAret 2015 pada pukul 19.00 WIB. 25 Gary Rynhart, et al, Op.cit., hlm. 22. 24
12
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
bagi masyarakat atau pelaku usaha lainnya untuk menghadapi. Kelima komponen di atas diharapkan dapat terlaksana melalui sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, praktisi, akademisi atau pihak lainnya. Selain itu, ACFTA telah memberikan pelajaran bahwa pentingnya pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif terkait hukum ekonomi, hukum investasi dan juga hukum perdagangan. Melalui pengetahuan tersebut maka salah satu kelemahan dalam ACFTA terkait ketidaksinkronan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dapat teratasi. Seluruh komponen di atas apabila dilaksanakan dengan serius maka tidak ada keraguan MEA dapat menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia sendiri maupun keterlibatan Indonesia dalam kemajuan regional Asia Tenggara. 2. Sumber daya hukum sebagai fasilitator utama dalam mendayagunakan MEA untuk mencapai kesejahteraan nasional Hal yang sering kali luput dari perhatian para pemangku kepentingan bahkan dari praktisi hukum sendiri adalah dimana letak hukum dalam pengimplementasian MEA, Sebagaimana telah diketahui bahwa MEA merupakan sarana dalam perwujudan kemajuan ekonomi melalui berbagai sektor. Perekonomian yang maju adalah tujuan akhirmya, lalu dimana posisi hukum? Hukum akan bertindak selaku fasilitator dalam mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan kaidahnya, hukum memiliki multi peran dan fungsi. Berangkat dari hal itu pula pembahasan di bawah ini akan membagi peranan hukum sesuai dengan kaidahnya yang layak untuk dibagi dalam mendayagunakan MEA untuk mencapai kesejahteraan nasional. a. Hukum sebagai “grundnorm” Hukum merupakan norma dasar/ grundnorm dalam keberlakuan MEA baik dari segi ratifikasi peraturan perundang-undangan maupun pengimplementasian peraturan turunannya. Oleh karenanya, hukum selaku grundnorm ini sendiri dapat diinterpretasikan sebagai perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi dasar dalam penerapan MEA. 13
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Konsepsi-konsepsi yang terdapat dalam MEA merupakan pengejawantahan prinsip-prinsip WTO. Dalam hal inilah pengetahuan akan prinsip WTO sangat penting bagi praktisi hukum untuk dapat membuat suatu kerangka peraturan yang “cerdik” artinya tetap mengikuti standar yang berlaku secara internasional, namun tetap berpikir kreatif dalam penyusunan aturan dalam rangka perlindungan kepentingan nasional. Hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah mengingat perdagangan bebas masih merupakan hal yang belum banyak dipahami dan dipelajari oleh praktisi hukum sekalipun. Sebagai contoh, salah satu prinsip dasar perdagangan bebas adalah Most Favored Nation (selanjutnya disebut sebagai “MFN”). MFN adalah kewajiban umum yang berlaku untuk semua tindakan yang mempengaruhi perdagangan jasa. Dengan MFN maka setiap negara yang terikat pada perjanjian perdagangan bebas harus tunduk di dalamnya. Secara prinsip, MFN akan berlaku tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan akan ditinjau kembali dalam kurun waktu yang tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Selain itu, perlu diketahui bahwa terdapat pula MFN Exemptions yaitu pengecualian atas MFN.26 Dengan keadaan demikian, sumber daya hukum selaku grundnorm akan berdayaguna apabila praktisi hukum mampu untuk memahami konsep-konsep terkait lalu memberikan solusi atas keuntungan yang dapat diperoleh dalam MFN maupun MFN Exemptions. b. Hukum sebagai penggerak pembangunan Hukum berperan pula sebagai fasilitator penggerak pembangunan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu kunci untuk melihat apakah perdagangan bebas tersebut berdampak positif bagi negara adalah melalui pendapatan nasional. Pendapatan nasional itu sendiri akan menjadi penggerak pembangunan. Penting untuk mengembangkan implementasi kreatif dari MEA untuk memajukan masyarakat dan bisnis. Dalam kaitan ini, diperlukan kajian-kajian mendalam terhadap setiap sektor usaha untuk memahami dampak MEA terhadap sektor-sektor tersebut dan membangun daya kreatif sehingga dapat dilahirkan regulasi yang tepat, efektif World Trade Organization, “Guide to reading the GATS schedules of specific commitments and the list of article II (MFN) exemptions” http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/ guide1_e.html, diakses 10 Maret 2015 26
14
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
Dalam konteks serupa, hukum sebagai penggerak pembangun dapat dilaksanakan melalui fungsi pengawalan. Saat MEA telah berlaku, praktisi hukum harus berperan aktif dalam memberikan saran, peringatan bahkan potensi-potensi yang dapat terjadi atas langkah-langkah yang dilaksanakan pemerintah atau pelaku usaha Indonesia. Sebagai contoh, kasus penolakan ekspor kopi Indonesia ke Jepang yang pernah menjadi perhatian di tahun 2012 dimana karantina Jepang menolak 10 (sepuluh) peti kemas berisi 200 (dua ratus) ton kopi dari Indonesia karena melebihi batas maksimum residu. Kopi Indonesia dianggap mengandung unsur aktif pestisida isocarab dan carbaryl melebihi ambang batas yang diizinkan.27 Dalam hal inilah hukum dapat berfungsi sebagai pengawal dalam penggerak pembangunan. Praktisi hukum harus dapat memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memitigasi persoalan tersebut. c. Hukum sebagai petugas Hukum sebagai petugas artinya hukum akan berperan sebagai subjek yang mempertahankan kepentingan Indonesia dalam hal terjadi sengketa dengan negara lain. Dalam hal ini akan banyak ditemukan kendala seperti politik ekonomi, mahalnya biaya litigasi dan sebagainya. Beracara dalam lembaga penyelesaian sengketa membutuhkan kemampuan dan keahlian yang tinggi.28 Kita dapat belajar dari Tiongkok. Tiongkok baru bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 2001 atau 6 (enam) tahun setelah Indonesia. Tiongkok mengaku pada saat bergabung pun, kemampuan litigasi dan hukum dalam menghadapi perdagangan bebas masih sangat minim. Xiao Jin, advokat Tiongkok yang ahli di bidang perdagangan internasional, menyatakan di Tiongkok hanya ada 3 (tiga) lawfirm yang memiliki pemahaman di bidang perdagangan bebas. Sementara di Amerika sudah ada puluhan lawfirm yang ahli di bidang perdagangan internasional. Meskipun demikian, Tiongkok mau bergerak cepat dengan berbagai program yang mana salah satunya adalah Shanghai WTO Affairs Consultation Center’s Training Program. Rosalina, “Kualitas Kopi Indonesia Diragukan” http://www.tempo.co/read/ news/2012/09/18/090430247/Kualitas-Kopi-Indonesia-Diragukan, diakses 17 April 2015. 28 Prof Ade Maman Suherman, Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 100. 27
15
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Kebijakan tersebut menjadi suatu optimisme dalam peranan sumber daya hukum selaku pengawal negaranya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam suatu seminar dengan tajuk WTO Dispute Settlement yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan di Bogor, 25 – 26 Juni 2014, Kementerian Perdagangan menyatakan sampai saat ini belum ada advokat Indonesia yang diakui kompetensinya dalam bidang perdagangan internasional. Hal-hal seperti yang dilakukan Tiongkok menjadi penting untuk dicontoh agar Indonesia memiliki advokat dengan kompetensi yang handal dapat diandalkan di bidang sengketa internasional. Kesimpulan Indonesia harus siap dalam menghadapi MEA. Tren perdagangan bebas yang saat ini semakin meluas ke seluruh bagian dunia bukan berarti suatu kabar baik bagi Indonesia. Tentunya akan banyak tantangan dan implikasi yang harus dihadapi oleh Indonesia. Meskipun demikian, bangsa Indonesia tidak dapat merubah fakta sejarah bahwa keterlibatan Indonesia merupakan suatu kewajiban atas keanggotaan Indonesia selaku anggota WTO dan juga bantuan IMF dan Bank Dunia saat krisis moneter yang berdampak pada adanya kewajiban terhadap Structural Adjusment and Stabilization Programme. Indonesia dapat memanfaatkan MEA sebagai alat untuk mendapatkan keadilan sosial sekaligus sarana dalam pergaulan yang aktif di dunia internasional. Hal tersebut tentu dengan persyaratan yang harus dipersiapkan secara serius dan fokus yaitu (i) kemauan politik, (ii) koordinasi dan mobilisasi sumber daya, (iii) implementasi dari perjanjian yang telah mengikat, (iv) Peningkatan kapasitas dan penguatan institusional, (v) konsultasi privat dan publik. Sumber daya hukum sebagai fasilitator utama dalam mendayagunakan MEA untuk mencapai kesejahteraan nasional berfokus pada 3 (tiga) komponen yaitu (i) hukum sebagai “grundnorm”, (ii) hukum sebagai penggerak pembangunan, (iii) hukum sebagai petugas. Saran Dalam menghadapi MEA yang tersisa bebarapa bulan ke depan, perlu kemauan dan tekad dari pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mau melaksanakan kelima komponen sebagaimana disebutkan di atas. 16
Journal of Legal and Policy Studies Volume I No. 1 - April 2015
Demikian halnya dengan praktisi hukum agar berperan dalam ketiga komponen hukum. DAFTAR PUSTAKA Buku Erawati, Elly, 2003, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar”, dalam Ida Susanti, et al., Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Garteche, Oscar, 2000, The Flase Dilemma: Globalization: Opportunity or Threat?, Zed Book Ltd., London. Siswanto, Joko dan Aditya Rachmanto, 2008, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015, Elexmedia Kompetindo, Jakarta. Smith, Adam, An Inquiry Into The Nature And Causes Of The Wealth Of Nations, Prentice-Hall, Glasgow. Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1989, Perihal Kaedah Hukum, Citra Ad -itya, Jakarta. Suherman, Prof. Ade Maman, 2014, Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika, Jakarta. Artikel Jurnal Rynhart, Gary, et al., “The Road to The Asean Economic Community 2015: The Chal lenges and Oppurtunities for Enterprises and Their Representative Organizations”, ILO, May 2014. Internet Assosiation of South East Asian Nations, “Guidelines on the Use of the Name “ASEAN”, http://www.asean.org/asean/about-asean, diakses 5 Maret 2015. Badan Standarisasi Nasional, National Standardization Standardization Agen cy of Indonesia, “BSN berpartisipasi dalam The 5th ASEAN China FTA (ACFTA) Joint Committee Meeting”, http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/ 5116#.VQ92WY47sdU, diakses 19 Maret 2015.
17
Wahyuni Bahar - Peran Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, “Kesiapan Pemerintah di bidang Peter na- kan dan Kesehatan Hewan dalam Menghadapai MEA 2015”, http://civas.net/ cms/assets/uploads/2015/02/Kesiapan-Pemerintah-di-Bidang-Peter nakan-dan-Kesehatan-Hewan-dalam-Menghadapi-MEA-2015.pdf, diakses 18 Maret 2015. Nugroho, Andreas, “Era Baru kerjasama Indonesia dan Cina” http://www.bbc.co.uk/in donesia/berita_indonesia/2013/10/131002_investasi_cina_indonesia, diakses 18 Maret 2015. Rosalina, “Kualitas Kopi Indonesia Diragukan” http://www.tempo.co/read/news/2012/ 09/18/090430247/Kualitas-Kopi-Indonesia-Diragukan, diakses 17 April 2015. World Trade Organization, “Guide to reading the GATS schedules of specific commitments and the list of article II (MFN) exemptions” http://www.wto.org/english/tratop_e /serv_e/guide1_e.html, diakses 10 Maret 2015. Hasil Penelitian/Tugas Akhir Putri, Adi Tiara, 2011, Implementasi ACFTA dalam Hukum Nasional Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Ragimun, 2014, Analisis Investasi China ke Indonesia Sebelum dan Sesudah ACFTA, Penelitian Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, Jakarta. Setiawan, Sigit, 2012, ASEAN-China FTA: Dampaknya terhadap Ekspor Indonesia dan China, Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan-RI, Jakarta. Lain-lain ASEAN, 2008, ASEAN Economic Community Blue Print, ASEAN Secretariat, Jakarta. Buletin Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal, Edisi Desember 2014-Februari 2015.
18