PERAN DAN POSISI STRATEGIS FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN: SEBUAH PENDEKATAN MANAGERIALSHIP1 Samsu, M.Pd.I.,Ph.D.2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
[email protected] Abstrak Artikel ini membicarakan tentang peran dan posisi strategis FITK. Artikel ini mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan FITK yang unggul dan berdaya saing mestilah dilakukan beberapa gerakan managerialship, yaitu visi dekan dan unsur pimpinan lainnya menjadi barometer kemajuan fakultas. Penerapan kepemimpinan visioner, gaya kepemimpinan variatif, serta penerapan sistem reward dan funishment yang baik akan memungkinkan lahirnya FITK yang unggul dan berdaya saing tinggi. Selain itu, strategi, dan upaya melakukan pengembangan FITK dalam perspektif managerialship adalah melakukan perbaikan manajemen fakultas, reward dan funishment yang jelas, peningkatan SDM dosen secara berkelanjutan (dalam dan luar negeri), pengembangan sistem informasi pendidikan berbasis ICT, peningkatan karya ilmiah yang terakses secara on-line, pengembangan sarana dan prasarana pembelajaran modern secara berkelanjutan, keterlibatan dosen dalam berbagai aktivitas akademik ekstern kampus, perlunya dibangun pusat studi sesuai dengan rumpun keilmuan yang dikembangkan, perlunya dijaga kualitas jasa berkelanjutan dan sejumlah strategi dan upaya lainnya. Keywords: Total Quality Management, Managerialship, dan Jasa Pendidikan A. Pendahuluan Era globalisasi sebagai era keterbukaan telah memasuki berbagai strata kehidupan, termasuk dunia pendidikan, mau tidak mau, maka pendidikan dihadapkan pada kompetisi kelembagaan berskala lokal, nasional dan global. Lembaga pendidikan yang tidak siap menghadapi kompetisi tersebut akan kehilangan peran 1
Dipresentasikan pada acara Seminar Nasional dengan tema: “Pengembangan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan: Unggul dan Berdaya Saing” bertempat di Shang Ratu Hotel, Broni Jambi, Rabu, tanggal 29 Januari 2014. 2 Dosen tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Direktur Pusat Studi Agama dan Kemasyarakatan (Pusaka Jambi); sebuah pusat studi yang bergerak dibidang penerbitan, riset dan pendidikan publik.
1
2
dan posisi strategisnya dalam melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Karena itulah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selanjutnya disingkat dengan FITK sebagai penyelenggara satuan pendidikan pada perguruan tinggi di IAIN STS Jambi dituntut untuk memperbaiki ”citra diri” secara managerialship menuju pelayanan pendidikan yang unggul dan berdaya saing. Di samping itu, FITK juga dituntut untuk lebih terbuka dan transparan serta melakukan daya banding dan daya saing (benchmark) di tengah lingkungannya, baik dalam skala lokal maupun global. Antisispasi kearah ini, maka perlu dirumuskan desain kebijakan, penentuan arah melalui kebangunan visi, misi serta motto, filosofi kependidikan, pemahaman terhadap content kependidikan (turats at-tarbawiyah), etika akademik, sampai kepada master plan FITK ke depan. Selain dari itu, perlu pula segera dilakukan penataan sarana pendukung (maintenance), dan standar lulusan, serta sertifikasi dosen, dan kelembagaan. Standar Nasional Pendidikan (SNP) juga merupakan kebijakan makro yang pada dasarnya memacu pengelola pendidikan, para dosen, karyawan dan masyarakat untuk lebih serius membenahi pendidikan. Persoalannya di tengah tuntutan pada era globalisasi pendidikan, justru kita tengah menghadapi kesulitan dalam pemenuhan sumber belajar, SDM Dosen dan karyawan, mutu output/outcome pendidikan, pembiayaan pendidikan, kompetensi dosen, lemahnya sistem rekrutmen, bahkan SDM pimpinan. Kenyataan ini semua, turut mempersulit FITK untuk melakukan inovasi, pembaharuan dan pengembangan menjadi fakultas yang unggul dan berdaya saing. Upaya untuk mewujudkan fakultas yang unggul dan berdaya saing itu, sebenarnya menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk sarana dan fasilitas lembaga yang ada. Akan tetapi yang menjadi posisi kunci (key position) adalah pimpinan, karena bagaimanapun baiknya mutu raw input (mutu mahasiswa yang masuk), dosen yang profesional dan berprestasi, sarana dan fasilitas yang menunjang, lingkungan masyarakat yang tidak mendukung, atau pengajarannya yang baik, tidak akan banyak memberikan andil dalam mewujudkan fakultas yang unggul dan berdaya saing, karena sebenarnya yang menjadi penentu kebijakan fakultas seperti halnya FITK IAIN STS Jambi tersebut adalah para pimpinan fakultas itu.
3
Selanjutnya, pengembangan FITK utamanya dari sisi SDM yang bermutu dan memiliki kompetensi keilmuan, serta didukung oleh sarana dan prasarana (maintanance) yang memadai menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawartawar lagi. Di sisi lain, pengembangan FITK IAIN STS Jambi dapat dilakukan melalui penataan sistem dengan membangun wacana dan wawasan bahwa FITK haruslah dilihat sebagai suatu sistem, karena itu, semua potensi, sumber daya, peluang, kelemahan, serta resiko pengelolaan FITK IAIN STS Jambi secara keseluruhan sebagai sistem dapat saling mempengaruhi manajemen FITK, yang karenanya sistem tersebut perlu ditata dengan lebih profesional. Dalam mengatasi kelemahan-kelemahan sumber daya ini, maka sistem pengelolaan FITK dikembangkan melalui strategi pemberdayaan masyarakat, partnership, dan pemerintah. Yang tidak kalah menariknya untuk menjadi perhatian FITK IAIN STS Jambi ke depan adalah bahwa FITK IAIN STS Jambi perlu mengambil sikap ”jemput bola” dalam rangka memenuhi kebutuhan stakeholder pendidikan. B. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Pengembangan Teori Manajemen Pendidikan Menurut Tony Bush
3
apabila kita membicarakan tentang manajemen
pendidikan, maka tidak dapat dilepaskan dari membicarakan enam teori manajemen pendidikan yang berbeda satu sama lain. Keenam teori manajemen pendidikan tersebut adalah teori birokrasi, teori kolega, teori mikro-politik, teori subyektif, teori ambigu, teori budaya organisasi; yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Teori Birokrasi (Bureaucracy) Konsep birokrasi dihubungkan dengan penelitian seorang ahli sosiologi Jerman; Max Weber. Ia menyatakan bahwa dalam organisasi formal, birokrasi merupakan bentuk manajemen yang sangat efisien.
3
Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3 rd edition, London: Sage Publication, 2003, p. 43.
4
Dengan teori birokrasi yang dikemukakan oleh Tony Bush 4 menjelaskan bahwa FITK perlu melakukan beberapa hal, yaitu: a) FITK perlu menekankan pentingnya struktur kekuasaan secara hirarki (hierarchical authority structure) dengan rantai perintah yang bersifat formal. Pemimpin FITK bertanggungjawab kepada bawahannya untuk memuaskan, akibat pekerjaan yang dilakukannya, dan dosen serta karyawan/staf bertanggung jawab kepada kepala dekan. b) Birokrasi FITK menekankan pada orientasi tujuan (goal orientation) organisasi. Tujuan FITK dalam mengemban pendidikan ditentukan secara luas oleh dekan dan disetujui oleh dosen dan karyawan/staf. c) Model birokrasi FITK menyarankan perlunya pembagian kerja (a division of labour) dengan dosen dan bawahan dengan spesialisasi pada tugas khusus yang didasarkan pada keahlian. d) Keputusan dan perilaku birokrasi FITK tunduk pada aturan dan pengaturan (rules and regulations) daripada inisiatif pribadi. e) Birokrasi FITK menekankan pada hubungan impersonal antara bawahan (staff), dan mahasiswa. f) Dalam birokrasi FITK, rekruitmen dan kemajuan karir bawahan (staff) ditentukan oleh jasa (merit). Penilaian dibuat berdasarkan kualifikasi, pengalaman, dan promosi. 2. Teori Kolega (Collegiality) Dengan meminjam pendapat Tony Bush, kolega (collegiality) merupakan suatu model yang atraktif bagi FITK, karena ia memberikan partisipasi bagi dosen dan karyawan. Asumsi ini adalah bahwa FITK menentukan kebijakan dan membuat keputusan melalui proses diskusi yang mengarah pada kesepakatan (consensus). Kekuatan dibagi antara beberapa atau semua anggota organisasi yang dipikirkan untuk memperoleh kesalingpahaman (mutual understanding) tentang tujuan FITK. Dalam pandangan Tony Bush, ada tiga argumen utama dalam menyokong suatu pendekatan kolega ke arah manajemen FITK ini, yaitu:
4
Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3 rd edition, London: Sage Publication, 2003, p. 43.
5
a) ada suatu bukti yang cukup bahwa dosen dan karyawan ingin untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan, b) kualitas pengambilan keputusan mungkin menjadi lebih baik ketika pendidik berpartisipasi dalam proses tersebut. c) Implementasi keputusan yang efektif adalah lebih mungkin jika para dosen/karyawan ’sendiri’ menjadi outcomes melalui partisipasi mereka. 3. Teori Mikro-Politik (Micropolitics) Dengan mengutip pendapat Tony Bush, konsep mikro-politik menunjukkan kepada aktivitas yang bersifat politis yang ada dalam FITK. Pendekatan yang bersifat mikro-politik mengasumsikan bahwa kebijakan dan keputusan muncul melalui suatu proses negoisasi dan bargaining. Kelompok yang tertarik untuk mengembangkan dan membentuk aliansi dalam mengejar tujuan kebijakan khusus. Konflik dipandang sebagai suatu fenomena dan kekuatan alami yang menumbuhkan koalisi yang dominan melebihi daripada wujud yang dipelihara dari seorang pemimpin formal. 4. Teori Subyektif (Subjective Theories) Teori subyektif (subjective theories) memberi fokus pada individu dalam organisasi. Dalam teori ini, masing-masing orang diasumsikan untuk memiliki persepsi yang subyektif dan unik dari organisasi. 5. Teori Ambigu (Ambiguity Theories) Teori ambigu menekankan ketidakpastian dan ketidak mampuan untuk memprediksi dalam organisasi. Penekanannya ketidakstabilan dan kompleksitas kehidupan yang bersifat institusional. Pendekatan teori ini mengasumsikan bahwa tujuan organisasi adalah bersifat problematis dan kesulitan pengalaman institusi dalam melakukan prioritasnya. March (1982) menjelaskan bahwa teori ambigu dikembangkan untuk memberikan pandangan atau jalan yang terbaik untuk menjelaskan lingkungan kompleksitas organisasi. Dalam pandangan Tony Bush (2002:25-26) teori ambiguitas ini dapat digambarkan sebagai berikut: a) ada suatu kelemahan dari kejelasan tentang tujuan (aims) suatu organisasi. Mungkin tidak semuanya jelas apa tujuan madrasah/FITK. Perbedaan anggota
6
madrasah/FITK mungkin memahami tujuan atau atribut prioritas yang berbeda untuk tujuan yang sama. b) organisasi dicirikan oleh fragmentasi dan loose coupling. FITK dibagi ke dalam kelompok yang memiliki koherensi internal yang didasarkan kepada nilai dan tujuan umum, c) struktur organisasi dipandang sebagai sesuatu yang problematik. Ada sesuatu yang tidak pasti atas kekuatan yang relatif dari bagian institusi. d) ada partisipasi yang cair sebagai anggota yang bergerak di dalam dan di luar situasi pengambilan keputusan. 6. Teori Budaya Organisasi (Organisational Culture) Menurut Beare dalam Tony Bush, konsep budaya organisasi menekankan aspek informal organisasi lebih dari elemen-elemen pegawainnya. Konsep budaya organisasi ini memfokuskan pada nilai, keyakinan dan norma orang dalam organisasi dan bagaimana persepsi individu ini menyatu dan dibagi ke dalam pengertian organisasi. Pengembangan FITK sejalan dengan teori manajemen pendidikan tersebut, harus didukung oleh adanya kewajiban profesional manajemen pendidikan dalam pengembangan FITK di perguruan tinggi. Dengan meminjam pendapat Richard Nicholson (1989:37-39) 5 menyatakan bahwa kewajiban profesional manajemen pendidikan di FITK meliputi 1) school aims, 2) Appointment of staff 3) management of staff 4) liaison with staff unions and associations 5) curriculum 6) review 7) standards of teaching and learning 8) appraisal, training and development of staff 9) management information 10) pupil progress 11) pastoral care 12) discipline 13) resources 14) premises 15) appraisal of headmaster 16) absence 17) teaching. Kewajiban profesional manajemen pendidikan menurut Richard Nicholson tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) school aims
5
Richard Nicholson, School Management: The Role of the Secondary Headteacher, London: Kogan Page, 1989, p. 53
7
Tugas manajemen pendidikan yang pertama adalah berupa kewajiban merumuskan tujuan dan sasaran FITK dan kebijakan untuk diimplementasikan di FITK agar mampu membawa FITK pada situasi yang dikehendaki, untuk itu perlu dibangun tujuan yang jelas dan terarah. Rumusan tujuan, sasaran dan kebijakan FITK mestilah diperhitungkan secara matang dan rasional, sehingga memungkinkan untuk mencapainya. 2) Appointment of staff Tugas manajemen pendidikan kedua adalah ikut berpartisipasi dalam melakukan seleksi dan penilaian pengajaran dan bukan bersifat pengajaran seorang staf FITK (dosen). Penilaian staf ini dilakukan untuk meramalkan, merencanakan, penyeleksi, menempatkan serta mempekerjakan staf dengan standar kerja yang diinginkan. Dengan penilaian staf, maka ada upaya menetapkan standar serta pemanfaatan staf dengan maksimal untuk mewujudkan tugas manajemen pendidikan secara lebih berkualitas. Tidak lain tujuannya adalah untuk melahirkan kinerja organisasi FITK yang berkualitas. 3) management of staff Tugas manajemen pendidikan kedua adalah a) untuk penyebaran (deploying) dan
pengelolaan
staf
(dosen
dan
bukan
karyawan
administrasi),
serta
mengalokasikan secara khusus kepada staf (meliputi kewajiban kepala FITK yang mendelegasikan kewajiban kepada wakil kepala FITK atau kepala FITK dengan anggota staf yang lain) dalam hal konsistensi dengan kondisi pekerjaan mereka, menyediakan keseimbangan yang masuk akal bagi masing-masing guru antara pekerjaan yang dilakukan di FITK dan pekerjaan yang dilakukan di luar,
b)
memastikan bahwa kewajiban manajemen pendidikan adalah memberikan dasar perhitungan terhadap pengajaran dan kewajibannya. 4) liaison with staff unions and associations Tugas
manajemen
pendidikan
yang
keempat
adalah
memelihara
(maintaining) hubungan dengan perwakilan (representing) organisasi dosen dan staf FITK. 5) curriculum Tugas
manajemen
pendidikan
yang
kelima
adalah
menentukan,
mengorganisasi dan mengimplementasikan suatu kurikulum yang memadai bagi
8
FITK, memenuhi kebutuhan, pengalaman, minat (interest), sikap dan tahapan (stage) pengembangan peserta didik (murid) dan sumber-sumber yang tersedia bagi FITK. 6) review Tugas manajemen pendidikan yang keenam adalah menjaga ulasan (review) hasil kerja dan organisasi FITK. 7) standards of teaching and learning Tugas manajemen pendidikan yang ketujuh adalah mengevaluasi standar pendidikan dan pengajaran dalam FITK, dan memastikan bahwa standar yang memadai bagi kinerja profesional adalah terbangun (established) dan tersedia (maintened). 8) appraisal, training and development of staff Tugas manajemen pendidikan yang kedelapan adalah a) mensupervisi dan berpartisipasi dalam susunan dalam suatu kerangka (framework) nasional yang disetujui bagi penilaian kinerja guru yang mengajar dalam FITK, b) memastikan bahwa semua staf di FITK memiliki akses untuk dinasehati dan dilatih sesuai dengan kebutuhan mereka menurut kebijakan menyediakan (maintaining) kekuasaan (authority) untuk pengembangan staf. 9) management information Tugas manajemen pendidikan yang kesembilan adalah memberikan atau menyediakan informasi tentang pekerjaan dan kinerja yang dilakukan oleh staf di FITK di mana hal ini relevan dengan pengembangan masa depan mereka. 10) pupil progress Tugas manajemen pendidikan yang kesepuluh adalah memastikan bahwa kemajuan murid FITK adalah dimonitor dan direkam (dicatat). 11) pastoral care Tugas manajemen pendidikan yang kesebelas adalah menentukan dan memastikan implementasi kebijakan untuk kepedulian membimbing mahasiswa. 12) discipline Tugas manajemen pendidikan yang keduabelas adalah menentukan, menurut pernyataan (statement) prinsip umum yang diberikan baginya dengan memerintahkan diri, mengukur untuk diambil dengan pandangan untuk dipromosikan diantara murid, disiplin diri dan tergantung pada kekuasaan yang memadai, menegakkan perilaku
9
yang baik sebagai bahagian dari murid. Menyediakan hubungan (liaison) dengan FITK lain dan pembangunan pendidikan lanjutan dimana FITK tersebut memiliki hubungan. 13) resources Tugas
manajemen
pendidikan
ketigabelas
adalah
mengalokasikan,
mengawasi dan menghitung sumber-sumber keuangan dan material FITK yang berada di bawah kekuasaan kepala FITK. 14) premises Tugas manajemen pendidikan keempatbelas adalah membuat susunan, jika terpenuhi dengan memerintah diri sendiri atau menyediakan kekuasaan, untuk keamanan dan supervisi yang efektif dari gedung FITK dan isinya serta dasar-dasar FITK; dan memastikan (jika terpenuhi) bahwa beberapa kekurangan dari pengadaan adalah dilaporkan untuk menyiapkan kekuasaan, atau jika tersedia, memerintahkan diri. 15) appraisal of headmaster Tugas manajemen pendidikan yang kelimabelas adalah a) melibatkan (participating) dalam beberapa susunan dalam suatu kerangka nasional yang disetujui bagi penilaian kinerjanya (dalam hal ini) sebagai dekan. 16) absence Tugas manajemen pendidikan yang keenambelas adalah menyusun wakil kepala FITK atau orang lain yang sesuai dengan asumsi tanggungjawab (responsibility) untuk diberhentikan dari fungsinya sebagai dosen dalam suatu waktu ketika ia tidak berada (absent) dari fakultas. 17) teaching Tugas manajemen pendidikan yang ketujuhbelas adalah melibatkan diri dalam pengajaran, serta menggantikan tugas yang lain, dalam mengajar mahasiswa di FITK. Dari ke-17 tugas manajemen pendidikan tersebut, dalam pelaksanan tugas manajemen pendidikan, mestilah dilakukan oleh seorang pemimpin (leader/manager) yang memiliki sikap, pemikiran dan tingkah laku positif terhadap organisasi
10
pendidikan. Menurut Everal 6 seorang pemimpin (leader/manager) yang memiliki sikap, pemikiran dan perilaku positif dan negatif akan ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: The positive manager
The negative manager
Acts
Is a victim
Accepts responsibility
Blames others
Is objective
Is subjective
Listen and responds
Reject suggestions
Proposes solutions
Criticizes
Delegates
Is incapable of delegation
Sees opportunities
Sees threats
Has breadth of vision
Is preoccupied with detail
Faces up to problems
Conceals problems
Confronts source of problems
Talks about source of problems
Learns
Is taught
Has foresight
Has hindsight
Gambar: Perilaku positif dan negatif manajemen, Sumber: Everald, K.B & Morris G (1985), Effective School Management, Paul Chapman Publishing Ltd. C. Peran dan Posisi Strategis Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK IAIN STS Jambi yang lahir pada tanggal 11 Juli 1965 merupakan salah satu fakultas tertua di IAIN STS Jambi. Dalam usianya yang sudah mencapai 48 tahun, FITK telah melahirkan alumni yang telah berkiprah diberbagai tingkatan dan satuan pendidikan, baik di Provinsi Jambi, maupun di luar Provinsi Jambi. Mainstream guru pada tingkatan dan satuan pendidikan, hendaknya menjadi penekanan yang serius, baik dilihat dari sisi standar IPK lulusan, maupun kemampuan metodologis dan content pengajaran yang diberikan kepada peserta didik. 6
Everald, K.B & Morris G (1985), Effective School Management, Paul Chapman Publishing Ltd.
11
Kehadiran guru termasuk guru agama dalam proses pembelajaran atau pengajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran ini belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh komputer yang paling modern sekalipun, masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut.7 Karena itu, guru merupakan posisi kunci dalam membekali peserta didik dengan sejumlah kompetensi. Profesionalitas guru yang ditandai dengan efektivitas kinerja seorang guru yang berprestasi dalam mengajar8 akan mengantarkan peserta didik pada upaya pembekalan kompetensi dasar yang harus dimiliki pada masingmasing tingkatan. FITK IAIN STS Jambi sebagai pusat keunggulan (centre of excellence) diharapkan mampu untuk menggali dan menumbuh kembangkan, sekaligus menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keislaman sebagai tanggung jawab ilmiah dan keagamaan. Upaya ini harus diorientasikan atas kepentingan peserta didik dan masyarakat sebagai pengguna jasa (stakeholder) pendidikan. Kepemimpinan FITK menjadi kata kunci membawa FITK menjadi fakultas yang unggul dan berdaya saing. Visi dekan dan unsur pimpinan lainnya menjadi barometer
kemajuan
fakultas.
Penerapan
kepemimpinan
visioner,
gaya
kepemimpinan variatif, serta penerapan sistem reward dan funishment yang baik akan memungkinkan lahirnya FITK yang unggul dan berdaya saing tinggi. Namun, lemahnya peran dan posisi yang mungkin diemban oleh FITK IAIN STS Jambi, dipandang telah berkontribusi memperlemah kompetensi dan profesionalitas yang semestinya dimiliki oleh peserta didik dalam menjalani pendidikan, terdapatnya sejumlah kepala FITK/madrasah dan guru yang melakukan tindakan amoral, menumpuknya lulusan pendidikan tinggi yang belum dapat berkontribusi secara maksimal diberbagai sektor khususnya sektor pendidikan, juga 7
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung, Sinar Baru, 1989), hal. 12.
8
Richard J. Stiggin, Student Centered Classroom Assessment (New York:McMillan College Publishing Company, Inc, 1994), hal. 187.
12
mengindikasikan gagalnya FITK mengadopsi kebutuhan dan keinginan pihak pengguna lembaga pendidikan tinggi di Provinsi Jambi. Menurut Edward Sallis dalam TQM, semestinya lembaga pendidikan memproduksi SDM yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen “pasar”. Sesungguhnya, inilah sejumlah kewajiban dasar FITK utamanya dalam menyikapi persoalan peran dan posisi FITK, sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab dalam menyiapkan SDM pendidikan lokal, nasional bahkan global. Tanggung jawab yang ditunjukkan ini tidak saja bagaimana melakukan rekrutmen mahasiswa dalam rangka mengejar kuantitas, tetapi juga harus lebih mengutamakan pada kualitas pelayanan pendidikan yang diselenggarakan, yang pada prinsipnya akan meningkatkan mutu pendidikan di mana mereka mengabdikan ilmu nantinya. Hadirnya Program Pendidikan Tenaga Teknis dan Masyarakat/LPTKA (Lembaga Pengembangan Tenaga Kependidikan Agama) dan sertifikasi guryang bertujuan meningkatkan kompetensi Guru Agama di madrasah, pesantren dan FITK menjanjikan harapan yang besar bagi output pendidikan ke depan. Sasarannya tidak lain adalam dalam rangka well educated, highly perfirmance dan well paid. D. Pengembangan FITK dalam Perspektif Managerialship Konsep kepemimpinan dalam pendidikan berbeda-beda sesuai dengan keragaman masyarakat dan budayanya 9 , karena itulah pengelolaan suatu lembaga pendidikan dari suatu daerah harus dikelola sesuai dengan keragaman masyarakat dan budayanya. Selain itu, perbedaan interpretasi kepemimpinan (leadership) akan merefleksikan cara pandang (way of looking) yang berbeda dalam memimpin pendidikan, termasuk dalam pengembangan FITK. Cara pandang yang berbeda ini akan menentukan strategi dan upaya yang berbeda pula dalam mengembangkan FITK bagi setiap FITK yang ada. Salahsatu strategi, dan upaya melakukan pengembangan FITK dalam perspektif managerialship adalah melakukan perbaikan manajemen fakultas, reward 9
Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam: Meneguhkan Epistemologi Keilmuan, Menggerakkan Pendidkan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013, hal.140.
13
dan funishment yang jelas, peningkatan SDM dosen secara berkelanjutan (dalam dan luar negeri), pengembangan sistem informasi pendidikan berbasis ICT, peningkatan karya ilmiah yang terakses secara on-line, pengembangan sarana dan prasarana pembelajaran modern secara berkelanjutan, keterlibatan dosen dalam berbagai aktivitas akademik ekstern kampus, perlunya dibangun pusat studi sesuai dengan rumpun keilmuan yang dikembangkan dan sejumlah strategi dan upaya lainnya. E. Dari mana Kita Mulai Bertitik tolak dari isu-isu yang berkembang selama ini, maka tidak ada pilihan lain bagi FITK dalam rangka melakukan peran strategisnya kecuali menata manajemen pengelolaan FITK. Menurut Edward Sallis10manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan kepada kepuasan pelanggan sebagai sasaran utama. Pelanggan dapat dibedakan kepada pelanggan dalam (internal customer seperti institusi itu sendiri, manager, dosen, karyawan dan penyelenggaran institusi dan pelanggan luar (external customer) seperti masyarakat, pemerintah dan industry. Menurut Edward Sallis11, ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menjalankan Total Quality Management, yaitu, pertama, perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement), kedua, menentukan standar mutu (quality assurance), ketiga, perubahan kultur (change of culture), keempat, perubahan organisasi (upside-down organization), dan kelima, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close to the customer). Dilihat dari total Quality Management ini, maka perlu dilakukan penataanpenataan di bidang birokrasi kepemimpinan, penataan SDM, penataan kelembagaan, penataan manajerial, sumber belajar, budaya akademik, pembiayaan/finance, networking dan webworking, sarana dan prasarana, serta mempertahankan kualitas jasa pendidikan.
10
Edward Sallis, Total Quality Management in Education: Manajemen Mutu Pendidikan,Jogjakarta: IRCiSoD, CET. XVI, Juli 2012, hal. 6. 11 Edward Sallis, Total Quality Management in Education: Manajemen Mutu Pendidikan,Jogjakarta: IRCiSoD, CET. XVI, Juli 2012, hal.7.
14
D. Penutup Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat disampaikan dalam seminar nasional dengan tema ”Pengembangan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Unggul dan Berdaya Saing ini. Untuk tujuan ke arah itu, paling tidak makalah ini berupaya memberikan suatu refleksi tentang upaya peningkatan Peran dan Posisi Strategis FITK dalam mendukung Pengembangan FITK menjadi Unggul dan Berdaya Saing. Semoga ada manfaatnya, sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada-Nya, Aamin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jambi, 27 Januari 2014 Pemateri,
Samsu, M.Pd.I.,Ph.D.
15
Daftar Pustaka
Edward Sallis, Total Quality Management in Education: Manajemen Mutu Pendidikan, Jogjakarta: IRCiSoD, CET. XVI, Juli 2012. Everald, K.B & Morris G (1985), Effective School Management, Paul Chapman Publishing Ltd. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung, Sinar Baru, 1989. Richard J. Stiggin, Student Centered Classroom Assessment, New York:McMillan College Publishing Company, Inc, 1994. Richard Nicholson, School Management: The Role of the Secondary Headteacher, London: Kogan Page, 1989. Suryadharma Ali, Reformasi Paradigma Keilmuan Islam: Meneguhkan Epistemologi Keilmuan, Menggerakkan Pendidkan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013. Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3rd edition, London: Sage Publication, 2003.
1 REKONSTRUKSI KURIKULUM MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM: MERANCANG KEUNGGULAN BERBASIS STAKEHOLDER Rusmini Jurusan Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Jambi-Muara Bulian Km.16 Simpang Sungai Duren Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi
[email protected] Abstrak Globalisasi pendidikan menuntut perguruan tinggi untuk lebih terbuka dalam melakukan daya banding dan daya saing (benchmark) di tengah lingkungannya, baik dalam skala lokal maupun global. Antisispasi ke arah ini, telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, secara tegas tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan, pada dasarnya standar nasional pendidikan ini ditetapkan untuk memastikan dan menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutui. Namun, dalam prakteknya mutu perguruan tinggi masih saja menghadapi persoalan sebagai akibat dari kumulasi yang persoalan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Hal ini tentunya menuntut jurusan Manajemen Pendidikan Islam sebagai salah satu sub sistem di dalam IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi untuk melakukan rekonstruksi dan inovasi kurikulum dengan merancang keunggulan berbasis stakeholder, seiring dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Kata Kunci: Rekonstruksi Kurikulum, Keunggulan Berbasis Stakeholder
A.
Pendahuluan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sangat concern dalam mengemban visi dan misi pendidikan. Banyak hal yang dilakukan, khususnya dalam melahirkan sarjana di bidangnya, namun tetap saja kiprah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi harus selalu menyesuaikan diri
2 dengan perkembangan zamannya. Sebuah tuntutan dan keharusan yang harus dilakukan oleh IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi adalah mempersiapkan lulusan yang berkualitas, unggul, dan memiliki daya saing tinggi, serta bermanfaat bagi stakeholder-nya. Tidak ada pilihan lain untuk mempersiapkan
lulusan
demikian,
kecuali
dengan
merekonstruksi
kurikulum, yaitu dengan menerapkan Kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Hal ini dapat dipahami, karena kurikulum merupakan ukuran tingkat keberhasilan pendidikan yang ditawarkan dalam lembaga pendidikan (perguruan tinggi). Dan perguruan tinggi dengan ranah Tri Dharmanya memiliki kewenangan untuk memikirkan tentang rekonstruksi kurikulum ini, agar dapat lebih fungsional dan memberikan keunggulan kepada stakeholder. Dalam persiapan ke arah tersebut, sejumlah persoalan yang dihadapi perguruan tinggi kita selama ini, khususnya yang terkait dengan kurikulum, antara lain: 1) Masih banyaknya recehan/tagihan mata kuliah. 2) Belum kuatnya landasan filosofi kurikulum pada sejumlah fakultas (persoalan yang diajarkan pada peserta didik/mahasiswa; content atau metodologi). 3) Terlalu banyaknya muatan satuan kurikulum (mata kuliah) yang ditawarkan dengan bobot SKS yang kecil. 4) Belum memadai dosen pada sejumlah mata kuliah tertentu. 5) Prosentase
kurikulum
antara
komponen
Intitut,
fakultas,
dan
jurusan/program studi yang belum mengarah pada pengembangan kompetensi peserta didik (mahasiswa). 6) Pada
tawaran
mata
kuliah
komponen
Institut,
Fakultas,
dan
Jurusan/Program Studi ditawarkan secara acak (idealnya pada tingkatan semester paling bawah/kecil ditawarkan kurikulum komponen Institut, baru kemudian fakultas dan jurusan/program studi), sehingga memberikan pemahaman yang komprehensif pada mahasiswa, hal ini
3 dimaksudkan untuk memberikan landasan pengetahuan yang kuat, pengetahuan
yang
utuh,
serta
menjurus
sesuai
dengan
jurusan/program studi pilihan. 7) Belum tersedianya silabus pada sejumlah fakultas dan jurusan/program studi, sehingga menyulitkan dosen dalam mengajar, dan juga akan berimplikasi pada rendahnya kualitas mahasiswa. 8) Belum tersedianya buku daras yang memadai, yang mendukung pengembangan silabus (kurikulum), dan sejumlah persoalan lainnya. Lebih lanjut, hal ini pula yang dihadapi oleh jurusan Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, sehingga perlu adanya rekonstruksi kurikulum, yang saat ini dimaknakan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). B.
Komponen Pengembangan Kurikulum Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari1. Istilah kurkulum ini kemudian berkembang, hingga pada akhirnya kurikulum dapat dipahami sebagai landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental.2” Menurut Webster Dictionare tahun 1955, kurikulum didefinisikan sebagai: ”a course, especially a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree” Pada definisi ini terkandung makna bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran di sekolah atau akademi/college yang harus ditempuh oleh siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu degree (tingkat) atau ijazah.3
1
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, h. 56. 2 Ibid. 3 Syafruddin Nurdin dan Bayiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 33.
4 Bahkan ada yang mendefinisikan bukan hanya terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi meliputi aktivitas dalam rangka mempengaruhi belajar peserta didik di lembaga pendidikan, bahkan yang tidak kalah pentingnya kurikulum didesain untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Upaya untuk mewujudkan perguruan tinggi yang demikian, sebenarnya menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk sarana dan fasilitas lembaga yang ada. Akan tetapi yang menjadi posisi kunci (key position) adalah desain kurikulum termasuk para pimpinan, karena bagaimanapun baiknya mutu raw input (mutu mahasiswa yang masuk), dosen yang profesional dan berprestasi, sarana dan fasilitas yang menunjang, lingkungan masyarakat yang mendukung, atau pengajarannya yang baik, tidak akan banyak memberikan andil dalam mewujudkan perguruan tinggi yang berkeunggulan, apabila kurikulumnya kurang didesain dengan baik, termasuk adanya dukungan dari para pimpinan. Di sisi lain, rekonstruksi kurikulum IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dapat dilakukan melalui hearing pendapat dari fakultas, membangun filosofi kurikulum, desain kurikulum, uji kelayakan, dan
pembentukan
silabus per fakultas yang dapat diakses oleh semua pihak. Dalam implementasinya, perlunya dibangun dan dilakukan penataan sistem dengan membangun wacana dan wawasan bahwa pengembangan melalui rekonstruksi kurikulum yang dilihat sebagai suatu sistem. Karena itu, semua potensi, sumber daya, peluang, kelemahan, serta resiko pengelolaan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi secara keseluruhan sebagai sistem dapat saling mempengaruhi manajemen kurikulum, yang karenanya sistem tersebut perlu ditata dengan lebih profesional, termasuk pengelolaan kurikulumnya. Atas dasar ini, maka, semua fakultas yang ada, yaitu Syari’ah, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Ushuluddin, Adab dan Humaniora, Ekonomi dan Bisnis Islam, Pascasarjana dan unit-unit lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum. Kelemahan
5 suatu sistem pada bagian atau unit-unit ini, pada hakekatnya harus dipahami sebagai kelemahan IAIN secara keseluruhan. Desain kurikulum haruslah berangkat dari visi dan misi IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, pengembangan fakultas/jurusan/program studi, aspek potensi peserta didik, aspek pengembangan sikap mental, aspek pengembangan potensi dasar peserta didik, aspek tagihan belajar, aspek kebutuhan dan lapangan kerja. Dari sisi atau aspek kepemimpinan, perlu dipahami dan dikritisi komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dalam arti perlunya menggali secara terus-menerus pertanyaanpertanyaan mendasar serta berusaha mencari alternatif jawabannya mengenai hal-hal yang terkandung dalam masing-masing komponen: 1. Komponen dasar; yang meliputi dasar-dasar filosofik, sosiologik, kultural, psikologik, orientasi, tujuan pendidikan, prinsip-prinip kurikulum yang dianut, fungsi kurikulum. 2. Komponen
pendidik;
yang
meliputi
kode
etik
pendidik/dosen,
kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, seperti pendidikan prajabatan, in service training, penataran, dan sebagainya. 3. Komponen materi; meliputi jenis, ruanglingkup materi, urutan sistematika atau sekuensinya, sumber acuannya. 4. Komponen penjenjangan; meliputi graded atau non-graded system, tahun penjenjangan, terminasi, sistem SKS atau paket, dan penjurusan. 5. Komponen sistem penyampaian (delivery system); meliputi strategi dan pendekatannya,
metode
pengajarannya,
pengaturan
kelas,
dan
pemanfaatan media pendidikan. 6. Sistem evaluasi; meliputi konsep dasar tentang kriteria keberhasilan, sistem penilaian, macam evaluasinya, masalah tes atau bentuknya, inspeksi/penilikan/pengawasan. 7. Komponen
peserta
didik
(input);
meliputi
persyaratan
masukan
(rekrutmen), kualitas peserta didik yang diharapkan, kuantitas peserta
6 didik, latar belakang peserta didik: pendidikan, sosial, budaya, agama, pengalaman hidup, potensi, minat, bakat, dan inteligensinya. 8. Komponen proses pelaksanaan; meliputi pola belajar mengajarnya: presentasi, independent study, interaksi; expository approach, inquiry aproach, intensitas dan frekuensinya, interaksi pendidik-peserta didik, dan /atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan tatap muka, pengelolaan kelas dan penciptaan suasana di dalam kelas. 9. Komponen keluaran /output (tindak lanjut); meliputi kualitas output atau keluaran yang berhasil, organisasi alumni sebagai media pendidikan lanjut antara pendidik dan peserta didik, bimbingan lanjut melalui buletin, reuni, dan sebagainya. 10. Komponen organisasi kurikulum; meliputi sentralisasi atau desentralisasi, pola organisasi kurikulum, real curriculum, hidden curriculum, openended curriculum, kegiatan intra/ekstra kurikuler. 11. Komponen bimbingan dan konseling; meliputi strategi pedekatan (tradisional, developmental, atau neo-tradisional), pengorganisasian, dan proses layanan. 12. Komponen administasi pendidikan, meliputi manajemen kelembagaan, ketenagaan, hubungan antara orang tua dan masyarakat. 13. Komponen sarana dan prasarana; meliputi buku teks, perpustakaan, laboratorium/studio,
perlengkapan
kelas,
media
pendidikan
atau
pengajaran, gedung pendidikan. 14. Komponen usaha pengembangan; meliputi adanya evaluasi dan inovai kurikulum,penelitian, perencanaan pengembangan jangka pendek, menengah, dan panjang, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dan lain-lain,penerbitan, kerjasama dan hubungan luar. 15. Komponen biaya pendidikan; meliputi sumber biaya dan alokasinya, perencanaan dan pembiayaan pendidikan, sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya.
7 16. Komponen lingkungan;meliputi suasana kelas, peguruan tinggi, di sekitar perguruan tinggi, suasana di daerah stempat (lokal), regional, nasional dan global 4. C.
Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Stakeholder Masalah mutu merupakan isu menarik dan tidak dapat ditawartawar lagi dalam pengembangan sebuah perguruan tinggi termasuk di jurusan Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Peningkatan mutu sebenarnya merupakan masalah yang erat kaitannya dengan kebijakan (policy), komitmen, dan prioritas dari pengembangan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi secara menyeluruh. Tetapi masalah kultur dan iklim, serta rasa optimisme menjadi masalah lain yang juga harus dibangun agar peningkatan mutu lulusan, lembaga dan sumber daya manusia dapat lebih meningkat dan berkembang. Peningkatan mutu lulusan, lembaga dan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro dapat
dikembangkan
transparansi (karyawan)
melalui
(keterbukaan), dengan
penataan
pemberdayaan
keunggulan
sistem SDM
kompetitif,
birokrasi, dosen,
adanya dan
optimalisasi
staf
jaringan,
profesionalitas administrasi dan manajemen, penataan mutu input, proses, dan output, menjalin hubungan sinergis dengan stakeholder (pemerintah, swasta, dan pemerintah), mencari sumber-sumber termasuk sumber pembiayaan untuk memajukan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Sedangkan pendekatan mikro dapat dilakukan melalui penataan fakultas yang ada mulai dari fakultas Syari’ah, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Ushuluddin,
Adab
dan
Humaniora,
Ekonomi
dan
Bisnis
Islam,
Pascasarjana sampai kepada penataan lembaga dan unit pelaksana teknis,
4
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003, h. 184-186.
8 serta menjalin hubungan kerja sama, termasuk dalam hal ini penataan kurikulumnya. Di sisi lain, perlu pula untuk dikembangkan dan ditingkatkan mutu pembelajaran,
dan
proses
perkuliahan
pada
jurusan
Manajemen
Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Peningkatan mutu pembelajaran dapat dilakukan melalui penataan dosen, perangkat administrasi yang memadai, penyediaan dan penataan kurikulum (silabus) yang dapat diakses dengan mudah oleh dosen dan mahasiswa dalam pengembangan diri, sampai kepada pengembangan metode dan strategi mengajar secara bervariasi. Mutu proses pendidikan (perkuliahan) juga merupakan masalah yang memerlukan penekanan yang cukup berarti, baik dilihat dari sisi budaya akademisnya, maupun dari sisi kurikulumnya apakah memenuhi kebutuhan stakeholder atau tidak. Budaya akademis merupakan nilai etnografis sebagai kesatuan yang kompleks dan meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni,
moral,
hukum,
kebiasaan,
dan
kemampuan-
kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dihasilkan oleh civitas akademika. Budaya akademis inilah yang akan menjadi ciri khas, karakter, dan citra perguruan tinggi tersebut di tengah masyarakat luas. Peningkatan mutu proses pendidikan melalui peningkatan budaya akademis ini dapat dilakukan melalui terciptanya suasana akademis yang baik yang dapat ditandai antara lain melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran secara bermutu dan terukur, tumbuhnya research university secara baik, serta meningkatnya bentuk dan jenis pengabdian secara internal dan eksternal perguruan tinggi.
9 Strategi Lembaga Pendidikan Bermutu, dikreasikan Towsend (1994) 1. Indentifikasi Kebutuhan Masyarakat
2. Pengembangan Visi, Misi, Program Lembaga, dan Standar
3. Pengembangan Tujuan Umum Perguruan Tinggi
4. Pengembangan Kebijakan PT
5. Pengembangan Tujuan Spesifik Kurikulum (Nomenklatur)
5. Pengembangan Tujuan Spesific Masyarakat
6. Proses isu-isu
7. Pengembangan Kurikulum
7. Pengembangan Program (Action Plan)
8. Aktivitas Spesifik di Kelas (Kuliah)
8. Aktivitas Spesifik di Masyarakat
9. Evaluasi Program
10. Evaluasi Proses
11. Evaluasi kembali kebutuhan-kebutuhan Masyarakat
10 D. Rekonstruksi Kurikulum: Sebuah Inovasi Mengembalikan Citra dan Realitas Lulusan Rekonstruksi kurikulum ini tentu dapat bermakna sebuah inovasi yang mempunyai arti membuat perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang baru. Inovasi kadang pula diartikan sebagai penemuan, namun berbeda maknanya dengan penemuan dalam arti discovery atau invention (invensi). Discovery mempunyai makna penemuan sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu telah ada sebelumnya, tetapi belum diketahui. Sedangkan invensi adalah penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kegiatan manusia. Inovasi diartikan penemuan dimaknai sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang baik berupa discovery maupun invensi untuk mencapai tujuan atau untuk memecahkan masalah tertentu. Dalam inovasi tercakup discovery dan invensi. Inovasi dapat menjadi positif atau negatif. Inovasi positif didefinisikan sebagai proses membuat perubahan terhadap sesuatu yang telah mapan dengan memperkenalkan sesuatu yang baru yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Inovasi negatif menyebabkan pelanggan enggan untuk memakai produk tersebut karena tidak memiliki nilai tambah, merusak cita rasa dan kepercayaan pelanggan hilang. Persoalan-persoalan
inovasi
dalam
kehidupan
organisasi
tidak
terlepas dari empat macam faktor, yaitu (a) inovator (agent of change), (b) inovasi itu sendiri, (c) adopter inovasi (orang atau lembaga yang mengadopsi inovasi), dan (d) proses inovasi itu sendiri yang membutuhkan waktu banyak. 5 Di lingkungan kehidupan organisasi, keinovasian dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (a) pimpinan dan individu-individu tertentu sebagai inovator, (b) karakteristik internal dari struktur organisasi, dan (c) karakteristik eksternal organisasi. 6 Rogers menggambarkan sisi tersebut seperti terlihat dalam gambar berikut:
5
Harris dan Prescott dalam Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan (Jambi, SAPA Project, 2004), hal.79. 6 Ibid. Hal.80.
11 Karakteristik leader atau individu
Karakteristik internal struktur organisasi
Keinovatifan Organisasi
Karakteristik eksternal organisasi Berdasarkan gambar di atas, ditunjukkan bahwa dari sudut individu, jika yang menjadi inovator adalah unsur pimpinan, maka organisasi akan menjadi diuntungkan. Demikian pula dari sudut karakteristik internal (struktur organisasi) dan eksternal organisasi memberikan pengaruh yang cukup positif terhadap munculnya inovasi di tubuh organisasi. Apabila ketiga faktor ini tidak mendukung proses inovasi pada sebuah lembaga pendidikan, maka hal-hal ini justru akan menjadi faktor penyebab gagalnya inovasi pada lembaga tersebut. Dalam teori Diffusion of Innovations yang dikembangkan Rogers adalah suatu teori yang berusaha menjelaskan bagaimana, mengapa, dan seberapa cepat ide-ide baru dan teknologi menyebar melalui berbagai budaya. Difusi inovasi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para anggota suatu sistem sosial. Artinya difusi inovasi bisa berbeda prosesnya serta berbeda juga hasilnya pada berbagai bentuk ide atau teknologi baru. Ada empat elemen difusi yang mempengaruhi proses yaitu: 1. Inovasinya, yaitu ide, praktek atau objek yang dianggap baru oleh masayarakat. 2. Saluran komunikasi dimana pesan diteruskan dari individu ke individu. 3. Waktu, yaitu rentang waktu yang diperlukan dalam penciptaan ide baru serta waktu adopsi dalam suatu sistem sosial. 4. Sistem sosial, suatu kesatuan yang saling terkait yang terlibat dalam pemecahan masalah secara bersama untuk mencapai tujuan bersama.
12 Rogers juga menyampaikan beberapa faktor yang mempengaruhi difusi inovasi diantaranya karakteristik inovasi, karakteristik individu, dan karakteristik jaringan sosial. Faktor-faktor ini ikut mempengaruhi proses difusi inovasi ke masyarakat. Dalam hal ini, kegagalan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihindari dalam sebuah inovasi. Inovasi yang gagal seringkali merupakan ide-ide yang bagus, hanya saja di tahap berikutnya ide-ide tersebut menghadapi kendala biaya, kurangnya skill atau kadang ketidaksesuaiannya dengan tujuan organisasi saat itu. Penyebab
kegagalan
inovasi
ini
sudah
banyak
diteliti
dan menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa penyebabnya berasal dari luar organisasi (eksternal) sehingga sulit untuk mengendalikannya, dan beberapa lainnya berasal dari dalam organisasi (internal). Penyebab internal bisa dibagi menjadi penyebab yang berhubungan dengan struktur budaya organisasi dan penyebab yang berhubungan dengan proses inovasi itu sendiri. Proses penentuan tujuan agar berjalan efektif harus dengan bahasa yang jelas serta disampaikannya dengan cara yang mudah dipahami oleh setiap orang yang terlibat dalam proses inovasi. Kesesuaian antara inovasi yang akan dilaksanakan dengan tujuan organisasi harus tergambarkan secara eksplisit. Tiap inovasi harus bisa mewakili tiap tujuan. Partisipasi anggota tim mengacu pada sikap mental tiap individu dalam tim tersebut, dan masing-masing individu seharusnya mampu untuk bertanggung jawab pada tugas dan perannya. Selain itu untuk lebih memacunya perlu diterapkan sistem penghargaan/imbalan (reward), yang akan memberikan penghargaan apabila berhasil mencapai target dari tiap tujuan. Pemantauan terhadap hasil yang dicapai membutuhkan juga pemantauan terhadap tujuan/sasaran, pelaksanaan dan tim yang terlibat dalam proses inovasi. Inovasi bisa berhasil apabila secara terstruktur mampu menyatukan setiap individu dengan organisasi dalam mencapai tujuannya. Inovasi juga secara efektif diharapkan mampu memotivasi setiap individu agar tercipta
13 budaya organisasi yang mendukung dalam menciptakan masa depan yang jauh lebih baik. Dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan IAIN/UIN dalam meberikan pelayanan pendidikan kepada mahasiswanya, maka kurikulum IAIN/UIN haruslah didesain ulang, terutama distribusi mata kuliah keagamaan (keislaman), yang selama ini mendominasi. Karena itu, desain kurikulum IAIN/UIN haruslah dirancang sedemikian rupa untuk melayani semua fakultas dan jurusan umum, di samping memperhatikan kompetensi dasar pengetahuan keagamaan yang harus dimiliki. 7 Dalam rekonstruksi kurikulum tersebut, haruslah berangkat dari epistemologi keilmuan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi menuju UIN yang lebih dikenal dengan triangle excellence, yaitu akademis dalam berpikir, ahli dalam ilmu, terampil dalam berbuat, sehingga melahirkan kinerja yang islami. Berpikir akademis akan melahirkan proporsionalitas, seperti: 1. positif thinking 2. contructive thinking 3. smart thinking 4. creative thinking 5. productive thinking 6. art thinking (seni dan budaya) 7. harmonization thinking (balance) 8. normative thinking 9. excellence thinking 10. perfect thinking. Sedangkan ahli dalam ilmu (kompetensi) akan melahirkan kemampuan atau ahli dalam: 1. ahli dan mendalam pada ilmu jurusan/program studi 2. ahli ilmu fakutas 3. ahli ilmu institusi (lembaga IAIN) 7
Mukhtar, Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta, Mizaka Galiza, 2003, h. 267.
14 4. ahli ilmu penunjang kompetensi keilmuan (secara komprehensif) 5. ahli ilmu personality dan sosial 6. ahli ilmu yang mendukung profesi 7. ahli basic ilmu agama/agama, ahli ibadah, memahami ayat/surat-surat pendek, hadist, dan kitab kuning. Adapun skill / keterampilan / kecakapan dalam berbuat meliputi: 1. terampil menerapkan ilmu jurusan/program studi 2. terampil menerapkan ilmu fakultas 3. terampil menerapkan ilmu institusi (lembaga IAIN) 4. terampil dalam menerapkan ilmu penunjang kompetensi keilmuan (secara komprehensif) 5. terampil mengembangkan kepribadian, sosial dan profesi 6. terampil aplikasi agama, ibadah praktis, bahasa, teknologi, ayat dan hadits. Apabila ketiga keunggulan ini dapat diwujudkan, maka akan terwujud performance islami (inklusif dan universal), sebagai berikut: 1. saling kasih terhadap sesama 2. komitmen dan konsisten dengan ajaran agama 3. empati dan toleran beragama 4. solidaritas beragama 5. sadar bergama 6. menjaga kebersamaan dan persamaan 7. menjaga kinerja dari berbgai penyimpangan 8. sabar dan ikhlas dalam pengabdian 9. jujur dan bertanggung jawab dalam amanah 10. penampilan, sikap dan perilaku akhlakul karimah/islami Upaya
ini
dimaksudkan
untuk
memperluas
paradigma
dan
epistemologi keilmuan yang dikembangkan oleh IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, sehingga citra perguruan tinggi yang hanya mengemban ranah pengetahuan dan keagamaan saja, meningkat dengan ditandai dengan pengembangan pengetahuan umum. Kondisi seperti ini, akan mempengaruhi
15 citra perguruan tinggi. Selain dari itu pengembangan pengetahuan umum dimaksudkan untuk menjawab realitas kemasyarakatan yang tidak hanya dihadapkan
pada
pengembangan
pengetahuan
agama,
tetapi
justru
bersinergi dengan pengetahuan umum. Konteks ini sebenarnya sejalan dengan misi yang dikembangkan oleh Islam, yaitu adanya teologi ilmu. Dengan kata lain, bahwa dalam pandangan Islam, ilmu sebenarnya hanya berakar dari sumber yang satu, yaitu Tuhan, inilah yang kemudian kita kenal dengan ”teologi Ilmu”. Jika dalam pandangan Islam, konsep ilmu dipahami sebagai bagian yang utuh (integrated), maka tidak ada alasan untuk memisahkan antara pengetahuan umum dan agama tersebut, dan ini pulalah yang menjadi alasan mengapa IAIN harus merekonstruksi kurikulum, agar dapat menjawab realitas kebutuhan stakeholder pendidikan kita. Secara khusus, kebutuhan stakeholder tercermin dalam profil utama lulusan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, yaitu sebagai tenaga kependidikan bidang pengelolaan pendidikan pada sekolah/madrasah (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA,
pemerintah/swasata
SMK/MAK),
yang
perguruan
tinggi
menangani pendidikan.
dan
organisasi/instansi
Berakhlak
baik,
memiliki
pengetahuan luas dan mutakhir di bidangnya serta mampu melaksanakan tugas serta bertanggung jawab berlandaskan etika keislaman, keilmuan, dan profesi. Lulusan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam diharapkan mampu melakukan formulasi, implementasi, dan evaluasi, pada berbagai bidang garapan Manajemen Pendidikan Islam, yaitu bidang kurikulum, bidang sumber daya manusia pendidikan, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan (accounting), bidang administrasi perkantoran, dan bidang pemasaran (marketing) pendidikan.
16 E. Penutup Demikianlah pokok-pokok pikiran mengenai Rekonstruksi Kurikulum Manajemen Pendidikan Islam: Merancang Keunggulan Berbasis Stakeholder. Mudah-mudahan dapat memberikan inspirasi bagi kita semua dan apa yang dilakukan saat ini, tidak lain adalah untuk memberikan penguatan kelembagaan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, agar dapat menjalankan fungsi organiknya sebagai lembaga pemerintah yang mengemban misi pendidikan khususnya pendidikan tinggi Islam secara lebih profesional dan menjawab kebutuhan stakeholder pendidikan.
17 DAFTAR PUSTAKA
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan. Jambi, SAPA Project, 2004. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003. Mukhtar, Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta, Mizaka Galiza, 2003. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Syafruddin Nurdin dan Bayiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press, 2002.