PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 2975/ K/Pdt/2009 MENGENAI HASIL PENELITIAN TERHADAP SUSU FORMULA YANG DIDUGA TERKONTAMINASI ENTEROBACTER SAKAZAKII (Diteliti di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia) PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) Diajukan sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana hukum
oleh : HARI WIRAWAN 010102002 Bagian Hukum Keperdataan dan Hukum Acara Perdata Konsentrasi Hukum Perdata Di bawah bimbingan : AGUS SATORY, S.H., M.H. YEYEN HERYANINGRUM, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR 2012
PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 2975 /K/Pdt/2009 MENGENAI HASIL PENELITIAN TERHADAP SUSU FORMULA YANG DIDUGA TERKONTAMINASI ENTEROBACTER SAKAZAKII (Diteliti di Badan Pengawas Obat dan Makanan)
Oleh Hari Wirawan ABSTRAK
Pelaksanaan putusan atau eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena hal tersebut di atas bahwasanya Putusan Mahkamah Agung Nomor. Nomor 2975 K/Pdt/2009 mengenai hasil penelitian terhadap susu formula yang di duga terkontaminasi Enterobacter sakazakii yang mewajibkan Institut Pertanian Bogor, Badan POM dan Kementerian Kesehatan untuk mengumumkan hasil penelitian selama 3 tahun, yaitu periode 2003-2006 yang telah mengungkapkan hasil penelitiannya sebanyak 22,73% susu formula dan makanan bayi mengandung Enterobacter Sakazakii harus segera ditaati. Permasalahannya sampai saat ini putusan tersebut belum dilaksanakan. Upaya yang dilakukan Mahkamah Agung adalah mempersilahkan pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh upaya lanjutan.
A. Latar Belakang Pada tanggal 17 Februari 2008 Institut Pertanian Bogor (untuk selanjutnya disingkat IPB) telah melakukan penelitian mengungkapkan hasil penelitiannya pada Februari 2008. Sebanyak 22,73 persen susu formula dan makanan bayi mengandung Enterobacter sakazakii. Bakteri ini berbahaya bagi organ tubuh seperti pembuluh darah, selaput otak, saraf tulang belakang, limpa, dan usus bayi.1
1
http://www.tempointeraktif.com, diakses hari kamis, 10 Februari 2011.
1
Penelitian tersebut dilakukan selama 3 tahun terhadap 22 sampel susu yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii antara tahun 2003-2006. Penelitian dilakukan terhadap tikus yang diinfeksi enterobacter. Hasilnya tikus itu mengidap enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Penelitian yang diketuai oleh seorang dosen IPB yang bernama Sri Estuningsih yang di publikasikan melalui website Institut Pertanian Bogor, dimana kesimpulan tersebut adalah bahwa di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh Enterobacter Sakazakii yang dapat menghasilkan enterotoksin tahan panas yang menyebabkan terjadinya enteritis, sepsis dan meningitis pada model anak mencit neonates, laporan mengenai infeksi enterobacter sakazakii menunjukkan bahwa bakteri ini dapat menyebabkan radang selaput otak dan radang usus pada bayi. Kelompok bayi yang memiliki risiko tertinggi terinfeksi enterobacter sakazakii yaitu neonates (baru lahir hingga umur 28 hari), bayi dengan gangguan sistem tubuh, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human immunodeficiency Virus (HIV). Tetapi IPB hanya mempublikasikan mengenai hasil dari penelitian, sedangkan mengenai produk susu formula apa saja (jenis dan mereknya) yang telah terkontaminasi tidak dipublikasikan. Dan semenjak dikeluarkan dan dipublikasikannya hasil penelitian tersebut, terjadi keresahan dalam masyarakat karena masyarakat tidak dapat mengetahui merek susu formula apa saja yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Badan Pengawas Obat dan Makanan (untuk selanjutnya disebut Badan POM) selaku Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki tugas pemerintahan melaksanakan pengawasan dibidang obat dan makanan, tidak juga memberikan penjelasan resmi kepada masyarakat. Kementerian Kesehatan juga tidak melakukan kewajibannya sebagai institusi pemerintah dengan tidak memberikan penjelasan mengenai produk dan jenis susu apa saja yang telah terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Kemudian, sejumlah pihak mendesak Kementerian Kesehatan, Badan POM dan IPB 2
mengumumkan susu formula yang tercemar tersebut. Namun, ketiganya menolak dengan beberapa alasan antara lain pertimbangan etika, dan penelitian belum teruji pada manusia tetapi pada tikus, dan belum ditemukan kasus bayi yang terinfeksi enterobacter setelah mengkonsumsi susu. Akhirnya pengacara David M.L. Tobing menggugat IPB, Badan POM, dan Menteri Kesehatan untuk mengumumkan penelitian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Maret 2008. Sebagai seorang ayah, David resah, sebab kedua anaknya mengkonsumsi susu formula. Pengadilan mengabulkan permohonan David pada Agustus 2008 agar pihak tergugat mengumumkan susu yang tercemar, namun ketiga pihak tergugat mengajukan banding. Pihak tergugat kembali kalah di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya. Badan POM, IPB dan Kementerian Kesehatan mengajukan kasasi. Pada 26 April 2010, Mahkamah Agung memutuskan tiga pihak mengumumkan seluruh merek susu formula melalui media massa yang memuat informasi rinci dan transparan melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 2975 K/Pdt/2009. Sampai saat ini ketiga Pihak Badan POM, IPB dan Kementerian Kesehatan belum menjalankan Putusan Mahkamah Agung tersebut.
B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen dan Pelaksanaan Putusan Rumusan perngertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ”segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun Undang-Undang ini disebut (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha
tidak
ikut
menjadi
perhatian,
3
teristimewa
karena
keberadaaan
perekonomian banyak ditentukan oleh pelaku usaha.2 Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam UUPK dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat (Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Pengertian ini tidak terbatas hanya pada persoalan yang menyangkut hubungan antara hukum dan kegiatan ekonomi, tetapi di dalamnya mencakup substasi tentang pembagian hasil pembangunan ekonomi yang merupakan hak asasi manusia. Demikian pula, tidak terbatas hanya dalam bentuk peraturan tertulis, tetapi di dalamnya doktrin tentang cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi.3 Menurut UUPK Pasal 1 Angka 2 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, oranglain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha 2
Ahmadi Miru, „Pinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hal. 31. 3 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 2.
4
Milik Negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda pengenal lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (disingkat LPKSM) adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan mengenai perlindungan konsumen. Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antar pemerintah dan masyarakat. Dalam pengertian LPKSM yang menyebutkan istilah “lembaga non pemerintah” demikian pula penjelasan pasal ini sudah tepat. Akan tetapi karena dalam Pasal 1 angka 9 UUPK ini masih dibebani dengan syarat “terdaftar” teristimewa dengan syarat “diakui oleh pemerintah”, menimbulkan kesan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat produk pemerintah4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (disingkat BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan 4
Yusuf Shofie, 2002. “Menyoal Status Lembaga Perlindungan Konsumen”, artikel Koran Tempo, 11 Februari 2002.
5
konsumen. Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang, cepat, murah, efisien, dan profesional. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (disingkat BPKN) sebagai badan yang membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. Apabila ditelaah secara lebih mendalam, tampak bahwa kedudukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dalam pengertian tersebut memiliki persamaan dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional dalam pengertian tersebut memiliki persamaan dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1 angka 9 UUPK maka Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat merupakan lembaga yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Perbedaan terjadi dalam inisiatif pembentukannya, bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat inisiatif itu berasal dari arus bawah (buttom up), sementara Badan Perlindungan Konsumen Nasional inisiatif daatang dari arus atas (top down). Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas 6
bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement) atau RBG (Reglement Buitengewesten). Bagi setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi, harus merujuk ke dalam peraturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau RBG. Sering orang bicara tentang eksekusi, tetapi tidak tahu secara tepat di dalam perundang-undangan mana hal itu diatur. Padahal pedoman aturan tata cara eksekusi sudah lama diatur sebagaimana yang terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel keempat Bagian Keempat RBG. Oleh karena itu bagi Ketua Pengadilan Negeri atau panitera maupun juru sita, harus berpaling meneliti pasal pasal yang diatur lam bagian dimaksud apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut telah diatur pasal-pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan mulai dari:5
5
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 1.
7
1. Tata cara peringatan (aanmaning); 2. Sita eksekusi (executorial beslag); 3. Penyanderaan (gijzeling); Putusan yang bagaimana yang hendak dieksekusi, tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Artinya tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Berarti tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi, putusan yang belum dapat dieksekusi ialah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dijalankan. Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi ialah : a. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti : 1) Hubungan hukum tersebut harus ditaati dan 2) Mesti dipenuhi oleh pihak yang terhukum (pihak tergugat). 3) Cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. b. Putusan tidak dijalankan secara suka rela, putusan tidak dijalankan atau dipatuhi oleh pihak yang kalah baik sebagian ataupun seluruhnya. c. Putusan mengandung amar comdemnatoir. Ciri indikator yang menentukan suatu putusan bersifat comdemnatoir, yaitu dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat:6 1) Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang 2) Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah. 6
Ibid. hal. 13.
8
3) Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu. 4) Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau keadaan. 5) Menghukum atau memerintahkan “pembayaran” sejumlah uang. Dari apa yang diterangkan di atas, pada prinsipnya pelaksanaan putusan
merupakan tindakan paksa yang dilakukan pengadilan dengan
bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pada prinsipnya selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan. Dengan kata lain, selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan pelaksanaan putusan belum berfungsi. Pelaksanan putusan baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung : 1) Sejak tanggal putusan putusan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap
dan 2) Pihak tergugat (yang kalah), tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
C. Penyelesaian Sengketa Dibidang Perlindungan Konsumen Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaaan produk, baik
yang berupa kerugian
materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, yang secara garis besarnya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Menurut UUPK, penyelesaian dari permasalahan konsumen dapat dipecahkan melalui jalan peradilan maupun jalan non-peradilan. Mereka yang bermasalah harus memilih jalan untuk memecahkan permasalahan mereka. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah 9
(disingkat ARM) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (disingkat BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (disingkat LPKSM), Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui. Ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian non-peradilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan (lembaga peradilan) untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengakhiri tuntutan mereka di pengadilan jika penyelesaian non peradilan gagal. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK. Penunjukkan Pasal 45 dalam hal ini, lebih banyak tertuju pada ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila :
1. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau 2. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Satu hal yang harus diingat bahwa cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang umum berlaku selama ini, yaitu HIR/RBG. Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam penyelesaian sengketa konsumen menggunakan dan mengikuti hukum perdata maupun hukum acara perdata, berarti bila pengadilan sudah mengeluarkan sebuah keputusan pihak yang kalah dapat mengajukan banding maupun kasasi. Ketua Pengadilan Negeri setelah dia menerima pengajuan permintaan eksekusi dari pihak penggugat (pemohon eksekusi). Pengajuan pelaksanaan putusan disampaikan oleh penggugat ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan oleh penggugat pribadi ataupun kuasanya. Tentang kuasanya, ialah kuasa yang telah memperoleh kuasa khusus dari 10
penggugat. Apabila Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang perkara (penggugat, tindakan pelayanan hukum yang mesti dilakukannya memenuhi permohonan tersebut. Dengan memanggil tergugat (yang dikalahkan), memperingatkan supaya memenuhi atau menjalankan putusan dan masa peringatan itu tidak boleh lebih dari delapan hari. Agar tindakan peringatan yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri memenuhi tata cara formal yang bernilai otentik, peringatan harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang incidental tersebut diberitahukan permohonan eksekusi dari pihak penggugat dan agar tergugat menjalankan putusan dalam waktu yang ditentukan (selama masa peringatan). Penjelasan penerapan hukum dalam kasus ketidakhadiran pihak yang kalah memenuhi panggilan peringatan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 ayat (1) RBG.
D. Analisis dan Pembahasan 1. Kewenangan Mengadili Bahwa gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dasar sebagai berikut : Pasal 118 ayat (2) HIR, yang menyatakan : “Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal dalam itu, dimajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat salah seorang dari Tergugat itu, yang dipilih oleh Penggugat” Berdasarkan ketentuan tersebut, Penulis berpendapat Penggugat berhak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena salah satu pihak, yaitu Tergugat II berkedudukan di dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2. Kedudukan Hukum Penggugat (Legal Standing) a. Bahwa Penggugat adalah seorang Advokat pada Kantor Adams & Co, Counsellors At Law, beralamat di Wisma Bumiputera Lt. 15, J1. Jend. Sudirman Kav. 75 Jakarta Selatan.
11
b. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia yang berdomisili di DKI Jakarta, Penggugat memiliki hak yang sama di depan hukum untuk mendapatkan keadilan dan penjaminan kepentingan sebagai warga negara seperti tercantum dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dan berhak juga memperoleh derajat kesehatan yang optimal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa seperti yang tercantum dalam Pasal 4 huruf (a) dan mengenai informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa sesuai dengan Pasal 4 (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahwa Penggugat adalah ayah dari dua orang anak yang masing – masing berumur di bawah lima tahun, yaitu: Bonauli M.E.L. Tobing, lahir pada tanggal 6 November 2004 (umur 3 tahun dan 4 bulan) dan Jethro M.L. Tobing lahir pada tanggal 24 Mei 2006 (umur 1 tahun 10 bulan) yang mengkonsumsi susu formula.
Dalam tingkat Banding atas permohonan Pembanding I semula Tergugat III, Pembanding II semula Tergugat I dan Pembanding III semula Tergugat II, Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan No. 83/PDT/2009/PT.DKI Tanggal 06 April 2009. Majelis Hakim tingkat Banding /Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan mengambil alih pertimbangan hukum Majelis Tingkat Pertama seluruhnya dan tidak melakukan pertimbangan hukum sendiri.
Banding adalah pemeriksaan ulangan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan dengan memeriksa semua berkas perkara pemeriksaan Pengadilan Negeri dan surat-surat
12
lainnya yang berhubungan dengan perkara tersebut. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No. 20 tahun 1947 tersebut dan Pasal II UUdarurat.No. 1 Tahun 1955 majelis hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara terdiri dari 3 orang Hakim, dan kalau diperlukan Majelis Hakim Banding dapat mendengar sendiri Pihak yang berperkara7. Pemeriksaan ulangan mengoreksi apakah putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri sudah tepat, atau kurang tepat, atau ada kesalahan sama sekali. Karena itu pemeriksaan ulangan dilakukan dari awal dan meliputi semua yang mengenai fakta dan mengenai hukumnya. Setelah pemeriksan perkara selesai dilakukan hakim segera menjatuhkan putusannya. Putusan dalam tingkat banding adalah: a. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri b. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri c. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri8. Apabila Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, hal itu berarti bahwa Pengadilan Tinggi menilai benar dan tepat, baik mengenai hukum acara maupun hukum materiil yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri tersebut. Adapun analisis putusan Mahkamah Agung, bahwa alasan Kasasi tersebut dibenarkan, oleh karenanya judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum. (judex facti adalah Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti, dalam hal ini hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi).9 Bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sri Estuningsih dan diduga adanya susu formula dari makanan bayi yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii yang tidak
diumumkan
Luas
kepada
masyarakat,
bahwa
dengan
tidak
dipublikasikannya hasil penelitian tersebut mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat karena dapat merugikan konsumen, bahwa suatu penelitian yang telah 7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),
hal. 237.
8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.194. 9 http://hukum.deskripsi.com/judex-facti-dalam-hukum-perdata, diakses 10 oktober 2012.
13
dilakukan yang menyangkut suatu kepentingan masyarakat harus dipublikasikan agar masyarakat lebih waspada, bahwa tindakan tidak mengumumkan hasil penelitian tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak hati-hati yang dilakukan oleh para Tergugat yang melakukan pelayanan publik.
E. Kesimpulan dan Saran Pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Nomor 2975/K/Pdt/2009 apabila dikaitkan dengan perlindungan konsumen adalah menggunakan dan mengikuti hukum perdata maupun hukum acara perdata. seperti yang tercantum dalam Pasal 48 UUPK bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK. Apabila Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang perkara, tindakan pelayanan hukum yang mesti dilakukannya memenuhi permohonan tersebut. Pengajuan pelaksanaan putusan disampaikan oleh penggugat ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan oleh penggugat pribadi ataupun kuasanya. Dengan memanggil tergugat
(yang dikalahkan),
memperingatkan
supaya
memenuhi
atau
menjalankan putusan dan masa peringatan itu tidak boleh lebih dari delapan hari. Agar tindakan peringatan yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri memenuhi tata cara formal yang bernilai otentik, peringatan harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang incidental diberitahukan permohonan eksekusi dari pihak penggugat dan agar tergugat menjalankan putusan dalam waktu yang ditentukan. Upaya yang dilakukan Mahkamah Agung adalah mempersilahkan pihak yang merasa dirugikan akibat sikap Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan IPB untuk menempuh upaya lanjutan. Mahkamah Agung akan melihat kebutuhan untuk melibatkan aparat penegak hukum lain seperti polisi untuk mengeksekusi putusan tersebut.
14
F. Daftar Pustaka Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1995. http://www.tempointeraktif.com. diakses tanggal 10 Februari 2011. http://www.wikipedia.com. diakses tanggal 2 Juli 2011. http://id.shvoong.com. diakses tanggal 2 Juli 2011 http://kamusbahasaindonesia.org. diakses tanggal 2 Juli 2011 http://creasoft.wordpress.com. diakses tanggal 2 Juli 2011 http://health.kompas.com. diakses tanggal 2 Juli 2011 http://sonny-tobelo.blogspot.com. diakses tanggal 2 Juli 2011. http://www.hukumonline.com. diakses tanggal 10 Juli 2011. http://hukum.deskripsi.com. diakses tanggal 10 Oktober 2012. http://wonkdermayu.wordpress.com. diakses tanggal 20 November 2012. http://www.investor.co.id. diakses tanggal 10 November 2012. Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No.3821. ________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 Tahun 2009. LN No. 157 Tahun 2009. TLN No. 5076. Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006. Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grafindo Persada, 2004.
15
Moeljatno. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Pustaka Grasindo, 1998. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Poerwadaminta,WJS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Purwahid, Patrik. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian dan dari Undang-Undang). Bandung: Mandar Maju, 1994. Purwanto, Budi Djanu. Kepala Biro Hukum Badan POM Republik Indonesia. Wawancara. pada tanggal 27 September 2011. Sembiring, Sentosa. Himpunan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait. Bandung: Nuansa Aulia, 2005. Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukumnya. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2003. Syahrani,
Riduan. Seluk Beluk dan Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 2000.
Syawali, Husni dkk. Hukum perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju, 2000.
16