Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Lahan Berpasir Melalui Pertanaman Sisip Legowo Productivity Improvement of Sandy Soil Intensively Lowland Rice by Row Inserted Planting System SUBOWO G.1, YUSTISIA2,
DAN
FIBRIANTI3
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Penelitian untuk meningkatkan indeks pertanaman padi dengan sistim tanam sisip telah dilakukan di tanah liat berpasir lahan sawah intensif di Berbah DI Yogyakarta. Hasil panen pertanaman awal/pertama lebih ditentukan oleh N, P, dan K pupuk, sedang tanaman sisip/kedua dipengaruhi oleh besarnya naungan pertanaman awal. Pada tanaman kedua (disisipkan pada 20 hari setelah tanam pertama) hanya menghasilkan ± 50% dibandingkan dengan penanaman pertama. Dari tiga varietas yang diteliti, IR-64 memiliki hasil terendah di tanam pertama, tetapi pada tanam kedua yang disisipkan menghasilkan hasil yang lebih tinggi daripada Ciherang dan Cimelati. Varietas tanaman yang lebih pendek, memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan pada sistim tanam sisip. Perbaikan jarak tanam untuk mengurangi persentase naungan kurang dari 50% adalah penting untuk mendukung pertumbuhan tanaman kedua. Pemilihan jenis varietas untuk penanaman pertama dan kedua harus mempertimbangkan potensi persaingan antar tanaman terhadap sinar matahari dan hara tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tanam dari tanam kedua (sisipan) harus mempertimbangkan ketersediaan air dan potensi naungan untuk tanaman kedua.
Upaya peningkatan produksi beras nasional dapat dilakukan dengan pencetakan lahan sawah baru ataupun intensifikasi lahan sawah yang ada. Badan Litbang Pertanian telah mencanangkan peningkatan indeks pertanaman (IP) 400 padi lahan sawah intensif. Hal ini disebabkan mahalnya biaya pencetakan sawah baru dan juga efektivitas usahatani di lahan sawah baru masih rendah. Lahan tersedia untuk pencetakan sawah baru umumnya berada di tanah marginal (pH masam) ataupun pada sepanjang jalur aliran sungai (tekstur pasiran), sehingga efektivitas air dan pupuk rendah. Sementara ketersediaan air dan hara makro dari pupuk merupakan sarana penting untuk mendukung produksi padi sawah. Namun dengan terus meningkatnya kebutuhan beras, maka secara bertahap pencetakan sawah baru mutlak diperlukan.
Kata kunci : Indeks pertanaman, Sistim tanam sisip dalam baris, Tanah lempung berpasir, Jarak tanam, Hasil padi
ABSTRACT The research to increase rice planting index by row inserted planting system was conducted in sandy-loam soil of intensively lowland rice in Berbah, Yogyakarta. Yield at the initial/first rice planting was determined by N, P, and K fertilizer application, whereas inserted/second plant was determined by percentage of shadding from initial plant. The second planting (inserted at 20 days after first planting) yielded only ±50% compared to that of the first planting. Of three rice varieties studied, IR-64 had the lowest yield at the first planting, but by inserting this variety at the second planting it produced higher yield than those of Ciherang and Cimelati. The shorter plant height varieties, have a high potential to be developed into the inserted planting system. Improvement of plant distance to reduce shadding less than 50% is important to support the second plant growth. The selection of rice varieties for the first planting and the second planting should consider the potential competition of plant from sunlight and soil nutrients. The results suggest that planting time of the second planting (insertion) should consider the availability of water and shadding potential for plant at the second planting. Keywords : Planting index, Row inserted planting system, Sandy-loam soil, Planting distance, Rice yield
ISSN 1410 – 7244
Menurut Irianto (2008) konsekuensi pengembangan IP padi 400 diperlukan empat pilar pendukung; pertama: produksi benih super genjah dengan umur kurang dari 80 hari; kedua: dukungan pengendalian hama terpadu (PHT); ketiga: pengelolaan hara terpadu; dan keempat: manajemen tanam dan panen yang efisien. Masalah yang dihadapi pada sistim pertanaman padi yang selama ini dilakukan efisiensi pupuk masih rendah 30-50% (de Datta, 1987). Rendahnya efisiensi pemupukan terutama terjadi pada saat tanaman mencapai stadia generatif, karena tanaman tidak banyak melakukan 1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor. 2. Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel, Palembang. 3. Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DIY, Yogyakarta.
39
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 33/2011
serapan hara. Sementara pelepasan hara dalam tanah terus berlangsung sesuai dengan perkembangan keseimbangan fisiko kimia tanah. Tersedianya tanaman dengan kondisi fisiologi tanaman yang mampu melakukan serapan hara (vegetatif) sejalan dengan dinamika ketersediaan hara di dalam tanah, maka hara bebas di dalam tanah akan diserap dan tidak hilang serta meningkatkan efisiensi pemupukan. Upaya meningkatkan padi sawah panen 3-4 kali/tahun pernah diupayakan dengan teknik walik jerami dan air tersedia sepanjang tahun (Fagi dan Sanusi, 1983). Namun sulit dilakukan karena air tersedia hanya 11 bulan dan termanfaatkan sembilan bulan untuk dua kali panen, dan dua bulan sisa diberakan. Peningkatan IP padi sawah selain melalui teknik walik jerami, penanaman padi umur genjah juga dapat dilakukan dengan penanaman sisip legowo. Penanaman sisip legowo dilakukan dengan menyisipkan tanaman baru pada selang baris legowo setelah tanaman baris legowo sebelumnya berada pada umur tertentu (generatif). Adanya tanaman campuran dalam baris legowo dengan umur fisiologis yang berbeda pada saat yang sama akan mengimbangi keberadaan ketersediaan hara dalam tanah yang berlangsung secara terus menerus, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Pertimbangan selang waktu penyisipan dilakukan dalam upaya memaksimalkan kelayakan waktu ketersediaan air, sinar matahari serta efisiensi pemupukan. Melalui pendekatan tanam sisip legowo ini dapat meningkatkan IP padi sawah yang sementara ini belum dimanfaatkan secara maksimal terutama ketersediaan airnya. Lahan sawah tadah hujan dengan air tersedia enam bulan misalnya hanya dimanfaatkan untuk satu musim tanam padi sawah dan selebihnya diberakan. Lahan sawah irigasi yang telah disediakan sarana-prasaran memadai juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya melalui penambahan indeks pertanaman. Penyisipan tanaman baru pada selang legowo pada sistim tanam sisip legowo padi sawah yang merupakan tanaman C4 memerlukan penyinaran yang tinggi untuk fotosintesis. Musim tanam, lebar
40
selang legowo dan waktu penyisipan menjadi faktor penting untuk mencapai keberhasilan produksi untuk tanaman sisip. Aktivitas fotosintesis penuh/ maksimal dari tanaman kelompok C4 dicapai pada saat penyinaran penuh (400-700 nm) dengan pasokan CO2 50-80 mg dm-2 jam-1 (Mansfield and Jones, 1976). Pada saat matahari berada pada posisi kulminasi merupakan waktu tanam sisip legowo yang baik. Untuk mencapai efisiensi pemupukan yang tinggi, penyisipan dilakukan pada saat tanaman awal masuk pada fase generatif. Penyisipan tanaman baru dengan orientasi efisiensi pemanfaatan sumberdaya air, waktu penyisipan disesuaikan dengan lamanya air tersedia yang belum termanfaatkan untuk budidaya. Sementara penyisipan dengan orientasi efisiensi pemanfaatan sinar matahari, selain penempatan arah tanam timur-barat, posisi matahari terhadap lahan juga pengaturan jarak tanam antar baris legowo, waktu penyisipan, dan pilihan jenis tanaman yang berhabitus tegak dan ketinggian yang rendah. Keberadaan ruang selang legowo juga memberi border effect bagi tanaman, sehingga dapat meningkatkan produksi. Agar pemupukan, pengolahan tanah, dan panen mudah serta manfaat border effect maksimal, maka baris tanaman masing-masing sebaiknya ≤ 2 baris.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada tanah lahan sawah intensif di Berbah, Provinsi DI Yogyakarta bulan Agustus-Desember 2009. Rancangan percobaan Faktorial Acak Kelompok 4 x 3 x 3 dengan tiga ulangan, masing-masing sebagai berikut : Faktor I : Dosis pemupukan yang terdiri atas: 1. Po = Tanpa perlakuan pemupukan (kontrol). 2. P1 = Pupuk sesuai BWD (N) dan uji tanah (P dan K). 3. P2 = Pupuk sesuai BWD (N) dan uji tanah (P dan K) + pupuk kandang 2 t ha-1. 4. P3 = Pupuk (200% P1) + pupuk kandang t ha-1.
SUBOWO G. ET AL.: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH LAHAN BERPASIR MELALUI PERTANAMAN SISIP LEGOWO
Faktor II : Cara tanam padi sawah yang terdiri atas :
38-42 HST 125 kg ha-1 urea. Untuk perlakuan P2
1. S0 = Tanpa sisip/tegel jarak tanam 20 x 20 cm
dan P3 pemupukan dilakukan mengikuti dosis P1 dan
(250.000 rumpun ha-1). 2. S1 = Sisip legowo 2 x 2 baris, sisip 20 hari setelah tanam (HST) legowo awal, jarak tanam masing-masing 60 x 20 x 10 cm (250.000 rumpun ha-1). 3. S2 = Sisip legowo 2 x 1 baris, sisip 40 HST legowo awal, jarak tanam legowo awal 60 x 20 x 10 cm (250.000 rumpun ha-1), legowo sisip 80 x10 cm (125.000 rumpun ha-1).
pupuk kandang diberikan bersamaan pengolahan tanah. Pemupukan pada perlakuan tanam tegel (S0) dilakukan hanya sekali dengan disebar merata, sedangkan pada perlakuan sisip legowo (S1 dan S2) diberikan
dua
kali
dengan
mengikuti
larikan
tanaman. Jumlah pupuk masing-masing perlakuan seperti pada Tabel 1. Pemberian air dipertahankan sepanjang waktu dalam posisi tergenang ± 5 cm dengan menggunakan air irigasi yang dimasukkan dari
sungai.
Penyiangan
dengan
pencabutan,
pengendalian hama dan penyakit dengan insektisida
Faktor III : Varietas padi sawah yang digunakan yang terdiri atas :
dan fungisida dilakukan apabila terjadi serangan di atas ambang batas. Pengamatan meliputi : profil tanah,
1. V1 = Padi sawah VUB varietas IR-64
pertumbuhan
tanaman,
jumlah
anakan
produktif, persentase naungan pada selang legowo,
2. V2 = Padi sawah VUB varietas Ciherang
dan produksi jerami maupun gabah baik untuk
3. V3 = Padi sawah VUB varietas Cimelati
tanaman awal maupun tanaman sisip. Pengukuran produksi gabah pada keadaan kering giling (GKG) -1
diukur dengan mengkonversi gabah kering panen
KCl;
setelah dikeringkan di bawah sinar matahari dengan
Pemupukan untuk P1: pupuk dasar 30 kg ha -1
urea, 50 kg ha
SP-36, dan 100 kg ha -1
susulan 23-28 HST 125 kg ha
-1
urea; dan susulan
kandungan kadar air mencapai ± 14%.
Tabel 1. Jumlah pupuk yang diberikan selama penelitian per 250.000 rumpun padi Table 1. Amount of fertilizer was given during the study / 250,000 plants No.
Perlakuan pemupukan
Dosis pemberian pupuk Po (kontrol)
P1
P2
P3
-1
1. Tanaman awal : - Pupuk kandang - Urea - SP-36 - KCl
........................................ kg ha ........................................ 0 0 0 0
0 280 50 100
2.000 280 50 100
1.000 560 100 200
2. Tanaman sisip : - Pupuk kandang - Urea - SP-36 - KCl
0 0 0 0
0 280 50 100
2.000 280 50 100
1.000 560 100 200
Total : - Pupuk kandang - Urea - SP-36 - KCl
0 0 0 0
0 560 100 200
4.000 560 100 200
2.000 1.120 200 400
41
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 33/2011
HASIL DAN PEMBAHASAN Lahan sawah di Berbah, Provinsi DI Yogyakarta yang digunakan untuk penelitian ini telah dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah lebih dari 100 tahun. Jenis tanah lokasi penelitian adalah Eutric Cambisols (Tabel 2), di kaki vulkan G. Merapi dengan kemiringan lereng 3-8 %. Horison Ap: 0-25 cm; coklat sangat tua (10 YR 3/2), lempung berpasir (sandy loam); lemah sampai masif, sedang, gumpal membulat; agak teguh sampai teguh (lembab), agak lekat dan tidak plastis (basah), sedikit smeary, pori mikro banyak, meso sedang, makro sedikit; perakaran halus banyak; pH 6,00; batas horison jelas rata. Horison Bw: 26-68 cm, coklat tua kekelabuan (10 YR 4/2) dan coklat tua kemerahan
(2,5 YR ¾), lempung (loam), kuat sampai sedang; gumpal membulat; teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit, perakaran tidak ada, pH 5,95. Horison BC: 68-135 cm, lempung berpasir (sandy loam); pH 5,95; pori mikro sedikit, pori meso sedang, pori makro banyak. Sesuai dengan hasil analisis profil tanah menunjukkan bahwa pada tanah lahan sawah ini belum terbentuk lapisan tapak bajak (plow pan) yang sempurna yang dicirikan oleh masih rendahnya kandungan liat dan terdapatnya pori makro pada lapisan Bw. Perkolasi maupun infiltrasi pada lapisan olah tinggi. Lambatnya pembentukan lapisan bajak ini disebabkan selain bahan induk pembentuk tanah adalah bahan kasar (pasir) juga pola tanam
Tabel 2. Karakterisasi profil tanah sawah Berbah Table 2. Profile characteristics of Berbah paddy fields Indikator penetapan
Lapisan dalam profil tanah
Satuan
0-25 cm 25-42 cm 42-68 cm 68-86 cm 86-102 cm
pH (H20)
6,00
6,08
5,81
5,95
5,95
5,95
Tekstur : Pasir Lempung Liat
% % %
54 40 6
52 36 13
48 39 13
69 25 6
76 20 4
80 18 2
C-organik
%
1,25
1,54
1,59
1,27
1,27
1,27
N-total
%
0,07
0,12
0,13
0,11
0,11
0,11
18
12,8
12,2
11,5
11,5
11,5
C:N P2O5 : Bray I HCl 25%
ppm mg 100g-1
25 153
25 167
24 188
26 204
43 253
18 244
K2O HCl 25%
mg 100g-1
9
11
16
13
19
15
Kation-dd : Ca Mg K Na
mg mg mg mg
28,23 5,38 0,20 1,10
19,86 7,37 0,25 1,05
19,56 6,70 0,51 1,58
13,39 4,49 0,32 1,47
5,57 1,86 0,15 1,05
2,32 0,39 0,09 1,04
KTK
mg 100g-1
8,50
5,29
11,65
7,72
3,34
1,71
%
>100
>100
>100
>100
>100
>100
0,04
0,32
0,40
0,04
0,04
0,04
2.436 227 11 38
2.479 429 16 37
2.474 1.392 28 40
2.483 466 17 31
2.422 296 8 36
2.417 359 2 36
KB Al-dd Unsur mikro-total : Fe Mn Cu Zn
42
102-135 cm
100g-1 100g-1 100g-1 100g-1
me 100g ppm ppm ppm ppm
-1
SUBOWO G. ET AL.: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH LAHAN BERPASIR MELALUI PERTANAMAN SISIP LEGOWO
padi-padi-palawija terdapat selang waktu untuk palawija (budidaya lahan kering) dapat menghambat pembentukan lapisan bajak. Pengaruh pemupukan Perlakuan pemberian pemupukan P1, P2, dan P3 dapat secara nyata meningkatkan jumlah anakan produktif, gabah isi/malai, dan produksi gabah kering giling (GKG) dibanding kontrol (P0) (Tabel 3). Hal ini disebabkan tanah lokasi penelitian merupakan tanah berpasir, sehingga meskipun sudah lama disawahkan residu pupuk yang diberikan sebelumnya banyak tercuci ke lapisan yang lebih dalam. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan Corganik, P maupun K banyak berada di lapisan yang lebih dalam dan tidak tersentuh akar tanaman padi. Akibatnya perlakuan pemberian pupuk Urea (N), SP36 (P) dan KCl (K) yang diberikan di lapisan olah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi padi. Namun diantara P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata meskipun dosis pupuk yang diberikan berbeda cukup tinggi (Tabel 1). Hal ini
disebabkan pemberian pupuk makro N, P, dan K dari ketiga perlakuan ini pada prinsipnya telah memenuhi kebutuhan optimum tanaman padi dengan pendekatan rekomendasi pemupukan melalui BWD dan PUTS. Penambahan pupuk kandang pada P2 dan N, P, K, dan pupuk kandang pada P3 yang diharapkan selain untuk penambahan N, P, K, dan bahan organik, perbaikan sifat fisik tanah, dan juga unsur-unsur mikro ternyata tidak meningkatkan produksi secara nyata dibanding P1. Sementara sebelum tanam tanah sawah telah dilumpurkan, sehingga fungsi perbaikan sifat fisik tanah oleh bahan organik tidak banyak dibutuhkan. Rachman, et al., (1999) mendapatkan bahwa pemberian jerami 5 t ha-1 musim-1 selama empat musim secara berturut-turut pada tanah sawah irigasi di Serang tidak meningkatkan produksi padi sawah. Suriadikarta dan Kasno (2009) juga mendapatkan bahwa pemupukan N dengan BWD dan pemupukan P dan K berdasarkan status P dan K tanah (PUTS) pada tanah sawah intensif meningkatkan produksi padi VUTB dan berbeda nyata dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan penambahan
Tabel 3.
Hasil produksi, anakan produktif, dan produksi gabah kering giling (GKG) beberapa varietas padi pada berbagai pemupukan dan sistim tanam
Table 3.
Rice yield, productive tillers, and dry grain yield of some rice varieties in different cropping systems and fertilization
Perlakuan
Jumlah anakan produktif Tanam awal
Tanam sisip
Gabah isi/malai Tanam awal
Produksi Tanam awal
Tanam sisip
Total
-1
................. ton GKG ha ................. Pemupukan P0 P1 P2 P3
9,80 b 11,46 a 11,36 a 12,10 a
3,52 7,12 7,80 6,72
Cara tanam S0 S1 S2
10,91 b 10,97 b 11,66 a
Varietas V1 V2 V3
12,03 a 10,88 b 10,63 b
c ab a b
90 b 113 a 118 a 113 a
5,90 8,21 8,05 8,44
b a a a
0,80 1,49 1,51 1,38
b a a a
6,29 0
103 b 108 ab 114 a
7,64 a 7,63 a 7,68 a
3,87 tdk panen
7.14 a 6,06 b 5,68 b
89 b 117 a 119 a
6,91 b 7,88 a 8,16 a
1,42 a 1,18 b 1,17 b
6,70 b 9,70 a 9,56 a 9,82 a 7,64 b 11,50 a 7,68 b 8,33 b 9,06 a 9,43 a
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom masing-masing interaksi indikator yang sama tidak berbeda-nyata sampai taraf nyata 5% DMRT.
43
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 33/2011
pupuk organik (jerami dan pupuk kandang) maupun penambahan Ca, Mg, dan S (ZA). Demikian juga tanah lokasi penelitian berpasir dengan kapasitas tukar kation (KTK) rendah, kejenuhan basa (KB) >100% (tinggi), dan kandungan unsur hara mikro kationik seperti Fe, Mn, Cu, dan Zn sudah cukup tinggi (Tabel 2). Akibatnya daya sangga tanah terhadap hara-hara kationik yang ditambahkan rendah, sehingga pupuk yang diberikan terutama yang bersifat kationik banyak mengalami pencucian/tercuci. Nilai tambah pupuk yang diberikan, baik pupuk organik maupun anorganik tidak berbeda nyata dibanding pemberian pupuk N, P, dan K sesuai dosis rekomendasi dari PUTS dan BWD (P1). Hasil penelitian pada tanah Aluvial lahan sawah irigasi di Bantul, DI Yogyakarta juga didapatkan bahwa pengelolaan PTT dengan pemupukan N berdasarkan BWD dan pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah (PUTS) memberikan hasil padi lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pemberian pupuk organik 10 t ha-1 sistim SRI maupun pemberian 400 kg urea ha-1 dan 100 kg SP36 ha-1 sistim petani (Riyanto et al., 2007). Untuk itu perlakuan pemberian bahan organik pada tanah lahan sawah perlu memperhatikan kondisi tanah: tekstur, plow pan, KTK, KB, kandungan N, P, K, dan unsur-unsur hara mikro. Dalam jangka pendek
keberhasilan produksi tanaman awal pada sisip legowo lebih ditentukan oleh pemupukan N, P, dan K. Sedang rendahnya produksi pada tanaman kedua (sisip) bukan semata-mata disebabkan oleh perlakuan pemupukan. Pengaruh sistim tanam Jumlah anakan produktif pada sistim tanam tegel (So) paling rendah dibanding sistim tanam sisip 20 HST (S1) dan sistim sisip 40 HST paling tinggi (Tabel 3). Pada sistim tanam tegel dengan jarak tanam 20 x 20 cm memiliki luas kontak akar terhadap hara lebih luas dan juga persentase naungan paling rendah (Gambar 1). Namun karena tanah lokasi penelitian berpasir, sehingga efisiensi sistim pemupukan disebar pada sistim tegel tidak efisien dan dukungan terhadap pembentukan anakan lebih rendah. Sedangkan pemupukan pada sistim sisip legowo dilakukan secara terkonsentrasi, tingkat kehilangan pupuk oleh pencucian lebih rendah. Penanaman sisip 40 HST (S2) memberikan jumlah anakan tanaman awal paling tinggi dan berbeda nyata dibanding sistim tegel (So) maupun sisip 20 HST (S1). Penanaman sisip pada S1 dilakukan 20 HST, sehingga bersaing dengan tanaman awal dan menekan pembentukan anakan
100.0 Persen naungan (%)
90.0 80.0 70.0 60.0
S0
50.0
S1
40.0
S2
30.0 20.0 10.0 0.0 42 HST
49 HST
56 HST
63 HST
Umur tanaman
Gambar 1. Dinamika persentase naungan di bawah tajuk pada tiga sistim tanam Figure 1.
44
Dynamics of the percentage of under canopy shade on three cropping systems
SUBOWO G. ET AL.: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH LAHAN BERPASIR MELALUI PERTANAMAN SISIP LEGOWO
produktif tanaman awal. Namun dengan persaingan hara maupun naungan yang belum besar (< 50%) (Gambar 2), maka tanaman sisip pada S1 juga masih mampu membentuk anakan produktif, terutama IR64 dan Ciherang. Pada Gambar 2 terlihat bahwa persentase naungan yang juga menunjukkan besarnya tingkat kesuburan tanaman pada baris sisip IR-64 meningkat lebih tinggi. Demikian juga untuk baris sisip Ciherang yang juga mampu berkembang, sehingga tanaman sisip 20 HST juga mampu menghasilkan anakan produktif. Sedang Cimelati dengan naungan 21 HST ±60% terjadi sebaliknya (tertahan) yang menunjukkan terjadinya tekanan pertumbuhan sampai 28 HST.
(Nobel, 1983). Untuk mencegah terjadinya naungan yang besar pengaturan jarak tanam ataupun vigor tanaman awal perlu dipertimbangkan, sehingga intensitas/persentase naungan pada baris sisip masih mampu untuk mendukung pertumbuhan tanaman sisip. Besarnya naungan masih layak untuk pertumbuhan tanaman sisip yang dalam penelitian ini sebaiknya <50% (Gambar 2 dan 3). Untuk pembentukan gabah isi/malai tanaman awal, perlakuan sisip legowo 20 HST (S1) tidak berbeda nyata dengan tegel (So). Hal ini disebabkan pada perlakuan sisip 20 HST saat masuk fase generatif tanaman awal dan tanaman sisip yang berasal dari varietas yang sama dan juga beda umur hanya 20 hari. Tekanan kompetisi intraspesifik antar tanaman menjadi tinggi, terutama dalam persaingan hara tanah. Jumlah anakan produktif pada S0 dan S1 lebih rendah dan berbeda nyata dibanding S2. Namun sistim tanam sisip legowo S1 dan S2 masih mampu memberikan gabah isi/malai lebih tinggi dibanding tegel (So). Tersedianya border effect dari selang legowo memberikan peluang pembentukan gabah isi/malai lebih sempurna. Sedang penyisipan 40 HST (S2) gabah isi/malai tanaman awal tertinggi karena tanaman sisip masih kecil, sehingga fungsi border effect masih nyata dan tidak terjadi persaingan keharaan tanah. Adanya naungan dari tanaman awal mengakibatkan tanaman sisip S2 tidak
% naungan
Sementara untuk penyisipan 40 HST anakan produktif tanaman awal telah terbentuk maksimal, sehingga penanaman tanaman sisip tidak mengganggu bentukan anakan produktif awal. Namun bentukan anakan produktif dari tanaman sisip mengalami tekanan yang besar, selain akibat kalah bersaing dalam pemanfaatan hara tanah juga adanya naungan yang sudah cukup besar (> 60%) (Gambar 3). Akibatnya pada S2 tanaman sisip tidak membentuk anakan produktif untuk seluruh varietas yang diuji. Daun tanaman yang ternaungi/terlindung akan mengalami penurunan aktivitas fotosintesis akibat rendahnya radiasi matahari yang masuk, stomata akan menutup dan fotosintesis menurun
100,0 90,0 80,0 70,0 60,0
Cimelati IR-64
50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
Ciherang
0
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
77
Hari setelah tanam (HST) sisip 20 hari
Gambar 2. Dinamika persentase naungan bawah tajuk pada sistim tanam sisip 20 HST Figure 2.
Dynamics of the percentage of shade under the canopy at inserting cropping systems at 20 day after planting
45
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 33/2011
mampu berkembang dan tidak menghasilkan anakan produktif meskipun tanaman sisip juga mendapat pemupukan seperti tanaman awal. Sedang untuk tanaman sisip S1 masih mampu menghasilkan anakan produktif dan berproduksi meskipun rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan produksi tanaman sisip lebih ditentukan oleh besarnya naungan dari
tanaman awal. Faktor utama produksi tanaman selain kemampuan genetik juga radiasi matahari untuk fotosintesis, sementara pupuk hanyalah salah satu input untuk meningkatkan hasil (Cooke, 1982). Secara detail hasil tanaman sisip 20 HST yang memberikan harapan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan IP padi sawah disajikan pada Tabel 4.
90,0 80,0 % naungan
70,0 60,0 Ciherang
50,0
Cimelati
40,0
IR-64
30,0 20,0 10,0 0,0 0
7
14
21
28
35
42
49
56
Hari setelah tanam (HST) sisip 40 hari
Gambar 3. Dinamika persentase naungan bawah tajuk pada sistim tanam sisip 40 HST Figure 3.
Dynamics of the percentage of shade under the canopy at inserting cropping systems at 40 day after planting
Tabel 4. Pengaruh pemupukan dan varietas padi sawah terhadap pertumbuhan tanaman sisip 20 HST tanaman awal (S1) Table 4. Effect of fertilizer and rice variety on plant growth of inserted plant at 20 day after planting (DAP) of initial plants (S1) No.
Perlakuan
Tinggi tanaman
Rasio jerami : gabah
2. Varietas V1 V2 V3
76 b 97 a 99 a 100 a 90 a 95 a 94 a
Rasio produksi tan. sisip : tan. awal
ton GKG ha-1
cm 1. Pemupukan P0 P1 P2 P3
Produksi tanaman sisip 20 HST
1,14 1,34 1,57 1,60
b ab ab a
1,26 b 1,75 a 1,24 b
2,30 4,42 4,53 4,19
b a a a
0,39 0,53 0,56 0,49
4,25 a 3,53 b 3,80 b
0,61 0,45 0,46
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom masing-masing interaksi indikator yang sama tidak berbeda nyata sampai taraf 5% DMRT.
46
SUBOWO G. ET AL.: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH LAHAN BERPASIR MELALUI PERTANAMAN SISIP LEGOWO
Pemupukan pada tanaman sisip 20 HST berpengaruh nyata dan positif terhadap tinggi tanaman, rasio jerami : produksi, produksi gabah, dan rasio produksi tanaman sisip : produksi tanaman awal. Hal ini menunjukkan bahwa naungan dari tanaman awal menyebabkan terjadinya etiolasi dan menghambat pertumbuhan generatif tanaman sisip, sehingga tanaman semakin tinggi dan produksi jerami meningkat. Perlakuan pemupukan mampu memberikan hasil tanaman sisip 20 HST antara 4956% dari tanaman awal. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun belum mampu memberikan hasil yang tinggi, tanaman sisip legowo padi sawah prospektif untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan produksi, efisiensi pemupukan, efisiensi waktu, dan efisiensi sumberdaya air. Untuk mendukung produksi tanaman sisip perlu diikuti perlakuan pemupukan, terutama N, P, dan K dengan mengikuti rekomendasi PUTS dan BWD. Namun hasil ini belum optimal dalam kaitannya dengan efisiensi penggunaan pupuk terhadap produksi, terutama dalam penetapan dosis dan waktu aplikasi yang tepat/ideal.
IR-64 lebih rendah dibanding Ciherang maupun Cimelati. Sebaliknya produksi GKG untuk tanaman sisip, var. IR-64 lebih tinggi dibanding Ciherang dan Cimelati. Hal ini disebabkan IR 64 memiliki habitus lebih pendek/rendah dibanding Ciherang dan Cimelati (Tabel 4), sehingga potensi tekanan naungan dari tanaman awal lebih rendah (Gambar 2 dan 3) dan tanaman sisip mampu memberikan produksi paling tinggi (61% dari tanaman awal). Suprihanto et al. (2009) juga menyampaikan karakteristik tanaman padi varietas baru unggul bahwa varietas IR-64 juga memiliki habitus maupun potensi produksi lebih rendah dibanding Ciherang maupun Cimelati (Tabel 5). Adanya naungan akan mengurangi aktivitas fotosintesis, sehingga menekan pencapaian stadia generatif untuk menghasilkan produksi gabah dan lebih tertahan pada stadia vegetatif. Akibatnya rasio antara jerami (vegetatif) terhadap produksi (generatif) pada tanaman sisip yang memiliki habitus lebih tinggi memiliki nilai lebih tinggi atau memiliki nilai indeks panen rendah (Tabel 4). Namun untuk total
Pengaruh varietas
produksi tanaman awal + tanaman sisip varietas
Di antara varietas yang diuji menunjukkan bahwa varietas IR-64 mampu memberikan jumlah
Cimelati dan Ciherang masih lebih tinggi dibanding IR-64 (Tabel 3). Dari hasil penelitian ini nampak bahwa dalam
anakan produktif untuk tanaman awal maupun varietas
sistim tanam sisip legowo keberhasilan produksi
Ciherang dan Cimelati (Tabel 3). Namun produksi
tanaman awal lebih ditentukan oleh pemupukan N,
tanaman awal IR-64 lebih rendah dibanding Ciherang
P, dan K, sedang untuk tanaman sisip lebih
dan Cimelati, karena jumlah gabah isi/malai varietas
ditentukan oleh faktor naungan dari tanaman awal.
tanaman
sisip
lebih
tinggi
dibanding
Tabel 5. Karakteristik varietas tanaman padi sawah Table 5. Characteristic varieties of rice No.
Varietas padi
Tinggi tanaman
Karakter tanaman Jumlah anakan Sifat tegakan produktif
Potensi produksi t ha-1
1.
Ciherang
116-125
14-17
Tegak
8,5
2.
IR-64
110-120
20-35
Tegak
6,0
3.
Cimelati
106-114
16-24
Tegak
7,5
Sumber : Suprihatno et al. (2009)
47
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 33/2011
KESIMPULAN 1.
2.
Produksi tanaman awal pada sistim sisip legowo lebih ditentukan oleh pemupukan N, P, dan K dan tidak berbeda nyata dibanding dengan sistim tanam tegel, namun tanaman sisip selang waktu 20 HST mampu berproduksi >50% dari produksi tanaman awal. Sedang untuk sisip 40 HST tidak mampu berproduksi. Besarnya naungan dari tanaman awal lebih menentukan keberhasilan produksi tanaman sisip. Varietas padi IR-64 mempunyai produksi tanaman awal paling rendah dan berbeda nyata dibanding Ciherang dan Cimelati, namun untuk tanaman sisip mampu berproduksi lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding Ciherang dan Cimelati. Varietas tanaman dengan habitus rendah potensial dikembangkan untuk keberhasilan produksi tanaman sisip pada sistim legowo. SARAN
1.
Pengaturan jarak tanam perlu disempurnakan dengan orientasi untuk kemudahan dalam pengolahan tanah, pemupukan, dan panen serta saat tanaman sisip naungan masih di bawah 50%.
2.
Pilihan tanaman awal dan tanaman sisip hendaknya tidak memiliki potensi persaingan penyinaran dan hara tanah.
3.
Penetapan waktu sisip hendaknya disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya air dan potensi naungan untuk mendukung sampai produksi. DAFTAR PUSTAKA
Cooke, G.W. 1982. Fertilizing for Maximum Yields. The English Language Book Society and Granada London. Pp 3-59. De Datta. 1987. Principles and Practices of Rice Production. Jhon Wiley and Sons.
48
Fagi, A.M. dan S.A. Sanusi. 1983. Meningkatkan efisiensi air irigasi dengan teknik budidaya tanaman pangan dan teknik pengairan. Hlm 51-65. Dalam Risalah Lokakarya Penelitian Padi: Masalah dan Hasil Penelitian Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Cibogo, 22-24 Maret 1983. Irianto, G. 2008. Ekspor Beras dan IP Padi 400. Kompas edisi 18 Desember 2008. Manfield, T.A. and M.R. Jones. 1976. Photosynthesis: leaf and whole plant aspect. Pp 294-325. In Plant Structure, Function and Adaptation (Hall, M.A, ed). The Macmillan Press. Nobel, P.K. 1983. Biophysical Plant Physiology and Ecology. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Pp 378-379. Rachman, A., F. Agus, A. Dariah, dan H. Suganda. 1999. Tingkat perkolasi dan kepadatan tanah pada lahan persawahan di Serang Jawa Barat. Hlm 429-442. Dalam Prosiding Semnas Sumber Daya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Riyanto, D., R. Mahening, dan M. Suhardjo. 2007. Pengkajian komparatif SRI dan PTT padi sawah pada tanah Aluvial dengan status hara fosfat tinggi di Kab. Bantul, Prov. DI Yogyakarta. Hlm 401-408. Dalam Prosiding Semnas Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian, Buku II. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Suprihatno, B., A.A. Darajat, Satoto, S.E. Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, M.Y. Samaullah, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Suriadikarta, D.A. dan A. Kasno. 2009. Teknologi pengelolaan hara terpadu terhadap neraca hara N, P, dan K pada varietas padi VUTB lahan sawah bermineral dominan liat 2:1 (Monmorilonitik). Hlm VIII 39-43. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Bogor, 24-25 November 2009.