bp hn
PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK-ANAK
Tim di bawah pimpinan:
Prof. M. Taufik Makarao , S.H., M.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI TAHUN 2013 i
KATA PENGANTAR
bp hn
Puji dan syukur dipanjatkan pada Allah SWT, bahwa berkat dan rahmat-Nya, maka Tim Pengkajian Hukum Tentang “Tim Pengkajian Hukum Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak”, dapat menyelesaikan laporan sesuai jadwal yang ditetapkan. Permasalahan awal yang muncul dalam pengkajian ini adalah bagaimana merumuskan permasalahan terkait dengan telah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun baru akan diberlakukan pada Juli 2014, dan judul yang diangkat notabene secara normatif telah diatur melalui undang-undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun permasalahan anak tetap menjadi menarik untuk di bahas, setidaknya tim menyoroti mengenai arti penting penerapan restorative justice terhadap penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak; kerangka pemikiran yang mendasari; dan Hal-hal apa saja yang diperlukan untuk mendukung/menunjang penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Guna mengetahui dan menjawab permasalahan serta untuk mencapai tujuan pengkajian tersebut, Tim telah melakukan beberapa kali rapat untuk menyampaikan pandangan anggota Tim baik dalam lisan maupun tulisan, serta tim kajian publik melalui FGD - Focus Group Discussion dengan nara sumber Prof. Muladi (Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro), dan Arist Merdeka Sirait (Ketua Komnas Perlindungan Anak). Upaya perlindungan anak merupakan upaya bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, semuanya bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Dan melalui pengkajian ini, diharapkan menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menyikapi kasus-kasus yang melibatkan anak. Kami menyadari, bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, dan perlu mendapatkan koreksi, baik yang bersifat substansi maupun redaksional. Namun terlepas dari kekurangan dan keterbatasan itu, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah bekerjasama di dalam penyusunan laporan ini. Jakarta, Desember 2013 Ketua,
Prof. M. Taufik Makarao, S.H., M.H.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iii DAFTAR TABEL DAN BAGAN ................................................................................................. v BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 Permasalahan ............................................................................................. 6 Tujuan Pengkajian ..................................................................................... 6 Kegunaan Pengkajian ............................................................................... 7 Metode Pengkajian .................................................................................... 7 Kerangka Operasional .............................................................................. 8 Susunan Keanggotaan Tim ..................................................................... 9 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ................................................................ 10
bp hn
A. B. C. D. E. F. G. H.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 11
A. B. C.
D.
E.
BAB III
Hukum Positif Yang Terkait Dengan Anak ...................................... 11 Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice ......................................... 14 Konsep, Landasan Filosofis, Prinsip dan Penggunaan Program Restorative Justice ................................................................. 20 Teori-Teori Pemidanaan (Dasar-Dasar Pembenaran Dan Tujuan Pidana) ............................................................................................ 33 Tinjauan Diversi Dalam Peradilan Anak ........................................... 44
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 63 A.
B.
C.
Arti Penting Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak..................................................................................................... 63 Landasan Pemikiran yang Mendasari Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak-Anak........................................... 84 Hal-hal yang diperlukan untuk Mendukung/Menunjang Penerapan Restorative Justice Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-Anak ................................................................................................... 93
iii
BAB V
PENUTUP .................................................................................................................. 117 A. B.
Kesimpulan .................................................................................................. 117 Rekomendasi ............................................................................................... 118
bp hn
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 120
iv
DAFTAR TABEL
Teori Relatif (Dad-Dader Strafrecht) .................................................................................... 40 Perbedaan Restorative Justice dengan Retributive Justice ............................................. 41 Wewenang Kejaksaan Berdasarkan UU ............................................................................. 45 Integrasi Kewenangan Kejaksaan untuk Program Restoratif ................................... 46 Program-Program Diversi Menurut Manual Pelatihan Untuk Polisi ....................... 53 Pengaturan mediasi penal Di beberapa negara .............................................................. 61 Sistem Peradilan Anak ............................................................................................................... 92 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Nakal/Klien Bapas Purwokerto .............................. 97
bp hn
Jenis Sanksi Yang Disarankan BAPAS dan Jumlah Litmas Klien Bapas Purwokerto Tahun 2002 – 2008............................................................................................ 99 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Nakal Lapas Anak Pria Tangerang Tahun 2010 .................................................................................................................................... 100 Tahun dan Jumlah Perkara Anak Nakal di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan .............................................................................................................................................. 101
v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan
bp hn
karakteristik dengan orang dewasa, ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban bagi seorang anak yang akan mempengaruhi pula kedudukannya di hadapan hukum. Dalam pertimbangan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan
khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Menurut
Retnowulan
Sutianto,
perlindungan
anak
merupakan
bagian
dari
Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hal ini tercermin pada hakekat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan
memantapkan
pembangunan
nasional.
Akibat
tidak
adanya
perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat
mengganggu
penegakan
hukum,
ketertiban,
keamanan,
dan
pembangunan nasional.1
1
Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 166.
vi
Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini ditegaskan dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice, bahwa tujuan peradilan anak adalah: sistem peradilan pidana bagi anak/remaja
akan
mengutamakan
kesejahteraan
remaja
dan
akan
memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
bp hn
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.2
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitksan
oleh PBB disebutkan bahwa : “Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community.”3 Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemenelemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Sistem peradilan pidana khusus bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip restorative justice, definisi restorative justice itu sendiri tidak seragam, sebab banyak variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Oleh karena itu, banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep restorative justice, seperti 2
3
United Nations, United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice, United Nations, http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r033.htm (diakses 8 Juli 2013). United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York: United Nations Publication, 2006), hal. 6.
vii
communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif), dan community justice (keadilan masyarakat).4
Bagir Manan, dalam tulisannya menguraikan tentang substansi ”restorative justice” yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.5 Terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan
bp hn
oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk
memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa,6
yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana”.7
Di Indonesia sendiri selama kurang lebih enam belas tahun menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif), yang berparadigma penangkapan, penahanan, dan penghukuman penjara terhadap anak. Hal tersebut tentu akan berpotensi 4
5 6
7
Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa, http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html (diakses 29 april 2011). Ibid., hal. 7. DS. Dewi, Restorative justice, Diversionary Schemes and Special Children’s Courts in Indonesia. Artikel tidak diterbitkan, hal. 1. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 98.
viii
membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak dan akan berdampak pada masa depan seperti kepentingan terbaik bagi anak, fakta menunjukan jumlah narapidana anak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dimana hingga Juni 2013 terdapat 2.214 orang narapidana anak8.
Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamental yang ada antara lain digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi. Dalam peraturan ini diatur
bp hn
mengenai kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum.
Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:9 a.
penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. 8
9
persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
Institute for Criminal Justice Reform, “Panduan Praktis untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Institute for Criminal Justice Reform, http://icjr.or.id/panduan-praktis-untuk-anakyang-berhadapan-dengan-hukum/ (diakses 8 juli 2013). Lihat Pasal 5 ayat (1, 2 & 3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
ix
peradilan umum; dan c.
pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.10
Secara prinsipiil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah
bp hn
mengedepankan pendekatan restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap sistem
peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation).11
Penerapan prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak walaupun secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, namun secara formil pula muncul permasalahan terkait dengan waktu berlakunya undang-undang tersebut yang pada Pasal 108 disebutkan: “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun 10 11
Lihat Pasal 1 butir (7) UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ivo Aertsen, et, al, Restorative Justice and the Active victim: Exploring the Concept of Empowerment, (Journal TEMIDA, 2011), hal. 8-9.
x
terhitung sejak tanggal diundangkan” yang berarti undang-undang tersebut baru berlaku pada bulan Juli tahun 2014, hal ini tentu akan memunculkan permasalahan bagi penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak, di samping itu kesiapan bagi seluruh aparatur penegak hukum, pemahaman masyarakat, dan sarana serta pra-sarana menjadi faktor pendukung yang tidak dapat dikesampingkan dalam menunjang berlakunya undang-undang tersebut. Ketika faktor pendukung tersebut tidak memadai maka akan menimbulkan permasalahan kembali dan tentunya akan berimbas bagi anak baik langsung maupun tidak langsung.
Di lihat dari latar belakang permasalahan di atas maka kami melihat
bp hn
pentingnya pengkajian mengenai “Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak”.
B.
Permasalahan 1.
Apa arti penting penerapan restorative justice terhadap penyelesaian
tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak?
2.
Kerangka pemikiran apakah yang mendasari penerapan restorative justice terhadap penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anakanak?
3.
Hal-hal apa saja yang diperlukan untuk mendukung/menunjang penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak?
C.
Tujuan Pengkajian 1.
Untuk mengetahui pentingnya penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
xi
2.
Untuk mengetahui kerangka pemikiran yang mendasari penerapan restorative justice bagi penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
3.
Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung/menunjang penerapan restorative justice bagi penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
D.
Kegunaan Pengkajian 1.
Secara teoritis pengkajian ini adalah untuk memperkaya referensi yang telah ada, khususnya dalam hal penerapan restorative justice sebagai
bp hn
bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
2.
Secara praktis hasil pengkajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum maupun stakeholder terkait sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
E.
Metode Pengkajian
Dalam pengkajian digunakan beberapa pendekatan yang berkaitan
dengan: pengumpulan data dan informasi, analisis, serta penyajian hasil analisis. Pengkajian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu pengkajian hukum dimana memberikan gambaran secara rinci dan sistematis, faktual dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang diteliti. Sedangkan analitis berarti mengelompokan, menghubungkan dan memberi makna.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan, baik yang bersumber kepada berbagai data dan informasi yang ”di release” oleh pemerintah; tulisan para ahli dalam bentuk buku, jurnal, artikel lepas, newsletter; pengalaman para praktisi dan
xii
pengambil putusan; kebijakan dan regulasi nasional dan internasional; dan lain-lain. Analisis yang dilakukan berupa menilai fakta-fakta lapangan sehingga akan dihasilkan penilaian yang bersifat kualitatif untuk kemudian akan disajikan secara deskriptif.
Dengan metode kerja sebagai berikut : a.
mendiskusikan perencanaan kegiatan pengkajian hukum, dengan pengenalan/identifikasi masalah pengkajian;
b.
melakukan pembagian tugas kepada anggota tim pengkajian untuk melakukan pembahasan terhadap identifikasi masalah yang ada dalam
bp hn
proposal;
c.
pelaksanaan focus group discussion (fgd) untuk dapat menyerap masukan dari berbagai sumber yang berguna dalam penyusunan hasil kajian;
d.
mempresentasikan tugas (kertas kerja) dari para anggota tim untuk dibahas bersama-sama;
e.
penyusunan laporan akhir oleh seluruh anggota tim pengkajian serta menyusun rekomendasi hasil pengkajian.
F.
Kerangka Operasional 1.
Restorative Justice Restorative Justice jika diterjemahkan secara bebas diartikan sebagai Keadilan Restoratif, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
xiii
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
2.
Tindak Pidana Istilah tindak pidana pada hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata Strafbaarfeit dalam Bahasa Belanda, yang diartikan
sebagai
Tindak
Pidana.
Menurut
Simon
pengertian
Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan menurut Van Hammel Strafbaarfeit diartikan sebagai kelakuan orang
bp hn
yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
3.
Anak
Pengertian anak sangat beragam dan sering dikaitkan dengan batas usia seseorang, yang dijadikan kerangka operasional dalam pengkajian ini adalah pengertian anak yang berhadapan dengan hukum yang di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditetapkan batas usia seorang anak adalah telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas).
4.
Diversi Diversi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
xiv
G.
Susunan Keanggotaan Tim Susunan Personalia Tim
Penerapan Restorative Justice Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, berdasarkan pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PHN.03-LT.02.01 Tahun 2013, yang terdiri dari: :
Prof. M. Taufik Makarao, S.H., M.H.
Sekretaris
:
Apri Listiyanto, S.H.
Anggota
:
1.
Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.H.
2.
Ali Khasan, S.H., M.Si.
3.
Suharyo, S.H., M.H.
4.
Hesty Hastuti, S.H., M.H.
5.
Sri Mulyani, S.H.
6.
Wiewik, S.Sos
:
1. Endang Wahyuni Setyawati, S.E.
bp hn
Ketua
Staf Sekretariat
H.
Jadwal Pelaksanaan kegiatan
Kegiatan Tim Pengkajian ini dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan,
dengan jadwal sebagai berikut: No.
Kegiatan
1.
Persiapan dan Penyusunan Proposal Penyempurnaan Proposal Pembagian Tugas Pengumpulan dan Pengolahan Data FGD Analisa Data Penyusunan Draft Laporan Akhir Penyempurnaan dan Penyerahan Laporan Akhir
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mar
Ap r
√
√
Mei
Jun
√
√
Jul
Agt
√
√
Sep
Ok t
√
√
Nov
√ √ √
√ √
√
√
xv
xvi
bp hn
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Positif Yang Terkait Dengan Anak 1.
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Beberapa hal yang dipandang erat berkaitan dengan anak ialah
bp hn
pengertian tentang kesejahteraan anak, usaha kesejahteraan anak, anak, dan hak anak.
Kesejahteraan
penghidupan
anak
adalah
suatu
yang
dapat
menjamin
anak
tata
kehidupan
dan
pertumbuhan
dan
perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial
yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. (Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1979). Hak Anak adalah hak anak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan
hidup
yang
dapat
membahayakan
atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. (Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979).
xvii
2.
Konvensi Hak Anak 1989 (Resolusi PBB No. 44 / 25 tgl 5 Desember 1989) Berdasarkan Konvensi Hak Anak 1989, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori hak anak, yaitu : hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival); hak untuk tumbuh berkembang (the right to develop); hak untuk perlindungan (the right to protection); dan hak untuk partisipasi (the right to participation).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan lahirnya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan
bp hn
Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak.
Pasal 1 butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa hak
anak adalah “bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”.
Atas dasar Keputusan Presiden Tahun 1990 yang mengesahkan
Convention On The Rights of the Child, maka sejak tahun 1990 Indonesia telah terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak. UU No. 23 Tahun 2002 telah dicabut oleh UU No. 11 Tahun 2012.
xviii
3.
United Nation Standard Minimum Rules for the Adminitrative of Juvenile Justice (SMRJJ) 1985. UNSMRJJ (selanjutnya disebut The Beijing Rules) 29 Nopember 1985 dalam Angka 5 dinyatakan bahwa tujuan Peradilan Anak (Aim of Juvenile Justice) adalah : “The juvenile justice system shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in propertion to the circumstancess of both the offenders and offence”
Mendasarkan pada tujuan peradilan anak di atas maka tujuan sistem peradilan pidana anak, yaitu memajukan kesejahteraan anak
bp hn
(the promotion of the well-being of the juvenile) dan memperhatikan prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality). Tujuan memajukan kesejahteraan anak merupakan fokus utama (the main focus), berarti menghindari penggunaan sanksi pidana yang sematamata bersifat menghukum (avoidance of merely punitive sanctions).
Tujuan prinsip proporsional adalah mengekang penggunaan sanksisanksi, yang kebanyakan dinyatakan dalam batasan-batansan ganjaran yang setimpal dengan beratnya pelanggaran hukum (mostly expressed in terms of just desert in relation to the gravity of the offence), tetapi juga memperhatikan pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya (be based on the concideration of personal circumstancess).
4.
UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam Undang-Undang ini pada Bab VII Bag. Kesatu tentang Perlindungan Pasal 95 disebutkan bahwa : (1)
Setiap pengusaha dilarang mempekerjakan anak
(2)
Tidak dianggap sebagai mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila :
xix
a.
pekerjaan yang dilakukan semata-mata oleh anggota satu keluarga yang sama;
b.
pekerjaan untuk keperluan rumah dan halaman, sepanjang dilakukan oleh anggota keluarga secara gotong royong menurut kebiasaan setempat;
c.
pekerjaan yang dilakukan oleh siswa sekolah teknik dan kejuruan untuk umum yang diawasi oleh pemerintah;
d.
pekerjaan dirumah penampungan baik milik Pemerintah maupun swasta, usaha-usaha sosial atau yayasan, dan Balai Pemasyarakatan Anak.
bp hn
Pelanggaran terhadap Pasal 95 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1997
diancam dengan pidana paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 200 juta. (Pasal 178 huruf a)
B.
Aspek Historis Doktrin Restoratif Justice
1.
Hukum pidana dan perubahan sosial
a.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Adapula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.12
b.
H.L. Packer : pidana merupakan “peninggalan kebiadaban kita masa lalu” (a vestige of our savage past)13 yang seharusnya dihindari.
12 13
Gene Kassebaum, Delinquency and Social Policy, (London: Prentice Hall, Inc, 1974), hal. 93. H.L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, (California: Stanford Univercity Press, 1968), hal. 3.
xx
c.
M. Cherif Bassiouni : sejarah hukum pidana penuh dengan gambaran-gambaran
perlakuan
yang
oleh
ukuran-ukuran
sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris terutama
justru
merupakan
raeksi
humanistis
terhadap
kekejaman pidana.14 d.
Smith dan Hogan : teori retributif tentang pemidanaan merupakan “a relic of barbarism”.15
e.
Faham determinisme : orang tidak mempunyai kehendak bebas
bp hn
dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatan oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana melainkan diperlukan tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Sebaliknya hukum pidana menganut indeterminisme yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan. Apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.16 f.
ALF ROSS : pandangan determinisme melahirkan gerakan modern mengenai kampanye anti pemidanaan (“the campaign against punishment”) dengan slogan yang terkenal “the strugle against punishment” atau “abolition punishment” yang menurut Kinberg bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan daripada ketidak-normalan atau ketidak-matangan pelanggar
14 15 16
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, (Illinois USA: C. Thomas Publicher, 1978), hal. 86. Smith and Hogan, Criminal Law, (London: Butterworths, 1978), hal. 6. Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, FH UNDIP, 2009), hal. 146-147.
xxi
yang lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment) daripada pidana.17
g.
Karel Menninger : perlu diadakan pergeseran dari “sikap memidana” (punitive attitude) ke arah “sikap mengobati” (therapeutic attitude).18
h.
F. Gramatica : hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang dan mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatan. Hukum
perlindungan
pidana
mensyaratkan (kesalahan)
bp hn
pertanggungjawaban
sosial
dan
penghapusan digantikan
tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.19 Ajaran Gramatika menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.
i.
W Clifford : “the rises crime have sufficient to attact attention to the inefficiency of the present criminal justice structure as mechanism for crime prevention”.
j.
Perspektif Islam20
ّاتى رجم انى صهعى ْٕٔ في انًسجدفُاداِ فقال ياصهعى اَي زَيت فاعرض عُّ رددعهي اربع يرات فهًا شٓدعهى َفسّ اربع شٓادات دعاِ انُبي فقال ابك جٌُٕ قال ال قال فٓم ّ يتفق عهي.ًِٕاحصُت قال َعى فقال صهعى اذْبٕاِ فارج. (Telah datang seorang lelaki kepada Muhammad di masjid dan lelaki itu mengundang Muhammad dan berkata, wahai Muhammad sesungguhnya saya telah berzina. Kemudian Muhammad berpaling 17
18 19
20
J. Andenaes, The general part of the criminal law of Norway, (London: Fred D. Rothmant & Co, Sweet & Maxwell Ltd, 1965), hal. 86. Stanley Grupp, E, Theories of Punishment, (London: Indiana University Press, 1971,) hal. 250. Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to criminal problems, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), hal. 73-74. Al Sayyid Sabiq, Fiqhu Al Sunnah, Jilid II, (Kairo, Mesir: Dar Al Fath Lil I’lam Al Aroby, 1990), hal. 502 dan hal. 456.
xxii
muka terhadapnya, kemudian laki-laki itu mengulangi ucapannya tersebut empat kali. Maka ketika ada saksi bagi dirinya empat orang saksi, Muhammad memanggil lelaki itu dan berkata apakah kamu gila, laki-laki itu menjawab tidak. Kemudian Muhammad berkata apakah kamu berzina mukhson, laki-laki itu menjawab iya kemudian Muhammad berkata pergilah kamu semua bersama lakilaki ini dan rajamlah laki-laki itu. (Bukhori-Muslim)). تعافٕاانحدٔد فيًا بيُكى فًا بهغُي يٍ حد فقد ٔجب. (Bermaaf-maaflah kamu semua terhadap pidana had di dalam perkara diantara kamu semua, maka terhadap perkara yang sampai pada saya yang diancam dengan pidana had maka perkara itu pasti akan diadili). درءانًفاسد يقدو عهى جهب انًصانح didahulukan
atas
bp hn
(menolak kerusakan-kerusakan kebaikan-kebaikan).
menarik
Mendasarkan pada kritikan-kritikan terhadap keberadaan
hukum pidana tersebut di atas, maka diperlukan perubahan dan pembaharuan
menuju
kearah
kesejahteraan
masyarakat
khususnya kesejahteraan anak.
ٌاليُكرتغيراالحكاو بتغيراالزياٌ ٔااليكا
(Tidak dipungkiri berubahnya hukum disebabkan berubahnya waktu dan tempat). Het recht hinkts achter de feiten aan.
2.
Kegagalan Sistem Peradilan Pidana
Salah satu jenis sanksi pidana adalah pidana pencabutan kemerdekaan yang populer disebut dengan pidana penjara dan pidana kurungan.
Penerapan
sanksi
pidana
pencabutan
kemerdekaan
mengandung lebih banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-aspek positifnya. Hal ini terbukti bahwa penjatuhan pidana pencabutan kemerdekaan menimbulkan hal-hal negatif sebagai berikut :
xxiii
a.
Dehumanisasi pelaku tindak pidana : 1)
tujuan
pidana
penjara
pertama
adalah
menjamin
pengamanan narapidana dan kedua adalah memberikan kesempatan-kesempatan
kepada
narapidana
untuk
direhabilitasi. 2)
hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas sering kali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak-mampuan narapidana
untuk
melanjutkan
kehidupannya
secara
bp hn
produktif di dalam masyarakat.21
b.
Prisonisasi (Prisonization) narapidana.
Proses prisonisasi narapidana dimulai ketika narapidana
masuk
dalam
lembaga
pemasyarakatan.
Lembaga
pemasyarakatan berisi kehidupan penjara sebagai suatu sistem sosial informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana (inmate subculture). Sub kultur narapidana ini mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan individual narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat narapidana (the inmate community) yang oleh Clemmer disebut sebagai prisonisasi. Dalam proses prisonisasi narapidana baru (new comer) harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Disamping itu ia harus mempelajari kepercayaan, perilakuperilaku
dari
masyarakat
tersebut,
yang
pada
akhirnya
menimbulkan mental penjahat.22
21
22
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸ (Bandung: Alumni, 1984), hal. 77-78. Ibid, hal. 79.
xxiv
c.
A place of contamination Menurut Bernes dan Teeters bahwa penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran (a place of contamination) yang justru harus dihindari. Di dalam penjara, penjahat kebetulan (accidental offenders), pendatang baru (novices in crime) dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini.23
d.
Pidana berjangka pendek Pidana berjangka pendek akan sangat merugikan di dalam
bp hn
pembinaan sebab disamping kemungkinan hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung
kemungkinan
untuk
mengadakan
rehabilitasi
narapidana.24
e.
Stigmatization
Kerugian lain yang sangat dirasakan dari penerapan pidana
penjara adalah terjadinya stigmatisasi (stigmatization). Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak disebabkan oleh pandangan masyarakat sekitar terhadapnya.
Secara psikhologis
stigmatisasi
menimbulkan
kerugian terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan demikian publik mengetahui bahwa ia seorang penjahat, dengan segala akibatnya.25
Bersamaan dengan kegagalan sistem peradilan pidana yang didasari dinamika perubahan dan perkembangan hukum pidana timbul 23 24 25
Ibid. Ibid, hal. 80. Ibid, hal. 81.
xxv
suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice. Dalam restorative justice pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Program utamanya adalah “a meeting place for people” guna menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan akibat kejahatan.26
Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) pelaku, korban dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik restorative justice, oleh karena itu keadilannya dilakukan sebagai “Just Peace Principle”. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian pada
bp hn
dasarnya tidak dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan,
keadilan
tanpa
perdamaian
adalah
bentuk
baru
penganiayaan / tekanan.27
Dikatakan sebagai JustPeace Ethics karena pendekatan terhadap
kejahatan dalam restorative justice bertujuan untuk pemulihan kerusakan akibat kejahatan (it in an attempt to recovery justice), upaya ini
dilakukan
dengan
mempertemukan
korban,
pelaku
dan
masyarakat.28
C.
Konsep,
Landasan
Filosofis,
Prinsip
dan
Penggunaan
Program
Restorative Justice 1.
Konsep Restorative Justice Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam
26 27 28
Ibid, hal. 3. Ibid. Ibid.
xxvi
teori retributif, sanksi pidana bersumber padea ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar, atau seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar
bp hn
dia berubah.29Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik30 dan
berorientasi pada perlindungan masyarakat.31
Retributive Justice oleh banyak orang dilihat sebagai “a philosophy,
a process, an idea, a theory and intervention”.32 Restorative Justice adalah
peradilan yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak (stake holders). Patut dikemukakan beberapa pengertian Restorative Justice berikut ini : a.
Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished through cooperative processes that include all stakeholders. (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang menekankan perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh perilaku
29 30
31
32
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 4. Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 360. Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal. 53. Kuat Puji Prayitno, Op.Cit, hal. 4.
xxvii
kriminal. Yang paling baik hal ini dilakukan melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak yang berkepentingan).33
b.
Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community. (Keadilan restoratif adalah nilai / prinsip pendekatan terhadap kejahatan dan konflik, dengan fokus keseimbangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian, dan masyarakat yang terkena dampak).34
Howard Zehr:35 Viewed through a restorative justice lens, “crime is
bp hn
c.
a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance. (Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan.
Kejahatan
menciptakan
kewajiban
untuk
memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan, rekonsiliasi, dan jaminan).
d.
Burt Galaway dan Joe Hudson:36 A definition of restorative justice includes the following fundamental elements :”first, crime is viewed primarily as a conflict between individuals that result in injuries to victims, communities, and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice process should be to create peace in
33 34 35
36
http//:152.118.58.226 – Powered by Mambo Open Source Generated: 7 Nopember, 2008, 18:00. Kuat Puji Prayitno, Op.cit. hal. 4. Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press, 1990), hal. 181. Ibid.
xxviii
communities by reconciling the parties and repairing the injuries caused by the dispute; third, the criminal justice should facilitate active participation by the victim, offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict. (Definisi keadilan restoratif meliputi beberapa unsur pokok : Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara individu yang dapat mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri; kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua pihak dan mengganti kerugian yang disebabkan oleh perselisihan tersebut; ketiga, proses peradilan pidana memudahkan peranan
bp hn
korban, pelaku, dan masyarakat untuk menemukan solusi dari konflik itu).
e.
Kevin I. Minor dan J.T. Morrison:37 Restorative Justice may be defined as a response to criminal behavior that seeks to restore the loses suffered by crime victims and facilitate peace and tranquility among opposing parties. (Keadilan restoratif dapat digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara pihak-pihak saling bertentangan).
f.
Tony Marshall:38 Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offense come together to resolve collectively how to deal with the offermath of the offense and its implications for the future. (Keadilan restoratif adalah proses
37
38
Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives, (Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, 1996), hal. 117. Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, (London: Home Office Research Development and Statistic Directorate, 1999), hal. 8.
xxix
dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan).
g.
B.E. Morrison:39 Restorative justice is a from of conflict resolution and seeks to make it clear to the offender that the behavior is not condoned, at the same time as being supportive and respectful of the individual. (Keadilan restoratif merupakan bentuk penyelesaian konflik dan berusaha untuk menjelaskan kepada pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan, kemudian pada saat
bp hn
yang sama juga sebagai langkah untuk mendukung dan menghormati individu).
h.
Muladi:40 Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap
keadilan
tanggungjawab,
atas
dasar
keterbukaan,
falsafah
dan
kepercayaan,
nilai-nilai harapan,
penyembuhan, dan “inclusivenes” dan berdampak terhadap
pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan korban, melibatkan masyarakat
39
40
B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a civil society, in J. Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, (Cambridge University Press, 2001), hal. 195. Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema “Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012.
xxx
terdampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong kerjasama dan reintegrasi.
i.
Bagir Manan:41 Secara umum pengertian restorative justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.
Di dalam proses restorative justice terkait erat dengan penerapan Empowerment, yang terdapat beberapa pengertian, diantaranya adalah:42 a.
Barton: “the action of meeting, discussing and resolving criminal
bp hn
justice matters in order to meet material and emotional needs. To him, empowerment is the power for poeple to choose between the different alternatives that available to resolve one’s own matter. The option to make such decisions should be present during the whole process”
(Pemberdayaan sebagai tindakan untuk melakukan pertemuan, membahas dan menyelesaikan masalah peradilan pidana dalam rangka memenuhi kebutuhan materi dan emosi. Pemberdayaan adalah kekuatan bagi orang untuk memilih antara berbagai alternatif yang tersedia untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dan keputusan untuk memilih itu tersedia dalam proses Restorative Justice).
b.
Van Ness and Strong: The genuine opportuinity to participate in and
effectively
influence
the
response
of
the
offence.
(Pemberdayaan adalah kesempatan yang sesungguhnya / sejati 41
42
Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006), hal. 3. Ivo Aertsen dkk, Restorative Justice and The Active Victim :Exploring the Concept of Empowerment (TEMIDA Journal, Maret 2011, str 5-9, ISSN : 1450-6637 DOI 10.2298/TEM 1101005A Pregledni Rad), hal. 8-7.
xxxi
untuk berpartisipasi dan secara efektif memberi pengaruh dalam menghadapi kejahatan).
c.
To Zehr: Being empowered means for victims to be heard and to have the power to play a role in the whole process. It also means that victim have the opportunity to define their own needs and how and when those needs should be met. (Diberdayakan berarti korban didengar dan memiliki kekuatan untuk berperan dalam seluruh proses. Ini juga berarti bahwa korban memiliki kesempatan untuk mendefinisikan kebutuhan mereka sendiri dan bagaimana serta
bp hn
kapan kebutuhan tersebut harus dipenuhi).
d.
Larson and Zehr: Explain empowerment as the power to participle in the case but also as the capacity to identify needed resources, to make decision on aspects relating to one’s case and to follow through on those decision. (Pemberdayaan sebagai kekuatan untuk berpartisipasi kemampuan
dalam
untuk
kasus
tersebut
mengidentifikasi
tetapi
sumber
juga daya
sebagai yang
dibutuhkan, untuk mengambil keputusan pada aspek yang berkaitan dengan kasus seseorang dan untuk menindak lanjuti keputusan tersebut).
e.
Toews and Zehr: Describe victim empowerment as a possibility to be heard, to tell one’s story and to ariculate one’s needs. (Pemberdayaan digambarkan sebagai kemungkinan korban untuk didengar, untuk menceritakan kisahnya dan mengemukakan kebutuhannya).
f.
Bush and Folger: Define empowerment as an experience of awareness of the own self-worth and the ability to deal with
xxxii
difficulties. (Pemberdayaan diartikan sebagai kesadaran terhadap pengalaman dirinya sendiri dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan).
2.
Prinsip-Prinsip Restorative Justice Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative Justice yaitu: The three principles that are involved in restorative justice include: there be a restoration to those who have been injured, the offender has an opportunity to be involved in the restoration if they desire and the court system’s role is to preserve the public order and the community’s
bp hn
role is to preserve a just peace.43
Berdasarkan statement di atas, tiga prinsip dasar Restorative
Justice adalah : a.
Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan;
b.
Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi);
c.
Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.
3.
Program Restorative Justice Praktik dan program Restorative Justice tercermin pada tujuannya yang menyikapi tindak pidana dengan :44 a.
Identifying and taking steps to repair harm (mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kerugian / kerusakan);
43 44
From Wikipedia, the free encyclopedia/http:/en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice. Mc Cold and Wachtel, Restorative Practices, (The International Institute for Restorative Practices (IIRP), 2003), hal. 7.
xxxiii
b.
Involving all stakeholders, (melibatkan semua pihak yang berkepentingan) dan;
c.
Transforming
the
traditional
relationship
between
communities and their government in responding to crime (mengubah sesuatu yang bersifat tradisional selama ini mengenai hubungan masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi kejahatan).
4.
Penggunaan Program-Program Restorative Justice a.
Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam setiap tahap
bp hn
sistem peradilan pidana;
b.
Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila terdapat bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana dan disertai dengan kebebasan dan kesukarelaan korban pelaku. Dalam hal ini termasuk kebebasan pelaku dan korban untuk memundurkan diri dari persetujuan setiap saat selama proses. Kesepakatan juga harus dicapai secara sukarela dan memuat kewajiban-kewajiban yang wajar serta proporsional;
c.
kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan dengan kasus yang terkait, dan partisipasi pelaku tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses hukum berikutnya;
d.
Disparitas akibat ketidak-seimbangan, baik kekuatan maupun perbedaan kultural harus diperhatikan dalam melaksanakan proses keadilan restoratif;
xxxiv
e.
keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses keadilan restoratif;
f.
Apabila proses restoratif tidak tepat atau tidak mungkin dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada pejabat sistem peradilan pidana, dan suatu keputusan harus diambil untuk segera memproses kasus tersebut tanpa penundaan. Dalam hal ini pejabat peradilan pidana harus berusaha untuk mendorong pelaku untuk bertanggungjawab berhadapan dengan korban dan masyarakat yang dirugikan dan terus
mendukung usaha
bp hn
reintegrasi korban dan pelaku dalam masyarakat.45
5.
Pelaksanaan Program-Program Restorative Justice Pedoman dan standar yang dirumuskan harus jelas melalui
“responsive regulation” berupa produk legislatif, yang mengatur penggunaan proses keadilan restoratif. Asas-asas yang dimuat dalam pedoman tersebut adalah : a.
Kondisi kasus yang berkaitan diarahkan masuk dalam proses keadilan restoratif;
b.
Penanganan kasus setelah masuk dalam proses keadilan restoratif;
c.
Kualifikasi, pelatihan dan penilaian terhadap fasilitator;
d.
Administrasi program keadilan restoratif;
e.
Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang mengendalikan pelaksanaan keadilan restoratif.46
45
46
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Dalam Focus Group Discussion (FGD) Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Diselenggarakan oleh Puslitbang SHN – BPHN, Jakarta, 26 Agustus 2013. Di BPHN Jakarta, hlm 7. Ibid.
xxxv
6.
Prosedur Keadilan Dasar Yang Menjamin Keadilan dan Kejujuran Pelaku dan Korban Dalam Pelaksanaan Keadilan Restoratif a.
Di bawah hukum nasional korban dan pelaku harus memiliki hak untuk berkonsultasi dengan konsultan hukum sehubungan dengan proses keadilan restoratif dan apabila perlu, untuk menterjemahkan dan menafsirkan. Anak-anak di bawah umur memiliki hak untuk dibantu orang tua atau pendamping;
b.
Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif para pihak harus diberi informasi lengkap tentang hakhaknya, hakekat proses dan konsekuensinya yang mungkin
bp hn
terjadiakibat keputusannya;
c.
Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau dibujuk dengan cara-cara tidak jujur untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif atau untuk menerima hasilnya.47
7.
Hal-hal Lain Yang Harus Diperhatikan a.
Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuali atas persetujuan pihak-pihak harus terbuka.
b.
Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses keadilan restoratif apabila diperlukan perlu diawasi oleh lembaga judisial, atau digabungkan dalam keputusan judisial dengan status yang sama dengan keputusan judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus yang sama;
c.
Apabila tidak tercapai kesepakatan antara para pihak, kasus tersebut harus dikembalikan pada proses peradilan pidana dan
47
Ibid, hal. 8.
xxxvi
diproses tanpa ditunda-tunda. Kegagalan untuk mencapai kesepakatan sendiri tidak akan digunakan untuk proses peradilan selanjutnya;
d.
Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang dibuat dalam rangka proses keadilan restoratif harus dikembalikan dalam proses restoratif atau peradilan pidana dan proses harus segera dilaksanakan tanpa penundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan berbeda dengan keputusan pengadilan, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menjatuhkan pidana yang
bp hn
lebih berat dalam proses peradilan selanjutnya;
e.
Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak memihak, dengan menghormati martabat pihak-pihak. Dalam rangka
kapasitas tersebut, fasilitator harus menjamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan menghormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak untuk menemukan penyelesaian yang relevan antar mereka;
f.
Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik terhadap kultur setempat dan masyarakat serta apabila diperlukan memperoleh pelatihan sebelumnya sebelum melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator;
g.
Negara harus merumuskan strategi nasional dan kebijakan untuk mengembangkan keadilan restoratif dan memajukan budaya yang kondusif untuk mendayagunakan keadilan restoratif diantara penegak hukum, lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat setempat;
xxxvii
h.
Konsultasi harus dilakukan antar lembaga peradilan pidana dan administrator proses keadilan restoratif untuk mengembangkan pemahaman bersama dan memperkuat efektivitas keadilan restoratif dan hasilnya, untuk meningkatkan perluasan programprogram restoratif yang digunakan, dan menjajagi kemungkinan cara-cara agar pendekatan keadilan restoratif dapat digabungkan dalam praktek peradilan pidana;
i.
Negara bersama masyarakat madani (civil society) harus mengembangkan riset untuk mengevaluasi program-program keadilan restoratif dengan menilai tingkat penggunaan hasilnya,
bp hn
dukungan sebagai pelengkap atau alternatif proses peradilan pidana dan menciptakan hasil positif bagi semua pihak. Proses keadilan restoratif sangat dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan secara konkrit. Negara harus meningkatkan secara berkala
dan
modifikasi
yang
diperlukan
dari
program-
programnya. Hasil dari riset dan evaluasi harus menjadi pedoman kebijakan selanjutnya dan pengembangan program;
j.
Sekali lagi ditegaskan bahwa segala asas dasar di atas tidak akan berpengaruh terhadap hak pelaku atau korban yang telah diatur dalam hukum nasional atau hukum internasional.48
8.
Hambatan-Hambatan dalam Penerapan Restorative Justice Hambatan-hambatan yang terjadi dalam menerapkan Restorative Justice diantaranya adalah :
48
a.
an identifiable victim;
b.
voluntary participation by the victim;
Ibid, hal. 9.
xxxviii
c.
an offender who accepts responsibility for his/her criminal behaviour; and,
d.
non-coerced participation of the offender.49
Hambatan lain menurut Thomas Raffles dalam bukunya berjudul History of Java adalah bahwa orang Jawa (maksudnya Indonesia) itu pendendam50 dan oleh karena itu sulit untuk diajak bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan sulit untuk berkompromi. Masyarakat Indonesia menghendaki agar semua orang yang melakukan kejahatan
bp hn
harus masuk penjara supaya jera.51
D.
Teori-Teori Pemidanaan (Dasar-Dasar Pembenaran Dan Tujuan Pidana)
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu : 1.
Teori absolut atau teori pembalasan (retributive / vergeldings theorieen)
2.
Teori relatif atau teori tujuan
3.
Teori modern
Ad.1. Teori absolut
Teori absolut menyatakan bahwa pidana merupakan res absoluta ab effectu futuro (keniscayaan yang terlepas dari dampaknya dimasa depan). Karena dilakukan kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, quia peccatum (karena telah dilakukan dosa).
Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan 49 50 51
Kuat Puji Prayitno, Op.cit. hal. 48. Andi Hamzah, Beberapa Hal Dalam Rancangan KUHAP,............. Loc.Cit. Ibid.
xxxix
sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri; ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan; dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan. Jadi pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan.52
Karel O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut, yakni : a.
The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana hanyalah sebagai balasan); Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any
bp hn
b.
ather aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever (Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat);
c.
Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);
d.
The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);
e.
Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku).53
52
53
Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Terjemahan T. P. Moeliono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 600. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004), hal. 35.
xl
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu : a.
Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.
b.
Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam : 1)
penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat : pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh
bp hn
melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.
2)
penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang berpendapat : pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” di hormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.54
Terhadap pertanyaan tentang sejauh manakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut :55 a.
Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative.
54 55
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 12-13. Sholehuddin, Op.Cit, hal. 37.
xli
b.
Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman
yang
merugikan
orang
lain
atau
memperoleh
keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness.
c.
Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan : proportionality. Termasuk ke dalam kategori the gravity
ini
bp hn
adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya.
Lebih lanjut Nigel Walker dalam “Sentencing in A Rational Society”
menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil.56
John Kaplan dalam bukunya Chriminal justice membagi teori retributif menjadi dua:
56
a.
The Revenge Theory (teori pembalasan).
b.
The Expiation Theory (teori penebusan dosa).
Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971), hal. 8.
xlii
Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). Jadi pengertian tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan
sesuatu
kepadanya”
ataukah
disebabkan
“ia
berhutang sesuatu kepada kita”.
Demikian
pula
Johannes
Andenaes
menegaskan
bahwa
“penebusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge).
bp hn
Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan
dosa,
lebih
bertujuan
untuk
memuaskan
tuntutan
keadilan.57
Ad.2. Teori relatif atau teori tujuan
Teori relatif berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu:
preventif, deterrence dan reformatif.58 Menurut J. Andenaes, teori ini
dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence) atau menurut Nigel Walker disebut aliran reduktif (the
“reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada pelaku tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Dasar pembenaran adanya pidana adalah terletak pada tujuan. Pidana
57 58
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 13. Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran klasik, Jeremy Bentham yang dikenal dengan ajaran ‘utilitarianisme’-nya pernah mengajukan empat tujuan utama dari pidana : (1) Mencegah semua pelanggaran, (2). Mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3). Menekan kejahatan, dan (4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hal. 31).
xliii
dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Oleh karena berorientasi pada tujuan yang bermanfaat, maka teori ini disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Tujuan pencegahan kejahatan dibedakan antara “special deterrence” (pengaruh pidana terhadap terpidana) dan “general deterrence” (pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya). Teori tujuan pidana yang berupa “special deterrence” dikenal dengan sebutan ”Reformation atau Rehabilitation Theory”.59 Dalam teori relatif ini dikenal dua sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kedudukan yang setara. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi
bp hn
tindakan ini merupakan hakekat asasi atau ide dasar dari konsep double track system yang menjadi ciri dari teori relatif. Sanksi pidana terkait dengan unsur pencelaan / penderitaan dan sanksi tindakan terkait dengan unsur pembinaan. Kedua-duanya sama-sama penting.60
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,
dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.61
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok teori relatif ini, yakni : a.
The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah pencegahan);
59 60 61
Lihat lebih lanjut dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan ............, hal. 17-18. Baca lebih lanjut M. Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana............, hal. 23-33. Ohoitimur, Yong, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 24.
xliv
b.
Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat);
c.
Only breaches of the law which are imputable to the perpretator as intent or negligence quality for punishment (hanya pelanggaranpelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan yang memenuhi syarat untuk adanya
bp hn
pidana);
d.
The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);
e.
The punishment is prospective, it points into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare.62 (Pidana melihat ke depan
atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan
kejahatan
untuk
kepentingan
kesejahteraan
masyarakat).63
Ad.3. Teori modern Teori modern berorientasi pada “hukum perlindungan sosial” yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori modern menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana, penjahat 62 63
Sholehuddin, Op.Cit, hal. 42-43. Sholehuddin, Op.Cit, hal. 42-43.
xlv
dan pidana serta menolak fiksi-fiksi yuridis dan tekhnik-tekhnik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori modern melahirkan apa yang disebut dengan istilah “Restorative Justice”. Apabila ditinjau secara historis lahirnya ide restorative justice, dapat dilihat ragaan di bawah ini : Teori Relatif (Dad-Dader Strafrecht) Jenis Sanksi
“Double Track System”
Treatment
bp hn
Punishment
Terkait dengan unsur pencelaan / penderitaan
Terkait dengan Unsur pembinaan
Individualisasi Pidana / Reintegrasi Sosial
Tidak mencapai hasil maksimal / gagal
Melahirkan Teori Modern
- Berorientasi pada “social defence law” - Menolak konsep tindak pidana - Menolak fiksi-fiksi dan teknis-teknis yang terlepas dari kenyataan sosial Dalam perkembangannya melahirkan Restorative Justice - pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat akibat terjadinya tindak pidana (pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, masyarakat, dan aparat penegak hukum) - musyawarah untuk mencapai mufakat - pemulihan keadaan yang berupa penggantian kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana - solusi atas dasar win-win solution xlvi
Untuk membedakan Restorative Justice dengan Retributive Justice dapat dilihat dalam matrik di bawah ini :64 Restoratif Justice Model
Retributive Justice Model
1. Kejahatan dirumuskan sebagai 1. Kejahatan pelanggaran
dirumuskan
seseorang
sebagai pelanggaran terhadap
terhadap orang lain, dan diakui
negara, hakekat konflik dari
sebagai konflik.
kejahatan
2. Titik
perhatian
pemecahan
pada
dan
kewajiban pada masa depan.
dan
diarahkan
pada
kesalahan
pada
ditekan.
masalah 2. Perhatian
pertanggungjawaban
dikaburkan
penentuan masa lalu.
bp hn
3. Sifat Normatif dibangun atas 3. Hubungan para pihak bersifat dasar dialog dan negoisasi
4. Restitusi
perlawanan, melalui proses
sebagai
sarana
yang
teratur
perbaikan
para
pihak,
normatif.
rekonsiliasi
dan
dan
bersifat
restorasi 4. Penerapan penderitaan untuk
sebagai tujuan utama.
penjeraan dan pencegahan.
5. Keadilan dirumuskan sebagai 5. Keadilan dirumuskan dengan hubungan-hubungan
hak,
dinilai atas dasar hasil.
6. Sasaran
pada 6. Kerugian
perbaikan kerugian sosial.
fasilitator
tindak dalam
64
dengan
sosial yang satu
digantikan oleh yang lain.
merupakan 7. Masyarakat berada pada garis di
dalam
proses
restoratif. 8. Peran
dan
proses.
perhatian
7. Masyarakat
kesengajaan
samping
dan
ditampilkan
secara abstrak oleh negara
koraban
dan
pidana
diakui,
masalah
pelaku 8. Aksi diarahkan dari negara baik
maupun
pada pelaku tindak pidana , koraban harus pasif.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995), hal. 127129.
xlvii
penyelesaian kebutuhan
hak-hak korban.
dan 9. Pertanggunjawaban si pelaku Pelaku
tindak
tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab
pidana
dirumuskan
dalam rangka pemidanaan 10. tindak
9. Pertanggungjawaban si pelaku
dalam
pidana
dirumuskan
terminologi
dirumuskan sebagai dampak
yang
pemahaman
murni tanpa dimensi moral,
perbuatan
terhadap dan
untuk
bersifat
hukum
teoritis
dan
sosial dan ekonomi.
membantu memutuskan yang 11. stigma kejahatan tak dapat terbaik
dihilangkan.
10. tindak pidana dipahami dalam moral,
bp hn
konteks menyeluruh, sosial dan ekonomis
11. stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif
Teori modern dalam perkembangannya mengalami pergeseran
kearah abolisionisme pidana yang dikenal dengan Restorative Justice sebagaimana telah disebutkan di atas.65
65
Kaum Abolisionis adalah gerakan akademis yang menampakkan dirinya sekitar tahun 1985 di Vienna, Austria pada The Ninth World Conference on Criminology. Gerakan ini dipengaruhi pandangan kriminologis kritis, seperti labeling approach. Tokoh-tokohnya antara lain: L. Hulsman, H. Bianchi, Mils Christie dan Thomas Mathiesen. Gerakan yang mendasar dari kaum ini adalah penolakannya terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, dikutip oleh Solehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 64. Bila disimak karekteristik “restoratif justice model” di atas dapat ditegaskan kembali bahwa pandangannya lebih banyak dipengaruhi oleh paham Abolisionis yang menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Analisis paham Abolisionis menurut Brants dan Silvis lebih banyak ditujukan terhadap kegagalan sistem peradilan pidana dibandingkan terhadap keberhasilannya. Lihat Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hal. 101.
xlviii
Kaum abolisionis berfikir radikal tentang kejahatan pidana, perbuatan menyimpang dan pengendalian sosial. Mereka tidak berbicara tentang perbaikan dan pembaharuan (repair dan replace) tetapi menuntut penggantian (replace) dari sistem dan teori yang ada dalam bentuk-bentuk: a.
dekarkerasi (decarceration atau deinstitutionalization), yakni penghapusan pidana penjara dan menggantikannya dengan pengendalian, pembinaan dan pelayanan pada masyarakat terbuka;
b.
diversi (diversion), yakni menghindarkan pelaku tindak pidana
bp hn
dari proses peradilan yang formal dan menggantikannya dengan sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat;
c.
dekategorisasi (decategorization), termasuk juga delabeling dan
destigmatization dengan cara mematahkan berbagai sistem pengetahuan dan diskusi yang menciptakan kategori-kategori perbuatan yang menyimpang. Dalam hubungannya dengan hal ini apabila dekriminalisasi merupakan sarana untuk mengurangi ruang lingkup kekuasaan negara untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan
berkeinginan
merupakan untuk
kejahatan,
menghapus
maka
seluruh
abolisionisme
konsep
tentang
kejahatan;
d.
delegalisasi (delegalization, deformalization, keadilan informal) dalam arti menemukan sesuatu yang baru dan memperkuat caracara
penyelesaian
perselisihan
dan
management
konflik
tradisional, bentuk-bentuk keadilan diluar sistem peradilan pidana yang formal;
xlix
e.
deprofesionalisasi
(deprofessionalization),
yang
mengandung
makna bahwa untuk menggantikan struktur monopoli profesional dan kekuasaan (dalam peradilan pidana, pekerjaan sosial atau psikiatri), perlu dibentuk jaringan (network) kontrol masyarakat partisipasi publik, saling menolong dan pelayanan informal.66
E.
Tinjauan Diversi Dalam Peradilan Anak 1.
Pelaksanaan Program Restorative Justice dan Ide Diversi Program restoratif ditingkat penuntutan dapat dijalankan berdasarkan Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
bp hn
Republik Indonesia. Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tersebut memberikan wewenang kepada jaksa untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kalimat “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dapat dimaknai perubahan dan pergeseran dari prosedur retributive justice ke arah restorative justice, dari berorientasi kepada
penjatuhan
pidana
ke
arah
orientasi
perbaikan
dan
perlindungan masyarakat, yakni kepentingan pelaku, korban dan kepentingan masyarakat luas”.
Berdasarkan Pasal 35 huruf a UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan
dalam tugasnya menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenangnya, kejaksaan dapat mengembangkan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup restorative sebagai bagian dari kewenangannya. Diversi dan program restoratif dapat dianggap sebagai kewenangan lain dari institusi kejaksaan berdasarkan undang-undang. Kewenangan lain dari institusi kejaksaan tersebut diperkuat oleh Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 bahwa “disamping tugas dan wewenang 66
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.............................., Op.Cit, hal. 127.
l
tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang adalah melaksanakan wewenang diversi / restorative justice berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012, yang dinyatakan berlaku pada bulan Juli 2014.
Dalam hubungannya dengan sistem peradilan anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2014, kejaksaan berdasarkan Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 dapat langsung mengupayakan program diversi dalam konteks peradilan restoratif. Untuk lebih jelasnya, kewenangan institusi
bp hn
kejaksaan dalam hubungannya dengan program restorative justice dapat dilihat pada ragaan di bawah ini :
Ragaan
Wewenang Kejaksaan Berdasarkan UU 67
Pasal 32 UU 16/2004 (wewenang kejaksaan) Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang
Wewenang dlm bidang Penuntutan/peradilan pidana
Wewenang lain berdasar UU
UU No. 11 Tahun 2012 1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (Pasal 5 ayat (1)) 2. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
67
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit, hal. 43.
li
Dengan adanya undang-undang peradilan pidana anak
yang
mengharuskan penggunaan pendekatan keadilan restoratif pada anak maka ini berarti undang-undang peradilan anak memberi kewenangan kepada jaksa untuk mengupayakan proses diversi dalam konteks peradilan restoratif. Penerapan proses diversi dalam konteks keadilan restoratif oleh pihak kejaksaan dapat dilihat pada ragaan di bawah ini :
Ragaan Integrasi Kewenangan Kejaksaan untuk Program Restoratif 68 ACCUSATION UU No. 16 Tahun 2004
bp hn
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
WEWENANG KEJAKSAAN BERDASAR UU
Mengupayaka n
Mengalihkan
DIVERSION UU No. 11 Tahun 2012
RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM
Di tingkat kepolisian (tahap penyelidikan dan penyidikan),
pendekatan
restorative
justice
dapat
digunakan
berdasarkan
kewenangan diskresi (discretionary powers). Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang memberi ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan diskresi diberikan kepada pemerintah (jajaran badan-badan administrasi negara) mengingat fungsi pemerintah / administrasi negara, yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan
umum.
Penyelenggaraan
kesejahteraan umum dan mewujudkannya adalah konsekuensi logis 68
Ibid, hal. 44.
lii
dari konsep “Welfare State” dan sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (“wetmatigheid van bestuur”). Untuk itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengambil kewenangan diskresi adalah : a.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam hal ini Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf f UU No. 2 Tahun 2002, bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : 1)
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat
bp hn
yang dapat mengganggu ketertiban umum.
2)
melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
b.
Tidak bertentangan nyata-nyata dengan nalar sehat.
c.
Harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaankeadaan
serta
alternatif-alternatif
yang
ada
perlu
dipertimbangkan.
d.
Isi kebijaksanaan harus jelas tentang hak-hak dan kewajibankewajiban dari warga yang terkena peraturan.
e.
Tujuan-tujuan
dan
dasar-dasar
pertimbangan
tentang
kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
f.
Harus memenuhi syarat-syarat kepastian hukum materiil, artinya hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena
liii
kebijaksanaan harus dihormati, juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.69
Untuk
itu
penggunaan
kewenangan
diskresi
harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :70 a.
Sesuai dengan tujuan undang-undang yang memberikan ruang kebebasan bertindak (kewenangan diskresi).
b.
Harus berlandaskan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti: asas “equal before the law”
2)
asas kepatutan dan kewajaran
3)
asas keseimbangan
4)
asas pemenuhan kebutuhan dan harapan
5)
asas kepentingan publik dan warga masyarakat
bp hn
1)
c.
Tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai71
Berkaitan dengan kewenangan diskresi pihak kepolisian dan
kewenangan jaksa untuk menggunakan pendekatan restorative justice sebagai tujuan dalam pemeriksaan perkara pidana, khususnya yang dilakukan oleh anak, Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan apa yang disebut dengan “The Souverignity of Purpose” sebagai berikut : The some extent purposiveness facilitates the elaboration oflegal mandates, because it calls for inquiry into (1) substantive outcome and
69
70
71
Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), hal. 45-46. Markus Lukman, Disertasi: Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996), hal. 205. Ibid, hal. 191-192.
liv
(2) what is factually needed for effective discharge of institutional responsibilities. In other words, purposive law is result-oriented.72
Berdasarkan teori kedaulatan tujuan tersebut di atas, Nonet dan Selznick menggambarkan hukum responsif (bukan hukum represif dan bukan pula hukum otonom) sebagai “Kedaulatan Tujuan”. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan tersendiri, melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya, dan bahkan hukum (hukum formal) dapat disimpangi apabila penyimpangan itu dipandang lebih baik ditinjau dari tujuan yang akan dicapai. Atas dasar kedaulatan tujuan
bp hn
tersebut, Peter menyatakan bahwa sebagai hukum yang bersistem tujuan, hukum responsif mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni : a.
Pergeseran penekanan dari aturan-aturan (legal positivism) ke
arah prinsip-prinsip dan tujuan
b.
Pentingnya kerakyatan, baik sebagai tujuan maupun cara mencapainya.73
Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengatakan bahwa : “a distinctive
feature of responsive law is the search implicit values and rules and policies”.74
72
73
74
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive law, (New York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper and Row Publishers, 1978), hal. 83-84. Peter, A.A.G dan Koesriani, Hukum Dan Pembangunan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum III, (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hal. 216. Philippe Nonet dan Philip Selznick memberikan 4 ciri tipe hukum responsif : 1. The dynamic of legal development increase the authority of purpose in legal reasoning. 2. Purpose make legal obligation more problematic, thereby relaxing law,s claim to obedience and opening the possibility of a less rigid and more civil conception of public order. 3. As law gains openness and flexibility, legal advocacy takes on political dimension, generating forces that help correct and change legal institutions but threaten to undermine institutional integrity. 4. Finally, we turn to the most difficult problem of responsive law : In an environment of pressure the continuing authority of legal purpose and integrity of the legal order depend on the design of more competent legal institutions.Lihat Phillipe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition : ......., hlm 78-79
lv
2.
Prinsip dasar ide diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak a.
diversi untuk menghindari efek negatif peradilan formal dan pengulangan tindak pidana.
b.
harus ada kesepakatan/damai antara pelaku, korban dan masyarakat.
c.
orang tua dan anak setuju dan menyanggupi akan program diversi, serta menunjukkan rasa tanggungjawab.
d.
kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan tidak berat atau kejahatan berat tertentu.
e.
program-program diversi dalam bentuk peringatan, denda/ganti rugi, pembinaan keterampilan, pembinaan oleh orang tua, dan
bp hn
konseling.75
3.
Jenis-jenis diversi dan program-program diversi76
a.
Jenis-jenis diversi 1)
Peringatan
Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan
oleh polisi untuk pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan meminta maaf pada korban. Polisi mencatat detil kejadian dan mencatatkan dalam arsip di kantor
polisi.
Peringatan
seperti
ini
telah
sering
dipraktekkan.
2)
Diversi informal Diversi informal diterapkan terhadap pelanggaran ringan dimana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku membutuhkan rencana intervensi yang komprehensif. Pihak korban harus diajak (dapat dilakukan melalui telepon)
75 76
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi.....................................................,Op.cit, hal. 137. Ibid, hal. 62-63.
lvi
untuk memastikanpandangan
mereka tentang diversi
informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, anak dan keluarganya. Yaitu harus dipastikan bahwa anak akan cocok untuk diberi diversi informal. Rencana diversi informal ini anak akan bertanggungjawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua diminta bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
3)
Diversi formal Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak
bp hn
dapat dilakukan, tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan.
Beberapa
korban
akan
merasa
perlu
mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengar langsung dari anak. Karena permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak maka baiknya ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari perbuatan itu. Proses diversi formal dimana korban dan pelaku bertemu muka, secara internasional hal ini disebut sebagai
”Restorative
Restorative
Justice,
Justice”. misalnya
Sebutan-sebutan Musyawarah
lain
Kelompok
Keluarga (Family Group Conference); Musyawarah Keadilan Restoratif (Restorative Justice Conference); Musyawarah Masyarakat (Community Conferencing).
lvii
b.
Program-program diversi Prinsip-prinsip program diversi, sebagaimana dicantumkan dalam manual pelatihan untuk polisi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penerapan program diversi yaitu :77 1)
program diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengaku bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, dan pengakuan ini tidak boleh ada paksaan;
2)
Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi, mekanisme
dan
struktur
diversi
tidak
mengijinkan
pencabutan kebebasan dalam segala bentuk; 3)
Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan
bp hn
(perkara harus dapat dilimpahkan kembali ke sistem peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil);
4)
Adanya
hak
peninjauan
untuk
kembali.
memperoleh Anak
persidangan
harus
tetap
atau dapat
mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali;
5)
Tidak ada diskriminasi;
6)
Ketika seorang anak dialihkan dari proses formal, maka polisi harus menjamin bahwa anak mengerti hak-haknya;
7)
Orang tua / keluarga / walinya mengerti proses diversi yang berlangsung, dan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk diversi.
Selanjutnya dinyatakan tentang prinsip-prinsip dalam pelaksanaan diversi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:78 77
Kata Pengantar dari Kepolisian Negara RI dan Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum Manual Pelatihan Untuk Polisi, (Jakarta, POLRI-UNICEF, 2004), hal. 341-342.
lviii
1)
Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia melakukan tindakan tertentu;
2)
Program diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, dengan pengakuan yang tanpa paksaan;
3)
Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi, dan mekanisme serta struktur diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk;
4)
Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan, jika tidak ada solusi yang dapat diambil;
5)
Adanya hak anak untuk memperoleh persidangan atau
bp hn
peninjauan kembali;
6)
Tidak ada diskriminasi;
7)
Polisi harus menjamin bahwa anak mengerti hak-haknya, orang tua / keluarga / walinya mengetahui dan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk diversi.
Dalam manual pelatihan tersebut, dikemukakan tentang
contoh-contoh program diversi dan penjelasannya, dipaparkan dalam tabel sebagai berikut :79 Tabel
Program-Program Diversi Menurut Manual Pelatihan Untuk Polisi Penjelasan Bentuk Program dan Tindakan No 1.
Bentuk Program Non –intervensi
Kegiatannya Bagi
beberapa
kaum
Non-intervensi
merupakan upaya terbaik, oleh karena itu diversi
tanpa
melalui
proses
formal
merupakan upaya yang optimal, terutama
78 79
Ibid. Ibid, hal. 334-335.
lix
bagi tindak pidana yang tidak serius, dimana keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan beraksi dengan cara yang layak dan membangun. 2.
Peringatan informal
Hal
ini
akan
melibatkan
polisi
untuk
mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya
adalah
memperingatkannya
salah untuk
dan tidak
melakukannya lagi, tidak ada berita acara untuk ini; Peringantan formal
Polisi harus mengantar si anak pulang dan
bp hn
3.
memberinya peringatan di hadapan orang tua / walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini dalam catatan diversi yang disimpan dikantor polisi;
4.
Pelibatan dalam
Program diversi ini dapat dilakukan oleh
program ketrampilan
anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak dalam masyarakat umum
5.
Rencana individual
Hal ini melibatkan anak, keluarga, dan polisi
antara polisi, anak, dan
untuk bersama-sama membahas hal-hal yang
keluarga
harus dilakukan : a. mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban; b. mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi masyarakat; c. memperkuat
keluarga
dengan
sistem
dukungan disekeliling anak dan keluarga; d. mencegah terjadinya tindak pidana lagi
lx
6.
Rencana yang
Kasus-kasus anak dapat juga dilimpahkan ke
diputuskan oleh
pertemuan masyarakat tradisional
pertemuan tradisional 7.
Rencana yang
Pertemuan
kelompok
didasarkan pada hasil
pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh
pertemuan kelompok
tindak
keluarga
memutuskan hal-hal yang harus dilakukan
pidana
keluarga
untuk
adalah
bersama-sama
untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi. Mengganti kesalahan
Anak diminta mengganti kesalahan dengan
dengan kebaikan /
kebaikan. Si anak dapat diminta untuk
restitusi
membayar kembali kerugian yang diderita
bp hn
8.
oleh korban dengan melihat kemampuan si anak untuk membayar kembali
9.
Pelayanan masyarakat
Anak
dapat
pelayanan
diminta
masyarakat
untuk
melakukan
atau
memenuhi
tugasnya swlama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik yang dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi
pengembangan
dan
pendidikan.
Contohnya, seorang anak mengotori tembok atau tempat umum, anak tersebut diminta membersihkan dengan mengecat kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkan ditempat-tempat umum
lxi
10. Pelibatan dalam program keterampilan
Program diversi yang lain adalah melibatkan anak pada
program keterampilan
yang
dijalankan oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak dalam masyarakat umum 11. Rencana individual
Hal ini melibatkan anak, keluarga, dan polisi
antara polisi, anak dan
untuk bersama-sama membahas hal-hal yang
keluarga
harus dilakukan : a. mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban;
bp hn
b. mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi masyarakat;
c. memperkuat
keluarga
dengan
sistem
dukungan disekeliling anak dan keluarga;
d. mencegah terjadinya tindak pidana lagi
12. Rencana yang
Pertemuan
kelompok
keluarga
adalah
didasarkan pada hasil
pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh
pertemuan kelompok
tindak
keluarga
memutuskan hal-hal yang harus dilakukan
pidana
untuk
bersama-sama
untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi.
4.
Ide Diversi Sebagai Bentuk Mediasi Penal a.
Pengertian mediasi penal Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling,
dalam
istilah
Jerman
disebut
“Der
Aubergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah
lxii
Perancis disebut “de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah “Victim Offender Mediation” (VOM), Tȁter-Opfer-Ausgleich (TAO), atau Offendervictim Arrangement (OVA).
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau “Alternative Dispute Resolution”; adapula yang menyebutnya “Apropriate Disbute Resolution”.80
Detlev
Frehsee,
meningkatnya
bp hn
Menurut
penggunaan
restitusi dalam proses pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.81
b.
Model-model mediasi penal
Mediasi penal adalah konsekuensi logis dari pendekatan
restorative justice. Dalam “Explanatory Memorandum” dari
Rekomendasi Dewa Eropa No. R(99) 19 tetang “Mediation in Penal
Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut : 82 1)
Informal mediation Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak
80
81 82
Alternative Disbute Resolution in New York State, An Overview dalam Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, (Semarang: Pustaka Magister, 2010), hal. 2. Detlev Frehsee dalam Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal........................, Ibid, hal. 4-5. Explanatory Memorandum dalam Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal........, Ibid, hal. 7-12.
lxiii
melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim. Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
2)
Traditional village or tribal moots Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya. Model ini dibeberapa negara yang kurang maju dan diwilayah pedesaan / pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan
bp hn
bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan programprogram mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba
memperkenalkan
berbagai
keuntungan
dari
pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hakhak individu yang diakui menurut hukum.
3)
Victim-offender mediation
Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu
dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk, yang dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi serta dapat diadakan pada setiap tahapan proses pemeriksaan perkara pidana. Model victim-offender mediation ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu. Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula,
lxiv
namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
4)
Reparation negotiation programmes Model ini semata-mata untuk menaksir / menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku kepada korban yang biasanya dilakukan pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini pelaku tindak pidanadapat dikenakan kerja
agar
dapat
menyimpan
bp hn
program
uang
untuk
mambayar ganti rugi / kompensasi.
5)
Community panels or courts
Model ini merupakan program untuk membelokkan
kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal serta sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
6)
Family and community group conferences
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealan, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Family and community group conferences tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisis dan hakim anak) dan para pendukung korban. Dalam model family and community group conferences pelaku
dan
keluarganya
diharapkan
menghasilkan
lxv
kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan / persoalan berikutnya.
Ide dan bentuk diversi sama dan seide dengan salah satu model madiasi penal, yaitu “victim-offender mediation” dengan ciri-ciri sebagai berikut :83 1)
Terjadi mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang
2)
Melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk (dapat berasal dari pejabat
bp hn
formal, mediator independen, atau kombinasi)
3)
Dapat diadakan pada setiap tahapan proses (kebijaksanaan polisi, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan atau setelah pemidanaan)
4)
Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan kepada pelaku anak, pelaku pemula namun ada juga untuk delikdelik berat dan bahkan untuk residivis.
c.
Pengaturan mediasi penal di beberapa negara Pengaturan mediasi penal di beberapa negara dapat dilihat dalam ragaan di bawah ini :84
83 84
Setyo Wahyudi, Op.Cit, hal. 71. Dikutip dari Lampiran Buku Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan Oleh Barda Nawawi Arief, (Semarang: Penerbit Pustaka Magister, 2010), hal. 53-59.
lxvi
Pengaturan mediasi penal Di beberapa negara
PENGATURAN
AUSTRIA
- Diatur dalam amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan pada Januari 2000 - Pada mulanya diversi / pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Aubergerichtlicher Tatausgleichfȕr Jugendliche), namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa melalui ATA-E (Aubergerichtlicher Tatausgleichfȕr Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM). - Menurut Pasal 90 g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila : 1. terdakwa mau mengakui perbuatannya, 2. siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya dimasa yang akan datang.
bp hn
NEGARA
Belgia
- Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi, apabila : 1. diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara. 2. dapat juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremele severe violence), dengan catatan diversi tidak boleh, apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaugther). - Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation) - Tujuan utama diadakannya “penal mediation” ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. lxvii
-
-
-
-
bp hn
Jerman
Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar si pelaku melakukan suatu terapi atau melakukan kerja sosial (community service) Penuntut Umum tidak meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban Pada mulanya hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun penjara. Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Procedure (10.02.1994). Tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement) dimasukkan ke dalam hukum pidana anak secara umum (§ 45 ll S. 2 JGG). Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) yang memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi (dikenal dengan istilah TaterOpfer-Ausgleich – TOA). Pasal 46a StGB : apabila pelaku memberi ganti rugi / kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pemidanaan hanya dapat diberikan a[abila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian. Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan dihentikan (s. 153b StPO / Strafprozessordnung / KUHAP). UU 4 Januari 1993 mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP-Code of Criminal Procedure) yang dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999: penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya
-
-
-
Perancis
-
lxviii
bp hn
seseorang. - Inti Pasal 41 CCP : penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si pelaku. - Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP-Code of Criminal Procedure). - Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umu meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan. - Tindak pidana tertentu yang dimaksud Pasal 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1º to 11º), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-5, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-2, 32212 to 322-14, 433-5 to 433-7, and 521-1 of the ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L.1 of the traffic Code and under Article L.628 of the Public Health Code - Mediasi pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Penal Procedure) dan Peraturan menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters” - Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury). - Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan
Polandia
lxix
untuk tidak melanjutkan proses pidana. - Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi. 5.
Bentuk-bentuk sanksi dalam peradilan dengan paradigma diversi dan keadilan restoratif. 85 Restitusi;
2.
mediasi pelaku dan korban;
3.
pelayanan korban;
4.
restorasi masyarakat;
5.
pelayanan langsung pada korban;
6.
denda restoratif.
bp hn
1.
85
Ibid, hal. 157.
lxx
BAB III PEMBAHASAN
A.
Arti Penting Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak Seorang yang disebut sebagai “visionary and architeck of the restorative
bp hn
justice movement” Howard Zehr (dalam bukunya Changing Lenses, 1990) menyatakan bahwa “ Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those wo have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligation, in order to heal and put things as right as possible”.86
Pada pertengahan tahun 1970-an, asas-asas tentang keadilan restoratif
dengan segala bentuk perintisannya, seperti rekonsiliasi antara korban dan pelaku
kejahatan telah
dilakukan oleh kelompok kecil aktivis secara
tersebar, personil sistem peradilan dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa, yang sebenarnya secara keseluruhan belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang terorganisasi. Mereka tidak berfikir bahwa usahanya pada akhirnya akan mempengaruhi dan mempromosikan serta menggerakkan pembaharuan sosial dalam pendekatan keadilan secara meluas dengan dampak internasional.87 Di Ontario terjadi hal yang sangat monumental pada tahun 1974 ditandai dengan gerakan keadilan restoratif dengan hadirnya “Victim
86
87
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus 2013, hal.1. Ibid.
lxxi
Offender Recociliation Program” (VORP), yang kemudian disusul dengan lahirnya program-program keadilan restoratif eksperimental baik di Amerika Utara maupun Amerika Serikat seperti VORP di Indiana dan di Inggris pada tahun 1978. Melalui suatu proses yang semula diragukan kredibiitasnya sebagai suatu sistem, pada akhirnya gerakan ini diakui sebagai suatu pilihan bagi korban dan pelaku untuk menyelesaikan masalahnya.88
American Bar Association (ABA) pada tahun 1994 mendukung keberadaan mediasi antara korban-pelaku dan dialog di pengadilan serta merumuskan pedoman penggunaannya yang bersifat sukarela. Tahun 1995 dibentuk NOVA (the National Organization for Victim Assistance) yang
bp hn
mempublikasikan “Restorative Community Justice : A Call to Action” dalam bentuk monograf. Hasil ini berlanjut berupa dukungan luas melalui dialog dan inisiatif dan selanjutnya berkembang di seluruh Amerika Serikat, Eropa, Australia, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk PBB, Dewan Eropa dan Uni Eropa.89
Di tengah-tengah terjadinya perkembangan positif tentang keadilan
restoratif di pelbagai Negara, Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan tahun 2000 membahas keadilan restoratif dalam Sidang Plenonya dan mengembangkan
Rancangan Proposal untuk membentuk “UN Basic
Principles on the Use of Restorative Justice Programs in Criminal Matters” yang akan berlaku di segala tingkatan proses peradilan pidana dan menegaskan hakekat kesukarelaan dalam keikutsertaan dalam keadilan restoratif proses, serta merekomendasikan standard dan pedoman untuk penerapannya. Proposal ini kemudian diadopsi oleh PBB pada tahun 2002 yang kemudian
88 89
Muladi, Ibid. Ibid.
lxxii
disusul oleh Dewan Eropa dan Uni Eropa yang lebih menekankan pada prosedur mediasi dalam keadilan restoratif.90
Dalam kerangka ini harus dimaknai bahwa, keadilan restoratif memfokuskan diri pada kejahatan (crime) sebagai kerugian/kerusakan, dan keadilan (justice) merupakan usaha untuk memperbaiki kerusakan dengan visi untuk mengangkat
peran korban kejahatan, pelaku kejahatan dan
masyarakat sebagai tiga dimensi determinan yang yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana demi kesejahteraan dan
keamanan
masyarakat. Dalam hal ini tujuan system peradilan pidana adalah : jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka
bp hn
panjang kesejahteraan dan keamanan masyarakat.91
Berbicara tentang berkembangnya gerakan sosial baru tentang
pendekatan keadilan berupa “restorative justice” atau keadilan restoratif di atas kita selalu diingatkan pada beberapa hal sebagai berikut :92
1.
Hakaket tujuan pemidanaan berupa penyelesaian konflik yang memiliki basis kultural yang kuat dalam hukum adat Indonesia yang dikukuhkan dalam RUU KUHP dan juga dihayati sama dengan masyarakat adat lain di pelbagai belahan dunia;93
90
91 92 93
Umbret Mark S, et. Al, Restorative Justice in the 21st Century: A Social Movement Full of Opportunities and Pitfalls, (Marquette Law Review, 2009), hal. 259-263. Muladi, Op.cit. hal. 2. Ibid. Sarjana-sarjana hukum adat Ter Haar (1946), Supomo (1963) dan lain-lain melihat delik adat sebagai gangguan terhadap keseimbangan (evenwichtsverstoring) dan dalam hal ini reaksi adat (adatreaktie) bertujuan untuk memulihkan kembali keseimbangan kosmos. Hal terakhir ini mengandung makna penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan tujuan pemidanaan ini telah diadopsi oleh RUU KUHP sebagai salah satu tujuan pemidanaan, di samping tujuan lain (mencegah dilakukannya tindak pidana; memasyarakatkan terpidana; membebaskan rasa bersalah dan memaafkan terpidana). Proses keadilan restoratif yang melibatkan pelaku dan korban dengan prinsip “win-win solution” memenuhi harapan tercapainya tujuan ini. (Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni , Bandung, 1992). Hal ini sesuai pula dengan tradisi keadilan yang terjadi dalam masyarakat kuno di Arab (diya = blood money), Yunani, Romawi yang menerima pendekatan restoratif termasuk kasus pembunuhan, Jerman, Hindu India “he who atones is forgiven”, Buddist kuno, Taoist dan tradisi Confusian (Braithwaite, Restorative
lxxiii
2.
Gerakan abolisionis (abolisionism) yang merupakan pendekatan nonrepresif terhadap kejahatan, dan merupakan kritik keras terhadap sisi negatif yang berupa “coercion” yang sangat dirasakan dalam penerapan sarana penal di penjara;94
3.
Berkembangnya
“peacemaking
criminology”
dalam
memahami
kejahatan, penjahat dan sistem peradilan pidana serta berusaha untuk menggantikan pendekatan “war making on crime”;95
bp hn
94
Justice & Responsive Regulation, Oxford Unversity Press, 2002). Hal semacam ini (restitution practices) juga berakar dalam masyarakat Anglo Saxon abad pertama, masyarakat Aborigin, dan pribumi Amerika. Gerakan abolisionis mulai menampakkan dirinya pada tahun 1983 di a, Austria pada saat berlangsungnya The Ninth World Congress of Criminology. Gerakan ini merupakan gerakan moral radikal yang mengkritik secara keras keadaan yang menyedihkan di penjara dan secara akademis berusaha meniadakan penjara sebagai metapor pemikiran punitif. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan konferensi dua tahunan ICOPA (International Conference on Penal (semula Prison) Abolition) yang diselenggarakan secara reguler (ICOPA terakhir Ke-13 tahun 2010 di Belfast). Kelompok abolisionis hanya berbicara tentang penggantian penjara (bukan reformasi) dengan prinsip dekarkerasi atau deinstitusionalisasi yaitu penghapusan penjara dan menggantikannya dengan pengendalian, pembinaan dan pelayanan di masyarakat secara terbuka; diversi berupa menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses peradilan formal dan menggantikannya dengan system kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat; dekategorisasi termasuk juga delabeling dan destigmatisasi dengan cara mematahkan berbagai system pengetahuan dan diskusi yang menciptakan kategori-kategori perbuatan menyimpang; delegalisasi atau deformalisasi berupa keadilan informal yang baru dan memperkuat cara-cara penyelesaiajn perselisihan dan manajemen konflik tradisional, bentukbentuk keadilan di luar system peradilan pidana ; dan deprofesionalisasi yang mengandung makna bahwa untuk menggantikan struktur monopoli professional dan kekuasaan dalam peradilan pidana perlu dibentuk jaringan (network) kontrol masyarakat, partisipasi publik, sikap saling enolong dan pelayanan informal; Retributive justice termasuk suatu sistem yang diajukan kelompok abolisionis, untuk membedakannya dengan keadilan retributif (retributive justice). (Bianchi, Herman & Rene van Swanningen, Abolotionism, Toward a non-repressive approach to crime, Free University Press, Amsterdam , 1996). Lanier, Mark M & Henry Stuart, Essential Criminology, Second Edition, (Colorado, 2004). Apa yang dinamakan Peacemaking Criminology (PMC) merupakan subsistem analisis dari kriminologi abad-21 yang merupakan gerakan non kekerasan terhadap penindasan, ketidakadilan sosial dan menentang kekerasan (koersif, represif) yang selama ini dikaji di dalam kriminologi, sistem peradilan pidana dan masyarakat secara keseluruhan. PMC melihat kejahatan sebagai produk suatu struktur sosial atau berkaitan dengan kultur yang menempatkan beberapa kelompok masyarakat pada posisi tidak menguntungkan (termarginalkan atau “vulnerable”), yang membuat orang berlawanan satu sama lain dan menyebabkan terjadiya kekerasan (war rethoric approach)). Contoh istilah war on crime, war on drugs, war on poverty, war against terrorism. PMC merupakan proses dialektika antara pendekatan permusuhan atau “adversarialism” dan kebersamaan atau ”mutualism”. Dalam hal ini prinsip pendekatan kejahatan yang bersifat “disconnected” satu sama lain, dieliminasi atau dilepaskan dari masyarakat bergeser ke arah increasing connections (interconnections) among humans dan bersifat holistic, interdisipliner dan komprehensif. Pendekatan atau perpektif “A peacemakning on crime” akan menggantikan “a harm-creating or a war making on crime” yang mengakui prinsip “oneness” antara keamanan seseorang dengan keamanan semua orang lain,
95
lxxiv
4.
Gerakan untuk memberdayakan sanksi alternatif (alternative sanction) di samping pidana kemerdekaan (alternative of imprisonment);96
5.
Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam pelanggaran HAM berat;97
6.
Perkembangan aspirasi viktimologi dalam sistem peradilan pidana. Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985), khususnya tentang Access to Justice and fair treatment dinyatakan bahwa
mekanisme informal keadilan untuk
menyelesaikan perselisihan, termasuk mediasi, arbitrase dan kebiasaan
97
bp hn
96
sehingga pendekatan melalui pidana semata-mata yang bernuansa pembalasan (retaliating) harus dihindarkan melalui 6 komponen : pendekatan “non violence”; issue keadilan sosial; inklusi setiap pihak (stakeholders) yang dipengaruhi dan terkait dengan kejahatan (korban, keluarganya, pelaku dan Negara); koreksi yang melibatkan pelaku; memahami proses dengan meninggalkan terminologi/jargon hukum dan tehnis semata-mata; dan kategori imperatif dalam arti bahwa semua yang terlibat dalam system peradilan pidana harus diperlakukan secara terhormat dan bermartabat; Dalam hal ini alternatif terhadap pidana kemerdekaan (alternatives to custodial sentences) diartikan sebagai alternative sanctions bukan alternative goals yakni sanksi yang dapat menggantikan pidana kemerdekaan dalam kondisi tertentu. Dalam hal ini persyaratan dapat melayani tujuan dan kegunaan pidana kemerdekaan diperlukan, karena yang terakhir ini dalam kondisi tertentu tidak effektif, sehingga dicarikan alternatif. (Stolwijk, Simon AM, Altrnatives to Custodial Sentences, dalam Criminal in Action, Gouda Quint bv. Arnhem, 1986). Dalam RUU KUHP sanski alternatif dikembangkan antara lain dengan pidana denda kategoris, pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pelbagai system tindakan. Penelitian yang dilakukan Dewan Eropa menunjukkan bahwa saat ini di Eropa telah mengembangkan kurang lebih 22 sanski alternatif. Sebagian besar sebenarnya merupakan strafmodus pidana kemerdekaan daripada sebagai strafsoort yang independen, namun ada pula yang merupakan strafsoort berupa pidana denda. Contohnya adalah pidana kerja sosial (community service order), pidana bersyarat (suspended sentence), pidana denda dalam probation, dan sebagainya. Sedangkan pengurangan lamanya pidana dapat berupa parole (lepas bersyarat) , partly suspended sentence, weekend imprisonment (intermittent custody) dll. Pengalaman di Afrika Selatan pasca pemerintahan apartheid, keberadaan Truth and Recociliation Commission menciptakan pergeseran konsep keadilan dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu keadilan atas dasar pembalasan (retributive justice/ prosecutorial justice) ke arah keadilan restoratif yang menekankan betapa pentingna aspek restoratif atau penyembuhan bagi mereka yang menderita karena kejahatan atas dasar filosofi Ubuntu yang focus pada nilai kesetiaan dan hubungan satu sama lain . Fokus primer bergeser dari pelaku kepada korban. Proses yang terjadi dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada usaha memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyaratkat yang ketiganya sebenarnya merupakan korban kejahatan. Sistem peradilan pidana dianggap telah mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjarakan seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan harmonis. (Muladi, KKR dan Keadilan Restoratif, Harian KOMPAS, 12 April, 2005).
lxxv
atau praktek suku terasing, harus dimanfaatkan apabila perlu untuk memfasilitasi konsiliasi dan ganti rugi bagi korban. Di dalam Deklarasi terebut ada 4 hal yang utama yaitu terjaminnya jalan masuk korban untuk memperoleh keadilan, restitusi, kompensai dan bantuan lain;98 7.
Kaitan keadilan restoratif dengan HAM;99
8.
Pengalaman penerapan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam perkara perdata dan praktekpraktek ketatanegaraan dalam menyelesaikan kasus-kasus debitur macet selama krisis ekonomi 1997;100
9.
Pengalaman dalam menyelesaikan tindak pidana di luar pengadilan terhadap delik aduan (klachtdelict), tindak pidana administrative penal
law)
atas
dasar
asas
bp hn
(administrative
afdoeningsbuitenprocess atas
dasar Pasal
subsidiaritas,
80 KUHP,
kebijakan
penegakan hukum di lapangan terhadap tindak pidana ringan (justice without trial), penggunaan penyampingan perkara (deponeering) oleh Jagung demi kepentingan umum (Psl 35 c UU No. 16 Tahun 2004) dan tindak pidana adat yang diselesaikan oleh pengadilan adat;101
10.
Kebutuhan korban untuk
pemulihan dan kebutuhan pelaku untuk
menghapuskan stigma ;102
11.
Keadilan restoratif dapat juga dimanfaatkan untuk mengurangi populasi lembaga pemasyarakatan yang “over capacity” dengan
“Restorative Justice Practices Can Increase Victim fears of Revictimization” (Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, Oxford University Press, 2002). 99 Terkait dalam hal ini berbagai instrumen HAM, khususnya the Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB tahun 1985. Beberapa nilai yang relevan dengan keadilan restoratif terdapat dalam Art. 10 (restoration of the environment); Art. 4 (compassion); Art. 5 (restitution and redress); Art. 8 (restoration of rights); Art. 7 (informal mechanism for the resolution of disputes, including mediation, arbitration and customary justice or indigenous practices which should be utilized where approprate to facilitate conciliation and redress for victims). Di dalam instrumeninstrumen HAM lain seperti UDHR, ICCPR, ICESCR dll. dikenal Restoration of human dignity; of property loss; of injury to the person or health; of damaged human relationships; of communities; of environment; emotional restoration; of freedom; of compassion or caring; of peace; of empowerment or of self-determination and a sense of duty as a citizen. 100 Muladi, Loc.cit. hal. 3. 101 Ibid. 102 Ibid. 98
lxxvi
infrastruktur terbatas
dan bersifat kriminogin, di samping dapat
merupakan salah satu sarana untuk mengurangi arus perkara kasasi ke Mahkamah Agung;103 12.
Proses “release and discharge” dalam penyelesaian kasus BLBI;104
13.
Proses keadilan restoratif “compatible” dengan ide pemasyarakatan berlandaskan Pancasila;105
Melihat arti penting konsep restorative justice tentu pula perlu membandingkan dua konsep pemidanaan yang ada di Indonesia, yaitu keadilan retributif dan keadilan restoratif, berdasarkan karakteristik yang ada dapat dilihat bahwa paradigma lama Retributive Justice:106 berkarakter: The criminal justice system controls crime;
2)
Crime is defined as violation of the law and state (abstract idea);
3)
Crime is individual act with individual responsibility;
4)
Focus on establishing blame on guilt on the past; Violations create guilt;
5)
Offender accountability defined as taking punishment;
6)
Adversarial relationship and process, normative;
7)
Imposition of pain to deter and prevent;
8)
Justice is defined by intent and by process; right rules; Justice requires the
bp hn
1)
state to determine blame (guilt) and impose pain (punishment);
9)
Conflictual nature of crime is obscured and repressed;
10) One social injury is replaced by another; 11) Community is on the sideline, and represented abstractly by the state; 12) Encouragement of competitive, individualistic values; 13) Action directed from the state to the offender; the victim must be passive; 14) The offender’s accountability is defined as taking punishment;
103 104 105 106
Muladi, Ibid. Ibid. Ibid. Ibid.
lxxvii
15) The offence is defined in purely legal terms, devoid of moral, social economic dimension; 16) ‘Debt’ is owed to state and society in the abtract; 17) The response is focused on offender’s past behavior; 18) The stigma of crime is unremoveable; 19) There is no encouragement for experiences of repentance and forgiveness; 20) The offender is removed from the situation caused by the offence; 21) Attention is focused on debates between free will and social-psychological determinism in caustion of the offence.(Central focus : offenders getting what they deserve); 22) The offender is defined by deficits;
bp hn
23) Victims are peripheral to the process;
24) Punishment is effective : a. threat of punishment deters crime; b. punishment cfhanges behavior.
Saat ini telah berkembang paradigma baru yaitu konsep keadilan yang
dikenal sebagai Restorative Justice107yang berkarakteristik: 1)
Crime control lies primarily in the community;
2)
Crime is defined as violation of one person (people) by another and relationship anjd the community;
3)
Crime has both individual and social dimensions of responsibility;
4)
Focus on problem solving, on liabilities and obligation, on future (what should be done); Violations create obligations;
5)
Accountability defined as assuming responsibility and taking action rto repair harm;
6)
Dialogue and negotiation, normative;
7)
Restitution as means of restoring
both parties ; reconciliation and
restoration as goal;
107
Muladi, Ibid. hal. 4.
lxxviii
8)
Justice is defined as right relationships ; judged by the outcome; Justice involves victims, offenders, and community members in an effort to put things right;
9)
Crime is recognized as conflict; the value of the conflict is recognized;
10) Focus on the repair of social injury; 11) Community is a facilitator in the restorative process; 12) Encouragement of mutual aid; 13) Victim and offender’s roles are recognized in both the problems and the solution; the victim’s rights and needs are recognized; the offender is encouraged to take responsibility; 14) The offender’s accountability is defined as understanding impact of action
bp hn
and helping decide how to make things right;
15) The offence is understood in the whole context - moral, social and economy;
16) Debt and liability to the victim is recognized;
17) The response is focused on harmful consequences of the offender’s behaviour;
18) The stigma of crime is removable through restorative action;
19) There are possibilities open for experiences of forgiveness an repentance; 20) The offeder is kept in the situation, but the behaiour is reversed from harming to helping;
21) Focus on present responsibility for effects of behaivour, regardless of explanation. Leaves room for both fee will and determinism. (Central focus: victim needs and offender responsibility for repairing harm); 22) The offender is defined by capacity to make reparation; 23) Victims are central to the process of reaolving crime; 24) Punishment alone is not effective in changing behavior and is disruptive to community har,ony and good relationship;108 108
Northey, Wayne, A New Paradigm of Justice, dalam : Bianchi dkk, Abolotionism, Towards a NonRepressive Approach to Crime, Free University Press , Amsterdam, 1986. Lihat pula Umbreit, Mark S, Restorative Justice in the 21st Century : A Social Movement Full of opportunities and
lxxix
Dari uraian di atas nampak bahwa keadilan restoratif sangat peduli terhadap pembangunan kembali hubungan setelah terjadinya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat ini. Keadilan restoratif merupakan
reaksi yang bersifat “victim-centered”, terhadap
kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku, keluarga dan wakil-wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya tindak pidana. Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian
yang diderita
akibat
kejahatan dan
memprakarsai
serta
memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan dan menjauhi
bp hn
keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui system adversarial (permusuhan). Keadilan restoratif berusaha memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau dipengaruhi akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.109
Dikatakan Braithwaite bahwa “restorative justice is about healing rather
than hurting, moral learning, community participation and community caring, respectful dialoque, forgiveness, responsibility, apology, and making amend”. Selanjutnya “ mostly works well in granting justice, closure, restoration of dignity, transcendence of shame, and healing for victim”. 110
109 110
Pitfalls, Marquette Law Review, 2009). Zehr dan Brunk (2001) menyatakan bahwa dikotomi dan polarisasi yang tajam antara keadilan retributif dan keadilan restitutif tidak jarang bisa menyesatkan (misleading), sebab keduanya secara teoritik tidak berlawanan. Bahkan dalam beberapa hal memiliki persamaan dalam menghayati hubungan antara kejahatan dan taggapan terhadapnya secara resiprokal atas dasar kehendak bersama untuk mengatasinya secara proporsional. Yang berbeda antara keduanya adalah bagaimana menjadikannya lebih baik (how to make things right). Teori keadilan retributif dalam mengatas kejahatan menekankan pentingnya pengenaan penderitaan, berupa perampasan kemerdekan bahkan sampai dengan pidana mati. Teori keadilan restoratif menegaskan bahwa yang benar-benar harus dilakukan untuk mengatasi kejahatan adalah mengakui kebutuhan korban dan pelaku serta dikombinasikan dengan usaha aktif untuk mendorong pelaku bertanggungjawab, meluruskan apa yang salah dan mengarahkan kepada sebab musabab kejahatan. Muladi, Loc.cit. hal. 5. Ibid.
lxxx
Selanjutnya kesimpulan yang dirumuskan oleh Sarre (2003) adalah sebagai berikut :111 “A restorative system of criminal justice endeavors to listen to, and appease, aggrieve parties to conflict and to restore, as far as possible, right relationship between antagonists. In restorative models crime is defined as a violation of one person by another, the focus is on problem solving, dialogue and restitution (where possible), mutuality, the repair of social injury and the possibilities of repentance and forgiveness”. Saat ini terjadi perkembangan di berbagai Negara bahwa pendekatan melalui proses keadilan restoratif semakin meningkat penerimaannya , bahkan terhadap kejahatan kekerasan seperti pembunuhan, termasuk di Texas yang sangat keras memberlakukan hukum terhadap pelaku tindak
bp hn
pidana kekerasan. Keberadaan gerakan keadilan restoratif juga dikritik terutama oleh mereka yang berada dalam “status quo” yang berorientasi pada pendekatan keadilan retributif atas dasar hal-hal sebagai berikut:112
1)
Keadilan restoratif terlalu menitikberatkan pada rehabilitasi;
2)
Keadilan restoratif memaafkan kekerasan, terutama terhadap korban perempuan dan anak-anak;
3)
Bertentangan dengan prinsip keadilan publik yang terbuka
dan
perlindungan hukum melalui pendayagunaan forum privat dan tehnik kooptasi terhadap peserta;
4)
Terlalu lunak terhadap kejahatan dan mengesampingkan semangat publik untuk pembalasan;
5)
Merusak standar tradisional tentang pertimbangan hukum melalui keadilan masyarakat dan pernilaian informal;
6)
Bertentangan dengan aspirasi hukum atas dasar perlakuan yang sama terhadap kasus yang sama dan kepastian serta konsistensi hasil yang bervariasi melalui proses keadilan restoratif.
111 112
Ibid. Muladi, Ibid., hal. 5-6.
lxxxi
Untuk itu langkah-langkah untuk melakukan mitigasi juga diusahakan sebagai berikut:113 1)
Semua pihak harus bertindak atas dasar kesukarelaan (voluntarily);
2)
Korban harus diperlakukan secara sensitif;
3)
Pelaku kejahatan harus diusahakan untuk tidak menggunakan system keadilan restoratif guna melindungi dirinya, kecuali untuk membantu memecahkan masalah yang diciptakan oleh kejahatannya;
4)
Fasilitator harus dipercaya, tidak bias dan terlatih;
5)
Fasilitator harus fleksibel terhadap solusi yang diusulkan oleh peserta proses keadilan restoratif.
bp hn
Untuk meningkatkan pemahaman terhadap pendekatan keadilan
restoratif dalam rangka kajian terhadap kebijakan kriminal (criminal policy) mendatang yang seharusnya dilakukan secara bertahap atas dasar data akurat, kiranya perlu dihayati prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif sebagaimana dirumuskan dalam “UN Resolutions and decisions adopted by
ECOSOC at its substantive session of 2002” sebagai berikut :114 1.
Per-Istilahan : a.
Proses restoratif adalah setiap proses, dimana korban dan pelaku, dan, apabila perlu termasuk setiap individu
atau anggota
masyarakat yang dirugikan oleh kejahatan, ikut serta bersamasama
secara aktif di dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang timbul akibat kejahatan, dengan bantuan dari seorang fasilitator.
Proses
keadilan
restoratif
mencakup
mediasi,
konsiliasi, pertemuan (conferencing) dan pemidanaan; b.
Program keadilan restoratif adalah setiap program yang mendayagunakan proses restoratif dan berusaha untuk mencapai hasil (restorative outcomes) berupa kesepakatan sebagai hasil
Lanier, Mark M & Henry, Stuart, Essential Criminology, Second Edition, (Colorado: Westview, 2004). 114 Muladi, Op.cit., hal. 6-7. 113
lxxxii
dari suatu proses restoratif, termasuk tanggapan/reaksi dan program-program masyarakat,
seperti reparasi, restitusi, dan pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan individual dan
kolektif serta tanggungjawab pihak-pihak dan ditujukan untuk mengintegrasikan kembali korban dan pelaku; c.
Pihak-pihak adalah korban, pelaku tindak pidana, dan individu anggota masyarakat lain yang dirugikan oleh suatu tindak pidana dan mungkin dilibatkan dalam proses keadilan restoratif;
d.
Fasilitator atau mediator adalah setiap orang yang beperanan untuk memfasilitasi proses keadilan restoratif , dengan cara yang
bp hn
adil dan tidak memihak.
2.
Penggunaan program-program keadilan restoratif:115
a.
Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam setiap tahap system peradilan pidana;
b.
Proses keadilan restoratif hanya digunakan
apabila terdapat
bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana dan disertai dengan kebebasan dan kesukarelaan korban dan pelaku. Dalam hal ini termasuk kebebaan pelaku dan korban untuk mengundurkan diri dari persetujuan setiap saat selama proses. Kesepakatan juga harus dicapai secara sukarela dan memuat kewajiban-kewajiban yang wajar serta proporsional;
c.
Kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan dengan kasus yang terkait, dan partisipasi pelaku tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses hukum berikutnya;
d.
Disparitas akibat ketidakseimbangan baik kekuatan maupun perbedaan kultural harus diperhatikan dalam melakanakan proses keadilan restoratif;
115
Muladi, Ibid., hal. 7.
lxxxiii
e.
Keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses keadilan restoratif;
f.
Apabila proses restoratif tidak tepat atau tidak mungkin dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada pejabat system peradilan pidana, dan suatu keputusan harus diambil untuk segera memproses kasus tersebut tanpa penundaan. Dalam hal ini pejabat peradilan pidana
harus berusaha untuk
mendorong pelaku untuk bertanggungjawab berhadapan dengan korban dan masyarakat yang dirugikan dan terus mendukung usaha reintegrasi korban dan pelaku dalam masyarakat.
Pelaksanaan program-program keadilan restoratif.116
bp hn
3.
Pedoman dan standar yang dirumuskan harus jelas melalui
“responsive regulation”
berupa
produk legislatif, yang mengatur
penggunaan proses keadilan restoratif. Asas-asas yang dimuat dalam pedoman tersebut adalah :117
a.
Kondisi kasus yang berkaitan yang diarahkan masuk dalam proses keadilan restoratif;
b.
Penanganan kasus setelah masuk
dalam proses keadilan
restoratif;
c.
Kualifikasi , pelatihan dan penilaian terhadap fasilitator;
d.
Administrasi program keadilan restoratif;
e.
Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang mengendalikan pelaksanaan keadilan restoratif.
4.
Prosedur Perlindungan Dasar Yang Menjamin Keadilan dan Kejujuran Pelaku dan Korban Dalam Pelaksanaan Keadilan Restoratif.118
116 117 118
Muladi, Ibid., hal. 7-8. Ibid. Muladi, Ibid.
lxxxiv
a.
Di bawah hukum nasional, korban dan pelaku harus memiliki hak untuk berkonsultasi
dengan konsultan hukum sehubungan
dengan proses keadilan restoratif dan apabila perlu, untuk menterjemahkan dan menafsirkan . Anak-anak di bawah umur memiliki hak untuk dibantu orangtua atau pendamping; b.
Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau dibujuk dengan cara-cara tidak jujur untuk ikut serta
dalam proses
keadilan restoratif atau untuk menerima hasilnya; c.
Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif, para pihak harus diberi informasi lengkap tentang hak-haknya , hakekat proses dan konsekuensinya yang mungkin
bp hn
terjadi akibat keputusannya;
5.
Hal-hal Lain Yang Harus Diperhatikan.119
a.
Konfidentialitas proses harus dijaga, kecuaIi atas persetujuan pihak-pihak harus terbuka;
b.
Hasil dari kesepakatan yang timbul dalam proses keadilan restoratif apabila diperlukan perlu diawasi oleh lembaga judisial, atau digabungkan dalam keputusan judisial dengan status yang sama dengan keputusan judisial dan harus menghalangi penuntutan dalam kasus yang sama;
c.
Apabila tidak tercapai kesepakatan antara para pihak, kasus tersebut harus dikembalikan pada proses peradilan pidana dan diproses tanpa ditunda-tunda. kesepakatan sendiri
Kegagalan untuk mencapai
tidak akan digunakan
untuk proses
peradilan selanjutnya; d.
Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan yang dibuat dalam rangka proses kedailan restoratif harus dikembalikan
dalam
proses restoratif atau peradilan pidana dan proses harus segera 119
Ibid. hal. 8-9.
lxxxv
dilaksanaan tanpa penundaan. Kegagalan untuk melaksanakan kesepakatan, berbeda dengan keputusan pengadilan , tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat dalam proses peradilan selanjutnya; e.
Fasilitator harus melaksanakan tugasnya secara tidak memihak, dengan menghormati martabat pihak-pihak. Dalam rangka kapasitas tersebut, fasilitator harus menjamin bahwa pihak-pihak harus berbuat dengan menghormati satu sama lain dan memungkinkan pihak-pihak untuk menemukan penyelesaian yang relevan antar mereka;
f.
Fasilitator harus memiliki suatu pemahaman yang baik terhadap
bp hn
kultur setempat dan masyarakat serta apabila diperlukan memperoleh pelatihan sebelumnya sebelum melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator;
g.
Negara harus merumuskan strategi nasional dan kebijakan untuk mengembangkan keadilan restoratif dan memajukan budaya yang kondusif untuk mendayagunakan keadilan restoratif di antara para penegak hukum, lembaga sosial dan pengadilan maupun masyarakat setempat;
h.
Konsultasi harus dilakukan antara lembaga peradilan pidana dan administrator proses keadilan restoratif untuk mengembangkan pemahaman
bersama
dan memperkuat efektivitas
keadilan
restoratif dan hasilnya, untuk meningkatkan perluasan programprogram restoratif yang digunakan, dan menjajagi kemungkinan cara-cara agar pendekatan keadilan restoratif dapat digabungkan dalam praktek peradilan pidana; i.
Negara bersama masyarakat
madani (civil society)
harus
mengembangkan riset untuk mengevaluasi program-program keadilan restoratif dengan manilai tingkat penggunaan hasilnya, dukungan sebagai pelengkap atau alternatif proses peradilan
lxxxvi
pidana dan menciptakan hasil positif bagi semua pihak. Proses keadilan restoratif
sangat dibutuhkan untuk melaksanakan
perobahan secara konkrit. Negara harus meningkatkan secara berkala
dan modifikasi
programnya.
yang diperlukan
Hasil dari riset
dan evaluasi
dari programharus menjadi
pedoman kebijakan selanjutnya dan pengembangan program; j.
Sekali lagi ditegaskan bahwa segala asas dasar di atas tidak akan berpengaruh terhadap setiap hak pelaku atau korban yang telah diatur dalam hukum nasional atau hukum internasional.
Dari berbagai pemahaman di atas akan menjadi penguat tentang arti
bp hn
penting penerapan restorative justice bagi penyelesaian kasus yang dilakukan oleh anak-anak, serta perlunya mendorong penerapan keadilan tersebut dalam sistem peradilan anak di Indonesia yang saat ini telah menjadi basis spirit di dalam RUU KUHP yang antara lain mengubah paradigma antara lain: Tujuan pemidanaan “penyelesaian konflik yang ditimbulkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan
keseimbangan
dan
mendatangan rasa damai masyarakat; semangat perhatian pada korban kejahatan); pengembangan alternatif pidana kemerdekaan (alternative to imprisonment); pengaturan secara khusus pidana dan tindakan bagi anak).
Selain dalam RUU KUHP juga pada UU SPPA No. 11 Tahun 2012 yang telah meletakan upaya diversi dan keadilan restorasi.120
Di samping itu perhatian khusus terhadap proses keadilan restoratif di kalangan remaja sangat diperlukan, karena ada hal-hal yang signifikan untuk menjadi fokus pengaturan yang memerlukan peran aktif masyarakat, pelaku, dan korban kejahatan, termasuk msyarakat terdampak dalam proses keadilan retoratif. Pendekatan kesimbangan yang mendasar juga harus dilakukan yaitu pertama, penjatuhan sanksi atas dasar tanggungjawab untuk 120
Muladi, Ibid. hal. 9-11.
lxxxvii
memulihkan kerugian korban sebagai konsekuensi tindak pidana; kedua, rehabilitasi dan reintegrasi pelaku; dan ketiga, memperkuat system keselamatan dan keamanan masyarakat. Pergeseran “juvenile justice system” yang bersifat punitive dan retributive serta menekankan pada misi pembinaan
pelaku
semata-mata
yang
gagal
kearah
keseimbangan antara pelaku, korban dan masyarakat
pendekatan
sangat rasional,
karena ketiganya merupakan klien dari system keadilan. Mengisolasi pelaku tindak pidana akan melemahkn “community bond” yang akhirnya akan menciptakan kejahatan lebih banyak. Masa remaja membutuhkan kebutuhan untuk dimiliki dan diperhatikan dan bukan diisolasi. Remaja memiliki keterikatan
dengan
lingkungan
seperti
sekolah,
lapangan
dan tempat rekreasi dengan gaya hidup,dalam
bp hn
kerja,kehidupan agama,
khusus
berpkaian, musik, bahasa dan sebagainya. Memutuskan koneksi dengan lingkungan teresbut karena kecurigaan, kekhawatiran atau ketakutan terhadap remaja kriminal disertai dengan pendekatan retributive untuk memidana dan menerapkn tindakan perbuatan kriminal dan kekerasan
justru akan memicu timbulnya
selanjutnya. Untuk itu dibutuhkan
“juvenile justice’ baru dengan misi atas dasar nilai, tujuan, kebijakan dan program baru (paradigm shift) yang diharapkan lebih produktif, lebih responsive dan lebih efektif melyani tiga kepntingan (pelaku, korban dan masyarakat). “Mutual responsibility” antra ketiganya akan memperkuat
bangunan masyarakat dan memutuskan isolasi dan ketiadaan hubungan antar remaja dan masyarakat.121
Adanya semangat untuk mengkoreksi pendekatan atau filosofi retributif atau pembalasan dalam sistem peradilan pidana (medical model) yang hanya menekankan pada 3 (tiga) kebutuhan system peradilan pidana yaitu kebutuhan untuk memberi sanksi terhadap tindak pidana, kebutuhan untuk membantu merehabilitasi pelaku, dan kebutuhan untuk memperkuat 121
OJJDP, Balanced and Restorative Justice Project, A Framework for Juvenile Justice in the 21 st Century, University of Minnesota, 1997.
lxxxviii
keamanan publik. Dalam keadilan restoratif sangat deirasakan adanya kehutuhan keempat yaitu kebutuhan untuk memperbaiki atau memulihkan kerugian korban tindak pidana dan masyarakat semaksimal mungkin.
Kemudian pengakuan atas keterbatasan sanksi pidana dan tindakan terhadap pelaku (the limits of treatment and punishment) yang lebih menitik beratkan
pada
kepentingan
terbaik
pelaku,
kurang
memperhtikan
konsekuensi tindak pidana dalm kerngka keamanan masyarkat dann korban kejahatan. Pendekatan retributif, khususnya terhdap anak-anak dengan konsep pidana dan tindakan seringkali tidak tepat dan tidak lengkap. Hal ini terjadi karena pendekatan retributive bersifat wawasan ad hoc satu dimensi telah mengesampingkan atau tidak melibatkan
bp hn
dan
“clients” atau
“customers” peradilan anak yaitu kerugian para korban dan masyarakat. Hal ini tidak dapat diatasi dengan pidana dan tindakan terhadap pelaku.
Sistem peradilan anak (juvenile justice) harus mendayagunakan
Pendekatan Keseimbangan (The Balanced Approach) yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk: a. pemidanaan atas dasar
tindakan
akuntabilitas yang berusaha memulihkan kerugian korban terhadap tindak pidana yang dilakukan pelaku sebagai konsekuensi tindak pidana; b. rehabilitasi dan reintegrasi pelaku tindak pidan; dan c. memperkuat keselamatan dan keamanan masyarakat. Hal ini jelas merupkan langkah artikulasi yang menghubungkn
kepentingan prime 3 (tiga) nasabah
(clients/customers) system peradilan pidana yaitu: korban, pelaku tindak pidana dan masyarakat; Pendekatan Kesimbangan ini sekaligus menekankan nilai-nilai yang terkait pada masing-masing klien yaitu : nilai akuntabilitas (accountability) terhadap korban dan masyarakat untuk; nilai pembangunan kompetensi (kemampuan) (competency development) bagi pelaku (anakanak) yang setelah melalui proses restoratif
diharapkan menjadi lebih
mampu berintegrasi dengan masyarakat daripada sebelumnya; dan nilai
lxxxix
perlindungan masyarakat (community protection), karena sistem keadilan restoratif bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana anak-anak melalui cara-cara damai (peacefully resolved).
Keadilan restoratif memiliki tujuan utama untuk mereparasi kerugian korban, pengkuan pelaku atas kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan, konsiliasi atau rekonsiliasi antara korban, pelaku dan msyarakat, reintegrasi pelaku, dan melalui penyelesaian konflik secara damai (pecefully resolved) dapat dikelola keamanan masyarakat.
Di samping keterlibatan korban, masyarakat yang terdampak dan
bp hn
pelaku, perlu ditekankan betapa pentingnya keterlibatan tenaga profesional yang terlatih dan yang memiliki keahlian khusus tentang perilaku remaja dalam proses keadilan restoratif (Juvenile Justice Professional). Perannya
antara lain: memfasilitasi mediasi, mengorganisasi sukarelawan, mencari masukan dari korban untuk menentukan hakekat kerugian yang diderita untuk menentukan restitusi, menentukan tempat-tempat tertentu yang berharga bagi masyarakat seandainya kewajiban pelayanan masyarakat (community service) harus dilakukan oleh pelaku, mengembangkan kelompok empati dan panel korban, mengorganisasikan panel masyarakat, lembaga atau komite yang berdiskusi dengan pelaku untuk kepentingan korban, masyarakat dan pelaku, memfasilitasi proses permintaan maaf pelaku pada korban dan masyarkat, peningkatan kesadaran korban dan lain-lain.
Perlu adanya strategi
utama untuk mengembangkan
rasa
tanggungjawab restoratif: 1.
Fokus pada memulihkan kerugian korban;
2.
Menyelenggarkan suatu proses untuk mengamankan kepentingan masyarakat;
xc
3.
Menyelenggarakan suatu proses
untuk meningkatkan pemahaman
lebih luas tentang pengaruh tindak pidana terhadap orang lain dan masyarakat; 4.
Menawarkan
cara-cara
yang
berarti
bagi
anak-anak
untuk
bertangungjawb terhadap perbuatannya; 5.
Menggalakkan permintaan maaf atau ekspresi penyesalan pelaku;
6.
Melibatkan korban dan masyarakat dalam menentukan tindakan pertanggungjawaban.
Menurut Muladi, “Pendekatan keadilan restoratif menyediakan kesempatan dan kemungkinan bagi korban kejahatan untuk memperoleh
bp hn
reparasi, rasa aman, memungkinkan pelaku untuk memahami sebab dan akibat perilakunya dan bertanggungjawab dengan cara yang berarti dan memungkinkan masyarakat untuk memahami sebab utama terjadinya kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencegah
kejahatan.
Pendekatan
Keseimbangan
(Balanced
Approach)
untuk
mengantikan pendekatan punitive-retributif sangat dibutuhkan dalam sistem keadilan restoratif untuk memenuhi kepentingan pelaku atas proses rahabilitasi dan reintegrasi; kepentingan korban akan restorasi akibat tindak pidana; dan kebutuhan masyarakat akan peningkatan keamanan dan keselamatan. Keberadaan strategi proses keadilan restoratif khusus bagi anak-anak/remaja yang berimbang (The Balanced Restorative Justice for Juvenile) dilandasai oleh pemikiran bahwa sumber kejahatan dan pelanggaran anak-anak (delinquency) adalah masyarakat, keluarga, sekolah, sehingga strategi yang hanya menitikberatkan pada individual pelaku tidak tepat. Pelibatan elemen-elemen korban dan masyarakat settya professional akan menyelesaikan persoalnnya secara sistemik dan komprehensif. Keadilan restoratif menampilkan serangkaian tindakan yang fleksibel yang dapat diesuaikan dengan system peradilan pidana yang berlaku dan secara komplementer dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi hukum, sosial
xci
dan budaya. Pendayagunaan keadilan restoratif tidak akan merugikan hak Negara untuk menuntut pelaku tindak pidana yang dicurigai.122
B.
Landasan Pemikiran yang Mendasari Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak-Anak Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan dan “inclusiveness”, yang berfokus pada reparasi terhadap kerugian akibat kejahatan, di samping berusaha mendorong pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, melalui pemberian kesempatan
bp hn
para pihak yang terdampak langsung oleh kejahatan yaitu korban, pelaku dan masyarakat, dengan mengidentifikasi dan memperhatikan kebutuhannya setelah terjadinya kejahatan, dan mencari suatu pemecahan berupa penyembuhan,
reparasi
dan
reintegrasi
serta
mencegah
kerugian
selanjutnya.123
Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kondisi
korban kejahatan, pelaku, dan masyarakat berkepentingan (stakeholders) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku.124
Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakat. Dilain pihak dalam proses peradilan pidana konvensional,
Muladi, Ibid. hal. 14. Muladi, Ibid. hal. 14. 124 Majalah Varia Peradilan Tahun Ke XXII No. 26 September 2007, Penerbit Ikatan hakim Indonesia, hal. 8. 122 123
xcii
kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau direpresentasikan oleh Negara cq Pemerintah cq Kejaksaan dan Kepolisian. Pertanyaannya, seberapa efektif dan representatif. Pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara utuh. Perlu cermin besar untuk dapat melihat needs and roles secara utuh dan jelas. Dalam arti bahwa restorative justice membuat peta tentang kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat yang terkait, sehingga ada dasar untuk mendistribusikan tanggungjawab akibat kejahatan sesuai dengan posisi dan peran masing-masing, agar tercapai keadilan yang berkualitas memulihkan. Dalam hal ini Horald Sehr menyatakan :
bp hn
“The restorative justice movement began as an efford to rethink the needs which crime create, as wel as the roles implicit in crime. Restorative justice advocates-were concerned about needs that where not being meet in the usual justice process. They also believed that preavailing understanding of legitimate participants or stakeholders in justice was to restrictive. Restorative justice expands the circle of stakeholders those with a stake or standing in the event in the case beyond just the government and the offender to include victims and community members also”.125 Visi keadilan restoratif didasarkan pada nilai-nilai yang berorientasi
dengan berbagai faktor yang berpengaruh makin luas pada individu dan komunitas di seluruh dunia, sehingga menyajikan banyak peluang untuk mencapai keadilan. Hal ini dikemukakan oleh Mark S. Umbreit and Marilyn Peterson Armour bahwa: “restorative justice is viewed as complementary to the criminal justice system because it attends to issue that the traditional system neglects. Regardless of the position taken, the vision of the restorative justice is grounded in values that are resonating with an increasingly broad range of individuals and communities throughout the world, presenting many opportunities for new and wide ane widened impact.126
125 126
Howard Zehr, Restorative Justice, (Good Books, intercourse, PA, 2002), hal. 23. Mark S. Umbreit, and Marilyn Peterson Armour, Restorative Justice and Dialogue : Impact Opportunities, and Challanges in the Global Community, (Washington University Journal of Law & Policy, Volume 6 36 Restorative Justice), hal. 82.
xciii
Pengertian keadilan restoratif adalah a form of conflict resolution and seeks to make it clear to the offender that the behavior is not condoned, at the same time as being supportive and respectful of the individual”.127
Atas dasar visi restorative justice tersebut di atas, di Belanda 60% perkara pidana yang ada di tangan Jaksa diselesaikan melalui afdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara di luar pengadilan) atau dengan perkataan lain pengadilan Belanda telah menerapkan restorative justice. Sedangkan di Indonesia yang menganut asas legalitas, Lembaga Pemasyarakatan semakin sesak karena banyak perkara pidana “orang kecil” dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, penjatuhan pidana
bp hn
penjara belum tentu menimbulkan efek jera dan diduga menjadi pembelajaran yang negatif bagi seorang narapidana, sebagaimana dikatakan adagium “too short for rehabilitation, too long for corruption” (di dalam
penjara terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk pembusukan). Di Norwegia perkara pidana yang tidak diajukan ke pengadilan berjumlah 74%.128
Secara nasional tujuan penyelenggaraan sistem peradilan terhadap
anak terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1997 yang telah dirubah melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru akan mulai dinyatakan berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni tanggal 30 Juli 2012.
Substansi mendasar UU No. 11 Tahun 2012 adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk
127
128
B.E. Morrison, The School System : Developing its Capacity in the Regulation of A Civil Society, in J. BaritWhaite & H. Strang (Eds.), Restorative justice and Civil Society, (Cambridge: Cambridge university Press, 2010), hal. 195. Andi Hamzah, Beberapa Hal Dalam Rancangan KUHAP, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional yang Diselenggarakan oleh Asosiasi Advocad Indonesia di Ballroom Hotel Grand Clarion Makasar tanggal 24 Oktober 2013, hal. 6.
xciv
menghindari dan menajuhkan anak dari proses peradilan sehingga terhindar dari stigmatisasi anak dan dengan demikian diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Pengertian diversi ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012 yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, dan menurut Pasal 5 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa dalam SPP Anak wajib diupayakan diversi. Upaya diversi dilakukan dalam setiap tahap SPP Anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan.
Penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana yang
bp hn
dilakukan oleh anak-anak merupakan perintah secara sah, jelas dan tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pertimbangan undang-undang ini antara lain dikatakan, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.
Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum
terhadap
anak
mempunyai
kewajiban
untuk
memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini ditujukan untuk menghindari dampak negatif dari sistem peradilan pidana yang ada saat ini terhadap kasus-kasus yang dilakukan oleh anak-anak. Berbagai kritikan mengenai sistem peradilan pidana, seperti antara lain dikemukakan oleh David Rothman yang mengatakan bahwa proses rehabilitasi narapidana (reintegrasi sosial) adalah kebohongan yang diagungagungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara ternyata mengasingkan penjahat dari cara hidup
xcv
yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup dijalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. Hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Ini membuktikan bahwa penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah
kejahatan,
khususnya
tindak
kejahatan
dimana
“kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa direstorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula.129
Oleh sebab itu merubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi Urgen, yang menurut Menurut Aris Merdeka
bp hn
Sirait,130hal ini di dasari bahwa telah terjadi kegagalan Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menghasilkan “KEADILAN” bagi anak, dan tingkat tindak pidana serta residivisme anak tidak mengalami penurunan yang berarti menunjukan bahwa proses peradilan GAGAL memberlakukan anak sebagai orang yang masih kecil dan memerlukan perlindungan atas hak-haknya sebagai anak. Sehingga desakan untuk merubah sistem peradilan bagi anak semakin menguat ditambah dengan perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dan anak yang berimbas pada perubahan paradima mengadili dari konsep retributive justice menjadi restorative justice terhadap kasus
anak.
Perubahan paradigma selain memunculkan konsepsi restorative justice juga menghadirkan ide dan konsep diversi yang dicanangkan dalam United Nations Standard minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 Nopember 1985), dimana diversi (diversion) tercantum dalam Rule 11.1, 11.2 Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hal. 2. 130 Aris Merdeka Sirait. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Paradigma Baru Penyelesaian ABDH Di Indonesia Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD), BPHN, Tgl. 26 Agustus 2013. 129
xcvi
dan Rule 17.4. Berdasarkan United Nations Standard Minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), diversi (diversion) adalah pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau meneruskan / melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan / menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.131
bp hn
Dalam sistem Hukum Islam, anak tidak dapat dijatuhi sanksi pidana
karena anak tidak dapat dibebani kewajiban sebagaimana orang yang telah dewasa. Dengan perkataan lain, bahwa anak belum sampai derajat mukallaf ()م ك لف. Atas dasar itu, maka perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
hukum,
khususnya
pertanggungjawaban pidana dengan sanksi pidana. Dalam hukum Islam, terdapat empat golongan manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan hukum atas perbuatannya :
ث الث عن ال ق لم رف ع: ح تى ال ص بي عن، ح تى ال مج نون وعن ي ح ت لم132.،ي ف يق ي س ت ي قظ ح تى ال نائ م وعن
(Diangkat pena terhadap tiga golongan, dari anak sampai bermimpi mengeluarkan air mani / dewasa, dari orang gila sampai sembuh, dan dari orang yang tidak sadar bukan karena kehendak / kesalahan sendiri sampai sadarkan diri). Disamping tiga golongan manusia tersebut ada satu golongan manusia yang juga tidak dapat dipertanggungjawabkan hukum atas perbuatannya, 131
132
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 65. Al Sayyid Sabiq, Fiqhu Al Sunnah, Jilid III, (Kairo, Mesir: Dar Al Fath Lil I’lam Al Aroby, 1990), hal. 23.
xcvii
yakni orang yang dalam keadaan terpaksa (psychologische dwang). Dalam hal ini Sayyid Sabiq menyatakan : 133.راهواال ك
ي س ل به االك راه ف ان، ارادت ه ف قد من ع لى والم سؤول ية االرادة
(Dan orang yang dalam keadaan dipaksa, karena keterpaksaan itu bisa merobek kehendak, dan tidak ada pertanggung-jawaban bagi orang yang tidak ada kehendak). Dari berbagai pemahaman atas perkembangan sistem hukum yang ada, termasuk yang terdapat pada sistem Hukum Islam maka hal tersebut diadopsi juga Di dalam UU SPPA yang pelaksanaan program Restorative Justice dalam peradilan anak ditempuh dengan proses diversi.134 Pada Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2012 mewajibkan Sistem Peradilan Pidana Anak
bp hn
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Ragaan yang menggambarkan intervensi program Restorative Justice ke
dalam sistem peradilan anak adalah sebagai berikut : SISTEM PERADILAN ANAK
Penyidikan
Penuntutan
Wajib diupayakan
Pemeriksaan
Wajib diupayakan
DIVERSI
RESTORATIVE JUSTICE
133 134
Ibid. Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2012 a. mencapai perdamaian antara korban dan anak b. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.
xcviii
Menurut Muladi, Sistem Peradilan Anak (juvenile justice) harus mendayagunakan pendekatan Keseimbangan (The Balance Approach) yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk a). Pemidanaan atas dasar tindakan akuntabilitas yang berusaha memulihkan kerugian korban terhadap tindak pidana yang dilakukan pelaku sebagai konsekuensi tindak pidana; b). Rehabilitasi dan reintegrasi pelaku tindak pidana; dan c). Memperkuat keselamatan dan keamanan masyarakat. Hal ini jelas merupakan langkah artikulasi yang menghubungkan kepentingen prime 3 (tiga) nasabah (client / customers) sistem peradilan pidana yaitu: korban, pelaku tindak pidana dan masyarakat; Pendekatan keseimbangan ini sekaligus menekankan nilai-nilai yang
terkait
pada
masing-masing
klien
yaitu:
nilai
akuntabilitas
bp hn
(accountability) terhadap korban dan masyarakat untuk dipenuhi; nilai
pembangunan kompetensi (kemampuan) (competency development) bagi
pelaku (anak-anak) yang setelah melalui proses restoratif diharapkan menjadi lebih mampu berintegrasi dengan masyarakat daripada sebelumnya; dan nilai perlindungan masyarakat (community protection), karena sistem keadilan restoratif bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana anak-anak melalui cara-cara damai (peacefully resolved).135
Lebih lanjut Muladi mengatakan, keadilan restoratif memiliki tujuan
utama untuk mereparasi kerugian korban, pengakuan pelaku atas kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan, konsiliasi atau rekonsiliasi antara korban, pelaku dan masyarakat, reintegrasi pelaku, dan melalui penyelesaian konflik secara damai (peacefully resolved) dapat dikelola keamanan
masyarakat.136
Disamping keterlibatan korban, masyarakat yang terdampak dan pelaku, perlu ditekankan betapa pentingnya keterlibatan tenaga profesional yang terlatih dan yang memiliki keahlian khusus tentang perilaku remaja 135 136
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, ........, Op.Cit, hlm 10-11. Ibid, hal. 11.
xcix
dalam proses keadilan restoratif (juvenile Justice Professional). Perannya antara lain : memfasilitasi mediasi, mengorganisasi sukarelawan, mencari masukan dari korban untuk menentukan hakekat kerugian yang diderita untuk menentukan restitusi, menentukan tempat-tempat tertentu yang berharga bagi masyarakat seandainya kewajiban pelayanan masyarakat (community service) harus dilakukan oleh pelaku, mengembangkan kelompok empati dan panel korban, mengorganisasikan panel masyarakat, lembaga atau komite yang berdiskusi dengan pelaku untuk kepentingan korban, masyarakat dan pelaku, memfasilitasi proses permintaan maaf pelaku pada korban dan masyarakat, peningkatan kesadaran korban dll.137
bp hn
Dalam rangka memberi perhatian terhadap kepentingan korban dan
masyarakat, terhadap mereka yang belum bisa diproses melalui sistem peradilan pidana anak karena usia pelaku belum 12 tahun, pendekatan restorative justice tepat untuk digunakan dalam penyelesaian perkara
pidana.138 Berbeda dengan sebelumnya terhadap anak dalam kategori tersebut dilakukan dengan Outside of the system as an alternative to formal response. Meskipun anak tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan
menurut program sistem peradilan pidana (karena belum berusia 12 tahun), akan tetapi dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan dampak perbuatan yang dilakukannya terhadap korban dan masyarakat melalui program restoratif.
Mendasarkan pada beberapa konsep Restorative Justice yang telah dikemukakan pada Bab
137 138
sebelumnya jelas bahwa Restorative Justice
Ibid. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 Masa pertanggungjawaban terhadap anak dimulai pada usia 12 tahun, ketentuan dalam UU Pengadilan Anak yang mencantumkan masa pertanggungjawaban pada usia 8 tahun dianggap tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) artinya inkonstitusional bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai usia 12 tahun. Lihat Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hal. 41.
c
merupakan cara lain dari peradilan pidana yang mengedepankan pendekatan integrasi pelaku disatu sisi dan korban serta masyarakat disisi lain sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali kepada pola hubungan baik masyarakat. Dengan demikian, substansi dari Restorative Justice adalah “Empowerment”. Empowerment merupakan jantung restoratif dan oleh karena itu Restorative Justice keberhasilannya ditentukan oleh Empowerment ini. Empowerment dalam konteks Restorative Justice adalah proses pertemuan dalam hal ini antara pelaku dengan korban dan masyarakat untuk membahas dan secara aktif berpartisipasi dalam penyelesaian masalah pidana (resolution of the criminal matter). Atas dasar itu maka konsep Restorative Justice dapat dibilang mengintegrasikan prinsip musyawarah
bp hn
dalam penyelesaian perkara pidana.
C.
Hal-hal yang diperlukan untuk mendukung/menunjang penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak
Jika kita melihat kebelakang meskipun tidak diatur secara tegas maka
sebetulnya penerapan restorative justice telah ada secara explicit sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya telah mengatur mengenai hal ini dalam Pasal 45 sampai dengan 47. Pasal 45 antara lain menentukan, “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:139 1.
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau
2.
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun,
139
Lihat BAB III Hal-Hal Yang Menghapuskan, Mengurangi Atau Memberatkan Memberatkan Pidana, Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ci
3.
jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”.
Pasal 46 KUHP menentukan, (1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang
bp hn
tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang- undang.140
Pasal 47 (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. (2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.141
Begitu juga ketika berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, meskipun tidak secara tegas menentukan dan mengatur tentang restorative justice, namun penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak melalui mediasi telah dilakukan.142 Demikian 140 141 142
Ibid., Pasal 46 Ayat (1-2). Ibid., Pasal 47 Ayat (1-3). Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadlan Anak, antara
cii
pula dengan Polisi sebagai aparat penegak hukum berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Kepolisian, ditentukan (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.143 Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah “suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya
bp hn
dan betul-betul untuk kepentingan umum”. pelaksanaan ketentuan ini dikenal dengan istilah diskresi kepolisian.
Berikut ini adalah perlu untuk dikemukakan mengenai penerapan atau
pelaksanaan keadilan restoratif dan diversi yang telah dilakukan atau dijalankan oleh aparat penegak hukum sebelum berlakunya UU No. 11/2012.
Tabel: Jenis dan Jumlah Perkara Anak Nakal/Klien Bapas Purwokerto144
143 144
No
Jenis Kejahatan
1
Pencurian
Jumlah
Prosentase
520
56,79
lain dikatakan, bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang; b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi, Model Peradilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian Tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 3 September 2009.
ciii
Penganiayaan
172
18,26
3
Pembunuhan
5
0,55
4
Kesusilaan
95
9,79
5
Pemerasan
25
2,77
6
Narkoba
27
3
7
Lakalantas
38
3,78
8
Membawa Senjata Tajam
3
0,33
9
Pengrusakan
12
1,33
10
Penipuan
7
0,77
11
Perjudian
12
1,33
12
Uang Palsu
2
0,22
bp hn
2
13
Penggelapan
4
0,44
14
Kebakaran
3
0,33
15
Penghinaan/Pencemaran Massal
3
0,33
16
Melarikan
4
0,44
932
100%
Perempuan
dibawah
Umur
Jumlah
Sumber: Angkasa, Saryono & Muhammad Budi Setyadi, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 3 September 2009.
Berdasarkan tabel 1 tersebut diatas, jumlah perkara anak nakal di BAPAS Purwokerto dari tahun 2002 – 2008 sebanyak 932 perkara dimana jenis kejahatan yang paling banyak dilakukan oleh anak-anak adalah pencurian, setelah itu secara berurutan yaitu penganiayaan, kesusilaan, kecelakaan lalulintas, narkoba dan pemerasan.
civ
Tabel: Jenis Sanksi Yang Disarankan BAPAS dan Jumlah Litmas Klien Bapas Purwokerto Tahun 2002 – 2008145 No
Jenis Sanksi Yang Disarankan BAPAS
Jumlah
Prosentase
untuk Klien 1
Pidana Bersyarat
129
13,81
2
Pidana dengan pembimbingan/penga-
264
29,38
3
Pidana sesuai dengan perbuatan
219
23,26
4
Pidana dengan memperhatikan masa
171
19,04
16
1,77
bp hn
Wasan
penahanan yang telah dijalani 5
Pendidikan Paksa ke Negara
6
Kembali ke orang tua
58
5,33
7
Kekeluargaan/perdamaian atau Non-
59
5,44
16
1,77
932
100%
Litigasi yang disaksikan oleh BAPAS dan Kepolisian
8
Pelimpahan ke BAPAS lain Jumlah
Sumber: Angkasa, Saryono & Muhammad Budi Setyadi, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 3 September 2009. Data tersebut diatas menunjukkan bahwa permintaan atau saran dari
BAPAS kearah mediasi adalah: 1.
Kembali ke orang tua berjumlah 58 (lima pupuh delapan);
2.
Kekeluargaan/perdamaian atau Non-Litigasi yang disaksikan oleh BAPAS dan Kepolisian berjumlah 59 (lima puluh sembilan).
Dengan demikian saran dari BAPAS yang mengarah pada implementasi mediasi berjumlah 117 perkara (sekitar 11,55%) dari 932 perkara.
Meskipun keadilan restoratif ini telah dijalankan, namun harus diakui
145
Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi, Ibid.
cv
bahwa masih banyak persoalan anak yang berkaitan dengan hukum. Data berikut ini menunjukkan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh anak berkaitan dengan hukum diantaranya sebagai berikut:146 1.
Lebih dari 7.000 anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan setiap tahun.
2.
Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di seluruh Indonesia, terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan, 3.197 Narapidana dan 56 Anak negara.
3.
Dari 6.273 anak tersebut diatas, 2.357 anak ditempatkan di Lapas Anak, sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa. 5 (lima) Jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan anak yaitu :
bp hn
4.
Pencurian , Narkotika, Susila , penganiayaan dan pengeroyokan.
Data hasil pemantauan KPAI, Data dari Balai Pemasyarakatan (Bapas)
klas I Bandung pada tahun 2010 tercatat 1. 298 anak. Yang dimintakan litmasnya oleh penyidik.147 Data lain sebagai berikut:
Tabel: Jenis dan Jumlah Perkara Anak Nakal Lapas Anak Pria Tangerang Tahun 2010148
No
Jenis Kejahatan
Jumlah
1
Narkoba
461 kasus
2
Susila
431 kasus
3
Pencurian
383 kasus
4
Perampokan
184 kasus
5
Pembunuhan
124 kasus
Apong Herlina, Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lihat www.google- ABH HARUS BAGAIMANA. Di akses pada 21 Agustus 2013. 147 Ibid. 148 Apong Herlina., Ibid. 146
cvi
6
Penganiayaan
63 kasus
Jumlah
1.774
Sumber: Diolah dari Apong Herlina, Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bapas Gorontalo pada tahun 2010 sebanyak 115 orang, dan pada tahun 2011 sampai dengan juni sebanyak 46 orang. Kasus yang menonjol paling tinggi pencurian, susila dan penganiayaan.149
Menurut Apong Herlina di Kalimantan Selatan berdasarkan data dari
bp hn
Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan, “kondisi anak pelaku tindak pidana:
Tabel: Tahun dan Jumlah Perkara Anak Nakal di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan150
No
Tahun
Jumlah
1
2010
350 Kasus
2
2011 sampai dengan Oktober
263 Kasus
Jumlah
613 Kasus
Sumber: Diolah dari Apong Herlina, Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Di Sumatra Selatan
data di peroleh dari kejaksaan tinggi dan
Pengadilan tinggi Sumatra Selatan : pada tahun 2010 tercatat anak pelaku tindak pidana di pengadilan sebanyak 373 kasus, pencurian sebanyak 214 kasus, sedangkan pada tahun 2011, sampai dengan juni tercatat 133 anak dan kasus pencurian sebnyak 71 kasus. Data dari 8 lapas di palembang pada tahun 2010 tercatat 1.115 anak, pada tahun 2011 sampai Juli tercatat 592 anak.151 Ibid. Ibid. 151 Apong Herlina, Ibid. 149 150
cvii
Propinsi Banten. Data anak pelaku tindak pidana di Polda tercatat 87 kasus , tindak pindana paling tinggi adalah pencurian, sedangkan berdasarkan data dari pengadilan tinggi Banten kasus anak pelakju tindak pidana tercatat 39 kasus pada tahun 2010 dan pada tahun 2011, sampai dengan juni tercatat 24 kasus. Data anak yang tercatat di bapas Banten pada tahun 2010 sebanyak 285 kasus, pencurian sebanyak 158 kasus dan pada tahun 2011, sampai dengan juni
sebanyak 172 kasus anak, pencurian
sebanyak 91 kasus. Tindak pidana paling tinggi adalah pencurian , disusul narkoba, susila, susila dan penganiayaan.152
bp hn
Data dari Kementerian Sosial, jumlah kasus ABH cenderung meningkat.
Pada 2008 terdapat setidaknya 6.500 kasus, dan tahun 2009 menjadi 6.704 kasus. Namun, baru sedikit sekali yang dapat tertangani secara baik dan sesuai dengan kebijakan perlindungan anak. Mengacu pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), hingga 2011 sebanyak 90 persen dari kasus-kasus ABH diproses dan berakhir dengan pemidanaan atau diputus vonis pidana. Berarti paling banyak hanya 10 persen kasus ABH yang mungkin telah diselesaikan sesuai kebijakan penanganan ABH yaitu bukan dibawa pada pengadilan pidana,
namun
diselesaikan
secara
peradilan
restoratif
di
mana
permasalahan diselesaikan bersama antara anak yang terlibat, keluarga, dan pihak lain yang relevan (misalnya sekolah, dsb) dengan difasilitasi oleh petugas yang berorientasi pada perlindungan anak.153
Perkembangan selanjutnya mengenai keadilan restoratif dan diversi ini dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
152 153
Ibid. http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/kegiatan/the-indonesian-forum/498-theindonesian-forum-seri-13-melindungi-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum-26-januari-2012pk-1400-1600-wib. Diakses 21 Agustus 2013.
cviii
Peradilan Pidana. Secara lebih rinci diversi ini diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU No. 11 Tahun 2012. Diversi bertujuan:154 1.
mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
2.
menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3.
menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4.
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5.
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:155 diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;156 dan
2.
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.157
bp hn
1.
Pasal 8 Ayat (1, 2 & 3) UU No. 11/2012 ini menentukan, Proses Diversi
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya,
korban
dan/atau
orang
tua/Walinya,
Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.158 Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.159 Proses Diversi wajib
memperhatikan:
1.
kepentingan korban;
2.
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
3.
penghindaran stigma negatif;
Lihat Pasal 6 Ayat (1 & 2), Undang-Undang No. 11/2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ibid. Lihat Pasal 7 Ayat (1 & 2). 156 Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Huruf a Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukum pidana. 157 Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Huruf b Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi. 158 Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 8 Ayat (1) Orang tua dan Wali korban dilibatkan dalam proses Diversi dalam hal korban adalah anak. 159 Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 8 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. 154 155
cix
4.
penghindaran pembalasan;
5.
keharmonisan masyarakat; dan
6.
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:160 1.
kategori tindak pidana;161
2.
umur Anak;162
3.
hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
4.
dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
bp hn
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:163 1.
tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2.
tindak pidana ringan;164
3.
tindak pidana tanpa korban; atau
4.
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai 160
161
162
163
164
Lihat Lihat Pasal 9 Ayat (1 & 2) UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Huruf b Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi. Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 9 Ayat (2) Ketentuan mengenai “Persetujuan keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal korban adalah Anak di bawah umur. Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 9 Ayat (2) Huruf b Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
cx
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan Diversi dilakukan oleh Penyidik
atas
rekomendasi
Pembimbing
Kemasyarakatan
dapat
berbentuk:165 1.
pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
2.
rehabilitasi medis dan psikososial;
3.
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
4.
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling
bp hn
lama 3 (tiga) bulan; atau
5.
pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:166 1.
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2.
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
3.
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4.
pelayanan masyarakat.
Pasal 12 UU Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan, (1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.167 (2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
Ibid., Lihat Pasal 10 Ayat (1 dan 2). Ibid., Lihat Pasal 11. 167 Ibid., Lihat Penjelasan Pasal 12 Ayat (1) Kesepakatan Diversi dalam ketentuan ini ditandatangani oleh para pihak yang terlibat. 165 166
cxi
kesepakatan
dicapai
untuk
memperoleh
penetapan.
(3)
Penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. (5) Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2012 menentukan, Proses peradilan pidana
bp hn
Anak dilanjutkan dalam hal: a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan. Pasal 14 (1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. (2) Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. (3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Pasal 108 Undang-Undang No. 11/2012 ini menyatakan, UndangUndang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Jadi Undang-Undang ini akan efektif mulai berlaku pada 31 Juli 2014. Oleh karena itu pembahasan dalam kajian ini yaitu seberapa efektif penerapan restoratif justice dan diversi dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak belum dapat terlihat dengan jelas. Namun
cxii
demikian dengan adanya Undang-Undang ini terlihat bahwa akan ada peningkatan efektifan penerapan asas ini, karena: 1.
Dengan undang-undang ini semakin membatasi tindak pidana yang akan dapat diproses secara langsung dalam sistem peradilan pidana anak yaitu terhadap tindak pidana yang diancam pidana 7 tahun atau lebih, meliputi kejahatan pembunuhan, narotika, teorisme, dan perampokan (pencurian dengan kekerasan).
2.
Bahwa proses menuju peradilan pidana seluruhnya tergantung kepada kesepakatan
yang
terjadi
antara
pelaku,
korban,
keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, bukan lagi tergantung
bp hn
kepada apar penagak hukum (polisi, jaksa, dan atau hakim).
Paling tidak akan melebihi 10% kasus anak yang bermasalah dengan
hukum yang diselesaikan bukan dibawa pada pengadilan pidana, namun diselesaikan secara peradilan restoratif di mana permasalahan diselesaikan bersama antara anak yang terlibat, keluarga, dan pihak lain yang relevan dengan difasilitasi oleh petugas yang berorientasi pada perlindungan anak. Idealnya dapat mengurangi separuh atau lima puluh persen dari jumlah anak yang bermasalah dengan hukum.
Menurut Muladi Effektivitas pendayagunaan keadilan restoratif juga
tergantung pada :168 1.
Perhatian utama pada kerugian akibat kejahatan, bukan semat-mata hukum yang telah dilanggar;
2.
Perhatian dan komitmen yang sama terhadap korban dan pelaku yang harus dilibatkan dalam proses;
3.
Fokus pada restorasi korban, memberdayakannya dan menanggapi kebutuhannya;
168
Muladi, Op. Cit. hal. 14-15.
cxiii
4.
Mendukung pelaku di samping mendorongnya untuk memahami, menerima, dan melaksanakan kewajibannya serta berusah mengatasi kesulitan yang timbul;
5.
Memberikan kesempatan
berdialog, langsung atau tidak langsung
antara korban dan pelaku apabila diperlukan; 6.
Melibatkan dan memberdayakan
masyarakat terdampak melalui
proses keadilan dan meningkatkan kemampuannya untuk mengakui dan menanggapi apa yang terjadi; 7.
Lebih mendorong kolaborasi dan reintegrasi daripada menekan dan mengisolasi;
8.
Memberikan perhatian terhadap konsekuensi yang tidak terduga dari
bp hn
tindakan dan program;
9.
Menunjukkan penghargaan terhadap segala pihak termasuk korban, pelaku dan lain-lain yang terlibat;
Melibatkan tenaga professional yang terlatih.
Secara
lebih
rinci,
Hal-hal
yang
diperlukan
untuk
mendukung/menunjang penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 1.
Prasyarat Pendekatan Keadilan Restoratif a.
Pelaku 1)
Usia Pelaku Anak Dalam penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya selalu memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku semakin penting untuk dilakukan penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif.
Usia pertanggungjawaban kriminal anak di Indonesia menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah 12 tahun, artinya tidak ada seorang anak pun yang
cxiv
berusia dibawah 12 (dua belas) tahun yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban
kriminal
karena
melakukan kejahatan. Jika ada anak di bawah 12 (dua belas) tahun yang melakukan kejahatan, diindikasikan telah terjadi masalah yang sangat serius, walaupun sebenarnya anak tersebut
tidak mengerti akibat dari tindakan tersebut.
Untuk penanganan perkara seperti ini, penyelesaian melalui proses peradilan tidak akan efektif, oleh karenanya perlu ditangani oleh lembaga atau instansi yang kompeten dengan cara merujuk pada lembaga pendidikan, jasa pelayanan
bp hn
sosial atau lembaga masyarakat terkait.
Dalam suatu kondisi tertentu, anak yang berusia antara
12 (dua belas) tahun sampai dengan 14 (empat belas) tahun dapat diproses melalui hukum formal, tetapi tidak bisa dikenakan penahanan atau pemenjaraan. Untuk kelompok anak yang berusia dibawah 12 (dua belas) tahun ini, penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif harus menjadi prioritas pertama.
Anak yang berusia diatas 14 (empat belas)
tahun
dapat diproses melalui proses hukum formal, walupun demikian
penanganan
dengan
pendekatan
keadilan
restoratif harus menjadi prioritas pertama dan pemenjaraan adalah upaya terakhir.
2)
Pengakuan dan Penyesalan Pelaku Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif akan
efektif
jika
anak
mengakui
perbuatan
menyesalinya. Pengakuan dan penyesalan
dan
anak atas
cxv
perbuatan tersebut tidak boleh dipaksakan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan (akan diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif).
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif tidak dapat dipertimbangkan jika anak tidak mengakui perbuatan dan tidak menyesalinya.
3)
Kondisi Anak sebagai Pelaku dan Jumlah Tindak Pidana yang Dilakukan Anak
bp hn
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif
harus memperhatikan kondisi anak saat melakukan tindak pidana. Apabila faktor pendorong anak melakukan tindak pidana ada diluar kendali anak dan atau anak melakukan tindak pidana untuk pertama kali, maka penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif dilakukan dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya menjadi prioritas utama.
b.
Kategori Tindak Pidana
Perkara tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku harus diupayakan penyelesaiannya dengan pendekatan keadilan restoratif. Pada saat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, hendaknya dipertimbangkan seriusitas perbuatan tindak pidana dan jumlah tindak pidana yang telah dilakukan.
Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 (satu) tahun harus diprioritaskan untuk
cxvi
dilakukan diskresi. Perkara tersebut tidak perlu diproses melalui hukum formal, cukup diberikan peringatan secara lisan maupun tertulis.
Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana lebih dari 1 (satu) tahun dan sampai dengan dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya.
bp hn
Anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana
hendaknya diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya.
c.
Korban 1)
Dampak perbuatan terhadap korban
Setiap kejahatan akan berdampak berbeda bagi
masing-masing korban. Kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana dapat berupa fisik, psikis, materi dan sosial yang bisa berdampak serius terhadap korban. Dengan demikian korban memerlukan respon yang berbeda-beda pada tindak pidana yang sama.
2)
Persetujuan korban Untuk kasus yang berdampak serius terhadap korban, maka
persetujuan
korban
sangat
diperlukan
dalam
penyelesaian perkara anak. Sedangkan, untuk kasus yang
cxvii
tidak berdampak serius terhadap korban, tidak diperlukan persetujuan korban dalam penyelesaian perkara anak.
3)
Partisipasi dan pendapat korban Dalam penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif sedapat mungkin melibatkan korban dan atau keluarganya, dan mendengar, serta mempertimbangkan pendapat/keinginan korban.
d.
Dukungan Orang Tua/Wali dan Keluarga Dalam penanganan perkara anak pelaku tindak pidana
bp hn
dukungan dari orang tua/wali dan keluarga sangat penting agar pendekatan keadilan restoratif dapat berhasil. Orang tua/wali atau keluarga anak tersebut perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian perkara, program rehabilitasi, dan reintegrasi. Jika keluarga (orang tua/wali) tidak diikutsertakan secara aktif, maka rencana penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif yang efektif akan sulit untuk diimplementasikan.
Keluarga mungkin merasa malu atas tindakan anak tersebut
sehingga menutup-nutupi kesalahan anak. Jika ada orang tua atau keluarga seperti ini maka APH atau pihak terkait wajib memberi
pengertian kepada orang tua atau keluarga tersebut tentang perlunya dukungan keluarga.
e.
Jenis-jenis penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif 1)
Mediasi korban dengan pelaku Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan guna memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh seorang atau lebih mediator. Sebagai mediator adalah pihak netral yang membantu para
cxviii
pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Pasal 1 butir 6 dan butir 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008).
2)
Musyawarah Keluarga Musyawarah
keluarga
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban, dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral
bp hn
agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.
Dalam musyawarah keluarga, perlu diperhatikan: a)
keterlibatan pihak-pihak terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak;
b)
pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku;
c)
hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.
3)
Musyawarah Masyarakat Musyawarah
masyarakat
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban dan tokoh masyarakat/tokoh agama, dengan difasilitasi oleh seorang
cxix
fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.
Dalam musyawarah masyarakat, perlu diperhatikan: a)
keterlibatan pihak-pihak terkait meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak, tokoh masyarakat/tokoh agama dan siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan tersebut;
b)
pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku; hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain
bp hn
c)
memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.
f.
Mekanisme Penanganan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif
1)
Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus mempertimbangkan: a)
kategori tindak pidana;
b)
umur anak;
c)
hasil
penelitian
kemasyarakatan
dari
Balai
Pemasyarakatan; d)
2)
dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Tahapan dalam Musyawarah a)
Tahap Menggali informasi (1)
Informasi Pelaku -
Fasilitator mengadakan pertemuan dengan pelaku dengan melibatkan pihak terkait
cxx
(keluarga dan orang-orang yang dekat dengan
pelaku,
pembimbing
kemasyarakatan BAPAS dan pekerja sosial), tanpa melibatkan korban dan keluarga korban. -
Penyambutan dan perkenalan.
-
Fasilitator membacakan kronologi perkara dengan rinci.
-
Pelaku
diberikan
kesempatan
untuk
merespon kronologi perkara tersebut, dan pelaku dapat menerima atau menolak
bp hn
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.
-
Bila anak mengakui perbuatannya dan mau bertanggung jawab, maka penyelesaian perkara
bisa
dilanjutkan
dengan
musyawarah.
-
Namun
apabila
anak
tidak
mengakui
perbuatannya, maka musyawarah tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus dikembalikan ke proses formal.
-
Usaha harus dilakukan untuk mendorong agar anak mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
(2)
Informasi Korban -
Fasilitator mengadakan pertemuan dengan korban dengan melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang dekat dengan
pelaku,
pembimbing
kemasyarakatan BAPAS dan Pekerja Sosial),
cxxi
tanpa melibatkan pelaku dan keluarga pelaku. -
Korban diberi kesempatan bicara tentang apa yang telah terjadi, bagaimana ia dirugikan, dan apa yang dianggap perlu untuk dilakukan oleh pelaku agar dapat mengganti kesalahannya.
b)
Pertimbangan keluarga Keluarga
masing-masing
pihak
diberi
kesempatan untuk berunding dan harus menjawab
bp hn
pertanyaan.
-
Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban, keluarganya dan masyarakat.
-
Rencana apa yang anak dapat lakukan bersama keluarganya
untuk
mencegah
pengulangan
perbuatan.
c)
Negosiasi dan perjanjian
Fasilitator perlu untuk memeriksa hal-hal sebagai berikut. -
Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan korban?
-
Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat?
-
Apakah rencana ini telah realistis dan dapat dicapai?
-
Apakah rencana ini dilakukan dalam jangka waktu yang relevan?
cxxii
-
Apakah rencana ini dapat diukur?
-
Apakah rencana ini layak dan proporsional?
-
Apakah rencana ini melindungi hak anak dan memajukan perkembangan anak? Apakah rencana ini memprediksi antisipasi apa
-
yang akan dilakukan bila rencana ini berhasil atau tidak berhasil?
Setelah memeriksa rencana tersebut di atas maka fasilitator mulai melakukan perundingan dengan melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban (untuk musyawarah keluarga). Untuk masyarakat
perlu
juga
melibatkan
bp hn
musyawarah
tokoh
masyarakat/tokoh agama.
Keputusan
hasil
musyawarah
harus
mendapatkan
persetujuan korban dan keluarganya, serta persetujuan anak sebagai pelaku dan keluarganya.
Hasil kesepakatan keadilan restoratif dapat berupa: 1)
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2)
penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3)
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga kesejahteraan sosial; atau
4)
pelayanan masyarakat.
Kesepakatan sebagaimana dimaksud di atas dituangkan ke dalam
suatu
keputusan
yang
berlaku
sejak
dicapainya
kesepakatan. Keputusan keadilan restoratif dimasukkan dalam berkas perkara anak yang wajib dipertimbangkan oleh jaksa pada
cxxiii
saat membuat tuntutan dan oleh hakim pada saat membuat putusan.
Register perkara anak dengan penyelesaian pendekatan keadilan restoratif pada kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dibuat secara khusus.
Pengawasan atas proses penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab pada setiap tingkat pemeriksaan. Selama
bp hn
proses keadilan restoratif berlangsung dan setelah keadilan restoratif dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan.
Dalam
hal
kesepakatan
keadilan
restoratif
tidak
dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan dalam kesepakatan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggung jawab tersebut wajib menindaklanjuti laporan.
Anak yang keberadaan orang tua/walinya tidak diketahui maka pengasuhannya menjadi tanggung jawab kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial. Pengasuhan tersebut dilaksanakan di lembaga
penyelenggaraan
kesejahteraan
sosial
yang
direkomendasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial.
cxxiv
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan kajian pustaka, rapat-rapat, serta hasil analisa pengkajian hukum yang telah dilakukan, maka Tim Pengkajian Tentang Penerapan
bp hn
Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak mengambil suatu kesimpulan, sebagai berikut: 1.
Dari hasil pembahasan di atas bahwa keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak sangat peduli dalam membangun kembali hubungan setelah terjadinya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat ini. Keadilan restoratif merupakan reaksi yang bersifat “victimcentered”, terhadap kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku, keluarga dan wakil-wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya tindak pidana. Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang diderita akibat kejahatan dan memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan dan menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui system adversarial (permusuhan). Keadilan restoratif memiliki arti penting dalam penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak.
2.
Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan pemerintah dan pelaku
cxxv
kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak dari korban
dan
masyarakat.
Restorative
justice
bertujuan
untuk
mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku, dan masyarakat berkepentingan (stakeholders) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan anak. Dalam arti bahwa restorative justice membuat peta tentang kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku kejahatan, dan
masyarakat
yang
terkait,
sehingga
ada
dasar
untuk
mendistribusikan tanggungjawab akibat kejahatan sesuai dengan posisi
bp hn
dan peran masing-masing, agar tercapai keadilan yang berkualitas memulihkan.
3.
Penerapan prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, di dalam implementasinya tentu perlu juga didukung dengan kelengkapan sarana dan prasarana serta peningkatan pemahaman terhadap aparat penegak hukum yang menangani anak, seperti pembangunan LPAS dan LPKS, Sosialisasi UU SPPA, Serta Pendidikan dan Pelatihan SPPA bagi aparat penegak hukum yang menangani anak.
cxxvi
B.
Rekomendasi Atas dasar hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh Tim, maka terdapat beberapa rekomendasi yang diusulkan sebagai berikut: 1.
Melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak kepada seluruh pihak terkait, khususnya kepada aparat penegak hukum, terkait dengan perubahan prinsipprinsip dasar dalam menangani berbagau kasus tindak pidana yang melibatkan anak.
2.
Pemberian pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum guna peningkatan
kompetensi
pemahaman
perlindungan
atas
anak
bp hn
berdasarkan sistem peradilan pidana anak terbaru.
3.
Mempercepat penyusunan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
4.
Menyiapkan sarana dan prasarana yang mendukung berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, seperti Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKS).
cxxvii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Al Sayyid Sabiq, Fiqhu Al Sunnah, Jilid II, (Kairo, Mesir: Dar Al Fath Lil I’lam Al Aroby, 1990). Al Sayyid Sabiq, Fiqhu Al Sunnah, Jilid III, (Kairo, Mesir: Dar Al Fath Lil I’lam Al Aroby, 1990). Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986). B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a civil society, in J. Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, (Cambridge University Press, 2001).
bp hn
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, (Semarang: Pustaka Magister, 2010). Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005). Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008). Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, (Illinois USA: C. Thomas Publicher, 1978). Gene Kassebaum, Delinquency and Social Policy, (London: Prentice Hall, Inc, 1974). H.L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, (California: Stanford Univercity Press, 1968) . Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press, 1990). Howard Zehr, Restorative Justice, (Good Books, intercourse, PA, 2002). J. Andenaes, The general part of the criminal law of Norway, (London: Fred D. Rothmant & Co, Sweet & Maxwell Ltd, 1965). Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Terjemahan T. P. Moeliono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Karl O. Christiansen, Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal policy, Resource Material Series No. 7, (Tokyo: UNAFEI, 1974). Kepolisian Negara RI dan Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum Manual Pelatihan Untuk Polisi, (Jakarta: POLRI-UNICEF, 2004).
cxxviii
Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives, (Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, 1996). Kristanto SH Sianipar, Pendekatan Restorative justice Melalui Diversi oleh Hakim Anak Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Tesis S2 (FH UNSOED: Purwokerto, 2013). Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012). Lanier, Mark M & Henry, Stuart, Essential Criminology, Second Edition, (Colorado: Westview, 2004). M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, (Illinois USA: C. Thomas Publicher, 1978)
bp hn
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004). Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo, Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2013). Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to criminal problems, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965). Markus Lukman, Disertasi: Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996). Mc Cold and Wachtel, Restorative Practices, (The International Institute for Restorative Practices (IIRP), 2003). Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸ (Bandung: Alumni, 1984). Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995). Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971). Northey, Wayne, A New Paradigm of Justice, dalam : Bianchi dkk, Abolotionism, Towards a Non-Repressive Approach to Crime, (Free University Press, Amsterdam, 1986). Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997). OJJDP, Balanced and Restorative Justice Project, A Framework for Juvenile Justice in the 21st Century, (University of Minnesota, 1997). cxxix
Peter, A.A.G dan Koesriani, Hukum Dan Pembangunan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum III, (Jakarta: Sinar Harapan, 1990). Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive law, (New York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper and Row Publishers, 1978). Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997). Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996). Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011). Smith and Hogan, Criminal Law, (London: Butterworths, 1978)
bp hn
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983). Stanley Grupp, E, Theories of Punishment, (London: Indiana University Press, 1971). Stolwijk, Simon AM, Altrnatives to Custodial Sentences, dalam Criminal in Action, (Gouda Quint bv. Arnhem, 1986). Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, FH UNDIP, 2009). Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, (London: Home Office Research Development and Statistic Directorate, 1999). Umbret Mark S, et. Al, Restorative Justice in the 21st Century: A Social Movement Full of Opportunities and Pitfalls, (Marquette Law Review, 2009). Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994). Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Fundation, Situasi Umum Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Indonesia. B.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadlan Anak
cxxx
C.
Jurnal, Artikel dan Makalah Seminar
Andi Hamzah, Beberapa Hal Dalam Rancangan KUHAP, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional yang Diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia di Ballroom Hotel Grand Clarion Makasar tanggal 24 Oktober 2013. Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi, Model Peradilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian Tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 3 September 2009. Aris Merdeka Sirait. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Paradigma Baru Penyelesaian ABDH Di Indonesia Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD), BPHN, Tgl. 26 Agustus 2013.
bp hn
DS. Dewi, Restorative justice, Diversionary Schemes and Special Children’s Courts in Indonesia. Artikel tidak diterbitkan. Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992). Ivo Aertsen, et, al, Restorative Justice and the Active victim: Exploring the Concept of Empowerment, (Journal TEMIDA, 2011). Majalah Varia Peradilan Tahun Ke XXII No. 26 September 2007, Penerbit Ikatan hakim Indonesia. Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006. Mark S. Umbreit, and Marilyn Peterson Armour, Restorative Justice and Dialogue : Impact Opportunities, and Challanges in the Global Community, Washington University Journal of Law & Policy, Volume 6 36 Restorative Justice. Muladi, KKR dan Keadilan Restoratif, Harian KOMPAS, 12 April, 2005. Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus 2013, Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema “Reswtorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012.
cxxxi
D.
Website
Apong Herlina, Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lihat www.google- ABH HARUS BAGAIMANA. Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa, http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html http//:152.118.58.226 – Powered by Mambo Open Source Generated: 7 Nopember, 2008, 18:00. http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/kegiatan/the-indonesianforum/498-the-indonesian-forum-seri-13-melindungi-anak-yangberhadapan-dengan-hukum-26-januari-2012-pk-1400-1600-wib.
bp hn
Institute for Criminal Justice Reform, “Panduan Praktis untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Institute for Criminal Justice Reform, http://icjr.or.id/panduan-praktis-untuk-anak-yang-berhadapan-denganhukum/ United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York: United Nations Publication, 2006) United Nations, United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice, United Nations, http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r033.htm United Nations, United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvinile Justice, http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r033.htm. Wikipedia, the free encyclopedia/http:/en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice.
cxxxii