Penggunaan Jerat dalam perburuan liar: Pengetahuan masyarakat di perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Alek Sander1, Elly L. Rustiati1, Andjar Rafiastanto2, Rudi Akbarta3 1
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Lampung; 2 World Wild Fund for Nature
Indonesia-Bukit Barisan Selatan, Tanggamus, 3Rhino Protection Unit (RPU) Kota Agung
Abstrak Penelitian tentang penggunaan jerat dalam perburuan liar dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, bekerja sama dengan WWF- Bukit Barisan Selatan dan Rhino Protection Unit (RPU) Kota Agung dengan metode contoh gugus sederhana dan pengamatan langsung. Sembilan jenis jerat dengan satwa sasaran burung dan mammalia besar, dikenal masyarakat di perbatasan taman nasional mencakup jerat koloh, lontar, pleret, sruntul, jepit, lubang, jaring, pulut, dan bronjong dan pengetahuan tertinggi di Pekon Way Nipah. Rendahnya pendapatan dan tingginya permintaan pasar menjadi alasan aktifitas pemasangan jerat yang tinggi. Aktifitas pemasangan jerat banyak dilakukan pada musim kemarau di areal perkebunan dan taman nasional. Lokasi pemasangan jerat berdasarkan frekuensi perjumpaan satwa dan satwa sasaran.
Abstract Research on the use of life trap in illegal huntingwas conducted in Bukit Barisan Selatan National Park in collaboration with WWF- Bukit Barisan Selatan and Rhino Protection Unit (RPU) Kota Agung by direct observation and simple sampling methods. Nine types of traps with birds and big mammals as targets was acknowledged by local people include koloh, lontar, pleret, sruntul, jepit, lubang, jaring, pulut, dan bronjong and the highest is in Way Nipah. Low income and high market demand is the reason of high trap set up. It is done highly in the dry season, at the planting area and national park. The location chosed based on the frequency of wildlife encounter and its target.
Kata kunci: jerat, perburuan liar, satwa, taman nasional, masyarakat setempat
PENDAHULUAN Populasi satwa liar mengalami penurunan yang sangat drastis dan ancaman kepunahannya cukup tinggi (Rustiati, 1997), hal ini disebabkan oleh besarnya kerusakan hutan dan perburuan liar (Alikodra, 1990). Tingginya nilai jual bagian tubuh satwa liar seperti daging, cula, kulit, rambut, tulang dan gading menyebabkan besarnya ancaman terhadap satwa liar dalam bentuk perburuan khususnya gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), badak Sumatra (Dicerorhinos sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus scrofa), tapir (Tapirus indicus), dan beruang madu (Helarctos malayanus).
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan salah satu taman nasional di Propinsi Lampung dengan keragaman fauna yang tinggi (Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, 1997) dan ancaman kehilangan satwa tertinggi disebabkan oleh perburuan liar dengan menggunakan jerat, terutama di daerah yang perbatasan dengan pemukiman. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan dan ragam jerat yang digunakan masyarakat dalam perburuan satwa dan mengetahui aktivitas pemasangan jerat dan frekuensi tangkapan jerat di Pekon Way Nipah, Tugu Papak dan Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Pekon (desa) Way Nipah, Tugu Papak, dan Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, World Wild Fund for Nature Indonesia-Bukit Barisan Selatan, Tanggamus, dan Rhino Protection Unit Kota Agung untuk pengamatan di Kecamatan Bengkunat. Penelitian ini mengunakan dua metode yaitu metode survei langsung dan metode contoh gugus sederhana. Metode survei atau pengamatan langsung untuk pengamatan jerat di lapangan, dengan mengikuti jalur transek sepanjang 2 km (Bookhout, 1994) di ketiga pekon.
Metode contoh gugus sederhana (Singarimbun dan Effendi, 1989) digunakan untuk mendapatkan informasi dari masyarakat tentang jerat dengan teknik wawancara langsung terhadap 300 anggota masyarakat setempat (Rabinowitz, 1997). Pertanyaan meliputi jenis jerat, organ sasaran, dan lokasi pemasangan jerat, bahan jerat, musim
pemasangan jerat, pengecekan jerat, dan hasil tangkapan jerat, jumlah jerat dalam sekali pasang, hasil tangkapan, dan ukuran jerat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Jerat Terdapat sembilan jenis jerat yang dikenal masyarakat; yaitu jerat koloh, lontar, pleret, sruntul, jepit, lubang, jaring, pulut, dan bronjong. Pengetahuan tertinggi tentang jenis jerat ditemukan Pekon Way Nipah (Tabel 1), hal ini sesuai dengan tingginya frekuensi perjumpaan dengan satwa liar di lapangan baik secara langsung maupun tidak langsung (Tabel 2). Tabel 1. Jenis jerat yang dikenal masyarakat di tiga pekon Pekon
Jumlah jerat (buah)
Way Nipah
8
Jenis jerat yang dikenal koloh, lontar, pleret, sruntul, jepit, pulut, jaring, lubang
Tugu Papak
5
koloh, lontar, pleret, sruntul, lubang
Sukaraja
4
koloh, lontar, jaring, bronjong
Tabel 2. Frekuensi perjumpaan dengan satwa liar Frekuensi perjumpaan (kali)
Pekon
Kijang* Babi* Rusa* Burung #
Siamang** Gajah*
Harimau*
Way Nipah
12
19
10
12
4
2
1
Tugu Papak
6
15
9
10
5
0
0
Sukaraja
8
13
7
9
8
1
0
*
Secara tidak langsung melalui jejak
**
tidak langsung melalui suara
#
Secara langsung
Jenis-jenis jerat yang dapat dikategorikan berdasarkan cara kerja yaitu: 1. Jerat lontar adalah jerat yang digunakan untuk menjerat burung, mammalia, dan ular. Organ sasaran: kepala dan leher. Cara kerja jerat lontar untuk: a. Organ sasaran leher: ketika satwa liar melewati pagar dan badan menyentuh penyanggah kait, kait terlepas dari penyanggah dan tiang pelontar melontarkan kait sehingga tali mengikat leher. b. Organ sasaran kaki: pada saat satwa menginjak “dudukan”, kait terlepas dari tempat kaitan sehingga tali mengikat kaki.
2. Jerat pulut adalah jerat yang terbuat dari getah pohon untuk menangkap burung. Getah ditempelkan pada sebuah ranting, kemudian ranting tersebut diletakkan dekat umpan, ketika burung memakan umpan, bulunya menempel pada jerat pulut. 3. Jerat bronjong adalah jerat yang terbuat dari seling yang digunakan untuk mammalia besar. Jerat diletakkan pada jalur satwa, kemudian pemburu menghalau satwa ke arah jerat tersebut. 4. Jerat lubang adalah jerat yang digali di tanah untuk menjebak mammalia besar. Ukuran jerat lubang. Organ sasaran kaki dan badan: a. Organ sasaran kaki dengan menanamkan potongan bambu atau kaleng di jalur satwa, pada saat satwa melewati jalur tersebut maka kaki satwa terjebak didalam potongan bambu atau kaleng. b. Organ sasaran badan dengan cara menggali lubang di tanah dengan ukuran ± 200 cm x 200 cm x 150 cm kemudian lubang ditutup kembali dengan serasah atau ranting, sehingga satwa yang melewati lubang tersebut terjebak. 5. Jerat sruntul adalah jerat yang salah satu ujung talinya diikatkan pada pemberat yang dapat bergerak atau diam. Organ sasaran adalah leher. Ketika satwa melewati koloh (lingkaran) maka tali ikut dengan satwa, pada jarak tertentu tali akan menjerat leher sehingga satwa tidak dapat bergerak lebih jauh. 6. Jerat koloh adalah jerat untuk burung, tidak memiliki pelontar, cara kerja jerat koloh adalah tali yang sudah dibentuk koloh diikatkan pada kayu, ketika leher satwa melewati koloh maka leher satwa akan terikat. 7. Jerat pleret adalah jerat untuk mammalia besar, pemasangannya dilakukan pada area yang miring, dilapisi dengan belahan bambu, kulit kayu atau papan. Ketika satwa melewati tempat yang miring, maka satwa tersebut terjatuh ke dalam pagar atau lubang. 8. Jerat jepit, terbuat dari kayu atau bambu, untuk menjerat monyet dan tupai. 9. Jerat jaring, terbuat dari tali nilon untuk menangkap burung, jaring dipasang dekat umpan, ketika burung melewati jaring, tubuhnya tergulung ke dalam jaring.
Pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat dua jenis jerat yang digunakan dalam perburuan liar yaitu jerat pulut dan jaring, kedua jenis jerat ini ditemukan pada pekon Way Nipah, di dalam kawasan taman nasional, digunakan untuk menangkap satwa
burung. Alasan penggunaan kedua jenis jerat tersebut karena bahan dasar jerat mudah diperoleh dan populasi burung cukup tinggi. Tidak ditemukannya jerat di jalur lain dimungkinkanadanya aktivitas masyarakat, terlihat dari tanda seperti jejak manusia, sampah plastik, dan bekas tebangan. Selain itu tingginya aktivitas masyarakat di jalur ini memungkinkan hasil tangkapan dapat dimanfaatkan orang lain.
Menurut Primack, et al. (1998), rendahnya tingkat pendapatan masyarakat akan menyebabkan masyarakat melakukan perburuan, dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan ketergantungan terhadap alam atau kawasan cukup tinggi (Soemarwoto, dkk, 1992). Hal ini terjadi pada Pekon Way Nipah, rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan aktifitas perburuan liar dengan menggunakan berbagai jenis jerat, sebagai aktifitas tambahan, cukup tinggi.
Satwa Sasaran Masing-masing jerat mempunyai satwa sasaran tertentu seperti rusa, kijang, burung dan babi(Tabel 3). Jerat lontar mempunyai tingkat keragaman bentuk yang tinggi dibandingkan jenis jerat yang lain. Hal ini karena bahan yang digunakan mudah diperoleh, tempat pemasangan jerat tidak harus pada tempat khusus dan satwa sasaran seperti kijang, rusa dan babi cukup tinggi keberadaannya. Sebaliknya rendahnya tingkat keragaman bentuk jerat bronjong disebabkan karena mahalnya bahan baku dan perburuan tidak dapat dilakukan sendiri.
Aktivitas Pemasangan Jerat Aktivitas pemasangan jerat banyak dilakukan pada musim kemarau (n = 210) di areal perkebunan (n = 180) (Tabel 4). Pengecekan jerat dilakukan 1-3 minggu setelah pemasangan, diharapkan 1-3 minggu setelah pemasangan lokasi pemasangan, jerat telah didatangi kembali oleh satwa sasaran. Hal ini karena pucuk daun telah tumbuh, disamping itu rusa dan kijang selalu menggunakan teritorinya secara permanen (MacDonald, 1986).
Banyaknya jumlah jerat dalam sekali pasang ditentukan oleh frekuensi satwa yang sering dijumpai. Semakin tinggi perjumpaan, pemasangan jerat semakin meningkat. Pemilihan lokasi pemasangan jerat sesuai dengan hewan sasaran, dan jarak antara satu jerat dengan jerat yang lain dapat mencapai ± 0,4 km, seperti ditemukan di
Kecamatan Bengkunat. Di samping itu pemasangan jerat disesuaikan dengan keberadaan sumber air.
Tabel 3. Satwa sasaran oleh masing-masing jenis jerat
No. Jenis jerat
Satwa sasaran
Jumlah bentuk (buah)
1.
Lontar
Kijang, Rusa, Babi, Burung, dan Ular.
5
2
Pleret
Kijang, Rusa, dan Babi.
2
3.
Sruntul
Kijang, Rusa, dan Babi.
3
4.
Jepit
Tupai dan Monyet
2
5.
Lubang
Kijang, Rusa, dan Babi
2
6.
Koloh
Burung dan Ayam
2
7.
Jaring
Burung
1
8.
Pulut
Burung
1
9.
Bronjong
Kijang, Rusa, dan Babi
1
Total
19
Tabel 4. Aktivitas pemasangan dan frekuensi tangkapan jerat No. Parameter
Keterangan
1
Frekuensi pengecekan jerat
1-3 minggu
2
Jumlah jerat/pemasangan
1-6 buah
3
Musim pemasangan jerat
Kemarau
4
Lokasi pemasangan jerat
perkebunan, taman nasional
5
Jumlah mammalia yang tertangkap
1-3 ekor
6
Jumlah burung yang tertangkap
6 ekor
Tingkat pemasangan jerat tertinggi pada Pekon Way Nipah (N = 290, n Way Nipah = 142). Pada ketiga pekon menunjukkan bahwa pemasangan jerat baik di kebun maupun di kawasan taman nasional cukup tinggi (n taman nasional = 120, n perkebunan = 170). Pemasangan jerat di kebun (60 %) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemasangan di kawasan taman nasional (40 %), dengan alasan untuk mencegah agar
babi tidak masuk ke kebun. Semakin banyaknya aktivitas perburuan dalam kawasan akan mempersempit daerah jelajah satwa, dan akan menyebabkan satwa terpusat pada satu area. Terpusatnya satwa liar dalam satu area menyebabkan laju kepunahan meningkat karena persaingan untuk memdapatkan tempat hidup dan pakan cukup tinggi (Sitorus, 2003).
Hasil tangkapan jerat yang diperdagangkan baik burung dan mammalia besar cukup tinggi (36,7%), hal ini merupakan indikasi adanya perdagangan satwa dan permintaan satwa di masyarakat. Banyaknya hasil tangkapan untuk satwa burung didukung oleh tingginya perjumpaan dengan satwa tersebut, mudahnya pembuatan jerat dan tingginya permintaan pasar. Menurut Nugroho (2003) tingginya permintaan pasar terhadap satwa burung karena nilai jual satwa ini berdasarkan nilai eksotis, kelangkaan dan tingkat kesulitan penangkapan.
KESIMPULAN 1. Terdapat sembilan jenis jerat yang dikenal oleh masyarakat yaitu lontar, koloh, sruntul, bronjong, pulut, jaring, lubang, jepit dan pleret 2. Pemasangan jerat dalam aktifitas perburuan banyak dilakukan pada musim kemarau dalam kawasan taman nasional dan perkebunan 3. Hasil tangkapan jerat tertinggi pada satwa burung dan mammalian besar, dengan 1-3 ekor untuk mammalia besar dan 6 ekor untuk burung dalam sekali pasang.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Studi Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Bookhout, A.T. 1994. Research and Management Technique for Wildlife and Habitats. Fifth edition. The Wildlife Society. Bethesda. U.S.A. Kepala Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 1997.
Laporan kegiatan
inventarisasi populasi mammalia besar di kawasan register 49 (TampangBelimbing) TNBBS. Kota Agung. Departemen Kehutanan. MacDonald, D. 1986. The Encyclopedia of Mammals: 2. Grolier International Inc. U.K.
Nugroho, D. 2003. Perdagangan Satwa Liar di Indonesia. Makalah Pada Diskusi Terbuka Dalam Rangka Pekan Konservasi Sumber Daya Alam Ke 7. Wildlife Conservation Society-Indonesian Programe. Tanjung Karang. Primack, B.R., Supriatna, J.,Indrawan, M., Kramadibrata, P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rabinowitz, A. 1997. Wildlife Field Research and Conservation Training Manual. Paul-arts Press. New York City. Rustiati, E.L. 1997. Upaya pemahaman dan pelaksanaan konservasi sumber daya alam melalui konservasi tradisional. Prosiding Pekan Konservasi Sumber Daya Alam II. Himbio. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Singarimbun, M, dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3Es. Jakarta. Sitorus, T. 2003. Strategi Konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Makalah Diskusi Terbuka Dalam Rangka Pekan Konservasi Sumber Daya Alam Ke 7. Kota Agung. Tidak dipublikasikan. Soemarwoto, O., Soerjani, M., Yatim, W., Sagala, APS., Skepti. Pramono. 1992. Melestarikan Hutan Tropika, Permasalahan, Manfaat, dan Kebijakannya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. van Strien, J. N. 1981. A Guide The Tracks of Mammals of Western Indonesia. School of Environmental Conservation Management. Ciawi.