Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2010 Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
PENGENDALIAN PENYAKIT BUDOK PADA TANAMAN NILAM DENGAN MENGGUNAKAN AGENSIA HAYATI Sukamto, Dono Wahyuno, Zulhisnain ABSTRAK Tanaman nilam merupakan tanaman tropik yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dan lebih dari 80% dari produksi minyak dunia di pasok dari Indonesia. Masalah utama dalam budidaya nilam di Indonesia adalah belum ada varietas tahan terhadap penyakit, adanya serangan hama dan penyakit, dan terjadi alelopati. Beberapa penyakit telah dilaporkan dan menjadi masalah di Indonesia antara lain penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum), nematoda dan penyakit budok. Sampai saat ini varietas tahan terhadap penyakit khususnya budok belum ditemukan. Masalah penyakit, terjadinya alelopati dan belum tersedianya varietas yang tahan penyakit akan berpengaruh terhadap produksi nilam baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk meningkatkan dan pengembangan agribisnis nilam diperlukan beberapa program khususnya yang dapat meningkatkan produktivitas dengan varietas yang berproduksi tinggi dan tahan penyakit, teknologi pengendalian OPT, dan teknik mereduksi pengaruh negatif dari alelopati. Untuk meningkatkan produksi sampai potensi tanaman nilam 300-400 kg/hadiperlukan beberapa kegiatan diantaranya pengendalian penyakit budok >70% pada tanaman nilam dengan agensia hayati. Pembuatan formula agensia hayati dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman. Agensia hayati Micrococcus sp. dan Bacillus sp. dapat diformulasikan dalam bentuk granuler yaitu dengan bahan pembawa zoelite dan kapur. Populasi agensia hayati (Micrococcus sp. dan Bacillus sp.) pada semua formulasi masih tinggi yaitu 1 x 107 koloni per gram formulasi sampai pada 4 minggu setelah inkubasi. Penelitian teknik pengendalian penyakit budok dengan menggunakan beberapa komponen dilakukan dilapang yaitu di desa Sumurwiru, Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Kuningan yang merupakan daerah endemik penyakit budok. Perlakuan terdiri dari 1) Agensia hayati Micrococcus sp. 2). Agensia hayati Pseudomonas sp., 3). Agensia hayati Trichoderma sp. 4). Micrococcus sp. + Trichoderma sp., 5). Pseudomonas sp. + Trichoderma sp., 6). Terusi + Kapur Tohor, 7). Minyak cengkeh dan seraiwangi, dan 8) Fungisida (bahan aktif benomil). 9) Kontrol. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fungisida (bahan aktif benomil), persentase penekanan 57,33 %. Agensia hayati Micrococcus sp (AKT-7) dapat menekan penyakit budok lebih baik dibandingkan agensia hayati lainnya dengan persentase penekanan 47,00%.. Pengendalian penyakit budok dengan agensia hayati pada daerah endemik berat dan hujan yang terus menerus sepanjang tahun tidak dapat menekan serangan budok >70%, sehingga SOP pengendalian pada lahan berat harus lebih intensif. Kata kunci : penyakit budok, nilam, agensia hayati ABSTRACT Patchouli is a tropical crop plants are widely cultivated in Indonesia, and more than 80% of world oil production in supply from Indonesia. The main problem in patchouli cultivation in Indonesia are no varieties resistant to disease, the presence of pests and diseases, and Occurs alelopati. Several diseases have been reported and a problem in Indonesia, such as, bacterial wilt disease (Ralstonia solanacearum), nematodes and budok diseases. To date varieties resistant to diseases especially budok not been found. Disease problems, the unavailability of alelopati and disease resistant varieties That will affect the production of patchouli both in quantity and quality. To Enhance the development of agribusiness and patchouli take some courses in particular That can
381
Sukamto, dkk.
Improve productivity with a variety of high production and disease resistance, pest control technologies, and techniques to Reduced the negative influence of alelopati. To increase of the potential for crop production until patchouli 300-400 kg / hadiperlukan Several activities including disease control budok> 70% in patchouli plants with biological agents Making formula biological agents conducted at the Laboratory of Plant Diseases. Biological agents Micrococcus sp. and Bacillus sp. can be formulated in granular form that is with the carrier materials zoelite and lime. Population biological agents (Micrococcus sp. And Bacillus sp.) On all formulations are still high at 1 x 107 colonies per gram of the formulation until at 4 weeks after incubation. Research budok disease control techniques by using some components made in the village Sumurwiru dilapang namely, District Cibeureum, Kuningan District, which is endemic areas budok disease. The treatment consisted of 1) biological agents Micrococcus sp. 2). Biological agents Pseudomonas sp., 3). Biological agents Trichoderma sp. 4). Micrococcus sp. + Trichoderma sp., 5). Pseudomonas sp. + Trichoderma sp., 6). Terusi + calcium oxide, 7). Clove oil and seraiwangi, and 8) Fungicide (active ingredient benomil). 9) Control. The study was conducted by randomized block design. The results showed that the use of fungicides (active ingredients benomil), percentage of 57.33% suppression. Micrococcus sp biological agents (AKT-7) can suppress the disease budok better than other biological agents with an emphasis percentage 47.00% . Budok disease control with biological agents in an endemic area heavy and continuous rain throughout the year can not press the attack budok> 70%, so that the SOP control on heavy land should be more intensive. Keyword : budok disease, patchouli, biological agents. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting peranannya dalam menghasilkan devisa.Minyak nilam atau patchouli oil banyak digunakan dalam industri parfum atau industri lainnya. Indonesia merupakan penghasil utama minyak nilam yang diperkirakan menghasilkan 550 ton per tahun atau lebih dari 80% untuk kebutuhan dunia (Robbins, 1983; Tao, 1983). Serangan penyakit juga menjadi masalah dalam budidaya tanaman nilam seperti penyakit layu bakteri, nematoda, budok oleh jamur Synchytrium sp. Dan penyakit yang disebabkan oleh virus. Penyakit budok banyak ditemukan di beberapa daerah pengembangan tanaman nilam. Pada awalnya penyakit budok diduga disebabkan oleh virus atau MLO (Mikoplasma like organism) (Sitepu dan Asman 1992). Tanaman nilam yang terserang bakteri menunjukkan gejala khas layu. Tanaman yang layu berlangsung dari cabang ke cabang, tanpa suatu urutan yang teratur, dan pada akhirnya semua cabang dan seluruh bagian tanaman layu dan mati total. Pada tanaman muda (berumur 1-3 bulan) kematian tanaman hanya dalam waktu satu minggu sejak terlihat gejala awal. Sedangkan pada tanaman berumur 4-5 bulan kematian tanaman akan terjadi setelah dua minggu. Bila tanaman yang terserang dipotong secara melintang akan terlihat warna coklat sampai kehitaman. Penyakit budok merupakan penyakit yang perlu diwaspadai dan banyak ditemukan pada pertanaman nilam di luar Jawa (DI. Aceh dan Sumatera Barat). Penyakit ini pada awalnya belum pernah temukan/dilaporkan di Jawa dan propinsi lainnya di luar Sumatera (Asman et al., 1998). Pengendalian dapat dilakukan dengan sanitasi mencabut dan membakar tanaman yang terinfeksi, penggunaan insektisida untuk mengurangi vektor dan penggunanaan benih yang sehat (Asman et al., 1998). Penyakit budok saat ini banyak ditemukan di beberapa sentra pertanaman nilam di Jawa, di Sumatera dan di Kalimantan, dan menjadi masalah utama. Gejala di lapang nampak daun menjadi ungu kemerahan dan disertai adaanya bengkak-bengkak (scabies). Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa penyakit tersebut di duga
382
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
disebabkan oleh jamur Synchytrium sp. Bila jamur ini hanya menyerang pada daun saja, dan gejala awal biasanya daun tetap berwarna hijau (Sukamto dan Wahyuno, 2007). Penyakit ini juga telah berkembang dan di temukan pada pertanaman nilam di India (Anonim, 2007). Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan PNCB (penta chloronitre benzene) atau Brassicol masing-masing 5 kg/ha atau 1% bubur Bordeaux yang disemprotkan 10-15 hari setelah tanam atau pemangkasan. Selain itu juga fungisida Ridomil dapat digunakan untuk pengendalian jamur Synchytrium sp. Pengendalian penyakit dapat pula dengan dilakukan secara biologi. Pengendalian secara biologi dengan menggunakan mikroba rhizobakteri telah banyak dilakukan terhadap bakteri dan jamur patogen penyebab penyakit . Salah satu spesies aktinomycetes yaitu Streptomyces sp. telah banyak digunakan karena mempunyai antibiotik dengan spektrum yang luas. Selain itu penggunaan Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. telah dilakukan terhadap beberapa patogen seperti Rhizoctonia sp., Botrytis cinerea, Fusarium sp., Phytophthora sp., (Szczech and Shoda, 2004). Selain sebagai antagonis, aktinomycetes, Bacillus sp. dan Pseudomanas sp. dapat berperan sebagai plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) yang dapat menginduksi patogen. PGPR telah dilaporkan dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus seperti CMV (Ryu et al., 2004; Tomato mottle virus (Murphy et al., 2000), Tobacco necrotic virus (Maurhofer et al., 1994). Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman ( Van Loon et al., 1997). Hasil penelitian penggunaan rhizobakteri Micrococcus sp dan Pseudomonas sp. dapat menekan penyakit budok, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida dan pestisida nabati. Efektifitas agensia hayati banyak dipengaruhi oleh kemampuan bersaing dengan mikroba lainnya, keadaan sumber nutrisi, teknik penyimpanan, konsentrasi agensia hayati dan ketepatan waktu serta metode aplikasi (Guijarro et al., 2007). Sehingga teknik formulasi agensia hayati merupakan masalah yang sangat penting untuk dapat diaplikasikan dilapang. Formulasi agensia hayati dapat berupa cair, tepung maupun padat/granul (Lewis et al., 1995; Jackson et al., 1996). Beberapa bahan seringkali ditambahkan dalam suatu formula agensia hayati untuk berbagai tujuan, baik itu sebagai perekat, pencampur, pelindung terhadap sinar matahari, maupun sebagai sumber nutrisi (Burges dan Jones, 1998). Pertumbuhan tanaman maupun mikroba tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur hara. Unsur-unsur yang termasuk menguntungkan bagi tanaman adalah natrium (Na), cobalt (Co), Chlor (Cl), dan silikon (Si). Silikon merupakan unsur kedua terbanyak setelah oksigen dalam tanah dan umumnya mengandung 5-40% (Kovda, 1973). Si mempunyai peranan terhadap tanaman seperti efisiensi fotosintesis, dan ketahanan terhadap penyakit. Penggunakan silikon dapat meningkatkan tanaman terhadap serangan penyakit (Sugimoto et al., 2005; Hammerschmidt, 2005). Pemberiaan Si dapat meningkatkan ketahanan tanaman tebu terhadap karat daun tebu (sugarcane rust) (Matichenkov dan Calvert, 2002), padi terhadap penyakit blast (Pyricularia grisea) (Voleti et al., 2008), dan gandum pada penyakit embun tepung (Blumeria graminis f.sp. triciti bgt.) (Remus-borel et al., 2005). Mekanisme ketahanan pada pemberiaan Si diduga bahwa unsur Si pada tanaman dapat menghalangi serangan penyakit pada jaringan epidermis( Datnoff et al., 1997). Si dihipotesakan bergabung dengan selulosa di daun membentuk membran Si-selulosa, yang dapat melindungi daun dari serangan penyakit (Bollich dan Matichenkov, 2002). Beberapa unsur hara tanaman lain seperti CaCl2, dan Ca(NO3)2 juga dilaporkan dapat menekan perkembangan patogen penyakit tanaman, namun dapat menjaga stabilitas agensia hayati. Penggunaan silikon dapat dikombinasikan dengan agensia hayati Trichoderma harzianum dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Phytium spp. (Rachiyom dan Jaenakson, 2008). Selain itu juga Si dapat berperan terhadap ketersediaan P. Penggunaan unsur-unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman dan bakteri antagonis diharapkan dapat diformulasikan dalam satu produk sehingga akan berguna untuk pengendalian sekaligus untuk pertumbuhan tanaman.
383
Sukamto, dkk.
Budidaya dengan ladang berpindah-pindah dan kerugian akibat penyakit merupakan masalah utama dalam pengembangan tanaman nilam. Untuk hal tersebut maka perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan dalam budidaya diantaranya pengendalian terpadu penyakit tanaman nilam. Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan dengan beberapa komponen antara lain penggunaan agensia hayati, pestisida nabati dan fungisida. Salah satu penyakit yang menjadi masalah dalam budidaya nilam adalah penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium sp. yang saat ini telah banyak ditemukan diberbagi sentra pertanaman nilam. Jamur ini banyak menyerang tanaman pada saat mulai turun hujan, sedangkan saat musim kering penyakit ini tidak berkembang. Untuk hal tersebut pengendaliaan penyakit perlu memperhatikan efidemiologi pathogen penyebab penyakit. Hasil penelitian 2009, penggunaan agensia hayati dapat menekan serangan penyakit budok, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuaan pestisida nabati (bahan aktif minyak cengkeh dan seraiwangi) dan fungisida (bahan aktif benomil). Untuk hal tersebut maka diperlukan teknik formulasi agensia hayati yang diperkaya nutrisi bagi tanaman yang baik untuk meningkatkan efektivitasnya dan ketahanan terhadap patogen penyebab penyakit tanaman. METODOLOGI Produk Formula Agensia Hayati Untuk Pengendalian Penyakit Budok Pengujian di laboratorium : Formulasi agensia hayati akan diproduksi dalam bentuk granul/butiran yang diperkaya dengan nutrisi yaitu silicon dan kalsium. Untuk hal tersebut telah dilakukan pengujian pendahuluan sinergisme antara agensia hayati dan sumber nutrisi yang akan digunakan. Nutrisi pengkaya yang akan digunakan dari silicon adalah sodium silicate dan potassium silicate, Untuk pengujian dilaboratorium kalsium yang digunakan adalah CaCl2 dan atau Ca(NO3)2. Pengujian pendahuluan yang dilakukan dilaboratorium masing-masing dengan konsentrasi 0, 250, 500, 750 dan 1000 ppm terhadap agensia hayati (bakteri dan jamur antagonis), dan patogen uji (Fusarium oxysporum atau Rhizoctonia solani). Agensia hayati maupun patogen penyebab penyakit yang akan diuji ditumbuhkan pada media agar kentang dektrosa yang mengandung jenis nutrisi pengkaya sesuai dengan konsentrasi yang diuji. Pengamatan dilakukan terhadap persentase penghambatan dari pertumbuhan agensia hayati dan patogen penyebab penyakit. Hasil pengujian yang terbaik akan digunakan sebagai dasar pembuatan formula granuler agensia hayati. Pembuatan Formula Granul Agensia Hayati: Formula granul agensia hayati dibuat dengan formula dasar kompos/pupuk kandang 60%, arang sekam 20%, kapur 10% dan zeolit 10%. Namun formula ini sulit menghasilkan butiran-butiran kecil seperti yang diharapkan sehingga dicoba formula lain dengan mengurangi sekam. Produk granul dapat dibuat dengan formula pupuk kandang, zeolite, kapur dan sekam dengan perbandingan 65; 15; 10; 5, dan 70; 15; 10; 0. Formula akan ditambahkan nutrisi pengkaya kalsium dan silicon hasil terbaik (kompatibel dengan agensia hayati) pada pengujian pendahuluan. Hal yang sama dilakukan juga dalam pemilihan agensia hayati yang terbaik untuk digunakan dari hasil uji laboratorium. Nutrisi pengkaya diberikan dengan dicampurkan langsung dengan bahan dasar pupuk kandang, arang sekam, kapur dan zeolit. Sedangkan mikroba diberikan dengan cara dicampurkan terlebih dahulu dengan perekat yaitu 5% molase, kemudian ditambahkan kedalam bahan dasar yang telah diperkaya. Penambahan perekat bersama agensia hayati dilakukan pada saat pembentukan granule. Pengamatan formula butiran/granule. Formula agensia hayati yang diperkaya dengan beberapa sumber nutrisi akan dihasilkan beberapa formula yaitu : 1. F1 = Micrococcus sp + Silicon 2. F2 = Micrococcus sp + Kalsium
384
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
F3 = F4 = F5 = F6 = F7 = F8 = F9 =
Micrococcus sp + Kalsium dan silicon Bacilluc sp + Silicon Bacillus sp + kalsium Bacillus sp + kalsium dan silicon Micrococcus sp + Bacillus sp + silicon Micrococcus sp + Bacillus sp + kalsium Micrococcus sp + Bacillus sp + kalsium dan silicon
Kestabilan agensia hayati pada formula diamati pada masa inkubasi formula 2, dan 4 minggu pada formula F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8 dan F9. Pengujian Lapang Beberapa Komponen Pengendalian Penyakit Budok Pada Tanaman Nilam Tempat dan Bahan Tanaman Penelitian dilakukan di lapang yaitu di salah satu sentra tanaman nilam, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang menunjukkan endemik penyakit budok. Pada kegiatan penelitian ini digunakan plot berupa bedengan berukuran 2 m x 8 m dengan populasi 50 tanaman/plot dan jarak tanam 70 cm x 50 cm. Lubang tanam ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm dipersiapkan 2 minggu sebelum tanam. Pupuk dasar menggunakan pupuk kandang dengan dosis 20 ton per ha. Bahan tanaman nilam sidikalang. Tanaman diperbanyak di pembibitan di Kuningan. Rancangan Percobaan. Percobaan dilakukan di lapang dengan perlakuan fungisida kimiawi, pestisida nabati dan agensia hayati. Setelah 1-2 bulan tanaman yang disipakan di rumah kaca ditanam di lapang. Agensia hayati disiapkan dengan formulasi cair yang terdiri dari bahan pembawa molase 0.5 %, sedangkan agensia hayati yang digunakan adalah Micrococcus sp. (AKT-7), Pseudomonas sp. (PS-4), dan Trichoderma sp. Fungisida yang digunakan berbahan aktif benomil. Untuk pestisida nabati digunakan berbahan aktif minyak cengkeh dan kayu manis (CEES 20 EC). Aplikasi fungisidi dilakukan pada bagian permukaan tanaman dan tanah, khususnya di dekat pangkal batang nilam. Percobaan disusun dengan rancangan Acak lengkap. Percobaan menggunakan petakan berukuran 2 x 8 m, dan jarak tanam 70 x 50 cm. Setiap petak ditanam dengan 30 tanaman. Tabel 1. Perlakuan fungisida dan agensia hayati di lapangan No.
Perlakuan
Keterangan
P1
Agensia hayati Micrococcus sp
Diperlakukan saat sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar/kandang, dan 1 minggu setelah tanam. Untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P2
Agensia hayati Pseudomonas sp.
Diperlakukan saat sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar/kandang, dan 1 minggu setelah tanam. Untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P3
Agensia hayati Trichoderma sp
Diperlakukan saat sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar/kandang, dan 1 minggu setelah tanam. Untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
385
Sukamto, dkk.
P4
Micrococcus sp. + Trichoderma sp.
Diperlakukan saat sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar/kandang, dan 1 minggu setelah tanam. Untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P5
Pseudomonas sp. + Trichoderma sp
Diperlakukan saat sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar/kandang, dan 1 minggu setelah tanam. Untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P6
Terusi + Kapur Tohor
Diperlakukan saat tanam, 1 minggu setelah tanam, untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P7
Pestisida nabati minyak cengkeh dan seraiwangi (CEES)
Diperlakukan saat tanam, 1 minggu setelah tanam, untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P8
Fungisida
Diperlakukan saat tanam, 1 minggu setelah tanam, untuk selanjutnya setiap 2 minggu sekali
P0
Control
Tanpa perlakuan
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang menunjukkan gejala penyakit budok pada setiap katagori : 1 2 3
= ringan (gejala awal) = sedang (gejala pada daun atau batang, belum menggulung/keriting) = berat ( gejala pada daun dan batang, sporarium sudah keluar, gejala sudah daun/pucuk sudah keriting)
Intensitas serangan penyakit ditentukan dengan rumus : ∑ (n x v) I = -------------------- x 100 % ZxN Keterangan : I = Intensitas serangan n = Jumlah tanaman dalam setiap katagori serangan v = Nilai skala tiap katagori serangan Z = Nilai skala dari katagori serangan tertinggi N = Banyaknya tanaman yang diamati
HASIL DAN PEMBAHASAN Produk Formula Agensia Hayati Untuk Pengendalian Penyakit Budok Beberapa agensia hayati telah di laporkan dapat menekan serangan penyakit tanaman. Efektifitas agensia hayati banyak dipengaruhi oleh kemampuan bersaing dengan mikroba lainnya, keadaan sumber nutrisi, teknik penyimpanan, konsentrasi agensia hayati dan ketepatan waktu serta metode aplikasi (Guijarro et al., 2007). Sehingga teknik formulasi agensia hayati merupakan masalah yang sangat penting untuk dapat diaplikasikan dilapang. Kesesuaian atau kompatibilitas mikroba agensia hayati telah dilakukan dengan cara mencampur agensia hayati, lalu diuji daya antagonisnya terhadap patogen penyebab penyakit. Micrococcus sp (AKT-7) memiliki daya antagonis yang tinggi
386
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
terhadap beberapa patogen penyebab penyakit seperti Fusarium oxysporum sp., Rhizoctonia solani, Phytophthora capsici dan Pestalotiopsis sp. Isolat AKT-7 juga dilaporkan dapat menekan serangan nematoda pada tanaman jahe. Pengujian kompatibilitas isolat AKT-7 dengan isolat antagonis lainnya (PS-4, PS-9, dan J-2) menunjukkan bahwa aktivitas antagonis (daya hambat) AKT-7 terhadap patogen uji tidak menurun (Tabel 2). Hal yang sama juga ketika AKT-7 di uji bersama dengan bakteri penambat nitrogen azospirilin (Azos-6). Hal ini menunjukkan bahwa AKT-7 berpotensi untuk dapat diformulasikan dalam satu formula dengan mikroba lainya. Tabel 2. Pengujian kompatibilitas AKT-7 (Micrococcus sp) dengan beberapa isolat antagonis dan penambat N terhadap patogen uji (Rhizoctonia solani). Diameter Penghambatan Keterangan (mm) 1 AKT-7 (Micrococcus sp) 8a 2 PS-4 (Pseudomonas sp.) 7a 3 PS-9 (Pseudomonas sp.) 7a 4 J2 (Bacillus sp.) 5 AKT-7 + PS-4 8a + 6 AKT-7 + PS-9 8a + 7 AKT-7 + J2 8a + 8 AKT-7 + PS-4 +PS-9 8a + 9 AKT-7 + PS-4 + PS-9 + J2 8a 10 AKT-7 + Azos-6 8a + Ketarangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada level 5% No
Isolat
Beberapa unsur hara juga dapat digunakan dalam upaya pengendaliaan penyakit baik untuk pengaruh langsung pada penyakit maupun tidak langsung pada ketahanan tanaman terhadap penyakit. Beberapa bahan seringkali ditambahkan dalam suatu formula agensia hayati untuk berbagai tujuan, baik itu sebagai perekat, pencampur, pelindung terhadap sinar matahari, maupun sebagai sumber nutrisi (Burges dan Jones, 1998). Untuk meningkatkan efektifitas agensia hayati telah dilakukan kegiatan kompatibilitas agensia hayati dalam formula dengan menambahkan beberapa unsur hara (silicon dan kalsium). Pengujian kalsium terhadap patogen penyebab penyakit menunjukkan bahwa kalsium (CaCl2) pada beberapa konsentrasi dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan R. solani, F. oxysporum dan bakteri antagonis (AKT-7) (Tabel ). Calsium silicate dan sodium silicate pada beberapa konsentrasi (250, 500, 750 dan 1000 ppm) tidak mempengaruhi terhadap pertumbuhan R. solani dan bakteri antagonis (AKT-7). Namun, silikon dari calsium silicate dan sodium silicate merangsang pertumbuhan F. oxysporum pada konsentrasi 250 – 1000 ppm dibandingkan dengan kontrol.
387
Sukamto, dkk.
Gambar 1. Kompatibilitas agensia hayati AKT-7 dengan PS-4 (A) dan bakteri penambat N (Azos-6). Tabel 3. Pengaruh kalsium dan silicon terhadap patogen penyebab penyakit dan agensia hayati (AKT-7; Micrococcus sp.) Unsur hara CaCl2
CaSiO3 (Calcium silicate)
Na2O (SiO2)x.xH20 (Sodium cilicate)
Konsentrasi
Rhizoctonia solani (2 hr)
0 250 500 750 1000 0
73,00 a 67,50 a 70,00 a 65,50 a 72,50 a 69,67 a
250 500 750 100 0
67,33 a 70,33 a 70.67 a 71,33 a 69,67 a
Bakteri Fusarium oxysporum sp (6 antagonis (AKT-7) hr) 70,00 a +++ 71,33 a +++ 70,00 a +++ 72,00 a +++ 73,33 a +++ 68,67 b +++ 74,00 a 77,33 a 79,33 a 76,00 a 68,67 b
+++ +++ +++ +++ +++
250 64,67 a 74,00 a +++ 500 70,00 a 77,00 a +++ 750 69,33 a 78,00 a +++ 1000 70,33 a 78,33 a +++ Ketarangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada level 5%
Pembuatan Formula Butiranl Agensia Hayati: Formula granul agensia hayati dibuat dengan formula dasar kompos/pupuk kandang 60%, arang sekam 20%, kapur 10% dan zeolit 10%. Namun formula ini sulit menghasilkan butiran-butiran kecil seperti yang diharapkan sehingga dicoba formula lain dengan mengurangi sekam. Produk granul dapat dibuat dengan formula pupuk kandang, zeolite, kapur dan sekam dengan perbandingan 65; 15; 10; 5, dan 70; 15; 10; 0 (Gambar )
388
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
Gambar 2. Formula granul/butiran dengan pupuk kandang, zeolite, kapur dan sekam 65; 15; 10; 5 (kiri) dan dan 70; 15; 10; 0 (kanan) Formula butiran akan ditambahkan nutrisi pengkaya kalsium dan silicon hasil terbaik (kompatibel dengan agensia hayati) pada pengujian pendahuluan. Hal yang sama dilakukan juga dalam pemilihan agensia hayati yang terbaik untuk digunakan dari hasil uji laboratorium. Nutrisi pengkaya diberikan dengan dicampurkan langsung dengan bahan dasar pupuk kandang, arang sekam, kapur dan zeolit. Sedangkan mikroba diberikan dengan cara dicampurkan terlebih dahulu dengan perekat yaitu 5% molase, kemudian ditambahkan kedalam bahan dasar yang telah diperkaya. Penambahan perekat bersama agensia hayati dilakukan pada saat pembentukan butiran. Pengamatan bakteri pada 2 dan 4 minggu setelah inkubasi menunjukkan bahwa populasi bakteri masih cukup tinggi pada rata-rata 107 cfu/ g tanah (Tabel 4). Tabel 4. Populasi bakteri pada formula butiran setelah 2 dan 4 minggu penyimpanan 2 minggu setelah inkubasi Micrococcus sp + Silicon 1,17 x 10 7 a Micrococcus sp + Kalsium 1,01 x 10 7 a Micrococcus sp + Kalsium dan silicon 1,16 x 107 a Bacilluc sp + Silicon 1,20 x 107 a Bacillus sp + kalsium 1,32 x 107 a Bacillus sp + kalsium dan silicon 1,04 x 107 a Micrococcus sp + Bacillus sp + silicon 1,06 x 107 a Micrococcus sp + Bacillus sp + kalsium 1,80 x 107 a Micrococcus sp + Bacillus sp + kalsium 1,90 x 107 a dan silicon Formula granul
F1. F2. F3. F4. F5. F6. F7. F8. F9.
4 minggu setelah inkubasi 1,04 x 107 a 1,00 x 107 a 1,02 x 107 a 1,00 x 107 a 1,10 x 107 a 1,00 x 107 a 1,01 x 107 a 1,20 x 107 a 1,25 x 107 a
Ketarangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada level 5%
Pengujian Lapang Beberapa Komponen Pengendalian Penyakit Budok Pada Tanaman Nilam Penelitian pengendalian penyakit budok dilapang dilakukan di desa Sumurwiru, kecamatan Cibeureum, kabupaten Kuningan. Sumurwiru merupakan salah satu desa pengembangan tanaman nilam, dan serangan penyakit budok di desa ini sangat tinggi 50100%. Hasil analisis tanah yang digunakan untuk penelitian terdapat pada Tabel 1. Tanah di desa Sumurwiru, kecamatan Cibeureum, kabupaten Kuningan cukup subur dengan kapasitas tukar kation (KTK) sekitar 32,30 me/100 g, dan kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan dengan debu dan liat (3,91 : 24,21 : 71,88). Tabel 5. Analisis sifat tanah asal desa Sumurwiru, kecamatan Cibeureum, kabupaten Kuningan. Sifat Tanah pH
H2O KCl C-organik (%) N-total (%) C/N ratio P2O3 tersedia
6,91 6,43 1,78 0,18 9,89 2,80
389
Sukamto, dkk.
Ca-dd (me/100 g) Mg-dd (me/100 g) K-dd (me/100 g) Na-dd (me100 g) KTK (me/100 g) KB (%) Tekstur (%) (pasir:debu:liat) Fe (%) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm)
27,81 6,88 0,29 0,26 32,3 109,10 3,91 : 24,21 : 71,88 4,07 1368,62 88,29 84,62
Gambar 3. Serangan berat penyakit budok di lapang dan di persemaian nilam di desa Sumurwiru, kecamatan Cibeureum, kabupaten Kuningan Perlakuan yang diuji terdiri dari beberapa agensia hayati yaitu Micrococcus sp (AKT-7), Pseudomonas sp (PS-4), dan Trichoderma sp. (NTC-1). Agensia hayati tersebut diperbanyak dilaboratorium penyakit tanaman Balittro, Bogor, dan diformulasikan dalam satu persen molase (tetes gula). Selain itu juga dilakukan perlakukan pembanding yaitu pestisida nabati (seraiwangi dan cengkeh), bubur bordou (kapur tohor dan terusi), serta pestisida berbahan aktif benomil. Benih nilam yang digunakan adalah varietas sidikalang, dan penanaman telah dilakukan dengan mengikuti SOP (Standar Operational Procedure) nilam. Pengamatan pada satu bulan setelah tanam, pertanaman nilam telah menunjukkan adanya pertumbuhan yaitu dengan adanya daun dan tunas-tunas baru. Daun tumbuh pada bagian atas/pucuk dan tunas-tunas baru yang berdekatan dengan tangkai/batang utama tanaman nilam. Gejala penyakit budok belum ditemukan pada semua perlakuan maupun kontrol pada umur satu bulan setelah tanam. Pada pengamatan dua bulan setelah perlakuan gejala awal penyakit budok berupa bintil-bintil kecil baik yang masih berwarna putih maupun kemerahan terlihat pada beberapa perlakuan dan kontrol. Gejala nampak pada daun maupun cabang yang masih muda. Persentase serangan terberat penyakit budok ditemukan pada kontrol, kemudian diikuti pada perlakuan Pseudomonas sp., Terusi + Kapur Tohor, Trichoderma sp. dan pestisida nabati (minyak cengkeh dan seraiwangi). Perkembangan patogen penyebab penyakit budok (Synchytrium sp.) untuk tumbuh dan menyerang tanaman inang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan, sifat kimia, struktur atau kesuburan tanah. Serangan penyakit budok pada penelitian 2010 ini timbul lebih cepat bila dibandingkan kontrol maupun pada perlakuan percobaan tahun 2009. Hal ini diduga karena keadaan curah hujan yang turun sepanjang tahun menyebabkan jamur Synchytrium sp. berkembang dengan baik. Jamur Synchytrium sp. yang menyerang kacang kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC.) penyebarannya sangat dipengaruhi langsung oleh suhu, kelembaban dan pengembunan (Drinkall dan Price, 1983). Pengataman pada 4 bulan setelah tanam, serangan penyakit budok ditemukan
390
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
pada semua perlakuan dan kontrol (Tabel 1). Serangan penyakit budok terberat ditemukan pada kontrol/tanpa perlakuan dengan tingkat serangan 100%. Perlakuan fungisida dengan bahan aktif masih merupakan perlakuan terbaik dalam menekan serangan penyakit budok yaitu dengan serangan 42,67% dengan persentase penekanan 57,33%. Penggunaan agensia hayati terbaik adalah dengan perlakuan Micrococcus sp. baik secara tunggal maupun bersamaan dengan Trichoderma sp., 53% dan 49,43%. Perlakuan minyak cengkeh + seraiwangi, dan terusi + kapur tohor tidak menunjukkan efektivitas yang tinggi terhadap serangan penyakit budok. dengan persentase serangan masing-masing dan agensia hayati tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu berkisar 55,5 - 60,35%. Penggunaan beberapa komponen pengendalian lebih baik dalam menekan serangan penyakit budok dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Perlakuan fungisida + pestisida nabati; fungisida + agensia hayati; dan pestisida nabati + agensi hayati, persentase serangan penyakit budok berturut-turut adalah 35,53%; 48,00% dan 45,87%. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi diantara beberapa komponen tersebut dalam mengendalikan penyakit budok tidak berbeda nyata pada panen pertama tanama nilam. Terjadinya serangan penyakit budok yang meluas pada tanaman nilam pada semua perlakuan diduga sangat berhubungan dengan adanya hujan yang merata turun dilokasi penelitian pada 2010. Sporangia dari Synchytrium psophocarpus yang menyerang kacang kecipir di Papua Nugini, banyak menyebar saat musim basah/hujan (November-April), dan penyebaran spora turun tajam pada musim kering (Mei-Oktober) ( Drinkall dan Price ,1983). Serangan penyakit budok diawali pada daun tunas-tunas baru baik pada batang bawah maupun batang atas tanaman. Daun yang terserang akan terlihat tidak membesar dan bila serangan berat akan terlihat daun menjadi kerdil. Serangan penyakit biasanya terjadi pada permukaan bawah daun.
Tabel 6. Persentase serangan penyakit budok pada setiap perlakuan sampai umur 4 bulan setelah tanam No.
Perlakuan
Persentase Serangan Budok (Bulan ke) 1
2
3
Persentase Penekanan Penyakit
4
P3
Agensia hayati Micrococcus sp
0a
1,22 a 20,00 a
53,00 a
47,00
P4
Agensia hayati Pseudomonas sp.
0a
8,34 b
23,33 a
69,33 b
30,67
P5
Agensia hayati Trichoderma sp
0a
6,66 b
26,33 a
72,67 b
27,33
P6
Micrococcus sp. + Trichoderma sp.
0a
2,12 a
20,00 a
49,43 a
50,57
P7
Pseudomonas sp. + Trichoderma sp
0a
1,57 a
23,33 a
70,01 b
29,99
P2
Minyak cengkeh dan seraiwangi
0a
5,24 b
20,00 a
73,33 b
26,67
P8
Terusi + Kapur Tohor
0a
7,22 b
20,00 a
72,45 b
27,55
P1
Fungisida
0a
1,23 a
16,67 b
42,67 c
57,33
391
Sukamto, dkk.
P0
Kontrol
0a
13,33 c 70,00 c
100,00 d -
Ketarangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada level 5% KESIMPULAN DAN SARAN Agensia hayati Micrococcus sp. dan Bacillus sp. dapat diformulasikan dalam bentuk granuler yaitu dengan bahan pembawa zoelite dan kapur. Populasi agensia hayati (Micrococcus sp. dan Bacillus sp.) pada semua formulasi masih tinggi yaitu 1 x 107 koloni per gram formulasi sampai pada 4 minggu setelah inkubasi. Pengendaliaan penyakit dilakukan di desa Sumurwiru, kecamatan Cibeureum, kabupaten Kuningan. Penggunaan komponen pengendalian fungisida (bahan aktif benomil) dapat menekan intensitas penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan persentase penekanan 57,33 %. Agensia hayati Micrococcus sp (AKT-7) dapat menekan penyakit budok lebih baik dibandingkan agensia hayati lainnya dengan persentase penekanan 47,00%. Pada tahun 2010, penyakit budok menyerang/berkembang dengan hal ini disebabkan karena musim hujan terjadi sepanjang tahun. Pengendalian penyakit pada perlakuan kegiatan penelitian ini tidak terlihat efektif pada lahan-lahan yang endemik budok dengan berat, sehingga SOP pengendalian pada lahan berat harus lebih intensif. Pengendalian penyakit budok sebaiknya juga dapat mengikuti epidemiologi patogen penyebab penyakit yaitu lebih diperhatikan saat musim hujan. Pengamatan serangan penyakit perlu dilakukan setelah panen pertama nilam. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1987. Profil komoditi minyak nilam (Potchouli oil). Pusat Pengembangan Pemasaran Hasil Pertanian. BPEN Departemen Perdagangan. Jakarta. Asman A., Ester M., dan Sitepu D. 1998. Penyakit layu, budok dan penyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf Tanaman Nilam : 84- 88. Asman, A., dan Sitepu D. 1996. Penyakit layu dan budok pada tanaman nilam dan cara pengendaliannya. Proceedings seminar on integrated control on main diseases of industrial crops. 284-290 Buchholtz, KP. 1971. The influence of allelopathy on mineral nutrition. In Biochemical Interaction Among Plants. Nat. Acad. Sci. Washington DC. Chalid, A. 1992. Analisis p asam Coumarat pada tanah dan bagian tanaman jagung. Thesis. AKA. Bogor Dhalimi, A. Anggraini, Hobir, 1998. Sejarah perkembangan budidaya nilam di Indonesia. Dalam Monograf Nilam. Balittro. hal 1-9. Djazuli, M., 2002a. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablin L.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. VIII (2):163-172. Drinkall, MJ., Price, TV. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology 32:229-237. Maurhofer M., Hase C., Meuwly P., Metraux JP., Defago G. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by the root-colonizing Pseudomonas fluorescens strain CHAO: Infulence of the gac a gene and pyroverdine production. Phytopathology 84: 139-146. Murphy JF et al. 2000. Plant growth-promoting rhizobacterial mediated protection in tomato against tomato mottle virus. Plant Disease 84: 779-784.
392
Pengendalian penyakit budok efektif >70% pada tanaman nilam
Nasrun, Christanti, Arwiyanto, T, Mariska I. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam menggunakan Pseudomonad fluresen. Journal Penelitian Tanaman Industri II (1):19-20. Robbins, SRJ. 1983. Natural essential oils. Current Trens in Production, Marketing, and Demand. Perfumer and Flavorist ; 75-82. Ryu CM, Murphy JF., Mysore KS, Kloepper JW. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria systemically protect Arabidopsis thaliana against Cucumber mosaic virus by a salicylic acid and NPR1-independent and jasmonic aciddependent signaling pathway Plant J. 31:1-12. Sitepu D dan Asman. A. 1991. Penelitian penyakit nilam di Di. Aceh. Laporan Kerjasama PT. Pupuk Iskandar Mufa dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Oba Bogor. P 22. Sukamto. 2007. Penyakit utama pada tanaman nilam dan pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Perkembangan Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007; 671-700. Szczech M and M. Shoda. 2004. Biocontrol of Rhizoctonia damping-off of tomato by Bacillus subtilis combined with Burkholderia cepacia. J. Phytopathology 152: 549-556. Tasma, M. Tasma, I.M. dan P. Wahid, 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam. Tao, C. 1983. China’s burgeoning aromatic industry. Perfumer and Flavorist 7:-1-1 Villamayor, Jr. FG. 1992. Perspective on the latest development on cultural management in sweetpotato. Workshop on the diciplinary Teamwork in sweetpotato Development Project. Zambales, Philippines. Van Loon LC, Bakker PAHM, Pieterse MJ. 1998. Systemic resistance induced by rhizobacteria. Ann Rev Phytopathol 36: 453-483. Wiroatmojo, j. 1992. Alelopati pada tanaman jahe. Bulletin Agronomi. XX (3): 1-6.
393