INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA Sri Wahyuni Indiati1)
ABSTRAK Pengendalian hama thrips kacang hijau dengan insektisida nabati dan kimia. Thrips, Megalurothrips usitatus (Bagnall) merupakan salah satu hama penting kacang hijau pada musim kemarau. Berdasarkan hasil penelitian, kehilangan hasil kacang hijau akibat serangan thrips berkisar antara 12–64%, tergantung varietas, umur tanaman dan musim. Serangan thrips pada awal pertumbuhan vegetatif dicirikan dengan gejala keriting pada daun pucuk, sehingga tanaman menjadi kerdil. Gejala serangan pada fase berbunga mengakibatkan dengan rontoknya bunga, polong tidak terbentuk, sehingga mengurangi hasil kacang hijau. Pengendalian thrips pada kacang hijau dengan ekstrak air (rendaman) serbuk biji mimba (SBM), bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan rendaman campuran cabai, bawang, dan jahe (LBJ) sebagai insektisida nabati mempunyai keefektifan yang hampir sama. Namun bila dibandingkan dengan insektisida kimia, keefektifan insektisida nabati lebih rendah. Intensitas serangan thrips dapat ditekan sampai 2% dengan penggunaan fipronil, imidakloprid, formetanate hydrocloride 1–2 ml/l seminggu sekali, penggunaan diafentiuron hanya mampu menekan intensitas serangan thrips sampai 32%. Sedangkan pada petak kontrol serangan thrips mencapai 100%. Aplikasi fipronil 2 ml/l pada 10 HST yang diikuti dengan aplikasi rendaman rimpang jahe 20 g/l pada 17, 24, 31 HST efektif mengendalikan serangan thrips sampai 6,8%. Kombinasi insektisida kimia dan nabati dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia antara 50–75%. Kata kunci: pengendalian thrips, thrips, Megalurothrips usitatus, kimia, nabati, kacang hijau.
ABSTRACT Botanical and chemical insecticides to control thrips on mungbean. Thrips, Megalurothrips usitatus (Bagnall) is one of the major pests of mung bean in the dry season. The severe damage by thrips attacks can cause yield losses up to 64%. Thrips attack in the early vegetative growth 1)
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. RayaKendalpayak km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101; email:
[email protected] Naskah diterima tanggal 3 Desember 2013; disetujui untuk diterbitkan tanggal 14 Februari 2014. Diterbitkan di Buletin Palawija No. 27: 39–51 (2014).
is characterized by symptoms of curly leaf buds, so the plants become stunted. Symptoms at flowering phase is characterized by fall out flowers, pods are not formed, so that the total yield of mungbean is reduced. The research showed that, yield loss of mungbean ranged from 12–64%, depending on variety, plant age and season. Application of neem seed powder extract of (SBM), garlic, ginger, papaya and mixed extract of chili, onion, and ginger (LBJ) as botanical insecticides had equal effectiveness in suppressing thrips populations and plant damage caused by thrips. When compared with chemical insecticides, botanical insecticides had lower effectiveness. Application of insecticide fipronil, imidacloprid, formetanate hydrocloride with concentration of 1–2 ml/l once a week effectively suppressed thrips infestation intensity to 2%, while the diafentiuron insecticides suppressed thrips attack intensity to 32%, the intensity of thrips attack can reach 100% in untreated plots. Combinations of fipronil 2 ml/l at 10 days after planting (DAP) followed by application of ginger extract 20 g/l at 17, 24, 31 effective to control thrips attacks up 6.8%. The application of combination of chemical and botanical insecticides could reduce the use of chemical insecticides between 50–75%. Keywords: control of thrips, thrips, Megalurothrips usitatus, chemistry, botany, mungbean.
PENDAHULUAN Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu tanaman kacang-kacangan kaya protein nabati tinggi dan mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Di Indonesia, kacang hijau menempati urutan ke-3 setelah kedelai dan kacang tanah. Tanaman ini banyak dibudidayakan oleh petani karena harganya relatif stabil dan lebih kompetitif dibanding kedelai (Basuki et al. 2011). Kacang hijau dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan dapat ditanam sepanjang tahun. Penanaman kacang hijau di lahan sawah dilakukan pada musim kemarau setelah musim tanam padi dengan pola tanam padi–padi–kacang hijau, sedang di lahan kering atau tegalan dilakukan pada awal musim hujan setelah padi gogo atau jagung (Radjit dan Prasetyawati 2012). Kacang hijau sangat cocok ditanam di lahan kering karena umurnya pendek, tahan terhadap kekeringan, risiko terserang hama lebih rendah dibanding kedelai. 39
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
Produksi kacang hijau Indonesia pada tahun 2011 mencapai 341.342 ton biji kering dengan produktivitas rata-rata 1148 kg/ha (Ditjen Tanaman Pangan 2012). Produksi tersebut tergolong rendah. Permintaan kacang hijau terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan kacang hijau setiap tahunnya rata-rata 322.098 ton, sedang rata-rata produksi hanya mencapai 313.229 t/tahun, sehingga untuk mencukupi kebutuhan nasional, dilakukan impor rata-rata 29.443 t/tahun (BPS 2012, data Kementan diolah).
Mengingat tingginya kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh hama thrips, maka usaha pengendalian hama thrips sangat diperlukan. Pada dasarnya pengendalian hama thrips dapat dilakukan dengan beberapa cara pengendalian seperti: kultur teknis, penggunaan varietas tahan, biologis dan kimia.
Berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan produksi kacang hijau di antaranya adalah melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi lahan. Namun, upaya tersebut masih menghadapi kendala, salah satunya adalah gangguan hama maupun penyakit. Sejumlah spesies serangga dapat menyerang dan menimbulkan kerusakan pada tanaman kacang hijau, salah satunya adalah hama thrips.
Biologi Thrips
Beberapa spesies thrips merupakan hama penting pada beberapa tanaman di Indonesia. Thrips dapat menyerang daun muda, kuncup, bunga, batang muda, dan buah muda. Sebagai contoh Thrips tabaci Lind. menyerang tanaman bawang dan menyebabkan kerusakan pada daun (bintik dan klorosis) sehingga daun bawang tidak layak jual. Thrips palmi (Karny) pada tanaman kentang, Chaetanaphothrips signipennis (Bagn.) pada tanaman cabai dan tembakau, Thrips parvispinus (Karny) pada cabai dan mentimun, Frankliniella sp., Megalurothrips usitatus Bagnall pada tanaman kacang-kacangan (Hidajat 2000). Hasil identifikasi koleksi thrips dari tanaman kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, kacang tanah dan krotalaria yang ditanam di daerah Bedali-Lawang, Muneng (Probolinggo) dan Ponorogo, Jawa Timur, kebanyakan adalah dari spesies Megalurothrips usitatus Bagnall (Probolinggo), Thrips taiwanus (Ponorogo) dan Haplothrips sp. (Bedali-Malang) (Matsumoto 2000). Thrips merupakan salah satu hama penting tanaman kacang hijau, yang sangat merugikan pada musim kemarau (Indiati 2003). Pada kondisi kerusakan parah dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%. Tingkat kerusakan tanaman yang sangat parah terjadi bila kacang hijau ditanam sekitar bulan Mei–Juli. Apabila ditanam setelah bulan Juli tingkat serangannya semakin menurun. Menurut Murai (2000) suhu udara merupakan faktor iklim yang sangat mempengaruhi populasi thrips. 40
BIOLOGI, GEJALA SERANGAN, TANAMAN INANG DAN SEBARAN HAMA THRIPS
Thrips, M. usitatus termasuk dalam Ordo Thysanoptera (serangga bersayap duri/rumbai), Subordo Terebranta; Famili Tripidae dan Genus Megalurothrips (Hoddle et al. 2012). Thrips mempunyai ukuran tubuh kecil dan langsing, panjang tubuh sekitar 0,5–5 mm. Tipe alat mulut adalah pengisap-pemarut. Makanan yang ditelan biasanya dalam bentuk cairan. Antena pendek, empat sampai sembilan ruas. Thrips mengalami metamorfosa tidak sempurna, dua instar pertama tidak bersayap disebut larva, instar ketiga disebut prepupa, instar keempat disebut pupa, dan tahapan selanjutnya adalah dewasa. Thrips berkembang biak secara tidak kawin (partenogenesis). Thrips lebih suka meletakkan telur pada tanaman muda, yang berumur antara 10 sampai 15 hari, dan biasanya telur-telur tersebut disisipkan pada jaringan daun yang muda di bagian bawah dan diletakkan satu per satu. Telur berbentuk oval, berwarna putih keruh pada saat akan menetas. Setelah telur menetas, keluar nimfa instar pertama berwarna putih transparan, mempunyai tiga pasang kaki dan berukuran 0,5 mm. Instar pertama berlangsung sekitar 2–3 hari. Setelah mengalami proses ganti kulit, nimfa instar kedua berukuran sekitar 0,8 mm, berwarna kuning tua keruh, selanjutnya menjadi agak kecoklatan. Fase ini berlangsung sekitar 3–4 hari. Setelah proses ganti kulit, muncullah prepupa yang dicirikan dengan terbentuknya kerangka sayap yang belum sempurna dan gerakannya tidak aktif. Pada proses selanjutnya kerangka sayap menjadi panjang (sempurna), akan tetapi bulu sayap yang berupa rumbai-rumbai belum terbentuk, warna menjadi coklat muda dengan beberapa garis melintang berwarna coklat tua. Fase ini disebut dengan fase pupa. Setelah ganti kulit yang terakhir muncul imago yang berwarna hitam dengan ukuran sekitar 2 mm. Pada
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
fase imago, semua organ telah terbentuk sempurna dan siap untuk bertelur. Pada kondisi yang optimum, satu daur hidup memerlukan waktu 15 hari. Serangga dewasa dapat hidup selama 20 hari dan menghasilkan telur antara 40–50 butir (Kalshoven 1981; Bernardo 1991).
Gejala Serangan Hama Thrips pada Kacang Hijau Nimfa dan serangga dewasa mengisap cairan kuncup vegetatif tanaman muda, sehingga ketika daun membuka daun tampak mengkerut atau keriting, seperti terserang virus. Pada tingkat serangan yang tinggi tanaman menjadi kerdil, pembentukan bunga dan polong terganggu yang akhirnya akan menurunkan hasil tanaman. Apabila serangan thrips terjadi pada fase berbunga, nimfa dan dewasa akan menyerang bunga dengan cara memakan polen dan mengisap cairan bunga sehingga mengakibatkan bunga rontok. Dengan rontoknya bunga, polong tidak akan terbentuk dan akan mengurangi hasil kacang hijau (Gambar 1). Di samping dapat menimbulkan gejala langsung, beberapa spesies dapat bertindak sebagai vektor virus. Thrips palmi dan T. tabaci dapat menyebarkan tomato spotted wilt virus (TSWV) yang menyebabkan banyak kematian tanaman tomat secara luas (Mughal 1985). Menurut Shukla et al. (2005) M. usitatus baik dewasa maupun nimfa tidak berperan sebagai vektor virus.
Tanaman Inang dan Sebaran Hama Thrips Menurut Chang (1987 dalam Chang 1991) spesies ini dapat hidup dan berkembang pada 28 spesies tanaman, akan tetapi bunga tanaman kacang-kacangan lebih disukai, walaupun bagian tanaman yang lain (daun) juga digunakan sebagai tempat hidup. Jenis tanaman kacangkacangan yang diserang antara lain: kedelai, kacang adzuki (Vigna angularis), kacang hijau, kacang tanah, kacang pedang (Canavalia gladiata), kacang asparagus (V. sesquipedalis), kacang panjang (V. sinensis), kacang yam (Pachyrhizus erosus), kacang lima (Phaseolus limensis), kacang buncis (Phaseolus vulgaris), Sesbania sesban, Cassia bicapsularis, Bauhinia purpurea, Crotalaria juncea, Phaseolus atropurpureus, Centrosema pubescens. Di Muneng, Probolinggo, M. usitatus selain menyerang kacang hijau, juga menyerang tanaman kacangkacangan yang lain seperti: kacang tunggak, kacang tanah dan kedelai. Selain tanaman kacang-kacangan spesies ini juga menyerang tanaman rambutan, anggur (Bansiddhi dan Poonchaisri 1991), tomat, kentang (Bernardo 1991). Sebaran M. usitatus relatif luas, selain di wilayah Indonesia, spesies ini juga tersebar di Philipina, Malaysia, Taiwan, dan Thailand (Chang 1991; Bernardo 1991; Fauziah dan Saharan 1991; Bansiddhi dan Poonchaisri 1991).
Gambar 1. Imago Megalurothrips usitatus Bagnall (kiri); Gejala serangan thrips pada tanaman kacang hijau fase berbunga di KP Muneng mengakibatkan bunga gugur (kanan). Sumber: Hoddle et al. (2012).
41
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
MUSUH ALAMI THRIPS Beberapa jenis serangga berpotensi sebagai pemangsa hama thrips. Rejesus et al. (1986 Dalam Bernardo 1991) melaporkan bahwa kepik Orius tantillus merupakan pemangsa utama nimfa dan serangga dewasa. Perkembangan pemangsa ini berkisar 16,5 hari untuk betina dan 14,8 hari untuk pemangsa jantan (Mituda dan Calilung 1989). Dalam satu siklus hidup O. tantillus dapat memangsa lebih dari 200 individu thrips, sedangkan kemampuan memangsa maksimum kepik dewasa antara 19– 20 thrips dewasa per hari. Amblyseius sp. Juga merupakan pemangsa nimfa thrips. Daur hidup total sekitar 4,7 hari, dan pemangsa ini mampu memangsa 2–7 nimfa thrips per hari. Pemangsa lain yang potensial adalah Campylomma sp., dan laba-laba Conopistha sp., masing-masing mampu memangsa 1–5 dan 8–25 imago thrips per hari. Kedua jenis tersebut dapat memangsa baik nimfa maupun imago (Mituda and Calilung 1989).
PERIODE KRITIS KACANG HIJAU TERHADAP SERANGAN THRIPS Kacang hijau merupakan tanaman yang beradaptasi tinggi terhadap kekeringan, sehingga banyak ditanam petani pada musim kemarau setelah tanaman padi ke dua atau jagung. Kacang hijau yang ditanam pada
musim kemarau yang kering tersebut pada umumnya terserangan hama thrips dengan intensitas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena populasi thrips di alam sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin (Murai 2000; Legutowska 1997 dalam Waiganjo et al. 2008). Periode kritis tanaman kacang hijau terhadap serangan thrips terjadi pada fase vegetatif, pada saat daun trifoliat pertama mulai muncul. Ketika di alam terjadi sinkronisasi antara periode kritis tanaman dengan populasi thrips yang tinggi, tanaman akan mengalami serangan thrips yang berat dan akan mengakibatkan kehilangan hasil yang sangat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kacang hijau mengalami kehilangan hasil sampai 67% ketika awal serangan thrips yang tinggi terjadi saat tanaman berumur 10 hari. Sebaliknya, kehilangan hasil hanya mencapai 25% bila awal serangan thrips yang tinggi terjadi pada saat tanaman telah berumur 30 hari (Gambar 3). Di Afrika, kehilangan hasil kacang tunggak yang terserang thrips dapat mencapai 20–100% (Singh et al. 1990). Di AS, daerah sabuk tanaman kapas, luas serangan thrips awal musim 2005 mencapai 91% dari areal tanam dan mengakibatkan kehilangan hasil kapas sebesar 149.090 bal (William 2006). Di Georgia, Ottens et al. (2004) melaporkan bahwa
Orius minute
Amblyseius cucumeris
pemangsa Hypoaspis miles
Amblyseius swirskiis
Gambar 2. Beberapa pemangsa pengendali hama thrips. Sumber: http://www.keizernursery.com.
42
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
serangan thrips yang berat dapat menyebabkan pengurangan hasil kapas 50–60% jika tidak dilakukan pengendalian. Tinggi rendahnya kehilangan hasil kacang hijau selain dipengaruhi oleh periode kritis tanaman juga dipengaruhi oleh varietas, musim dan suhu udara, serta praktik budidaya yang buruk. Pada varietas yang rentan kerusakan dan kehilangan hasil tanaman akan lebih tinggi bila dibanding dengan varietas yang tahan. Intensitas serangan thrips pada galur yang tahan, MLG 716, hanya mencapai 10%, sedang serangan pada varietas yang rentan seperti kacang hijau varietas Betet dapat mencapai 25%. Besarnya nilai kehilangan hasil, pada varietas rentan bisa mencapai 31,7% sedang kehilangan hasil pada galur yang tahan hanya sekitar 12,9% (Indiati 2000). Pada penelitian tahun 2000 menunjukkan bahwa intensitas serangan thrips pada awal pertumbuhan kcang hijau varietas rentan (No. 129), tanpa perlakuan pengendalian dapat mencapai 100% dan mengakibatkan kehilangan hasil antara 21,5–64,1%. Kerusakan parah pada umumnya terjadi selama musim kemarau. Curah hujan yang tinggi secara langsung akan menurunkan populasi thrips. Sedangkan semakin meningkatnya suhu udara akan mempercepat peningkatan populasi thrips sehingga akan meningkatkan kerusakan tanaman (Gambar 4). Waiganjo et al. (2008) juga menyatakan bahwa kelembaban dan curah hujan berkorelasi negatif dengan populasi thrips. Sebaliknya, suhu udara berkorelasi positif dengan populasi thrips.
70
KEHILANGAN HASIL (%)
60 50 40 30 20 10 0 10 HST
30 HST
AWAL SERANGAN THRIPS (HST)
Gambar 3. Kehilangan hasil kacang hijau berdasarkan terjadinya awal serangan thrips Sumber: Indiati 2013 (blm dipublikasi).
Pertumbuhan tanaman di tanah yang kurus/ kurang subur akan semakin rentan terhadap serangan thrips. Tanaman yang mengalami kekeringan akan menderita serangan thrips yang lebih parah.
PENGENDALIAN THRIPS Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep pengelolaan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Untung 2006). Adanya pembelajaran mengenai struktur ekosistem yang meliputi komposisi jenis tanaman, hama, musuh alami, dan kelompok biotik yang lain serta interaksi dinamik antar komponen biotik maka dapat ditetapkan strategi pengelolaan yang mampu mempertahankan populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan. Agar petani dapat memperoleh keuntungan yang maksimal, maka petani harus meningkatkan produksi dan menekan biaya pengendalian dengan cara melakukan pengendalian hama apabila populasi musuh alami lebih rendah atau kurang berperan maksimal bila dibanding populasi hama. Adanya sedikit populasi hama pada ekosistem pertanian merupakan sumber makanan/ mangsa bagi musuh alami sehingga keberadaan musuh alami dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan membudidayakan tanaman yang sehat akan dapat diperoleh produksi yang tinggi dan tanaman mempunyai ketahanan yang tinggi sehingga dapat bertahan terhadap serangan hama maupun penyakit. Di samping itu tanaman sehat juga diarahkan untuk menciptakan ekosistem pertanaman yang menguntungkan bagi perkembangan musuh alami. Kompleks musuh alami tersebut akan mempertahanan populasi hama pada aras yang rendah sehingga tidak merugikan tanaman. Pengamatan mingguan merupakan kegiatan pengamatan dalam mengumpulkan informasi tentang komponen ekosistem dan fluktuasinya. Dari informasi tersebut pengamat dapat menganalisis sendiri dan menentukan tindakan pengelolaan yang harus dilakukannya. Agar petani mau dan mampu menerapkan PHT, diperlukan usaha pemasyarakatan PHT melalui jalur pendidikan, penerangan, dan pelatihan baik yang dilakukan secara formal dan non formal. Supaya PHT dapat diterapkan dengan baik, selain informasi mengenai agroekosistem 43
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
Gambar 4. Intensitas serangan thrips pada beberapa saat tanam dan data iklim pada tahun 2003 Sumber: Indiati, 2003.
setempat juga perlu dilandasi oleh pengetahuan mengenai komponen-komponen PHT yang dapat dipadukan untuk mendapatkan hasil pengendalian yang optimal. Komponen PHT yang dimaksud meliputi: pengendalian secara kultur teknis termasuk penggunaan varietas tahan, sanitasi lingkungan, dan pengaturan 44
waktu tanam; pengendalian mekanis; pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan musuh alami berupa predator, parasit, patogen; dan pengendalian dengan pestisida secara nabati/kimia. Namun dalam makalah ini yang akan dibahas adalah pengendalian dengan insektisida nabati dan kimia.
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
Pengendalian dengan Insektisida Nabati Insektisida nabati adalah bahan kimia yang berasal dari tumbuhan yang menunjukkan bioaktivitas pada serangga (Prijono 1999). Insektisida nabati merupakan insektisida yang cukup efektif dan aman terhadap lingkungan (Hoesain 2001). Beberapa Famili tumbuhan yang merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al. 1993; Isman 1995). Tumbuhan-tumbuhan tersebut mengandung senyawa aktif yang merupakan hasil metabolit sekunder tanaman. Selain jenis, konsentrasi, waktu, frekuensi, dan cara aplikasi juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pengendalian. Bahan nabati yang telah diuji antara lain serbuk biji mimba, umbi gadung, biji mahoni, serbuk biji srikaya, serbuk biji bengkuang, rendaman bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan rendaman campuran cabai bawang dan jahe (LBJ) (Prakash dan Rao 1997; Sridhar et. al. 2002; Stoll 2000; Vijayalakshmi et al. 1997). Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, biji mimba mengandung azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin (Mordue dan Nisbet 2000). Mimba tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin (Schmutterer & Singh 1995; Herminanto et al. 2004; Sarjan 2008). Selain itu juga berperan sebagai pemandul (Kardinan dan Dhalimi 2003). Umbi gadung mengandung alkaloid dioskorin yang sering bersifat toksik. Gadung (Dioscorea hispida) yang diekstrak dengan air dilaporkan beracun terhadap hama aphids (Jacobson 1975 Dalam Prakash dan Rao 1997). Biji bengkuang mengandung bahan yang toksik bagi serangga, yaitu pachyrrhizid yang termasuk golongan rotenoid dan umum digunakan sebagai insektisida. Rotenoid merupakan racun penghambat metabolisme dan sistem saraf yang bekerja lamban (Kardinan 1999). Sifat insektisida genus Annona mengandung senyawa alkaloid kelompok linier asam lemak dari C-32 dan C-34 yang disebut “acetogenin” (Dharmasena et al. 2001). Mahoni (Swientenia mahagoni Linn./West Indian mahagony) banyak
ditemukan di daerah sub-tropik dan tropik. Di Indonesia tanaman ini banyak ditanam sebagai tanaman penghijauan. Rendaman biji mahoni yang mengandung tetra-nor-triterponoid dilaporkan mempunyai daya racun yang tinggi terhadap ulat grayak, Spodoptera litura (Jacobson 1989 Dalam Prakash and Rao 1997). Bengkuang (Pachyrhizus erosus), chinese yam atau yam bean adalah tanaman tropik asal Amerika Tengah. Biji maupun buah bengkuang yang diekstrak dengan air, alkohol atau eter dilaporkan bersifat insektisida, menghambat aktivitas makan dan pertumbuhan kepik hijau Acrosternum hilare; kumbang kacang Cerotoma ruficornis; ulat melon, Diaphania hyalinata; ulat grayak, Spodoptera frugiperda, S litura; Aphis fabae dan Epilachna varivestis (Jacobson 1975; Hameed 1983; McIndoo 1983 dalam Prakash dan Rao 1997). Nderitu et al. (2010) menyatakan bahwa berdasarkan perolehan hasil, tanaman buncis yang diperlakukan dengan chloropyrifos menghasilkan polong lebih tinggi dibandingkan dengan petak yang dikendalikan dengan pestisida nabati. Penggunaan bahan nabati serbuk biji mimba (SBM), biji mahoni, biji bengkuang dan umbi gadung untuk pengendalian hama thrips kurang memberikan hasil yang maksimal, karena tingkat penekanan intensitas serangannya rendah (hampir setara dengan kontrol) dan perolehan bobot biji kering hanya berkisar 0,4–0,6 t/ha, sedang pada kontrol perolehan bobot biji kering lebih rendah yaitu 0,3 t/ha (Gambar 5). Selanjutnya dilaporkan bahwa serbuk biji mimba (SBM), ekstrak bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan rendaman campuran cabe, bawang dan jahe (CBJ) mempunyai keefektifan yang setara dan lebih rendah dalam menekan populasi dan intensitas serangan thrips bila dibanding insektisida kimia. Bila dihitung tingkat efikasi insektisida (EI) insektisida nabati tertinggi hanya mencapai 65%, 5% lebih rendah dari kriteria nilai EI yang dianggap efektif (70%), sedang EI untuk insektisida kimiawi mencapai 100% (Gambar 6). Dari sisi perolehan hasil, tanaman yang tidak dikendalikan (kontrol), memberikan bobot biji kering terrendah, 0,72 t/ha; tanaman yang dikendalikan dengan insektisida nabati menghasilkan 0,879–1,038 t/ha; sedang tanaman yang dikendalikan secara kimiawi menghasilkan 1,981 t/ha (Tabel 1). Adanya tindakan pengendalian mengakibatkan peningkatan 45
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
hasil kacang hijau antara 0,159–1,261 t/ha atau 22–175% bila dibandingkan dengan tanpa pengendalian, sebaliknya kacang hijau akan mengalami kehilangan hasil 63% bila tanpa dilakukan upaya pengendalian hama thrips (Tabel 1).
Pengendalian dengan Insektisida Kimia Pengendalian kimia merupakan cara pengendalian yang sering dilakukan karena mudah diterapkan dan hasilnya cepat terlihat, namun apabila penggunaannya kurang bijaksana akan mencemari lingkungan. Penggunaan insektisida untuk pengendalian hama sebaiknya digunakan bila cara pengendalian yang lain sudah tidak efektif untuk menekan populasi hama. Oleh
karena itu aplikasinya harus didasarkan pada nilai ambang kendali hama yang akan dikendalikan. Ambang kendali untuk hama thrips adalah >5 ekor thrips dewasa per daun trifoliet pucuk pada tanaman berumur 7–14 hari. Insektisida yang digunakan sebaiknya yang bersifat selektif, artinya insektisida tersebut efektif terhadap hama sasaran, dan aman terhadap musuh alami hama. Chang (1991) melaporkan bahwa tidak ada insektisida yang efektif untuk mengendalikan M. usitatus di Taiwan. Mardi dan Senapati (2009) melaporkan bahwa acetamirid dan thiamithoxam efektif menekan populasi thrips masing-masing sampai 93,3 dan 89,9%.
Gambar 5. Intensitas serangan thrips (kiri) dan perolehan biji kering kacang hijau pada beberapa perlakuan bahan nabati (kanan). mst = minggu setelah tanam, mb = serbuk biji mimba, mhn = biji mahoni, bkg = biji bengkuang, gd = umbi gadung @ 50 g/l, fip = fipronil 2 ml/l, k = kontrol. Sumber: Indiati 2005.
Gambar 6. Intensitas serangan thrips pada kacang hijau dengan beberapa perlakuan bahan nabati (kiri) dan nilai EI insektisida kimia dan nabati (kanan). Keterangan: MST = minggu setelah tanam; EI = tingkat efikasi insektisida kimia dan nabati; K=Kontrol, Fip=Fipronil, SBM=Serbuk Biji Mimba, EBP=Ekstrak bawang putih, RJ=Rimpang jahe, DP=Daun pepaya, C-LJB=Campuran LJB. Sumber: Indiati 2012.
46
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA Tabel 1. Perkiraan hasil kacang hijau yang dapat diselamatkan dengan perlakuan beberapa bahan kimia dan nabati. KP Muneng, MK 2010.
Jenis insektisida kimia dan nabati
Bobot biji kering (t/ha)
Kontrol (K) Fipronil 2 ml/l (F)l SBM 100 g/l air Ekstrak bawang putih 0,85% Rimpang jahe 50 g/3 l Daun pepaya 50 g/l Campuran LJB - 100g /3 l air
0,720 1,981 0,932 0,924 1,038 0,879 1,015
Hasil yang diselamatkan (%)*
c a bc bc b bc b
– 175 29 28 44 22 41
Kehilangan hasil (%)** 63,7 – 53 53,4 47,6 55,6 48,8
Keterangan: LJB = rendaman campuran cabai, bawang, dan jahe; *) dihitung dengan rumus : (Pn-K)/K*100%; **) dihitung dengan rumus: (Pn-F)/F*100%; Pn = perlakuan ke-n. Sumber: Indiati 2012.
Hasil penelitian tahun 2000 di KP Muneng, menunjukkan bahwa jenis bahan aktif insektisida berpengaruh terhadap penekanan intensitas serangan thrips. Aplikasi insektisida dengan bahan aktif fipronil, imidakloprid 70%, formetanate hydrocloride 25% dengan konsentrasi 1–2 ml/l sekali seminggu efektif menekan intensitas serangan hama thrips sampai 2%, dan tidak berbeda nyata di antara ketiganya. Sedang aplikasi insektisida dengan bahan aktif diafentiuron 500 g/l hanya mampu menekan intensitas serangan thrips sampai 32% setara dengan rendaman serbuk biji mimba 20 g/l. Pada petak yang tidak dikendalikan intensitas serangan thrips lebih parah mencapai 100% (Gambar 7).
Aplikasi insektisida berbahan aktif fipronil, imidakloprid 70%, formetanate hydrocloride 25% seminggu sekali dengan konsentrasi 1–2 ml/l diperoleh hasil kacang hijau berturut-turut 0,86, 0,82, dan 0,81 t/ha berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pengendalian yang hanya menghasilkan 0,31 t/ha biji kering (Gambar 7). Hasil penelitian selanjutnya dilaporkan bahwa aplikasi insektisida berbahan aktif fipronil dan imidakloprid masih memberikan hasil yang konsisten (Indiati 2012). Kedua insektisida tersebut efektif menekan serangan thrips dan menghasilkan bobot biji kering 1,8–1,98 t/ha serta memberikan tambahan hasil antara 150– 175% bila dibanding kontrol (Gambar 8). Selain jenis insektisida, waktu dan cara aplikasi juga merupakan faktor yang menentukan efektivitas pengendalian. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada pagi hari yang cerah (tidak hujan) dan tidak berangin, agar takaran insektisida yang diberikan dapat diambil tanaman secara maksimal.
2
60
Gambar 7. Intensitas serangan thrips dan hasil biji kering kacang hijau pada beberapa jenis bahan aktif insektisida Fip = Fipronil (Regent 50 SP)-1 ml/l; Imi = Imidakloprit (Confidor)-0,5 ml/l; For = Formetanat (Dicarzol 25%)-2 ml/l; Dif = Diafentiuron(Pegasus )- 2ml/l; Mb = Biji mimba 20g/l; K = kontrol; IS = intensitas serangan; MST = minggu setelah tanam. Sumber: Indiati 2000a.
Hasil biji (t/ha)
♦
40 1.2 30 0.8 20 0.4
0
Intensitas serangan (%)
50
1.6
10
Kontrol Kontrol
Fip2 2ml/l Fip ml/l
Hasil t/ha
Imidak 200 Imidak 200 SL SL 2ml/l 2ml/l
Imidak Ema Imidak 100100 EC Ema benzbenz 2 g/10 l EC2ml/l 2ml/l 2 g/10 l
0
Intensitas serangan 3 MST (%)
Gambar 8. Intensitas serangan thrips dan hasil biji kering kacang hijau pada beberapa jenis bahan aktif insektisida. Sumber: Indiati 2012.
47
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
Cara aplikasi sebaiknya juga didasarkan pada fase tanaman yang diserang dan bagian tanaman yang diserang hama yang akan dikendalikan. Aplikasi insektisida sebaiknya dilakukan dengan cara semprot pada awal pertumbuhan (umur tanaman 10 hari), karena daun dan bunga kacang hijau merupakan bagian tanaman yang diserang hama tersebut.
Pengendalian dengan Kombinasi Insektisida Nabati dan Kimia Untuk meningkatkan efektivitas bahan nabati dalam pengendalian thrips, aplikasi bahan nabati sebaiknya dikombinasikan dengan insektisida kimia yang tepat waktu, sehingga frekuensi penggunaan insektisida kimia dapat
dikurangi dan efektivitas pengendalian dapat ditingkatkan. Kombinasi insektisida thiacloprid dan azadirakhtin 0,15% efektif mengendalikan thrips pada tanaman buncis (Nderitu et al. 2008). Dhandapani et al. (2003) merekomendasikan untuk tanaman yang panennya tidak serentak, pengendalian hama menjelang panen sebaiknya dilakukan dengan insektisida nabati yang ramah lingkungan agar tidak berbahaya terhadap kesehatan. Nderitu et al. (2010) yang menyatakan bahwa Thiacloprid efektif dalam mengendalikan Megalurothrips sjostedti dibanding dengan pestisida botani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi aplikasi fipronil 2 ml/l pada 7 hari setelah tanam (HST) kemudian dilanjutkan dengan
Tabel 2. Intensitas serangan thrips pada beberapa cara pengendalian. KP Muneng, MK 2011.
Perlakuan
Rata-rata intensitas serangan thrips (%) ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST
Kontrol Pupuk cair + Janeemol 40-7 Imidaklorprit 200 g/l-1 ml/l Imidaklorprit 200 g/l-2 ml/l F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7
97,2 97,6 47,8 13,9 48,8 66,3 83,6
LSD 5% KK (%)
a a b c b ab a
32,02 27,6
93,6a 92,8a 14,7 d 14,4 d 41,1 c 65,2 b 76,0ab
61,6 61,4 5,46 7,43 20,6 44,2 42,5
18,6 18,3
21,7 35,2
a a b b b a a
42,7a 11,7 b 1,33 b 3,33 b 11,9 b 14,6 b 14,0 b
27,6a 7,7 b 0,2 b 0,0 b 6,6 b 6,4 b 7,6 b
15,6 31
16,1 32,3
Keterangan: F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST. Sumber: Indiati 2013.
Tabel 3. Rata-rata bobot biji kering 5 tanaman contoh, bobot biji kering/petak, perkiraan hasil kacang hijau yang dapat diselamatkan, dan kehilangan hasil kacang hijau akibat serangan thrips. KP Muneng, MK 2011.
Perlakuan
Bobot biji 5 tan (g)
Bobot biji t/ha (B)
Kontrol (K) Pupuk cair + Janeemol 40-7 Imidaklorprit 200 g/l-1 ml/l Imidaklorprit 200 g/l-2 ml/l (M) F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7
23,73 43,87 48,20 47,77 37,80 36,83 40,17
0,923 1,255 1,306 1,42 1,296 1,13 1,259
LSD 5 % KK (%)
11,39 16,1
b a a a a a a
b a a a a ab a
Hasil yang diselamatkan (%)*) 0 36,0 41,5 53,8 40,4 22,4 36,4
Kehilangan hasil (%)**) 35,0 11,6 8,0 0 8,7 20,4 11,3
0,299 13,79
Keterangan: F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST. *) dihitung berdasarkan rumus: Bn = bobot biji pada perlakuan ke n ; BK = bobot biji pada perlakuan kontrol
**) dihitung berdasarkan rumus: BM = bobot biji pada perlakuan Imidaklorprit 200 g/l-2 ml/l Sumber: Indiati 2013.
48
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
aplikasi (rimpang jahe 20 g/l+minyak mimba 5 ml/l+pupuk cair 1 g/l) sebanyak empat kali aplikasi pada 14, 21, 28 dan 35 HST efektif mengendalikan thrips serta menghasilkan bobot biji kering 1,296 t/ha dan tidak berbeda dengan perlakuan Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l dan 2 ml/l (Tabel 2 dan 3). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kombinasi kimia dan nabati memberi harapan terhadap penekanan serangan thrips, namun demikian waktu dan frekuensi aplikasi insektisida kimia dan nabati yang tepat perlu diteliti lanjut agar diperoleh data/hasil yang akurat. Dari penelitian tahun 2012 ini diperoleh hasil bahwa kombinasi penyemprotan fipronil 2 ml/ l sekali pada 10 HST dengan rendaman rimpang jahe 20 g/l pada 17, 24, dan 31 HST efektif mengendalikan hama thrips dengan intensitas serangan 6,8%. Efektivitas pengendalian hama thrips tersebut dapat ditinggkatkan menjadi 3,6% bila rendaman rimpang jahe 20 g/l disemprotkan pada 24 dan 31 HST dipadukan dengan fipronil 2 ml/l sebanyak dua kali pada 10 dan 17 HST. Kedua perlakuan tersebut efektif menekan intensitas serangan thrips dengan nilai EI masing-masing 78,1 dan 88,4%. Kombinasi fipronil 2 ml/l dengan rendaman rimpang jahe 20 g/l efektif mengendalikan hama thrips pada kacang hijau dan menghemat penggunaan insektisida 50–75% (Indiati 2013).
KESIMPULAN • Thrips, M. usitatus (Bagnall) merupakan salah satu hama utama kacang hijau yang sangat merugikan pada musim kemarau. Pada tingkat intensitas serangan yang tinggi, kehilangan hasil mencapai 100%. Serangan thrips pada kacang hijau dapat terjadi pada awal pertumbuhan vegetatif yang dicirikan dengan gejala daun pucuk keriting, sehingga tanaman menjadi kerdil, dan pada fase berbunga ditandai dengan rontoknya bunga, polong tidak terbentuk, sehingga akan mengurangi hasil kacang hijau. Kehilangan hasil kacang hijau berkisar antara 12–64%, tergantung varietas, umur tanaman dan musim. Selain kacang hijau, thrips dari spesies ini juga menyerang tanaman kacang-kangan yang lain dan klotalaria. Di alam, populasi thrips dikendalikan oleh beberapa pemangsa seperti Orius tantillus, Campylomma sp. dan laba-laba Conopistha sp. yang akan pemangsa nimfa dan thrips dewasa.
• Penggunaan SBM, rendaman bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan rendaman campuran LBJ mempunyai keefektifan yang setara dalam menekan populasi dan intensitas serangan thrip pada tanaman kacang hijau. Bila dibanding dengan insektisida kimia, insektisida nabati mempunyai keefektifan yang lebih rendah dalam menekan populasi dan intensitas serangan thrip. • Aplikasi dimethoate, chlorpyrifos, quinalphos secara semprot dan aplikasi phorate, disulfoton, aldicarb and carbofuran sebagai insektisida tanah pada saat tanam dapat menekan populasi thrips. Aplikasi acetamirid dan thiamithoxam efektif menekan populasi thrips masing-masing sampai 93,3 dan 89,9%. • Aplikasi insektisida dengan bahan aktif fipronil, imidakloprid 70%, formetanate hydrocloride 25% dengan konsentrasi 1–2 ml/ l sekali seminggu efektif menekan intensitas serangan hama thrips sampai 2%. Aplikasi insektisida berbahan aktif fipronil dan imidakloprid memberikan hasil yang konsisten. Ke dua insektisida tersebut efektif menekan serangan thrips dan memberikan tambahan hasil antara 150–175% dibanding kontrol. • Kombinasi penyemprotan insektisida kimia (fipronil 2 ml/l) sekali pada 10 HST dengan insektisida nabati (rendaman rimpang jahe 20 g/l) pada 17, 24, dan 31 HST efektif mengendalikan hama thrips dengan intensitas serangan 6,8%. Efektivitas pengendalian hama thrips tersebut dapat ditingkatkan menjadi 3,6% bila insektisida nabati (rendaman rimpang jahe 20 g/l) disemprotkan pada 24 dan 31 HST dipadukan dengan insektisida kimia (fipronil 2 ml/l) sebanyak dua kali pada 10 dan 17 HST. Kedua perlakuan tersebut efektif menekan intensitas serangan thrips dengan nilai EI masingmasing 78,1 dan 88,4% dan menghemat penggunaan insektisida 50–75%.
PUSTAKA Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107–151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press. Bansiddhi, K., and S. Poonchaisri, 1991. Thrips of Vegetables and Other Commercial Important Crops in
49
BULETIN PALAWIJA NO. 27, 2014
Thailand. In Talekar, N.S. (Ed). Thrips in Southeast Asia. Proc. of a Regional Consultation Workshop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC. Publication No. 91–342. 74p.
Hlm160–168 dalam Komponen Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Edisi Khusus Balitkabi No. 162000.
Basuki, I., S. Hastuti, A. Hipi, dan W.W. Kukuh. 2011. Tingkat Keuntungan Usahatani Kacang Hijau Sebagai Komoditas Unggulan Daerah NTB. http:/ /ntb.litbang.litbang.deptan.go.id. Diakses 10 Agustus 2011.
Indiati, S.W. 2000a. Pengendalian Kimiawi Hama Thrips Pada Tanaman Kacang Hijau. Laporan Intern Balitkabi. 8 hlm. Tidak dipublikasi.
Bernardo, E.N. 1991. Thrips on Vegetable Crops in the Philippines. In Talekar, N.S. (Ed). Thrips in Southeast Asia. Proc. of a Regional Consultation Workshop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC. Publication No. 91–342, 74p. BPS. 2012. Publikasi Produksi Tanaman Pangan Angka Ramalan II 2012. BPS. Jakarta. Chang, N.T. 1991. Important Thrips Species in Taiwan In Talekar, N.S. (Ed). Thrips in Southeast Asia. Proc. of a Regional Consultation Workshop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC. Publication No. 91–342, 74p. Dhandapani N., U.R. Shelkar, M. Murugan. 2003. Biointensive pest management (BIPM) in major vegetable crops: an Indian perspective. Food Agric. & Environ. 1(2): 333–339. Dharmasena, C.M.D., W.M. Blaney and, M.S.J. Simmonds. 2001. Effect of Storage on the Efficacy of Powdered Leaves of Annona squamosa for the Control of Callosobruchus maculatus on Cowpeas (Vigna unguiculata). Phytoparasitica 29:3. 6 p. Ditjen Tanaman Pangan. 2012. Road Map Peningkatan Produksi Kacang Tanah dan Kacang Hijau Tahun 2010–2014. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta. Fauziah, I. and H.A. Saharan. 1991. Research on Thrips in Malaysia In Talekar, N.S. (Ed). Thrips in Southeast Asia. Proc. of a Regional Consultation Workshop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC. Publication No. 91–342, 74p. Herminanto, Wiharsi, dan Topo Sumarsono. 2004. Potensi Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L.) untuk Mengendalikan Ulat Kubis Crocidolomia pavonana F.(www.potensi biji srikaya.hml, di akses 22 Juli 2009). Hidajat. J. Rachmad, M. Machmud, Harnoto, dan Sumarno. 2000. Teknologi produksi benih kacang hijau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hoddle, M.S., L.A. Mound, D.L. Paris. 2012. Thrips of California. CBIT Publ. Queensland. Hoesain, M. 2001. Aktivitas Biologis Ekstrak Aglaia odorata Lour terhadap Larva Crocidolomia binotalis Zeller. Ringkasan Disertasi, Program Pasca Sarjana Univ. Airlangga. Surabaya. 40 hlm. Indiati, S.W. 2000. Pengendalian Kimiawi dan Penggunaan MLG 716 sebagai Galur Tahan Thrips untuk Menekan Kehilangan Hasil Kacang Hijau.
50
Indiati, S.W. 2003. Hama Thrips pada kacang hijau dan komponen pengendaliannya. Buletin Palawija, No. 5 & 6. hlm 36–42. Indiati, S.W. 2005. Keefektifan beberapa bahan nabati untuk mengendalikan hama Thrips pada tanaman kacang hijau. Agrivita 27(3): 182–190. Indiati, S.W. 2012. Pengaruh insektisida nabati dan kimia terhadap hama thrips dan hasil kacang hijau. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(3): 152–157. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Indiati, S. W. 2013. Kombinasi ekstrak rimpang jahe (zingiber officinale) sebagai insektisida nabati dan fipronil untuk pengendalian hama thrips pada kacang hijau. 17 hlm. (dalam proses penerbitan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Isman, M.B., J.T. Arnason, G.H.N. Towers. 1995. Chemistry and Biological Activity of Ingredients of Other Species of Meliaceae. pp. 652–666. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry, and Other Purpose. Weinheim (Germany): VCH. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 701 pp. Kardinan, A dan A. Dhalimi. 2003. Mimba (Azadirachta indica A.Juss) Tanaman Multi Manfaat. Perkembangan Teknologi TRO. 15(1). Mandi, N., and A.K. Senapati (2009). Integration of chemical botanical and microbial insecticides for control of thrips, Scirtothrips dorsalis Hood infesting Chilli. The J of Plant Protect. Sci. 1(1): 92–95. Masumoto, M. 2000. Insect Classification Laboratory. National Institute of Agro-Enviromental Sciences. Kannondai 3-1-1. Tsukuba-shi 305-8604. Japan. Mituda, E.C., and V.J. Calilung. 1989. Biology of Orius tantillus (Motschulsky) (Hemiptera:Anthocoridae) and its predatory capacity against Thrips palmi Karny (Thysanoptera:Tripidae) on watermelon. The Philippine Agric. 72(2),165–184. Mordue (Luntz) A.J. and A.J. Nisbet. 2000. Azadirachtin from the Neem Tree Azadirachta indica: its Action Against Insects. An. Soc. Entomol. Brasil 29(4):615–632. Mughal, S.M. 1985. Viral diseases of tomato and their control. Progressive Farming (Pakistan), 5(2), 20– 23. Murai, T. 2000. Effect of temperature on development and reproduction of the onion thrips, Thrips tabaci
INDIATI: PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA NABATI DAN KIMIA
Lindeman (Thysanoptera: Thripidae), on pollen and honey solution. App. Entomol. Zool. 35(4):499–504.
shop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC Publ. No. 91-342, 12–17.
Nderitu J, J. Kasina, C. Waturu, G. Nyamasyo, J. Aura. 2008. Management of thrips (Thysanoptera: Thripsidae) on French beans (Fabaceae) in Kenya: Economics of Insecticide Applications. J. Entomol. 5(3): 148–155.
Schmutterer, H. and R.P. Singh. 1995. List of insect pest susceptible to neem products. pp. 326–365 In H. Schmutterer (ed.). The Neem Tree-Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry, and Other Purposes. VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo.
Nderitu J., F. Mwangi, G. Nyamasyo, M. Kasina. 2010. Utilization of synthetic and botanical insecticides to manage thrips (thysan.: thrips.) on snap beans (fabaceae) in Kenya. Int. J. Sustain. Crop Prod. 5(1): 1–4. Ottens, R.J., J.R. Ruberson, P.M. Roberts and J.D. Griffin. 2004. Thrips abundance and effects of insecticidal control on cotton growth and yield in South Georgia. San Antonio, TX January 5–9, 2004. Proc. Beltwide Cotton Conf., National Cotton Council, Memphis, TN. Prakash, A. and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Lewis Publ. Baco Raton, New York. London. Tokyo. 460 pp. Prijono D. 1999. Prinsip-prinsip uji hayati. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Bogor, 9–13 Agustus 1999. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Institut Pertanian Bogor. hlm. 45–62. Radjit, B.S. dan N. Prasetyawati. 2012. Prospek Kacang Hijau pada Musim Kemarau di Jawa Tengah. Oktober. Buletin Palawija. No. 24-2013. hlm 57–68. Rao, R.D.V.J. Prasada. 2003. The host range of Tobacco streak virus in India and transmission by thrips. Ann. Appl. Biol. 142: 365–368. Sarjan, M. 2008. Potensi pemanfaatan insektisida nabati dalam pengendalian hama pada budidaya sayuran organik. Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Mataram Cabai - NTB. Diakses 22 Juli 2009. Sastrosiswojo, S. 1991. Thrips on vegetables in Indonesia In Talekar, N.S. (Ed). Thrips in Southeast Asia. Proceedings of a Regional Consultation Work-
Shukla, S., G. Kalyani, N. Kulkarni, F. Waliyar, and S.N. Nigam. 2005. Mechanism of transmission of tobacco streak virus by Scirtothrips dorsalis, Frankliniella schultzei and Megalurothrips usitatus in groundnut, Arachis hypogaea L. J. of Oilseeds Res. 22(1). pp. 215–217. Singh, S.R., L.E.N. Jackai, J.H.R. Dos Santos and C.B. Adalla. 1990. Insect Pests of Cowpea p. 43-90. In Singh, S.R. (Ed.) Insect Pests of Tropical Food Legumes. IITA. Sridhar, S., S. Arumugasamy, H. Saraswathy, and K. Vijayalakshmi. 2002. Organic vegetable gardening. Center for Indian Knowledge Systems, Chennai, India. 53 p. Stoll, G. 2000. Natural protection in the tropics. Margraf Verlag. Weikersheim. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi kedua). Gadjah Mada University Press. 348 hlm. Vijayalakshmi, K., B. Subhashini, and S. Koul. 1999. Plants used in Pest Control: Garlic and onion. Centre for Indian Knowledge Systems, Chennai, India. 79 p. Waiganjo, M.M., L.M. Gitonga, J.M. Mueke. 2008. Effects of weather on thrips population dynamics and its implications on the thrips pest management. Afr. J. Hort. Sci. 1:82–90. Williams, M.R. 2006. Cotton loss estimates-2005. pp. 1135–1150. San Antonio, TX January 3–6, 2006. In Proc. Beltwide Cotton Conf., National Cotton Council, Memphis, TN.
51