Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum Oleh: Bernard L. Tanya* Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang
[email protected] Prolog Epistemologi bisa dipahami (secara sederhana), sebagai: cabang ilmu dan filsafat yang menyelidiki syarat-syarat dan aturan-aturan metodis yang dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan yang`(dianggap) valid/benar. Maka pada tingkat yang paling operasional, wajah epistemologi terekam dalam metodologi. Tapi seperti apa episteme yang akan dipakai, sangat tergantung pada obyek yang hendak diketahui (aspek ontologinya). Aturan-aturan metodis untuk memperoleh pengetahuan tentang fakta/realitas empirik, akan berbeda dengan cara memperoleh pengetahuan tentang obyek berupa fenomena/realitas pengalaman, teks, simbol, nilai, makna, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu. Tentang obyek, masih bisa dipertanyakan lagi, apakah realitas obyek itu merupakan realitas tunggal atau jamak, abstrak atau konkret, menyangkut substansi atau eksistensi, deterministik atau indeterministik, dan lain sebagainya. Belum lagi kita bicara soal aliran-aliran tentang ontologi seperti: realisme, nominalisme, naturalisme, empirisme, idealisme, rasionalisme, simbolisme, dan fenomenalisme. Sekalian itu harus dipertimbangkan sungguhsungguh jika kita hendak melakukan pengembangan epistemologi.
Dengan kata lain, sebelum bicara tentang pengembangan epistemologi, harus bisa dipastikan terlebih dahulu seperti apa perkembangan/pengembangan perspektif ontologi mengenai suatu obyek yang hendak dikaji itu. Analog dengan itu, kita bisa katakan bahwa pengembangan epistemologi ilmu hukum harus paralel dengan perkembangan perspektif yang terjadi dalam ontologi mengenai hukum itu sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah memang ada perkembangan dimaksud? Kalau ada, apa dan seperti apa perkembangan itu?
Jika misalnya 5 perspektif ontologi hukum yang diajukan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto1 kita jadikan sebagai titik-tolak, maka pertanyaannya adalah,
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum”, Kerjasama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, di Surakarta 11 April 2015. Beliau juga adalah Rektor Universitas Karyadarma (Undarma) Kupang, mengajar S3 Ilmu Hukum UMS, UNS dan sejumlah S2 dan S3 di kampus PTN dan PTS lainnya.
50
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
apakah ada pengayaan kategori atau pengayaan dimensi dari konsep Prof. Soetandyo itu yang ditangkap oleh penyelenggara acara ini, sehingga forum hari ini lebih difokuskan pada pengembangan epistemologi ilmu hukum berdasarkan pengayaan tersebut, dan tidak sekedar mengulangi apa yang sudah beliau bahas. Harus pula dipertanyakan, apakah pengembangan epistemologi ilmu hukum yang dibahas dalam forum ini, merupakan pengembangan terhadap tiga epistemologi yang dibahas Surya Prakash Sinha2, yakni episteme transedental, rasional, dan empiris?
Mengapa saya perlu tegaskan keterkaitan eksklusif antara ontologi dan epistemologi di atas, oleh karena dalam penelitian hukum muncul kecenderungan fanatisme pada metode/episteme tunggal tanpa memperdulikan pokok masalah yang mau dikaji. Apapun masalahnya, setiap penelitian tentang hukum seolah harus/wajib menggunakan metode tunggal, yakni metode normatif. Metode normatif, diyakini tipikal bagi studi hukum. Maka, tatkala berbicara tentang penelitian hukum (PH), orang serta-merta dipaksa menggunakan metode normatif, meskipun masalah yang akan diteliti merupakan unit makna, nilai, fakta, bahkan fenomena. Tentang penamaan metode normatif itu sendiri (yang oleh penstudi hukum dipakai untuk menunjuk pada keharusan menurut aturan formal), masih juga dapat dipersoalkan ketepatannya karena makna term tersebut dalam filsafat lebih pada imperatif nilai ketimbang legal-formal belaka.
Masalah menentukan teori dan metode, bukan sebaliknya. Itulah prinsip utama dalam sebuah riset. Orang memaku paku dengan martil. Tapi jika hendak mencabut paku, maka lebih tepat menggunakan tang. Obyeknya sama, tapi permasalahannya berbeda. Dan karena itu, teori dan metode yang digunakan pun berbeda. Harus ditegaskan di sini, bahwa metode merupakan strategi, cara, prosedur untuk mengungkapkan keadaan suatu masalah. Jadi, masalah menentukan metode. Ya, ontologi menentukan epistemologi, bukan sebaliknya.
Jujur, saya belum menemukan model episteme yang benar-benar baru untuk diajukan dan didiskusikan dalam forum ini. Yang bisa saya lakukan adalah, mengungkapkan potensi pengembangan dari episteme-episteme yang sudah ada, yang menurut saya sangat relevan bagi pengembangan ilmu/teori hukum.
1
Soetandyo Wignjosoebroto, “Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian & Metode Penelitiannya”, Bahan Penataran Metode Penelitian Hukum di UI Jakarta, 1993. 2 Surya Prakash Sinha, Jurisprudence: Legal Philosophy in A Nutshell, West Publishing Co, 1993.
ISBN 978-602-72446-0-3
51
Prosiding Seminar Nasional
Episteme Transedental Episteme ini bergandengan dengan konsepsi ontologi mengenai hukum sebagai ”bangunan nilai-nilai baku” yang terberi (given) bersubstansi moral Ilahi. Jadi secara ontologis, keber-ada-an hukum berasosiasi dengan kehendak Ilahi. Bahkan kehendak Ilahi mendeterminasi hukum, sehingga untuk mendapat pengetahuan tentang hukum yang benar (valid), maka harus terlebih dahulu mengetahui kehendak Ilahi itu. Salah satu cara mengetahui kehendak Ilahi tersebut, ditawarkan oleh Thomas Aquinas. Dalam rangka itu, Thomas menyusun hirarkhi hukum dalam 4 kategori: (i). Lex Aeterna: Hukum berupa kehendak Tuhan yang sangat abstrak yang meliputi alam semesta, (ii). Lex Devina: Hukum Tuhan yang terekam lewat wahyu, termasuk yang tercatat dalam Kitab Suci, (iii). Lex Naturalis: Prinsip-prinsip umum (hukum kodrat) dalam wujud prinsip-prinsip moral baku yang dapat ditangkap melalui akal-budi/intuisi. (iv). Lex Humane: Hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia ini (hukum positif) haruslah merupakan derivasi atau turunan dari hukum kodrat. Mengapa hukum positif harus sesuai dengan hukum kodrat? Menurut Thomas, Lex Naturalis merupakan wujud partisipasi Lex Aeterna. Lex Aeterna itu sendiri, karena terlampau abstrak maka tidak bisa ditangkap langsung oleh manusia. Kehendak Tuhan (lex aeterna) bisa ditemukan dalam lex devina dan lex naturalis. Itulah sebabnya, ajaran-ajaran dalam lex devina serta prinsip-prinsip moral dalam lex naturalis merupakan wujud paling eksplisit dari kehendak Ilahi (lex aeterna). Faktor kehendak Ilahi itulah yang menyebabkan mengapa hukum kodrat diidentikan dengan prinsip-prinsip moral baku yang wajib diikuti. Kehendak Ilahi, adalah sesuatu yang sempurna, bagus, dan indah, dan dengan demikian berkarakter normatif yang serba menuntun dan mengharuskan. Hukum kodrat bukanlah rangkaian peraturan teknis seperti halnya hukum positif. Hukum kodrat merupakan konsep hukum yang mengembangkan dasar-dasar hidup yang baik, termasuk hidup baik secara moral3, seperti misalnya “tidak boleh berbuat jahat pada orang lain”, berikan pada tiap orang apa yang menjadi haknya, “semua kejahatan harus dihukum”, “kepada yang sama diberikan yang sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama”, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, Lex Naturalis menunjuk pada tuntutan fundamental bagi manusia sebagai makluk yang berakal budi untuk hidup, bertindak, dan menata hidupnya
3
52
Lih Antonio Estrada, The Philosophy of Law, University Book Supply, Manila, 1970.
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
sesuai kodratnya sebagai citra Ilahi4. Hidup sesuai kodrat sebagai das Bild Gottes, tiada lain, adalah hidup menurut prinsip moral dan keadilan. Dari doktrin inilah lahir teori hukum yang sarat moral yang hingga kini terus disuarakan, termasuk oleh pemikir hukum kodrat modern seperti D‟Entreves, Morris Cohen, dan Luijpen5.
Meski episteme yang transenden itu sudah tergolong sangat klasik, namun tidak berarti tanpa manfaat bagi dunia hukum modern dewasa ini. Kita bisa tanggalkan doktrin tentang ”bangunan nilai-nilai baku yang a historis” itu, tapi gagasan dasarnya tentang perlunya fondasi etik bagi tata hukum, masih sangat relevan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum modern yang sangat tehnikal, butuh fondasi etik yang kuat dalam seluruh fasetnya (legislasi, yudikasi, eksekusi). Tanpa fondasi etik yang memadai, proses legislasi bisa dengan mudah berubah menjadi proses tawar-menawar kepentingan sempit. Begitu juga dengan proses yudikasi, bisa dengan mudah berubah jadi ajang jual-beli pasal dan ayat. Banyak kerugian yang harus ditanggung manakala moral/etika absen dalam pengelolaan hukum. Ketika aturan dibuat asal-asalan, maka bukan saja hal yang diatur tidak tercover baik, tetapi justru akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa saat dijalankan. Letak titik-koma, kata penghubung, dan penggunaan term-term jamak yang tidak dilakukan secara cermat, bisa menjadi malapetaka saat diimplementasikan. Bahkan loop hole sekecil apapun, bisa menjadi gerbang besar untuk membalik aturan itu menjadi senjata yang sangat mematikan, dan dapat diarahkan ke berbagai arah 6.
Dengan memanfaatkan logika dari episteme transedental (yang mengedepankan keutamaan prinsip-prinsip moral), maka kita bisa mengembangkan fondasi hukum Indonesia, misalnya berdasarkan nilai-nilai/prinsip-prinsip moral Pancasila. Untuk
4
Ini yang membedakan lex naturalis dengan lex naturae. Lex naturae (Inggris: law of nature), menunjuk pada cara segala yang ada berjalan sesuai mekanisme alam 4. “Aturan alam”, adalah keharusan alam apa adanya. Dan menurut para sofis Yunani (abad 5 SM), dan juga Hobbes, Darwin, serta Spencer, law of nature menguasai seluruh mahkluk (termasuk manusia) dalam bentuk naluri. Dalam kategori Austin, lex naturae tergolong sebagai hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called) yang berupa metafora/laws by metaphor (John Austin, The Province of Jurisprundence Determined, Cambridge, University Press, 1995). 5 Sebagai pemikir hukum kodrat abad 20, Luijpen tetap mengakui eksistensi norma keadilan sebagai dasar dan norma kritis dalam hukum. Ini mutlak perlu, karena kalau tidak, hidup bersama yang adil tidak mungkin terjamin. Meski norma-norma keadilan menjadi patokan dasar setiap tata hukum, namun menurut Luijpen, isi norma-norma itu sendiri bersifat kontekstual menurut ruang dan waktu. Wujudnya adalah rasa keadilan. Karena berupa rasa yang sifatnya substantif, maka untuk berlaku sebagai norma positif, ia perlu diintegrasikan dalam tata hukum. Pendeknya, tanpa diakomodasi dalam tata hukum, maka norma-norma perikemanusiaan dan keadilan tidak akan efektif, dan karenanya tidak berlaku sebagai hukum. Sebaliknya juga, suatu tatahukum yang tidak menurut norma keadilan (norma-norma kemanusiaan), juga tidak berlaku sebagai hukum, sebab kekurangan unsur yang esensial, yakni unsur keadilan. Baik tata hukum maupun sifat keadilan, dibutuhkan supaya tercipta hukum yang sebenarnya. 6 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.
ISBN 978-602-72446-0-3
53
Prosiding Seminar Nasional
itu, kita perlu melakukan riset untuk menemukan gagasan-gagasan luhur yang yang terdapat dalam Pancasila untuk dijadikan basis etik hukum Indonesia7. Episteme Positivistik
Berpikir positivistik adalah berpikir saintifik, dan berpikir saintifik adalah berpikir analitis-logis. Episteme ini bergandengan dengan konsepsi ontologi tentang hukum sebagai produk otoritatif manusia (melalui negara). Hukum tidak memiliki kaitan dengan wahyu dan kehendak Tuhan. Hukum adalah murni buatan manusia. Dari faham ontologi yang demikian itu, episteme positivistik tidak menghendaki adanya relasi mutlak antara hukum dan moral. Tananan hukum tidak lagi bersifat normatif (keharusan bersifat moral) berupa judgment tentang buruk-baik secara moral suatu perbuatan, melainkan berwajah preskriptif (keharusan yuridis).
Dengan kata lain, pergeseran dari hukum kodrat ke hukum positif (leges), membawa pula pergeseran karakter hukum dari sifatnya yang normatif (menuntun dan mengharuskan) menjadi preskriptif (memastikan dan memerintahkan) sebagaimana ditentukan dalam peraturan-peraturan legal. Jadi pada dasarnya, hukum positif berkarakter preskriptif. Sedangkan hukum kodrat, berkarakter normatif.
Topangan doktrin filosofisnya dirintis oleh para filsuf antara lain: Bodin, JeanJacques Rousseau, Jeremy Bentham, Hobbes, Locke, John Austin. Mereka ini— yang di bidang hukum—lazim disebut pemikir legal positivist—yang kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya seperti Hans Kelsen, H.L.A. Hart dan lainlain. Semua mereka adalah kaum positivis atau kaum legis (leges = undangundang). Merekalah yang mencanangkan doktrin bahwa “tiada hukum tanpa adanya undang-undang”, berikut ikutannya tentang betapa supremasinya hukum positif (undang-undang).
Doktrin rechtsstaat pun memperkuat keniscayaan bahwa status hukum positif itu demikian utamanya sehingga sesiapapun, tak terkecuali para pembuat hukum, diharuskan tunduk dan menghormati undang-undang yang merupakan produk kesepakatan rakyat melalui negara. Bahkan, di negeri-negeri bertradisi civil law, muncul gagasan bahwa hakim “hanya sebagai mulut yang membunyikan bunyi undang-undang”
Tidak kebetulan jika Jean Bodin, filsuf era Renaissance, dengan doktrin kedaulatan negara yang digagasnya, melihat hukum sebagai leges. Hukum adalah perundangundangan (leges) yang dihasilkan dari penerapan kedaulatan yang dimiliki negara.
7
Saya telah mencoba menulis tentang hal ini lewat buku: Pancasila, Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakrta: Genta Publishing, 2015.
54
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
Leges adalah kehendak negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan negara adalah satu-satunya sumber hukum. Di luar negara tidak ada satu orang dan institusi pun yang berwenang menetapkan hukum.
Bagi Bodin, leges tidak memiliki asosiasi mutlak dengan moral dan keadilan. Leges semata-mata adalah keinginan negara, bukan kehendak ilahi atau alam. Karena itu, Bodin membedakan secara tegas antara perundang-undangan (leges) dan hukum kodrat. Hukum kodrat (jus) adalah baik dan adil. Sedangkan perundang-undangan (leges) merupakan perintah negara sebagai aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Jadi jus bagi Bodin identik dengan lex naturalis (hukum kodrat) yang oleh Bodin sendiri dinamakan jurisprudens. Menurutnya, jurisprudens merupakan sebuah seni, yakni seni memberi kepada semua orang apa yang menjadi miliknya. Jus merupakan cahaya kebaikan (prudentia) dan nalar ilahi. Bodin percaya bahwa jus tertanam dalam diri manusia sejak awal keberadaannya, dan selalu adil lagi seimbang. Garis tegas yang dibuat Bodin mengenai lege dan jus, serta kekuasaan eksklusif negara menetapkan leges sebagai hukum positif, sebenarnya memperlihatkan secara jelas posisi Bodin sebagai penganut positivisme yuridis.
Ajaran Bodin tentang hukum sebagai perintah, kemudian diadopsi oleh John Austin lewat Command Theory-nya. Namun Austin dengan Analytical Legal Positivism-nya, mengurai leges versi Bodin dalam unsur-unsur yang lebih spesifik. Menurut Austin, law is commands, backed by threat of sanctions, from a sovereign, to whom people have a habit of obedience.
Dengan demikian, secara analitis, hukum merupakan produk kekuasaan negara (sebagai pihak yang berdaulat), bukan kehendak alam atau titah ilahi. Dan hakikat hukum, menurut Austin, adalah “perintah”, yakni “perintah yang bersanksi” dari pemegang kedaulatan/negara. Faktor kedaulatan (dari negara) inilah yang membuat Austin memberi distingsi antara law properly so called dan laws improperly so called. Menurut Austin, hukum yang sebenarnya adalah hukum positif8. Aturanaturan lain di luar produk negara atau belum diakui oleh negara sebagai bagian hukum positif (seperti aturan dalam organisasi non negara, adat, kebiasaan, dll) harus digolongkan sebagai moralitas positif (positive morality)9. Kalaupun harus disebut hukum, maka sekalian itu hanya berstatus sebagai hukum hasil analogi. Dan oleh karena itu tergolong laws improperly so called.
8
John Austin, The Province..., Op.Cit. James Bernard Murphy, The Philosophy of Positive Law: Foundations of Jurisprudenrce, New Haven: Yale University Press, 2005. 9
ISBN 978-602-72446-0-3
55
Prosiding Seminar Nasional
Teori legal positivist Austin yang klasik itu, dikritik oleh Hart sebagai pemikir legal positivist modern. Kritik Hart menyangkut dua hal, yakni mengenai doktrin perintah; dan mengenai pemisahan antara hukum dan moral. Mengenai pemisahan hukum dan moral, Hart setuju dengan Austin. Meski demikian, Hart memberi semacam catatan pinggir pada pemikiran Austin tersebut. Bagi Hart, walaupun hukum dan moral berbeda, namun keduanya saling terkait cukup erat 10. Bahkan menurut Hart, moralitas merupakan syarat minimum hukum.
Ada dua gugus masalah yang menyebabkan moral menjadi syarat minimum hukum. Gugus masalah yang pertama, adalah menyangkut berbagai fakta natural dalam kehidupan manusia, antara lain: manusia memiliki kerentanan dan mudah terancam bahaya, manusia kurang lebih sama dalam kemampuan fisik dan intelektual, manusia memiliki kehendak baik (good will) yang terbatas terhadap orang lain, manusia memiliki keterbatasan untuk melihat ke masa depan serta untuk mengontrol dirinya, dan terakhir adalah, sumber daya yang dibutuhkan manusia terbatas ketersediaannya. Terhadap berbagai keterbatasan manusia tersebut, hukum memikul tanggungjawab (beban moral) untuk berfungsi sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar tercipta kehidupan tertib di tengah-tengah berbagai keterbatasan natural itu. Kegagalan hukum menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka kehidupan manusia akan dihadapkan pada masalah yang cukup serius, seperti yang terjadi pada masa-masa pra orde hukum. Gugus masalah kedua, adalah terkait keterbatasan yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Hukum positif, betapa pun lengkapnya, tetaplah terbatas. Bahkan hukum positif selalu tertinggal di belakang kejadian. Hukum positif sebenarnya bersifat reaktif, karena baru dibuat setelah adanya pengalaman buruk yang menimpa diri manusia. Selain itu, kemampuan antisipasi hukum positif terbatas, sehingga banyak kasus yang tidak bisa atau sulit ditangani karena belum menjadi bagian dari hukum. Menghadapi berbagai keterbatasan itu, pelaksana hukum memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan-tindakan diskresional sebagai jalan keluar dari keterbatasan hukum yang ada. Kasus-kasus rumit (hard cases) di mana peraturanperaturan yang ada tidak bisa diandalkan untuk memecahkannya, maka menurut Hart, langkah yang paling logis ditempuh oleh hakim adalah diskresi yang dapat dipertanggungjawabkan. Langkah diskresional Hart inilah yang kemudian memicu debat panjang dengan Ronald Dworkin.
10
Karena pemikiran Hart sampai derajat tertentu toleran pada moral, Brian Tamanaha menggolongkan Hart sebagai soft positivist (Lih Brian Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, 2001, hlm. 156).
56
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
Setelah catatan-catatan kritis atas doktrin pemisahan antara hukum dan moral bersi Austin, Hart melakukan kritik terhadap doktrin Austin tentang hukum sebagai perintah bersanksi/koersif. Menurut Hart, doktrin perintah-nya Austin hanya memperlihatkan ciri aturan-aturan primer (primary rules), padahal validitas sebuah norma hukum terletak pada aturan-aturan sekunder (secundary rules). Aturan sekunder inilah yang menetapkan kapan, dan oleh siapa aturan-aturan primer dibentuk, diakui, dimodifikasi, atau dihilangkan. Perintah penguasa bisa dianggap valid sebagai hukum, jika memenuhi syarat berdasarkan secundary rules. Hal inilah yang tidak ada dalam doktrin perintahnya Austin.
Ada tiga macam aturan yang tercakup dalam aturan sekunder. Aturan jenis pertama adalah, aturan pengenal (rule of recognition), yakni aturan-aturan yang memberi petunjuk atau menjadi dasar bagi kita untuk mengenal mana hukum yang sah dan mana yang tidak. Norma pengenal ini juga menandai mana hukum positif dan mana yang tidak. Aturan kedua adalah, aturan perubahan (the rule of change). Aturan-aturan ini mengatur kapan suatu aturan dirubah, bagamana caranya, serta siapa yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan atau mengubah aturan-aturan primer. Aturan jenis ketiga, adalah aturan pengadilan (the rules of adjudication) yang memberikan kuasa pada petugas-petugas pengadilan untuk melaksanakan proses pengadilan jika terjadi konflik legal atau jika suatu aturan hukum dilanggar. Aturan-aturan ini juga menentukan standar-standar untuk keputusan yang memadai oleh kuasa kehakiman atas pelanggaran yang terjadi, beratnya hukuman, atau besarnya kompensasi yang proporsional atas segala pelanggaran hukum.
Pengaruh episteme positivistik, tampak pula pada teori Kelsen. Melalui The Pure Theory of Law-nya, Kelsen melihat hukum sebatas norma yuridis. Hukum adalah norma yang telah berstatus yuridis. Dalam status yang demikian, hukum berada sebagai norma hukum positif. Dari sinilah Kelsen mengajukan separability thesis dan normativity thesis. Melalui separability thesis, Kelsen membedakan norma yuridis dengan norma-norma lain yang non yuridis (utamanya hukum kodrat yang sarat moral transeden). Norma yuridis adalah norma yang telah ditetapkan sebagai hukum positif. Norma apapun, sejauh belum ditetapkan sebagai norma hukum positif, maka tidak bisa digolongkan sebagai hukum. Di sini pengaruh Autin begitu menonjol. Sedangkan melalui normativity thesis, Kelsen hendak menegaskan bahwa hukum sebagai norma yuridis tidak bisa direduksi menjadi fakta empiris atau tidak bisa disamakan dengan fakta alam maupun fakta sosial. Tesis ini memperlihatkan pengaruh Kant atas Kelsen. Berbicara tentang hukum positif, menurut Kelsen, berarti berbicara tentang normanya (legal norm), elemenelemennya, hubungan antar norma-norma tersebut, serta kesatuan norma-norma itu dalam tata hukum. Hal-hal di luar itu, seperti efektivitas hukum, kondisi sosial,
ISBN 978-602-72446-0-3
57
Prosiding Seminar Nasional
realitas ekonomi, tuntutan politik, aspirasi budaya, dianggap tidak relevan bagi hukum sebagai norma yuridis.
Jelas kiranya bahwa melalui separability thesis dan normativity thesis tersebut, Kelsen menolak dua kubu pemikiran sekaligus, yaitu kubu empirisme hukum dan kubu hukum kodrat. Empirisme hukum ditolak, karena faham ini menganggap bahwa hukum dapat direduksi sebagai fakta. Menurut Kelsen, hukum adalah norma, yakni norma yuridis (non empiris). Hukum kodrat juga ditolak, karena menurut Kelsen hukum sebagai norma yuridis bersifat mandiri dan tidak bisa disubordinasikan di bawah pertimbangan-pertimbangan moral di luar norma hukum itu sendiri. Pendek kata, separability thesis merupakan penolakan terhadap ajaran hukum kodrat yang bersifat morality thesis (supremasi moral atas hukum). Sementara nomativity thesis merupakan penolakan terhadap empirisme hukum yang bersifat reductive thesis (mereduksi norma menjadi fakta). Dengan demikian, hukum sebagai norma yuridis bersifat closed system. Artinya hukum harus dipahami hanya sebagai: (1). Norma-norma yuridis, (2). Terbatas pada hukum yang sekarang berlaku, bukan yang diharapkan atau dicita-citakan, (3). Terbatas pada penalaran norma secara normatif, bukan pada fakta empiris atau nilai-nilai di luar norma, (4). Terbatas pada tata hukum dan susunan norma legal, bukan efektivitasnya, (5). Terpusat pada status formal-legalistik suatu aturan, bukan isi aturan itu sendiri.
Tentu saja, teori-teori yang diturunkan dari episteme positivistik tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan kajian yang bersifat dogmatiek-preskriptif yang memfokuskan diri pada tata hukum positif. Teori-teori itu berguna untuk membedah bobot suatu tata hukum dari sisi yuridis-dogmatiek.
Episteme Ideologis
58
Episteme ideologis dibangun atas kehendak merealisasi ide atau cita-cita tertentu. Episteme ini bergandengan dengan konsep ontologi tentang hukum sebagai institusi pembebasan. Basis filsafatnya adalah doktrin hukum kodrat abad-18. Filsuf-filsuf zaman itu menerima beberapa prinsip rasional sebagai dasar kehidupan sosial yang baik. Dari prinsip-prinsip utama itu, diturunkan secara a priori (oleh akal dan nalar) menjadi tatanan yang harus direalisasikan.
Ide-ide yang hendak direalisasikan itu, antara lain: kebebasan manusia/individu (Kant), hak-hak alamiah (Locke), realisasi Roh yang berujung pada keutamaan negara (Hegel), kebahagiaan individu (Bentham), kebahagiaan umum (Mill), masyarakat proletar (Marx), watak bangsa (Savigny), dan sebagainya.
Tugas hukum dan negara menurut episteme ini, adalah menjamin dan
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
merealisasikan ide-ide itu. Misalnya saja soal realisasi hak-hak alamiah yang diajukan John Locke. Bagi Locke, manusia sebagai "mahkluk rasional" memiliki kepentingan untuk mengatur kehidupan bersama yang demokratis. Untuk itulah, kebebasan yang dimiliki manusia harus diatur dan ditata secara baik oleh hukum dan negara. Sebab, menurut Locke, manusia tidak bisa bertahan hidup hanya dengan kebebasannya itu. Masalahnya, sumber-sumber daya yang menunjang kehidupan manusia itu, terbatas sifatnya. Apabila manusia dibiarkan bebas tanpa batas, maka sumber-sumber kehidupan yang terbatas itu, menurut Locke, hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang kuat; atau menurut Hobbes, akan menghantar manusia pada situasi war of all against all, semua perang melawan semua11. Oleh karena itu, mereka juga sependapat bahwa, kebebasan itu perlu diatur dan dibatasi. Dibatasi, justru dengan maksud agar kehidupan itu sendiri dirawat dan dibagi. Untuk merawat dan membagi kehidupan bersama itu, maka perlu kehadian negara dan hukum12. Tapi kewenangan negara tidak boleh mutlak. Hukum harus membatasi kekuasaan negara pada wewenang tertentu. Hak-hak alamiah manusia seperti hak hidup, hak memiliki, dan hak untuk menikmati miliknya, harus dihormati dan tidak boleh dirampas dengan alasan apapun. Dari teori inilah, lahir apa yang disebut "negara/masyarakat demokrasi", di mana negara mempunyai fungsi untuk melayani aspirasi serta kepentingan masyarakat, dan pada saat yang sama, masyarakat berfungsi menjamin serta melindungi kebebasan individual anggota-anggotanya.
Episteme idealis tersebut, dapat dimanfaatkan dalam rangka riset mengenai politik hukum, ataupun riset-riset yang bersifat sociological jurisprudence seperti dilakukan Pound maupun Nonet-Selznick. Kita boleh tidak setuju dengan ”pilihan masalah” yang hendak direalisasikan versi para ahli di atas. Tapi gagasan dasar mereka mengenai fungsi tata hukum sebagai tatanan untuk realisasi ”ideologi” yang dianggap penting oleh suatu masyarakat/bangsa/negara, sangatlah relevan. Misalnya saja, bagaimana membangun tata hukum yang mampu merealisasikan integrasi nasional, atau merealisasikan demokrasi politik yang bernurani, atau merealisasikan demokrasi ekonomi yang berkeadilan sosial, dan sebagainya.
Episteme Empirik
Episteme empirik, beranjak dari suatu pengakuan ontologi bahwa hukum merupakan produk kehidupan sosial. Itulah sebabnya, keber-ada-an hukum lebih sebagai ungkapan-ungkapan kebutuhan kontekstual dari manusia-manusia yang hidup bersama dalam sebuah komunitas. Sebagaimana masyarakat—sebagai
11
Ulasan rinci mengenai „Negara Leviathan‟ Hobbes, baca ulasan A.D. Lindsay, Hobbes: Leviathan, London, JM. Dent & Sons Ltd, 1959.
ISBN 978-602-72446-0-3
59
Prosiding Seminar Nasional
institusi interaksional manusia—saling berbagi dalam makna dan pengalaman hidup—maka hukum pun tidak kurang dari realitas hubungan antar manusia itu sendiri. Hukum, bukan lagi konsep formal-yuridis, melainkan tatanan-tatanan informal yang tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan rutin masyarakat.
Pemikiran tentang hukum sebagai produk masyarakat datang dari sejumlah pemikir sosiolog/antropologi hukum, neo-positivisme, serta pemikir realisme. Teori-teori mereka bermanfaat mengungkapkan realitas sosial yang terkait dengan hukum. Dalam kelompok yang klasik muncul sejumlah pemikir, misalnya: Henry Maine yang membahas hukum sebagai hasil ikutan dari kondisi struktural masyarakat. Perubahan sosial dari status ke kontrak menghasilkan tipe pengaturan hukum yang berbeda. Masih dalam konteks masyarakat tradisional dan modern, Emile Durkheim mengaitkan hukum dengan solidaritas sosial. Bagi Durkheim, hukum merupakan wujud empirik solidaritas sosial. Karena itu, warna solidaritas sosial menentukan wajah hukum. Solidaritas sosial yang mekanis (biasanya terdapat dalam masyarakat tradisional), melahirkan wajah hukum yang menindak. Sebaliknya, solidaritas sosial yang organis (dalam masyarakat modern), melahirkan wajah hukum yang memulihkan.
Berbeda dengan Maine dan Durkheim yang cenderung bertolak dari basis material (ekonomi) sebagai dasar konstruksi teori, maka Max Weber justru menempuh arah lain. Ia menggunakan ukuran 'tingkat rasionalitas' dan 'model kekuasaan' yang dipunyai suatu masyarakat untuk menjelaskan keberadaan hukum sebagai institusi sosial. Menurut Weber, "tingkat rasionalitas dalam sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu". Di sini ia membagi tiga tingkat rasionalitas, yakni (i). Substantif-irasional, (ii). Substantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii). Rasional penuh.
Eksistensi hukum sebagai produk masyarakat, juga datang dari para pemikir neopositivisme, antara lain Duguit, Ehrlich, Geiger, Gurvitch untuk menyebut beberapa saja sebagai contoh. Leon Duguit misalnya, ia mengambil tema yang sama Durkheim, yakni tema solidaritas sosial untuk memperlihatkan posisi hukum sebagai produk sosial. Meski tema sama dengan Durkheim, Duguit mengambil jalan lebih sempit. Solidaritas yang disorotnya, tipikal solidaritas dalam masyarakat industri. Masyarakat industri itu, di mata Duguit, adalah 'masyarakat karya'. Dalam 'masyarakat karya' ini, terdapat banyak kelas sosial, dan semua orang dari kelas sosial mana pun, terlibat dalam proses ekonomis, yakni proses produksi dan distribusi. Ide Duguit menolak dominasi negara atas hukum, dilanjutkan oleh Gurvitch. Di bawah spirit negara/masyarakat demokrasi, Gurvitch
12
John Locke, Two Treatises of Government, New York, Hafner Publishing Company, 1947.
60
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
memberi prioritas pada otonomi masyarakat. Menurutnya, hukum yang berasal dari masyarakat, harus lebih diprioritaskan daripada hukum yang berasal dari negara.
Pemikir lain, adalah Eugen Ehrlich. Bagi Ehrlich, hukum, pertama-tama bukanlah sebuah konsep intelektual. Hukum merupakan hubungan antar manusia. Ia bukan sesuatu yang formal. Ia merupakan sesuatu yang eksistensial. Karenanya, seperti Duguit, pemikiran Ehrlich tentang hukum beranjak dari ide masyarakat. Menurut Ehrlich, masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomis dunia, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini hubungan sosial berarti, bahwa orang-orang dikumpulkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, yang berwibawa atas mereka. Norma-norma hukum berasal dan kenyataan sosial yang demikian itu. Kenyataan-kenyataan yang melahirkan hukum, menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial. Dalam hal ini, kenyataan sosial ditafsirkan Ehrlich secara ekonomis. Ekonomi merupakan basis seluruh kehidupan manusia. Maka ekonomi bersifat menentukan bagi aturan hukum itu. Dalam kehidupan yang berwarna ekonomik itu, manusia menjadi sadar akan kebutuhannya (opinio necessitatis). Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung. Itulah “hukum yang hidup” (living law).
Dari kubu` realis, muncul realisme hukum Anglo-Amerika. Ia merupakan aliran mengedepankan kepeloporan hakim dalam menghasilkan putusan-putusan hukum yang berbobot dan signifikan secara real. Bagi aliran ini, setiap kasus adalah unik. Oleh sebab itu, menjatuhkan putusan dengan menggunakan undangundang sebagai premis mayornya merupakan tindakan generalisasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Jadi, hakim selayaknya menjadikan fakta-fakta dalam keunikan suatu kasus sebagai patokan, bukan undang-undang. Dengan kata lain, bagi realisme, maka aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim), sesungguhnya menghadapi gejalagejala hidup secara nyata dan unik.
Selain teori-teori yang tergolong klasik di atas, muncul pula teori-teori empirik yang lebih baru. Misalnya saja, Posner yang antara lain melakukan analisis tentang efek ekonomi dari pranata-pranata hukum, Donald Black yang mengkaji perilaku hukum dikaitkan dengan sejumlah fakator (stratifikasi sosial, marfologi sosial,
ISBN 978-602-72446-0-3
61
Prosiding Seminar Nasional
kultur, organisasi, dan kontrol sosial lain). Selain itu, studi Mnookin dan Lornhauser tentang ”tawar-menawar dalam bayang-bayang hukum” berkenaan dengan kasus perceraian13. Atau studi Steward Macauly di kalangan masyarakat bisnis Amerika tentang kecenderungan yang kuat pada penggunaan cara-cara nonlitigasi, khususnya dalam sengketa kontrak di bidang bisnis14. Belum lagi hamparan kepustakaan yang begitu banyak yang dicatat Galanter—seperti misalnya laporan-laporan mengenai peraturan sendiri pada latar-latar dari variasi bisnis.
Hasil penelitian Keebet von Benda Beckmann di pedesaan Minangkabau, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa ada kecenderungan pihak-pihak yang bersengketa melakukan pilihan di antara lembaga-lembaga yang ada (lembaga adat dan pengadilan negeri) yang dipandang menguntungkan sesuai dengan apa yang diharapkan pihak-pihak yang bersengketa15. Di samping itu, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa informal yang ada, dalam kasus-kasus tertentu juga aktif menawarkan jasa untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Itulah sebabnya, selain muncul fenomena “forum shopping”, juga muncul “shopping forum”.
Masih banyak teori terbaru yang perlu didalami dalam rangka memenuhi kebutuhan seperti yang diharapkan seminar ini. Misalnya saja, teori-teori hukum dalam konteks yudisial/peradilan. Salah satunya adalah law as integrity16 dari Ronald Dworkin. Menurut Dworkin, ada tiga nilai yang sangat berkaitan dengan hukum sebagai integritas, yaitu justice, fairness and procedural due process. Hukum sebagai integritas, menurut Dworkin, adalah kesatuan tiga prinsip tersebut. Hakim, ketika mengadili dan mengambil keputusan, harus secara sungguhsungguh memperhitungkan dan mencari titik kesesuaian yang tepat (best fit) antara ketiga nilai di atas, sehingga bisa menghasilkan keputusan yang berbobot dari sisi hukum maupun moral. Belum lagi teori-teori yang dihasilkan dari studi-studi socio-legal yang mulai marak dilakukan, seperti misalnya teori mirror dari Brian Tamanaha.
Epilog
Akhir-akhir ini, mulai muncul kesadaran untuk memanfaatkan ancangan hermeneutik dalam kajian hukum. Seperti sudah diketahui, hermeneutik, secara
13
R.H. Mnookin dan Lornhauser, “Bargaining in The Shadow of The Law: The Case of Divorse”, 88 The Yale Law Journal, 950-997. 14 Lih Steward Macaulay, Law and the Balance of Power: The Automobile Manufactures and their Dealers, New York: Russell Sage Foundation, 1969. 15 C.E von Benda-Beckmann, The Broken Stairways To Consensus: Village Justice And State Courts In Minangkabau, Cimaminson, New Jersey: Foris, 1984, hal. 37-58. 16 Ronald Dworkin, Law's Empire, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986.
62
ISBN 978-602-72446-0-3
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum
sederhana, adalah disiplin atau filsafat untuk memahami (understanding/verstehen) makna sebuah teks maupun dalam menafsirkan isi sebuah teks (interpretation/auslegen), apabila makna tersebut tidak jelas. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan teks tertulis, yang harus ditangkap maknanya berdasarkan hubungan-hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, atau hubungan antara teks dan situasi psikologis pengarangnya, maupun dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya sendiri (aspek tekstual), bisa pula dilihat dalam hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual), atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek resepsionis).
Tentu saja pendekatan hermeneutik hanya salah satu dari jalan-jalan yang tersedia dalam Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu humaniora untuk mendekati persoalan makna sebuah teks tertulis. Ada pendekatan lain yang barangkali juga sama baiknya seperti semiotik, pragmatik, analytical philosophy dari Inggris atau filsafat bahasa ala Wittgenstein atau teori Chomsky tentang competence and performance dan lain-lain.
Masalah teoretis yang patut menjadi perhatian kita adalah, bagaimana memperlakukan sebuah teks hukum dari sisi hermeunetik? Filsuf post-strukturalis dari Perancis, Paul Ricoeur, membedakan makna teks pada umumnya atas dua jenis. Yang pertama sense atau makna tekstual, dan yang kedua reference atau makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang diproduksi oleh hubunganhubungan dalam teks sendiri. Sedangkan makna referensial adalah makna yang diproduksi oleh hubungan antara teks dengan dunia-luar-teks.
Distingsi Ricoeur itu, sebenarnya membantu kita untuk melakukan kajian terhadap aturan/teks hukum, apakah menempuh salah satu cara (sense saja atau reference saja), atau bahkan kedua-duanya. Teks-teks ilmu sosial (yang menekankan sisi empirik) misalnya adalah teks yang diharap dan dituntut untuk menunjuk seteliti mungkin makna referensial, berupa dunia empiris yang diamati atau diselidiki. Makna tekstual sedapat-dapatnya ditekan sampai minimal. Sebaliknya pada puisi, makna referensial ditekan sampai minimal atau disuspendir supaya seluruh bobot diberikan pada makna tekstual. Di sini reference ditekan sampai titik terendah, agar supaya dengan itu makna tekstual diberi kemungkinan sepenuh-penuhnya berkembang.
ISBN 978-602-72446-0-3
63
Prosiding Seminar Nasional
Berdasarkan gambaran di atas, apakah untuk kepentingan pengembangan kajian hukum, perlu kita tawarkan agar teks hukum diletakkan di antara dua kutub tersebut, yakni gabungan dari makna tekstual dan makna referensial. Dengan demikian, kajian terhadap hukum bisa bersifat event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah teks hukum harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi norma di awang-awang. Demikian juga, ia harus mengandung makna (yang di sini berarti makna tekstual) karena tanpa itu dia akan menjadi rumusan peristiwa faktual biasa. Dengan menggunakan metode event-meaning dialectics ini, kita bisa mengurangi dikhotomi yang begitu tajam antara kubu normatif versus empirik dalam stusi hukum selama ini.
Saya sendiri berpendapat bahwa polarisasi normatif dan empirik sudah harus ditinggalkan karena cenderung mengerdilkan dan memiskinkan kajian terhadap hukum. Padahal, dengan memperhatikan 5 perspektif ontologi dari Prof Soetandyo, atau pun kategori episteme dari Praksh Sinha, atau 4 kategori episteme yang saya uraikan, serta model hermeunetik Paul Ricoeur di atas, peluang pengayaan studi hukum sebenarnya sangat terbuka. []
----------------------------------
64
ISBN 978-602-72446-0-3